Anda di halaman 1dari 18

36

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian


4.1.1 Keadaan Geografis
Kabupaten Jember merupakan salah satu kabupaten yang termasuk dalam
Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Jember terbagi menjadi 31 kecamatan dan 248
Desa atau kelurahan, serta memiliki 76 pulau-pulau kecil. Kabupaten Jember
memiliki wilayah seluas 3.293,34 km2.
Secara astronomi Kabupaten Jember terletak pada posisi 6027’29” sampai
dengan 7014’35” Bujur Timur dan 7059’6” sampai 8033’56” Lintang Selatan.
Secara geografis Kabupaten Jember berbatasan langsung dengan beberpa wilayah
disekitarnya. Adapun batas-batasnya antara lain:
Sebelah Utara : Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Probolinggo
Sebelah Selatan : Samudra Indonesia
Sebelah Barat : Kabupaten Lumajang
Sebelah Timur : Kabupaten Banyuwangi
Suatu wilayah dapat digambarkan berdasarkan keadaan geografisnya.
Kabupaten Jember berdasarkan kemiringan dan ketinggian tempatnya. Luas
wilayah Kabupaten Jember berdasarkan kemiringannya dapat dilihat pada tabel
4.1 dan luas wilayahnya berdasarkan ketinggian tempatnya pada tabel 2.
Tabel 4.1 Keadaan Geografi Berdasarkan Kemiringan Tahun 2014
No Kemiringan Luas Wilayah (Km2) Persentase (%)
1 00 - 20 1.205,47 36,6
0 0
2 2 - 15 673,76 20,5
3 150 - 400 384,03 11,7
4 >400 1.030,07 31,30
Jumlah 3.293,34 100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember (2015).

Tabel 4.1 tentang keadaan geografi kabupaten Jember berdasarkan


kemiringan menunjukan bahwa luas wilayah di Kabupaten Jember yang memiliki
kemiringan 00 – 20 seluas 1.205,47 km2 atau sebesar 36,60% daerah dengan
37

kemiringan 20 – 150 seluas 673,76 km2 atau 20,50% daerah dengan kemiringan
150 - 400 seluas 384 km2 atau 11,70% dan daerah dengan kemiringan lebih dari
400 seluas 1.030,07 km2 atau 31,30% dari total luasan wilayah.
Tabel 4.2 Keadaan Geografi Berdasarkan Ketinggian Tempat Tahun 2014
Ketinggian Tempat  Luas wilayah (km2)  Persentase (%) 
0 – 25 591,20 18,00
25 – 100 681,68 20,70
100 – 500 1.234,08 37,70
0 – 1000 520,43 15,80
1000 – 2005 225,62 6,90
>2005 31,33 1,00
Jumlah 3.293,34 100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember (2015).
Berdasarkan Tabel 4.2 tentang keadaan geografi berdasarkan ketinggian
tempat menunjukan bahwa luas wilayah di Kabupaten Jember yang memiliki
ketinggian 0 – 25 meter diatas permukaan laut seluas 591,20 km 2 atau sebesar
18,00% wilayah dengan ketinggian 25 – 100 meter seluas 681, 68 km 2 atau
sebesar 20,70% wilayah dengan ketinggian 100-500 meter seluas 1.234,08 km 2
atau sebesar 37,70% wilayah dengan ketinggian 500 – 1000 meter seluas 520,43
km2 atau sebesar 15,80% wilayah dengan ketinggian 1000 – 2005 meter seluas
225,62 km2 atau sebesar 6,90% dan wilayah dengan ketinggian lebih dari 2005
meter seluas 31,33 km2 atau sebesar 1,0% dari total luas wilayah Kabupaten
Jember.

4.1.2 Distribusi Penggunaan Lahan di Kabupaten Jember


Kabupaten Jember memiliki luas wilayah seluas 3.293,34 km2 yang
terbagi menjadi 31 kecamatan. Berdasarkan penggunaan lahan, luas wilayah
Kabupaten Jember terbagi menjadi beberapa fungsi seperti halnya sebagai
pemukiman, tanah sawah tegal, hutan tambak, perkebunan, rawa, semak/padang
rumput. Tanah rusak/tandus dan lain-lain. Dilihat dari segi penggunaan lahan
menunjukan bahwa peranan sektor pertanian di Kabupaten Jember cukup kuat, hal
ini juga tak lepas dari status Kabupaten Jember sebagai salah satu wilayah
penghasil sumber pangan dengan luasan sawah 86.985,11 Ha. Penggunaan lahan
38

tertinggi dikabupaten Jember masih dominan kawasan hutan dengan luas


121.039,61 Ha atau sebesar 36,75% hal ini dikarenakan di Kabupaten Jember
terdapat sebagian dari kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Luasan penggunaan
lahan terendah adalah kawasan rawa yang hanya seluas 35,62 Ha atau 0,01% dari
seluruh luas wilayah Kabupaten Jember. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel 4.3
dibawah ini:
Tabel 4.3 Penggunaan Lahan di Kabupaten Jember Tahun 2014
 Penggunaan Lahan  Luas (Ha)  Persentase (%)
Pemukiman 38.348,28 9,52
Tanah Sawah 86.985,11 26,41
Tegal 43.755,93 13,29
Hutan 121.039,61 36,75
Tambak 358,66 0,11
Perkebunan 34.429,15 10,45
Rawa 35,62 0,01
Semak/ Padang Rumput 289,06 0,09
Tanah Rusak/ Tandus 1.509,26 0,46
Lain-lain 9.583,26 2,91
Jumlah  336.333,94  100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember (2015).

4.1.3 Keaadaan Penduduk


a. Keadaan Penduduk berdasarkan Agama
Tabel 4.4 Keadaan Penduduk berdasarkan Agama tahun 2014
 Agama Jumlah Penduduk (Jiwa) Persentase (%) 
Islam 2.288.106 98,10
Katolik 19.274 0,80
Kristen Protestan 6.754 0,30
Hindu 1.757 0,10
Budha 1.049 0,04
Lain-lain 15.813 0,70
 Jumlah    100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember (2015).
Tabel 4.4 menunjukan jumlah penduduk Kabupaten Jember berdasarkan
agama yang dianut. Mayoritas penduduk Kabupaten Jember beragama Islam
dengan persentase 98,10% atau 2.288.106 jiwa dan penduduk agama terendah
adalah Budha dengan persentase 0,04% atau 1.049 jiwa.
39

b. Keadaan Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin


Penduduk adalah orang yang mendiami suatu wilayah. Penduduk
merupakan salah satu sasaran dalam pembangunan sosial. Upaya untuk
mendukung keberhasilan pembangunan disuatu wilayah adalah dengan
mengetahui keadaan penduduk, karena penduduk disetiap wilayah memiliki
karakterisitik yang berbeda-beda. Berdasarkan sensus tahun 2010, jumlah
penduduk sebesar 708/km2. Kepadatan penduduk merupakan hasil perbandingan
jumlah penduduk Kabupaten Jember dengan luas wilayah Kabupaten Jember.
Jumlah penduduk Kabupaten Jember terdiri dari penduduk laki-laki dan
perempuan dengan jumlah yang berbeda. Adapun perbandingan tersebut dapat
dilihat dalam tabel 4.5.
Tabel 4.5 Keadaan Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2014
 Jenis Kelamin Jumlah Penduduk (Jiwa)  Persentase (%) 
Laki-laki 1.146.856 49,16
Perempuan 1.185.870 50,84
 Jumlah  2.332.726  100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember (2015)
Berdasarkan tabel jenis kelamin menunjukkan bahwa pada tahun 2013
jumlah penduduk perempuan lebih besar jika dibandingkan laki-laki. Penduduk
perempuan memiliki jumlah sebesar 1.185.870 jiwa atau sekitar 50,84% dari total
penduduk Kabupaten Jember, sedangkan jumlah penduduk laki-laki sebesar
1.146.856 jiwa atau sekitar 49,16% dari total penduduk Kabupaten Jember.
c. Keadaan Penduduk berdasarkan Umur
Umur merupakan salah satu indikator yang dapat menggambarkan
keadaan penduduk Kabupaten Jember. Jumlah penduduk Kabupaten Jember
adalah 2.332.726 jiwa yang terbagi menjadi 14 interval. Keadaan penduduk secara
terperinci dapat dilihat pada tabel 4.6.
Usia produktif merupakan usia penduduk yang memiliki kemampuan untuk
melaksanakan aktivitas rutin. Usia produktif berada pada usia 15 tahun hingga 59
tahun. Penduduk yang produktif akan membantu dalam kelancaran segi
perekonomian dan pembangunan dalam suatu wilayah.
40

Penduduk Kabupaten Jember yang termasuk dalam usia produktif adalah


sebesar 1.484.639 jiwa dan yang tidak termasuk dalam usia produktif yakni anak-
anak dan lansia sebesar 848.087 jiwa. Besarnya jumlah usia produktif ini
memberikan banyak peluang dan sekaligus memberikan dampak yang cukup
potensial. Tingginya usia produktif di Kabupaten Jember akan terus meningkatkan
perekonomian hingga titik maksimal sehingga percepata pertumbuhan ekonomi di
Kabupaten Jember dapat tercapai, sedangkan dampak dari tinggi usia produktif
adalah pemenuhan kebutuhan harus tercukupi dan simultan khususnya kebutuhan
primer dan sekunder seperti pemenuhan kebutuhan pangan, papan dan hiburan.
Kedua kebutuhan ini akan saling bersaing dalam penggunaan lahan khususnya
didaerah kawasan hinterland yang saat ini mayoritas masih digunakan sebagai
lahan budidaya padi.
Tabel 4.6 Keadaan Penduduk berdasarkan Umur Tahun 2014
Umur (tahun)   Jumlah Penduduk (jiwa)  Persentase (%)
0–4 185.884 8,00
5–9 201.245 8,60
10 – 14 206.608 8,90
15 – 19 189.909 8,10
20 – 24 173.999 7,50
25 – 29 184.578 7,90
30 – 34 172.505 7,40
35 – 39 185.705 8,00
40 – 44 175.341 7,50
45 – 49 158.137 6,70
50 – 54 137.394 5,90
55 – 59 107.071 4,60
60 – 64 87.481 3,80
>65 166.869 7,20
 Jumlah 2.332.726 100,00 
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember (2015).
d. Keadaan Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian
Mata pencaharian merupakan salah satu sumber pendapatan bagi
penduduk. Penduduk di Kabupaten Jember memiliki perbedaan dalam jenis
pekerjaan. Terdapat beberapa jenis pekerjaan yang terbagi atas beberapa lapangan
41

usaha yakni antara lain bidang pertanian, penggalian, industri pengolahan, listrik
dan air, bangunan, perdagangan rumah makan dan hotel, angkutan dan
komunikasi, keuangan dan jasa-jasa. Adapun keadaan jumlah penduduk
berdasarkan lapangan usahanya dijelaskan dalam tabel 4.7 dibawah ini.
Tabel 4.7 Keadaaan Penduduk berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 2014
 Jenis Lapangan Usaha  Jumlah Penduduk (jiwa) Persentase (%) 
Pertanian 587.546 50,61
Pertambangan dan Galian;
Listrik, Gas dan Air 10.575 0,91
Industri Pengolahan 93.573 8,06
Bangunan 71.285 6,14
Perdagangan, Rumah
Makan dan Hotel 223.673 19,27
Angkutan dan Komunikasi 35.142 3,03
Keuangan dan Jasa-jasa 139.147 11,99
 Jumlah 1.160.941   100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember (2015)

4.2 Edamame Kabupaten Jember


4.2.1 Pemasaran Edamame

Jepang merupakan konsumen dan pasar terbesar edamame di dunia. Dari


total kebutuhan domestik edamame yang berkisar 150.000 - 160.000 ton per
tahunnyo sebanyak 50.000 - 60.000 ton "terpaksa" di impor dari negara-negara
produsen edamame dunia, oleh karena produksi edamame dalam negeri hanya
100.000 ton per tahun (PT. Mitratani Dua Tujuh, 2010).

Bergs dan sayuran merupakan komposisi utama makan orang Jepang.


Namun sejak tahun 1975 konsumsi beras secara berangsur-angsur semakin
menurun karena adanya pengaruh budaya makanan "Barat" (Westernization).
Meskipun kebiasaan makan orang Jepang terpengaruh oleh makanan "Barat"
tingkat konsumsi sayuran di Jepang apabila dihitung per kapita pertahunnya
adalah mencopai 110 kg. Harga edamame di pasar bebas di Jepang cukup tinggi.
Sampai saat ini edamame masih menempati urutan sebagai salah satu makanan
snack praktis yang bergensi dan cukup mahal harganya di Jepang. Apabila
42

pasokan stock bulanan swalayan melebihi 500 ton di pasar Tokyo, maka harga
tertinggi hanya akan berkisar US $ 4.00 per kg. Sesuai derigan hukum ekonomi,
dalam hal pasokan edamame berkurang, maka harga edamame akan meningkat
drastis. Sedangkan tingkat harga edamame akan lebih tinggi lagi, apabila pasokan
bulanan keswalayan di pasar Tokyo kurang dari 500 ton, khususnya dari bulan
Nopember hingga Mei (Pusdatin,2013).

Sebelum eskpor dilakukan oleh negara produsen edamame, perlu kiranya


para eksportir mengetahui situasi dan waktu pasokan edamame yang di hasilkan
oleh para petani lokal di Jepang. Kebutuhan edamame yang diimpor oleh Jepang
adalah sangat banyak pada bulan Desember hingga Juni, sehingga peluang
pasokan eksportir tertinggi akan terjadi pada bulan Maret hingga Mei.

Perilaku pasar ini di sebabkan karena pada bulan Nopember hingga Maret
para petani Jepang tidak dapat menanam edamame di lapangan secara terbuka.
Kalau toh mereka menanamnya, terpaksa ditakukan di dalam rumah plastik
(greenhouse). Tampak bahwa peluang ekspor edamame dengan kemungkinan
mendapat respon pasar yang baik di pasar Jepang adalah apabila dilakukan pada
bulan Desember hingga bulan Mei, meskipun kegiatan ekspor dapat saja di
lakukan sepanjang musim (Hiroshi Nakano, 2010).

4.2.2 Pola Kemitraan Antara Petani Edamame dengan PT Mitra Tani Dua
Tujuh
Kemitraan adalah jalinan kerjasama usaha yang saling menguntungkan
antara petani dengan Perusahaan Mitra disertai dengan pembinaan dan
pengembangan oleh Perusahaan Mitra, sehingga saling memerlukan,
menguntungkan dan memperkuat. Kemitraan sebagaimana dimaksud UU No. 9
Tahun 1995, adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau
dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah
atau usaha besar dengan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan.
43

Petani sebagai golongan yang lemah dalam suatu sistem kemitraan,


diharapkan akan memiliki permodalan, pasar, dan kemampuan teknologi yang
kuat. Kerjasama antara perusahaan dengan petani ini telah melalui proses yang
telah disepakati dan disetujui bersama tentunya dengan pertimbangan kedua belah
pihak. Dalam suatu kemitraan, kedua belah pihak yang bermitra harus saling
mengisi dan tidak saling menjatuhkan. Kemitraan akan dapat berlangsung lama,
ketika seluruh pihak yang terlibat dalam kemitraan merasa diuntungkan dengan
adanya kerjasama tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan antara peneliti dengan
petani responden dan penanggung jawab lapangan, maka didapatkan data tentang
bagaimana pola kemitraan yang dilakukan oleh petani kapas dengan PT Mitra
Tani yang dapat tersaji pada gambar 4.1

Kerjasama
Petani Edamame PT Mitra Tani

 Lahan  Sarana
 Tenaga Kerja Produksi
 Bimbingan
 Jaminan
Pasar

Gambar 4.1 Pola Kemitraan antara Petani dengan PT Mitra Tani

Berdasarkan gambar 4.1, maka dapat dilihat bahwa petani sebagai mitra
harus menyediakan lahan sendiri dan tenaga kerja. Sarana produksi telah
disediakan oleh perusahaan dalam bentuk kredit, dan juga telah menyediakan
44

benih edamame yang siap untuk ditanam. Perusahaan menanggung semua biaya
angkut yang dikeluarkan dan juga memberikan bimbingan serta memberikan
jaminan kepastian pasar kepada petani edamame di Kabupaten Jember. Petani
kapas dapat membeli benih yang disediakan oleh PT Mitra Tani dengan harga Rp
25.000 per kg. Seluruh pelunasan biaya sarana produksi secara langsung akan
dipotong pada saat PT Mitra Tani membeli hasil produksi edamame dari petani.
Petani tidak boleh menjual hasil kapasnya kepada pihak lain, seluruh hasil
usahataninya harus dijual kepada PT Mitra Tani sesuai dengan yang telah
disepakati. Jaminan pasar oleh PT Mitra Tani sebagai perusahaan mitra, sangat
membantu petani untuk dapat menjual seluruh hasil edamame.

Selama proses penanaman dan pemeliharaan hingga pasca panen, petani


edamame diberikan bimbingan oleh pihak PT Mitra Tani supaya kualitas dari
kapas tersebut sesuai dengan yang diinginkan PT Mitra Tani. Dengan adanya
bimbingan tersebut petani jarang mengalami kegagalan panen, karena selalu di
pantau oleh koordinator lapangan. Sehingga apabila ada gangguan/serangan hama
pada tanaman edamame maka akan segera dapat diatasi. Hasil dari usahatani
edamame tersebut langsung dibeli oleh pihak PT Mitra Tani dengan harga yang
telah disepakati yaitu sebesar Rp 6.000 per kg. Petani dalam sistem kemitraan ini
menyediakan lahan dan tenaga kerja. Sedangkan pihak PT Mitra Tani sebagai
pihak pengusaha menyediakan sarana produksi, biaya angkut, bimbingan dari
budidaya hingga pasca panen, dan yang paling penting yaitu memberikan jaminan
kepastian pasar kepada petani.

Dalam kerjasama ini masih terdapat kelemahan, diantaranya sebagai berikut :

1. Perusahaan mitra cenderung monopsoni sehingga memperkecil


keuntungan yang diperoleh pengusaha kecil mitranya. Semua hasil
usahatani kapas yang dihasilkan petani dijual kepada pihak PT Mitra Tani
dengan harga yang telah ditetapkan, petani tidak diijinkan menjual hasil
usahataninya kepada pihak lain. Sehingga petani tidak dapat mencari
45

pembeli lain yang berkemungkinan akan membeli hasil kapasnya lebih


tinggi dari PT Mitra Tani.
2. Belum ada pihak ketiga yang berperan efektif dalam memecahkan
permasalahan di atas.

Pelaksanaan kemitraan usahatani edamame antara petani dengan PT Mitra


Tani tidak menggunakan surat perjanjian secara tertulis, kedua belah pihak hanya
mengandalkan rasa saling percaya diantara keduanya. Sehingga permasalahan
yang dihadapi oleh kedua belah pihak yang melakukan kemitraan hanya dapat
diselesaikan melalui jalan kekeluargaan, salah satunya dengan musyawarah
bersama.

Kerjasama antara petani dengan PT Mitra Tani sangat banyak membantu


petani untuk dapat memproduksi edamame dengan kualitas yang baik. Semakin
tinggi kualitas edamame yang dihasilkan, maka akan semakin tinggi hasil
produksinya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan petani
edamame.

4.3 Analisis Data


4.3.1 Analisis Efisiensi Usaha Tani

Nilai efisiensi biaya produksi usahatani kedelai edamame di Kabupaten


Jember disajikan pada Tabel 4.16.

Tabel 4.16 : Efesiensi Biaya Produksi Usahatani Kedelai Edamame


di Kabupaten Jember Tahun 2016

 Keterangan  Jumlah
Pendapatan Kotor 33.600.552,65
Biaya Produksi 12.969.358,51
 R/C Ratio  2.59
(Sumber: Lampiran B, diolah)

Tabel 4.16 menunjukkan bahwa nilai R/C ratio usahatani kedelai edamame
sebesar 2.59. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan biaya produksi komoditas
kedelai edamame sudah efisien. Jenis kedelai edamame ini memiliki tingkat
46

produktivitas yang tinggi, dimana rata-rata perhektar sekitar 6.24 ton.


Dibandingkan dengan kedelai lokal dimana tingkat produktivitasnya hanya 0.85
ton perhektar.

4.3.2 Hasil Estimasi model Ordinary Least Square (OLS)

Analisis regresi merupakan alat analisis yang digunakan untuk melihat


hubungan keterkaitan antara variabel yang dijelaskan (dependent variabel) dengan
satu atau lebih variabel penjelas (independent variabel). Pengujian dengan metode
OLS akan menjelaskan hasil dari pengujian secara parsial setiap variabel penjelas
yang ditunjukkan oleh hasil uji-t, pengujian secara simultan pada seluruh variabel
penjelas yang ditunjukkan oleh hasil uji-F, dan hasil uji adjusted R2 unt uk melihat
besarnya persentase pengaruh seluruh variabel penjelas terhadap variabel terikat.

Hasil uji analisis regresi linear berganda ditunjukan pada tabel 4.8
dibawah ini:

4.8 Hasil OLS Produksi Kedelai Edamame Kabupaten Jember

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C 0.289128 0.048319 5.983786 0.0000


TK 0.007804 0.008431 0.925540 0.3607
BIBIT 0.003068 0.004981 0.615872 0.5417
PUPUK -0.006261 0.010060 -0.622320 0.5375
OBAT 0.147720 0.014373 10.27763 0.0000

R-squared 0.988769    Mean dependent var 2.855714


Adjusted R-squared 0.987555    S.D. dependent var 0.426575
S.E. of regression 0.047588    Akaike info criterion -3.141121
Sum squared resid 0.083792    Schwarz criterion -2.934255
Log likelihood 70.96354    Hannan-Quinn criter. -3.065297
F-statistic 814.3515    Durbin-Watson stat 1.998903
Prob(F-statistic) 0.000000

*) signifikan pada α = 5%
(Sumber: Lampiran C, diolah)

Hasil estimasi pada Tabel 4.8 di atas menunjukkan bahwa variabel obat
perhektar signifikan mempengaruhi besarnya tingkat produksi kedelai edamame
dengan nilai probabilitas t-hitung sebesar 0,0000 dimana nilai tersebut lebih kecil
47

dari α (α = 5% = 0,05). Berbeda dengan variabel tenaga kerja, bibit perluas lahan
dan pupuk perluas lahan yang belum memberikan kontribusi secara signifikan
terhadap hasil produksi edamame dengan probabilitas masing-masing sebesar
0,3607, 0,5417 dan 0,5375 yang lebih besar dari dari α (α = 5% = 0,05). Dengan
demikian hasil perhitungan menunjukkan nilai probabilitas t-hitung yang tidak
memenuhi prosedur suatu hasil perhitungan. Hal ini berarti dalam analisis tersebut
setiap pergerakan variabel tenaga kerja, bibit perluas lahan dan pupukperluas
lahan belum memberikan pengaruh terhadap perubahan variabel dependen hasil
produksi kedelai edamame. Menurut Supranto (2005:116) bahwa suatu nilai
dikatakan signifikan yaitu jika suatu prosedur untuk suatu hasil perhitungan
berdasarkan sampel tepat, untuk memeriksa benar tidaknya suatu hipotesis.

Selain itu secara keseluruhan (parsial) keempat variabel tersebut


berpengaruh secara signifikan terhadap hasil produksi kedelai edamame
Kabupaten Jember yang dapat dilihat dari nilai probabilitas F-hitung yaitu 0,0000
lebih kecil dari pada α (α = 5% = 0,05). Selain itu hasil estimasi juga
menunjukkan bahwa nilai adjusted R2 sebesar 0,987893 yang menjelaskan bahwa
seluruh variabel bebas sebesar 98,7893%. mempengaruhi tingkat produksi kedelai
edamame, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar variabel
tersebut.

4.3.2 Uji Asumsi Klasik


Suatu model penelitian dikatakan baik secara ekonometrik apabila telah
melalui uji asumsi klasik, sebagaimana telah dijelaskan dalam metode penelitian
pada bab 3. Uji asumsi klasik merupakan syarat pengujian pada model untuk
mengetahui apakah model tersebut sudah memenuhi BLUE (Best, Linier,
Unbiased, Estimator). Pada penelitian ini, uji asumsi klasik yang digunakan
adalah uji linearitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas,
dan uji normalitas. Adapun hasil pengujian dari kelima asumsi klasik yang harus
terpenuhi ditampilkan pada Tabel 4.9 di bawah ini:

Tabel 4.9 Uji Asumsi Klasik


48

Output Probabilita
Uji Diagnosis Test Kesimpulan
Hitung s (α=5%)
Ramsery
Linearitas 4.827201 0.0345 Memenuhi Linier
Reset Test
Uji Korelasi Hasil < Tidak terjadi
Multikolinearitas
Parsial 0,8 Multikolinearitas
Durbin- Tidak terjadi
Autokorelasi 1.983348 0.9597
Watson Autokorelasi
Tidak terjadi
Heteroskedastisitas White Test 0.9583
Heteroskedastisitas
Jarque_Berr Berdistribusi
Normalitas 5.086315 0.078618
a Test Normal
(Sumber: Lampiran D, diolah)

Berdasarkan uji asumsi klasik data yang digunakan berdistribusi normal


dimana nilai probabilitasnya sebesar 0,053255 > α = 5%, dan hasil test Jarque-
Berra sebesar 5.865333 dan model dalam penelitian ini memenuhi linier. Pada
model penelitian ini juga terhindar dari multikolinearitas, heteroskedastisitas dan
autokorelasi. Uji multikolinearitas dilakukan penyembuhan dengan first
difference, dimana nilai probabilitasnya tidak lebih dari 0,8 sehingga tidak terjadi
multikolinearitas. Begitu juga dengan nilai probabilitas dari heteroskedastisitas
sebesar 0.3178 > α = 5% dan nilai probabilitas autokorelasi berdasarkan uji
Durbin-Watson nilai sebesar 0,5115.
1. Uji Linieritas
Estimasi model dengan uji linearitas digunakan untuk mengetahui hubungan
linieritas model penelitian. Pada Umumnya, uji linearitas menggunakan
estimasi melalui uji Ramsey Reset Test dimana hasil estimasi akan
menunjukkan apakah model bersifat linier atau tidak. Hasil pengujian dapat
dilihat pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Hasil Pengujian Linieritas Ramsey Reset Test


Value Df Probability
t-statistik  2.197089  36  0.0345
49

F-statistik  4.827201 (1, 36)  0.0345


Likelihood ratio  5.284844  1  0.0215
(Sumber: Lampiran D1, diolah)
Berdasarkan hasil uji linieritas dengan menggunakan Ramsey Reset Test
menunjukkan hasil probabilitas < α, yaitu 0,0345 < 0,05 yang berarti
memenuhi linear.
2. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabel
yang menjelaskan dalam model regresi. Nilai multikolinearitas yang besar
akan memiliki kesalahan standar yang besar pula, sehingga koefisien tidak
dapat ditaksir dengan ketetapan yang tinggi. Apabila nilai probabilitasnya
setiap variabel independen tidak lebih dari 0,8, maka tidak terjadi
multikolinearitas. Hasil pengujian multikolinearitas tersebut, dapat dilihat
pada Tabel 4.11 berikut ini:
Tabel 4.11 Uji Multikolinieritas
TK BIBIT PUPUK OBAT
TK 1 0.717090 0.690793 -0.371597
BIBIT 0.717090 1 0.955543 -0.599791
PUPUK 0.690793 0.955543 1 -0.478481
OBAT -0.371597 -0.599791 -0.478481 1
(Sumber: Lampiran D2, diolah)
Berdasarkan Tabel 4.11 di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi
multikolinearitas karena nilai probabilitas variabelnya ada yang melebihi
0,8. Oleh karena itu, dilakukan penyembuhan dengan metode first
difference. Adapun hasil regresinya dapat dilihat pada Tabel 4.12 berikut:

Tabel 4.12 Uji Multikolinieritas Setelah First Difference


  TK BIBIT DPUPUK OBAT
TK 1 0.758744 -0.228518 -0.373424
BIBIT 0.758744 1 -0.129920 -0.610506
50

DPUPUK -0.228518 -0.129920 1 0.027603


OBAT -0.373424 -0.610506 0.027603 1
(Sumber: Lampiran D2, diolah)
Berdasarkan hasil regresi tersebut, dapat diketahui besarnya nilai
probabilitas setiap variabel independen. Hasil penyembuhan tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat multikolinearitas dalam model karena
nilai probabilitas variabel independennya tidak lebih dari 0,8 sehingga
terbebas dari multikolinieritas.
3. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi dilakukan dengan uji Durbin-Watson, yang bertujuan untuk
mengetahui gejala adanya korelasi antar-anggota serangkaian observasi.
Apabila nilai dW berada diantara 1,54 dan 2,46, maka tidak ada
autokorelasi. Akan tetapi, apabila nilai dW berada diantara 0 hingga 1,10
berarti data mengandung autokorelasi positif. Melalui uji Durbin-Watson
dapat disimpulkan bahwa data tidak mengandung autokorelasi karena nilai
dW yaitu 1,9833 berada di daerah tidak terdapat autokorelasi. Uji
autokorelasi juga bisa dilihat dari Probabilitas Chi-Cqauare nya, apabila
nilai lebih dari α = 5% maka tidak terjadi auto korelasi. Hasil pengujian
tersebut, dapat dilihat pada Tabel 4.13 berikut:
Tabel 4.13 Uji Autokorelasi LM Test
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.034311     Prob. F(2,35) 0.9663
Obs*R-squared 0.082185     Prob. Chi-Square(2) 0.9597
(Sumber: Lampiran D3, diolah)
Berdasarkan uji autokorelasi LM Test dapat dilihat nilai dari Probabilitas
Chi-Squarenya 0,9597 > α = 5%, maka tidak terjadi autokorelasi.
4. Uji Heterokedastisitas
Adanya masalah heteroskedastisitas akan menyebabkan hasil estimasi
menjadi tidak bisa dan tidak efisien meskipun konsisten. Pengujian
heteroskedastisitas ini dapat dilakukan dengan menggunakan
heteroskedasticity test white. Melalui uji white tersebut, dapat diketahui
besarnya nilai probabilitas, yaitu sebesar 0.9583 > α (0,05), sehingga tidak
51

ada heteroskedastisitas. Hasil pengujian pada model penelitian ini dapat


dilihat pada tabel 4.14 berikut ini:
Tabel 4.14 Uji Heterokedastisitas White Test
Heteroskedasticity Test: White
F-statistic 0.410542     Prob. F(13,28) 0.9583
Obs*R-squared 7.371496     Prob. Chi-Square(13) 0.9194
Scaled explained SS 12.50262     Prob. Chi-Square(13) 0.5660
(Sumber: Lampiran D4, diolah)

5. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah faktor pengganggu telah
berdistribusi normal atau tidak. Salah satu uji normalitas yang dapat
digunakan adalah Uji Jarque-Bera (Widarjono, 2009). Syarat normalitas
dengan membandingkan probabilitas JB-nya dimana apabila nilai
probabilitas JB > α (5%) maka residualnya berdistribusi normal.
Berdasarkan pengujian menunjukkan hasil probabilitas > α yaitu 0,078618 >
0,05 yang berarti berdistribusi normal. Hasil pengujian tersebut dapat dilihat
pada Tabel 4.15 berikut ini:
4.15 Uji Normalitas Jarque-Bera
Jarque-Bera 5.086315
Probability 0.078618
(Sumber: Lampiran D5, diolah)

4.4 Pembahasan
4.4.1 Efisisensi Usahatani Edamame di Kabupaten Jember
Analisis usahatani yang dilakukan adalah bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar pendapatan yang diterima oleh petani edamame di Kabupaten
Jember pada musim tanam tahun 2016. Efisiensi usahatani menunjukkan
kemampuan usahatani suatu komoditas pertanian dalam menciptakan pendapatan
petani. Efisiensi yang tinggi menunjukkan tingginya nilai ekonomi suatu
komoditas. Efisiensi usahatani kedelai edamame dapat diketahui dengan analisa
R/C ratio, yaitu dengan menggunakan perbandingan total penerimaan dengan total
biaya produksi (Darsono,2008).
52

Total biaya rata-rata yang dikeluarkan petani dalam satu periode panen
sebesar Rp 12.969.358,51. Biaya usahatani yang dikeluarkan oleh petani tersebut
berasal dari biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel yang dikeluarkan petani
antara lain biaya tenaga kerja, biaya pupuk seperti pupuk Urea, TSP, Kcl, dan ZK.
Biaya variabel lain yang harus dikeluarkan oleh petani yaitu biaya benih perkilo
sebesar Rp 25.000 dan obat-obatan seperti Konfidor, Metindo dan Sumo.
Sedangkan biaya tetap yang dikeluarkan oleh petani yaitu hanya biaya pajak untuk
lahan milik sendiri.

Berdasarkan perhitungan rata-rata pendapatan petani edamame sebesar Rp


33.600.552,65. Pendapatan tersebut didapatkan dari perhitungan penerimaan
dikurangi biaya produksi. Besarnya pendapatan tersebut cukup memberikan
keuntugan bagi petani. Rata-rata nilai R/C ratio untuk masingmasing petani
edamame adalah 2.59. Nilai R/C ratio sebesar 2.59 dapat diartikan bahwa dengan
menggunakan biaya produksi sebesar Rp. 1,- akan diperoleh penerimaan sebesar
Rp. 2.59. Dengan hasil tersebut maka dapat dikatakan tingkat pendapatan petani
edamame cukup tinggi karena keuntungan yang diperoleh melebihi setengah dari
biaya produksi yang dikeluarkan. Selama proses budidaya hingga pasca panen
petani diberikan bimbingan dan selalu dipantau oleh petugas, sehingga apabila
terdapat gangguan/serangan hama pada tanaman edamame akan segera dapat
diatasi, dengan begitu kualitas edamame dan hasil produksi dari tanaman
edamame cukup bagus sehingga tingkat pendapatan petani cukup tinggi.

4.4.2 Pengaruh Variabel Independen Tenaga Kerja, Bibit per Hektar Luas
Lahan, Pupuk dan Obat terhadap Produksi Edamame

Hasil analisis data menggunakan metode analisis Ordinary Least Square


(OLS) terdapat empat variabel independen yang digunakan. Berdasarkan alat
53

analisis OLS, hasil produksi kedelai edamame kabupaten Jember dipengaruhi oleh
tenaga kerja, bibit per hektar lahan, pupuk dan obat berkaitan dengan teori
produksi Cobb Douglas. Berdasarkan teori produksi Cobb Douglas hasil produksi
dipengaruhi oleh labor yaitu tenaga kerja dan kapital yaitu bibit perhektar lahan,
pupuk dan obat (Putong, 2015).

Hasil pengolahan data pada penelitian menunjukan berbagai hasil yang


menggambarkan perilaku atau pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen dalam beberapa periode panen kedepan. Hasil estimasi data juga
menjelaskan kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel
dependen. Hasil estimasi satu periode panen kedepan memperlihatkan apabila
dilakukan penambahan (input) setiap faktor produksi akan memberikan
penambahan atau kenaikan terhadap hasil produksi kedelai edamame. Namun
pada periode panen seterusnya hasil produksi kembali meningkat tetapi tidak
mencapai maksimum dan stagnan. Hasil ini sesuai dengan the law deminishing of
return dimana tahap panen pertama ini sudah mencapai hasil produksi yang
optimum, apabila dilakukan penambahan input akan mengalami kenaikan hasil
produksi hingga titik maksimum dan pada akhirnya akan mencapai titik dimana
penambahan faktor produksi (input) akan berpengaruh negatif (inefisiensi faktor
produksi)

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Dina Tobing (2009) bahwa semua
sarana produksi berpengaruh nyata terhadap total produksi yaitu luas lahan, benih,
NPK, dan tenaga kerja. Selain itu berpendapat hal yang sama seperti Ria Aswita
Pohan (2008), Ana dan Rikawan (2011) yang menyatakan bahwa analisis dengan
fungsi produksi Cobb Douglas menunjukan total produksi dipengaruhi oleh
tenaga kerja (labor) dan modal (kapital) seperti luas lahan, pupuk, dan pestisida.

Anda mungkin juga menyukai