Food Estate
Food Estate
KESEJAHTERAAN KORPORAT
POTENSI DAMPAK FOOD ESTATE TERHADAP HUTAN DAN
LINGKUNGAN
1. Problematika Food Estate dan Degradasi Hutan
Proyek food estate dengan cita-citanya membawa kedaulatan pangan untuk negara
Indonesia yang digagas oleh Presiden Joko Widodo justru menuai penolakan oleh
berbagai aktivis lingkungan dan koalisi masyarakat sipil. Proyek food estate merupakan
respon pemerintah terhadap peringatan dari organisasi pangan dan pertanian dunia
(FAO) tentang resiko terjadinya krisis pangan sebagai dampak dari Pandemi Covid-19.
FAO menyebutkan bahwa Pandemi Covid-19 dapat mengganggu rantai pasokan pangan
dan menimbulkan kekurangan gizi pada masyarakat (FAO 2020). Pemerintah
mempercepat pembangunan food estate melalui Peraturan Presiden Nomor 109 tahun
2020 tentang perubahan Perpres nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan Proyek
Strategis Nasional Food estate masuk sebagai salah satu proyek yang harus digenjot
pemerintah. Food estate sendiri merupakan proyek pengembangan lumbung pangan di
suatu kawasan secara terintegrasi, meliputi perkebunan, peternakan, dan pertanian.
Presiden menyatakan letak lokasi lumbung pangan Indonesia akan berada di Kalimantan
Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur hingga Papua pada
rapat terbatas mengenai food estate.
Proyek food estate atau lumbung pangan di era Presiden Joko Widodo
dimaksudkan sebagai penyedia cadangan pangan nasional dan antisipasi krisis pangan
akibat pandemi Covid-19. Pada tahap awal, luas lahan yang akan digarap sebesar
30.000 hektar (ha) dari total 1,4 juta hektar lahan food estate keseluruhan (BBC
Indonesia 2020). Pemerintah mulai menggarap lahan cadangan pangan atau food estate
pada Oktober tahun 2020. Luas lahan yang akan digarap pada tahap awal sebesar
30.000 hektar (ha) di provinsi Kalimantan Tengah dari total 1,4 juta hektare lahan food
estate keseluruhan. Lahan tersebut nantinya akan ditanami padi untuk menambah
pasokan beras (Bardan 2020). Proyek ini terdapat di dua wilayah yaitu di Desa Bentuk
Jaya, Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas dengan luas 20 ribu ha dan Desa Belanti
Siam, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau seluas 10 ribu hektar. Lahay
yang sudah ditanami padisekitar 29.032 ha yang atau setara 96,7 persen dari total target
30 ribu hektar lahan yang akan diolah pada tahun 2020 dan 2021. Target lahan yang
diolah pada tahun 2022-2023 adalah sekitar 110 ribu ha lahan (Pebrianto 2021).
Rancangan kontruksi food estate di kawasan hutan dilanggengkan dengan
diterbitkannya Peraturan Menteri LHK Nomor
P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk
Pembangunan Food Estate (Permen LHK 24/2020). KLHK menjamin bahwa
pembangunan food estate akan mempertimbangkan aspek berkelanjutan dan menjaga
kelestarian lingkungan yang direfleksikan oleh berbagai ketentuan yang harus dipenuhi
dalam Permen LHK 24/2020. Wahyu Perdana, Manajer Kempanye Pangan, Air dan
Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi menegaskan, Permen P.24 menjadi varian
perizinan baru di kawasan hutan, sehingga akan mendorong dominasi
korporasi.Korporasi yang terlibat dalam pengadaan proyek food estate adalah
perusahaan pangan dan pertanian seperti Indofood, Astra Internasional, Dupont, Cargill,
Kraft, Unilever,
SwissRA, Sygenta, ADM, Bunge, Monsanto, dan lain-lain (Putri 2013). Lahirnya
permen ini dapat memperbesar ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan kawasan
hutan Indonesia.
Diagram diatas menunjukkan hampir 92% Area of Interest (AoI) Food estate di 4
provinsi berada di kawasan hutan yang mengancam 3 jenis hutan produksi ( hutan
produksi, hutan produksi konversi, hutan produksi terbatas) dan hutan lindung. Luas
hutan alam yang beresiko hilang dan terdampak food estate terluas terletak di Provinsi
Papua yaitu sekitas 1,3 juta ha. Selain itu terdapat 39% AoI Food estate di 4 provinsi
yang memanfaatkan ekosistem gambut seluar 1.4 juta ha. Lebih dari setengah ekosistem
gambut tersebut memiliki hutan alam yaitu sekitas 51,4%. Wilayah hutan alam yang
digunakan untuk food estate mencapai 1.5 juta ha. Hal ini mengindikasikaan bahwa
food estate bisa menjadi peluang untuk mengambil kayu yang dihasilkan dari potensi
hutan tersebut.
Tabel tersebut menunujukkan bahwa volume kayu yang terdapat dari hutan alam
di dalam AoI untuk food estate diperkirakan mencapai 243 juta m3 dengan perkiraan
nilai Rp 209,36 triliun. Hal ini mengindikaskan bahwa proyek food estate berbahaya
untuk keberlangsungan hutan lindung dan hutan produksi serta beresiko merusak alam
dan lingkungan. Akankah megaproyek food estate sejalan dengan cita-citanya untuk
membangun kedaulatan pangan Indonesia? Atau membangun kedaulatan kekuasaan
oknum tertentu atas wilayah hutan dan mengorbankan ekosistem penduduk lokal?
b. DeKaFe di Kalimantan
Pada tahun 2011 proyek food estate di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur
(sekarang Kalimantan Utara) sebagai salah satu program Pemerintah Pusat untuk
mewujudkan ketahanan pangan yaitu Delta Kayan Food estate (DeKaFE). Proyek ini
mulanya direncanakan pada lahan seluas 50,000 hektar dan 30,000 diantaranya
merupakan tanah subur dengan tipe tanah alluvial (ICEL 2020). Proyek DeKaFe ini
berdampak terhadap petani transmigran karena mereka harus kehilangan tanahnya
disebabkan harus berhadapan dengan perampasan lahan oleh korporasi sawit yang
difasilitasi oleh pemerintah daerah. Ekspansi kelapa sawit telah menyebabkan proses
pemindahtanganan tanah secara cepat. Petani transmigran tidak hanya kehilangan
lahannya, tapi juga harus menghadapi gagal panen akibat daya dukung lahan yang
tersisa rusak akibat degradasi lingkungan (McCarthy and Obidzinski 2015). Tumpang
tindih antara kawasan hutan dan permukiman transmigrasi di Bulungan, Kalimantan
Utara yang belum terselesaikan menyebabkan penghidupan petani transmigran menjadi
terancam. Petani transmigran terancam dipidanakan disebabkan menempati lokasi yang
masih berstatus sebagai wilayah kawasan hutan (Bidang Transmigrasi Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur 2013).
Kepercayaan umum memiliki batas dan rasionalitas. Tidak semua harus diterima,
konsekuensi yang diterima masa lalu atas kepahitan MIFEE masih membekas dan
memberikan sinyal merah dengan jelas. Food estate untuk siapa? Untuk kemaslahatan
atau untuk maniak nafsu kerugian?
Perusahaan (PT SIS) Setuju akan Memiliki akses lahan seluas 169.000
adanya MIFEE Ha pada perjanjian tertulis, namun
pada faktanya mengambil lahan
sebanyak 301.600 ha. Artinya tidak
sesuai dengan perjanjian kepada
masyarakat zanegi yang diberikan di
awal.
Lembaga Swadaya Menolak akan Mengawal dan memperjuangkan hak
Masyarakat atau LSM adanya MIFEE masyarakat Marind atas tanah dan
(Yayasan Pusala, Yasanto, sistem penghidupan yang layak.
WWF, dan SKP. KAME)
Masyarakat Marind Menolak akan 1. Menganggap hutan adalah sebagai
(Kampung Zenegi, adanya MIFEE mama, karena menyediakan seluruh
Kabupaten Merauke) sumberdaya yang mencukupi
kehidupannya mulai dari sagu,
kayu, rusa, dan lainnya.
2. Memiliki kintal-kintal yang
bermakna lahan dari marga di
Marind.
Interpretasi yang didapatkan dari penjelasan dua tokoh di atas adalah bahwa
partisipasi manipulatif tidak hanya sebatas partisipasi formalitas, tidak berarti partisipasi
sebenarnya. Kebenaran partisipasi harusnya dapat mengacu pada bentuk partisipasi
Cohen dan Uphoff (1980) yang menyatakan bahwa setidaknya partisipasi melewati dari
mulai partisipasi dalam pengambilan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan,
partisipasi dalam menikmati hasil, serta partisipasi dalam evaluasi. Pada kenyataannya,
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh masyarakat Marind tidak dilandaskan asas
apa yang menjadi needs bagi masyarakat Marind. Penandatanganan surat penghargaan
dari PT SIS kepada masyarakat Marind menjadikan partisipasi tersebut terlihat sangat
manipulatif, seakan disetujui tetapi pada akhirnya masyarakat Marind merasa dirugikan.
Masyarakat Marind hanya dijadikan sebagai objek formalitas atas legalitas yang tidak
mencapai kesepakatan yang sebenarnya.
Adopsi teknologi tidak serta merta cepat dan instan dan dapat menimbulkan
polemik di kemudian hari. Akibatnya partisipasi akan berujung semu. Jika program food
estate mencapai hasil positif tentang partisipasi masyarakat lokal, tentu tidak akan
menimbulkan gejolak konflik yang menyebabkan masyarakat tereksklusi dari
pembangunan.
Inovasi merupakan sesuatu yang memiliki keuntungan relatif dan biasanya
berupa hal baru yang dapat diterapkan kepada masyarakat. Untuk mengadopsi suatu
inovasi, tentu sangat diperlukan kehati-hatian dan kesabaran. Namun, pada
kenyataannya pada saat melakukan program MIFEE dan bahkan food estate, proses
adopsi tidak ditekankan. Dalam proses adopsi, tentu memiliki tahapannya. Tahapannya
ada lima:
1) Tahap pengetahuan, ditandai dengan rasa ingin tahu suatu subjek sehingga dapat
membuka diri apabila terdapat suatu inovasi.
2) Tahap persuasi, ditandai dengan aspek sikap dengan menilai suka atau tidak
suka dari subjek terhadap suatu inovasi.
3) Tahap keputusan, ditandai dengan menolak apabila tidak suka atau menerima
apabila suka. Sebenarnya tidak selalu begitu, bisa saja mungkin tidak suka
namun tetap menerima, biasanya ada faktor lain misalnya tuntutan atau insentif.
4) Tahap implementasi, ditandai dengan keaktifan mental maupun tindakan
terhadap implementasi inovasi.
5) Tahap konfirmasi, ditandai dengan adanya penguatan dari subjek. Apabila suatu
inovasi tersebut dinilai memiliki manfaat atau keuntungan relatif yang sesuai,
maka objek akan mencari penguatan dengan melanjutkan. Demikian sebaliknya.
Adopsi inovasi dengan lima tahapan tersebut diperlukan untuk memunculkan
partisipasi yang penuh dari suatu program perlu adanya. Jangan sampai masyarakat
dibodohi oleh kebijakan, suatu hak bagi masyarakat untuk menolak apabila tidak ingin
mengadopsi suatu inovasi. Menolak merupakan salah satu bentuk partisipasi dalam
pengambilan keputusan. Jika partisipasi tidak tercapai, maka ketika program MIFEE
masih terus berjalan hanya akan menyebabkan marginalisasi bagi masyarakat. Menurut
Perlman (2010), marginalisasi terdiri dari Marginalisasi Sosial dan Marginalisasi
Budaya. Marginalisasi Sosial adalah keadaan ketika masyarakat terisolasi hidupnya
dengan tidak mendapatkan ruang untuk mengakses sumberdaya. Marginalisasi Budaya
adalah keadaan ketika masyarakat terisolasi dengan tidak diberikan ruang terkait suku,
agama, ras, dan adat (SARA) sehingga implementasi suatu kebudayaan menjadi tidak
optimal atau disulitkan.
Pada kasus MIFEE, marginalisasi sosial ditandai dengan masyarakat adat yang
tidak dapat mengakses sumber daya dari hutan karena adanya rezim properti yang
berubah. Sehingga untuk mencari hewan buruan, obat-obatan, dan pangan lainnya
mengalami kesulitan dan harus mencari ke daerah lain. Hal tersebut menjadikan
masyarakat terisolasi, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan pun harus pergi ke kota
karena tidak disediakan sama oleh perusahaan. Kemudian marginalisasi budaya yang
ada di masyarakat tergambar ketika masyarakat perlahan kehilangan identitas menjadi
masyarakat Marind. Totemisme terganggu karena hutan yang hilang, kearifan lokal
tentang paradigma ekosentrisme yang menganggap hutan sebagai mama tidak lagi
menjadi hal sakral jika pada kenyataannya dirusak sendiri aturannya oleh orang luar
(perusahaan). Akibatnya, menyelenggarakan adat istiadat terganggu.
Anonymous. 2020 Sep 20. Lumbung pangan: Proyek 'food estate' di lahan gambut
dituding ancam kebakaran lahan, KLHK sebut justru dapat meminimalisir bencana.
BBC.com. Indonesia. [diakses 2021 Mei 26].
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54284365
Arnstein SR. 1969. A Ladder Of Citizen Participation. Journal of the American Institute
of Planners. J Am Inst Plann. 35 November 2012:37–41.
https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01944366908977225.
Bidang Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur
2013, Penyelenggaraan program transmigrasi di Provinsi Kalimantan Timur,
Samarinda.
Bollin A. 2011. Fenomena Global Perampasan Tanah. DTE 89-90. November 2011.
Borras dan Franco. 2012. Global Land Grabbing and Trajectories of Agrarian Change A
Preliminary Analysis. Journal of Agrarian Change 12(1) 34-59.
Bryant RL. and Bailey S. 1997. Third World Political Ecology. London: Routledge
Cohen J, Uphoff N. 1980. Participation’s place in rural development: Seeking clarity
through specificity. World Dev. 8: 213–235.
Dewi R. 2012. Dilema Percepatan Pembangunan Dan Permasalahan Pembangunan
Berkelanjutan Dalam Pelaksanaan MIFEE Di Merauke. Ejournal Politik Lipi. 9(1):
47-57
Eryan A, Shafira D, Wongkar EELT. 2020. Analisis Hukum Pembangunan Food Estate
Di Kawasan Hutan Lindung, Seri Analisis Kebijakan Kehutanan dan Lahan.
Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law.
Ginting, L and Pye, O 2013, ‘Resisting agribusiness development: The Merauke
Integrated Food and Energy Estate in West Papua, Indonesia’, ASEAS - Austrian
Journal of South-East Asian Studies, 6(1), pp. 160–182.
Keiya R. 2019. Merauke Integrated Food And Energy Estate (Studi kasus land grabbing
di Merauke Papua) [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineke Cipta.
Marie Y. 2020 Des 7. Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah, untuk Siapa?. Hutan.
[diakses 2021 Mei 28]. https://www.mongabay.co.id/2020/12/07/proyek-food-
estate-di-kalimantentengah-untuk- siapa/
McCarthy, JF and Obidzinski, K 2015, ‘Responding to food security and land questions:
Policy principles and policy choices in Kalimantan, Indonesia’, in Land grabbing,
conflict and agrarian environmental transformations: perspectives from East and
Southeast Asia An international academic