Dengan mengucapkan puji dan syujur ke hadirat Allah SWT, atas segala
rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat
pada waktunya. Shalawat serta sala semoga tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kita selaku umatnya.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang saya
hadapi. Namun, saya menyadari bahwa dalam kelancaran penyusunan makalah ini
tidak lain dan tidak bukan berkat bantuan dari berbagai pihak, sehingga kendala-
kendala yang saya hadapi dapat teratasi.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pihak yang membutuhkan, khususnya bagi saya, sehingga tujuan yang diharapkan
dapat tercapai, Aamiin.
Meutia Rahmadani.
DAFTAR ISI
JUDUL …………………………………………………………...……………...……… i
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 PEMBAHASAN
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………..………………………...……………. 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejarah Korea Selatan sebagai suatu negara yang pernah menjadi wilayah
kekuasaan Jepang membuat hubungan Korea Selatan dengan Jepang kerap
menemukan hambatan. Mayoritas publik Korea Selatan masih menganggap Jepang
belum mempertanggungjawabkan dengan tuntas semua kejahatan yang terjadi
selama masa pendudukan Jepang terhadap Korea Selatan. Hal ini diperparah
dengan keengganan Jepang untuk mengakui kesalahan yang dilakukan oleh
pihaknya selama masa pendudukan tersebut (Rozman & Lee, 2006, p. 781).
Hal utama yang menjadi tuntutan dari publik Korea Selatan diantaranya
adalah permintaan maaf dan pertanggungjawaban legal dari pemerintah Jepang
terhadap eksploitasi manusia yang terjadi selama masa penjajahan, yang mencakup
kerja paksa, wajib militer, dan juga comfort women (Yi, 2002, p. 634). Comfort
women atau yang dalam bahasa Jepang disebut dengan Jūgun ianfu adalah istilah
yang digunakan untuk wanita wanita yang menjadi pelayan seks bagi tentara Jepang
selama masa pendudukan Jepang di berbagai wilayah hingga akhir Perang Dunia II.
Secara umum para wanita ini dapat dikatakan berada dalam perbudakan selama
menjadi comfort women (Lynch, 2018). Permasalahan historis yang belum
terselesaikan secara tuntas ini menjadifaktor yang berpengaruh terhadap pola
kebijakan kerjasama yang diambil oleh Korea Selatan terhadap Jepang, terutama
dalam bidang militer.
Hingga tahun 2016 Korea Selatan tidak memiliki aliansi militer formal secara
langsung dengan Jepang. Kerjasama militer antara kedua negara hanya terjalin
melalui hubungan trilateral dengan Amerika Serikat (Murphy, 2016). Salah satu
studi kasus yang dapat menggambarkan bagaimana isu historis dapat merubah pola
kebijakan yang diambil Korea Selatan adalah kesepakatan General Security of
Military Information Agreement antara kedua negara. Perjanjian ini merupakan
bentuk awal dari kerjasama antara Korea Selatan dan Jepang yang kemudian akan
menentukan langkah langkah yang harus diambil untuk menjaga informasi informasi
yang berkaitan dengan pertahanan kedua negara sesuai dengan undang undang
masing masing (Ministry of National Defense Republic of Korea, 2016). Perjanjian
ini dibuat sebagai respon dari peningkatan ancaman yang datang dari Korea Utara
dengan percobaan nuklirnya. Melalui perjanjian ini kedua negara dapat
meningkatkan pertahanan dan efek deterrence Jepang dan Korea Selatan dengan
saling berbagi informasi terkait ancaman dari Korea Utara yang terdeteksi oleh
sensor masing masing (Fifield, 2016) Pada awalnya, perjanjian ini dijadwalkan
untuk disepakati pada Juni 2012, namun upaya yang dilakukan oleh Lee Myung-bak
yang menjabat sebagai Presiden Korea Selatan kala itu ternyata mendapat reaksi
penolakan yang sangat keras dari pihak legislatif. Lee Myung-bak dianggap tidak
melibatkan legislatif dalam proses negosiasi dan bahkan dianggap banyak melakukan
kesepakatan informal dengan pemerintah Jepang (Park & Yun, 2016). Reaksi
penolakan yang keras juga datang dari publik Korea Selatan yang beranggapan
bahwa pemerintah tetap merumuskan kerjasama tanpa mempertimbangkan sentimen
yang berkembang di masyarakat terkait isu-isu yang belum terselesaikan antara
kedua negara, terutama kasus comfort women dan sengketa wilayah
Dokdo/Takeshima (Kwon K. , 2012). Hal ini tidak hanya membuat kedua belah
pihak memutuskan untuk menunda kesepakatan, namun juga membuat beberapa
pejabat termasuk Perdana Menteri Kim Hwang Sik dan Menteri Luar Negeri Kim
Sung Hwan meminta maaf secara terbuka kepada
publik (Moon Y. J., 2012).
kebijakan sehingga menghasilkan keputusan yang berbeda terkait isu ini. Pada
penelitian kali ini, penulis akan mencoba memetakan pengaruh dari dinamika yang
terjadi dalam perpolitikan Korea Selatan, yang mempengaruhi perubahan
keputusan terkait General Security of Military Information Agreement.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
Republik Korea (bahasa Korea: Daehan Minguk (Hangul: 대한민국; Hanja: 大韓民
國); bahasa Inggris: Republic of Korea/ROK) atau biasa dikenal sebagai Korea
Selatan adalah sebuah negara di Asia Timur yang meliputi bagian selatan
Semenanjung Korea. Di sebelah utara, Republik Korea berbataskan Korea Utara, di
mana keduanya bersatu sebagai sebuah negara hingga tahun 1948. Laut Kuning di
sebelah barat, Jepang berada di seberang Laut Jepang (disebut "Laut Timur" oleh
orang-orang Korea) dan Selat Korea berada di bagian tenggara. Negara ini dikenal
dengan nama Hanguk (한국; 韓國). oleh penduduk Korea Selatan dan disebut
Namchosŏn (남조선; 南朝鮮; "Chosŏn Selatan") di Korea Utara. Ibu kota Korea
Selatan adalah Seoul (서울).
Sejarah Korea Selatan secara resmi dimulai ketika pembentukan negara Korea
Selatan pada 15 Agustus 1948, meskipun Syngman Rhee telah mendeklarasikan
pembentukannya di Seoul pada 13 Agustus.
Setelah Penjajahan Jepang di Korea yang mandek karena kekalahan Jepang pada
Perang Dunia II tahun 1945, Korea dibagi menjadi dua wilayah sesuai garis 38
derajat lintang utara sesuai dengan kontrak yang disiapkan oleh PBB. Uni Soviet di
anggota utara danAmerika Serikat di anggota selatan. Uni Soviet dan Amerika
Serikat tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai implementasi penyatuan
Korea. Hal ini mengakibatkan pembentukan pemerintahan yang terpisah dengan
masing-masing pemerintah mengklaim memiliki wilayah resmi atas seluruh Korea.
Deklarasi Kairo pada bulan Desember 1943 oleh Sekutu yang tergabung atas Inggris,
Cina dan Amerika Serikat, menyatakan bahwa Korea akan dimerdekakan Jepang dan
akan menjadi negara merdeka "pada waktunya, walaupun presiden Amerika Serikat
Franklin D. Roosevelt memiliki rencana yang berlainan untuk Korea, rakyat Korea
menerjemahkan artian "pada waktunya" sebagai "saat dimana Perang Pasifik mandek
dan kekuasaan Jepang disingkirkan dari Korea".
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyatakan penyerahan tanpa syarat kepada
Tentara Sekutu dan kemerdekaan yang telah lama diharapkan rakyat Korea mandek
tiba. Pada hari itu, para pemimpin negara, termasuk Yeo Un-hyeong, membentuk
Komite Persiapan untuk Pendirian Negara Korea. Berbagai aktivitas diselenggarakan
di seluruh negeri untuk mendukung persiapan itu. Para pejuang kemerdekaan yang
berjuang di luar negeri kembali ke Korea.
Hal yang kembali menimbulkan kemarahan rakyat Korea terhadap Sekutu adalah
Kebijakan Moskow pada bulan Desember 1945. Sekutu bersua di Moskow dan
membuat rencana pembentukan Komisi Gabungan Amerika Serikat - Uni Soviet
artian mendirikan pemerintahan di Korea dan mengendalikannya di bawah perwalian
5 tahun. Rencana ini didorong rakyat Korea yang menganggap hal tersebut
merupakan pelecehan terhadap usaha dan perjuangan mereka untuk merdeka dari
penjajahan selama 36 tahun. Rakyat Korea melakukan protes besar-besaran di seluruh
negeri untuk menentang Kebijakan Moskow, namun di awal 1946, komunis di Korea
Utara dan Korea Selatan mendukung kebijakan tersebut karena ditekan oleh Uni
Soviet. Sebanyak 2 juta orang yang menentang rencana tersebut mengungsi dari
Korea anggota utara ke selatan. Selama periode 1946 sampai 1948, otoritas Soviet
memberikan dukungan penuh kepada pemimpin komunis Kim Il-Sung. Kim yang
datang ke Korea dengan pasukan Uni Soviet telah menjadi boneka komunis yang
berpengaruh di Korea anggota utara. Setelah menyingkirkan semua organisasi
nasionalis, Kim Il-sung menjadi pemimpin Pemerintahan Korea Sementara di bawah
kemudi Uni Soviet. Dengan pengaruh negara komunis tersebut, Kim Il-sung
mengkomuniskan Korea Utara. Pada masa pemerintahan Amerika Serikat, prinsip-
prinsip demokrasi diperkenalkan di pihak Korea Selatan. Namun begitu, tentara
nasional tidak mendukung kebijakan AS. Demokrasi yang dibawa AS meningkatkan
pertumbuhan organisasi-organisasi sosial dan politik, tak terkecuali untuk pendukung
komunis. Masa Partai Komunis Korea, yang mengubah namanya menjadi Partai
Buruh Korea Selatan, menghasut gerakan buruh, mencetak uang palsu dan terlibat
dalam aktivitas ilegal, Pemerintahan Militer AS menekan dan memaksa mereka
berkunjung ke Korea Utara. Namun, banyak pendukung komunis bergerak di bawah
tanah dan terus menyebabkan masalah-masalah politik dan ekonomi yang pelik di
Korea Selatan. Korea Selatan masa itu dipimpin oleh Syngmhan Rhee, yang ditunjuk
AS sebagai pemimpin Pemerintahan Sementara Korea.
Secara garis besar kondisi dan sistem politik yang diterapkan di Korea Selatan
dipengaruhi oleh negara-negara yang dulu pernah menjajah atau menduduki wilayah
tersebut. Sistem politik Korsel banyak mengadopsi western-style democracy. Model
demokrasi westminster menurut Arendt Lijphart ada 9 elemen, yaitu:
1. Konsentrasi kekuasaan eksekutif : Satu partai dan kabinet yang mayoritas. Korea
Selatan menganut sistem pemerintahan Presidensial campuran. Berdasarkan UUD
1987, kedudukan Presiden selain sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala
Pemerintahan serta Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Dalam melaksanakan
pemerintahan, Presiden dibantu oleh Perdana Menteri (PM) dan Dewan Negara (State
Council) yang lazim disebut Kabinet. Kabinet diketuai oleh Presiden dan PM sebagai
Wakilnya. Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung untuk masa jabatan 5 tahun
dan hanya untuk satu periode saja (tidak dapat dipilih kembali). Lee Myung-bak
memiliki Partai Nasional Raya, Grand National Party (GNP) akan berhasil
mengambil alih kembali jabatan presiden setelah kurun waktu 10 tahun. Pada saat itu
presiden dari GNP, Lee Myung-bak memimpin perolehan dukungan masyarakat yaitu
lebih dari 50%. GNP berhasil memenangkan 5 (lima) dari 8 (delapan) kursi yang
diperebutkan dalam Pemilihan Umum di Korea Selatan. Kabinet Lee Myung-bak
mayoritas di kabinet/parlemen Korea Selatan.
2. Perpaduan kekuasaan dan kabinet dominasi. Adanya perpaduan antara rezim yang
berkuasa di Korea selatan dengan kabinet dominasi di parlemen. Kemenangan Lee
Myung-bak membawa dan memberikan kekuasaan yang dominan di parlemen.
Kabinet diketuai oleh Presiden/ eksekutif.
Korea Selatan menggunakan sistem unikameral atau sistem satu kamar dalam
parlemen Korea yang biasa disebut dengan “Kukhoe” atau Korean National Assembly
(KNA). Sistem ini berarti KNA merupakan badan pemegang kekuasaan legislatif
satu-satunya di Korea Selatan. KNA yang sedang berjalan saat ini terdiri dari 300
kursi dan diadakan setiap empat (4) tahun sekali di seluruh 246 daerah pemilihan,
ditambah dengan 54 kursi tambahan yang dibagikan kepada partai politik dengan
proporsi suara yang diperoleh. Korea selatan juga menganut sistem multi-partai. Ada
9 partai di Korea Selatan, diantaranya adalah Grand National Party, Democratic
Party, The Liberty Forward Party, Future Hope Alliance, Democratic Labor Party,
dan lain sebagainya. Namun secara tidak langsung sistem kepartaian di Korea Selatan
adalah 2 partai besar, yaitu Partai Besar Nasional (57,3) dan partai Demokrasi Baru
Bersatu (29.10%). Dua partai inilah yang berkuasa di parlemen.
Sistem satu kamar ini seringkali diterapkan oleh negara republik yang homogen,
kecil, dan menganggap sebuah majelis tinggi tidak perlu. Argumen lainnya adalah
terkait pemikiran apabila majelis tingginya demokratis, maka sejalan dengan majelis
rendah yang juga demokratis. Kelemahan sistem unikameral adalah wilayah-wilayah
urban yang memiliki penduduk yang lebih besar akan mempunyai pengaruh yang
lebih besar daripada wilayah-wilayah pedesaan yang penduduknya lebih sedikit.
Layaknya semua negara hukum yang diatur dan dijalankan menurut hukum, kekuatan
yang paling penting dari KNA adalah untuk memberlakukan , mengubah , dan
menghapus undang-undang. Salah satu fungsi dari lembaga legislatif adalah fungsi
legislasi disamping fungsi pengawasan dan anggaran. Legislasi disini dapat dilihat
dari UU yang dihasilkan oleh parlemen.
Terdapat beberapa macam tahapan sebelum akhirnya RUU dapat disahkan menjadi
UU. Tahap pertama yaitu dengan penyusunan undang-undang, di mana lembaga
administrasi pusat menyusun draft RUU sesuai dengan ranah yurisdiksinya,
kemudian dikonsultasikan dengan kementerian yang relevan. RUU pada tahap awal
dipublikasikan ke legislatif dan tidak kurang dari 20 hari.
Proses pembuatan kebijakan KNA tidak terlepas dari dukungan layanan informasi
dan riset. Di Korea Selatan itu sendiri; baik legislator secara individu maupun
komisi-komisi yang ada, meminta pendapat kepada akademisi maupun lembaga
penelitian adalah hal yang lumrah untuk dilakukan. Tentu saja mereka yang dimintai
pendapatnya adalah lembaga atau individu yang kredibel.
Ada dua kategori lembaga penyedia informasi yang bekerja sama dengan KNA, yakni
internal dan eksternal parlemen. Untuk lembaga internal, KNA memiliki tiga
lembaga yang berperan memberikan informasi untuk mendukung kinerja mereka.
Keberadaan mereka diatur dalam National Assembly Act bab ketiga tentang alat
kelengkapan dan fungsinya. Tiga lembaga tersebut adalah: National Assembly Budget
Office, National Assembly Library, dan National Assembly Research
Services(NARS).
Ketiga lembaga diatas masing-masing memiliki tugas yang berbeda. Dengan jumlah
tenaga kerja sebanyak 304 orang, National Assembly Library siap untuk
menyediakan layanan informasi dan data kepustakaan secara up to date dan akurat
kepada anggota legislatif atau organisasi pendukungnya. Semenjak tahun 1998,
layanan National Assembly Library diperluas untuk publik dan tidak lagi hanya
anggota KNA saja. National Assembly Budget Office yang didirikan pada Oktober
2003 memiliki tugas untuk memperkuat fungsi penganggaran KNA menjadi semakin
efisien dan juga mengawasi keuangan negara. National Assembly Research
Services(NARS) memiliki tugas membantu proses legislasi dengan membuat riset dan
analisis. NARS menurut data tahun 2013 memiliki 119 staff pendukung.
NARS dan NAL sekilas memiliki tugas yang hampir mirip, namun terdapat
perbedaan tentang bagaimana kedua lembaga ini memberikan informasi kepada KNA.
NAL memberikan dukungan proses legislasi sebatas fakta dan informasi saja,
sedangkan NARS membedah isu lebih dalam melalui bingkai riset dan analisis.
NARS sendiri jika dibandingkan dengan NABO ataupun NAL merupakan lembaga
yang umurnya jauh lebih muda, yakni didirikan pada tahun 2007.
Salah satu bentuk kerjasama eksternal adalah seperti apa yang dilakukan oleh pihak
partai politik dengan universitas terkemuka. Profesor dari universitas terkemuka
seringkali diundang untuk presentasi makalah atau juga sebagai komentator yang
diselenggarakan oleh partai politik. Konsultasi ilmiah yang dilakukan oleh partai
politik yang didanai dengan dana publik juga didasari oleh peraturan yang
menyebutkan bahwa 30% dana yang mereka miliki harus dipakai untuk riset dalam
rangka mendukung kinerja anggota legislatif mereka.
Melalui cara perumusan suatu peraturan berdasarkan data dan analisis, para anggota
legislatif setidaknya memiliki cukup informasi yang akan memudahkan kerja mereka
dalam penyusunan UU sehingga kerja para anggota dewan ini bisa lebih cepat.
Selama periode Mei 2008 hingga Mei 2012, NAL berhasil meloloskan sekitar 2.931
UU. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan NAL periode sebelumnya yang
“hanya” berhasil meloloskan 2.546 UU. Perubahan RUU di Korea Selatan hanya
terkait dengan norma-norma atau pasal-pasal perubahannya saja dan yang paling
penting mereka menggunakan sistem online (e-parlemen) dalam proses perancangan
RUU tersebut. Hal itu yang membedakan sistem perundang-undangan di Korea
Selatan dengan di Indonesia, sehingga Korea Selatan dapat
menghasilkan/mengesahkan hingga ribuan RUU dalam satu periode.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Republik Korea atau biasa dikenal sebagai Korea Selatan adalah sebuah negara di
Asia Timur yang meliputi bagian selatan Semenanjung Korea. Di sebelah utara,
Republik Korea berbataskan Korea Utara, di mana keduanya bersatu sebagai sebuah
negara hingga tahun 1948. Selain itu, Korea Selatan merupakan Negara republic
dengan menerapkan system pemerintahan demokrasi. Bentuk pemerintahan Korea
Selatan terbagi menjadi 3, yaitu lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislative. Korea
Selatan merupakan Negara yang mengalami perkembangan pesat dalam 3 dekade
terakhir baik dalam bidang politik, pendidikan, budaya, ekonomi, teknologi
informasi, dan ekspor.
Korea Selatan merupakan negara dengan perkembangan ekonomi yang baik. Korea
mulai mengembangkan diri sebagai Negara eksportir sejak adanya reformasi
perekonomian. Pada masa pemerintahan Park Chung-Hee sehingga Korea Selatan
menjadi Negara baru yang mengembangkan perekonomian negaranya melalui sector
industri. Perindustrian Korea dijalankan oleh chaebol dan didukung oleh pemerintah
secara penuh. Peran kebijakan pemerintah dalam mendukung perindustrian negaranya
juga berperan penting terhadap nilai ekspor Korea Selatan hingga sekarang. Sampai
sekarang Korea Selatan bisa menjadi
salah satu negara pengekspor tertinggi di dunia.
Dalam pasar global, pasar pangan untuk orang muslim lebih besar daripada pasar
China, U.S.A, Jepang, India dan Brasil. Maka peluang untuk berisnis di sektor halal
merupakan potensi yang sangat besar. Peluang ini juga diambil oleh negara Korea
Selatan, meskipun Korea bukan negara yang masyoritas muslim. Korea Selatan mulai
megembangkan produk makanannya agar mendapatkan sertifikasi halal sehingga
dapat di eskpor ke negara – negara muslim, salah satunya adalah Indonesia. Untuk
mendukung proses pembuatan keputusan sistem sertifikasi halal makanannya yang
akan diekspor ke negara-negara muslim merupakan hasil pertimbangan dari unsur
konteks internasional. Dalam dunia pangan, makanan halal mulai menarik minat para
konsumen baik orang muslim maupun non-muslim. Hal ini dikarenakan adanya
jaminan keselamatan dan kualitas tinggi dari makanan tersebut. Makanan halalpun
menjadi tren baru dalam pasar pangan di dunia. Kemudian daripada itu ditinjau dari
politik dalam negeri Korea Selatan, terdapat kepentingan Korea Selatan untuk
meningkatkan jumlah wisatawan asing yang mayoritas merupakan muslim. Sejak
tahun 2008, Korea selatan telah mencanangkan program Muslim Friendly yang
bertujuan untuk menarik wisatawan asing datang ke Korea. Selain itu adanya
kepentingan dari kelompok-
kelompok minoritas imigram muslim baik itu pekerja maupun mahasiswa yang
menginginkan adanya kemudahan akses untuk mendapatkan makanan halal. Serta
adanya dorongan dari kelompok industry kepada pemerintah untuk mendorong
perkembangan industry makanan Korea dapat mudah diterima oleh muslim. Maka
Korea Selatan perlu melakukan labelisasi halal dalam produk makanannya.
Dalam proses tindak lanjut atas kebijakan tersebut, MAFRA bekerja sama dengan aT
Korea Agro-Fisheries and Food Trade Corporation yang merupakan sebuah yayasan
yang didirikan untuk memajukan industri produk pertanian dan pertumbuhan yang
berkelanjutan ditengah perubahan lingkungan yang drastis. Selain itu, kementrian
tersebut juga bekerja sama dengan KMF dalam hal sertifikasi dan labelisasi makanan
halal.
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12282/BAB%20IV.pdf?
sequence=8&isAllowed=y (Diakses Selasa, 26 Oktober 2021)
https://www.kompasiana.com/leeyuhan/5dac8eff0d8230569a1f9bc4/sistem-
pemerintahan-korea-selatan (Diakses Selasa, 26 Oktober 2021)
http://p2k.itbu.ac.id/id1/3070-2950/Korea-Selatan_16565_ensiklopedia-dunia-q-
itbu.html (Diakses Selasa, 26 Oktober 2021)