Anda di halaman 1dari 8

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertanian adalah suatu jenis kegiatan produksi yang berlandaskan proses
pertumbuhan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pertanian dalam arti sempit
dinamakan pertanian rakyat sedangkan pertanian luas meliputi pertanian dalam
arti sempit, kehutanan, peterakan perkebunan dan perikanan. Secara garis besar,
pengertian pertanian dapat diringkas menjadi empat komponen yang tidak
terpisahkan. Keempat komponen tersebut meliputi: (1) proses produksi, (2) petani
atau pengusaha pertanian, (3) tanah tempat usaha, dan (4) usaha pertanian
(Soetriono. Dkk, 2006).
Sektor pertanian di Indonesia memegang peranan penting. Hal ini dapat
dilihat dari sebagian besar penduduk Indonesia yang hidup dan bekerja pada
sektor pertanian. Pada 2015 jumlah orang yang bekerja di sektor pertanian
sebanyak 37,75 juta orang. Namun sebenarnya angka tersebut menunjukkan
adanya penurunan sebesar 3,13 persen. Pada Agustus 2014, jumlah pekerja di
sektor pertanian sebesar 38,97 juta orang. Meskipun begitu, sektor pertanian tetap
menjadi salah satu penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja di Indonesia.
Pertumbuhan sektor pertanian dalam dasawarsa terakhir tidak pernah melewati
batas tertinggi 5% padahal pertumbuhan penduduk masih cukup tinggi 1,45%.
Nilai tambah di sektor pertanian menjadi semakin kecil karena memikul beban
terbesar penyediaan lapangan kerja terutama pada tanaman padi dan tanaman
bahan makanan lain (Sutrisno, 2008).
Pembangunan pertanian mempunyai arti penting dalam rangka memacu
perkembangan industri dan ekspor hasil-hasil pertanian, meningkatkan
kesempatan kerja dan pendapatan petani. Pembangunan pertanian ditekankan pada
efisiensi sistem produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil pertanian agar tercapai
tujuan tersebut (Haryanto, 1995).
Pembangunan pertanian pada hakekatnya adalah pendayagunaan secara
optimal sumberdaya pertanian dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan,
yaitu: (1) membangun SDM aparatur professional, petani mandiri dan
2

kelembagaan pertanian yang kokoh; (2) meningkatkan pemanfaatan sumberdaya


pertanian secara berkelanjutan; (3) memantapkan ketahanan dan keamanan
pangan; (4) meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian; (5)
menumbuh kembangkan usaha pertanian yang akan memacu aktivitas ekonomi
perdesaan; dan (6) membangun sistem manajemen pembangunan pertanian yang
berpihak kepada petani (Apriyantono, 2005).
Visi pembangunan pertanian ke depan adalah terwujudnya pertanian yang
modern, tangguh dan efisien menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera, dengan
misi: (1) menggerakkan berbagai upaya untuk memanfaatkan sumber daya
pertanian secara optimal dan menerapkan teknologi tepat serta spesifik lokasi
dalam rangka membangun pertanian yang berdaya saing tinggi dan berkelanjutan,
(2) memberdayakan masyarakat pertanian menuju masyarakat agribisnis yang
mandiri, maju dan sejahtera. Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut maka dua
fokus kebijakan yang ditempuh adalah: (1) mengembangkan sistem ketahanan
pangan yang berbasis pada kemampuan produksi, keragaman sumberdaya bahan
pangan serta kelembagaan dan budaya lokal, (2) pengembangan agribisnis yang
berorientasi global dengan membangun keunggulan kompetitif produk-produk
daerah berdasarkan kompetensi serta keunggulan komparatif sumber daya lahan
dan sumber daya manusia daerah bersangkutan (Wibowo, 2000).
Sektor pertanian yang harus dibangun adalah berwujud pertanian modern
yang tangguh, efisien, dan dikelola secara profesional serta memiliki keunggulan
memenangkan persaingan di pasar global baik untuk tujuan pemenuhan
kebutuhan dalam negeri maupun ekspor (sumber devisa). Perekonomian
Indonesia semakin terintegrasi ke dalam perokonomian dunia di era globalisasi
menuntut pengembangan usahatani dan produk pertanian siap menghadapi
persaingan terbuka yang semakin ketat agar dapat bersaing dengan pesaing-
pesaing luar negeri. Indonesia sebenarnya mempunyai kesempatan untuk
memanfaatkan peluang-peluang pasar produk agribisnis internasional.
Dilihat dari sisi penawaran Indonesia memiliki peluang yang besar untuk
menjadi negara agribisnis terbesar. Terdapat tiga hal yang mendasari argumen
tersebut. Pertama, agribisnis Indonesia masih berada pada fase bertumbuh dan
3

masih bisa terus tumbuh dimasa yang akan datang. Kedua, Indonesia memiliki
sumberdaya alam yang merupakan sumber utama dalam pengembangan agribisnis
yakni lahan luas dan subur, sinar matahari 3 melimpah, plasma nutfah yang
beragam. Ketiga, beberapa negara pesaing Indonesia seperti Amerika Serikat,
Kanada, Malaysia, dan Thailand yang secara tradisional menguasai agribisnis
internasional, di masa mendatang akan mengalami kesulitan unruk
mengembangkan agribisnis, terutama karena permasalahan lahan. Berdasarkan
kondisi tersebut secara relatif Indonesia dapat menjadi produsen terbesar untuk
beberapa komoditas agribisnis terpenting, seperti komoditas perkebunan, pangan,
dan perikanan (Daryanto, 2010).
Sektor pertanian termasuk didalamnya perkebunan mempunyai berbagai
potensi pengembangan agribisnis yang baik dan menguntungkan. Potensi
pengembangan komoditi perkebunan di Indonesia sangat besar seperti potensi
pengembangan komoditi perkebunan lainnya, tetapi dalam perkembangannya
terdapat beberapa permasalahna dan strategi pembangunan dan kelembagaan.
Pemerintah perlu menetapkan kebijakantidak langsung untuk menciptakan
konsepsi yang kondusif. Kebijakan yang secara langsung mendorong
perkembangan agribisnis dalam aspek: kemitraan, keuangan, permasalahan
teknologi dan informasi sangat diperlukan (Rachbini, 2000).
Pertanian di Indonesia pada tahun 2014 luas arealnya mencapai 39.5 Juta
Ha dengan pembagian Lahan Sawah 8.1 Juta Ha, Tegal/Kebun 11.9 Juta Ha,
Ladang 5.25 Juta Ha, dan, Lahan yang sementara tidak diusahakan 14.25 Juta Ha.
Namun pada tahun 2015 luas areal pertanian secara keseluruhan mengalami
perluasan 700 ribu Ha (Badan Pusat Statistik, 2015).
Komoditas pertanian mencakup tanaman pertanian musiman. Dikatakan
musiman karena rata-rata tanaman pertanian di Indonesia adalah jenis tanaman
yang tidak tumbuh atau panen sepanjang tahun dan tergantung dengan musim.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan komoditas pertanian antara
lain adalah produktivitas tanaman yang belum optimal, kualitas produk belum
memenuhi standar perdagangan, proses diversifikasi (vertikal dan horizontal)
belum memadai, dan peran kelembagaan yang masih lemah. Upaya peningkatan
4

produktivitas dilakukan melalui perbaikan teknik budidaya, peningkatan mutu


melalui pengembangan penerapan pasca panen dan pengolahan, 4 pengembangan
diversifikasi dan pengembangan pemasaran. Produk perlu terus diupayakan
dengan didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana produksi dan teknologi
siap pakai di tingkat pertanian (Saragih, 2000).
Dalam rangka memperkuat Indonesia dalam persaingan era pasar bebas
pada abad ke-21, salah satu produk unggulan ekspor nonmigas berpotensi untuk
dikembangkan adalah edamame. Edamame merupakan kedelai spesial karena
dipanen pada saat kedelai masih muda dan berwarna hijau. Edamame ini sangat
populer di negara Cina, Korea, Jepang, dan selanjutnya mulai dikenal di Amerika
Serikat, Thailand, dan Indonesia dengan rasa yang sangat unik dan sangat tinggi
nilai gizinya sebagai sumber vitamin, protein, mineral, energi dan serat. Istilah
edamame ini berasal dari bahasa Jepang dan kebiasaan orang Jepang adalah
merebus polong yang masih muda selama beberapa menit sebagai camilan pada
saat minum bir atau ditambahkan sebagai sayur soup (gojiru dalam bahasa
jepang), dicampur dengan sayur salad, atau diproses untuk snack.
Salah satu tantangan yang dihadapi dalam upaya khusus percepatan
produksi kedelai melalui upaya pengembangan varietas baru berupa kedelai
edamame adalah usaha penyebaran inovasi baru dalam bidang teknologi produksi.
Hal ini dipandang perlu, karena sifat varietas komoditi kedelai umumnya
mempunyai kendala resiko produksi yang besar, di luar resiko pasar yang juga
cukup tinggi yang umumnya harus menjadi tanggung jawab petani. Kondisi ini
diperparah dengan kwalitas sumberdaya manusia petani belum siap
mengantisipasi dua kendala tersebut. Sebab, umumnya sebagian besar petani
berpendidikan rendah dan masih menggunakan teknologi tradisional. Pada
dasarnya perilaku petani sangat dipengaruhi oleh pengetahuan kecakapan serta
sikap mental petani itu sendiri (Kartasapoetra,1988:21). Produktivitas sektor
pertanian di Indonesia yang masih rendah, umumnya diakibatkan kekurangan
prasarana pertanian, cara bercocok tanam yang digunakan sangat tradisional, input
modern yang digunakan sangat terbatas, tingkat pendidikan dan pengetahuan
petani sangat rendah (Sukirno, 1985:157).
5

Fenotipe tanaman edamame lebih besar dibandingkan dengan tanaman


kedelai biji/minyak, begitu pula bentuk biji dan polong. Kedelai sayur ini sangat
potensial sebagai tanaman alternatif bagi petani sebagai sumber pendapatan baru
karena pemasarannya sangat prospektif baik untuk konsumsi dalam negeri
(khususnya turis Jepang yang berada di Indonesia) maupun untuk keperluan
ekspor (Adisarwanto dkk, 1998).
Pengembangan edamame sebenarnya didorong oleh kepedulian swasta
terhadap program pemerintah dalam upaya menekan impor kedelai yang terus
membengkak. Hal ini utamanya disebabkan oleh rendahnya produksi kedelai
nasional yang rata-rata hanya sekitar 1 ton/ha. Inovasi edamame untuk kedelai
nasional nantinya diharapkan dapat meningkatkan produksi kedelai nasional.
Secara ekonomi kedelai edamame mempunyai peluang pasar yang cukup
besar, baik pemintaan pasar domestik maupun luar negeri. Tingginya permintaan
pasar terhadap kedelai edamame menjadi daya tarik para petani untuk
meningkatkan terus produksi kedelai edamame. Permintaan negara Jepang
terhadap kedelai edamame asal Indonesia terus meningkat (Zuprizal 2003).
Menurut Benziger dan Shanmugasundaram (1995) Jepang merupakan konsumen
dan pasar utama edamame baik dalam bentuk segar maupun beku. Total
kebutuhan pasar edamame beku di Jepang berkisar antara 150.000-
160.000ton/tahun. Kebutuhan Jepang terhadap edamame tidak dapat dipenuhi
oleh produksi dalam negerinya, sehingga untuk memenuhi kebutuhannya, Jepang
mengimpor edamame dari berbagai negara. Indonesia merupakan salah satu
negara pengekspor kedelai edamame ke Jepang. Pada tahun 2014 Indonesia
memasok pasar edamame Jepang sebesar 3.300 ton edamame segar beku yaitu
setara dengan 0,96% kebutuhan impor edamame Jepang. Impor Jepang akan
edamame beku terus meningkat dari tahun ke tahunnya, mencapai 60.000-70.000
ton/tahun.
Kedelai tetap dipandang penting oleh pemerintah dan telah dimasukkan
dalam program pangan nasional sejak PELITA IV hinggga periode sekarang.
Alasannya tidak sulit untuk dilihat, karena komoditas ini mengadung protein
nabati yang tinggi, sumber lemak, vitamin dan mineral sehingga kalau tersedia
6

cukup di dalam negeri akan mampu memperbaiki gizi masyarakat (Amang, dkk,
1986:1). Secara teknis budidaya pertanian faktor-faktor yang menyebabkan
rendahnya produksi kedelai di Indonesia adalah kekeringan, banjir, hujan terlalu
besar pada saat panen, serangan hama banyaknya gulma dan adanya pandangan
petani bahwa tanaman kedelai merupakan tanaman sampingan (Suprapto, 1995:2)
Pertumbuhan permintaan yang pesat baik untuk konsumsi manusia
maupun untuk pakan ternak di satu sisi, sedangkan sisi lain pertumbuhan produksi
kedelai dalam negeri belum mampu memenuhi pertumbuhan permintaannya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2015 konsumsi masyarakat
mancapai 2,54 juta ton biji kering kedelai yang terdiri dari konsumsi langsung
penduduk sebesar 2 juta ton biji kering kedelai, pakan ternak sebesar 3.000 ton
biji kering kedelai, benih sebesar 39.000 ton biji kering kedelai, industri non
makanan sebesar 446.000 ton biji kering kedelai, dan susu sebesar 49.000 ton biji
kering kedelai. Dengan produksi mencapai hanya menjadi 998.000 ton biji kering
kedelai, maka produksi kedelai tahun ini diprediksi defisit sekitar 1,54 juta ton biji
kering kedelai maka untuk menutupi kekurangan tersebut pemerintah harus
melakukan impor (Agustina, 2015).
Indonesia telah menjadi pengimpor kedelai sejak tahun 1975, bahkan
volume impor kedelai tersebut cenderung meningkat. Apabila tidak ada usaha-
usaha meningkatkan produksi dengan memanfaatkan potensi alam yang ada, maka
volume impor tersebut akan terus berkembang (Simatupang dan Pasandaran,
1998:51).
Kabupaten Jember merupakan salah satu daerah penghasil kedelai yang
potensial dengan luas areal penanaman kedelai 10.550 hektare atau 25,72 % dari
areal pertanian di Kabupaten Jember (Badan Pusat Statistik, 2015), dibanding
Jawa Timur luas areal tanaman kedelai kabupaten Jember adalah 6,89 % sedang
kontribusi produksi kedelai Kabupaten Jember terhadap Jawa Timur 5,44 %.
Kabupaten Jember merupakan produsen kedelai terbesar nomor enam setelah
Kabupaten Banyuwangi, Pasuruan, Lamongan, Sampang lima besar jumlah
merupakan sentra produksi kedelai diperkirakan akan terus bertambah karena
7

semakin banyakya petani yang menyediakan sebagian lahannya untuk ditanami


kedelai.
Untuk mengurangi impor kedelai maka Indonesia berusaha untuk
meningkatkan produksi kedelai, salah satu caranya adalah dengan inovasi
teknologi baru berupa inovasi varietas baru yakni kedelai edamame melalui
intensifikasi khusus. Dengan adanya intensifikasi khusus dan inovasi budidaya
kedelai tersebut diharapkan produksi kedelai tersebut meningkat sehingga mampu
mengurangi defisit neraca perdagangan komoditas kedelai Indonesia. Hal ini
penting selain merupakan upaya mengurangi ketergantungan impor kedelai bagi
agroindustri yang berkaitan dengan kedelai juga tidak kalah penting adalah untuk
meningkatkan program ketahanan pangan.
Komoditas edamame beku sangat berpotensi untuk dikembangkan dan
diperluas luasan tanamnya di Jember sampai dengan mencapai ± 3.000 hektar,
karena letak Jember yang berada di dataran rendah dan lereng gunung antara
Gunung Argopuro dan Gunung Raung dengan jenis tanah yang sangat
mendukung, yaitu sebagian besar adalah berjenis Entisols dan Inceptisols.
Disamping itu Jember juga merupakan wilayah potensial tanaman kedelai (±
50.000 ha di tanami kedelai setiap tahunnya) yang di antaranya sangat sesuai
untuk budidaya edamame. Berdasarkan uraian ini permasalahan yang perlu untuk
dijawab adalah apakah usaha tani kedelai edamame efisien ? Hal ini perlu
mengingat persaingan penggunaan lahan semakin besar. Bekaitan dengan
persaingan penggunaan lahan tersebut juga perlu diketahui pengaruh berbagai
faktor produksi yang digunakan untuk budidaya terhadap produksi, serta faktor-
faktor yang mempengaruhi pendapatan petani kedelai edamame.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang yang ada maka dapat ditarik beberapa permasalahan,
yaitu sebagai berikut :
1. Apakah usahatani kedelai edamame efisien?
8

2. Bagaimana pengaruh faktor produksi luas lahan, bibit, pupuk, obat-obatan,


dan tenaga kerja terhadap tingkat produksi kedelai edamame di Kabupaten
Jember?

1.3 Tujuan dan Manfaat


1.3.1 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Untuk mengetahui tingkat efisiensi usahatani kedelai edamame di Kabupaten
Jember.
2. Untuk mengetahui pengaruh faktor produksi lahan, bibit, pupuk, obat-
obatan, tenaga kerja terhadap tingkat produksi kedelai edamame di
Kabupaten Jember.

1.3.2 Manfaat
Hasil penelitian dan penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat
memberikan manfaat atau kegunaan yang besar dalam hal :
1. Sebagai informasi bagi instansi terkait untuk membuat kebijakan baru
guna mengembangkan dan meningkatkan komoditi kedelai di Kabupaten
Jember khususnya dan daerah lain penghasil kedelai pada umumnya;
2. Sebagai bahan acuan bagi peneliti lain yang mengadakan penelitian dalam
masalah yang sejenis.

Anda mungkin juga menyukai