Anda di halaman 1dari 27

Kepedulian Pekerja Dalam Keseimbangan Kehidupan Kerja dan

Evaluasi Kesuksesan Untuk Menciptakan Balance Work-Life

Mata Kuliah : Managing Work and Family Life

Dosen Pengampu : Drs. Heru Susilo, M.A.

Disusun oleh :

Devi Rahmaidianti 185030200111036


Agnur Syifa Salsabila 185030200111054
Muhammad Faisal 185030201111007
Bagaskara Faris N. 185030201111034
Naufal Dwiprilistyo 185030201111041
Pradita Ajeng Nuraini 185030207111037
Wildania Rahmadhani 185030207111038

ILMU ADMINISTRASI BISNIS

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Kepedulian Pekerja Dalam Keseimbangan
Kehidupan Kerja dan Evaluasi Kesuksesan Untuk Menciptakan Balance Work-
Life” Pada ini guna memenuhi tugas mata kuliah Managing Work and Family
Life.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan
dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, kami dengan terbuka menerima segala saran dan kritik yang bersifat
membangun dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Malang, 28 Mei 2021

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I
PENDAHULUAN 5
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Tujuan Penulisan 5
BAB II
PEMBAHASAN 6
2.1 Kepedulian Pekerja Dalam Keseimbangan Kehidupan Kerja 6
2.1.1 Loyalitas Pekerja/Kepedulian Pekerja 6
2.1.1.1. Pengertian Loyalitas Kerja 6
2.1.1.2 Aspek-aspek Loyalitas Kerja 6
2.1.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Loyalitas Kerja 7
2.1.2 Keseimbangan kehidupan kerja 8
2.1.3 Hubungan loyalitas dengan keseimbangan kehidupan
kerja 11
2.2 Evaluasi Kesuksesan Untuk Menciptakan Balance Work-Life 11
2.2.1 Pendahuluan 11
2.2.2 Tinjauan Pustaka 13
2.2.3 Mendefinisikan Ulang Sukses 14
2.2.3.1 Arena Non-Kerja 15
2.2.3.2 Kecurangan Strategis 18
2.2.4 Taktik Keseimbangan Kehidupan-Kerja Individu 19
2.2.5 Implikasi Untuk Praktek dan Pendidikan Kepemimpinan 21
BAB III
PENUTUP 26
3.1 Kesimpulan 26

3
DAFTAR PUSTAKA 27

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Keseimbangan hidup/kerja (Work-life balance) telah menjadi topik yang


menarik dalam studi organisasi akhir-akhir ini. Banyak peneliti yang secara umum
setuju dengan pentingnya peran dari work-life balance dimana berhubungan
dengan kesejahteraan psikologis secara individual dalam pekerjaan sebagai
pekerja dan secara menyeluruh dalam keharmonisan di kehidupan keluarga
sebagai ibu rumah tangga, yang merupakan indikator dari keseimbangan antara
peran kerja dan peran di keluarga (Ozbilgin, Mustafa F., Beauregard, A., Tatli, A.
& Bell, Myrtle P. 2011).

Karyawan dituntut untuk dapat bekerja dengan baik namun mereka juga
memiliki kehidupan diluar pekerjaan yang harus diperhatikan seperti keluarga,
komunitas sosial, studi, dan komitmen lainnya. Oleh karena itu, perlunya
kepedulian pekerja dalam keseimbangkan kehidupan kerja serta evaluasi untuk
kesuksesan dalam menciptakan balance work-life.

1.2 Tujuan Penulisan


Untuk memenuhi tugas mata kuliah Managing Work and Family Life,
mengetahui dan memahami tentang kepedulian pekerja dalam keseimbangan
kehidupan kerja dan evaluasi kesuksesan untuk menciptakan balance work-life.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kepedulian Pekerja Dalam Keseimbangan Kehidupan Kerja


2.1.1 Loyalitas Pekerja/Kepedulian Pekerja
2.1.1.1. Pengertian Loyalitas Kerja
Hasibuan (dalam Soegandhi, 2013) Mengemukakan bahwa
loyalitas kerja atau kesetiaan merupakan salah satu unsur yang digunakan
dalam penilaian karyawan yang mencakup kesetiaan terhadap
pekerjaannya, jabatannya dan organisasi. Kesetiaan ini dicerminkan oleh
kesediaan karyawan menjaga dan membela organisasi di dalam maupun di
luar pekerjaan dari rongrongan orang yang tidak bertanggung jawab
menurut Robbins (dalam Rahadiwati, 2013).

Loyalitas para karyawan bukan hanya sekedar kesetiaan fisik atau


keberadaaannya di dalam organisasi, namun termasuk pikiran, perhatian,
gagasan, serta dedikasinya tercurah sepenuhnya kepada organisasi.

Sudimin (dalam Malik, 2014) loyalitas kerja berarti kesediaan


karyawan dengan seluruh kemampuan, keterampilan, pikiran dan waktu
untuk ikut serta mencapai tujuan perusahaan dan menyimpan rahasia
perusahaan serta tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan
perusahaan selama orang itu masih berstatus sebagai karyawan. Kecuali
menyimpan rahasia, hal-hal itu hanya dapat dilakukan ketika karyawan
masih terikat hubungan kerja dengan perusahaan tempatnya bekerja.

Sedangkan menurut Menurut Phanaeuf (dalam Ningtyas, 2017)


Loyalitas karyawan tidak dapat diukur dengan saat mereka bekerja untuk
perusahaan saja, harus menyertakan komitmen karyawan ketika mereka
mengerjakan pekerjaan. Menurut Saydam (dalam Anzani, 2015) Loyalitas
merupakan sikap mental karyawan yang ditunjukan pada keberadaaan
perusahaan.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, maka dapat diambil


kesimpulan bahwa bahwa loyalitas kerja adalah kesetiaan karyawan
terhadap perusahaan dan tanggung jawab yang diberikan oleh perusahaan
baik secara kepercayaan yang menyimpan rahasia perusahaan serta
kesediaan karyawan untuk memajukan perusahaan tersebut.

2.1.1.2 Aspek-aspek Loyalitas Kerja

6
Aspek-Aspek loyalitas menurut Saydam (dalam Anzani, 2015)
adalah sebagai berikut:

a. Ketaatan atau kepatuhan


Ketaatan yaitu kesanggupan seorang pegawai untuk
mentaati segala peraturan kedinasan yang belaku dan mentaati
perintah dinas yang diberikan atasan yang berwenang, serta
sanggup tidak melanggar larangan yang ditentukan.

b. Bertanggung jawab

Tanggung jawab adalah kesanggupan seorang karyawan


dalam menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya
dengan baik, tepat waktu serta berani mengambil resiko untuk
keputusan yang dibuat atau tindakan yang dilakukan.

c. Pengabdian

Pengabdian yaitu sumbangan pemikiran dan tenaga secara


ikhlas kepada perusahaan.

d. Kejujuran

Kejujuran adalah keselarasan antara yang terucap atau


perbuatan dengan kenyataan.

Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek-


aspek dari loyalitas kerja terdiri dari taat pada peraturan, tanggung jawab
pada perusahan, kemauan utnuk bekerja sama, rasa memiliki, kesukaan
terhadap pekerjaan dan hubungann antar pribadi.

2.1.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Loyalitas Kerja


Stress dan Porter (dalam Anzani, 2015) menyatakan bahwa
timbulnya loyalitas karyawan dipengaruhi empat faktor yaitu:

A. Karakteristik pribadi meliputi usia, masa kerja, jenis kelamin,


tingkat pendidikan, prestasi yang dimiliki, ras dan beberapa sifat
kepribadian.
B. Karakteristik Pekerjaan Meliputi tantangan kerja, job stress,
kesempatan berinteraksi sosial, job enrichment, identifikasi tugas,
umpan balik tugas dan kecocokan tugas.
C. Karakteristik Design Perusahaan Menyangkut pada intern
perusahaan itu yang dapat dilihat dari desentralisasi, tingkat
formalisasi, tingkat keikutsertaan dalam pengambilan keputusan,
paling tidak telah menunjukkan berbagai tingkat asosiasi dengan

7
tanggung jawab perusahaan, ketergantungan fungsional maupun
fungsi kontrol perusahaan.
D. Pengalaman yaitu pengalaman yang diperoleh dalam perusahaan
meliputi sikap positif terhadap perusahaan, rasa percaya terhadap
sikap positif terhadap perusahaan, rasa aman.

Bedasarkan faktor-faktor diatas, dapat dilihat bahwa masing-


masing faktor meempunyai dampak tersendiri bagi kelangsungan hidup
perusahaan, sehingga tuntutan loyalitas yang diharapkan perusahaan baru
terpenuhi apabila karyawan memiliki karakteristik yang diharapkan dan
perusahaan sendiri telah mampu memenuhi harapan-harapan karyawan.
Tetapi secara garis besar, loyalitas/kepedulian pekerja sangat dipengaruhi
oleh Kepuasan Kerja.

2.1.2 Keseimbangan Kehidupan Kerja


2.1.2.1 Pengertian Keseimbangan Kehidupan Kerja

Work-life balance merupakan faktor penting bagi tiap karyawan,


agar karyawan memiliki kualitas hidup yang seimbang dalam
berhubungan dengan keluarganya dan seimbang dalam pekerjaan.

Menurut Robbins dan Coulter (2012 : p358) program work-life


balance meliputi sumber daya pada perawatan orang tua dan anak,
perawatan, kesehatan dan kesejahteraan karyawan, dan relokasi dan lain-
lain. Dimana banyak perusahaan menawarkan program family-friendly
benefits yang dibutuhkan karyawan untuk menyeimbangkan kehidupan
dan pekerjaan, yang termasuk flextime, job sharing, telecommunicating
dan lain-lain.

Penjelasan lain tentang keseimbangan kehidupan kerja dijelaskan


oleh State Services Commission (2005:46) mengatakan bahwa hal-hal
berikut termasuk dalam cakupan kajian keseimbangan kehidupan kerja,
yaitu: (a) Aspek pada tempat kerja, terdiri dari : jenis pekerjaan, tipe
tempat kerja, dan masalah di tempat kerja misalnya beban kerja yang tidak
masuk akal. (b) Kebutuhan hidup, terdiri dari : kebutuhan waktu untuk
keluarga dan masyarakat misalnya perawatan anak, kebutuhan waktu
untuk pribadi karyawan misalnya rekreasi, dan kebutuhan waktu sebagai
anggota kelompok tertentu.

Berdasarkan pengertian diatas, work-life balance adalah


keseimbangan hidup yaitu waktu luang, keluarga, dan kerja yaitu karir dan
ambisi pada seorang individu seharusnya sama seimbang untuk
mengurangi ketegangan antara pekerjaan dan kehidupan karyawan.
Dimana perusahaan membantu para karyawan untuk menyeimbangkan

8
kehidupan dan kerja karyawan dengan menciptakan program family
friendly benefit yang mendukung kesejahteraan karyawannya sehingga
karyawan tidak mengorbankan tanggung jawab mereka.

2.1.2.2 Konteks Nasional dalam Keseimbangan Kehidupan Kerja

Sumber dukungan untuk work-life balance bisa berasal dari negara,


pasar, keluarga atau dari kombinasi sumber. Secara umum, negara adalah
penyedia utama dukungan work-life balance di negara-negara sosial
demokratis seperti Swedia dan di negara-negara bekas sosialis di Eropa
Tengah dan Timur (seperti Bulgaria dan Hongaria). Di negara-negara
kesejahteraan konservatif (Jerman) dan di negara-negara Eropa Selatan
(Spanyol, Portugal), keluarga yang memberikan dukungan, sedangkan di
negara-negara liberal (Inggris), pasar dianggap sebagai penyedia utama
dukungan work-life balance. (Abendroth dan Dulk, 2011). Namun
demikian, ada bukti yang menunjukkan bahwa dukungan negara untuk
kebijakan work-life balance dapat merangsang dukungan di tempat kerja
karena negara dapat membuat pengusaha peka terhadap masalah tersebut
dan mendorong mereka untuk menawarkan dukungan (Abendroth dan
Dulk, 2011).

Lembaga pemikir Amerika The Mobility Agenda


merekomendasikan agar pembuat kebijakan dan pengusaha mengadopsi
empat kebijakan keseimbangan kerja-hidup minimum:

- Jaminan hari sakit dibayar untuk semua pekerja;

- Cuti medis dan keluarga yang dibayar;

- Hak untuk meminta fleksibilitas tempat kerja;

- Fleksibilitas penjadwalan.

Apa yang harus dilakukan pemerintah pada keseimbangan


pekerjaan-kehidupan? Rekomendasi OECD

- Menjamin cuti yang dibayar untuk orang tua dengan perlindungan kerja.
Kebijakan sering membantu orang tua mengambil cuti sekitar kelahiran bayi
dan terkadang memberikan beberapa tunjangan pra-sekolah.

- Memberikan dukungan keuangan untuk pengasuhan anak yang baik dan


terjangkau. Di banyak negara, penyediaan pengasuhan anak yang baik sudah
ada, tetapi tidak selalu terjangkau dan tidak selalu sesuai dengan jam kerja.
Beberapa negara perlu memberikan dukungan yang lebih besar untuk
pengasuhan anak baik melalui investasi modal di fasilitas pengasuhan anak
atau melalui pembayaran langsung kepada orang tua. Selain penyediaan pra-

9
sekolah, penyediaan jam / ketentuan di luar sekolah yang memadai juga
diperlukan.

- Memberi karyawan 'hak untuk meminta' jam kerja fleksibel. Hal ini
menekankan keterlibatan pemberi kerja dan karyawan dalam menentukan
jam kerja yang sesuai bagi kedua belah pihak. Ini memperluas akses ke
pekerja berpenghasilan rendah yang biasanya memiliki sedikit fleksibilitas
atau otonomi untuk menentukan jam kerja mereka.

Meningkatkan dukungan pemerintah untuk keseimbangan kerja-hidup.


Rekomendasi OECD di negara tertentu :

Australia:

● Memperluas program dukungan pengasuhan anak


● Bantulah orang tua tunggal untuk mencari pekerjaan.

Kanada:

● Memperkuat investasi dalam pengasuhan anak formal


● Meningkatkan keterjangkauan pengasuhan anak
● Menawarkan dukungan pengasuhan anak untuk membantu keluarga yang
rentan, terutama orang tua tunggal

Jerman:

● Mendukung layanan pengasuhan anak


● Mereformasi sistem pajak / tunjangan untuk mendorong para pencari
nafkah kedua dalam keluarga dengan anak-anak

Belanda:

● Meningkatkan fasilitas pengasuhan anak untuk memungkinkan partisipasi


perempuan dalam pekerjaan penuh waktu

Britania Raya:

● Menyediakan pengasuhan anak lokal yang terjangkau dan berkualitas baik


● Berikan suplemen pengasuhan anak yang efektif untuk orang tua yang
bekerja

2.1.3 Hubungan loyalitas dengan keseimbangan kehidupan


kerja
Hye Kyoung Kim (2014:40) menyatakan pengalaman
keseimbangan kehidupan kerja menghasilkan perasaan loyalitas kepada
organisasi dan meningkatkan komitmen afektif. Komitmen afektif adalah
keterikatan emosional pada organisasi atau pengusaha yang dapat

10
menyebabkan karyawan ingin tetap bersama. Keseimbangan antara
kehidupan didalam pekerjaan yang baik akan menghasilkan semangat
kerja tinggi, timbulnya perasaan puas terhadap pekerjaan yang dimiliki,
dan adanya rasa tanggung jawab penuh baik di dalam pekerjaan maupun
dalam kehidupan pribadinya (Maslichah & Hidayat, 2018). Situasi atau
keadaan dimana karyawan merasa mampu menyeimbangkan pekerjaan
dan kehidupan pribadi atau komitmen lain dapat dikatakan sebagai work
life balance (Moore; Moedy; Hawa & Nurtjahjanti, 2018). Menurut
Delectа (dalam Qodrizana & Musadieq, 2018) bаhwа work life bаlаnce
аdаlаh sebаgаi kemаmpuаn seseorаng аtаu individu untuk memenuhi
tugаs dаlаm pekerjааnnyа dаn tetаp berkomitmen pаdа keluаrgа merekа,
sertа tаnggung jаwаb di luаr pekerjааn lаinnyа. Dengan adanya hal
tersebut sehingga diharapkan seorang memiliki work life balance yang
baik di dalam sebuah perusahaan maka akan menimbulkan rasa nyaman
bekerja diperusahaan tersebut sehingga menyebabkan tingginya loyalitas
karyawan. Semakin tinggi work life balance maka semakin tinggi loyalitas
karyawan. Demikian juga semakin rendah work life balance maka
semakin rendah loyalitas karyawan.

2.2 Evaluasi Kesuksesan Untuk Menciptakan Balance Work-Life


2.2.1 Pendahuluan

Landasan untuk Menciptakan Keseimbangan Kehidupan-Kerja

J. Lee Whittington, Rosemary Maellaro, dan Timothy Galpin

Batas antara kantor dan rumah menjadi kabur oleh kemampuan kita untuk
berkomunikasi dan berbagi informasi. Hari kerja, bahkan minggu kerja, telah
berkembang melampaui batas tempat dan waktu yang sebelumnya memberikan
penyangga antara pekerjaan dan kehidupan lainnya. Sementara karyawan di
semua tingkat organisasi dipengaruhi oleh kaburnya batasan ini, hal ini terutama
berlaku untuk manajer, orang teknis, dan kontributor individu di jajaran
menengah dan atas organisasi - yang di seluruh bab disebut sebagai professional.
Karena mereka sering diharapkan untuk melakukan “apa pun yang diperlukan”
untuk menyelesaikan tugas mereka.

Kurangnya batasan yang terlihat dan berbeda memperburuk kurangnya


keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi yang dialami banyak

11
profesional. Akibatnya, para profesional menghabiskan sebagian besar waktu,
upaya fisik, dan - mungkin yang terpenting - energi emosional untuk pekerjaan
mereka. Akibatnya, kehidupan pribadi, keluarga, komunitas, dan sosial hanya
menerima yang tersisa. Kurangnya keseimbangan ini memiliki konsekuensi
langsung dan jangka panjang bagi individu, keluarga, dan organisasi.

Model Kesuksesan Seumur Hidup

Seperti halnya kompetisi, pandangan kesuksesan seumur hidup kita


membutuhkan kinerja di banyak pertandingan (kehidupan), bukan hanya satu.
Dengan demikian, Model Kehidupan Seutuhnya memberikan dasar untuk
pandangan kesejahteraan yang lebih komprehensif. Daripada menekankan karir
dan pekerjaan dengan mengesampingkan keluarga, pribadi, spiritual, dan arena
komunitas, model ini menempatkan karir dan perkembangan hidup secara
keseluruhan. Dinamika yang mendasari file bekerja dalam model konteks adalah
coopera strategi menang-menang sebagai lawan dari strategi kompetitif, menang-
kalah. Kami menguraikan strategi untuk mengembangkan setiap arena ini dalam
pandangan kesuksesan yang lebih luas.

Pandangan sukses yang lebih komprehensif adalah dasar untuk mencapai


keseimbangan kehidupan kerja. Namun, kesepakatan intelektual belaka tidak akan
menciptakan keseimbangan yang diinginkan. Oleh karena itu, menelusuri
hambatan yang menghalangi para profesional untuk menerapkan perspektif ini
dan memperkenalkan persyaratan kecurangan strategis untuk menghayati
pandangan kesuksesan yang didukung. Komponen kunci dari kecurangan strategis
adalah belajar bekerja dan memimpin dari kekuatan pribadi. Individu yang
mampu mempertahankan keefektifan mereka telah menemukan pentingnya
menyalurkan energi mereka ke dalam arena yang sangat selaras dengan bakat dan
hasrat mereka. Implikasi dari hal ini dibahas bersama dengan strategi pribadi
untuk mencapai kehidupan yang lebih seimbang. Membahas peran pemimpin
dalam mengambil inisiatif untuk tidak hanya membuat kebijakan organisasi yang
mendukung keseimbangan kehidupan kerja, tetapi juga dalam pemodelan
keseimbangan yang mereka dorong untuk diterapkan oleh karyawan.

12
2.2.2 Tinjauan Pustaka

Karena batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi kabur oleh
kemampuan untuk berkomunikasi dan berbagi informasi, hari kerja telah meluas
dan sekarang sering kali mengganggu kehidupan pribadi kita (Mariotti, 1998).
Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan keseimbangan antara kehidupan
pribadi dan pekerjaan. Faktanya, keseimbangan kehidupan kerja sangat penting
untuk kesuksesan pribadi dan organisasi, serta untuk kesehatan dan kesejahteraan
pribadi. Di satu sisi, kurangnya keseimbangan antara pekerjaan dan aktivitas
pribadi dapat menyebabkan kelelahan, produktivitas rendah, ketidakhadiran,
ketidakpuasan, dan penyakit terkait stres di semua tingkat organisasi (Edwards
dan Rothbard,2000; Kreiner dkk.,2006; Parasuraman dan Greenhaus,2002; Rice
dkk.,1992; Wiley,2006). Di sisi lain, orang yang mampu mencapai keseimbangan
antara pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka dan dengan demikian lebih efektif
mengalokasikan waktu dan energi mereka untuk berbagai tuntutan yang dibuat
pada mereka dapat secara signifikan meningkatkan kesejahteraan mereka
(Mariotti, 1998).

Kesejahteraan secara keseluruhan memiliki komponen fisik dan mental


dan "ini tentang perasaan positif, dan memiliki energi yang cukup untuk menjadi
produktif di tempat kerja dan untuk menikmati kehidupan non-kerja"
(O'Reilly,2006). Seruan untuk keseimbangan ini didukung oleh teori yang muncul
tentang pengayaan pekerjaan, keluarga (Greenhaus dan Powell, 2006), daripada
keseimbangan kehidupan kerja, yang menyiratkan pola pikir salah satu. Menurut
teori ini, partisipasi dalam peran di tempat kerja dan di rumah dapat memiliki efek
tambahan yang positif pada kesejahteraan fisik dan psikologis. Individu yang
berpartisipasi dalam pekerjaan yang memuaskan dan peran keluarga telah
diketahui mengalami kesejahteraan yang lebih besar daripada mereka yang
berpartisipasi hanya dalam satu peran atau yang tidak puas dengan satu atau lebih
peran mereka. Penelitian terbaru oleh Bourne et al. (2009) memberikan dukungan
untuk gagasan hidup yang lebih seimbang. Hasil studi mereka mengungkapkan
bahwa mayoritas peserta mengidentifikasi diri mereka sebagai "dual-sentris" yang
menghargai pekerjaan dan peran non-kerja mereka secara setara. Individu dual-

13
sentris ini mengalami kepuasan yang lebih menyeluruh, keseimbangan kehidupan
kerja yang lebih baik, dan kelelahan emosional yang lebih sedikit. Manfaat dari
fokus dual-sentris ini menunjukkan bahwa organisasi dapat meningkatkan
kesejahteraan karyawan dengan merangkul mereka sebagai individu yang utuh
Yaitu, dengan mengakui dan menghargai aktivitas mereka di arena kehidupan
selain pekerjaan. Manfaat dari menciptakan keseimbangan semacam itu
bertambah baik bagi organisasi maupun individu. Perusahaan yang mendukung
upaya karyawannya untuk menjalani kehidupan yang lebih seimbang ditampilkan
dalam daftar "100 Terbaik" Fortune. Perusahaan-perusahaan ini secara konsisten
mengungguli S&P 500 (Levering et al.,2000) dan mereka memperoleh peringkat
kepuasan pelanggan yang jauh lebih tinggi daripada perusahaan yang tidak ada
dalam daftar (Simon dan DeVaro, 2006). Yang terpenting, perusahaan-perusahaan
ini lebih efektif dalam upaya mereka untuk merekrut dan mempertahankan talenta
terbaik (Reed dan Clark,2004).

2.2.3 Mendefinisikan Ulang Sukses


Definisi kesuksesan Anda adalah elemen fundamental dari setiap penilaian
yang Anda buat tentang keseimbangan dalam hidup Anda. Definisi kesuksesan
Anda sendiri mendorong tindakan Anda. Tidak jarang orang menemukan bahwa
mereka tidak pernah mengidentifikasi sendiri bagaimana mereka mendefinisikan
dan mengukur kesuksesan (Gurvis dan Patterson,2005, hal. 6). Dengan adanya
bukti bahwa menjalani kehidupan yang seimbang memberikan manfaat bagi
individu dan organisasi tempat mereka berpartisipasi, akan sangat membantu bagi
individu untuk secara pribadi mendefinisikan kembali kesuksesan. Terlalu sering
para profesional mendefinisikan kesuksesan secara sempit dengan berfokus pada
satu arena: Pekerjaan dan karir. Namun individu yang mendefinisikan kesuksesan
secara sempit memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih rendah secara
keseluruhan dan lebih banyak kelelahan emosional daripada mereka yang
memiliki pandangan yang lebih seimbang dan komprehensif (Bourne et al.,2009).

Dukungan untuk pandangan sukses yang lebih kompleks ini juga


disediakan oleh karya Linville tentang kompleksitas diri (Linville, 1985, 1987).
Menurut Linville (1987 Hipotesis penyangga kompleksitas diri, individu dengan

14
tingkat kompleksitas diri yang tinggi dilindungi dari kesusahan dan ketegangan
ketika peristiwa kehidupan yang penuh tekanan terjadi dalam satu arena
kehidupan. Jika harga diri seseorang didasarkan pada konsep diri totalnya,
peristiwa stres dalam satu arena kehidupan tidak begitu menghancurkan. Individu
yang harga dirinya didominasi oleh hanya satu peran atau arena lebih cenderung
mengalami tingkat kesusahan yang lebih tinggi saat peristiwa stres terjadi di arena
tersebut.

Elemen kunci dalam mengembangkan kehidupan yang lebih seimbang


adalah membuat keputusan untuk mendefinisikan kembali kesuksesan dengan
cara yang mencerminkan pentingnya dimensi non-pekerjaan. Meminjam dari
model pentathlon yang dikembangkan oleh Sherman dan Hendricks (1990), kami
menawarkan pandangan sukses seumur hidup yang, selain arena kerja, mencakup
empat arena kehidupan non-kerja yang ditunjukkan di 4.1. Dalam kerangka model
ini, yang menekankan masing-masing dari lima arena kehidupan, kesuksesan
adalah fungsi dari keseimbangan waktu, komitmen, dan investasi energi
emosional di lima bidang kehidupan ini. Seperti halnya acara Olimpiade, model
tersebut menyarankan bahwa kesuksesan membutuhkan kinerja di semua arena
(acara) dan tidak hanya di satu arena.

2.2.3.1 Arena Non-Kerja

Arena pribadi adalah dunia pribadi diri (MacDonald, 1985). Dunia pribadi
ini dapat dilihat sebagai esensi kita, dan pengaturan arena kehidupan ini
memberikan stabilitas yang menjangkar dimana arena kehidupan lainnya dapat
diatur. Arena ini mencakup aktivitas kesehatan pribadi, olahraga, manajemen
stres, dan waktu luang. Hubungan dengan mentor dan anak didik akan jatuh ke
dalam arena pribadi.

Kompleksitas kehidupan organisasi kontemporer menciptakan banyak


tekanan pada individu. Rencana kesejahteraan pribadi dapat membantu orang
"tetap hidup" dalam peran organisasi mereka (Heifetz dan Linsky,2002). Menurut
Heifetz dan Linskey, individu bisa gagal dalam pekerjaan dengan lupa
memperhatikan diri sendiri. Di tengah tantangan tempat kerja, adrenalin mengalir

15
dan orang lupa bahwa mereka rentan terhadap batasan kapasitas fisik dan
emosional.

Untuk tetap hidup dalam peran pekerjaan mereka, individu harus belajar
untuk menyadari dan mengelola rasa lapar mereka sendiri. Program pemulihan
telah lama menganjurkan prinsip HALT: Jangan pernah terlalu lapar, terlalu
marah, terlalu kesepian, atau terlalu lelah karena situasi ini menciptakan
kerentanan yang meningkat yang dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk
bertindak dengan bijak. Mengelola rasa lapar ini membutuhkan kesadaran diri dan
disiplin pribadi.

Meskipun kesadaran diri dan disiplin pribadi itu penting, terlalu sering
orang tidak mengetahui dampak dari peran pekerjaan mereka dan ekspektasi
terhadap mereka. Individu perlu mengembangkan lingkaran dalam orang-orang
yang bersedia membantu mereka menjaga keseimbangan dan batasan yang tepat.
Pengembangan hubungan ini terjadi di arena komunitas di mana kita dapat
mengembangkan keterikatan antarpribadi yang sehat untuk tujuan dukungan
sosial. Keterikatan antarpribadi yang aman mungkin ada di tempat kerja, keluarga,
dan komunitas, sementara keterikatan transenden yang aman dengan Tuhan ada di
dalam arena spiritual (Quick et al.,1995). Komunitas spiritual dan sekuler
seseorang mungkin tumpang tindih atau tidak.

Heifetz dan Linsky (2002) memperluas arena komunitas dengan


mendiskusikan pentingnya tance of confidants. Konflik menyediakan tempat yang
aman di mana seseorang dapat mengatakan semua yang ada di hatinya tanpa perlu
menulis atau mengedit perasaan dan emosi yang mentah. Ini adalah orang-orang
yang dapat membuat seseorang "kembali bersama" ketika mereka baru saja hidup
melalui Humpty Dumpty-like yang jatuh dari dinding (Heifetz dan Linsky, 2002).
Konflik memberikan perspektif yang unik karena mereka peduli tentang orang
tersebut dan mungkin atau mungkin tidak terkait dengan peran pekerjaan individu
tersebut. Mereka dapat mendengarkan dengan penuh perhatian dan obyektif.
Confance adalah orang yang memberi tahu individu apa yang perlu dia dengar.

16
Mereka memberikan informasi dan wawasan yang mungkin tidak ingin didengar
seseorang dan tidak akan dapat didengar dari orang lain. Secara timbal balik,
keyakinan dapat dipastikan tanpa kekhawatiran bahwa wahyu individu akan
tumpah kembali ke dalam organisasi. Orang harus memupuk keyakinan dan
membiarkannya masuk ke dalam hidup mereka jika mereka ingin menjalankan
perlombaan kehidupan dengan ketabahan.

Arena spiritual mencakup pengembangan hubungan dengan Tuhan, yang


diperkuat oleh upaya pribadi dalam doa, meditasi, dan studi, serta keterlibatan
dalam komunitas yang seperti orang percaya. Agama yang terinternalisasi,
intrinsik, dan aktif secara individual telah dikaitkan dengan berkurangnya
penyakit dan kesehatan fisik yang lebih baik (McIntosh dan Spilka,1990).

Mengolah arena spiritual mungkin membutuhkan penciptaan tempat


perlindungan yang tersedia (Heifetz dan Linsky, 2002). Suaka adalah tempat yang
ditentukan di mana individu dapat menarik diri untuk refleksi dan pembaruan. Ini
adalah tempat yang memberikan keamanan emosional dan fisik dan
memungkinkan orang tersebut untuk menangguhkan stres di tempat kerja.
Penciptaan tempat kudus membutuhkan disiplin untuk menyusun jadwal dan
rutinitas sehingga manfaat tempat kudus tidak hilang dalam kesibukan hidup
orang tersebut. Bentuk tempat perlindungan mungkin berbeda-beda. Ini bisa
berupa jalur jogging, taman, atau a 70 JL Whittington dkk. ruangan khusus yang
menyediakan ketenangan dan penghiburan yang dibutuhkan untuk menyendiri
tanpa gangguan untuk refleksi dan pembaruan.

Arena keluarga menekankan tanggung jawab kepada pasangan dan anak,


namun juga mencakup kewajiban kepada saudara kandung dan orang tua.
Perencanaan dan penganggaran untuk kebutuhan manajemen rumah tangga,
menghabiskan waktu yang signifikan dengan anak anak dan terus menerus
membina hubungan suami-istri adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
arena keluarga.

Definisi kesuksesan seumur hidup menunjukkan bahwa seseorang harus


tampil di lima arena kehidupan. Gambaran ini menunjukkan saling

17
ketergantungan, bukan kemandirian penuh, dari lima arena. Ini mendukung Model
Kehidupan Seutuhnya dari kesejahteraan dan investasi seimbang di lima arena
yang dapat melindungi seorang manajer dari kejadian-kejadian menyedihkan
dalam hidup (Linville,1987).

2.2.3.2 Kecurangan Strategis

Mengembangkan definisi sukses yang lebih komprehensif adalah titik


awal. Namun, penerapan model ini membutuhkan pembuatan batasan pada
komitmen yang dibuat seseorang dalam hal waktu, energi fisik, dan tenaga
emosional. Penegakan batasan ini membutuhkan upaya yang disengaja untuk
membatasi komitmen. Kami menyebut upaya yang disengaja ini sebagai
kecurangan strategis. Ini bukanlah aktivitas yang tidak bermoral tetapi lebih
merupakan pendekatan disiplin untuk menetapkan batasan di sekitar komitmen
waktu dan energi, dan membuat pertukaran strategis yang mencerminkan nilai-
nilai dan prioritas yang dianut. Inti dari kecurangan strategis pada dasarnya adalah
tentang menetapkan dan menjalankan prioritas. “Menetapkan prioritas adalah
tentang menempatkan sesuatu di atas sesuatu yang lain. Prioritas adalah sesuatu
yang Anda katakan ya meskipun itu berarti mengatakan tidak pada hal-hal penting
lainnya ”(Stanley,2003, hal. 12).

Faktanya adalah kita semua menipu dengan menghabiskan sebagian besar


waktu dan energi emosional kita di satu arena dengan mengorbankan yang lain.
Ini curang secara default dan jarang mencerminkan nilai-nilai yang kami anut.
Kecurangan strategis adalah tindakan yang disengaja. Ini adalah keputusan untuk
menetapkan dan menjaga batasan sehingga komitmen berlebihan di satu arena
tidak merusak arena lainnya. Dual-centrics yang dibahas sebelumnya memberikan
contoh orang yang telah membuat keputusan untuk menempatkan nilai pada peran
non-kerja mereka sebanyak peran pekerjaan mereka.

2.2.4 Taktik Keseimbangan Kehidupan-Kerja Individu

Solusi untuk keseimbangan kehidupan-kerja lebih difokuskan pada


solusi organisasi dibandingkan solusi individual. Hal ini telah sesuai dengan
sejumlah besar penelitian yang dilakukan. Penelitian ditekankan pada

18
pembelajaran terkait kebijakan sumber daya manusia yang di dalamnya termasuk
waktu luang, manfaat ramah keluarga, dan aspek organisasi tingkat makro lainnya
(Stebbins, 2001). Perlow dan Porter pada tahun 2009 telah menemukan bahwa
perusahaan yang memberikan cuti cenderung mempertahankan tingkat layanan
tinggi dan mengalami tingkat retensi talenta berharga yang lebih baik. Peneliti
juga telah memfokuskan penelitian pada teori proses keputusan dan teori
pemberlakuan fleksibilitas pada tingkat individu. Namun, penelitian terkait
keseimbangan kehidupan-kerja pada tingkat individu cenderung meneliti variabel
stabil dan/atau sulit diubah seperti gender. Misalnya, pada penelitian yang
dilakukan Byron tahun 2005 menemukan bahwa karyawan laki-laki cenderung
mengalami lebih banyak gangguan kerja dengan keluarga, sedangkan karyawan
perempuan cenderung lebih banyak mengalami gangguan keluarga dengan
pekerjaan. Selanjutnya, Eby et al (2005) menemukan bahwa mayoritas penelitian
berfokus pada gender dengan pertimbangan minimal pada perbedaan individu
seperti kepribadian atau motivasi. Wanita profesional lebih sulit bersantai setelah
bekerja dan melaporkan stres yang lebih besar baik dalam kehidupan kerja
maupun non-kerja mereka daripada pria. Pada pasangan berpenghasilan ganda,
perempuan melaporkan gejala stres yang lebih besar daripada laki-laki.
Ditemukan pula bahwa perempuan mendapat keuntungan atau manfaat yang lebih
sedikit dibandingkan dengan laki-laki pada kehidupan kerja.

Studi terkait keseimbangan kehidupan-kerja memiliki kelemahan


berupa tidak adanya penawaran terkait panduan yang dapat digunakan oleh orang-
orang yang ingin memiliki keseimbangan kehidupan-kerja untuk mengurangi
stres. Pemberian pengetahuan yang dapat ditindaklanjuti pada individu membantu
tiap individu untuk menerapkan solusi dalam permasalahan keseimbangan
kehidupan-kerja. Kreiner dkk (2009) menemukan bahwa individu dapat
menerapkan keseimbangan kehidupan-kerja dengan suatu taktik yang dibuat
dengan menegosiasikan ulang batas pekerjaan-rumah. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara tantangan batas
kehidupan-kerja dan taktik yang digunakan. Tantangan menunjukkan perlunya
taktik, dan taktik yang diterapkan dapat mengurangi tantangan. Taktik
keseimbangan kehidupan-kerja diklasifikasikan menjadi empat kategori besar.

19
Pertama, taktik perilaku mencakup penggunaan keterampilan dan
ketersediaan individu lain yang dapat mengatasi batasan pekerjaan-rumah, seperti
meminta anggota staf menyaring panggilan dan menggunakan pesan suara, ID
penelepon, atau email untuk memfasilitasi batasan kerja. Penting untuk
memprioritaskan tuntutan kehidupan-kerja yang mendesak dan penting seperti
tenggat waktu kerja dan keadaan darurat pengasuhan anak juga merupakan contoh
taktik perilaku. Kedua, taktik temporal diindikasikan oleh adanya manipulasi
rencana reguler seperti pemblokiran segmen waktu untuk melakukan suatu
pekerjaan tertentu atau tugas keluarga dan melepaskan diri dari tuntutan kerja-
rumah untuk segmen waktu yang signifikan melalui liburan. Ketiga, taktik fisik
termasuk diadakannya penetapan batas fisik antara pekerjaan dan rumah seperti
disediakannya ruangan yang berbeda di rumah untuk menyelesaikan tugas terkait
pekerjaan, menambah atau mengurangi jarak antara kantor dan rumah, serta
digunakannya objek seperti kalender dan foto untuk memadukan aspek kerja dan
rumah. Terakhir yaitu taktik komunikatif yang melibatkan pengelolaan ekspektasi
orang lain sebelum pelanggaran batas pekerjaan-rumah seperti pernyataan
preferensi kepada rekan kerja atau keluarga sebelumnya dan menghadapi
pelanggar batas kerja-rumah baik selama atau setelah pelanggaran batas.

Di luar keempat kategori ini, terdapat taktik khusus yang digunakan


secara efektif untuk mencapai keseimbangan kehidupan-kerja mereka sendiri.
Misalnya, auditor wanita memanfaatkan delegasi dan memberlakukan praktik
kerja baru seperti menetapkan waktu yang jelas untuk meninggalkan kantor.
Kemitraan rumah juga dapat dibangun dengan pasangan mereka seperti
dipekerjakan pihak ketiga seperti pembantu rumah tangga dan pengasuh anak.
Dapat pula dilakukan peningkatan efisiensi, merencanakan hari-hari pribadi dan
liburan jauh sebelumnya, dengan hormat menolak pertemuan yang tidak relevan,
dan meluangkan sejumlah waktu untuk menyelesaikan tugas rutin harian.
Disarankan pula untuk menciptakan ritual akhir hari seperti bertanya kepada
setiap anggota keluarga tentang hari yang mereka lewati. Hal tersebut dapat
membantu individu untuk beralih dengan cepat dari mode kerja ke mode keluarga.

2.2.5 Implikasi Untuk Praktek dan Pendidikan Kepemimpinan

20
Seluruh kehidupan individu harus selaras dan seimbang guna mewujudkan
kinerja organisasi yang maksimal dan kepuasan karyawan memerlukan
pendekatan kepemimpinan yang kolaboratif. Para profesional tidak selalu
menyadari bahwa mereka memiliki kapasitas terbatas untuk bekerja atau
keengganan untuk meminta fleksibilitas terhadap manajer mereka untuk
memenuhi kebutuhan keseimbangan kehidupan-kerja mereka. Hal tersebut
berakibat pada para profesional yang memerlukan bantuan untuk mengklarifikasi
nilai-nilai mereka dan mereka juga membutuhkan lingkungan kerja yang nyaman
untuk mencapai keseimbangan kehidupan-kerja. Karyawan dapat dikembangkan
dengan memanfaatkan sinergi lintas pekerjaan, keluarga, komunitas, dan diri
sendiri. Seorang pemimpin yang gagal memfasilitasi jenis pengembangan
profesional ini dapat dipandang sebagai salah satu urusan sumber daya organisasi.

Maka dari itu, pendekatan kepemimpinan yang digunakan dalam


organisasi mengharuskan pemimpin hidup selaras dengan nilai-nilai inti mereka
dan mendorong karyawan untuk melakukan hal yang sama. Keterampilan
kepemimpinan organisasi yang diperlukan secara efektif penting untuk diterapkan
pada kehidupan.

Untuk meraih kesuksesan dalam meraih keseimbangan kehidupan-kerja,


para pemimpin harus memulai dengan mengetahui definisi secara jelas tentang
siapa mereka, apa yang mereka hargai, dan hal yang penting dalam kehidupan
mereka. Hal ini dapat tercapai melalui penggunaan instrumen dan/atau latihan
identifikasi nilai serta fleksibilitas organisasi yang mendorong karyawannya untuk
mengejar aktivitas bermakna di area non-kerja. Selain itu, pemimpin juga
memerlukan pandangan yang lebih komprehensif dan integratif dengan menjadi
teladan dalam penerapan konsep bahwa pekerja atau karyawan memiliki banyak
identitas yang merupakan bagian dari banyak sistem lain seperti keluarga, tempat
ibadah, komunitas, organisasi sosial, sekolah, dan lain-lain. Identitas dalam setiap
peran dan perilaku di setiap organisasi akan berdampak dan berpengaruh terhadap
komitmen mereka di area lain. Identitas tersebut saling bergantung. Dengan
diterapkannya pemikiran sistem yang komprehensif dan integratif pada pemimpin
akan memperbaiki pandangan terkait kesuksesan pribadi dan akan memungkinkan

21
mereka untuk mendorong karyawan untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan
kehidupan-kerja mereka.

a. Kesadaran Diri

Untuk menyusun definisi pribadi tentang kesuksesan, para pemimpin harus


mulai dengan menjadi sangat jelas tentang siapa mereka, apa yang mereka
hargai, dan apa yang penting dalam lima domain kehidupan mereka
(Friedman dan Lobel, 2000; Maellaro dan Whittington, 2009; Pfeffer dan
Sutton,2007). Hal ini dapat dicapai melalui penggunaan instrumen dan / atau
latihan identifikasi nilai, serta fleksibilitas organisasi yang mendorong
karyawan untuk mengejar aktivitas yang bermakna di arena non-kerja.

Karyawan dan manajer dapat lebih meningkatkan kesadaran diri mereka


dengan berpartisipasi dalam 360◦ survei umpan balik, penjadwalan waktu
khusus untuk berefleksi, dan bersikap terbuka terhadap umpan balik tentang
bagaimana perilaku mereka memengaruhi orang lain. Organisasi dapat
mendukung upaya individu untuk menjadi lebih sadar diri dengan
memberikan umpan balik kinerja yang jujur dan dengan mengakui mereka
yang menunjukkan pemahaman tentang dampak perilaku mereka dan yang
mengambil langkah proaktif untuk memastikan dampak positif. Program
pendidikan manajemen dapat membantu siswa mengembangkan kesadaran
diri dengan memperkenalkan mereka pada catatan kesadaran emosional
pribadi, membantu mereka belajar mengidentifikasi tren atau pemicu
perilaku, dan meningkatkan kemampuan dan kenyamanan mereka dalam
meminta, menerima, dan bertindak berdasarkan umpan balik perilaku.

b. Pemikiran Sistem

Karyawan memiliki banyak identitas (Houston,2004) dan membawa ke


tempat kerja setiap hari seseorang yang juga merupakan bagian dari banyak
sistem lain (keluarga, gereja, komunitas, organisasi sosial, sekolah, dll.).
Makna dari hal ini adalah bahwa identitas dalam setiap peran dan perilaku di
setiap organisasi akan berdampak dan dipengaruhi oleh komitmen mereka di
arena lain. Ini menuntut pengakuan eksplisit atas saling ketergantungan

22
berbagai peran dan arena yang membentuk hidup kita. Ketika para pemimpin
menerapkan pemikiran sistem, mereka akan memandang diri mereka sendiri
dan orang lain sebagai entitas yang utuh. Ini akan membantu mereka
memperbaiki pandangan mereka tentang kesuksesan pribadi dan akan
memungkinkan mereka untuk mendorong karyawan untuk menyeimbangkan
dan menyelaraskan domain kehidupan mereka juga.

Organisasi dan program pendidikan manajemen dapat melatih para


profesional untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis mereka dan
meningkatkan kemampuan mereka untuk mengambil pendekatan gambaran
besar yang strategis untuk keputusan dan tindakan mereka. Teknik yang
efektif untuk mengembangkan pola pikir berpikir sistem termasuk menantang
model mental lama dan menciptakan yang baru, memetakan proses organisasi
untuk tujuan memeriksa hubungan timbal balik dinamis mereka, dan
bercerita, yang merupakan upaya sadar untuk membedakan "cerita yang
koheren dari hubungan timbal balik. peristiwa yang tampaknya acak ”(Senge
et al.,1994, hal. 103).

c. Sensitivitas terhadap Masalah Karyawan

Para pemimpin harus mengatur nada untuk menciptakan organisasi yang


mencerminkan perspektif ini dengan menerapkan kebijakan dan praktik
keseimbangan kehidupan-kerja organisasi. Untuk melakukannya secara
efektif, mereka harus fleksibel dan memahami kebutuhan setiap orang untuk
mencapai keseimbangan unik di antara lima domain (Gurvis dan
Patterson,2005). Pemimpin juga harus menciptakan budaya yang mendorong
komunikasi terbuka dan jujur dengan karyawan tentang kebutuhan tersebut.

Untuk melakukan ini, para pemimpin harus sepenuhnya mengembangkan


keterampilan interpersonal mereka dengan belajar bagaimana memulai dialog
yang bermakna, menggunakan media komunikasi yang tepat, mendengarkan
pemahaman, dan menunjukkan empati (sebagai lawan dari ketidakpekaan
atau simpati yang ekstrem) dengan karyawan (Friedman dan Lobel,2000;
Glubczynski dkk.,2003; Pfeffer dan Sutton,2007). Organisasi dapat

23
mendukung para pemimpin dengan mengenali dan menghargai keterampilan
interpersonal yang efektif; Program pendidikan manajemen dapat
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkan dan
mengembangkan keterampilan tersebut.

d. Adaptasi

Apa yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan lima domain Model


Kehidupan Seutuhnya berbeda untuk setiap orang dan juga akan bervariasi
dari waktu ke waktu; oleh karena itu, setiap orang akan memiliki konfigurasi
kebutuhan yang berbeda pada waktu tertentu (Friedman dan Lobel,2000;
Maellaro dan Whittington,2009; Yost,2007). Para pemimpin harus belajar
untuk lebih nyaman dengan ambiguitas yang dihasilkan dari "diskontinuitas,
multiplisitas, relativitas, siklus, dan relasionalitas" (Bilimoria,2000, hal. 162)
dari Model Kehidupan Seutuhnya. Melakukan hal itu akan memungkinkan
mereka menjadi lebih fleksibel dalam menghadapi sifat dinamis dari
keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan non-pekerjaan.

Upaya bersama untuk meningkatkan kecerdasan emosional (EQ) pemimpin


dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk beradaptasi. Para pemimpin
harus memeriksa asumsi yang telah lama dipegang dan seringkali disadari
sebelumnya tentang orang dan pekerjaan, dan kemudian mempertimbangkan
perspektif alternatif. Mereka harus mengembangkan ketahanan dan belajar
untuk tetap fokus di tengah-tengah konstan perubahan, yang membutuhkan
rasa diri yang tajam dan pengetahuan tentang kekuatan dan keterbatasan
seseorang. Yang juga dibutuhkan adalah kesadaran akan emosi mereka dan
kemampuan untuk mengelolanya dengan benar (Goleman et al.,2002). EQ
yang lebih tinggi akan membantu mereka merangkul perubahan dalam
praktik manajemen yang diperlukan untuk mendukung definisi kesuksesan
yang lebih komprehensif.

24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mengatasi kesusahan yang ditimbulkan oleh kehidupan yang tidak
seimbang membutuhkan upaya yang disengaja dari pihak profesional.
Memulihkan keseimbangan dimulai dengan mendefinisikan kembali kesuksesan
dalam upaya untuk secara eksplisit mengenali kompleksitas dan totalitas
kehidupan. Namun, sekadar mendefinisikan kembali kesuksesan tidak akan
menyelesaikan dilema. Definisi ulang ini harus dilakukan melalui upaya yang
disengaja untuk menetapkan dan mempertahankan batasan yang akan
menciptakan margin dalam hal waktu, fisik, dan energi emosional. Pilihan untuk
memperbaiki kesuksesan dan "choosing to cheat" dengan hidup dalam batas-batas

25
mapan yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut bertentangan dengan arus
kehidupan modern. Mencapai keseimbangan ini akan jauh lebih mudah jika
organisasi menetapkan dan menegakkan kebijakan yang mendukung
keseimbangan kehidupan kerja dan jika mereka membantu karyawan profesional
mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk memanfaatkan mereka
sepenuhnya. Upaya yang paling efektif akan terjadi dalam organisasi di mana
pemimpin mencontohkan diri mereka sendiri dan bekerja keras untuk memastikan
bahwa tuntutan pekerjaan tidak mengharuskan profesional untuk menipu arena
lain dalam hidup mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Houston, Diane M. 2005. Work-Life Balance in the 21st Century. New


York: Palgrave Macmillan.

Kaiser, Stephan, Ringlsetter, Max Josef, Eikhof, Doris Ruth, dan Cunha,
Miguel Pina. 2011. Creating Balance?: International Perspectives on the Work-
Life Integration of Professionals. New York: Springer.

Anzani, Budiansyah. (2015) “Hubungan Kepuasan Kerja Dengan


Loyalitas Kerja Perawat Honour Di RSUD Kabupaten Padang Pariaman” Jurnal
Psikologi. Universitas Putra Indonesia “ YPTK” Padang.

26
Malik, Alfian. (2014) “Pengaruh Budaya Organisasi Dan Loyalitas Kerja
Dengan Intensi Turnover Pada Karyawan PT.Cipagangti Heavy Equipment
Samarinda. E Journal Psikologi. Volume 2, Nomor 1, 2014.

Anisa, Rahmawati (2016) “Pengaruh Keseimbangan Kehidupan Kerja


(Work Life Balance) dan Kepuasan Kerja Terhadap Loyalitas Guru SMK Swasta
Di Kecamatan Cakung Jakarta Timur” Jurnal Manajemen Pendidikan. Universitas
Negeri Jakarta. Volume 7, Nomor 1 Tahun 2016.

Universitas Psikologi:
https://www.universitaspsikologi.com/2020/01/pengertian-loyalitas-kerja-
lengkap.html

Ningtyas, Amelia Chusna. (2017). “Hubungan Antara Kepuasan Kerja


Dengan Loyalitas Karyawan PT.Patiware Sungai Raya Kabupaten Bengkayang
Kalimantan Barat” Jurnal Psikologi. Universitas Muhamadiyah Surakarta.

Edr, Sri Wahyuni. (2018). Pengaruh Keseimbangan Kehidupan Kerja


(Work-life Balance) dan Kepuasan Kerja terhadap Loyalitas Pegawai dan Guru
(Studi pada Sekolah Swasta Babarsari Kecamatan Pancur Batu). Institusi
Universitas Sumatera Utara.

27

Anda mungkin juga menyukai