Kedudukan
Sifat Konstitusi dan Undang-undang Dasar
Fungsi
Konstitusi dan UUD itu pada dasarnya berbeda. Karena konstitusi menyangkut semua peraturan
dan semua ketentuan perundang-undangan, termasuk juga yang terdapat dalam UUD. Menurut
E.C.S Wade, konstitusi dengan UUD itu berbeda.
E.C.S. Wade dalam bukunya Constitutional Law mengatakan bahwa secara umum UUD
adalah suatu naskah yang memaparkan kerangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan
pemerintahan suatu negara dan menentukan cara kerja badan-badan tersebut
Konstitusi pada dasarnya memiliki pengertian luas, yaitu keseluruhan peraturan baik tertulis
maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat mengenai cara penyelenggaraan suatu
pemerintahan.
Konstitusi terdiri atas UUD yang tertulis dan yang tidak tertulis (konvensi).
Alinea I
Alinea III
Alinea IV
Pada alinea pertama berbunyi, “Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan perikeadilan” .
Dalam alinea pertama, Indonesia menegaskan bahwa penjajahan tidaklah sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Bangsa Indonesia juga menentang setiap bentuk penjajahan
dan mendukung kemerdekaan setiap negara. Selain itu, melalui alinea ini, Indonesia memperjelas
aspirasi untuk membebaskan diri dari penjajah.
Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari pejuangan pergerakan masyarakat untuk mencapai
kebebasan dari penjajahan. Selain itu, alinea ini juga menjelaskan cita-cita bangsa Indonesia
yakni, berdaulat, adil, dan makmur.
Hal ini mempunyai makna jika hal tersebut membuktikan adanya sebuah penghargaan atas
perjuangan bangsa Indonesia selama ini serta dapat menimbulkan kesadaran. Jika keadaan
sekarang tidak bisa dipisahkan dengan keadaan kemarin serta langkah sekarang, maka akan
menentukan keadaan yang akan datang. Nilai – nilai yang tercermin pada kalimat di atas ialah
suatu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil serta makmur hal ini perlu
diwujudkan secara nyata.
Pada alinea ketiga berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya”.
Alinea ini berisi mengenai motivasi yang dimiliki leluhur bangsa Indonesia dalam memperoleh
kemerdekaan. Motivasi itu menjadi pengingat untuk masyarakat bahwa kemerdekaan Indonesia
tidaklah terlepas dari bantuan Tuhan Yang Maha Esa.
Alinea ketiga juga mengungkapkan keinginan bangsa Indonesia memiliki kehidupan yang
berkesinambungan antara materil, spiritual, dunia dengan akhirat.
Hal ini memiliki makna bahwa perjuangan meraih kemerdekaan ini bukan hanya semata
menengaskan lagi apa yang menjadi motivasi riil dan materil bangsa Indonesia untuk
menyatakan kemerdekaannya, tetapi juga menjadi keyakinan menjadi spritualnya, jika maksud
serta tujuannya menyatakan kemerdekaannya atas berkah Allah Yang Maha Esa. Dengan
demikian bangsa Indonesia mendambakan kehidupan yang berkesinambungan kehidupan
materiil dan spritual, keseimbangan dunia dan akhirat.
Pada Alinea keempat berbunyi, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah
negara Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”.
Alinea ini menjelaskan fungsi dan tujuan negara seperti melindungi seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, hingga
melaksanakan ketertiban dunia. Tak hanya itu, alinea empat juga mempertegas bentuk negara
yang berlandaskan Pancasila.
Sebagai bentuk rumusan terpanjang serta terpadat pada alinea keempat ini, maka makna yang
terkandung juga lumayan banyak, salah satunya ialah berikut :
Empat perubahan UUD NRI TAHUN 1945 yang ditetapkan MPR periode 1999-2002 adalah
sebagai berikut :
1. Perubahan I pada tahun 1999. intinya menetakan pengurangan kekuasan presiden, baik
kekusaan legislasinya, kekusaan pemerintahannya, maupun kekuasaannya sebagai
lembaga Negara.
2. Perubahan II pada tahun 2000. Intinya melanjutkan menetapkan pengurangan kekuasaan
presiden, khususnya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan pusat dan kekuasaan
pemerintahan umum.
3. Perubahan III pada tahun 2001. Intinya menetapkan perubahan beberapa hubungan
kekuasaan antar organ Negara tertentu.
4. Perubahan IV pada tahun 2002. Intinya menetapkan kelanjutan perubahan beberap
hubungan kekuasaan antar organ Negara.
Namun demikian, keempat perubahan UUD tersebut tidak tertera dalam suatu rangkaian
ketentuan hukum yang mewujudkan suatu system. Perubahan itu lebih merupakan perubahan tambal
sulam sesuai dengan kebutuhan sesaat waktu itu.
Kelemahan hasil perubahan berkaitan dengan masalah konseptual dan procedural. MPR sewaktu
melakukan amandemen tidak memliki konsep atau desain tatanegara yang hendak dicapai melalui
serangkaian amandemen itu. Perubahan terkesan lebih cenderung pada pertimbangan-pertimbangan yang
bersifat reaktif atas kondisi sosial politik yang terjadi pada masa orde baru. Tapi bagaimana
sesungguhnya struktur kekuasaan yang didambakan, dan bagaimana pula bentuk dan system
pemerintahan yang diinginkan tidak jelas.
Ketiadaan yang jelas itulah yang menjadi penyebab lemahnya metodologi yang digunakan oleh
par anggota MPR di dalam mengamandemenkan UUD 1945. Kelemahan metodologi itu menyebabkan
anggota-amggota MPR terlalu memperhatikan pasal-pasal tanpa lebih dulu memperhatikan pasal-pasal
tanpa melihat UUD 1945 secara keseluruhan. Akibatnya mereka gagal menyelaraskan antara aspirasi
yang terkandung didalam pembukaan UUD 1945 dengan pasal-pasal dalam batang tubuh yang sedang di
amandemen. Padahal seharusnya pasal-pasal yang ada di dalam batang tubuh mencerminkan sepenuhnya
aspirasi yang ada di dalam pembukaan. Tanpa konsep yang jelas, niscaya akan sulit bagi para anggota
MPR menemukan metode yang valid dalam mengamandemenkan UUD 1945.
Jika dicermati setidaknya terdapat tiga problematika yang dimiliki oleh UUD 1945 setelah
amandemen yaitu :
Akibat dari permasalahan di atas maka dalam implementasinya, telah menimbulkan berbagai
persoalan mendasar. Karenanya, tidak salah apabila perubahan UUD 1945 yang sekarang berlangsung
tidak ada desain, tidak ada konsep dan salah secara metodologi. Hal itupun diakui oleh Jilmy Asshiddiq,
yang merupakan anggota tim ahli panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Dengan mengatakan bahwa
paradigm perubahan UUD 1945 itu baru diketemukan belakangan. Suatu pengakuan yang secara jelas
menggambarkan bagaimana amburadulnya tahapan agenda setting reformasi konstitusi transisi Indonesia.
Selain itu, political struggle dan intervensi kepentingan politik sangat jelas tercermin dalam
amandemen pertama hingga ketiga. Pada amandemen pertama, karena situasi eforia politik, kubu anti-
reformasi lebih banyak berdiam diri tetapi berhasil melahirkan sakralisasi baru UUD 1945 tersebut di
atas. Dalam amandemen kedua, kubu anti-reformasi lebih bermain terbuka dalam menghasilkan pasal
non-retroaktif di dalam ketentuan HAM dan memperpanjang masa eksistensi fraksi militer di MPR
hingga 2009 melalui ketetapan MPR. Amandemen ketiga, justru lebih berbahaya karena merupakan
perubahan yang sangat parsial dan juga merupakan bom waktu konstitusi karena membuka peluang
deadlock dan krisis konstitusi, terutama pada pasal-pasal yang bekaitan dengan pemilihan presiden
langsung dan reformasi parlemen.
PROSEDUR PERUBAHAN KONSTITUSI?
Menurut C.F. Strong, ada empat macam prosedur perubahan konstitusi adalah sebagai berikut.
1. Amandemen konstitusi yang dibuat oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetap dilaksanakan sesuai
dengan pembatasan tertentu. Perubahan ini terjadi melalui tiga kemungkinan berikut.
Pertama, untuk mengamandemen konstitusi, sesi dari pemegang kekuasaan legislatif harus
dihadiri oleh setidaknya sejumlah tertentu anggota tertentu (kuorum).
Kedua, untuk mengubah konstitusi, lembaga perwakilan rakyat harus dibubarkan terlebih dahulu
dan kemudian pemilihan diadakan. Perwakilan rakyat ini harus diperbarui dan kemudian menjalankan
wewenang mereka untuk mengubah konstitusi.
Ketiga, adalah cara yang terjadi dan berlaku dalam sistem perakitan dua kamar. Untuk mengubah
konstitusi, dua kamar dari Badan Perwakilan Rakyat harus mengadakan sidang bersama. Majelis
gabungan ini, dengan cara yang sama dengan cara pertama, otoritas untuk mengubah konstitusi.
2. Konstitusi dirubah oleh rakyat melalui referendum. Jika ada kemauan untuk mengubah konstitusi maka
lembaga negara yang berwenang untuk itu mengusulkan perubahan kepada rakyat melalui referendum.
Amandemen konstitusi yang diusulkan dipersiapkan sebelumnya oleh lembaga yang berwenang untuk itu.
Dalam referendum atau plebisit ini orang-orang menyatakan pendapat mereka dengan menerima atau
menolak usulan perubahan yang telah diajukan kepada mereka. Penentuan penerimaan atau penolakan
atas perubahan yang diusulkan ditetapkan dalam konstitusi.
3. Amandemen konstitusi berlaku untuk negara serikat yang dilakukan oleh sejumlah negara bagian.
Amandemen konstitusi terhadap negara serikat harus dilakukan dengan persetujuan sebagian besar
negara-negara bagian. Ini dilakukan karena konstitusi di negara serikat dianggap sebagai kesepakatan
antara negara-negara bagian. Amandemen konstitusi yang diusulkan dapat diajukan oleh negara serikat,
dalam hal ini badan perwakilannya, tetapi kata akhirnya ada di negara bagian. Selain itu, perubahan yang
diusulkan juga dapat berasal dari negara bagian.
4. Amandemen konstitusi yang dibuat dalam konvensi atau oleh lembaga negara khusus yang didirikan
semata-mata untuk tujuan amandemen. Ini dapat dilakukan baik dalam negara kesatuan atau negara
kesatuan. Jika ada kemauan untuk mengubah konstitusi, maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
mendirikan lembaga negara khusus yang tugas dan wewenangnya hanya mengubah konstitusi. Usulan
perubahan dapat berasal dari pemegang kekuasaan legislatif dan mungkin juga berasal dari pemegang
kekuasaan legislatif dan mungkin juga berasal dari lembaga negara khusus tersebut. Jika lembaga negara
khusus telah melaksanakan tugas dan kekuasaannya sampai akhir, dengan sendirinya lembaga itu
dibubarkan.
Miriam Budiarjo (Miiriam Budiardjo: 2008) mengemukakan empat macam prosedur amandemen
konstitusi, yaitu sebagai berikut.
1. Sesi legislatif ditambah beberapa kondisi seperti kuorum dan jumlah minimum anggota legislatif
untuk menerima perubahan.
2. Referendum atau plebisit, misalnya: Swiss dan Australia
3. Negara-negara bagian dalam negara federal harus menyetujui, misalnya, Amerika Serikat
4. Pembahasan khusus (konvensi khusus), contoh beberapa negara Amerika Latin
Amandemen UUD 1945 Republik Indonesia berarti mengubah UUD 1945 Republik Indonesia.
Tujuannya adalah untuk memperkuat fungsi dan kedudukan UUD 1945 dengan mengakomodasi aspirasi
politik yang berkembang untuk mencapai tujuan negara sebagaimana ditentukan oleh Konstitusi itu
sendiri. Cara mengubah setiap konstitusi dan praktik pelaksanaannya memiliki cara tersendiri dalam
menetapkan konstitusi.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 37 yang berwenang untuk
melakukannya adalah MPR. Amandemen UUD 1945 Republik Indonesia dilakukan selama Sidang
Umum MPR. Amandemen tersebut dimaksudkan agar UUD Negara Republik Indonesia disempurnakan
sesuai dengan perkembangan dan dinamika tuntutan aspirasi rakyat.
Di Indonesia, prosedur untuk mengubah Konstitusi diatur dalam Pasal 37 Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia yang telah diubah. Dinyatakan bahwa untuk mengubah Konstitusi harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut.
1. Amandemen yang diusulkan terhadap pasal-pasal Konstitusi dapat dijadwalkan dalam sesi
Majelis Permusyawaratan Rakyat jika diajukan oleh paling sedikit 1/3 dari total anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
2. Setiap usulan amandemen terhadap pasal-pasal Konstitusi disampaikan secara tertulis dan dengan
jelas menunjukkan bagian yang diusulkan untuk diubah dan alasannya.
3. Untuk mengubah pasal-pasal Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh paling
sedikit 2/3 dari total anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4. Keputusan untuk mengubah pasal-pasal Konstitusi harus mendapat persetujuan paling sedikit
lima puluh persen ditambah satu anggota dari semua anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
5. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diubah.
UUD ’45 menampilkan keunikan yang tidak lazim dijumpai pada sistem UUD di Negara-negara
lain. Keunikan itu antara lain mengenai Penjelasan dan aturan Tambahan. Belum pernah
dijumpai ada UUD yang mempunyai penjelasan seperti UUD ’45. Bahkan penjelasan itu dimuat
dan diumumkan dalam Berita Republik (1946) dan Lembaran Negara (1959) bersama-sama
pasal-pasal dalam UUD. Penjelasan dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara. Keunikan-
keunikan ini terjadi akibat dari sifat UUD yang kilat, sehingga baik isi maupun penyusunannya
kurang memperhatikan syarat, unsur, dan asas-asas pembuatan suatu undang-undang yang baik.
Pada saat ini tidak semua aturan peralihan dalam UUD ’45 masih berlaku, dikarenakan baik
objek, kewenangan atau sasaran yang hendak dicapai tidak ada lagi / waktunya sudah lampau.
Demikian pula aturan tambahan, sebagai aturan temporer, aturan tambahan hanya berlaku sesuai
dengan ketentuan dalam UUD ’45.[3]
Cara perubahan konstitusi di Indonesia menganut formal amandemen yaitu perubahan konstitusi
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi yang bersangkutan.
Di Indonesia, tentang tata cara perubahan konstitusi tercantum dalam UUD ’45 pasal 37 dimana
ada badan yang berwenang menetapkan dan merubah UUD yaitu MPR.
Konstitusi bukan hanya sebagai kumpulan norma-norma dasar statis yang merupakan sumber
ketatanegaraan, tapi juga memberi ruang untuk mengikuti perkembangan masyarakat yang
terjadi dalam suatu negara. Sejalan dengan dinamika perkembangan masyarakat pada suatu
negara, maka konstitusi dapat pula mengalami perubahan. Namun, untuk melakukannya
perubahan tersebut tiap-tiap konstitusi mempunyai cara-cara atau prosedur tertentu.menurut
Thalib(2003:50) terdapat dua sistem perubahan konstitusi yaitu:
1. Sistem yang pertama, bahwa apabila suatu UUD atau konstitusi diubah, maka yang berlaku
adalah UUD atau konstitusi yang baru secara keseluruhan. Hal ini pernah dialami di Indonesia
yaitu perubahan konstitusi dari UUD 1945 menjadi Konstitusi RIS(27 Desember 1949 – 17
Agustus 1950), dan perubahan dari Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950 (17Agustus 1950- 5 Juli
1959), serta dari UUDS 1950 kembali menjadi UUD 1945 (5Juli 1959-1999).
2. Sistem yang kedua, bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka konstitusi asli yang tetap
berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen dari konstitusi yang asli
tadi. Perubahan konstitusi yang menggunakan sistem pertama berarti terjadinya perubahan
konstitusi atau UUD yang lama dengan adanya konstitusi atau UUD yang baru. Perubahan
konstitusi yang menggunakan sistem kedua berarti dilakukan amandemen dari konstitusi atau
UUD juga pernah dialami di Indonesia, yaitu terjadi amandemen terhadap UUD 1945, yaitu
amandemen UUD 1945 yang pertama tahun 1999, yang kedua tahun 2000, yang ketiga tahun
2001, yang keempat tahun 2002.
KESEPAKATAN DALAM AMANDEMEN UUD NRI TAHUN 1945?
Dalam perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam 4 kali perubahan berdasarkan pada konsepsi
agenda setting, terdapat beberapa elemen-elemen yang akan dimasukkan kedalam UUD 1945
dari yang lama ke UUD 1945 yang baru. Elemen-elemen tersebut disepakati sebagai
“Kesepakatan Dasar” yang menjadi pedoman untuk proses perubahan UUD 1945 yang ternyata
terjadi selama 4 kali perubahan. Kesepakatan dasar disusun oleh Ad Hoc I pada saat proses
pembahasan perubahan UUD 1945 dan isi dari kesepakatan dasar yang disepakati tersebut antara
lain;
1. Tidak mengubah pembukaan UUD 1945 karena di dalam pembukaan UUD 1945
terdapat staatsidee (dasar/ideologi) berdirinya NKRI, dasar negara, dan cita-cita negara.
Pembukaan UUD 1945 memuat dasar filosofis dan dasar normatif yang mendasari seluruh pasal
dalam UUD 1945. Jika ingin mengubah sedikitpun isi pembukaan UUD 1945, maka Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus bubar terlebih dahulu.
Contoh:
Pasal 4: Presiden RI
dstnya....
Untuk Pasal-pasal seperti 6A, 7A, 7B, 7C dan sejenisnya, harus dijabarkan sendiri
Pasal 30: Pertahanan dan Keamanan Negara: Tentara Nasional Indonesia dan
Polisi
Bab XIII: Pendidikan dan Kebudayaan
Pasal I-III: Mengatur Masa Peralihan dalam lembaga negara akibat dari
Amandemen IV
Aturan-aturan Tambahan
PERUBAHAN PERTAMA
PERUBAHAN KEEMPAT
Inti dari amandemen pertama ini adalah pergeseran kekuasaan Presiden yang dipandang terlalu kuat
(executive heavy).
Amandemen II
Amandemen yang kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 dan disahkan melalui sidang umum
MPR 7-8 Agustus 2000. Amandemen dilakukan pada 5 Bab dan 25 pasal. Berikut ini rincian perubahan
yang dilakukan pada amandemen kedua.
Pasal 18, pasal 18A, pasal 18B, pasal 19, pasal 20, pasal 20A, pasal 22A, pasal 22B, pasal 25E, pasal 26,
pasal 27, pasal 28A, pasal 28B, pasal 28C, pasal 28D, pasal 28E, pasal 28F, pasal 28G, pasal 28H, pasal
28I, pasal 28J, pasal 30, pasal 36B, pasal 36C.
Bab IXA, Bab X, Bab XA, Bab XII, Bab XV, Ps. 36A ;
Inti dari amandemen kedua ini adalah Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak Asasi
Manusia, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.
Amandemen III
Amandemen ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001 dan disahkan melalui ST MPR 1-9
November 2001. Perubahan yang terjadi dalam amandemen ketiga ini terdiri dari 3 Bab dan 22 Pasal.
Berikut ini detil dari amandemen ketiga.
Pasal 1, pasal 3, pasal 6, pasal 6A, pasal 7A, pasal 7B, pasal 7C, pasal 8, pasal 11, pasal 17,
pasal 22C, pasal 22D, pasal 22E, pasal 23, pasal 23A, pasal23C, pasal 23E, pasal 23F, pasal 23G, pasal
24, pasal 24A, pasal24B, pasal24C.
Inti perubahan yang dilakukan pada amandemen ketiga ini adalah Bentuk dan Kedaulatan Negara,
Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman.
Amandemen IV
Sejarah amandemen UUD 1945 yang terakhir ini disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002 melalui ST
MPR 1-11 Agustus 2002. Perubahan yang terjadi pada amandemen ke-4 ini terdiri dari 2 Bab dan 13
Pasal.
Pasal 2, pasal 6A, pasal 8, pasal 11, pasal16, pasal 23B, pasal 23D, pasal 24, pasal 31, pasal 32, pasal 33,
pasal 34, pasal 37.
Inti Perubahan: DPD sebagai bagian MPR, Penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian dan
perjanjian, mata uang, bank sentral, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial, perubahan UUD.
"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil
Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-
Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
berbakti kepada Nusa dan Bangsa". "
Diubah menjadi:
(1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai berikut:
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):
"Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden
Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar
dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada
Nusa dan Bangsa."
Janji Presiden (Wakil Presiden):
"Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil
Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-
Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
berbakti kepada Nusa dan Bangsa".
(2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan
sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh
di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah
Agung.
PASAL 13
(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2) Presiden menerima duta negara lain.
Diubah menjadi:
(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.
PASAL 14
Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.
Diubah menjadi:
(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat.
PASAL 15
Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan.
Diubah menjadi:
Presiden memberi gelar tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.
PASAL 17
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan.
Diubah menjadi:
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
PASAL 20
(1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan rakyat.
(2) Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan rakyat, maka
rancangan tadi tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan rakyat masa itu.
Diubah menjadi:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu
tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undang-undang.
PASAL 21
(1) Anggota-anggota Dewan Perwakilan rakyat berhak memajukan rancangan undang-undang.
(2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan rakyat, tidak disahkan oleh Presiden,
maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Diubah menjadi:
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang.
Perubahan Amandemen UUD 1945 Keempat Tahun 2002 Isi Amandemen UUD 1945 Kedua
Amandemen UUD 1945 pertamakali dilakukan dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang diselenggarakan pada 14-21 Oktober 1999. Sedangkan yang kedua adalah dalam Sidang
Tahunan MPR pada 7-18 Agustus 2000 yang meliputi 5 Bab dan 25 Pasal. Isi dan perubahan Amandemen
UUD 1945 kedua antara lain:
PASAL 18
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam
sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa
Diubah menjadi:
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintah daerah,
yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
PASAL 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang.
PASAL 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
PASAL 19
(1) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan dengan undang-undang.
(2) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
Diubah menjadi:
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.
(2) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
PASAL 20
(1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka
rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Diubah menjadi:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undang-undang.
Diubah menjadi:
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
PASAL 20A
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-undang Dasar
ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.
(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-undang Dasar ini, setiap anggota Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak
imunitas.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan
Rakyat diatur dalam undang-undang.
PASAL 22A Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-
undang
PASAL 22B Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat
dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
BAB IXA WILAYAH NEGARA
PASAL 25E
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah
yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
BAB X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK
PASAL 26
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain
yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. (2) Syarat-syarat yang mengenai
kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.
Diubah menjadi:
(2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
(3) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
PASAL 27
(1) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
BAB XA HAK ASASI MANUSIA PASAL 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya.
PASAL 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
PASAL 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dengan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
PASAL 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraannya.
PASAL 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
PASAL 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
PASAL 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat
manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
PASAL 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
PASAL 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
PASAL 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
(2) Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
BAB XII PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA PASAL 30
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
(2) Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang.
Diubah menjadi:
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan
utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, sebagai
alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
(4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam
menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.
BAB XV BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN
PASAL 36A Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
PASAL 36B Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.
PASAL 36C Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan diatur dengan undang-undang.
Amandemen UUD 1945 Ketiga
Sidang Tahunan MPR 2001 yang dihelat tanggal 1-9 November 2001 menghasilkan perubahan ketiga
UUD 1945. Inti dari Amandemen UUD 1945 ketiga ini mencakup beberapa pasal dan bab mengenai
Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara,
Kekuasaan Kehakiman, dan lainnya. Perubahan ketiga Amandemen UUD 1945 menyempurnakan dan
menambahkan pasal-pasal dan bab-bab berikut ini:
Pasal 1
(1) Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik.
(2) Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
Diubah menjadi(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Pasal 3
Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada
haluan Negara. Diubah menjadi
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(4) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Pasal 6
(1) Presiden ialah orang Indonesia asli.
(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang
terbanyak.
Diubah menjadi
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak
pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara,
serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai Presiden
dan Wakil Presiden.
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang - undang.
Pasal 6A
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih lama dari lima puluh
presiden dari jumlah suara dalam pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-
undang.
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat
dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat
yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-adilnya terhadap
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan
Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk merumuskan usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan
Perwakilan Rakyat tersebut paling lama tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima
usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan
penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pasal 7C Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 8 Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya.
Diubah menjadi
(1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai masa jabatannya.
(2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari,
Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon
yang diusulkan oleh Presiden.
Pasal 11
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain.
diubah menjadi
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Pasal 17
(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden.
(3) Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan. diubah menjadi
(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementrian negara diatur dalam undang-undang.
BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22C
(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah Seluruh anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan
Daerah.
(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.
Pasal 22D
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapatan dan belanja negara dan Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai:
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata
caranya diatur dalam undang-undang.
Beberapa waktu lalu sempat muncul pernyataan Amandemen Kelima UUD NRI Tahun
1945 untuk menghidupkan kembali GBHN.
Setujukah Anda dengan pernyataan tersebut? Jelaskan!
(Untuk mengerjakannya, Anda bisa menyertakan pendapat para ahli terkait. Tentunya penjelasan
Anda juga harus disertakan. Komposisinya 30% pendapat ahli, baik itu pro kontra, kajian, dll; 70%
pembahasan Anda pribadi ATAU 99% pembahasan pribadi – 1% pendapat ahli. Apabila komposisinya
terbalik, silakan dikerjakan ulang. Khusus tugas part terkahir ini, minimal 3 halaman.)
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai ruang gerak presiden bakal terbatas lantaran
GBHN hanya disusun oleh MPR. Padahal, presiden terpilih tentu memiliki agenda politik, sosial, dan
ekonomi berdasakran visi misi yang telah dikampenyakan. "Kalau produk GBHN cuma ditentukan dua
lembaga, DPR dan DPD yang ada di dalam MPR,” kata Refly kepada wartawan, Kamis (8/8/2019).
Dengan skema seperti itu, Refly khawatir arah kebijakan pembangunan yang disusun dalam
GBHN tidak bisa dilaksanakan dengan baik lantaran pemerintah selaku eksekutor tak dilibatkan dalam
penyusunannya. "Paradigmanya itu sudah berubah, karena paradigma bernegara kita tidak lagi menganut
supremasi MPR, tapi sudah menganut supremasi konstitusi,” jelasnya Atas dasar itu, Refly menilai
GBHN sudah tidak relevan untuk diterapkan dalam pemerintahan masa kini. Ia mengatakan poin-poin
dalam GBHN masih bisa diakomodir lewat Undang-undang. “Menurut saya tidak relevan dan tidak
penting, karena yang ditetapkan di GBHN itu sebenarnya bisa ditetapkan di UU,” tegas dia.
Menurut pendapat pribadi saya, saya tidak setuju dengan pernyataan menghidupkan kembali
GBHN. karena GBHN tidak bisa di terapkan dalam masa kini. Diawal masa orde baru GBHN memang
memiliki kedudukan yang sangat strategis dan penting dalam menentukan arah dan kebijakan
pembangunan Negara pada saat itu. GBHN merupakan haluan negara yang menjadi pedoman dalam
menjalankan pemerintahannya di berbagai bidang.
Dari pendapat pribadi saya menolak menghidupkan kembali GBHN karena ada beberapa alasan
yang cukup kuat karena hal tersebut mengakibatkan mundurnya begitu banyak capaian sejak reformasi
yang berlangsung sampai saat ini. Alasan saya menolak tujuan yang menghidupkan kembali GBHN
adalah sebagai berikut :
Berdasarkan alasan tersebut, gagasan mengembalikan GBHN melalui amendemen UUD 1945
menurut saya harus ditolak. Argumentasi-argumentasi di atas juga harus menjadi catatan bagi para elite
partai politik, baik yang sudah mendukung maupun belum bersikap atas gagasan tersebut. Elite politik
bukanlah representasi publik sehingga kelompok-kelompok masyarakat sipil, akademisi, serta publik
secara luas perlu mengedepankan pertimbangan rasional dalam menyikapi gagasan menghidupkan
kembali GBHN melalui amandemen konstitusi tersebut.
Gagasan MPR untuk menerapkan pola pembangunan nasional model GBHN terlihat tidak
mampu menjawab problematika sistem pembangunan nasional yang ada dan justru akan menimbulkan
problematika ketatanegaraan baru.
Amandemen ketiga tersebut telah mereduksi kekuasaan MPR sehingga MPR tidak lagi
mempunyai wewenang untuk menetapkan GBHN dan memilih Presiden beserta Wakil Presiden. Dengan
demikian MPR juga tidak bisa mendikte Presiden melalui GBHN-nya. Dalam kajian politik, nilai tawar
MPR sudah tidak seksi lagi. Hal itu dikarenakan sistem sudah beralih dari sistem parlemen menjadi
sistem presidensial karena Presiden dan Wakil Presiden sudah dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini
berdampak pada kewenangan MPR, di mana kewenangan untuk menetapkan GBHN telah dihapus.
Menghidupkan kembali GBHN dengan alasan supaya pembangunan berjalan dengan sistematis
tidak bisa dijadikan rujukan karena UU SPPN sudah mampu menjawab itu semua. Bahkan UU SPPN ini
dalam konsep negara hukum mempunyai kekuatan hukum yang kuat karena berbentuk UU yang dibahas
oleh eksekutif dan legislatif secara bersamaan sehingga nilai-nilai demokrasi juga tercermin dalam UU
SPPN.
Kita sebagai masyarakat Indonesia perlu mencurigai apabila ada ada elite politik yang
menginginkan GBHN hidup kembali dengan alasan sistematisasi perencanaan pembangunan, karena
perencanaan pembangunan sampai saat ini sudah ada panduannya. Wacana GBHN hidup kembali adalah
muatan politis saja, bukan untuk kepentingan pembangunan bangsa.
Maka dari itu, menurut pendapat pribadi saya tidak perlu adanya tujuan menghidupkan GBHN
kembali karena tujuan tersebut tidak relevansi dengan tujuan Negara saat ini. Jika hal tersebut diterapkan
di Negara kita saat ini Karena akan mengganggu sistem keseimbangan yang sudah dicapai Negara kita
saat ini.
TO GEOVANI AURA NATASYA THE SPIRIT ALWAYS, DON’T DEEP BURDENS OF MIND.
TAKE CARE OF YOUR HEALTH, AND MAY YOU ATTAIN YOUR IDEALS. LOVE YOU.