Anda di halaman 1dari 17

Kata Pengantar

Dengan mengucapkan puji dan syujur ke hadirat Allah SWT, atas segala
rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat
pada waktunya. Shalawat serta sala semoga tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kita selaku umatnya.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang saya
hadapi. Namun, saya menyadari bahwa dalam kelancaran penyusunan makalah ini
tidak lain dan tidak bukan berkat bantuan dari berbagai pihak, sehingga kendala-
kendala yang saya hadapi dapat teratasi.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pihak yang membutuhkan, khususnya bagi saya, sehingga tujuan yang diharapkan
dapat tercapai, Aamiin.

Prabumulih, 26 Oktober 2021

Meutia Rahmadani.
DAFTAR ISI
JUDUL …………………………………………………………...……………...……… i

KATA PENGANTAR ……………………………...………….…………….……… ii

DAFTAR ISI ...…………………………………………….………………….……… iii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……….……………………………………...………………. 1

B. Identifikasi Masalah …………….………………………………………..…. 3

C. Tujuan Penulisan ……......………………………………………………..…. 3

BAB 2 PEMBAHASAN

A. Sejarah Negara Korea Selatan …………..………………………………….. 4

B. Sistem Demokrasi di Korea Selatan …………..……………………………. 6

C. Parlemen Korea Selatan dan Legislasi Nasional …………......…………… 9

BAB 3 PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………..………………………...……………. 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Sejarah Korea Selatan sebagai suatu negara yang pernah menjadi wilayah
kekuasaan Jepang membuat hubungan Korea Selatan dengan Jepang kerap
menemukan hambatan. Mayoritas publik Korea Selatan masih menganggap Jepang
belum mempertanggungjawabkan dengan tuntas semua kejahatan yang terjadi
selama masa pendudukan Jepang terhadap Korea Selatan. Hal ini diperparah
dengan keengganan Jepang untuk mengakui kesalahan yang dilakukan oleh
pihaknya selama masa pendudukan tersebut (Rozman & Lee, 2006, p. 781).

Hal utama yang menjadi tuntutan dari publik Korea Selatan diantaranya
adalah permintaan maaf dan pertanggungjawaban legal dari pemerintah Jepang
terhadap eksploitasi manusia yang terjadi selama masa penjajahan, yang mencakup
kerja paksa, wajib militer, dan juga comfort women (Yi, 2002, p. 634). Comfort
women atau yang dalam bahasa Jepang disebut dengan Jūgun ianfu adalah istilah
yang digunakan untuk wanita wanita yang menjadi pelayan seks bagi tentara Jepang
selama masa pendudukan Jepang di berbagai wilayah hingga akhir Perang Dunia II.
Secara umum para wanita ini dapat dikatakan berada dalam perbudakan selama
menjadi comfort women (Lynch, 2018). Permasalahan historis yang belum
terselesaikan secara tuntas ini menjadifaktor yang berpengaruh terhadap pola
kebijakan kerjasama yang diambil oleh Korea Selatan terhadap Jepang, terutama
dalam bidang militer.

Hingga tahun 2016 Korea Selatan tidak memiliki aliansi militer formal secara
langsung dengan Jepang. Kerjasama militer antara kedua negara hanya terjalin
melalui hubungan trilateral dengan Amerika Serikat (Murphy, 2016). Salah satu
studi kasus yang dapat menggambarkan bagaimana isu historis dapat merubah pola
kebijakan yang diambil Korea Selatan adalah kesepakatan General Security of
Military Information Agreement antara kedua negara. Perjanjian ini merupakan
bentuk awal dari kerjasama antara Korea Selatan dan Jepang yang kemudian akan
menentukan langkah langkah yang harus diambil untuk menjaga informasi informasi
yang berkaitan dengan pertahanan kedua negara sesuai dengan undang undang
masing masing (Ministry of National Defense Republic of Korea, 2016). Perjanjian
ini dibuat sebagai respon dari peningkatan ancaman yang datang dari Korea Utara
dengan percobaan nuklirnya. Melalui perjanjian ini kedua negara dapat
meningkatkan pertahanan dan efek deterrence Jepang dan Korea Selatan dengan
saling berbagi informasi terkait ancaman dari Korea Utara yang terdeteksi oleh
sensor masing masing (Fifield, 2016) Pada awalnya, perjanjian ini dijadwalkan
untuk disepakati pada Juni 2012, namun upaya yang dilakukan oleh Lee Myung-bak
yang menjabat sebagai Presiden Korea Selatan kala itu ternyata mendapat reaksi
penolakan yang sangat keras dari pihak legislatif. Lee Myung-bak dianggap tidak
melibatkan legislatif dalam proses negosiasi dan bahkan dianggap banyak melakukan
kesepakatan informal dengan pemerintah Jepang (Park & Yun, 2016). Reaksi
penolakan yang keras juga datang dari publik Korea Selatan yang beranggapan
bahwa pemerintah tetap merumuskan kerjasama tanpa mempertimbangkan sentimen
yang berkembang di masyarakat terkait isu-isu yang belum terselesaikan antara
kedua negara, terutama kasus comfort women dan sengketa wilayah
Dokdo/Takeshima (Kwon K. , 2012). Hal ini tidak hanya membuat kedua belah
pihak memutuskan untuk menunda kesepakatan, namun juga membuat beberapa
pejabat termasuk Perdana Menteri Kim Hwang Sik dan Menteri Luar Negeri Kim
Sung Hwan meminta maaf secara terbuka kepada
publik (Moon Y. J., 2012).

Pergantian kepemimpinan di Korea Selatan menuju Park Geun-hye


membawa nasib yang berbeda bagi kerjasama bilateral ini. Perjanjian yang berfokus
pada kerjasama di bidang intelijensi militer ini akhirnya ditandatangani oleh kedua
belah pihak pada tanggal 23 November 2016, memakan waktu empat tahun dari
target awal penandatangan perjanjian (Buckland, 2016). Sebagaimana telah
disebutkan diatas, usaha awal penandatanganan perjanjian ini terpaksa dibatalkan
karena adanya tekanan baik melalui publik Korea Selatan secara umum maupun
melalui pihak legislatif sebagai representasi dari masyarakat Korea Selatan. Hal ini
menandakan kegagalan pemerintahan Korea Selatan untuk mencapai satu titik temu
yang dapat memuaskan aktor aktor yang memiliki kepentingan dalam perjanjian ini
(Sheen & Kim, 2012, p. 2).

Perjanjian yang kemudian disepakati setelah empat tahun menandakan


adanya perubahan di sektor domestik, baik melalui dorongan dari sektor
internasional maupun perubahan di internal domestik sendiri hingga akhirnya
perjanjian ini dapat diterima. Terlepas dari kesepakatan yang dapat tercapai antara
kedua negara, reaksi penolakan masyarakat terhadap perjanjian ini masih sangat
besar. Hal ini dapat dilihat dari aksi protes yang juga dilakukan oleh beberapa
organisasi non-pemerintah untuk membatalkan perjanjian ini (Harrison, 2016).
Kondisi ini dapat dikatakan serupa dengan kondisi pada tahun 2012 ketika
perjanjian ini gagal ditandangani. Kondisi yang serupa namun menghasilkan
keputusan yang berbeda ini menjadi suatu hal yang menarik untuk dibahas. Hal ini
menandakan ada pertimbangan yang berbeda yang dilakukan oleh pihak pengambil

kebijakan sehingga menghasilkan keputusan yang berbeda terkait isu ini. Pada
penelitian kali ini, penulis akan mencoba memetakan pengaruh dari dinamika yang
terjadi dalam perpolitikan Korea Selatan, yang mempengaruhi perubahan
keputusan terkait General Security of Military Information Agreement.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah sejarah Korea Selatan?

2. Bagaimana sistem pemerintahan yang dianut oleh Korea Selatan?

3. Apa sajakah lembaga-lembaga Negara yang ada di Korea Selatan?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai sejarah Korea Selatan.

2. Mengetahui system pemerintahan di Korea Selatan.

3. Mengetahui lembaga-lembaga Negara yang ada di Korea Selatan.


BAB II
PEMBAHASAN

Republik Korea (bahasa Korea: Daehan Minguk (Hangul: 대한민국; Hanja: 大韓民
國); bahasa Inggris: Republic of Korea/ROK) atau biasa dikenal sebagai Korea
Selatan adalah sebuah negara di Asia Timur yang meliputi bagian selatan
Semenanjung Korea. Di sebelah utara, Republik Korea berbataskan Korea Utara, di
mana keduanya bersatu sebagai sebuah negara hingga tahun 1948. Laut Kuning di
sebelah barat, Jepang berada di seberang Laut Jepang (disebut "Laut Timur" oleh
orang-orang Korea) dan Selat Korea berada di bagian tenggara. Negara ini dikenal
dengan nama Hanguk (한국; 韓國). oleh penduduk Korea Selatan dan disebut
Namchosŏn (남조선; 南朝鮮; "Chosŏn Selatan") di Korea Utara. Ibu kota Korea
Selatan adalah Seoul (서울).

A. SEJARAH KOREA SELATAN

Sejarah Korea Selatan secara resmi dimulai ketika pembentukan negara Korea
Selatan pada 15 Agustus 1948, meskipun Syngman Rhee telah mendeklarasikan
pembentukannya di Seoul pada 13 Agustus.

Setelah Penjajahan Jepang di Korea yang mandek karena kekalahan Jepang pada
Perang Dunia II tahun 1945, Korea dibagi menjadi dua wilayah sesuai garis 38
derajat lintang utara sesuai dengan kontrak yang disiapkan oleh PBB. Uni Soviet di
anggota utara danAmerika Serikat di anggota selatan. Uni Soviet dan Amerika
Serikat tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai implementasi penyatuan
Korea. Hal ini mengakibatkan pembentukan pemerintahan yang terpisah dengan
masing-masing pemerintah mengklaim memiliki wilayah resmi atas seluruh Korea.

Sejarah Korea Selatan dalam perkembangannya diwarnai oleh pemerintahan yang


demokratis dan otokratis secara bergantian. Republik pertama yang awalnya diklaim
sebagai pemerintahan yang demokratis lama kelamaan menjadi otokratis sampai
mandek jatuh pada tahun 1960. Republik kedua yang benar-benar demokratis harus
dijatuhkan oleh rezim militer yang otokratis dalam waktu yang singkat. Republik
keenam merupakan pemerintahan yang stabil dan menganut asas demokrasi liberal.

Deklarasi Kairo pada bulan Desember 1943 oleh Sekutu yang tergabung atas Inggris,
Cina dan Amerika Serikat, menyatakan bahwa Korea akan dimerdekakan Jepang dan
akan menjadi negara merdeka "pada waktunya, walaupun presiden Amerika Serikat
Franklin D. Roosevelt memiliki rencana yang berlainan untuk Korea, rakyat Korea
menerjemahkan artian "pada waktunya" sebagai "saat dimana Perang Pasifik mandek
dan kekuasaan Jepang disingkirkan dari Korea".

Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyatakan penyerahan tanpa syarat kepada
Tentara Sekutu dan kemerdekaan yang telah lama diharapkan rakyat Korea mandek
tiba. Pada hari itu, para pemimpin negara, termasuk Yeo Un-hyeong, membentuk
Komite Persiapan untuk Pendirian Negara Korea. Berbagai aktivitas diselenggarakan
di seluruh negeri untuk mendukung persiapan itu. Para pejuang kemerdekaan yang
berjuang di luar negeri kembali ke Korea.

Namun, Amerika Serikat memiliki rencana untuk membagi Semenanjung Korea


sepanjang pararel ke-38 menjadi dua zona operasi militer untuk Amerika Serikat da n
Uni Soviet. Lebih lanjut, rencana Amerika Serikat sebenarnya adalah bukan
menjadikan Korea negara merdeka sesegera mungkin setelah merdeka. Malahan
Roosevelt mau menjadikan Korea sebagai negara di bawah Perwalian Sekutu selama
35 tahun setelah lepas sama sekali dari Jepang. Jendral R.Hodge, komandan AS di
Korea, mengerahkan Pemerintahan Militer Bersenjata AS (US Army Military
Goverment) dan menjadikan Korea anggota selatan sebagai daerah di bawah
peraturan militer Amerika Serikat. Bangsa Korea sangat kecewa dan geram. Perasaan
simpati mereka terhadap Amerika Serikat langsung dingin.

Hal yang kembali menimbulkan kemarahan rakyat Korea terhadap Sekutu adalah
Kebijakan Moskow pada bulan Desember 1945. Sekutu bersua di Moskow dan
membuat rencana pembentukan Komisi Gabungan Amerika Serikat - Uni Soviet
artian mendirikan pemerintahan di Korea dan mengendalikannya di bawah perwalian
5 tahun. Rencana ini didorong rakyat Korea yang menganggap hal tersebut
merupakan pelecehan terhadap usaha dan perjuangan mereka untuk merdeka dari
penjajahan selama 36 tahun. Rakyat Korea melakukan protes besar-besaran di seluruh
negeri untuk menentang Kebijakan Moskow, namun di awal 1946, komunis di Korea
Utara dan Korea Selatan mendukung kebijakan tersebut karena ditekan oleh Uni
Soviet. Sebanyak 2 juta orang yang menentang rencana tersebut mengungsi dari
Korea anggota utara ke selatan. Selama periode 1946 sampai 1948, otoritas Soviet
memberikan dukungan penuh kepada pemimpin komunis Kim Il-Sung. Kim yang
datang ke Korea dengan pasukan Uni Soviet telah menjadi boneka komunis yang
berpengaruh di Korea anggota utara. Setelah menyingkirkan semua organisasi
nasionalis, Kim Il-sung menjadi pemimpin Pemerintahan Korea Sementara di bawah
kemudi Uni Soviet. Dengan pengaruh negara komunis tersebut, Kim Il-sung
mengkomuniskan Korea Utara. Pada masa pemerintahan Amerika Serikat, prinsip-
prinsip demokrasi diperkenalkan di pihak Korea Selatan. Namun begitu, tentara
nasional tidak mendukung kebijakan AS. Demokrasi yang dibawa AS meningkatkan
pertumbuhan organisasi-organisasi sosial dan politik, tak terkecuali untuk pendukung
komunis. Masa Partai Komunis Korea, yang mengubah namanya menjadi Partai
Buruh Korea Selatan, menghasut gerakan buruh, mencetak uang palsu dan terlibat
dalam aktivitas ilegal, Pemerintahan Militer AS menekan dan memaksa mereka
berkunjung ke Korea Utara. Namun, banyak pendukung komunis bergerak di bawah
tanah dan terus menyebabkan masalah-masalah politik dan ekonomi yang pelik di
Korea Selatan. Korea Selatan masa itu dipimpin oleh Syngmhan Rhee, yang ditunjuk
AS sebagai pemimpin Pemerintahan Sementara Korea.

Amerika Serikat berkeinginan bantuan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa pada


bulan September 1947 mengenai nasib Korea Selatan selanjutnya. Majelis Luhur
PBB membuat resolusi pada bulan November untuk membentuk dan mengirim
UNTCOK (United Nations Temporary Commision on Korea) atau Komisi Sementara
PBB di Korea untuk mengadakan pemilu dan merancang pemerintahan yang resmi
artian mengakhiri pendudukan asing atas Korea. Rakyat Korea menginginkan
diakhirinya pendudukan asing atas negara mereka secepat mungkin dan mendukung
rencana PBB. Rencana ini juga didukung oleh tokoh nasionalis seperti Syngman
Rhee dan pendukungnya. Pemilu disiapkan pada tanggal 10 Mei 1948. Pada tanggal
15 Agustus 1948, Republik Korea sah berdiri. Syngman Rhee mengambil sumpah
kedudukan sebagai presiden pertama Republik Korea (Korea Selatan). Sementara itu,
Korea Utara mulai menerapkan rencana di bawah Uni Soviet dan menangkat Kim Il-
sung sebagai presiden Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK) pada bulan
September 1948.

B. SISTEM DEMOKRASI KOREA SELATAN

Korea selatan membagi pemerintahannya atas 3 yaitu Eksekutif, legilatif dan


yudikatif. Lembaga eksekutif dipegang oleh presiden yang dipilih berdasarkan hasil
pemilu untuk masa jabatan 5 tahun dan dibantu oleh Perdana Menteri yang ditunjuk
oleh presiden dengan persetujuan dewan perwakilan. Presiden bertindak sebagai
kepala negara dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. Lembaga legislatif
dipegang oleh dewan perwakilan yang menjabat selama 4 tahun. Korea Selatan
menganut sistem pemerintahan Presidensial campuran.Berdasarkan UUD 1987,
kedudukan Presiden selain sebagai Kepala Negarasekaligus Kepala Pemerintahan
serta Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.Dalam melaksanakan pemerintahan,
Presiden dibantu oleh Perdana Menteri (PM) dan Dewan Negara (State Council) yang
lazim disebut Kabinet. Kabinet diketuai oleh Presiden dan PM sebagai Wakilnya.
Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung untuk masa jabatan 5 tahun dan hanya
untuk satu periode saja (tidak dapat dipilih kembali). PM ditunjuk/diangkat oleh
Presiden dengan persetujuan Majelis Nasional(MN), sedangkan Wakil PM
ditunjuk/diangkat oleh Presiden dengan rekomendasi PM. PM mempunyai fungsi
mewakili tugas-tugas Presiden bilamana berhalangan dan bertugas membantu
Presiden serta mengarahkan para menteri kabinet sesuai petunjuk Presiden. PM dapat
memberikan rekomendasi kepada Presiden dalam pengangkatan menteri dalam
kabinet. Parlemen Majelis Nasional (MN) merupakan badan pemegang kekuasaan
legislatif satu-satunya di Korsel, sesuai dengan sistem satu kamar (unikameral)
yangdijalankannya. MN dipimpin oleh seorang Ketua dan 2 orang Wakil Ketua
yangdipilih oleh para anggota MN.

Secara garis besar kondisi dan sistem politik yang diterapkan di Korea Selatan
dipengaruhi oleh negara-negara yang dulu pernah menjajah atau menduduki wilayah
tersebut. Sistem politik Korsel banyak mengadopsi western-style democracy. Model
demokrasi westminster menurut Arendt Lijphart ada 9 elemen, yaitu:

1. Konsentrasi kekuasaan eksekutif : Satu partai dan kabinet yang mayoritas. Korea
Selatan menganut sistem pemerintahan Presidensial campuran. Berdasarkan UUD
1987, kedudukan Presiden selain sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala
Pemerintahan serta Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Dalam melaksanakan
pemerintahan, Presiden dibantu oleh Perdana Menteri (PM) dan Dewan Negara (State
Council) yang lazim disebut Kabinet. Kabinet diketuai oleh Presiden dan PM sebagai
Wakilnya. Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung untuk masa jabatan 5 tahun
dan hanya untuk satu periode saja (tidak dapat dipilih kembali). Lee Myung-bak
memiliki Partai Nasional Raya, Grand National Party (GNP) akan berhasil
mengambil alih kembali jabatan presiden setelah kurun waktu 10 tahun. Pada saat itu
presiden dari GNP, Lee Myung-bak memimpin perolehan dukungan masyarakat yaitu
lebih dari 50%. GNP berhasil memenangkan 5 (lima) dari 8 (delapan) kursi yang
diperebutkan dalam Pemilihan Umum di Korea Selatan. Kabinet Lee Myung-bak
mayoritas di kabinet/parlemen Korea Selatan.

2. Perpaduan kekuasaan dan kabinet dominasi. Adanya perpaduan antara rezim yang
berkuasa di Korea selatan dengan kabinet dominasi di parlemen. Kemenangan Lee
Myung-bak membawa dan memberikan kekuasaan yang dominan di parlemen.
Kabinet diketuai oleh Presiden/ eksekutif.

3. Bikameralisme Asimetris Majelis Nasional (MN) merupakan badan pemegang


kekuasaan legislatif satu-satunya di Korsel, sesuai dengan sistem satu kamar
(unikameral) yang dijalankannya. MN dipimpin oleh seorang Ketua dan 2 orang
Wakil Ketua yang dipilih oleh para anggota MN. Sesuai dengan UUD 1987, anggota
MN tidak boleh kurang dari 200 orang. Sejak terbentuknya Republik Korea tahun
1948, MN yang sedang berjalan saat ini adalah yang ke-18 sebagai hasil Pemilu
tanggal 9 April 2008 yang terdiri dari 299 kursi. Korea selatan menerapkan sistem
unikameral, dimana tidak ada pemisahan antara DPR dan senat, ataupun Majelis
Tinggi dan Mejelis rendah di parlemen. Majelis nasional adalah anggota legislatif
yang menguasai parlemen di Korea selatan dengan kedaulatannya. Maka dengan
penerapan sistem unikameral ini tidak akan terjadi tumpah tindih di parlemen Korea
selatan. 4. Sistem dua partai Korea selatan adalah negara yang menganut sistem multi
partai. Ada 9 partai di korea selatan, diantaranya adalah Grand National Party,
Democratic Party, The Liberty Forward Party, Future Hope Alliance, Democratic
Labor Party , dan lain sebagainnya. Namun secara tidak langsung sistem kepartaian
di korea Selatan adalah 2 partai besar, yaitu Partai Besar Nasional (57,3) dan partai
Demokrasi Baru Bersatu (29.10%). Dua partai inilah yang berkuasa di parlemen. 5.
Sistem partai satu dimensi Kepartaian di korea selatan bersifat satu dimensi yaitu
berfungsi untuk menyampaikan aspirasi masyarakat di Korea Selatan. Pembagian
berdasarkan isu sosial ekonomi dan idiologi masing- masing individu di Korea
Selatan. 6. Sistem pemilihan yang plural Partai- partai demokratis di Korea Selatan
bertindak menurut prinsip- prinsip pluralisme dan interaksi sosial. Untuk
mengamankan basis dukungan di seluruh negeri, partai- partai demokratis harus
melakukan lebih banyak kegiatan daripada hanya memobilisasi dukungan personal
untuk kepemimpinan dan kebijakan partainya . Basis massa yang dianggap dapat
mendukung partai adalah dengan adanya keanekaragaman yang ada di Korea selatan.
7. Kesatuan dan pemerintahan terpusat Korea selatan adalah negara kesatuan. Adanya
UU otonomi daerah tanggal 6 april 1988. Oleh karena itulah, pemerintahan Korea
selatan tidak terpusat, dimana hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah memiliki masing-masing pembagian tugas administrasi. Korea selatan
menerapkan sistem distrik Secara singkat, dalam sistem distrik, sebuah daerah
pemilihan hanya bisa memiliki seorang wakil terpilih. artinya, dalam sistem distrik,
akan terjadi situasi di mana calon yang mendapatkan suara terbanyak akan mewakili
daerah pemilihan tersebut, dan hanya dia yang mewakili daerah pemilihan tersebut,
meskipun selisih suara dengan peringkat dua hanya satu suara. 8. Konstitusi yang
tidak tertulis dan kedaulatan parlemen. Undang Undang Dasar (UUD) Republik
Korea disahkan pada tanggal 17 Juli 1948. Hingga saat ini, UUD 1948 telah
mengalami beberapa kali amandemen dan terakhir pada tahun 1987. Oleh karena itu,
UUD 1948 seringkali disebut sebagai UUD 1987. 9. Demokrasi yang secara eksklusif
representatif Pemilu untuk memilih anggota Majelis Nasional diadakan setiap 4 tahun
sekali di seluruh 226 daerah pemilihan (electoral district), ditambah dengan 46 kursi
tambahan (additional Seat) yang dibagikan kepada partai politik dalam proporsi suara
yang diperoleh. Namun pada tanggal 9 Maret 2004, Majelis Nasional menyetujui
untuk menambah jumlah wakil yang dipilih berdasar daerah pemilihan (electoral
district) menjadi 242 dan proporsional menjadi 57 kursi pada Pemilu 15 April 2004
(Majelis Nasional ke-17). Dengan demikian, jumlah keseluruhan jumlah anggota
Majelis Nasional ke-17 menjadi 299 kursi. Pada Pemilu legislatif 9 April 2008, dari
299 kursi parlemen sebanyak 245 kursi diperebutkan melalui pemilihan langsung
(direct voting) di seluruh daerah,pemilihan. Sedangkan 54 kursi yang tersisa
diperebutkan melalui sistem perwakilan secara proposional. Pemilih dapat
memberikan dua suara: satu untuk calon dari daerah pemilihan mereka dan satu lagi
untuk parpol yang dipilihnya.

C. PARLEMEN KOREA SELATAN DAN LEGISLASI NASIONAL

Korea Selatan menggunakan sistem unikameral atau sistem satu kamar dalam
parlemen Korea yang biasa disebut dengan “Kukhoe” atau Korean National Assembly
(KNA). Sistem ini berarti KNA merupakan badan pemegang kekuasaan legislatif
satu-satunya di Korea Selatan. KNA yang sedang berjalan saat ini terdiri dari 300
kursi dan diadakan setiap empat (4) tahun sekali di seluruh 246 daerah pemilihan,
ditambah dengan 54 kursi tambahan yang dibagikan kepada partai politik dengan
proporsi suara yang diperoleh. Korea selatan juga menganut sistem multi-partai. Ada
9 partai di Korea Selatan, diantaranya adalah Grand National Party, Democratic
Party, The Liberty Forward Party, Future Hope Alliance, Democratic Labor Party,
dan lain sebagainya. Namun secara tidak langsung sistem kepartaian di Korea Selatan
adalah 2 partai besar, yaitu Partai Besar Nasional (57,3) dan partai Demokrasi Baru
Bersatu (29.10%). Dua partai inilah yang berkuasa di parlemen.

Sistem satu kamar ini seringkali diterapkan oleh negara republik yang homogen,
kecil, dan menganggap sebuah majelis tinggi tidak perlu. Argumen lainnya adalah
terkait pemikiran apabila majelis tingginya demokratis, maka sejalan dengan majelis
rendah yang juga demokratis. Kelemahan sistem unikameral adalah wilayah-wilayah
urban yang memiliki penduduk yang lebih besar akan mempunyai pengaruh yang
lebih besar daripada wilayah-wilayah pedesaan yang penduduknya lebih sedikit.

Layaknya semua negara hukum yang diatur dan dijalankan menurut hukum, kekuatan
yang paling penting dari KNA adalah untuk memberlakukan , mengubah , dan
menghapus undang-undang. Salah satu fungsi dari lembaga legislatif adalah fungsi
legislasi disamping fungsi pengawasan dan anggaran. Legislasi disini dapat dilihat
dari UU yang dihasilkan oleh parlemen.

Peran parlemen adalah untuk membuat undang-undang dan mengubah atau


memperbaiki sistem hukum. Parlemen adalah tempat di mana keputusan berlangsung
atas dasar preferensi masyarakat dan diubah ke dalam bentuk kebijakan dan program.
Konstitusi di Korea Selatan sebagai hukum yang terpenting, mengatur hal-hal
mendasar yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masyarakat, struktur
fundamental Pemerintah, tatanan ekonomi, manajemen pemilu, dan lain sebagainya.
Konstitusi merupakan sebuah standar untuk undang-undang. Korean National
Assembly (KNA) menggunakan metode e-parlemen (parlemen elektronik/online),
sehingga para anggota Dewan dapat melakukan permintaan pembuatan RUU secara
online dan dapat segera diproses, difollow-up, dan diserahkan kepada komisi/anggota
yang melakukan permintaan. Dokumentasi dan data yang terintegrasi dalam sistem
parlemen elektronik ini mendukung kinerja anggota Dewan sehingga dapat
mempercepat pekerjaan mereka.

Di Korea Selatan terdapat Legislative Counseling Office (LCO) sebagai sistem


analisis dan pengumpulan informasi mengenai fungsi legislasi dan Parlemen Korea
Selatan. LCO ini mencakup berbagai praktik di bidang perundang-undangan untuk
mendukung aktifitas legislasi dan anggota Parlemen Korsel, seperti permintaan Draft
RUU (Rancangan Undang-Undang) dari Anggota Parlemen, perancangan/penyusunan
Draft RUU, penyerahan Draft RUU ke Komisi, pembahasan internal Komisi,
pembahasan di Komisi Legislasi dan Hukum, pengambilan keputusan dalam rapat
paripurna, serta pengambilan keputusan dari Presiden (pengesahan atau veto). Secara
struktur organisasi, LCO setingkat dengan Direktorat Jenderal dipimpin oleh seorang
Director General dalam lingkungan Sekretariat Jenderal Parlemen Korea, lebih
tepatnya dibawah Deputi bidang perundang-undangan, jika dibandingkan dengan
DPR di Indonesia sama dengan Setjen DPR dan Deputinya. Beberapa fungsi dan
tugas dari LCO, seperti merancang pembuatan RUU serta memberikan support terkait
aktifitas legislasi dari member parlemen Korsel termasuk menguji suatu RUU yang
diminta oleh anggota komisi.

Terdapat beberapa macam tahapan sebelum akhirnya RUU dapat disahkan menjadi
UU. Tahap pertama yaitu dengan penyusunan undang-undang, di mana lembaga
administrasi pusat menyusun draft RUU sesuai dengan ranah yurisdiksinya,
kemudian dikonsultasikan dengan kementerian yang relevan. RUU pada tahap awal
dipublikasikan ke legislatif dan tidak kurang dari 20 hari.

KNA juga melakukan pemeriksaan peraturan bagi setiap UU dan pemeriksaan


departemen pemerintah legislasi, termasuk hal-hal yang membatasi hak-hak rakyat,
termasuk dalam aspek praktis, seperti apakah mereka realistis, apakah mereka sesuai
dengan tujuan negara, apakah mereka bertentangan dengan UU sebelumnya, atau pun
ketetapan dibawahnya. Setelah pemeriksaan tersebut, dilakukan musyawarah oleh
wakil Menteri serta musyawarah di Dewan Negara, untuk membahas RUU yang
dianggap memuat hal-hal penting dan dibahas dalam agenda Dewan Negara.
Kemudian, hasil musyawarah tersebut ditandatangani oleh Presiden yang sudah
disertai dengan pertimbangan dari komite atau komisi.
Ketika RUU diusulkan ke Majelis Nasional, ketua melaporkan ke sidang pleno.
Setelah menyelesaikan pemeriksaan komite, kemudian diagendakan sesi pleno. Jika
perlu, setiap komite juga dapat memeriksa RUU tertentu dengan sub-komite.
Kemudian dilakukan pemeriksaan legislasi dan hukum komite oleh komite Legislasi
dan Kehakiman yang harus dibahas dan diselesaikan dalam sidang paripurna oleh
Majelis Nasional hingga RUU tersebut diajukan kepada Dewan Negara. Jika
keberatan, Presiden dapat meminta Majelis Nasional untuk membicarakan lagi RUU
tersebut dengan melampirkan pernyataan keberatan dalam waktu 15 hari dari hari
ketika RUU tersebut diberikan ke pemerintah. Akhirnya, RUU diselesaikan di Dewan
Negara dan ditandatangani Presiden. Kemudian UU tersebut diumumkan dan
dipublikasikan dalam berita resmi di Korea Selatan.

Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye, menjalankan hak vetonya untuk


menghentikan proses revisi RUU parlemen yang sudah lolos di lembaga legislatif.
Penolakan tersebut dilakukan karena dianggap mempunyai unsur pelanggaran
konstitusi. Presiden meminta parlemen kembali mempertimbangkan revisi yang
memberikan parlemen hak mengubah tata aturan pemerintahan. Revisi UU parlemen
yang ditolak Presiden Park Geun-hye tersebut, berbenturan dengan otoritas kabinet
pada pembuatan UU administrasi, memperkuat kontrol pihak yuridis, dan juga
merusak tatanan pemisahan kekuasaan yang tercantum dalam konstitusi. Selama ini
sudah ada sekitar 73 kasus penolakan presiden atas revisi UU parlemen, akan tetapi
penolakan ini merupakan yang pertama kali dalam pemerintahan Park Geun-hye.
Permintaan presiden agar revisi itu ditinjau ulang, berdasarkan konstitusi, harus
dibawa ke meja persidangan parlemen dan harus mendapatkan mayoritas suara
sebanyak dua pertiga.

Proses pembuatan kebijakan KNA tidak terlepas dari dukungan layanan informasi
dan riset. Di Korea Selatan itu sendiri; baik legislator secara individu maupun
komisi-komisi yang ada, meminta pendapat kepada akademisi maupun lembaga
penelitian adalah hal yang lumrah untuk dilakukan. Tentu saja mereka yang dimintai
pendapatnya adalah lembaga atau individu yang kredibel.

Ada dua kategori lembaga penyedia informasi yang bekerja sama dengan KNA, yakni
internal dan eksternal parlemen. Untuk lembaga internal, KNA memiliki tiga
lembaga yang berperan memberikan informasi untuk mendukung kinerja mereka.
Keberadaan mereka diatur dalam National Assembly Act bab ketiga tentang alat
kelengkapan dan fungsinya. Tiga lembaga tersebut adalah: National Assembly Budget
Office, National Assembly Library, dan National Assembly Research
Services(NARS).

Ketiga lembaga diatas masing-masing memiliki tugas yang berbeda. Dengan jumlah
tenaga kerja sebanyak 304 orang, National Assembly Library siap untuk
menyediakan layanan informasi dan data kepustakaan secara up to date dan akurat
kepada anggota legislatif atau organisasi pendukungnya. Semenjak tahun 1998,
layanan National Assembly Library diperluas untuk publik dan tidak lagi hanya
anggota KNA saja. National Assembly Budget Office yang didirikan pada Oktober
2003 memiliki tugas untuk memperkuat fungsi penganggaran KNA menjadi semakin
efisien dan juga mengawasi keuangan negara. National Assembly Research
Services(NARS) memiliki tugas membantu proses legislasi dengan membuat riset dan
analisis. NARS menurut data tahun 2013 memiliki 119 staff pendukung.

NARS dan NAL sekilas memiliki tugas yang hampir mirip, namun terdapat
perbedaan tentang bagaimana kedua lembaga ini memberikan informasi kepada KNA.
NAL memberikan dukungan proses legislasi sebatas fakta dan informasi saja,
sedangkan NARS membedah isu lebih dalam melalui bingkai riset dan analisis.
NARS sendiri jika dibandingkan dengan NABO ataupun NAL merupakan lembaga
yang umurnya jauh lebih muda, yakni didirikan pada tahun 2007.

Salah satu bentuk kerjasama eksternal adalah seperti apa yang dilakukan oleh pihak
partai politik dengan universitas terkemuka. Profesor dari universitas terkemuka
seringkali diundang untuk presentasi makalah atau juga sebagai komentator yang
diselenggarakan oleh partai politik. Konsultasi ilmiah yang dilakukan oleh partai
politik yang didanai dengan dana publik juga didasari oleh peraturan yang
menyebutkan bahwa 30% dana yang mereka miliki harus dipakai untuk riset dalam
rangka mendukung kinerja anggota legislatif mereka.

Melalui cara perumusan suatu peraturan berdasarkan data dan analisis, para anggota
legislatif setidaknya memiliki cukup informasi yang akan memudahkan kerja mereka
dalam penyusunan UU sehingga kerja para anggota dewan ini bisa lebih cepat.
Selama periode Mei 2008 hingga Mei 2012, NAL berhasil meloloskan sekitar 2.931
UU. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan NAL periode sebelumnya yang
“hanya” berhasil meloloskan 2.546 UU. Perubahan RUU di Korea Selatan hanya
terkait dengan norma-norma atau pasal-pasal perubahannya saja dan yang paling
penting mereka menggunakan sistem online (e-parlemen) dalam proses perancangan
RUU tersebut. Hal itu yang membedakan sistem perundang-undangan di Korea
Selatan dengan di Indonesia, sehingga Korea Selatan dapat
menghasilkan/mengesahkan hingga ribuan RUU dalam satu periode.

Undang-Undang yang mendapat perhatian luas akhir-akhir ini adalah Penghapusan


UU Perzinahan dan juga. Pengadilan Korea Selatan telah melegalkan perselingkuhan
dan menganggap hal tersebut bukanlah urusan konstitusional lagi. Meski sebelumnya
perselingkuhan dianggap kejahatan yang akan mendapat ganjaran hukuman penjara
selama 2 tahun, namun hukum yang telah berjalan selama 62 tahun tersebut kini
resmi dihapuskan. Argumen yang diberikan adalah hukum tersebut melanggar privasi
seksual masyarakat. Dalam hal ini KNA melakukan evaluasi terhadap suatu undang-
undang yang telah berlaku dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat
Korea Selatan.
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN

Republik Korea atau biasa dikenal sebagai Korea Selatan adalah sebuah negara di
Asia Timur yang meliputi bagian selatan Semenanjung Korea. Di sebelah utara,
Republik Korea berbataskan Korea Utara, di mana keduanya bersatu sebagai sebuah
negara hingga tahun 1948. Selain itu, Korea Selatan merupakan Negara republic
dengan menerapkan system pemerintahan demokrasi. Bentuk pemerintahan Korea
Selatan terbagi menjadi 3, yaitu lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislative. Korea
Selatan merupakan Negara yang mengalami perkembangan pesat dalam 3 dekade
terakhir baik dalam bidang politik, pendidikan, budaya, ekonomi, teknologi
informasi, dan ekspor.

Korea Selatan merupakan negara dengan perkembangan ekonomi yang baik. Korea
mulai mengembangkan diri sebagai Negara eksportir sejak adanya reformasi
perekonomian. Pada masa pemerintahan Park Chung-Hee sehingga Korea Selatan
menjadi Negara baru yang mengembangkan perekonomian negaranya melalui sector
industri. Perindustrian Korea dijalankan oleh chaebol dan didukung oleh pemerintah
secara penuh. Peran kebijakan pemerintah dalam mendukung perindustrian negaranya
juga berperan penting terhadap nilai ekspor Korea Selatan hingga sekarang. Sampai
sekarang Korea Selatan bisa menjadi
salah satu negara pengekspor tertinggi di dunia.

Dalam pasar global, pasar pangan untuk orang muslim lebih besar daripada pasar
China, U.S.A, Jepang, India dan Brasil. Maka peluang untuk berisnis di sektor halal
merupakan potensi yang sangat besar. Peluang ini juga diambil oleh negara Korea
Selatan, meskipun Korea bukan negara yang masyoritas muslim. Korea Selatan mulai
megembangkan produk makanannya agar mendapatkan sertifikasi halal sehingga
dapat di eskpor ke negara – negara muslim, salah satunya adalah Indonesia. Untuk
mendukung proses pembuatan keputusan sistem sertifikasi halal makanannya yang
akan diekspor ke negara-negara muslim merupakan hasil pertimbangan dari unsur
konteks internasional. Dalam dunia pangan, makanan halal mulai menarik minat para
konsumen baik orang muslim maupun non-muslim. Hal ini dikarenakan adanya
jaminan keselamatan dan kualitas tinggi dari makanan tersebut. Makanan halalpun
menjadi tren baru dalam pasar pangan di dunia. Kemudian daripada itu ditinjau dari
politik dalam negeri Korea Selatan, terdapat kepentingan Korea Selatan untuk
meningkatkan jumlah wisatawan asing yang mayoritas merupakan muslim. Sejak
tahun 2008, Korea selatan telah mencanangkan program Muslim Friendly yang
bertujuan untuk menarik wisatawan asing datang ke Korea. Selain itu adanya
kepentingan dari kelompok-
kelompok minoritas imigram muslim baik itu pekerja maupun mahasiswa yang
menginginkan adanya kemudahan akses untuk mendapatkan makanan halal. Serta
adanya dorongan dari kelompok industry kepada pemerintah untuk mendorong
perkembangan industry makanan Korea dapat mudah diterima oleh muslim. Maka
Korea Selatan perlu melakukan labelisasi halal dalam produk makanannya.
Dalam proses tindak lanjut atas kebijakan tersebut, MAFRA bekerja sama dengan aT
Korea Agro-Fisheries and Food Trade Corporation yang merupakan sebuah yayasan
yang didirikan untuk memajukan industri produk pertanian dan pertumbuhan yang
berkelanjutan ditengah perubahan lingkungan yang drastis. Selain itu, kementrian
tersebut juga bekerja sama dengan KMF dalam hal sertifikasi dan labelisasi makanan
halal.

DAFTAR PUSTAKA
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12282/BAB%20IV.pdf?
sequence=8&isAllowed=y (Diakses Selasa, 26 Oktober 2021)

https://id.wikipedia.org/wiki/Korea_Selatan (Diakses Selasa, 26 Oktober 2021)

https://www.kompasiana.com/leeyuhan/5dac8eff0d8230569a1f9bc4/sistem-
pemerintahan-korea-selatan (Diakses Selasa, 26 Oktober 2021)

http://p2k.itbu.ac.id/id1/3070-2950/Korea-Selatan_16565_ensiklopedia-dunia-q-
itbu.html (Diakses Selasa, 26 Oktober 2021)

Anda mungkin juga menyukai