Anda di halaman 1dari 12

TUGAS KAPITA SELEKTA

“Permasalahan dalam Pengembangan Hortikultura”

PAPER

OLEH:

RAHAYU HANDAYANI
NIM.197039012

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia adalah Negara tropis dengan wilayah cukup luas, dengan variasi

agroklimat yang tinggi, merupakan daerah yang potensial bagi pengembangan

hortikultura baik untuk tanaman dataran rendah maupun dataran tinggi. Variasi

agroklimat ini juga menguntungkan bagi Indonesia, karena musim buah, sayur, dan

bunga dapat berlangsung sepanjang tahun. Peluang pasar dalam negeri bagi komoditas

hortikultura diharapkan akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya jumlah

penduduk dan pendapatan masyarakat, serta timbulnya kesadaran akan gizi di kalangan

masyarakat. Peningkatan kebutuhan komoditas hortikultura ini juga ditunjang oleh

perkembangan sector industry pariwisata dan peningkatan ekspor. Apabila dilihat

terhadap kebutuhan konsumsi buaah dan sayuran, terlihat bahwa kebutuhan masing-

masing akan buah dan sayuran yaitu 32,6 Kg/Kapita/Tahun dan 32 Kg/Kapita/Tahun,

ternyata batu tercapai sekitar sekitar 21,1 kg/kapita/tahun dan 14 kg/kapita/tahun

(Sunaryo, 1987 dalam irfansyah, 2014). Dari kenyataan tersebut tercermin adanya

peluang dan tantangan yang harus kita hadapi.

Pada sector pertanian, agribisnis hortikultura yang meliputi komoditas sayuran,

buah-buahan dan tanaman hias berpeluang besar mengalami dampak liberalisasi karena

tiga hal, yaitu : (1) biaya input komersial seperti pupuk, pestisida, dan bibit pada

usahatani hortikultura, terutama sayuran, relative tinggi dibandingkan komoditas

pertanian lainnya. Konsekuensinya adalah liberalisasi perdagangan yang diantaranya

berdampak pada penghapusan berbagai subsidi factor produksi akan meningkat ongkos

produksi yang dikeluarkan petani. (2) komoditas hortikultura umumnya diusahakan


petani untuk dijual atau market oriented, bukan untuk konsumsi sendiri atau subsisten.

Konsekuensinya adalah petani hortikultura dituntut untuk lebih mampu membaca

peluang pasar dan menyesuaikan produksinya dengan preferensi konsumen yang dapat

berubah cepat akibat globalisasi informasi. (3) kebutuhan konsumsi setiap produk

hortikultura umumnya bersifat dinamis akibat beragamnya jenis produk yang dikonsumsi,

yang saling bersubstitusi satu sama lain. Konsekuensinya adalah jika produk hortikultura

local kalah bersaing dengan produk impor dalam kualitas organoleptic (rasa, penampilan,

tekstur, aroma, dan seterusnya) maka produk hortikultura yang diproduksi secara local

dapat tergusur oleh produk impor.

Oleh karena itu globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang

sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian kedepan.

Dikatakan memberikan peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan

dengan dihapuskannya berbagai hambatan perdagangan antar Negara. Namun liberalisasi

perdagangan juga dapat menimbulkan masalah jika komoditas yang diproduksi secara

local tidak mampu bersaing dengan Negara lain sehingga pasar domestic semakin

dibanjiri oleh komoditas impor, yang pada gilirannya akan merugikan petani. Oleh

karena itu peningkatan daya saing merupakan tuntutan yang tak bisa dihindari dalam

pelaksanaan pembagunan pertanian dimasa yang akan datang.


BAB II
PEMBAHASAN

Potensi sub sektor hortikultura Indonesia mempunyai peran yang cukup besar dalam

pembangunan perekonomian. Namun demikian masih banyak mangalami kendala dan

masalah baik yang bersifat eksternal maupun internal. Apabila potensi, kendala, masalah dan

tantangan tersebut dikelola dengan baik, dapat menjadikan Indonesia sebagai Negara yang

dapat diperhitungkan karena memiliki daya saing yang tinggi dan sumberdaya yang mampuu

memenuhi kebutuhan pengembangan pembangunan hortikultura. Pengembangan hortikultura

hingg saat ini masih dijumpai berbagai kendala baik dari sisi penerapan regulasi, pembinaan,

kapasitas sumberdaya manusia, kelembagaan, dan teknologi. Adapun penjabaran dari setiap

permasalahan dalam pembangunan dan pengembangan hortikultura antara lain :

1. Ketersediaan Pasar

Sebagai Negara dengan jumlah penduduk lebih kurang 250 juta jiwa dan

merupakan terbesar ke-4 di dunia, maka Indonesia merupakan pangsa pasar produk

pertanian (pangan) di dunia yang sangat potensial. Sejalan dengan era globalisasi dan

pemberlakuan pasar bebas serta pertumbuhan penduduk dunia, produk hortikultura

nusantara mempunyai potensi untuk dikembangkan. Pada tahun 2015, kesepakatan

ASEAN untuk mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN yang disebut Masyarakat

Economic ASEAN (MEA) akan direalisasikan. Kesepakan MEA akan membuka peluang

bagi Indonesia untuk memperluas pangsa pasar, mendorong daya saing serta berpotensi

menyerap tenaga kerja Indonesia. Namun hal ini dilihat keadaannya banyak yang usaha

di bidang agribisnis mengalami kerugian bahkan tutup.


Hal ini dikarenakan masih kurangnya daya saing para pengusaha di bidang

agribisnis khususnya bidang hortikultura yang memiliki kendala dalam permodalan dan

rendahnya payung hukum. Oleh karena itu dengan adanya pasar bebas ASEAN yang

dimana seluruh Negara harus melakukan liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi,

tenaga kerja terampil secara bebas dan arus modal yang lebih bebas sebagaimana yang

telah digariskan dalam MEA maka pasar bebas ASEAN akan berdampak cukup besar

bagi semua sector perdagangan, termasuk sub sector hortikultura. Untuk itu,

pengembangan hortikultura di Indonesia harus mampu memanfaatkan momentum

pertumbuhan ini agar pada gilirannya eksis dalam perdagangan hortikultura di regional

maupun internasional.

2. Ketersediaan Tenaga Kerja

Di Indonesia sampai bulan Februari 2012 tercatat 38,23 juta jiwa (33,89%) dari

jumlah tenaga kerja nasional masih menggantungkan hidupnya pada sector pertanian.

Hingga saat Februari 2012 terdapat 2,94 juta jiwa tenaga kerja yang terserap di subsector

hortikultura (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekjen Kementan, 2013). Dari

hasil sensus pertanian 2013 diperoleh jumlah rumah tangga usaha pertanian subsector

hortikultura di Indonesia sebesar 10.602.147 rumah tangga. Dengan merujuk

pertumbuhan populasi dimasa yang akan datang sebesar 1,13% tiap tahunnya (Data

Proyeksi penduduk 2000-2025, BPS) dan semakin meningkatnya jumlah rumah tangga

usaha pertanian subsector hortikultura setiap tahunnya, hal ini memberikan sebuah

potensi ketersediaan tenaga kerja untuk mendukung pengembangan hortikultura.

Pembangunan hortikultura perlu didukung dengan SDM yang berkualitas dan

berkompeten. Namun, kapasitas SDM yang kompeten, komitmen dan berdedikasi dalam
membangun hortikultura secara utuh dan terintegrasi dirasa masih belum mampu

memberi energy pada percepatan pengembangan hortikultura di Indonesia.

Hal ini tergambarkan dari perkembangan usaha hortikultura nasional dengan pada

beberapa kurun waktu terakhir seolah tersalip dengan usaha hortikultura yang

dikembangkan dibeberapa Negara tetangga seperti Vietnam. Kapasitas dan kualitas SDM

hortikultura pada umumnya lebih baik dibanding dengan SDM sub sector pertanian lain.

Namun demikian, populasi SDM hortikultura relative kecil dibandingkan dengan

subsector pertanian lainnya. Keterbatasan ini terlihat dari kurangnya kemampuan atau

kecakapan SDM hortikultura baik aspek manajerian maupun aspek teknis dalam

pengembangan usaha hortikultura, serta relative rendahnya efisiensi usaha sehingga

kedepannya dibutuhkan kegiatan peningkatan kapabilitas dan kapasitas SDM melalui

pelatihan, magang, dan studi banding.

3. Ketersediaan Lahan Pertanian

Ketersediaan lahan untuk pertanian hortikultura sampai saat ini masih sangat kecil

jika dibandingkan dengan lahan pertanian lainnya. Jika dilihat dari potensi kedepannya

bahwa produk-produk hortikultura sangatlah menjanjikan untuk dikembangkan maka

perlu dilakukan pengembangan hortikultura. Pengembangan hortikultura dapat dilakukan

dengan pemanfaatan ketersediaan lahan yang diwujudkan melalui kegiatan intensifikasi

dan ekstensifikasi. Selain pemanfaatan ketersediaan lahan, perlu juga dilakukan

pemerataan pertumbuhan wilayah melalui agribisnis hortikultura yang tetap

mempertimbangkan pemanfaatan lokasi antara di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Di

lain pihak Indonesia mempunyai tipe lahan yang sangat beragam seperti sawah, lahan

kering, rawa, lebak, pasang surut, dan gambut. Keragaman tipe ini berpotensi untuk
dikembangkan hortikultura. Potensi sumberdaya ini harus dikelola dengan baik

pemanfaatannya untuk pengembangan hortikultura sebagai alternative peningkatan

pendapatan petani.

4. Pembinaan teknis belum optimal

Salah satu factor yang mengakibatkan rendahnya produksi, produktivitas dan

kualitas hortikultura adalah belum optimalnya pembinaan teknis. Hal ini disebabkan oleh

beberapa hal diantaranya : penelitian dan pengembangan yang masih kurang focus dalam

mengatasi berbagai permasalahn usaha tani hortikultura, keterbatasan penyediaan dan

penerapan inovasi teknologi baik prapanen maupun pascapanen, kuantitas dan kualitas

SDM yang kurang, lokasi terpencar, penerapan GAP-SOP yang masih belum konsisten,

serta karakter masyarakat petani yang belum terbuka terhadap transfer inovasi teknologi

oleh petugas Pembina sehingga diperlukan optimalisasi pembinaan teknis dimasa yang

akan datang yang harus dilakukan secara komprehensif dimana peningkatan kualitas dan

kuantitas Pembina harus didukung juga oleh inovasi teknologi melalui penelitian dan

pengembangan serta pengembangan kualitas pelaku usaha hortikultura.

5. Penerapan inovasi teknologi belum optimal

Produktivitas hortikultura sangat bergantung pada inovasi dan penerapan

teknologi. Sampai saat ini banyak petani hortikultura yang masih menggunakan teknologi

konvensional. Hal ini menyebabkan daya saing produk hortikultura masih lemah. Inovasi

teknologi sangat bergantung pada hasil penelitian dan pengembangan teknologi. Harus

diakui bahwa kegiatan litbang belum berorientasi pada kebutuhan dilapangan, pasar, dan

karakteristik masyarakat Indonesia secara spesifik pada lokasi.


Hal ini menggambarkan adanya potensi kearifan local yang terkelola dengan baik

(teknologi ramah lingkungan, teknologi vertikultur, teknologi pengairan, teknologi

perbanyakan benih dan lain sebagainya). Beberapa inovasi telah dihasilkan baik

mengadopsi dati Negara luar maupun hasil litbang dari dalam negeri namum

penerapannya masih terbatas. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain:

karakter masyarakat yang tidak mudah beradaptasi dengan hasil inovasi, ketidaksesuaian

antara hasil invovasi dibeberapa lokasi tertentu, penyebaran hasil inovasi yang terbatas,

dan lain sebagainya. Oleh karena itu pencapaian hortikultura yang berkelanjutan harus

ditopang oleh pengembangan inovasi teknologi yang tepat sasaran serta aplikatif dan

mudah diperoleh oleh khalayak umum.

6. Kelembagaan hortikultura masih lemah

Petani hortikultura masih memiliki daya tawar yang lemah dibanding pelaku

usaha lainnya. Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya fungsi atau peran dari

kelembagaan hortikultura (poktan, gapoktan, asosiasi). Kesadaran petani untuk

berkelompok masih rendah serta peran dari beberapa kelembagaan yang sudah terbentuk

(sebagai contoh : Dewan Hortikultura Nasional, Asosiasi Eksportir dan Importir,

Koperasi, dan lainnya) masih lemah. Pemerintah merupakan salah satu bagian dalam

system kelembagaan hortikultura. Peran dan fungsi pemerintah memerlukan keterpaduan

dukungan dari semua pihak (lembaga hortikultura lainnya). Oleh karena itu

pemberdayaan kelembagaan hortikultura merupakan strategi penting dalam

pembangunan hortikultura dimasa yang akan datang.

7. Payung hukum belum sepenuhnya menjadi acuan penetapan kegiatan hortikultura


Sejumlah Undang-Undang Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri

Pertanian (Permentan) yang menjadi modal penting dalam penyusunan kebijakan

pengembangan hortikultura diantaranya Undang-undang No. 12 tahun 1992 tentang

budidaya pertanian, Undang-undang No. 13 tahun 2010 tentang hortikultura. Disamping

itu, ada beberapa dokumen pendukung penyusunan kebijakan yaitu dokumen cetak biru

(Blueprint) pembangunan hortikultura 2011-2025, Strategi Induk Pembangunan Pertanian

(SIPP) 2015-2045. Keberadaan dokumen-dokumen ini memberi warna sekaligus muatan

dalam penyusunan rencana strategi pengembangan hortikultura 2015-2019. Berbagai

regulasi diatas terkait hortikultura mempunyai dampak positif dalam memberikan

perlindungan hokum terhadap aktivitas hortikultura. Namun demikian, penerapan

beberapa regulasi masih belum sepenuhnya dipatuhi oleh pelaku hortikultura. Hal ini

disebabkan antara lain belum optimalnya sosialisasi peraturan hortikultura, ketidaksiapan

pelaku usaha untuk menerapkannya, dan kurang komitmennya berbagai pihak untuk

melaksanakannya. Oleh karena itu, pengembangan hortikultura tidak boleh terlepas dari

penerapan regulasi.

8. Sistem perlindungan hortikultura

Sistem perlindungan hortikultura memiliki peran yang strategis dalam

menghasilkan produk hortikultura yang bermutu. Wujud dari system perlindungan

hortikultura antara lain : pengendalian OPT ramah lingkungan, pemanfaatan biopestisida,

pemantauan residu, pengelolaan dampak perubahan iklim (DPI), peningkatan kapasitas

kelembagaan perlindungan tanaman (sarana dan prasarana perlindungan), dan sinergisme

system perlindungan tanaman hortikultura. Oleh karena itu, pengembangan system

perlindungan hortikultura perlu mendapatkan prioritas dalam pembangunan hortikultura.


BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi

liberalisasi perdagangan peningkatan daya saing agribisnis hortikultura merupakan

tuntutan yang tak bisa dihindari untuk mendorong pertumbuhan sector agribisnis tersebut.

Secara empiric daya saing suatu sector agribisnis ditunjukkan oleh kemampuan dalam

memproduksi dan memasarkan produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen (jenis

produk menurut kuantitas, waktu, dan tempat) dan preferensi konsumen. Dengan kata

lain agribisnis yang berdaya saing adalah agribisnis yang fleksibel dalam merespon

dinamika pasar dan mampu memenuhi kebutuhan pasar secara efektif dan efisien. Pada

sector agribisnis hortikultura setiap kegiatan agribisnis mulai dari kegiatan pengadaan

sarana produksi, kegiatan produksi hingga kegiatan pemasaran dan pengolahan umumnya

dilakukan oleh pelaku agribisnis yang berbeda. Dengan kata lain struktur agribisnis

hortikultura umumnya bersifat dispersal atau tersekat-sekat (Simatupang, 1999 dalam

Irawan, 2007). Struktur agribisnis demikian kurang berdaya saing karena tiga factor,

yaitu : (1) pada agribisnis yang bersifat dispersal, tidak ada keterkaitan fungsional yang

harmonis antara setiap kegiatan agribisnis dengan kegiatan lainnya karena masing-

asimng pelaku agribisnis mengambil keputusan sendiri-sendiri dalam menjalankan

kegiatan usahanya. (2) terbentuknya marjin ganda sehingga ongkos produksi dan

pemasaran yang harus dibayar konsumen menjadi lebih mahal, dengan kata lain,
agribisnis yang bersangkutan tidak efisien dalam memenuhi kebutuhan pasar. (3) tidak

adanya kesetaraan posisi tawar antara petani dan pelaku agribisnis lainnya sehingga

menyebabkan petani sulit mendapatkan harga pasar dan sebagian besar nilai tambah

agribisnis bukan dinikmati oleh petani.

Selama ini pembangunan agribisnis hortikultura terkesan lebih difokuskan pada

upaya peningkatan produksi melalui inovasi teknologi, yang belum tentu kondusif bagi

peningkatan daya saing agribisnis, bahkan cenderung hanya menguntungkan pelaku

agribisnis diluar petani. Dalam rangka meningkatkan daya saing agribisnis hortikultura

maka kegiatan pembangunan hortikultura kedepan seyogyanya lebih diarahkan pada tiga

upaya, yaitu:

(1) Menciptakan keterkaitan fungsional yang lebih harmonis diantara para pelaku agribisnis

dalam rangka meningkatkan kemampuan agribisnis merespon perubahan pasar secara

efektif baik untuk kuantitas, kualitas, maupun kontinyuitas pasokan disetiap segmen

pasar. Upaya ini dapat ditempuh dengan mengembangkan unit-unit agribisnis yang

terintegrasi di daerah sentra produksi dan setiap unit agribisnis sedikitnya melibatkan

petani, pedagang sarana produksi dan pedagang hortikultura.

(2) Menciptakan stabilitas harga produk hortikultura. Upaya ini perlu ditempuh untuk

memperkecil peluang terbentuknya marjin ganda yang bersumber dari transmisi harga

yang bersifat asimetris dari pedagang hortikultura kepada petani.

(3) Mengembangkan fasilitas pasca panen pada setiap unit agribisnis. Upaya ini perlu

ditempuh karena posisi tawar petani yang lemah seringkali disebabkan oleh

ketidakmampuan petani untuk mempertahankan kesegaran produk akibat tidak adanya

fasilitas pasca panen yang memadai. Selain itu disetiap unit agribisnis dapat pula
dikembangkan industry pengolahan produk hortikultura dalam rangka memperluas

jangkauan pasar produk yang dihasilkan petani.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2015. Potensi, Permasalahan, dan Tantangan Pembangunan Hortikultura. Rencana

Strategis Dirjen Hrotikultura 2015-2019. https://www.hortikultura.pertanian.go.id diakses

pada 03 Oktober 2020.

Irfansyah, 2014. Prospek Pengembangan Hortikultura di Indonesia. Jurusan Ilmu Budidaya

Pertanian Prodi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar.

https://www.academia.edu/8418511/Prospek_Pengembangan_Hortikultura diakses pada 03

Oktober 2020.

Irawan, Bambang. 2007. Agribisnis Hortikultura:Peluang dan Tantangan dalam Era

Perdagangan Bebas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Bogor. https://www.media.neliti.com/media/publications/43875-ID-agribisnis-hrotikultura-

peluang-dan-tantangan-dalam-era-perdagangan-bebas.pdf diakses pada 03 Oktober 2020.

Anda mungkin juga menyukai