Bismillahirrahmairrahim
PERATURAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT ISLAM NAMIRA
NOMOR : 08/PER/AKR/DIR/RSI-N/VIII/2018
TENTANG
KEBIJAKAN PELAYANAN DAN ASUHAN PASIEN
DI RUMAH SAKIT ISLAM NAMIRA
Direktur Rumah Sakit Islam Namira dengan senantiasa memohon bimbingan, lindungan
dan ridho Allah SWT :
MENIMBANG : a. bahwa dalam upaya meningkatkan mutu dan keselamatan
pelayanan pasien di Rumah Sakit Islam Namira, maka diperlukan
kebijakan Pelayanan dan Asuhan Pasien;
: b. bahwa agar kegiatan pelayanan pasien yang seragam di Rumah
Sakit Islam Namira dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya
kebijakan Direktur Rumah Sakit Islam Namira sebagai landasan
bagi penyelenggaraan pelayanan pasien di Rumah Sakit Islam
Namira;
: c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
butir a dan b perlu ditetapkan dengan peraturan direktur Rumah
Sakit Islam Namira;
MENGINGAT : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan;
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit;
4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2009
tentang Pelayanan Publik;
5. Peraturan Menteri KesehatanRepublik Indonesia nomor 11 tahun
2017 tentang Keselamatan Pasien;
6. Kepmenkes RI No 983/Menkes/SK/XI/1992 tentang pedoman
Organisasi Rumah sakitUmum;
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK;02;03/1/0347/2013 tentang Penetapan Kelas Rumah Sakit
Islam Namira Pancor NTB;
8. Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Kabupaten Lombok Timur Nomor
2049/503/PM.II.50.A8/04/2018 tanggal 12 April 2018 tentang Izin
Operasional Rumah Sakit;
9. Keputusan Menteri Kesehatan RI (di tanda tangani Dirjen BUK
Akmal Taher an Menkes RI) No.HK.02.03/i/0347/2013 tanggal 19
Februari 2013 tentang Penetapan Kelas Rumah Sakit Umum
Islam Namira Provinsi Nusa Tenggara Barat (sebagai Rumah
Sakit Umum Kelas D);
10. Fatwa DSN-MUI Nomor : 107/DSN-MUI/X/2016 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Berdasarkan Prinsip
Syariah;
11. Keputusan Ketua Pengurus Yayasan Rumah Sakit Namira
Pancor Nomor 005/SK/YRSPN/VIII/2015 tentang Pemberlakuan
struktur Organisasi Rumah Sakit Islam Namira.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : KEBIJAKAN PELAYANAN DAN ASUHAN PASIEN DI RUMAH
SAKIT ISLAM NAMIRA
KESATU : Kebijakan pelayanan dan asuhan pasien di Rumah Sakit Islam
Namira sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini
KEDUA : Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pelayanan dan
asuhan pasien di Rumah Sakit Islam Namira dilaksanakan oleh
Direktur Rumah Sakit Islam Namira;
KETIGA : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dan apabila
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini
akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya
G. Komunikasi Efektif
1. Komunikasi efektif adalah suatu cara untuk menyampaikan informasi mengenai
suatu kondisi pasien, baik kondisi hasil pemeriksaan penunjang yang kritis,
serah terima pasien antar unit dan PPA, peralatan,tindakan, permintaan
kepada seseorang (dokter, perawat, kepala bagian, penanggung jawab, atasan,
bawahan, unit terkait), dengan petugas laboratorium/radiologi, maupun antar
PPA lainnya melalui telepon maupun secara lisan yang dilakukan secara
akurat, lengkap, dimengerti, tidak duplikasi dan tepat kepada penerima
informasi sehingga dapat mengurangi kesalahan dan untuk meningkatkan
keselamatan pasien;
2. Sebelum melakukan pelaporan siapkan data yang akan dilaporkan dengan
lengkap;
3. Sebutkan identitas secara lengkap saat melakukan komunikasi;
4. Untuk instruksi lisan atau melalui telepon:
a. Penerima instruksi harus mencatat dengan lengkap instruksi yang diterima
(Tulis)di form rekam medis Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi;
b. Penerima instruksi membacakan kembali instruksi yang diterima (Baca)
Pada keadaan Emergency penerima instruksi langsung mengulang kembali
instruksi dengan lengkap;
c. Instruksi atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi ulang oleh pemberi instruksi
atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan (Konfirmasi);
d. Apabila instruksi direrima secara tidak langsung harus melakukan konfirmasi
ulang dengan menelpon kembali pemberi instruksi;
e. Penerima instruksi mencatat tanggal dan jam intruksi yang diberikan,
kemudian ditanda tangani oleh penerima dan pemberi instruksi serta
distempel;
f. Untuk instruksi melalui telepon;
1) Pemberi instruksi memverifikasi instruksi yang sudah diberikan dengan
memberi stempel dan tanda tangan serta nama yang jelas pada kolom
yang tersedia di catatan terintegrasi selambat-lambatnya dalam waktu
1x24 jam;
2) Apabila dokter pemberi instruksi berhalangan (cuti, sakit) maka yang
melakukan verifikasi dan menandatangani catatan pesan yang ditulis oleh
penerima instruksi adalah dokter pengganti yang ditunjuk oleh dokter
DPJP (pemberi instruksi) selambat-lambatnya dalam waktu 1x24 jam;
3) Jika dokter pengganti belum datang dalam waktu 1x 24 jam maka
verifikasi dilakukan oleh dokter jaga;
g. Bila instruksi mengandung nama obat NORUM (Nama Obat Rupa Ucapan
Mirip), maka nama obat NORUM harus dieja satu persatu hurufnya;
h. Di unit pelayanan harus tersedia daftar obat NORUM;
5. Untuk instruksi tertulis:
a. Instruksi ditulis dengan lengkap dan jelas;
b. Dicatat tanggal dan jam intruksi diberikan, ditandatangani oleh pemberi
instruksi;
c. Penerima intruksi membaca kembali instruksi dengan baik;
d. Apabila ada hal-hal yang kurang jelas, penerima instruksi harus melakukan
konfirmasi ulang kepada pemberi instruksi;
6. Pada saat melaporkan pasien baru kepada dokter DPJP maka berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. Komunikasikan kepada pasien mengenai jam visite dokter DPJP 1 kali
perhari;
b. Apabila jangka waktu 1x24 jam dokter DPJP belum bisa datang, maka
pasien bisa divisite oleh dokter spesialis yang lain atau oleh dokter jaga
dengan persetujuan dokter DPJP yang pertama dan pasien;
7. Gunakan standar SBAR saat melaporkan pasien, saat perawat melaporkan
pasien kedokter, saat serah terima perawat/dokter antar shif, saat serah terima
perawat antar unit dan serah terima antar DPJP;
8. Hasil pemeriksaan yang termasuk dalam kategori kritis harus segera dilaporkan
kepada dokter yang meminta dilakukan pemeriksaan dengan teknik SBAR dan
TbaK;
9. Dalam pelaporan hasil pemeriksaan kritis, dari petugas laboratorium/radiologi
mendokumentasikan hasil tersebut dalam buku pemeriksaan kritis unitnya,
dan perawat/bidan penerima informasi menulis secara lengkap hasil
pemeriksaaan dalam form CPPT rekam medis pasien, penerima membaca
kembali hasil pemeriksaaan, dan pengirim pesan memberi konfirmasi atas apa
yang telah ditulis secara akurat;
10. Pelaporan hasil pemeriksaan kritis harus dilakukan dalam kurun waktu
maksimal kurang dari 5 menit dari keluarnya hasil pemeriksaan;
11. Daftar hasil pemeriksaan yang termasuk dalam kategori kritis harus tersedia
disetiap unit pelayanan, meliputi hasil : pemeriksaaan laboratorium;
pemeriksaan radiologi; prosedur ultrasonografi; magnetic resonance imaging;
pemeriksaaan diagnostik yang dilakukan di tempat tidur pasien, seperti hasil
tanda-tanda vital;
12. Serah terima asuhan pasien (hand over) antar shift di dalam rumah sakit
didokumentasikan dalam form CPPT dalam bentuk SOAP, dan bubuhkan
stempel serah terima pasien (handover), isikantanda tangan dan nama jelas
petugas yang menyerahkan dan petugas yang menerima pasien, sedangkan
serah terima/transfer pasien antar unitdidokumentasian sesuai format transfer
pasien isikan tanda tangan dan nama jelas petugas yang menyerahkan dan
petugas yang menerima pasien;
13. Serah terima asuhan pasien (hand over) terjadi: antar profesional pemberi
asuhan (PPA) seperti antara staf medis dan staf medis, antara staf medis dan
staf keperawatan atau dengan staf klinis lainnya, atau antara PPA dan PPA
lainnya pada saat pertukaran sif (shift); antar berbagai tingkat layanan di dalam
rumah sakit yang sama seperti jika pasien dipindah dari unit intensif ke unit
perawatan atau dari unit darurat ke kamar operasi; dandari unit rawat inap ke
unit layanan diagnostik atau unit tindakan seperti radiologi;
14. Setiap petugas yang menemukan adanya insiden keselamatan pasien yang
berhubungan dengan komunikasi efektif yang bisa menimbulkan atau hampir
menimbulkan atau sudah menimbulkan cidera pada pasien harus segera
melaporkan kepada petugas yang berwenang di ruang rawat/departemen
tersebut, kemudian melengkapi laporan tersebut;
15. Pastikan keamanan dan keselamatan pasien dan tindakan pencegahan cidera
telah dilakukan
16. Pelaporan insiden keselamatan pasien sesuai prosedur, pelaporan kepada
kepala ruang dan kepada Tim Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (PMKPRS)
17. Pembuatan laporan insiden menggunakan formulir pelaporan insiden
keselamatan pasien dan melaporkan ke PMKPRS dalam waktu maksimal 2x24
jam, khusus kejadian sentinel maksimal 1 x 24 jam;
J. Pelayanan Resusitasi
1. Pelayanan Resusitasi yang seragam harus dapat dilaksanakan di setiap area
dalam 24 jam;
2. Setiap petugas Rumah Sakit harus mampu melakukan Bantuan Hidup Dasar
(BHD) yang dibuktikan dengan adanya sertifikat BHD setelah melakukan
pelatihan berkala minimal 2 tahun sekali;
3. Obat-obatan dan peralatan Code Blue dalam trolly emergency harus selalu
dalam keadaan siap pakai & terpelihara dengan adanya bukti control
pengecekan setiap hari termasuk hari libur oleh perawat
4. Peralatan dalam trolly emergency harus selalu dilakukan kalibrasi secara
berkala sesuai dengan program Rumah Sakit;
5. Pelayanan di unit harus selalu berorientasi kepada mutu & keselamatan pasien;
6. Semua petugas unit wajib memiliki izin sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
7. Dalam melaksanakan tugasnya setiap petugas wajib mematuhi ketentuan
dalam K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
8. Setiap petugas harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur
operasional yang berlaku, etika profesi, etikket, dan menghormati hak pasien;
9. Penyediaan tenaga harus mengacu kepada pola ketenagaan;
10. Setiap akhir kegiatan pelayanan resusitasi harus dilakukan pendokumentasian
dan evaluasi;
11. Untuk melaksanakan koordinasi dan evaluasi wajib dilaksanakan rapat rutin
bulanan minimal satu bulan sekali oleh Tim Pokja pelayanan pasien yang telah
ditunjuk;
12. Setiap orang yang bisa melakukan tindakan BHD, dalam hal ini petugas medis
atau petugas lain yang telah memiliki sertifikat dapat melakukan tindakan BHD
13. Ada 4 kunci dalam melakukan resusitasi yaitu: Segera mengenali pasien
dengan gangguan nafas dan sirkulasi, aktifkan Code Blue, segera lakukan
Resusitasi jantung Paru (RJP) sampai bantuan datang, dan lakukan tindakan
terintegrasi setelah pasien dinyatakan henti jantung / "Cardiac Arrest"(Sumber:
2010 America Heart Association Guidelines for CPR and ECG, 2010 Handbook
of Emergency Cardiovascular Care For Healthcare Provider)
14. Setiap kegawatdaruratan henti nafas dan atau henti jantung pada pasien yang
memungkinkan untuk dapat ditolong ditangani dengan mengaktifkan "Code Blue"
15. Untuk pasien yang dinyatakan "Do Not Resuscitation" (DNR) dinyatakan dengan
pengisian Informed Consent IDNR oleh keluarga yang diketahui oleh DPJP dan
kemudian pasien ditandai dengan gelang ungu;
16. Petugas medis (perawat, dokter, dan spesialis) penemu pertama pasien
ancaman gangguan napas dan sirkulasi dapat melakukan tindakan bantuan
hidup dasar (BHD), kemudian petugas lainnya mengaktifkan "Code Blue"
17. Jika kejadian henti nafas / henti jantung di temukan oleh tenaga medis maka
dilakukan resusitai jantung paru dengan komresi dada dan dan ventilasi, namu
jika yang menemukan pasien adalah tenaga non medis/tidak berkompeten maka
yang dilakukan adalah pijat jantung secara terus menerus sampai petugas code
blue dating di tempat kejaddian;
18. Pengaktifan Code Blue di Rumah Sakit Islam Namira dilakukan sesuai dengan
situasi dan kondisi di area tempat kejadian; Secara umum dapat dilakukan
dengan : Menghubungi dokter yang sedang berjaga di IGD; dan selanjutnya
dokter jaga yang akan memberi respon dengan memberitahu tim Code Blue
untuk segera bergegas ke tempat kejadian;
19. Apabila tindakan Code Blue berhasil maka penanganan pasien selanjutnya
diserahkan kepada Dokter umum atau dokter spesialis Rumah Sakit Islam
Namira yang memiliki kompetensi penanganan resusitasi jantung paru;
Q. Pelayanan Kemoterapi
1. Untuk pasien-pasien kanker yang membutuhkan kemoterapi, maka pasien harus
dirujuk ke RS rujukan yang memiliki fasilitas kemoterapi yang lengkap,
dikarenakan RS Islam Namira Tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk
melakukan pelayanan kemoterapi;
R. Manajemen Nyeri
1. Setiap pasien yang teridentifikasi nyeri harus di assesmen awal di igd yang
dilakukan oleh dokter/perawat
2. Penatalaksanaan nyeri dimulai dengan pengkajian nyeri termasuk menentukan
skala intensitas nyeri dan evaluasinya;
3. Penatalaksanaan / menejemen nyeri ini harus disesuaikan dengan asesmen
awal derajat nyerinya, sehingga dokter dapat memberikan obat yang tepat;
4. Setiap petugas kesehatan ( dokter dan perawat / bidan ) yang berhubungan
dengan penderita rawat inap yang mengalami nyeri ( termasuk pasca tindakan
invasiv / operasi ) harus melakukan penatalaksanaan nyeri secara adekuat;
5. Pengetahuan pengukuran nyeri harus dipahami dan menjadi perhatian petugas
kesehatan rumah sakit islam namira;
6. Pengukuran nyeri harus dilakukan secara berulang untuk memastikan
kenyamanan pasien dan membantu kesembuhan pasien;;
7. Penatalaksanaan nyeri di rumah sakit islam namira, mencakup non-farmakologis
danfarmakologis;
8. Melakukan pelatihan staf rs islam namira tentang menegmen nyeri
9. Kebijakan dan prosedur ini dipakai untuk mengupayakan tercapainya konsistensi
dalam segala situasi dan lokasi;