Anda di halaman 1dari 36

JADI KONSTITUSI DAN UUD ITU SAMA ATAU BEDA?

Kedudukan
Sifat Konstitusi dan Undang-undang Dasar
Fungsi

Konstitusi dan UUD itu pada dasarnya berbeda. Karena konstitusi menyangkut semua peraturan
dan semua ketentuan perundang-undangan, termasuk juga yang terdapat dalam UUD. Menurut
E.C.S Wade, konstitusi dengan UUD itu berbeda.
 E.C.S. Wade dalam bukunya Constitutional Law mengatakan bahwa secara umum UUD
adalah suatu naskah yang memaparkan kerangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan
pemerintahan suatu negara dan menentukan cara kerja badan-badan tersebut
 Konstitusi pada dasarnya memiliki pengertian luas, yaitu keseluruhan peraturan baik tertulis
maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat mengenai cara penyelenggaraan suatu
pemerintahan.
 Konstitusi terdiri atas UUD yang tertulis dan yang tidak tertulis (konvensi).

PERBEDAAN UUD KONSTITUSI


Pengertian Undang-Undang Dasar adalah Konstitusi adalah dokumen yang
suatu dokumen yang memuat memuat aturan-aturan hukum dan
aturan-aturan dan ketentuan- ketentuanketentuan hukum yang
ketentuan hukum yang pokok-pokok atau dasar-dasar
pokokpokok atau dasar-dasar yang sifatnya baik tertulis
yang bersifat tertulis yang maupun tidak tertulis yang
menggambarkan tentang sistem menggambarkan tentang sistem
ketatanegaraan suatu negara. ketatanegaraan suatu negara
Kedudukan Mempunyai kedudukan tertinggi Mempunyai kedudukan tertinggi
di atas Undang-undang lainnya. dalam tata urutan peraturan
UUD 1945 merupakan hukum perundang-undangan dalam suatu
dasar berbentuk tertulis dan negara.
menjadi dasar sumber hukum
bagi seluruh peraturan-peraturan
yang ada di Indonesia.
Sifat Bersifat dasar dan belum Bersifat dasar, belum memiliki
memiliki sanksi pemaksa atau sanksi pemaksa atau sanksi
sanksi pidana bagi pidana bagi penyelenggaraanya,
penyelenggaraanya. timbul dan terpelihara dalam
praktek penyelenggaraan negara
meskipun tidak tertulis.
Sifat Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi memiliki dua sifat
dapat memiliki dua sifat yakni yakni luwes (flexible) atau kaku
luwes dan kaku. Dikatakan kaku (rigid), dan tertulis atau tidak
karena untuk mengubahnya tertulis.
terbilang cukup sulit, ini -Fleksibel/luwes apabila
disebabkan Pasal 37 ayat 1 UUD konstitusi itu memungkinkan
1945 mengharuskan bahwa adanya perubahan sewaktu-
perubahan baru dapat terjadi jika waktu sesuai perkembangan
disepakati minimal 2/3 anggota zaman.
MPR yang hadir. Sedangkan -Rigid/kaku apabila konstitusi itu
dikatakan luwes karena terbukti sulit untuk diubah kapanpun.
bahwa MPR telah melakukan
perubahan (Amandemen)
sebanyak empat kali. UUD 1945
hanya berisi hal-hal pokok saja
dimana peraturan atau hal-hal
yang lebih rinci diatur oleh
perundang-undangan yang
derajatnya lebih rendah.
Fungsi 1. UUD berfungsi mengatur 1. Konstitusi berfungsi
membatasi kekuasaan pemerintah
bagaimana kekuasaan negara
agar tidak terjadi kesewenang-
dibagi, disusun, dan wenangan yang dapat dilaukan
oleh pemerintah, sehingga hak-
dilaksanakan.
hak bagi warga negara dapat
2. UUD berfungsi sebagai sarana/ terlindungi dan tersalurkan.
alat pengawasan (control)
2. Konstitusi berfungsi sebagai
berlakunya semua perundang- piagam kelahiran suatu negara
undangan.
3. Konstitusi berfungsi sebagai
3. UUD berfungsi sebagai identitas nasional dan lambang
kebijaksanaan pemerintah
Kandungan Mengandung pokok-pokok Memuat ketentuan-ketentuan
sebagai berikut: sebagai berikut:
·  Adanya jaminan terhadap HAM ·  Organisasi negara, misalnya
dan warganya pembagian kekuasaan antar
·  Ditetapkan susunan badan legislatif, eksekutif, dan
ketatanegaraan suatu negara yang yudikatif
bersifat fundamental ·  HAM
·  Adanya pembagian dan ·  Prosedur mengubah UUD
·  Ada kalanya memuat larangan
pembatasan tugas ketatanegaraan
untuk mengubah sifat tertentu
yang juga bersifat fundamental
dari UUD

Contoh UUD NKRI 1945 Konstitusi RIS 1949

MAKNA PEMBUKAAN UUD NRI TAHUN 1945?

Alinea I

Alinea II MENURUT PEMAHAMAN MASING-MASING

Alinea III

Alinea IV

1. Pembukaan UUD 1945 Alinea Pertama

Pada alinea pertama berbunyi, “Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan perikeadilan” .

Dalam alinea pertama, Indonesia menegaskan bahwa penjajahan tidaklah sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Bangsa Indonesia juga menentang setiap bentuk penjajahan
dan mendukung kemerdekaan setiap negara. Selain itu, melalui alinea ini, Indonesia memperjelas
aspirasi untuk membebaskan diri dari penjajah.

Hal ini mempunyai makna yang berarti sebagai berikut ini :

1. Pertama, keteguhan sebuah Bangsa Indonesia didalam membela kemerdekaan dengan


melawan penjajah dalam segala bentuk yang ada.
2. Kedua, suatu pernyataan subjektif bangsa Indonesia agar menentang serta manghapus
penjajahan di atas dunia.         
3. Ketiga, pernyataan objektif bangsa Indonesia jika penjajahan tidak sesuai atas
perikemanusiaan serta perikeadilan.
4. Keempat, Pemerintah Indonesia mendukung kemerdekaan bagi setiap bangsa Indonesia
untuk berdiri sendiri

2. Pembukaan UUD 1945 Alinea Kedua


Selanjutnya alinea kedua berbunyi, “Dan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa, mengantarkan seluruh rakyat
Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,
berdaulat adil dan makmur”.

Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari pejuangan pergerakan masyarakat untuk mencapai
kebebasan dari penjajahan. Selain itu, alinea ini juga menjelaskan cita-cita bangsa Indonesia
yakni, berdaulat, adil, dan makmur.

Hal ini mempunyai makna jika hal tersebut membuktikan adanya sebuah penghargaan atas
perjuangan bangsa Indonesia selama ini serta dapat menimbulkan kesadaran. Jika keadaan
sekarang tidak bisa dipisahkan dengan keadaan kemarin serta langkah sekarang, maka akan
menentukan keadaan yang akan datang. Nilai – nilai yang tercermin pada kalimat di atas ialah
suatu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil serta makmur hal ini perlu
diwujudkan secara nyata.

3. Pembukaan UUD 1945 Alinea Ketiga

Pada alinea ketiga berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya”.

Alinea ini berisi mengenai motivasi yang dimiliki leluhur bangsa Indonesia dalam memperoleh
kemerdekaan. Motivasi itu menjadi pengingat untuk masyarakat bahwa kemerdekaan Indonesia
tidaklah terlepas dari bantuan Tuhan Yang Maha Esa.
Alinea ketiga juga mengungkapkan keinginan bangsa Indonesia memiliki kehidupan yang
berkesinambungan antara materil, spiritual, dunia dengan akhirat.

Hal ini memiliki makna bahwa perjuangan meraih kemerdekaan ini bukan hanya semata
menengaskan lagi apa yang menjadi motivasi riil dan materil bangsa Indonesia untuk
menyatakan kemerdekaannya, tetapi juga menjadi keyakinan menjadi spritualnya, jika maksud
serta tujuannya menyatakan kemerdekaannya atas berkah Allah Yang Maha Esa. Dengan
demikian bangsa Indonesia mendambakan kehidupan yang berkesinambungan kehidupan
materiil dan spritual, keseimbangan dunia dan akhirat.

4. Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat

Pada Alinea keempat berbunyi, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah
negara Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”.
Alinea ini menjelaskan fungsi dan tujuan negara seperti melindungi seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, hingga
melaksanakan ketertiban dunia. Tak hanya itu, alinea empat juga mempertegas bentuk negara
yang berlandaskan Pancasila.

Sebagai bentuk rumusan terpanjang serta terpadat pada alinea keempat ini, maka makna yang
terkandung juga lumayan banyak, salah satunya ialah berikut :

 Negara Indonesia memiliki fungsi sekalipun tujuan, ialah melindungi segenap bangsa


Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial;
 Keharusan adanya Undang-Undang Dasar;
 Adanya asas politik negara, yaitu Republik yang berkedaulatan rakyat;
 Adanya asas kerohanian negara, ialah Pancasila sebagai suatu ideologi nasional,
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia,
serta Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
ataupun perwakilan, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

URGENSI AMANDEMEN UUD NRI TAHUN 1945?

Empat perubahan UUD NRI TAHUN 1945 yang ditetapkan MPR periode 1999-2002 adalah
sebagai berikut :

1. Perubahan I pada tahun 1999. intinya menetakan pengurangan kekuasan presiden, baik
kekusaan legislasinya, kekusaan pemerintahannya, maupun kekuasaannya sebagai
lembaga Negara.
2. Perubahan II pada tahun 2000. Intinya melanjutkan menetapkan pengurangan kekuasaan
presiden, khususnya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan pusat dan kekuasaan
pemerintahan umum.
3. Perubahan III pada tahun 2001. Intinya menetapkan perubahan beberapa hubungan
kekuasaan antar organ Negara tertentu.
4. Perubahan IV pada tahun 2002. Intinya menetapkan kelanjutan perubahan beberap
hubungan kekuasaan antar organ Negara.

Namun demikian, keempat perubahan UUD tersebut tidak tertera dalam suatu rangkaian
ketentuan hukum yang mewujudkan suatu system. Perubahan itu lebih merupakan perubahan tambal
sulam sesuai dengan kebutuhan sesaat waktu itu.
Kelemahan hasil perubahan berkaitan dengan masalah konseptual dan procedural. MPR sewaktu
melakukan amandemen tidak memliki konsep atau desain tatanegara yang hendak dicapai melalui
serangkaian amandemen itu. Perubahan terkesan lebih cenderung pada pertimbangan-pertimbangan yang
bersifat reaktif atas kondisi sosial politik yang terjadi pada masa orde baru. Tapi bagaimana
sesungguhnya struktur kekuasaan yang didambakan, dan bagaimana pula bentuk dan system
pemerintahan yang diinginkan tidak jelas.

Ketiadaan yang jelas itulah yang menjadi penyebab lemahnya metodologi yang digunakan oleh
par anggota MPR di dalam mengamandemenkan UUD 1945. Kelemahan metodologi itu menyebabkan
anggota-amggota MPR terlalu memperhatikan pasal-pasal tanpa lebih dulu memperhatikan pasal-pasal
tanpa melihat UUD 1945 secara keseluruhan. Akibatnya mereka gagal menyelaraskan antara aspirasi
yang terkandung didalam pembukaan UUD 1945 dengan pasal-pasal dalam batang tubuh yang sedang di
amandemen. Padahal seharusnya pasal-pasal yang ada di dalam batang tubuh mencerminkan sepenuhnya
aspirasi yang ada di dalam pembukaan. Tanpa konsep yang jelas, niscaya akan sulit bagi para anggota
MPR menemukan metode yang valid dalam mengamandemenkan UUD 1945.

Jika dicermati setidaknya terdapat tiga problematika yang dimiliki oleh UUD 1945 setelah
amandemen yaitu :

1. Pertama, problematika konseptual diantaranya (a) ketidakjelasan pelaksanaan


kedaulatan rakyat. (b) system presidensial yang dimaksudkan oleh amandemen
UUD 1945, ternyata tidak sejalan konfigurasi system politik, khususnya system
kepartaian Indonesia, sehingga berakibat ketidakstabilan penyelenggaraan
pemerintahan dan kesemuanya tercemin dengan legislative. (c) ketidakjelasan
sistem perwakilan yang digunakan, terutama karena kelembagaan Dewan
Perwakilan Daerah yang kurang fungsional. (d) kelembagaan peradilan dengan
dua puncak lembaga peradilan, yakni antara Mahkamah Agung dan Mahkamah
Koonstitusi, dengan powerfull pada Mahkamah Konstitusi. (e) kekurangjelasan
sistem hubungan pemerintah pusat dan daerah serta kaitannya dengan kehendak
pelaksanaan dan pemberian otonomi kepada daerah, sehingga senantiasa
berakibat Tarik menarik kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
2. Kedua, problematika teknik penyusunan UU. Jika dicermti kelemahan yang
dimiliki UUD 1945 setelah amandemen yaitu, UUD 1945 hasil amandemen
memiliki kelemahan dari segi teknik tata bahasa dan teknik penyusunan UU.
Ditinjau dari segi tata bahasa, UUD 1945 hasil amandemen memiliki sejumlah
kelemahan yang dapat menimbulkan penafsiran yang multitafsir. Sedangkan dari
segi teknik penyusunan UU, penempatan dan penambahan sejumlah pasal dalam
UUD 1945 hasil amandemen sulit untuk dimengerti dan dipahami oleh semua
lapisan masyarakat. Hall ini tercermin dari muncul sejumlah pasal yang tidak
lazim. Misalnya untuk pasal 22, pasal 22A dan pasal 22B. contoh pasal-pasal
tersebut hanya dapat dimengerti dan dipahami oleh kalangan terbatas, terutama
oleh kalangan legilatif dan kelompok kecil masyarakat yang mempunyai
pengetahuan tentang penyusunan UU.
3. Ketiga, problematika procedural yaitu menggantungkan mekanisme perubahan
justru pada aturan yang diubahnya. Sifat elitis proses perubahan UUD 1945 ini
karena Indonesia memilih menggunakan lembaga legislatif biasa untuk
melakukan perubahan UUD 1945. Sebagaimana diketahui bahwa pemilihan
umum yang diakui relatif demokratis di tahun 1999, menimbulkan harapan
bahwa para anggota MPR dapat mebawa aspirasi yang sama dengan masyarakat
yang memilihnya. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, harapan itu kian
memudar. MPR lebih banyak membawa aspirasi sendiri. Ada kesenjangan yang
besar antara aspirasi masyarakat dengan aspirasi konstitusi di MPR.

Akibat dari permasalahan di atas maka dalam implementasinya, telah menimbulkan berbagai
persoalan mendasar. Karenanya, tidak salah apabila perubahan UUD 1945 yang sekarang berlangsung
tidak ada desain, tidak ada konsep dan salah secara metodologi. Hal itupun diakui oleh Jilmy Asshiddiq,
yang merupakan anggota tim ahli panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Dengan mengatakan bahwa
paradigm perubahan UUD 1945 itu baru diketemukan belakangan. Suatu pengakuan yang secara jelas
menggambarkan bagaimana amburadulnya tahapan agenda setting reformasi konstitusi transisi Indonesia.

Selain itu, political struggle dan intervensi kepentingan politik sangat jelas tercermin dalam
amandemen pertama hingga ketiga. Pada amandemen pertama, karena situasi eforia politik, kubu anti-
reformasi lebih banyak berdiam diri tetapi berhasil melahirkan sakralisasi baru UUD 1945 tersebut di
atas. Dalam amandemen kedua, kubu anti-reformasi lebih bermain terbuka dalam menghasilkan pasal
non-retroaktif di dalam ketentuan HAM dan memperpanjang masa eksistensi fraksi militer di MPR
hingga 2009 melalui ketetapan MPR. Amandemen ketiga, justru lebih berbahaya karena merupakan
perubahan yang sangat parsial dan juga merupakan bom waktu konstitusi karena membuka peluang
deadlock dan krisis konstitusi, terutama pada pasal-pasal yang bekaitan dengan pemilihan presiden
langsung dan reformasi parlemen.
PROSEDUR PERUBAHAN KONSTITUSI?

Menurut C.F. Strong, ada empat macam prosedur perubahan konstitusi adalah sebagai berikut.

1. Amandemen konstitusi yang dibuat oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetap dilaksanakan sesuai
dengan pembatasan tertentu. Perubahan ini terjadi melalui tiga kemungkinan berikut.
 Pertama, untuk mengamandemen konstitusi, sesi dari pemegang kekuasaan legislatif harus
dihadiri oleh setidaknya sejumlah tertentu anggota tertentu (kuorum).
 Kedua, untuk mengubah konstitusi, lembaga perwakilan rakyat harus dibubarkan terlebih dahulu
dan kemudian pemilihan diadakan. Perwakilan rakyat ini harus diperbarui dan kemudian menjalankan
wewenang mereka untuk mengubah konstitusi.
 Ketiga, adalah cara yang terjadi dan berlaku dalam sistem perakitan dua kamar. Untuk mengubah
konstitusi, dua kamar dari Badan Perwakilan Rakyat harus mengadakan sidang bersama. Majelis
gabungan ini, dengan cara yang sama dengan cara pertama, otoritas untuk mengubah konstitusi.
2. Konstitusi dirubah oleh rakyat melalui referendum. Jika ada kemauan untuk mengubah konstitusi maka
lembaga negara yang berwenang untuk itu mengusulkan perubahan kepada rakyat melalui referendum.
Amandemen konstitusi yang diusulkan dipersiapkan sebelumnya oleh lembaga yang berwenang untuk itu.
Dalam referendum atau plebisit ini orang-orang menyatakan pendapat mereka dengan menerima atau
menolak usulan perubahan yang telah diajukan kepada mereka. Penentuan penerimaan atau penolakan
atas perubahan yang diusulkan ditetapkan dalam konstitusi.

3. Amandemen konstitusi berlaku untuk negara serikat yang dilakukan oleh sejumlah negara bagian.
Amandemen konstitusi terhadap negara serikat harus dilakukan dengan persetujuan sebagian besar
negara-negara bagian. Ini dilakukan karena konstitusi di negara serikat dianggap sebagai kesepakatan
antara negara-negara bagian. Amandemen konstitusi yang diusulkan dapat diajukan oleh negara serikat,
dalam hal ini badan perwakilannya, tetapi kata akhirnya ada di negara bagian. Selain itu, perubahan yang
diusulkan juga dapat berasal dari negara bagian.

4. Amandemen konstitusi yang dibuat dalam konvensi atau oleh lembaga negara khusus yang didirikan
semata-mata untuk tujuan amandemen. Ini dapat dilakukan baik dalam negara kesatuan atau negara
kesatuan. Jika ada kemauan untuk mengubah konstitusi, maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
mendirikan lembaga negara khusus yang tugas dan wewenangnya hanya mengubah konstitusi. Usulan
perubahan dapat berasal dari pemegang kekuasaan legislatif dan mungkin juga berasal dari pemegang
kekuasaan legislatif dan mungkin juga berasal dari lembaga negara khusus tersebut. Jika lembaga negara
khusus telah melaksanakan tugas dan kekuasaannya sampai akhir, dengan sendirinya lembaga itu
dibubarkan.

Miriam Budiarjo (Miiriam Budiardjo: 2008) mengemukakan empat macam prosedur amandemen
konstitusi, yaitu sebagai berikut.
1. Sesi legislatif ditambah beberapa kondisi seperti kuorum dan jumlah minimum anggota legislatif
untuk menerima perubahan.
2. Referendum atau plebisit, misalnya: Swiss dan Australia
3. Negara-negara bagian dalam negara federal harus menyetujui, misalnya, Amerika Serikat
4. Pembahasan khusus (konvensi khusus), contoh beberapa negara Amerika Latin
Amandemen UUD 1945 Republik Indonesia berarti mengubah UUD 1945 Republik Indonesia.
Tujuannya adalah untuk memperkuat fungsi dan kedudukan UUD 1945 dengan mengakomodasi aspirasi
politik yang berkembang untuk mencapai tujuan negara sebagaimana ditentukan oleh Konstitusi itu
sendiri. Cara mengubah setiap konstitusi dan praktik pelaksanaannya memiliki cara tersendiri dalam
menetapkan konstitusi.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 37 yang berwenang untuk
melakukannya adalah MPR. Amandemen UUD 1945 Republik Indonesia dilakukan selama Sidang
Umum MPR. Amandemen tersebut dimaksudkan agar UUD Negara Republik Indonesia disempurnakan
sesuai dengan perkembangan dan dinamika tuntutan aspirasi rakyat.

Di Indonesia, prosedur untuk mengubah Konstitusi diatur dalam Pasal 37 Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia yang telah diubah. Dinyatakan bahwa untuk mengubah Konstitusi harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut.
1. Amandemen yang diusulkan terhadap pasal-pasal Konstitusi dapat dijadwalkan dalam sesi
Majelis Permusyawaratan Rakyat jika diajukan oleh paling sedikit 1/3 dari total anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
2. Setiap usulan amandemen terhadap pasal-pasal Konstitusi disampaikan secara tertulis dan dengan
jelas menunjukkan bagian yang diusulkan untuk diubah dan alasannya.
3. Untuk mengubah pasal-pasal Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh paling
sedikit 2/3 dari total anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4. Keputusan untuk mengubah pasal-pasal Konstitusi harus mendapat persetujuan paling sedikit
lima puluh persen ditambah satu anggota dari semua anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
5. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diubah.

SISTEM PERUBAHAN KONSTITUSI?

Sistem perubahan konstitusi di Indonesia menganut sistem constitutional amandement yaitu


perubahan tidak dilakukan langsung terhadap UUD lama, UUD lama masih tetap berlaku,
sementara bagian perubahan atas konstitusi tersebut merupakan adendum/ sisipan dari konstitusi
yang asli (lama). Oleh karena itu, yang diamandemen merupakan / menjadi bagian dari konstitusi
yang asli. Hal ini terdapat pada konstitusi kita, bahwa selama periode diberlakukannya kembali
UUD ’45 sampai dengan amandemen UUD ‘45 I,II,III, IV, banyak pasal yang diamandemen.
Dalam mengamandemen UUD ’45, konstitusi lama masih berlaku sedangkan hasil dari
perubahan disisipkan menjadi bagian dari konstitusi yang asli. Perubahan tentang UUD ’45
sudah bisa diramal oleh para penyusunnya. Para penyusun UUD ’45 menyadari bahwa UUD ’45
disusun dalam waktu yang singkat kurang lebih 49 hari. Jadi dimungkinkan tata cara perubahan
untuk penyempurnaan, bahkan kehendak untuk dikemudian hari untuk membuat suatu UUD
baru. Soekarno mengutarakan bahwa UUD ’45 merupakan UUD kilat.
Dengan adanya dekrit presiden 5 Juli 1959, maka konstitusi Negara Indonesia kembali
memberlakukan UUD 1945. Walaupun diberlakukan kembali UUD ’45, ternyata UUD ’45 tidak
dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sehingga banyak terjadi penyimpangan-
penyimpangan, maka tuntutan untuk merubah konstitusipun mulai banyak. Kondisi politik,
ekonomi, sosial, dan lain-lain yang senantiasa berubah, juga mewajibkan untuk menyesuaikan
ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga konstitusi perlu diubah jika tidak sesuai dengan
kemauan masyarakat. Dorongan untuk mengubah dan memperbaharui UUD 1945 juga
dikarenakan UUD 1945 sebagai subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaannya, tidak
berjalan sesuai dengan “staatsidee” mewujudkan Negara berdasarkan konstitusi seperti tegaknya
tatanan demokrasi, Negara berdasarkan atas hukum yang menjamin hal-hal seperti hak asasi
manusia, kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia. Justru yang terjadi adalah etatisme dan otoriterisme yang menggunakan UUD ’45
sebagai sandaran. Amandemen terhadap UUD ’45 tidak terutama ditentukan oleh ketentuan
hukum yang mengatur tata cara perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh berbagai kekuatan politik
dan social yang dominan pada saat-saat tertentu.

UUD ’45 menampilkan keunikan yang tidak lazim dijumpai pada sistem UUD di Negara-negara
lain. Keunikan itu antara lain mengenai Penjelasan dan aturan Tambahan. Belum pernah
dijumpai ada UUD yang mempunyai penjelasan seperti UUD ’45. Bahkan penjelasan itu dimuat
dan diumumkan dalam Berita Republik  (1946) dan Lembaran Negara (1959) bersama-sama
pasal-pasal dalam UUD. Penjelasan dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara. Keunikan-
keunikan ini terjadi akibat dari sifat UUD yang kilat, sehingga baik isi maupun penyusunannya
kurang memperhatikan syarat, unsur, dan asas-asas pembuatan suatu undang-undang yang baik.
Pada saat ini tidak semua aturan peralihan dalam UUD ’45 masih berlaku, dikarenakan baik
objek, kewenangan atau sasaran yang hendak dicapai tidak ada lagi / waktunya sudah lampau.
Demikian pula aturan tambahan, sebagai aturan temporer, aturan tambahan hanya berlaku sesuai
dengan ketentuan dalam UUD ’45.[3]
Cara perubahan konstitusi di Indonesia menganut formal amandemen yaitu perubahan konstitusi
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi yang bersangkutan.
Di Indonesia, tentang tata cara perubahan konstitusi tercantum dalam UUD ’45 pasal 37 dimana
ada badan yang berwenang menetapkan dan merubah UUD yaitu MPR.

Konstitusi bukan hanya sebagai kumpulan norma-norma dasar statis yang merupakan sumber
ketatanegaraan, tapi juga memberi ruang untuk mengikuti perkembangan masyarakat yang
terjadi dalam suatu negara. Sejalan dengan dinamika perkembangan masyarakat pada suatu
negara, maka konstitusi dapat pula mengalami perubahan. Namun, untuk melakukannya
perubahan tersebut tiap-tiap konstitusi mempunyai cara-cara atau prosedur tertentu.menurut
Thalib(2003:50) terdapat dua sistem perubahan konstitusi yaitu:

1. Sistem yang pertama, bahwa apabila suatu UUD atau konstitusi diubah, maka yang berlaku
adalah UUD atau konstitusi yang baru secara keseluruhan. Hal ini pernah dialami di Indonesia
yaitu perubahan konstitusi dari UUD 1945 menjadi Konstitusi RIS(27 Desember 1949 – 17
Agustus 1950), dan perubahan dari Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950 (17Agustus 1950- 5 Juli
1959), serta dari UUDS 1950 kembali menjadi UUD 1945 (5Juli 1959-1999).
2. Sistem yang kedua, bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka konstitusi asli yang tetap
berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen dari konstitusi yang asli
tadi. Perubahan konstitusi yang menggunakan sistem pertama berarti terjadinya perubahan
konstitusi atau UUD yang lama dengan adanya konstitusi atau UUD yang baru. Perubahan
konstitusi yang menggunakan sistem kedua berarti dilakukan amandemen dari konstitusi atau
UUD juga pernah dialami di Indonesia, yaitu terjadi amandemen terhadap UUD 1945, yaitu
amandemen UUD 1945 yang pertama tahun 1999, yang kedua tahun 2000, yang ketiga tahun
2001, yang keempat tahun 2002.
KESEPAKATAN DALAM AMANDEMEN UUD NRI TAHUN 1945?

Dalam perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam 4 kali perubahan berdasarkan pada konsepsi
agenda setting, terdapat beberapa elemen-elemen yang akan dimasukkan kedalam UUD 1945
dari yang lama ke UUD 1945 yang baru. Elemen-elemen tersebut disepakati sebagai
“Kesepakatan Dasar” yang menjadi pedoman untuk proses perubahan UUD 1945 yang ternyata
terjadi selama 4 kali perubahan. Kesepakatan dasar disusun oleh Ad Hoc I pada saat proses
pembahasan perubahan UUD 1945 dan isi dari kesepakatan dasar yang disepakati tersebut antara
lain;

1. Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945.
2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial.
4. Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat
hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh).
5. Melakukan perubahan dengan cara adendum.

Berikut adalah penjelasan kesepakatan dasar tersebut:

1. Tidak mengubah pembukaan UUD 1945 karena di dalam pembukaan UUD 1945
terdapat staatsidee (dasar/ideologi) berdirinya NKRI, dasar negara, dan cita-cita negara.
Pembukaan UUD 1945 memuat dasar filosofis dan dasar normatif yang mendasari seluruh pasal
dalam UUD 1945. Jika ingin mengubah sedikitpun isi pembukaan UUD 1945, maka Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus bubar terlebih dahulu.

2. Negara Kesatuan Republik Indonesia haruslah dipertahankan karena negara kesatuan


adalah bentuk yang ditetapkan sejak berdirinya negara Indonesia dan dipandang paling tepat
untuk sebuah bangsa majemuk. Perubahaan UUD 1945 juga diharapkan tidak mengganggu
eksistensi negara.
3. Sistem pemerintahan presidensial dipertegas untuk memperkukuh sistem pemerintahan
yang stabil dan demokratis. Sistem pemerintahan presidensial juga telah dipilih oleh para pendiri
negara ini pada tahun 1945. Selain itu, salah satu tujuan perubahan UUD 1945 adalah untuk
memperbaiki dan menyempurnakan penyelenggaraan negara agar lebih demokratis. Sistem
pemerintahan presidensial adalah sistem pemerintah negara republik dimana kekuasaan eksekutif
dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasaan legislatif.
4. Kesepakatan keempat dibuat untuk meniadakan penjelasan UUD 1945. Peniadaan
penjelasan UUD 1945 bertujuan untuk menghindari kesulitan saat menentukan status
“Penjelasan” dari sisi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan. Selain itu,
BPUPKI dan PPKI telah menyusun Pembukaan dan Batang Tubuh (pasal-pasal) UUD 1945
tanpa penjelasan.
5. Perubahan dengan cara adendum artinya tetap mempertahankan naskah asli UUD 1945
dan naskah perubahan UUD 1945 diletakkan melekat pada naskah asli. Sehingga sesungguhnya
UUD 1945 dalam satu naskah memuat UUD 1945 sebelum diamandemen, amandemen I,
amandemen II, amandemen III, dan amandemen IV. Kesalahan seringkali dilakukan dengan
menyatukan seluruh UUD 1945 beserta amandemennya seperti kebanyakan buku UUD 1945
yang beredar saat ini di pasaran.

ANALISA PASAL PER PASAL

Contoh:

Pasal 1: Bentuk dan kedaulatan NRKI

Pasal 2: MPR / Susunan MPR

Pasal 3: Kewenangan MPR

Pasal 4: Presiden RI

Pasal 5: Kewenangan Presiden

dstnya....

Untuk Pasal-pasal seperti 6A, 7A, 7B, 7C dan sejenisnya, harus dijabarkan sendiri

Bab I: Bentuk dan Kedaulatan                               

 Pasal 1: Bentuk dan Kedaulatan Negara


Bab II: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

 Pasal 2: Struktur dan Anggota MPR


 Pasal 3: Wewenang MPR
Bab III: Kekuasaan Pemerintahan Negara

 Pasal 4: Fungsi Eksekutif Presiden


 Pasal 5: Fungsi Legislatif Presiden
 Pasal 6-6A: Pemilihan Presiden dan Pemilu
 Pasal 7-7C: Periode Jabatan Presiden dan Kemungkinan Pelengseran
 Pasal 8: kondisi Presiden dan atau Wakil Presiden Lengser
 Pasal 9: Sumpah Presiden dan Wakil Presiden serta janji Presiden dan Wakil
Presiden
 Pasal 10: Presiden memiliki kekuasaan sebagai Panglima tertinggi militer
 Pasal 11: Presiden sebagai Kepala Negara dalam hubungan perjanjian
Internasional
 Pasal 12: Presiden menyatakan Keadaan Bahaya yang ditetapkan dengan UU
 Pasal 13: Pengangkatan duta dan konsul oleh Presiden
 Pasal 14: Fungsi memberikan grasi dan rehabilitasi, serta amnesti dan abolisi
 Pasal 15: Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan
 Pasal 16: Pembentukan Dewan Pertimbangan Presiden
Bab IV: Dewan Pertimbangan Agung [dihapus dengan Amandemen IV]

Bab V: Kementerian Negara

 Pasal 17: Kementerian Negara


Bab VI: Pemerintah Daerah

 Pasal 18-18B: Definisi, Struktur, dan Fungsi Kerja Pemerintah Daerah


Bab VII: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

 Pasal 19: Pemilu DPR dan Rapat Tahunan


 Pasal 20: Fungsi Legislatif DPR
 Pasal 20A: Fungsi-fungsi Lain DPR
 Pasal 21: Pengajuan usulan rancangan DPR
 Pasal 22: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
 Pasal 22A: Tata Cara Pembentukan Undang-undang
 Pasal 22B: Pemberhentian Jabatan Anggota DPR
Bab VIIA: Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

 Pasal 22C: Pemilu DPD dan Rapat Tahunan DPD


 Pasal 22D: Fungsi Kerja DPD terkait Hubungan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
Bab VIIB: Pemilihan Umum

 Pasal 22E: Pelaksanaan Pemilihan Umum


Bab VIII: Hal Keuangan

 Pasal 23: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)


 Pasal 23A: Pajak dan Pungutan Lain
 Pasal 23B: Macam dan Harga Mata Uang
 Pasal 23C: Pengaturan Keuangan Negara Lainnya
 Pasal 23D: Bank Sentral
Bab VIIIA: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

 Pasal 23E: Fungsi Tugas BPK


 Pasal 23F: Anggota BPK
 Pasal 23G: BPK Pusat dan Daerah, dan pengaturan lainnya.
Bab IX: Kuasa Kehakiman

 Pasal 24: Fungsi Tugas dan Struktur Kuasa Kehakiman


 Pasal 24A: Mahkamah Agung dan Hakim Agung
 Pasal 24B: Komisi Yudisial
 Pasal 24C: Mahkamah Konstitusi
 Pasal 25: Syarat-syarat Pengangkatan Hakim
Bab IXA: Wilayah Negara

 Pasal 25A: Wilayah Negara


Bab X: Warga Negara dan Penduduk
 Pasal 26: Kewarganegaraan
 Pasal 27: Hak dan Kewajiban Dasar Warga Negara
 Pasal 28: Kemerdekaan Berkumpul dan Berpendapat
Bab XA: Hak Asasi Manusia

 Pasal 28A: Hak Hidup


 Pasal 28B: Hak Berketurunan dan Hak Anak
 Pasal 28C: Hak Mengembangkan Diri dan Masyarakat
 Pasal 28D: Hak Kesetaraan Hukum, Pekerjaan, Politik, dan Kewarganegaraan.
 Pasal 28E: Hak Kebebasan Beragama dan Berkumpul
 Pasal 28F: Hak Komunikasi
 Pasal 28G: Hak Perlindungan Diri
 Pasal 28H: Hak Kesejahteraan dan Hak Milik
 Pasal 28I: Hak Hidup, Hak Bebas dari Diskriminasi, Hak Berbudaya, dan
Tanggung Jawab Pemerintah
 Pasal 28J: Batas Hak Asasi Individu
Bab XI: Agama

 Pasal 29: Agama


Bab XII: Pertahanan dan Keamanan Negara               

 Pasal 30: Pertahanan dan Keamanan Negara: Tentara Nasional Indonesia dan
Polisi
Bab XIII: Pendidikan dan Kebudayaan

 Pasal 31: Hak atas Pendidikan, Sistem Pendidikan, Anggaran Pendidikan,


Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang Bernilai Keutamaan.
 Pasal 32: Kebudayaan Nasional dan Bahasa Daerah
Bab XIV: Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial

 Pasal 33: Asas Perekonomian Nasional


 Pasal 34: Jaminan Sosial
Bab XV : Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan
 Pasal 35-36C: Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan
Bab XVI: Perubahan UUD       

 Pasal 37: Peraturan untuk Amandemen UUD


Aturan-aturan Peralihan        

 Pasal I-III: Mengatur Masa Peralihan dalam lembaga negara akibat dari
Amandemen IV
Aturan-aturan Tambahan     

 Pasal I-II: Tugas MPR dan Struktur UUD hasil Amandemen IV

 PERUBAHAN PERTAMA

PERUBAHAN KEDUA Masing-masing sertakan arah

PERUBAHAN KETIGA perubahannya!

PERUBAHAN KEEMPAT

Berikut ini sejarah amandemen UUD 1945 di Indonesia.


Amandemen I
Amandemen yang pertama kali ini disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999 atas dasar SU MPR 14-21
Oktober 1999. Amandemen yang dilakukan terdiri dari 9 pasal, yakni:
Pasal 5, pasal 7, pasal 9, pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 17, pasal 20, pasal 21.

Inti dari amandemen pertama ini adalah pergeseran kekuasaan Presiden yang dipandang terlalu kuat
(executive heavy).

Amandemen II
Amandemen yang kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 dan disahkan melalui sidang umum
MPR 7-8 Agustus 2000. Amandemen dilakukan pada 5 Bab dan 25 pasal. Berikut ini rincian perubahan
yang dilakukan pada amandemen kedua.

Pasal 18, pasal 18A, pasal 18B, pasal 19, pasal 20, pasal 20A, pasal 22A, pasal 22B, pasal 25E, pasal 26,
pasal 27, pasal 28A, pasal 28B, pasal 28C, pasal 28D, pasal 28E, pasal 28F, pasal 28G, pasal 28H, pasal
28I, pasal 28J, pasal 30, pasal 36B, pasal 36C.
Bab IXA, Bab X, Bab XA, Bab XII, Bab XV, Ps. 36A ;

Inti dari amandemen kedua ini adalah Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak Asasi
Manusia, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.

Amandemen III
Amandemen ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001 dan disahkan melalui ST MPR 1-9
November 2001. Perubahan yang terjadi dalam amandemen ketiga ini terdiri dari 3 Bab dan 22 Pasal.
Berikut ini detil dari amandemen ketiga.

Pasal 1, pasal 3, pasal 6, pasal 6A, pasal 7A, pasal 7B, pasal 7C, pasal 8, pasal 11, pasal 17,
pasal 22C, pasal 22D, pasal 22E, pasal 23, pasal 23A, pasal23C, pasal 23E, pasal 23F, pasal 23G, pasal
24, pasal 24A, pasal24B, pasal24C.

Bab VIIA, Bab VIIB, Bab VIIIA.

Inti perubahan yang dilakukan pada amandemen ketiga ini adalah Bentuk dan Kedaulatan Negara,
Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman.

Amandemen IV
Sejarah amandemen UUD 1945 yang terakhir ini disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002 melalui ST
MPR 1-11 Agustus 2002. Perubahan yang terjadi pada amandemen ke-4 ini terdiri dari 2 Bab dan 13
Pasal.

Pasal 2, pasal 6A, pasal 8, pasal 11, pasal16, pasal 23B, pasal 23D, pasal 24, pasal 31, pasal 32, pasal 33,
pasal 34, pasal 37.

BAB XIII, Bab XIV.

Inti Perubahan: DPD sebagai bagian MPR, Penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian dan
perjanjian, mata uang, bank sentral, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial, perubahan UUD.

Pemaparan pasal pasal yang di amandemen :

Amandemen UUD 1945 Pertama


Amandemen UUD 1945 pertamakali dilakukan dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang diselenggarakan pada 14-21 Oktober 1999. Amandemen ini diterapkan terhadap 9 pasal,
yakni Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21.
Isi dan perubahan Amandemen UUD 1945 pertama antara lain:
PASAL 5
(1) Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Diubah menjadi:
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
PASAL 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali.
Diubah menjadi:
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali
dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. "
PASAL 9
(1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden
Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar
dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada
Nusa dan Bangsa."

Janji Presiden (Wakil Presiden):

"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil
Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-
Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
berbakti kepada Nusa dan Bangsa". "
Diubah menjadi:
(1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden
Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar
dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada
Nusa dan Bangsa."
Janji Presiden (Wakil Presiden):
"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil
Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-
Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
berbakti kepada Nusa dan Bangsa".
(2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan
sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh
di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah
Agung.
PASAL 13
(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2) Presiden menerima duta negara lain.
Diubah menjadi:
(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.
PASAL 14
Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.
Diubah menjadi:
(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat.
PASAL 15
Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan.
Diubah menjadi:
Presiden memberi gelar tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.
PASAL 17
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan.
Diubah menjadi:
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
PASAL 20
(1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan rakyat.
(2) Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan rakyat, maka
rancangan tadi tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan rakyat masa itu.
Diubah menjadi:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu
tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undang-undang.
PASAL 21
(1) Anggota-anggota Dewan Perwakilan rakyat berhak memajukan rancangan undang-undang.
(2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan rakyat, tidak disahkan oleh Presiden,
maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Diubah menjadi:
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang.
 Perubahan Amandemen UUD 1945 Keempat Tahun 2002 Isi Amandemen UUD 1945 Kedua
Amandemen UUD 1945 pertamakali dilakukan dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang diselenggarakan pada 14-21 Oktober 1999. Sedangkan yang kedua adalah dalam Sidang
Tahunan MPR pada 7-18 Agustus 2000 yang meliputi 5 Bab dan 25 Pasal. Isi dan perubahan Amandemen
UUD 1945 kedua antara lain: 
PASAL 18 
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa
Diubah menjadi:
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintah daerah,
yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
PASAL 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang.
PASAL 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 
PASAL 19
(1) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan dengan undang-undang.
(2) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. 
Diubah menjadi:
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.
(2) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
PASAL 20
(1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka
rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. 
Diubah menjadi:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undang-undang.
Diubah menjadi:
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
PASAL 20A
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-undang Dasar
ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.
(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-undang Dasar ini, setiap anggota Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak
imunitas.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan
Rakyat diatur dalam undang-undang.
PASAL 22A Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-
undang
PASAL 22B Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat
dan tata caranya diatur dalam undang-undang. 
BAB IXA WILAYAH NEGARA
PASAL 25E 
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah
yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
BAB X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK 
PASAL 26
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain
yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. (2) Syarat-syarat yang mengenai
kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.
Diubah menjadi:
(2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
(3) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
PASAL 27
(1) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. 
BAB XA HAK ASASI MANUSIA PASAL 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya.
PASAL 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
PASAL 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dengan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
PASAL 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraannya.
PASAL 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
PASAL 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
PASAL 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat
manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. 
PASAL 28H 
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapa pun. 
PASAL 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
PASAL 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
(2) Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis. 
BAB XII PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA PASAL 30
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
(2) Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang. 
Diubah menjadi:
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan
utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, sebagai
alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam
menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang. 
BAB XV BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN
PASAL 36A Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
PASAL 36B Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.
PASAL 36C Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan diatur dengan undang-undang.
Amandemen UUD 1945 Ketiga
Sidang Tahunan MPR 2001 yang dihelat tanggal 1-9 November 2001 menghasilkan perubahan ketiga
UUD 1945. Inti dari Amandemen UUD 1945 ketiga ini mencakup beberapa pasal dan bab mengenai
Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara,
Kekuasaan Kehakiman, dan lainnya. Perubahan ketiga Amandemen UUD 1945 menyempurnakan dan
menambahkan pasal-pasal dan bab-bab berikut ini:
Pasal 1 
(1) Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik. 
(2) Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat. 
Diubah menjadi(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Pasal 3
Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada
haluan Negara. Diubah menjadi
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(4) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Pasal 6 
(1) Presiden ialah orang Indonesia asli. 
(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang
terbanyak.
Diubah menjadi 
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak
pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara,
serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai Presiden
dan Wakil Presiden. 
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang - undang.
Pasal 6A 
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. 
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. 
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih lama dari lima puluh
presiden dari jumlah suara dalam pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. 
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-
undang.
Pasal 7A 
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7B 
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden. 
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat
dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat
yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-adilnya terhadap
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan
Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk merumuskan usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan
Perwakilan Rakyat tersebut paling lama tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima
usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan
penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pasal 7C Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 8 Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya.
Diubah menjadi 
(1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai masa jabatannya. 
(2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari,
Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon
yang diusulkan oleh Presiden. 
Pasal 11 
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain. 
diubah menjadi
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. 
Pasal 17 
(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden.
(3) Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan. diubah menjadi
(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementrian negara diatur dalam undang-undang. 
BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22C 
(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah Seluruh anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan
Daerah. 
(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. 
(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.
Pasal 22D
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai:
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata
caranya diatur dalam undang-undang.

BAB VIIB PEMILIHAN UMUM 


Pasal 22E 
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima
tahun sekali. 
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. 
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. 
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap
dan mandiri 
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
Pasal 23 
(1) Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan
Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan
anggaran tahun yang lalu. 
(2) Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. 
(3) Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. 
(4) Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang.
(5) Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa
Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Diubah menjadi 
(1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan
setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 
(2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk
dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. 
(3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan anggaran pendapatan dan belanja
negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
tahun yang lalu. 
Pasal 23A 
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. 
Pasal 23C 
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang. 

BAB VIIIA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN 


Pasal 23E 
(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu badan
Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
(2) Hasil pemeriksa keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,sesuai dengan kewenangnnya.
(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan
undang-undang.
Pasal 23F 
(1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden. 
(2) Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota. 
Pasal 23G 
(1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di Ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap
provinsi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang. 
Pasal 24 
(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman
menurut undang-undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
diubah menjadi 
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. 
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 24A 
(1) Mahkamah Agung berwenang menjadi pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang. 
(2) Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, professional, dan
berpengalaman di bidang hukum.
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. 
(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung. 
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan
dibawahnya diatur dengan undang-undang.
Pasal 24B
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. 
Pasal 24C
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan
pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang- Undang Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh
Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim konstitusi.
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang
menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang
Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
[15/11 12.45 AM] A Bayu: Adapun isi dan perubahan keempat Amandemen UUD 1945, termasuk
penghapusan atau penambahan pasal/bab, yang disahkan pada 10 Agustus 2002 adalah sebagai berikut: 
Pasal 2 
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. 
Pasal 6A 
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara
langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil
Presiden. 
Pasal 8 
(3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri
Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya
tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih
suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai habis masa jabatannya.
Pasal 11 
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain. 
Pasal 16 
Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan
kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang. 

BAB IV DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG Dihapus. 


Pasal 23B 
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 23D 
Negara memiliki suatu bank sentral yan susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan
independensinya diatur dengan undang-undang
Pasal 24 
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-
undang

BAB XIII PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 


Pasal 31 
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. 
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. 
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang. 
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. 
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama
dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. 
Pasal 32 
(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. 
(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

BAB XIV PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


Pasal 33 
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. 
Pasal 34 
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat
yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. 
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak. 
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Pasal 37 
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan
dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. 
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. 
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-
kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat. 
(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
ATURAN PERALIHAN
Pasal I Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini. 
Pasal II
Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan
Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. 
Pasal III 
Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala
kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.   
ATURAN TAMBAHAN
Pasal I 
Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 2003.
Pasal II 
Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.

PANDANGAN ANDA TENTANG

UUD NRI Tahun 1945 yang berlaku saat ini bagaimana?

Beberapa waktu lalu sempat muncul pernyataan Amandemen Kelima UUD NRI Tahun
1945 untuk menghidupkan kembali GBHN.
Setujukah Anda dengan pernyataan tersebut? Jelaskan!
(Untuk mengerjakannya, Anda bisa menyertakan pendapat para ahli terkait. Tentunya penjelasan
Anda juga harus disertakan. Komposisinya 30% pendapat ahli, baik itu pro kontra, kajian, dll; 70%
pembahasan Anda pribadi ATAU 99% pembahasan pribadi – 1% pendapat ahli. Apabila komposisinya
terbalik, silakan dikerjakan ulang. Khusus tugas part terkahir ini, minimal 3 halaman.)

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai ruang gerak presiden bakal terbatas lantaran
GBHN hanya disusun oleh MPR. Padahal, presiden terpilih tentu memiliki agenda politik, sosial, dan
ekonomi berdasakran visi misi yang telah dikampenyakan. "Kalau produk GBHN cuma ditentukan dua
lembaga, DPR dan DPD yang ada di dalam MPR,” kata Refly kepada wartawan, Kamis (8/8/2019).
Dengan skema seperti itu, Refly khawatir arah kebijakan pembangunan yang disusun dalam
GBHN tidak bisa dilaksanakan dengan baik lantaran pemerintah selaku eksekutor tak dilibatkan dalam
penyusunannya. "Paradigmanya itu sudah berubah, karena paradigma bernegara kita tidak lagi menganut
supremasi MPR, tapi sudah menganut supremasi konstitusi,” jelasnya Atas dasar itu, Refly menilai
GBHN sudah tidak relevan untuk diterapkan dalam pemerintahan masa kini. Ia mengatakan poin-poin
dalam GBHN masih bisa diakomodir lewat Undang-undang. “Menurut saya tidak relevan dan tidak
penting, karena yang ditetapkan di GBHN itu sebenarnya bisa ditetapkan di UU,” tegas dia.
Menurut pendapat pribadi saya, saya tidak setuju dengan pernyataan menghidupkan kembali
GBHN. karena GBHN tidak bisa di terapkan dalam masa kini. Diawal masa orde baru GBHN memang
memiliki kedudukan yang sangat strategis dan penting dalam menentukan arah dan kebijakan
pembangunan Negara pada saat itu. GBHN merupakan haluan negara yang menjadi pedoman dalam
menjalankan pemerintahannya di berbagai bidang.

Dari pendapat pribadi saya menolak menghidupkan kembali GBHN karena ada beberapa alasan
yang cukup kuat karena hal tersebut mengakibatkan mundurnya begitu banyak capaian sejak reformasi
yang berlangsung sampai saat ini. Alasan saya menolak tujuan yang menghidupkan kembali GBHN
adalah sebagai berikut :

1. Merusak sistem presidensial di Indonesia


Dalam naskah sebelum perubahan UUD 1945, GBHN diatur dalam Pasal
3 yang menyebutkan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat
menetapkan UUD dan garis-garis besar daripada haluan negara”.
Kemudian, penjelasan Pasal 3 bahwa menegaskan Presiden wajib
melaksanakan GBHN dan apabila Presiden melanggar, maka MPR bisa
memberhentikan Presiden. Pengaturan itu pada dasarnya membuat
Indonesia menganut sistem parlementer. Sedangkan sekarang negara kita
menganut sistem presidensial. Menurut saya sistem presidensial terbukti
lebih tepat dalam membawa Indonesia ke alam yang lebih demokratis
karena Presiden bertanggung jawab langsung pada pemilihnya, bukan
pada lembaga lain. Jika GBHN kembali dihidupkan, sistem pemerintahan
akan bergerak kembali ke arah parlementer dan merusak sistem yang
sudah dibangun selama ini.
2. Melawan arus sejarah
Indonesia pernah menjalankan pola pembangunan berjangka melalui
GBHN yang dibentuk oleh MPR, yakni pada masa pemerintahan
Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, hingga Abdurahman Wahid. Bahkan,
Presiden Soekarno dan Presiden Abdurahman Wahid sempat merasakan
bagaimana GBHN dijadikan sebagai dasar oleh MPR untuk melakukan
pemakzulan. Penghapusan GBHN dalam ketentuan UUD 1945 bukan
tanpa alasan, sehingga apabila tidak belajar dari sejarah dengan
membangkitkan GBHN, maka peluang pengulangan sejarah melalui
pemakzulan Presiden besar kemungkinan bisa terjadi lagi. Dengan model
GBHN, Presiden hanya diposisikan sebagai pelaksana tugas sehingga
esensi Presiden sebagai pemegang arah dan komando pembangunan
menjadi hilang. 
3. Memperburuk kinerja parlemen
Amendemen UUD 1945 menjadi upaya satu-satunya untuk membidani
kelahiran kembali GBHN. Melakukan amendemen UUD 1945 adalah
agenda kompleks yang memerlukan waktu panjang dan padat, sehingga
akan menyita banyak waktu anggota MPR yang terdiri dari gabungan
anggota DPR dan DPD periode 2019-2024. Padahal, peran dan
keberadaan DPR diperlukan untuk melaksanakan berbagai fungsinya,
yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran. Waktu kerja yang tersita
berpotensi memperburuk kinerja DPR, khususnya dalam fungsi legislasi.
DPR periode 2014-2019 hanya berhasil mengesahkan 22 RUU menjadi
UU dari 189 RUU yang direncanakan untuk disahkan pada kurun waktu
2015-2019. Capaian itu adalah nilai merah bagi manajemen kinerja DPR
dalam 5 tahun terakhir, dan akan lebih buruk apabila waktu anggota DPR
semakin disita oleh proses-proses amendemen UUD 1945.
4. Melawan komitmen arah pembangunan
Sejak GBHN tidak lagi diberlakukan, perencanaan pembangunan di
Indonesia adalah berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN), dan yang saat ini berlaku adalah RPJPN 2005-2025
berdasarkan kepada UU No. 17 Tahun 2007. RPJPN kemudian didukung
oleh serangkaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) yang saat ini sedang dalam proses pembentukan RPJMN fase
kelima. Apabila para elite politik memang serius untuk memperbaiki
arah pembangunan nasional, maka tidak perlu menempuh jalur
amandemen konstitusi dengan melahirkan kembali GBHN. Cukup
dengan serius mengikuti proses penyusunan RPJMN 2020-2025. Upaya
lain yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan tenaga dan waktu yang
ada adalah dengan melakukan evaluasi terhadap RPJPN 2005-2025, dan
menjadikan hasil evaluasi itu untuk menyusun RPJPN tahap berikutnya,
yaitu RPJPN 2025-2050.
5. Melawan prinsip partisipasi pubik dalam pemerintahan
Dinamika melahirkan kembali GBHN melalui amendemen UUD 1945
yang saat ini terjadi bersifat elitis, yaitu hanya melibatkan kepentingan
aktor-aktor partai politik yang agendanya memang saling berebut
kekuasaan. Dalam praktik pemerintahan, yang adalah dibutuhkan
keseimbangan agar capaian pembangunan dilakukan dengan transparan,
akuntabel, dan partisipatif. Wacana melahirkan kembali GBHN saat ini
hanya mengakomodasi kepentingan elite partai politik, dan tidak
mengakar pada kebutuhan riil masyarakat. Hal ini terjadi karena proses
yang berjalan sampai mewacanakan amendemen UUD 1945 tidak
berakar dari permasalahan riil dalam masyarakat, bahkan cenderung
mengenyampingkan argumentasi atau kepentingan yang menolak
dilakukannya amendemen UUD 1945 untuk melahirkan kembali
GBHN. 

Berdasarkan alasan tersebut,  gagasan mengembalikan GBHN melalui amendemen UUD 1945
menurut saya harus ditolak. Argumentasi-argumentasi di atas juga harus menjadi catatan bagi para elite
partai politik, baik yang sudah mendukung maupun belum bersikap atas gagasan tersebut. Elite politik
bukanlah representasi publik sehingga kelompok-kelompok masyarakat sipil, akademisi, serta publik
secara luas perlu mengedepankan pertimbangan rasional dalam menyikapi gagasan menghidupkan
kembali GBHN melalui amandemen konstitusi tersebut.

Gagasan MPR untuk menerapkan pola pembangunan nasional model GBHN terlihat tidak
mampu menjawab problematika sistem pembangunan nasional yang ada dan justru akan menimbulkan
problematika ketatanegaraan baru.

Amandemen ketiga tersebut telah mereduksi kekuasaan MPR sehingga MPR tidak lagi
mempunyai wewenang untuk menetapkan GBHN dan memilih Presiden beserta Wakil Presiden. Dengan
demikian MPR juga tidak bisa mendikte Presiden melalui GBHN-nya. Dalam kajian politik, nilai tawar
MPR sudah tidak seksi lagi. Hal itu dikarenakan sistem sudah beralih dari sistem parlemen menjadi
sistem presidensial karena Presiden dan Wakil Presiden sudah dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini
berdampak pada kewenangan MPR, di mana kewenangan untuk menetapkan GBHN telah dihapus.

Terhapusnya kewenangan MPR menetapkan GBHN menjadi dilema terhadap perencanaan


pembangunan negara padahal GBHN dianggap sebagai fondasi perencanaan pembangunan nasional.
Kekhawatiran tersebut sesungguhnya tidak perlu menjadi drama bagi para penguasa karena sudah
dijawab dengan adanya perencanaan yang sistematis lainnya, yakni dengan munculnya sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Nasional (UU SPPN) yang dijadikan landasan hukum dalam bidang perencanaan
pembangunan pasca dihapuskannya GBHN.

Menghidupkan kembali GBHN dengan alasan supaya pembangunan berjalan dengan sistematis
tidak bisa dijadikan rujukan karena UU SPPN sudah mampu menjawab itu semua. Bahkan UU SPPN ini
dalam konsep negara hukum mempunyai kekuatan hukum yang kuat karena berbentuk UU yang dibahas
oleh eksekutif dan legislatif secara bersamaan sehingga nilai-nilai demokrasi juga tercermin dalam UU
SPPN.

Kita sebagai masyarakat Indonesia perlu mencurigai apabila ada ada elite politik yang
menginginkan GBHN hidup kembali dengan alasan sistematisasi perencanaan pembangunan, karena
perencanaan pembangunan sampai saat ini sudah ada panduannya. Wacana GBHN hidup kembali adalah
muatan politis saja, bukan untuk kepentingan pembangunan bangsa.

Maka dari itu, menurut pendapat pribadi saya tidak perlu adanya tujuan menghidupkan GBHN
kembali karena tujuan tersebut tidak relevansi dengan tujuan Negara saat ini. Jika hal tersebut diterapkan
di Negara kita saat ini Karena akan mengganggu sistem keseimbangan yang sudah dicapai Negara kita
saat ini.

TO GEOVANI AURA NATASYA THE SPIRIT ALWAYS, DON’T DEEP BURDENS OF MIND.
TAKE CARE OF YOUR HEALTH, AND MAY YOU ATTAIN YOUR IDEALS. LOVE YOU.

Anda mungkin juga menyukai