OLEH :
2020/ 2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Peritonium merupakan mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epithelial. Pada
permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Dari kedua
rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen
menjadi usus. Kedua rongga mesodem, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga
mesoderm tersebut kemudian menjadi peritoneum. Peritonium merupakan rongga tempat
melekatnya organ-organ dalam khususnya organ-organ pencernaan. Berdasarkan sifat
(vaskularisasi) dan fungsi dari peritonium, maka dengan adanya kelainan pada organ-organ
yang terdapat pada rongga peritonium, akan mempengaruhi dinding atau rongga peritonium
itu sendiri, seperti pada apendisitis perforasi, perdarahan intraabdomen, obstruksi dan
strangulasi jalan cema. Pada keadaan atau penyakit tersebut, sering menampakkan adanya
gejala akut yang sering disebut gawat abdomen, keadaan ini memerlukan penaggulangan
segera yang sering berupa tindakan pembedahan.
B. Anatomi fisiologi
Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh, Peritoneum
terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, yang melapisi dinding rongga
abdominal dan berhubungan dengan fascia muscular, dan peritoneum visceral, yang
menyelaputi semua organ yang berada di dalm rongga itu. Peritoneum parietale mempunyai
komponen somatic dan visceral yang memungkinkan lokalisasi yang berbahaya dan
menimbulkan defans muscular dan nyeri lepas. Ruang yang bisa terdapat di antara dua lapis
ini disebut ruang peritoneal atau cavitas peritonealis. Ruang di luarnya disebut Spatium
Extraperitoneale. Di dalam cavitas peritonealis terdapat cairan peritoneum yang berfungsi
sebagai pelumas sehingga alat-alat dapat bergerak tanpa menimbulkan gesekan yang berarti.
Cairan peritoneum yang diproduksi berlebihan pada kelainan tertentu disebut sebagai asites
(hydroperitoneum). Luns peritoneum kira- kira 1,8 meter, sama dengan luas permukaan kulit
orang dewasa. Fungsi peritoneum adalah setengah bagiannya memiliki membran basal
semipermiabel yang berguna untuk difusi air, elektrolit, makro, maupum mikro sel. Oleh
karena itu peritoneum punya kemampuan untuk digunakan sebagai media cuci darah yaitu
peritoneal dialisis dan menyerap cairan otak pada operasi ventrikulo peritoneal shunting
dalam kasus hidrochepalus.
1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
Peritoneum viscerale berhubungan dengan parietale pada dinding abdomen melalui suatu
duplikatur yang disebut mesenterium
Cavitas peritonealis pada laki-laki tertutup seluruhnya tetapi pada perempuan mempunyai
hubungan dengan dunia luar melalui tuba uterina, uterus dan vagina. Spatium
Extraperitoneale dapat dibedakan menurut letaknya , di depan (spatium praepitoneale), di
belakang (spatium retroperitoneale) dan dibawah (spatium subperitoneale). Alat yang
terletak di dalam cavitas peritoneale disebut letak intraperitoneale, seperti pada lambung,
jejunum, ileum, dan limpa. Sedangkan yang terletak di belakang peritoneum disebut
retroperitoneale seperti pada ginjal dan pancreas.
Omentum adalah dua lapisan peritoneum yang menghubungkan lambung dengan alat
viscera lainnya seperti dengan hepar (omentum minus), dengan colon transversum
(omentum majus), dan dengan limpa (omentum gastrosplenicum). Peritoneum dari usus
kecil disebut mesenterium, dari appendik disebut mesoappendix dari colon trnsversum dan
sigmoideum disebut mesocolon transversum dan sigmoideum Mesenterium dan omentum
berisi pembuluh darah dan limfe serta saraf untuk alat viscera yang bersangkutan.
Peritoneum parietale sensitif terhadap nyeri, temperatur, perabaan dan tekanan dan
mendapat persarafan dari saraf-saraf segmental yang juga mempersarafi kulit dan otot yang
ada si sebelah luarnya. Iritasi pada peritoneum parietale memberikan rasa nyeri lokal, namun
insicipada peritoneum viscerale tidak memberikan rasa nyeri. Peritoneum viscerale sensitif
terhadap regangan dan sobekan tapi tidak sensitif untuk perabaan, tekanan maupun
temperature.
dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh perdarahan dari
cabang aa. Intercostalis VI XII dan a. epigastrika superior. Dari kaudal terdapat a. iliaca a.
sircumfleksá superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior. Kekayaan
vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa
menimbulkan gangguan perdarahan. Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental
oleh n.thorakalis VI XII dan n. lumbalis
penting untuk memahami posisi dari alat-alat viscera abdomen agar dapat segera mengetahui
atau memperkirakan alat apa yang terkena tusukan pada perut
1. merupakan suatu organ yang besar yang mengisi bagian atas rongga abdomen.
2. Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah per melekat pada
permukaan visceral lobus kanan hepar. Ujung buntunya (fundus) menonjol di bawah
pinggir bawah hepar.
3. di daerah abdomen pendek, 1,25 cm terletak di belakang lobus kiri hepar. Gaster
(ventriculus) terletak pada regio hypochondriaca kiri, epigastrica dan umbilicalis
5. Pancreas terbentang dari regio umbilicalis sampai ke regio hypochondriaca kiri pada lien.
6. terletak pada bagian atas kiri dari rongga abdomen antara lambung dan diaphragma di
regio sepanjang sumbu iga x kiri.
7. terletak pada dinding belakang abdomen posterior dari peritoneum parietale di sisi kanan
dan kiri columna transversalis.
8. suprarenalis terletak pada dinding belakang abdomen di sisi kana dan kiri columna
vertebralis.
9. mengisi bagian atas kiri rongga abdomen dan ileum mengisi bagian bawah rongga
abdomen dan rongga pelvis.
10. Colon terbentang mengelilingi jejunum dan ileum, terbagi atas caecum, colon ascendens,
colon tranversum, colom desendens dan colon sigmoid.
BAB II
KONSEP MEDIS
A. Definisi
B. Klasifikasi
1. Pertonitis primer
Terjadi biasanya pada anak-anak dengan syndrom nefritis atau sirosi hati lebih banyak
terdapat pada anak-anak perempuan daripada laki-laki. Pertonitis terjadi tanpa adanya
sumber infeksi di rongga peritonium melalui aliran darah atau pada pasien perempuan
melalui saluran alat genital,
2. Pertonitis sekunder
Peritonitis terjadi bila kuman masuk ke rongga peritonium dalam jumiah yang cukup
banyak. Biasanya dari lumen saluran cerna. Peritonium biasanya dapat masuknya bakteri
melalui saluran getah bening diafragma tetapi bila banyak kuman masuk secara terus-
menerus akan terjadi peritonitis, apabila ada rangsangan kimiawi karena masuknya asam
lambung, makanan, tinja, hb dan jaringan nekrotik atau bila imunitas menurun. Biasanya
terdapatcampuran jenis kuman yang menyebabkan peritonitis seperti kuman anaerob dan
aerob, peritonitis juga sering terjadi bila ada sumber intra peritoneal seperti appendixitis.
divertikulitis, salpingitis, kolesistitis, pankreatitis dan sebagainya
3. Peritonitis terjadi karena pemasangan benda asing ke dalam rongga peritoneon yang
menimbulkan pcritonitis adalah
C. Etiologi
1. Infeksi bakteri
c. Tukak peptik.
d. thypoid.
g. Divertikulitis.
c. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama
adalah streptokokus atau pneumokokus.
d. Infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis infeksi (umum) dan abses
abdomen. Penyebab peritonitis adalah spontaneouis bacterial peritonitis (SBP) akibat
penyakit hati yang kronik. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen, tetapi
biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga ke rongga
peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri mneuju dinding perut atau pembuluh
limfe mesenterium, kadang terjadi penyeburan hematogen jika terjadi bakterimia dan
penyebab penyukit hati kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites semakin
tinggi resiiko terjadinya peritonitis dan abses, ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang
rendah antar molekul. Komponen asites pathogen yang sering menyebabkan infeksi
adalah bakteri gram negative E.coli 40%, klebsiella pneumonia 7%, spesies
pseudomonas, proteus dan gram lainnya 20% dan abkteri positif yaitu strepkokus 3%.
Selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri.
D. Patofisiologi
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen kedalam rongga abdomen,
biasanya diakibatkan dari inflamasi, infeksi, iskemia, frauma atau perforasi tumor
(Dahlan, 2004). Awalnya mikroorganisme masuk kedalam rongga abdomen adalah steril
tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul edemu jaringan
dan pertahanan eksudat. Cairan dalam rongga abdomen menjadi keruh dengan
bertambahınya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak dan darah. Respon
yang segera dari saluran intestinal adalah hipemotilitas, di ikuti oleh ileus paralitik
dengan penimbunan udara dan cairan didalam usus besar.
Peritonitis adalah komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi.
Reaksi awal peritoncum terhadap invasi olch bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fībrinosa yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. (Padila, 2012).
Gejala peritonitis tergantung pada jenis dan penyebaran infeksinya. Biasanya sakit perut,
demam tinggi dan nyeri tumpul di perutnya. Bisa terbentuk satu atau beberapa abses.
Infeksi dapat meninggalkan jaringan parut dalam bentuk pita jaringan (perlengketan,
adhesi) yang akhimya dapat menyumbat usus. Bila peritonitis tidak diobati dengan
seksama, komplikasi bisa berkembang dengan cepat. Gerakan peristaltik usus akan
menghilang dan cairan tertahan di usus halus dan usus besar. Cairan juga akan merembes
dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum. Tarjadi dehidrasi berat dan darah
kehilangan elektrolit. Selanjutnya bisa terjadi komplikasi utama, seperti kegagalan paru-
paru, ginjal atau hati dan bekuan darah yang menyebar.
Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat yang pada demam tinggi atau
pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi
hipotensi, Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maksimum yang
ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena
antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan
atau tegang karena iritasi peritoneum. Pemeriksaan klinis dapat jadi positif pasien dalam
keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi,
atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misulnya trauma tengkorak,
ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesik), penderita dengan
paraplegia dan penderita geriatri.
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari peritonitis adalah : gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit, sesak napas akibat desakan distensi abdomen ke paru, pembentukan luka
dan pembentukan abses. (Haryono, 2012).
4. Sepsis
G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra abdomen menunjukan
adanya leukosittosis
b. Cairan peritoncal
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen memperlihatkan distensi disertai edema dan pembentukan gas
dalam usus
b. USG
H. Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan
secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cema dengan
penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau
penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan- tindakan
menghilangkan nyeri.
1. Konservatif
c. Penderita tidak cukup baik untuk dilakukan general anestesi; pada orang tua dan
komorbid
Prinsip terapinya meliputi rehidrasi dan pemberian antibiotik broad spectrum. Terapi
suportif harus diberikan temasuk pemberian nutrisi parenteral pada penderita dengan sepsis
abdomen di ICU. Terapi konservatif meliputi:
a. Cairan intravena
Pada peritonitis terjadi pindahnya CIS ke dalam rongga peritoneum, jumlah cairan ini
harus diganti dengan jumlah yan sesuai. Jika ditemukan toksisitas sistemik atau pada
penderita dengan usia tua dan keadaan umum yang buruk, CVP (central venous
pressure) dan kateter perlu dilakukan, balans cairan harus diperhatikan, pengukuran
berat badan serial diperlukan untuk memonitoring kebutuhan cairan. Cairan yang
dipakai biasanya Ringer Laktat dan harus diinfuskan dengan cepat untuk mengoreksi
hipovolemia mengembalikan tekanan darah dan urin output yang memuaskan.
b. Antibiotik
c. Oksigenasi
Sangat diperlukan pada penderita dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor dengan
pulse oximetry atau dengan pemeriksaan BGA.
d. Pemasangan NGT Akan mengurangi muntah dan mengurangi resiko terjadinya
pneumonia aspirasi
e. Nutrisi Parenteral
f. Pemberian analgetik, biasanya golongan opiat (i.v.) dun juga anti muntah.
2. Definitif / Pembedahan
e) Pemberian antibiotic
b. Tindakan Operatif
a) Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas
dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
3. Laparotomi
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat
dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi. Pemberian
antibiotik diteruskan samapai dengan 5 hari post operasi terutama pada peritonitis
generalisata.
Re-laparotomi sangat penting terutania pada penderita dengan SP yang parah yang
dengan dilakukan laparotomi pertama terus mengalami perburukan atau jatuh ke dalam
keadaan sepsis.
4. Laparoskopi
Laparoskopi terbukti efektif dalam manajemen appendisitis akut dan perforasi ulkus
duodenal. Dan dapat juga dilakukan pada kasus perforasi kolon, tetapi lebih sering
dilakukan laparotomi. Kontraindikasi pada penderita dengan syok dan ileus
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan
larutan kristaloid (saline). Pemberian antiseptik maupun antibiotik (tetrasiklin, povidone
iodine) tidak dianjurkan karena akan menyebabkan terjadinya adesi. Antibioyik diberikan
secara parenteral akan mencapai level bakterisidal dalam cairan peritoneum. Setelah
lavase selsai dilakukan dilakukan aspirasi seluruh cairan dalam rongga abdomen karena
akan menghambat mekanisme defens lokal. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya
tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria
menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu
dengan segeru akan terisolasi'terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat
masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi
kontaminasi yang terus- menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis
terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
6. Terapi post-operatif Tercapainya stabilitas hemodinamik dan perfusi organ yang baik
dalam hal ini perlu diperhatikan pemberian cairan dan suplai darah. Pemberian antibiotik
dilanjutkan 10 14 hari post operasi, tergantung pada tingkat keparahan peritonitis. (LNG)
Oral-feeding. diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan
tidak ada distensi abdomen.
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
Menurut Wolf dan Weitzel bahwa proses keperawatan adalah serangkaian perbuatan atau
tindakan untuk menetapkan, merencanakan dan melaksanakan pelayanan keperawatan dalam
rangka membantu klien untuk mencapai dan memelihara keschatannya seoptimal mungkin.
Tindakan keperawatan tersebut dilaksanakan berurutan, terus-menerus, saling berkaitan dan
dinamis (Nursalam, 2001:2) Proses keperawatan harus saling berkeseninambungan dan berkaitan
satu sama lainnya dari pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
A. Penkajian keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang
sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status keschatan klien (Nursalam, 2001:17)
1. Pengumpulan Data
a. Identitas .
1) Identitas Klien yaitu Meliputi pengkajian nama, umur, jenis kelmain, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku/ bangsa, tanggal masuk RS, tanggal pengkajian, no.
medrec, diagnosa medis, alamat klien.
b. Riwayat Kesehatan
c. Pemeriksaan fisik
4) Sistem Endokrin : Pada sistem ini tidak ada gangguan spesifik yang menyertai
peritonitis, kaji adanya pembesaran kelenjar tiroid dan paratiroid.
6) Muskuloskeletal : Pada sistem ini tidak ada gangguan spesifik yang menyertai
peritonitis, Kaji ROM, kekuatan otot, dan refleks
7) Integumen : Pada sistem ini tidak ada gangguan spesifik yang menyertai
peritonitis. Kaji adanya penurunan turgor kulit dan peningkatan subu tubuh
d. Pola Aktivitas Sehari-hari yaitu Mengungkapkan pola aktivitas klien sebelum sakit
dan sesudah sakit. Yang meliputi nutrisi, eliminasi, personal hygene, istiralat tidur,
aktivitas dan gaya hidup.
e. Data Psikologi yaitu Perlu dikaji tentang tanggapan klien terhadap penyakitnya apakah
ada perasaan khawatir, cemas, takut, konsep diri menurun atau body image menurun
serta ketidakmampuan koping
f. Data Sosial yaitu Perlu dikaji tentang keyakinan klien tentang kesembuhannya
dihubungkan dengan agama yang dianut klien dan bagaimana persepsi klien terhadap
penyakitnya, bagaiman aktifitas klien selama menjalani perawatan di rumah sakit dan
siapa yang menjadi pendorong atau pemberi motivasi untuk kesembuhan.
g. Data Spiritual yaitu Perlu dikaji tentang persepsi klien terhadap dirinya sehubungan
dengan kondisi sekitarnya, hubungan klien dengan perawat, dokter dan tim kesehatan
lainnya. Biasanya klien akan ikut serta dalam aktifitas sosial atau menarik diri dari
interaksi sosial terutama jika sudah terjadi komplikasi fisik seperti anemia, ulkus,
gangren dan gangguan penglihatan,
2. Analisa Data
Analisa data adalah kemampuan mengaitkan data dan menghubungkan data tersebut
dengan konsep, teoni dan prinsip yang rekevan untuk membuat kesimpulan dan
menentukan masalah keschatan dan keperawatan klien (Nursalam, 2001:24)
B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan mengenai masalah klien baik aktual
maupun potensial yang didapat dari status kesehatan klien (Erb, Olivieri, Kozier, 1991:169)
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien dengan peritonitis adalah :
1) Risiko infeksi berhubungan dengan Tidak adekuatnya pertahanan primer, tidak adekuat
pertahanan sekunder, prosedur invasif
3) Gangguaan rasa nyaman : nyeri b.d. Akumulasi cairan dalam rongga abdomen, trauma
jaringan, iritasi kimia peritoneum perifer
4) Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. Disfungsi usus, abnormalitas metabolic,
peningkatan kebutuhan metubolic. mual muntah
5) Gangguan rasa aman cemas b.d. Krisis situasi, perubahan status kesehatan. faktor
fisiologis, status hipermetabolik
C. Perencanaan keperawatan
Perencanaan (intervensi) merupakan suatu rangkaian tahapan dimana perawat dank lien
menetapkan prioritas, menetapkan tujuan yang ingin dicapai dan merencanakan serangkaian
rencana keperawatan guna menyelesaikan atau mengurangi masalah-masalah keschatan klie
serta mempersiapkan kerjasama dengan tim kesehatan lainnya. (Erb, Olivieri, Kozier,
1991:169)
DP I Risiko infeksi b.d. tidak adekuatnya pertahanan primer, tidak adekuat pertahanan
sekunder, prosedur invasif
Kriteria Evaluasi : proses penyembuhan luka tepat pada waktunya, bebas drainage purulen
atau eritema ; tidak demam
Intervensi Rasional
6. Pertahankan teknik aseptic ketat. pada 5. Oliguria terjadi akibat penurunan perfusi
perawatan drain abdomen, luka insisi ginjal. toksin dalam sirkulasi
dan sisi invasif. Bersihkan dengan mempengaruhi antibiotic
bethadin atau larutan lain yang tepat
6. Mencegah meluas dan membatasi
7. Observasi drmainage pada luka drain penyebaran organisme infektif
kontaminasi silang
8. Pertahankan teknik steril bila pasien
dipasang kateter, dan berikan 7. Memberikan informasi tentang satatus
perawatan kateter/ kebersihan perineal infeksi
rutin
8. Mencegah penyeburan, menbatasi
9. Batasi pengunjung dan staf sesuai pertumbuhan bakteri pada traktus
kebutuhan. Berikan perlindungan urinarius
isolasi bila diindikasikan
9. Menurunkan risiko terpajan menambah
10. Kolaborasi pemberian antimicrobial infeksi sekunder pada pasien yang
contoh : gentamicin (garamycin): emngalami tekanan immune
amikasin (amiki klindamicin
(eleocin); lapase peritoneal/ IV 10. Terapi ditujukan pada bakteri anaerob
dan basil acrob gram negative. Lapase
dapat digunakan untuk emmbuang
jaringan nekrotik dan mengobati
inflamasi yang terklokalisasi/ menyebar
dengan buruk
Kriteria Evaluasi : haluaran urin adekuat dengan berat jenis normal, tanda-tanda vital stabil,
membrane mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler meningkat, berat badan
dalam rentang normal
Intervensi Rasional
1. Pantau tanda-tanda vital, catat adanya 1. Membantu dalam evaluasi derajat defisit
hipotensi, takhikardia, takipnea, cairan/ keefektifan penggantian terapi
demam. Ukur CVP bila ada cairan dan respon terhadap pengobatan
DP III : Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan denganAkumulasi cairan dalam rongga
abxdomen, trauma jaringan, iritasi kimia peritoneum perifer
Kriteria Evaluasi : nyeri hilang terkontrol, skala nyeri berkurang, klien dapat menggunakan
keteram.pilan relaksasi
Intervensi Rasional
1. Kaji respon nyeri, catat lokasi, lama. 1. Perubahan dalam lokasi intensitas tidak
intensitas (0-5) dan karakteristiknya umum tetapi dapat menunjukkan
(dangkal, tajam, konstan) terjadinya komplikasi. Nyeri cendenung
menjadi konstan, lebih hebat, dan
2. Perrtahankan posisi semifowler sesuai menyebat keatas; nyeri dapat local jika
indikasi tyerjadi abses
3. Berikan tindakan kenyamanan, contoh : 2. Memudahkan drainage cairan/ luka karena
pijatan punggung, nafas dalam, latihan gravitasi dan m,em,bantu meniminalkan
relaksasi/ visualisasi nyeri kaarena gerakann
4. Kolaborasi pemberian obat indikasi : 3. Meningkatkan relaksasi dan mungkin
analgesic, sesuai narkotik meningkatkan kemampuan koping pasien
Kriteria Evaluasi : porsi makan habis, berat badan tetap atau naik
Intervensi Rasional
1. Catat adanya muntah/ diare 1. Muntah dan diare diduga adanya obstruksi
usus dan memerlukan evaluasi lebih lanjut
2. Auskultasi bising usus Inflamasi usus dapat menyertai
3. Ukur lingkar abdomen 2. hiperaktivitas usus, penurunan absorpsi air
4. Timbang berat badan dengan teratur dan diare
DP V: Gangguan rasa aman : cemas b.d. Krisis situasi, perubahan status kesehatan, faktor
fisiologis, status hipermetabolik
Intervensi Rasional
1. Evaluasi tingkat ansietas/cemas, catat 1. Ketakutan dapat terjadi karena nyeri
respon verbal dan non verbal pasien. hebat, meningkatkan perasaan sakit
Dorong ekspresi bebasakan emosi
2. Mengetahui apa yang diharmapkan dapat
2. Berikan informasi tentang penyakit menununkan ansietas
dan antisipasi tindakan
3. Membatasi kelemahan, menghemat
3. Jadwalkan istirahat adekuat energi dan dapat meningkat kan
kemampuan koping
Kriteria Evaluasi : klien menyatakan pemahaman proses penyakit dan pengobatan, klien
mengidentifikasi hubungan, tanda gejala dengan proses penyakit dan menghubungkan
gejala dengan factor penyebab
Intervensi Rasional
1. Kaji ulang proses penyakit dasr dan 1. Memberikan dasar pengetahuan pada
harapan untuk sembuh pasien yang memungkinkan membuat
pilihan berdasarkan informasi
2. Diskusikan program pengobatan,
jadwal dan kemungkinan efek 2. Antibiotic dapat dilanjutkan setelah
samping pulang tergantung pada lamanya dirawat
D. Implementasi Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah rencana tindakan disusun untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan dari implementasi adalah
membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah titetapkan yang mencakup peningkatan
keschatan, pencegahan penyakit dan pemulihan keschatan. (Erb, Olivieri, Kozier, 1991 :
169)
E. Evaluasi Evaluasi adalah tindakan intekektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
merandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya
sudah berhasil dicapai. Meskipun tahap evaluasi diletakkan pada akhir proses keperawatan,
evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan. Pengumpulan
data perlu direvis intuk menentukan apakah informasi yang telah dikumpulkan sudah
mencukupi dan apakah perilaku yang diobservasi sudah sesuai. Diagnosa juga perlu
dievaluasi dalam hal keakuratan dan
DAFTAR PUSTAKA
https://id.scribd.com/doc/155200465/Peritonitis-LP-Askep-3
https://id.scribd.com/document/360845181/Askep-Peritonitis
https://id.scribd.com/doc/299537796/LP-Peritonitis
https://id.scribd.com/document/394671026/Lp-Peritonitis