Anda di halaman 1dari 32

FOOD ESTATE : DALIH KETAHANAN PANGAN UNTUK

KESEJAHTERAAN KORPORAT
POTENSI DAMPAK FOOD ESTATE TERHADAP HUTAN DAN
LINGKUNGAN
1. Problematika Food Estate dan Degradasi Hutan
Proyek food estate dengan cita-citanya membawa kedaulatan pangan untuk negara
Indonesia yang digagas oleh Presiden Joko Widodo justru menuai penolakan oleh
berbagai aktivis lingkungan dan koalisi masyarakat sipil. Proyek food estate merupakan
respon pemerintah terhadap peringatan dari organisasi pangan dan pertanian dunia
(FAO) tentang resiko terjadinya krisis pangan sebagai dampak dari Pandemi Covid-19.
FAO menyebutkan bahwa Pandemi Covid-19 dapat mengganggu rantai pasokan pangan
dan menimbulkan kekurangan gizi pada masyarakat (FAO 2020). Pemerintah
mempercepat pembangunan food estate melalui Peraturan Presiden Nomor 109 tahun
2020 tentang perubahan Perpres nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan Proyek
Strategis Nasional Food estate masuk sebagai salah satu proyek yang harus digenjot
pemerintah. Food estate sendiri merupakan proyek pengembangan lumbung pangan di
suatu kawasan secara terintegrasi, meliputi perkebunan, peternakan, dan pertanian.
Presiden menyatakan letak lokasi lumbung pangan Indonesia akan berada di Kalimantan
Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur hingga Papua pada
rapat terbatas mengenai food estate.
Proyek food estate atau lumbung pangan di era Presiden Joko Widodo
dimaksudkan sebagai penyedia cadangan pangan nasional dan antisipasi krisis pangan
akibat pandemi Covid-19. Pada tahap awal, luas lahan yang akan digarap sebesar
30.000 hektar (ha) dari total 1,4 juta hektar lahan food estate keseluruhan (BBC
Indonesia 2020). Pemerintah mulai menggarap lahan cadangan pangan atau food estate
pada Oktober tahun 2020. Luas lahan yang akan digarap pada tahap awal sebesar
30.000 hektar (ha) di provinsi Kalimantan Tengah dari total 1,4 juta hektare lahan food
estate keseluruhan. Lahan tersebut nantinya akan ditanami padi untuk menambah
pasokan beras (Bardan 2020). Proyek ini terdapat di dua wilayah yaitu di Desa Bentuk
Jaya, Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas dengan luas 20 ribu ha dan Desa Belanti
Siam, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau seluas 10 ribu hektar. Lahay
yang sudah ditanami padisekitar 29.032 ha yang atau setara 96,7 persen dari total target
30 ribu hektar lahan yang akan diolah pada tahun 2020 dan 2021. Target lahan yang
diolah pada tahun 2022-2023 adalah sekitar 110 ribu ha lahan (Pebrianto 2021).
Rancangan kontruksi food estate di kawasan hutan dilanggengkan dengan
diterbitkannya Peraturan Menteri LHK Nomor
P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk
Pembangunan Food Estate (Permen LHK 24/2020). KLHK menjamin bahwa
pembangunan food estate akan mempertimbangkan aspek berkelanjutan dan menjaga
kelestarian lingkungan yang direfleksikan oleh berbagai ketentuan yang harus dipenuhi
dalam Permen LHK 24/2020. Wahyu Perdana, Manajer Kempanye Pangan, Air dan
Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi menegaskan, Permen P.24 menjadi varian
perizinan baru di kawasan hutan, sehingga akan mendorong dominasi
korporasi.Korporasi yang terlibat dalam pengadaan proyek food estate adalah
perusahaan pangan dan pertanian seperti Indofood, Astra Internasional, Dupont, Cargill,
Kraft, Unilever,
SwissRA, Sygenta, ADM, Bunge, Monsanto, dan lain-lain (Putri 2013). Lahirnya
permen ini dapat memperbesar ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan kawasan
hutan Indonesia.

Dimodifikasi dari Madani Berkelanjutan 2021

Diagram diatas menunjukkan hampir 92% Area of Interest (AoI) Food estate di 4
provinsi berada di kawasan hutan yang mengancam 3 jenis hutan produksi ( hutan
produksi, hutan produksi konversi, hutan produksi terbatas) dan hutan lindung. Luas
hutan alam yang beresiko hilang dan terdampak food estate terluas terletak di Provinsi
Papua yaitu sekitas 1,3 juta ha. Selain itu terdapat 39% AoI Food estate di 4 provinsi
yang memanfaatkan ekosistem gambut seluar 1.4 juta ha. Lebih dari setengah ekosistem
gambut tersebut memiliki hutan alam yaitu sekitas 51,4%. Wilayah hutan alam yang
digunakan untuk food estate mencapai 1.5 juta ha. Hal ini mengindikasikaan bahwa
food estate bisa menjadi peluang untuk mengambil kayu yang dihasilkan dari potensi
hutan tersebut.

Tabel tersebut menunujukkan bahwa volume kayu yang terdapat dari hutan alam
di dalam AoI untuk food estate diperkirakan mencapai 243 juta m3 dengan perkiraan
nilai Rp 209,36 triliun. Hal ini mengindikaskan bahwa proyek food estate berbahaya
untuk keberlangsungan hutan lindung dan hutan produksi serta beresiko merusak alam
dan lingkungan. Akankah megaproyek food estate sejalan dengan cita-citanya untuk
membangun kedaulatan pangan Indonesia? Atau membangun kedaulatan kekuasaan
oknum tertentu atas wilayah hutan dan mengorbankan ekosistem penduduk lokal?

2. Kasus Kegagalan Food Estate


Beberapa mega proyek lahan gambut yang dilaksanakan dalam rangka menuju
kedaulatan pangan sudah pernah dilaksanakan dan mengalami kegagalan. Megaproyek
lahan gambut memberikan dampak kegagalan pada masyarakat lokal dan transmigran
yang kehilangan lahan pertanian mereka. Dari keseluruhan wilayah rencana PLG,
luasan yang terealisasi hanya mencapai 3,3% dan pencetakan sawah baru selesai 2,9%
dalam kurun waktu 2 tahun. Perkembangan yang lambat ini disebabkan berbagai
masalah seperti kesalahan metode pelaksanaan dan tata air yang menyebabkan lahan
gambut mudah terbakar.
Direktur Eksekutif WALHI Papua mengatakan bahwa “Merauke Integrated Food
and Energy Estate (MIFEE) yang digagas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Tahun
2010 dan dilanjutkan Presiden Jokowi Tahun 2015, yang awalnya direncanakan untuk
didominasi tanaman pangan seperti beras, jagung, kedelai dan tanaman pangan lainnya,
saat ini faktanya
lebih banyak didominasi industri perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI)”.
Ha ini menunjukkan food estate tidak berhasil di Merauke.
Hasil kajian yang dikeluarkan oleh Indonesian Center for Environmental Law
(ICEL) pada Desember 2020 lalu mengungkapkan bahwa linimasa berbagai proyek food
estate di Indonesia dimulai sejak 1995-1999 dengan program lahan gambut di
Kalimantan Tengah, dilanjutkan pada tahun 2010 oleh MIFEE di Merauke, Papua. Pada
tahun 2011 program food estate masih terus berjalan di Kalimantan Utara dengan nama
program DeKaFe. Lalu pada tahun 2020 pembahasan mengenai food estate mulai
dibicarakan dengan menggunakan eks lahan proyek lahan gambut (PLG) di Kalimantan
Tengah dan Sumatera Utara, rencananya juga mengikutsertakan provinsi Sumatera
Selatan, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua. Program ini juga dimasukkan pada
program strategis nasional (PSN) tahun 2020-2024. Sebagai tindak lanjut wacana
tersebut diterbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor
P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk
Pembangunan Food Estate (Permen LHK 24/2020). Program ini ramai dengan isu pro-
kontra, terutama dari aktivis dan penggiat lingkungan. Hal ini berkaca pada tiga
program food estate sebelumnya yang dinyatakan gagal memenuhi target yang
diusulkan.

2.1 Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Kalimantan Tengah


Kebijakan tentang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1995
tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan
Tengah (Keppres 82/1995). Proyek ini dinilai gagal dan diberhentikan oleh Presiden
Habibie melalui Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 1999 tentang Pedoman Umum
Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan lahan Gambut di Kalimantan
Tengah (Keppres 90/1999). Landasan hukum Pengembangan Lahan Gambut untuk
Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah adalah sebagai berikut:
1. Keppres RI No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk
Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah, memberikan gambaran dan
informasi tentang : (a) upaya mempertahankan Swasembada Pangan; (b)
kegiatan perencanaan dan pembangunan, meliputi perencanaan tata ruang,
pembuatan studi amdal, pencadangan/penyediaan lahan, pelepasan lahan
kawasan hutan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan jaringan pengairan,
penyiapan prasarana dan sarana percontohan pengolahan pertanian, perencanaan
tenaga atau tenaga petani beserta pemukimannya, dan perencanaan jaringan
transportasi air dan darat berikut prasarana pendukungnya; (c) pembiayaan
perencanaan dan pembangunan dalam rangka pengembangan lahan gambut satu
juta hektar dibiayai melalui : (i) Dana Banpres dan (ii) dana APBN melalui
anggaran instansi teknis.
2. Keppres No 74 tahun 1998 tentang Perubahan atas Keppres No. 82 tahun 1995,
menetapkan penggantian Ketua Tim Pengarah dari Menteri Negara PPN/Ketua
Bappenas kepada Menko Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri /Kepala
Bappenas.
3. Keppres No. 133 tahun 1998 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk
Pertanian di Kalimantan Tengah. Namun sejauh itu upaya untuk merehabilitasi
kawasan Eks-PLG yang diarahkan untuk pertanian di Kalimantan Tengah masih
belum berjalan dengan semestinya.
4. Keppres No. 80 tahun 1999 Tentang Pedoman Umum Perencanaan dan
Pengelolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah.
Keppres ini dikeluarkan untuk mendorong agar pengelolaan dan pemanfaatan
PLG berjalan lancar dan dilaksanakan secara terintegrasi antar instansi terkait
baik di pusat atau daerah.
Prof. Abdurachman Adimihardja (2003) dari Kapuslitbangtanak mengatakan
penyebab utama kegagalan PLG dalam membangun ‘lumbung padi nasional di luar
Jawa’ bukanlah karena lahan rawa tidak layak dibudidayakan, tetapi karena
perencanaan yang kurang matang dan tidak didukung dengan data yang memadai.
Pelaksanaan PLG Kalimantan Tengah berdampak negatif karena tidak didahului dengan
perencanaan yang terencana (Mawardi (2007). Beberapa dampak negatif tersebut antara
lain:
1. Pembuatan Saluran Primer Induk (SPI) sepanjang 187 kilometer yang
menghubungkan Sungai Kahayan, Sungai Kapuas dan Sungai Barito serta
memotong cukup banyak anak sungainya telah berakibat berubahnya pola tata
air, dan kualitasnya. Pembuatan saluran tersebut telah membongkar lapisan
gambut yang mengandung bahan sulfidik, sehingga timbul senyawa pirit yang
bersifat racun, dan kondisi inilah yang menjadi penyebab kematian ikan secara
masal yang disebabkan oleh perbedaan yang mencolok antara pH pada saluran
irigasi (3,5 – 4) dengan pH air sungai (5,5 – 6,5).
2. Penebangan pohon di hutan rawa gambut mengakibatkan daya serap permukaan
tanah berkurang, kondisi ini menyebabkan sering terjadinya banjir di musim
penghujan, sebaliknya pada musim kemarau lahan gambut lebih mudah terbakar.
3. Beberapa spesies tumbuhan langka yang dilindungi seperti ramin (Gonystylus
spp), jelutung (Dyeralowii), kempas (Koompassia malaccensis), ketiau (Ganua
motleyana),dan nyatoh (Dichopsis elliptica) terancam punah, selain itu
keberadaan ekosistem air hitam (black water ecosystem) dan ikan khas yang
hidup di dalamnya, seperti manau tempahas (Calamus manau) menjadi
terancam, padahal ekosistem air hitam ini merupakan kawasan khas di lahan
gambut
4. Pembukaan lahan gambut menimbulkan dampak menurunnya produksi di sektor
perikanan, kondisi ini dapat dilihat dari hilangnya beje dan tatah (teknik
penangkapan ikan secara tradisional) di beberapa desa seperti di Dadahup,
Terantang, dan Lamunti. Sebelum proyek PLG dilaksanakan produksi ikan dari
beje dan tatah di daerah kajian sekitar 500 – 2000 kg/beje/tahun dengan total
produksi sekitar 2000 ton/tahun atau senilai 10 milyar rupiah. Namun setelah
proyek PLG dilaksanakan, pada tahun 2000 produksi beje yang masih tersisa
menurun sangat drastis antara 5 – 150 kg ikan/beje atau sekitar 10 – 20 ton ikan
senilai 75 juta rupiah (Kartamihardja dan Koeshendrajana 2001).
5. Dampak sosial bagi masyarakat lokal yaitu hilangnya sumber pendapatan dari
hasil hutan seperti karet, berbagai jenis tanaman obat, satwa buruan, serta
“purun” yaitu jenis tanaman yang digunakan untuk membuat tikar, serta
berkurangnya lahan perikanan dan menurunnya hasil tangkapan ikan, kondisi ini
mengakibatkan menurunnya pendapatan masyarakat lokal di sekitar proyek PLG
secara drastis.
6. Proyek PLG melanggar sistem tata ruang yang sudah disepakati masyarakat
adat, karena masyarakat mempunyai zonasi tata guna lahan sendiri yaitu 3
kilometer dari pinggiran sungai, berupa lahan subur yang diijinkan untuk
kegiatan budidaya, dan lebih dari 3 kilometer hingga 5 kilometer adalah hutan
adat yang dimiliki secara komunal yang dapat dimanfaatkan berdasarkan
kesepakatan adat.
7. Proyek ini menyisakan berbagai masalah sosial dan lingkungan, seperti nasib
buruk para transmigran yang pada umumnya belum menguasai pengolahan
pertanian lahan basah, dan masyarakat setempat tergusur dari lahannya.
8. Pembukaan lahan gambut yang tidak memperhatikan kelestarian, kaidah
lingkungan dan pembangunan saluran serta penempatan permukiman yang tidak
diimbangi dengan penataan ruang yang baik mengakibatkan kerusakan
ekosistem dan hutan tropika basah (tropical rainforest) menjadi lahan terbuka.

a. MIFEE di Merauke, Papua


Pada masa pemerintahan Presiden SBY, ide untuk membangun food estate
kembali muncul dan diwacanakan melalui program Merauke Integrated Food and
Energy Estate (MIFEE) yang disahkan pada 11 Agustus 2010 oleh Kementerian
Pertanian. Rancangan pembangunan ini bertujuan menghasilkan produk pangan dan
biofuel untuk pasar domestik maupun internasional sebagai bentuk pembangunan
ekonomi komprehensif. Pembangunan MIFEE turut menuai kritik dari LSM, 7
akademisi, dan institusi riset karena pemerintah dianggap mengabaikan eksternalitas
negatif seperti deforestasi, kehilangan keanekaragaman hayati, konflik sosial, dan
tekanan atas kehidupan masyarakat sekitar (ICEL 2020). Proyek MIFEE memiliki
dampak lingkungan yang “terbatas” disebabkan lokasinya berada di lanskap sabana
Papua bagian selatan. Namun, karena 75 persen dari lahan yang dialokasikan untuk
proyek ini terdiri dari hutan dengan 350.000 hektar lahan gambut, proyek ini dinilai
akan menyebabkan degradasi lingkungan dalam skala besar (Ginting and Pye 2013).

b. DeKaFe di Kalimantan
Pada tahun 2011 proyek food estate di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur
(sekarang Kalimantan Utara) sebagai salah satu program Pemerintah Pusat untuk
mewujudkan ketahanan pangan yaitu Delta Kayan Food estate (DeKaFE). Proyek ini
mulanya direncanakan pada lahan seluas 50,000 hektar dan 30,000 diantaranya
merupakan tanah subur dengan tipe tanah alluvial (ICEL 2020). Proyek DeKaFe ini
berdampak terhadap petani transmigran karena mereka harus kehilangan tanahnya
disebabkan harus berhadapan dengan perampasan lahan oleh korporasi sawit yang
difasilitasi oleh pemerintah daerah. Ekspansi kelapa sawit telah menyebabkan proses
pemindahtanganan tanah secara cepat. Petani transmigran tidak hanya kehilangan
lahannya, tapi juga harus menghadapi gagal panen akibat daya dukung lahan yang
tersisa rusak akibat degradasi lingkungan (McCarthy and Obidzinski 2015). Tumpang
tindih antara kawasan hutan dan permukiman transmigrasi di Bulungan, Kalimantan
Utara yang belum terselesaikan menyebabkan penghidupan petani transmigran menjadi
terancam. Petani transmigran terancam dipidanakan disebabkan menempati lokasi yang
masih berstatus sebagai wilayah kawasan hutan (Bidang Transmigrasi Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur 2013).

3. Analisis Hukum Food Estate


Dasar hukum yang digunakan pemerintah dalam menyediakan dan memanfaatkan
kawasan hutan untuk pembangunan food estate adalah Permen LHK 24/2020. Melalui
peraturan tersebut terdapat dua cara yang dapat ditempuh, yaitu (1) melalui perubahan
peruntukan kawasan hutan, atau (2) melalui penetapan Kawasan Hutan untuk
Ketahanan Pangan (KHKP). Permohonan untuk kedua cara tersebut diajukan kepada
Menteri LHK dengan tembusan ke Sekretaris Jenderal (Sekjen) dan Direktorat Jenderal
(Dirjen). Sedangkan, pihak yang dapat mengajukan adalah menteri, kepala lembaga,
gubernur, bupati/walikota, atau kepala badan otorita. Dari 2 mekanisme yang bisa
diajukan dalam pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan food estate terdapat
beberapa syarat yang harus dipenuhi, sesuai dengan ketentuan yang ada pada Permen
LHK 24/2020.
Permohonan perubahan peruntukan kawasan hutan harus memenuhi beberapa
syarat sebagai berikut (1) Mengajukan pernyataan komitmen berisi: (a) Penyelesaian
tata batas areal, (b)UKL-UPL dan Izin Lingkungan, (c)Pengamanan kawasan HPK yang
dilepaskan. (2) Memenuhi persyaratan teknis yang terdiri dari: (a) KLHS/KLHS cepat,
(b) Proposal dan rencana teknis, (c) Peta permohonan perubahan peruntukan kawasan
hutan (d) Laporan dan rekomendasi hasil penelitian, (e) Peta lokasi pencadangan HPK
Tidak Produktif, (f) Pakta Integritas. (3) Memenuhi syarat kawasan hutan yang dapat
diubah peruntukannya, yaitu pada kawasan HPK yang memenuhi kriteria, (a) tidak
dibebani izin, tidak berada pada KHDTK, (b) dibebani izin pemanfaatan hutan setelah
dikeluarkan dari areal kerjanya, (c) tidak produktif dan/atau produktif, (d) tidak
produktif, dapat berada di areal yang telah ataupun belum dicadangkan untuk
redistribusi tanah untuk reforma agraria.
Untuk mekanisme penetapan KPHP sendiri beberapa syarat yang harus terpenuhi
yaitu: (1) Mengajukan pernyataan komitmen berisi, (a) Master Plan pengelolaan KHPK
yang terdiri dari rencana pengelolaan dan Detailed Engineering Design (DED), (b)
Penyelesaian tata batas areal, (c) UKL-UPL dan Izin Lingkungan, (d) Mengganti biaya
investasi tanaman kepada pengelola/pemegang izin. (2) Memenuhi persyaratan teknis
yang terdiri dari: (a) KLHS/KLHS cepat (b) Proposal dan rencana teknis, (c) Peta
permohonan penetapan KHKP, (d) pakta Integritas. 3 Kawasan hutan yang dapat
ditetapkan sebagai KHPK adalah kawasan hutan lindung yang sudah tidak sepenuhnya
berfungsi lindung sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atau kawasan hutan
produksi. Dapat dilakukan pada kawasan hutan: (a) telah dibebani hak pengelolaan oleh
BUMN bidang kehutanan, (b) telah dibebani izin pemanfaatan hutan setelah
dikeluarkan dari areal kerjanya dan (c) telah dicadangkan atau dibebani izin Perhutsos
atau telah dicadangkan untuk TORA.
Permen LHK 24/2020 mengatur bahwa hutan lindung yang sudah tidak
sepenuhnya berfungsi lindung dapat digunakan untuk pembangunan food estate.
Bahkan dalam hal pengelolaan KHKP, Keputusan Menteri tentang Pengelolaan KHKP
dapat berlaku sebagai Izin Pemanfaatan Kayu. Hal ini memiliki dua konsekuensi.
Pertama, hutan lindung dapat dimanfaatkan sebagai lahan food estate. Kedua, kayu yang
terdapat di dalamnya dapat ditebang dan dimanfaatkan. Lantas apakah kedua hal ini
diperbolehkan oleh peraturan yang lebih tinggi di atasnya?
Ketentuan tersebut jelas bertentangan dengan UU Kehutanan yang mengatur
secara terbatas pemanfaatan hutan lindung, yaitu untuk pemanfaatan kawasan, jasa
lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Ketiga jenis pemanfaatan tersebut
dilakukan dengan syarat tidak mengurangi fungsi utama kawasan, dilakukan demi
kesejahteraan masyarakat, sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk
menjaga dan meningkatkan fungsi lindung hutan.
Pertanyaan selanjutnya, termasuk dalam kategori manakah kegiatan food estate?
Apakah termasuk dalam kategori pemungutan hasil hutan bukan kayu? Padahal sudah
ada batasan tegas yang diatur dalam PP mengenai apa saja bentuk-bentuk hasil hutan
bukan kayu. Lantas bagaimana dengan sifatnya yang strategis sebagai pembangunan di
luar kepentingan kehutanan? UU Kehutanan juga telah mengatur kepentingan
pembangunan di luar kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan
lindung dan hutan produksi ditetapkan secara selektif.
Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan
mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan dengan tegas dilarang. Satu
catatan penting lainnya adalah ketentuan Pasal 30 ayat (1) Permen LHK 24/2020 yang
mengatur bahwa Keputusan Menteri tentang Pengelolaan KHKP dapat berlaku sebagai
Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Hal ini berarti pepohonan yang berada dalam kawasan
hutan lindung dapat ditebang dan dimanfaatkan kayunya dengan dasar KHKP yang
berlaku sebagai IPK tersebut. Padahal mengacu kepada UU Kehutanan, dalam kawasan
hutan lindung hanya hasil hutan bukan kayu yang boleh dimanfaatkan secara terbatas.
Selain itu merujuk pada definisinya, hutan lindung adalah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan sebagainya. Definisi ini tidak akan dapat
dicapai apabila pepohonan yang ada di dalamnya dapat dengan bebas ditebang.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam UU No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 10
didefinisikan sebagai rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif
untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau
program. Dalam Permen LHK 24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk
pembangunan food estate, diatur bahwa salah satu persyaratan teknis dari perubahan
peruntukan kawasan hutan atau penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan
(KHKP) adalah harus dilampirkannya KLHS atau KLHS Cepat sebagai salah satu
instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan dalam penerapan proyek food
estate (Wongkar 2020). Terdapat dua permasalahan dalam ketentuan ini. Pertama
adalah tidak dijelaskannya pembagian proyek manakah yang menggunakan KLHS dan
proyek mana yang menggunakan KLHS Cepat. Kedua, tidak ditemukannya definisi dari
terminologi KLHS Cepat termasuk bagaimana mekanisme KLHS Cepat dalam proyek
ini akan dijalankan.
Apabila KLHS Cepat yang dimaksud KLHK kemudian adalah metode cepat
KLHS, maka peraturan rujukan dapat mengacu pada Surat Edaran Bersama Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 660/5113/SJ dan
04/MENLH/12/2010 tentang Pelaksanaan KLHS RTRW dan RPJM Provinsi. Dalam
surat edaran tersebut diperkenalkan tiga metode dalam pengkajian KLHS, yakni metode
cepat (quick appraisal), penilaian semi detil (semi-detailed assessment) dan detail
(KLHS sebagaimana diatur dalam UU 32/2009 dan Permen LHK 27/2009). KLHS
Cepat merupakan proses penilaian satu isu berdasarkan pertimbangan ahli yang sifatnya
cenderung kualitatif (Sukarsa 2017). Terkhusus pada metode cepat KLHS, diatur bahwa
metode cepat KLHS diterapkan apabila dibutuhkan penilaian yang cepat terhadap K/R/P
yang hendak dibangun, adanya keterbatasan waktu dan sumber daya, tekanan publik
yang tinggi, tidak tersedianya data yang mencukupi, dan situasi darurat (Wongkar
2020). Berangkat dari cakupan data yang tidak lengkap, maka KLHS Cepat akan
mengandalkan pengalaman dan pandangan para pakar yang terlibat dalam pengkajian
(Sukarsa 2017).
Dalam rancangan program food estate yang akan dibangun, Permen LHK 24/2020
menjelaskan bahwa akan menggunakan instrumen KLHS Cepat dalam Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan dan Penetapan KHKP. Pada rancangan program tersebut.
KLHK menargetkan bahwa maksud dan tujuan penggunaan KLHS Cepat adalah untuk
mempertimbangkan keberlanjutan fungsi lahan pangan, tata air, ekosistem dan
kelestarian lingkungan melalui formulasi strategi perlindungan lingkungan
(environmental safeguard), kebijakan pendukung (enabling policy), langkah-langkah
pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta arahan monitoring dan
evaluasi keberlanjutan agar program pengembangan pangan nasional dapat dilakukan
dengan tetap menjamin keberlanjutan proses, fungsi dan produktivitas lingkungan hidup
serta menjamin keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya,
tidak ada penjelasan yang komprehensif mengapa pada akhirnya Pemerintah memilih
KLHS Cepat sebagai instrumen yang akan digunakan. Apakah dikarenakan minimnya
data atau terdapat alasan lain? Jikalau memang minimnya data adalah alasan pemilihan
KLHS Cepat sebagai salah satu instrumen, maka sejatinya pemilihan KLHS Cepat
untuk program food estate ini tidak tepat. Hal ini karena minimnya data dan mengacu
kepada rekam jejak food estate, maka pemilihan KLHS cepat cenderung bersifat
spekulatif dan memberikan ruang yang besar bagi ketidakpastian (Eryan 2020).
Pada dasarnya metode KLHS Cepat merupakan sebuah permasalahan. Pasalnya,
perumusan KLHS semacam itu berpotensi menghilangkan esensi dan signifikansi
KLHS sebagai dasar pengambilan keputusan strategis dengan menjadikan KLHS
sebagai proses teknokratik dan administratif semata. Lebih jauh, kriteria penerapan
KLHS Cepat tidaklah relevan diterapkan pada proyek food estate. Hal ini didasarkan
oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut (Wongkar 2020):
1. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menjabarkan
bahwa pengkajian terhadap KLHS perlu dilakukan secara hati-hati, menyeluruh dan
komprehensif guna mengetahui apakah kapasitas lingkungan yang ada mampu
menampung proyek strategis yang hendak dibangun.
2. Indonesia sebagai negara agraris dengan sistem pertanian lokal yang berkelanjutan,
telah memiliki pengetahuan serta areal-areal persawahan yang tersebar di seluruh
Indonesia yang kian lama semakin tergerus adanya industrialisasi. Solusi atas krisis
pangan Indonesia adalah melalui penguatan potensi, baik dari segi kualitas maupun
kuantitas petani Indonesia, bukan dengan mencetuskan program pangan baru yang
sarat keberpihakan pada kaum pemilik modal. Artinya proyek ini dirancang tidak
didasarkan atas keterbatasan sumber daya, melainkan justru menambahkan aktor
lain dalam perwujudan ketahanan pangan dengan membentuk jurang relasi kuasa
yang besar bagi kedua aktor yang terlibat (petani dan pengusaha). Hal ini
menjadikan petani berpotensi semakin tidak dapat bersaing dengan kekuatan modal
yang didukung oleh pemerintah tersebut. Keterbatasan waktu dan situasi darurat
merupakan suatu hal yang dapat dikatakan mengada-ada karena proyek food estate
sejatinya telah dirancang jauh sebelum wabah Covid-19 masuk di Indonesia.
Selanjutnya, tidak ditemukan pula tekanan publik manapun terhadap berjalannya
proyek food estate ini. Proyek ini banyak ditolak dari pihak masyarakat akibat
tendensinya yang sangat berpihak pada kaum investor atau pemilik modal.
3. Alasan penggantian metode detil KLHS dengan metode cepat KLHS yang
kemudian juga diterapkan dalam proyek food estate disebabkan ketidaktersediaan
data merupakan suatu bentuk kesesatan berpikir. Eksistensi KLHS difungsikan
sebagai dasar pengkajian, pembentukan alternatif dan rekomendasi kebijakan tata
ruang dan pembangunan untuk menjamin keberlanjutan. Sebagai sebuah dokumen
kajian ilmiah, maka representasi data menjadi penting untuk pengkaji dapat sampai
pada kesimpulan apakah suatu proyek dapat dijalankan atau tidak dengan
memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan di lokasi tersebut.
Ketidaktersediaan data seharusnya menjadi alasan mendasar tidak diberikannya
keputusan atas suatu proyek tertentu.
Dalam kaidah hukum lingkungan, kebijakan pengkajian menggunakan metode
cepat KLHS, merupakan pelanggaran sistematis terhadap prinsip kehati-hatian
(precautionary principle) karena jika terdapat ketidakpastian mengenai dampak suatu
usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
pemerintah tidak boleh memberikan akses legal terhadap usaha dan/atau kegiatan
tersebut untuk dapat berjalan. Hal tersebut akan menimbulkan kerugian yang belum
dapat dipahami. Pemilihan metode cepat KLHS sebagai instrumen pengkaji dampak
lingkungan hidup untuk program food estate tidak akan dapat berfungsi untuk menjamin
keberlanjutan fungsi lahan dan kelestarian lingkungan dan KLHS cepat merupakan
reduksi sistematis terhadap esensi dari KLHS itu sendiri (Wongkar 2020).
Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Walhi (2021) lewat tanggapannya
mengenai Kalimantan Tengah yang telah memasuki tahap pembahasan awal KLHS
untuk food estate. WALHI menyatakan bahwa mereka menangkap kesan bahwa KLHS
hanya dijadikan justifikasi untuk pembukaan food estate (Walhi 2021). Dalam kasus
nyata di Kalimantan Tengah, melalui paparan Kementerian Pertahanan pada paparan
awal KLHS Cepat (Marie 2020), disebutkan setidaknya 486.164 Ha lahan awal di
Kalimantan Tengah berasal dari Kawasan Hutan (Lahan AOI, Blok Katingan, Kapuas,
Blok Gunung Mas). Namun, kenyataanya proyek tersebut memiliki berbagai masalah.
Proyek yang dipimpin oleh Kementerian Pertahanan di wilayah Kabupaten Gunung
Mas Kalimantan Tengah untuk komoditas Singkong ini telah membuka sekitar 700
hektar hutan alam di kawasan hutan produksi dalam lima bulan terakhir tanpa ada
dokumen AMDAL. Selain itu, proyek ini juga telah menabrak berbagai aturan termasuk
kewajiban atas dokumen legalitas kayu (SVLK) dan Izin Pemanfaatan Kayu yang justru
akan menghancurkan hutan alam dan mencederai komitmen pemerintah untuk
mengatasi perubahan iklim dari sektor kehutanan dan tata guna lahan (Walhi 2021).
KLHS setelahnya menjadikan hasil kajian KLHS menjadi tidak diindahkan, meskipun
hasil KLHS telah menyatakan bahwa proyek tersebut memiliki dampak yang signifikan
terhadap lingkungan di sekitarnya (McDonnell 2020). Walhi sangat menyayangkan
berbagai kasus tersebut karena seharusnya KLHS dijadikan sebagai dasar dalam
penyusunan kebijakan, rencana, dan program, bukan hanya menjadi tahapan
administratif dalam sebuah proyek (Walhi 2021).

4. Dampak Food Estate bagi Hutan dan Lingkungan


Terbitnya Peraturan Menteri [Permen] Nomor
P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk
Pembangunan Food estate menjadi sorotan sejumlah pegiat lingkungan. Program ini
dinilai berpotensi mendorong laju deforestasi di Indonesia, terutama hutan di Sumatera,
Kalimantan, dan Papua. Uli Arta Siagian, Direktur Genesis Bengkulu mengatakan,
pengalaman selama ini menunjukkan, pelepasan kawasan hutan sering berujung pada
kerusakan lingkungan hidup. Beliau juga mengatakan bahwa permen tersebut sangat
berpotensi mempercepat laju deforestasi dan merusak lingkungan hidup (Supardi 2020).
Hutan memiliki peran untuk menyimpan cadangan-cadangan karbon secara besar
dan mampu menyerap karbon dioksida berlebih yang ada di udara dan
mengkonversinya menjadi oksigen melalui proses fotosintesis yang dapat menyimpan
karbon lebih dari dua ratus miliar ton. Deforestasi berpengaruh sangat besar terhadap
perubahan iklim yang berkaitan dengan karbon-karbon yang ada di udara dan pada
tanah gambut jika kehilangan pohon di atasnya maka akan melepaskan karbon yang
tersimpan ke udara (Septiyan 2019). Organisasi lingkungan, Walhi, menyebut proyek
food estate atau lumbung pangan di Kalimantan Tengah seluas 165.000 hektar
mengancam lahan gambut sehingga berpotensi menimbulkan kebakaran lahan.
Kebijakan tersebut akan merusak fungsi hutan lindung untuk mencegah bencana banjir
dan longsor. Walhi juga menyebut aturan terkait penggunaan hutan lindung ini tidak
memperhitungkan dampak lingkungan dan memberikan keleluasaan penuh kepada
korporasi karena tak mengharuskan membuat Analisis Dampak Lingkungan (Amdal)
(Anonymous 2020).
Kebakaran hutan atau lahan gambut secara nyata berpengaruh terhadap
terdegradasinya kondisi lingkungan, kesehatan manusia dan aspek sosial ekonomi bagi
masyarakat. Degradasi kondisi lingkungan yang dimaksud adalah berubahnya kualitas
fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia, penurunan
permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak), berubahnya kualitas kimia gambut
(peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan kandungan basa total, yaitu:
kalsium, magnesium, kalium, dan natrium, tetapi terjadi penurunan kandungan
Corganik), terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme
yang mati akibat kebakaran, suksesi atau perkembangan populasi dan komposisi
vegetasi hutan juga akan terganggu (benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut
rusak/terbakar), sehingga akan menurunkan keanekaragaman hayati, rusaknya siklus
hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke dalam tanah, mengurangi
transpirasi vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan jumlah air yang
mengalir di permukaan (surface run off), dan lahan gambut yang terbakar akan
menghasilkan emisi karbondioksida dalam jumlah besar (Rahmat 2014).
Emisi yang tinggi dapat menyebabkan berbagai dampak serius diantaranya yaitu:
Pertama, suhu mengalami peningkatan sejak 1990 sekitar 0,3 Derajat Celcius pada
keseluruhan muslim. Kedua, meningkatnya 2 sampai 3 % intensitas curah hujan setiap
tahunnya dan meningkatnya resiko bencana banjir secara signifikan. Ketiga,
menimbulkan ancaman pangan dari akibat yang ditimbulkan dari perubahan iklim yang
ekstrem, Keempat, permukaan air laut yang naik tentunya dapat menyebabkan
tergenangnya daerah-daerah produktif pantai dan memberikan pengaruh terhadap
penghidupan di daerah pantai. Kelima, bertambah hangatnya air laut memberi pengaruh
terhadap kehidupan hayati laut dan menimbulkan ancaman pada terumbu karang.
Keenam, menimbulkan berbagai penyakit yang dapat berkembang biak melalui media
air dan vektor yaitu penyakit malaria dan demam berdarah (Wahyuni dan Suranto
2021).
Direktur Walhi Kalimantan Tengah, Dimas Hartono, menyebut proyek food estate
atau lumbung pangan di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas berpotensi merusak lahan
gambut yang sedang direhabilitasi. "Jika lahan gambut itu dirusak lagi berdampak pada
lokasi-lokasi yang gambutnya bagus dan menambah rentetan kebakaran," ujar Direktur
Walhi Kalimantan Tengah, Dimas Hartono (Anonymous 2020). Lahan gambut memiliki
peran yang sangat penting dalam menopang kehidupan manusia dan makhluk lainnya.
Lahan gambut tidak hanya berfungsi secara langsung dalam menyokong kehidupan
yaitu sebagai sumber pakan dan habitat bagi berbagai makhluk, tetapi juga memiliki
fungsi ekologi seperti pengendali banjir dan pengendali perubahan iklim global. Lahan
gambut memiliki sifat yang khusus yaitu sulit untuk pulih apabila terganggu. Hal ini
disebabkan oleh proses pembentukan lahan gambut dari hasil pembusukan vegetasi
yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga perlindungan terhadap ekosistem lahan
gambut penting diterapkan dengan mengelolanya secara bijak dan memperhatikan
keseimbangan ekologi, melalui pengelolaan yang terintegrasi. Lahan gambut
mengandung karbon yang sangat besar yang mempengaruhi pola iklim di muka bumi.
Oleh karena itu lahan gambut harus dijaga kelestariannya dari berbagai penyebab
kerusakan seperti deforestasi/konversi, kebakaran dan drainase yang menyebabkan
pemadatan serta subsidensi (Wibowo 2009).
Pakar Manajemen Risiko Iklim dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Rizaldi Boer
mewanti-wanti ancaman kerusakan lingkungan terkait megaproyek food estate atau
lumbung pangan yang digencarkan pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Rizal, proyek lumbung pangan Jokowi akan mengancam dua syarat utama agar
Indonesia memenuhi komitmen global dalam perbaikan iklim lewat Nationally
Determined Contribution (NDC). Dua syarat tersebut adalah penurunan luas deforestasi
hutan dan perbaikan pengelolaan lahan gambut.
SINYAL MERAH PROGRAM MIFEE: PERTIMBANGAN FOOD
ESTATE UNTUK MASYARAKAT ADAT

Kepercayaan umum memiliki batas dan rasionalitas. Tidak semua harus diterima,
konsekuensi yang diterima masa lalu atas kepahitan MIFEE masih membekas dan
memberikan sinyal merah dengan jelas. Food estate untuk siapa? Untuk kemaslahatan
atau untuk maniak nafsu kerugian?

Masyarakat Marind di kampung Zanegi, merasakan dampak lingkungan, sosial,


ekonomi, dan budaya terkait adanya MIFEE. Penyebabnya adalah konversi hutan yang
mengakibatkan perubahan fungsi hutan. Ironinya, status kepemilikan berpindah tangan
yang menyebabkan akses dan kontrol hutan oleh masyarakat kampung Zanegi menjadi
hilang Marjinalisasi ini perlu mendapat perhatian karena ekslusi terhadap masyarakat
Marind tidak terelakan, sehingga food estate yang dicanangkan pemerintah pada
Merauke nanti belum mempertimbangkan sinyal merah yang berbahaya. Sinyal merah
yang dimaksud adalah peringatan ironi atas dampak dari adanya MIFEE yang terjadi
tahun 2010 silam.
1. Manifestasi Aktor-Aktor Food Estate
`Aktor merupakan individu, kelompok, atau organisasi dengan kepentingannya
terhadap sesuatu hal yang sama, untuk kasus MIFEE maka sesuatu itu adalah terkait
lahan dan program MIFEE (Bryant & Bailey 1997). Analisis aktor penting dilakukan
untuk melihat sejauh mana peran tersebut berpengaruh terhadap suatu lingkungan.
Misalnya, dalam meperebutkan sebidang tanah, maka individu/kelompok/organisasi
yang memiliki karakteristik concern yang berbeda memiliki pandangan dan motivasi
tertentu. Tanah tersebut bisa saja digunakan untuk berkebun oleh suatu perusahaan,
dijadikan tempat upacara adat oleh masyarkat adat, atau diberikan sebagai Hak Guna
Usaha (HGU) oleh pemerintah melalui regulasinya

Tabel 1 Kerangka Umum Aktor dan Kepentingannya

Aktor Indikasi Kepentingan


Pemerintah (Pemerintah Setuju akan 1. Menentukan investor mana saja
Pusat dan Pemerintah adanya MIFEE yang memiliki hak guna terkait
Daerah/Kabupaten) lahan di kampung Zanegi.
Berdasarkan informasi milik
BAPINDA kabupaten Merauke
2010, terdapat 36 perusahan yang
berinvestasi.
2. Presiden SBY merencanakan
program MIFEE bersama dengan
menteri pertanian.
3. Mengerahkan aparat untuk
melindungi wilayah tenurial dari
lahan MIFEE dari intervensi pihak
luar.
4. Melindungi investor dengan adanya
Peraturan Pemerintah no 49 tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai.
Sehingga PT SIS memiliki kontrak
selama 35 tahun untuk menguasai
tanah.

Perusahaan (PT SIS) Setuju akan Memiliki akses lahan seluas 169.000
adanya MIFEE Ha pada perjanjian tertulis, namun
pada faktanya mengambil lahan
sebanyak 301.600 ha. Artinya tidak
sesuai dengan perjanjian kepada
masyarakat zanegi yang diberikan di
awal.
Lembaga Swadaya Menolak akan Mengawal dan memperjuangkan hak
Masyarakat atau LSM adanya MIFEE masyarakat Marind atas tanah dan
(Yayasan Pusala, Yasanto, sistem penghidupan yang layak.
WWF, dan SKP. KAME)
Masyarakat Marind Menolak akan 1. Menganggap hutan adalah sebagai
(Kampung Zenegi, adanya MIFEE mama, karena menyediakan seluruh
Kabupaten Merauke) sumberdaya yang mencukupi
kehidupannya mulai dari sagu,
kayu, rusa, dan lainnya.
2. Memiliki kintal-kintal yang
bermakna lahan dari marga di
Marind.

Aktor-aktor yang berkonstelasi akan mengalami dinamika seiring dengan


perkembangan isu. Misalnya LSM, saat awal isu mencuat pengawalan cenderung lebih
kuat. Masyarakat dan LSM menyuarakan terkait hak atas hutan adat langsung kepada
perusahaan. Namun, ketika pengawalan itu masih memperteguh kekuatan PT SIS dalam
melaksanakan perannya, yaitu mengeksploitasi hutan milik masyarakat Marind untuk
keperluan implementasi ketahanan pangan, MIFEE masih akan terus dilaksanakan
dengan mengaplikasikan teknologi 4.0 di bidang pertanian. Food estate akan tetap
mendapatkan beberapa penolakan dari berbagai kalangan. Menurut Raimondo dalam
presentasinya di webinar Mari Bertemu tanggal 26 Juni 2021 program ini masif
mengubah pola tatanan yang jauh telah dimiliki oleh masyarakat adat. Bagi masyarakat
adat, pertanian dikelola secara kekeluargaan (family-based food production). Bahkan
masih memelihara prinsip gotongroyong/kolektif. Sedangkan konsep food esatate yang
dikembangkan pemerintah corporate-based food production, justru pola yang demikian
mengingkari dan semakin meminggirkan masyarakat adat.
Presentasi yang disampaikan oleh Cahyono (2021) dalam acara Webinar Mari
Bertemu pada tanggal 26 Juni 2021 ada 5 ancaman kedaulatan pangan nasional dan
salah satunya yaitu New MIFEE: Rezim Industri Food estate. Hal itu menjelaskan
bahwa Food estate dianggap sebagai new MIFEE yang kita tahu bahwa MIFEE adalah
program pemerintah yang tidak berhasil alias gagal, sehingga dalam peryataan tersebut
Cahyono (2021) dengan jelas menolak program food estate.
Aktor-aktor berikut diperkirakan akan menambah atau mengurangi perannya
masing-masing terkait dengan konstelasi food estate. Komposisi yang mungkin pada
aktor food estate antara lain:
1. Pemerintah, terdiri dari pemerintah pusat maupun daerah yang berperan sebagai
gerbang utama kebijakan dan perizinan akan dikeluarkan. Sementara itu,
intervensi dari luar akan direduksi lewat aparat atau mungkin akan diberlakukan
perubahan undang-undang terkait alihfungsi lahan. Terdapat kemungkinan
perubahan regulasi terkait food estate mengenai sistem kepemilikan lahan.
2.Perusahaan, diperkirakan akan menambah jumlah perusahaan yang akan
berinvestasi karena proyek food estate terlihat menguntungkan pihak korporasi.
3. LSM, akan meningkat kinerjanya apabila didukung oleh pihak-pihak yang
memang memiliki kesamaan tujuan untuk menolak food estate. Misalnya
kolaborasi akademisi, yang memberikan bukti dan analisis teori otentik sehingga
pengaduan-pengaduan akan lebih tajam.
4. Masyarakat, diperkirakan akan melemah apabila pendampingan dan pencerdasan
kian berkurang. Efek pandemi covid-19 yang semakin tinggi mengkhawatirkan
sosialisasi skala besar akan sulit dilakukan, sementara penggunaan media daring
berlum sepenuhnya merata. Pendampingan diperkirakan masih efektif apabila
LSM terdekat (kabupaten atau provinsi) mampu mengkawal bersama sehingga
masyarakat bisa menerapkan gerakan akar rumput.
5. Akademisi, diperkirakan akan mengalami peningkatan dengan beberapa ulasan
ilmiah beserta tuntutannya lewat policy brief atau jurnal-juranl. Harapannya
adalah memberikan edukasi dan pemahaman terkait dengan adanya food estate.
Perlu digarisbawahi, tentu tidak semua akademisi kontra dengan food estate, ada
sisi ilmiah argumen yang menyatakan setuju terkait adanya food estate.
Aktor-aktor tersebut tidak jauh berbeda dengan aktor di MIFEE, namun
perkiraan peran dalam menghadapi situasi food estate sangat berbeda. Semakin banyak
penolakan yang terjadi, menandakan trust terkait food estate semakin rendah. Dengan
kata lain, eksistensi dan kredibilitasnya semakin turun dengan adanya pembuktian
MIFEE di kampung Zanegi. Selanjutnya kajian ini akan menjelaskan sub bab
kontrovesi teknologi 4.0 dan adopsi inovasi masyarakat terkait food estate.

2. Dampak MIFEE dan Food Estate di Merauke Bagi Masyarakat Adat


Rezim kepemilikan disinyalir akan menimbulkan perdebatan apabila terjadi
perubahan dari common property menjadi private proverty. Menurut USAID (2006),
common property merupakan subjek agraria yang dimiliki oleh suatu komunitas umum.
Sementara private property merupakan kepemilikan yang dikhususkan oleh satu orang
atau badan yang legal dari segi hukum. Berdasarkan hal tersebut, MIFEE diindikasikan
ada perubahan dari sistem tenurial yang semula dimiliki oleh masyarakat Marind
kemudian diakuisisi oleh perusahaan menjadi kepemilikan yang private. Hal ini ditandai
dengan adanya aparat POLRI dan TNI yang menjaga wilayah dari PT SIS. Berdasarkan
data yang didapatkan, wilayah kabupaten merauke memiliki luas 4.707.720 Ha dengan
komposisi hutan produksi seluas 1.328.790 Ha, hutan konservasi 1.458.600 Ha, hutan
lindung 283.670 Ha, dan penggunaan lain seluas 217.210 Ha.
Program MIFEE secara total menggunakan 970.000 Ha untuk kayu industri,
300.000 Ha sawit, dan tanaman pangan 69.000 Ha. Evaluasi dari program MIFEE
adalah tidak memasukan sagu sebagai pangan lokal dari Merauke, sehingga timbul
permasalahan untuk mendapatkan sagu karena fokus dari program secara mengejutkan
tidak mengedepankan tanaman pangan lokal.Akibat dari adanya hutan yang disekap
oleh korporasi menyebabkan beberapa permasalahan yang menjadi isu yang perlu
diperhatikan yaitu:
a) Perspektif budaya akan melihat bagaimana tahapan hilangnya sebuah
kebudayaan bila melihat dari kasus MIFEE dengan alat analisis yang digunakan
berdasarkan teori 7 unsur kebudayaan milik Koentjaraningrat.
b) Perspektif ekologi akan melihat dengan perbandingan paradigma ekologi antara
masyarakat Marind dengan korporasi dalam memandang lingkungan.
c) Perspektif sosial lainnya akan menjelaskan terkait marginalisasi, dan adopsi
inovasi apabila nantinya akan dilakukan program serupa di kabupaten Merauke
ini. Kemudian dari perspektif ekonomi akan menyinggung terkait strategi nafkah
dan juga kerugian ekonomi yang ditimbulkan dari adanya MIFEE.

Tabel 2 Analisis Teori dan Beragam Perspektif


Perspektif Penjelasan Analisis Teori
Budaya a) Merauke masih kental dengan eksistensi - Tujuh Unsur Kebudayan
kebudayaannya. Berdasarkan data, (Koentjaraningrat 2015)
kabupaten Merauke memiliki 20 distrik, 8 - Wujud Kebudayaan dan
kelurahan, dan 160 kampung. Malind Komponen Kebudayaan
merupakan salah satu suku yang ada di (Hoenigman dalam
Merauke, yang terletak di Kampung Zanegi. Koentjaraningrat 2000)
b) Wujud kebudayaan masyarakat Marind - Marginalisasi
akan menciptakan satu komponen utuh - Kearifan Lokal
kebudayaan yang khas. Misalnya,
totemisme, atau istilah mama untuk hutan.
Hal tersebut dimanifestasikan aturannya
baik tertulis maupun tidak tertulis,
kemudian diimplementasikan bagi seluruh
masyarakat yang terikat. Misalnya, totem
dari marga Mahuze adalah sagu. Maka tidak
boleh mengganggu eksistensi dari sagu, atau
bahkan ada kepercayaan bahwa Mahuze
tidak boleh memakan daging anjing.
Ekologi Manusia memiliki persepsi, ada yang liar dan - Paradigma Ekologi
ada yang seenaknya, atau bahkan ada yang (Keraf 2006)
melindungi dan sampai menganggapnya - Property Rights Regime
sebagai ibu. Hal demikian bisa dbandingkan (USAID 2006)
bagaimana cara pandang masyarakat Marind
dengan korporasi terkait MIFEE ini dengan
subjek yang disentriskan adalah hutan
Sosial a) Masyarakat memiliki sistem pengetahuan - Teori dan Difusi Inovasi
dan persepsi yang berbeda. Masyarakat (Rogers 2003)
kota, masyarakat desa, dan masyarakat adat - Marginalisasi
memiliki beragam pemahaman yang
berbeda terkait suatu hal, ambil contoh
dalam keikutsertaan penyuluhan.
b) Masyarakat kota, yang cenderung lebih
kepada pekerja kantoran dan industri
mungkin akan kesulitan mendapatkan waktu
yang pas untuk melakukan penyuluhan.
Masyarakat desa, demikian banyak yang
menaruh perhatian besar tentang
pembangunan yang positif sehingga perlu
diperhatikan pendekatan yang dilakukan:
tidak memaksa dan sabar. Mungkin, tidak
akan berbeda jauh karakteristik persepsi
penyuluhan masyarakat desa dengan
masyarakat adat. Hanya saja, menghargai
masyarakat adat akan jauh lebih bermakna
dan perlu usaha yang tidak instan
Ekonomi Hutan tempat masyarakat Marind mencari - Kemiskinan
daging buruan dan tanaman kini menjadi - Strategi Nafkah
berkurang, akibatnya pangan dan mata
pencaharian dari berburu dan meramu menjadi
sulit. Hal tersebut membuat kemiskinan
diindikasikan dapat menjadi masalah gawat
apabila hal demikian – hutan terus hilang –
terus berlanjut.

3. MIFEE dan Dieorientasi Kedudukan Hutan bagi Masyarakat Adat


Merauke memiliki estetika persepi terhadap lingkungan yang kuat. Salah satu
contohnya adalah totem yang merupakan perubahan wujud Dema ke dalam bentuk
binatang, tumbuhan, atau benda yang menjadi simbol kelompok atau marga dari
masyarakat Marind (Yarman et al. 2013). Misalnya Marga Gebze dengan totem kelapa,
Marga Mahuze dengan totem sagu, Marga Kaize dengan totem kasuari, Marga Ndiken
dengan totem burung ndik, sedangkan Marga Samkakai dengan totem kanguru.
Fungsi dari totem tersebut adalah sebagai bentuk simbol sakral bagi masing-
masing marga. Totem tersebut perlu dihormati oleh setiap marga, misalnya tindakan
kasar kepada kelapa dan sagu dapat menimbulkan peperangan antar marga dan bahkan
dihukum mati (Keiya 2019). Hal ini menunjukan bahwa cara pandang lingkungan bagi
masyarakat Marind memiliki keterkaitan yang sangat kuat terkait dengan paradigma
ekologi bebasis Ekosentrisme yang melihat bahwa alam yang terdiri dari biotik dan
abiotik memiliki nilai dan perlu dihormati eksistensinya (Keraf 2006). Fenomena
tersebut dapat dijelaskan melalui pendefinisian kearifan lokal yang akan dikelompokan
sedikitnya definisi dari 3 tokoh yang berbeda lengkap dengan interpretasinya terhadap
pandangan masyarakat Marind dengan hutan atau totem.
Tabel 3 Keterkaitan Masyarakat Marind dengan Paradigma Ekosentrisme

Sumber Definisi Interpretasi


Rahyono (2009) Kearifan lokal merupakan Turun-temurun menjadi kata kunci
sistem pengetahuan untuk mengetahui jawaban: apakah
(kecerdasan) khas dan suatu kebudayaan dapat hilang suatu
dimiliki oleh kelompok hari?
etnis tertentu yang
disosialisasikan kepada Totem merupakan salah satu bentuk
generasi selanjutnya. kearifan lokal yang dimiliki oleh
masyarakat Marind. Kepercayaan ini
menyatakan bahwa setiap marga harus
menghormati totem dari marga lain,
misalnya tidak boleh mengganggu
sagu atas marga Mahuze.

Makna demikian adalah:


1) Sumberdaya alam memiliki
nilai yang sakral.
2) Eksploitasi merupakan
tindakan terlarang.
3) Cara masyarakat Marind
melestarikan lingkungan.
Demikian totemisme tersebut
diturunkan dari generasi satu ke
generasi selanjutnya melalui
sosialisasi. Jika hutan hialng, maka
totemisme dikhawatirkan akan ikut
berubah eksistensinya. Karena
beberapa sumberdaya dari totem
(misalnya sagu, kelapa, dll)
kebanyakan bersumber dari hutan.
UU Nomor 32 Kearifan lokal adalah nilai-nilai Program MIFEE – atau bahkan food
tahun 2009 luhur yang berlaku dalam tata estate – tidak serta merta diselenggarakan
tentang kehidupan masyarakat untuk dalam waktu yang singkat, melainkan
Perlindungan antara lain melindungi dan melalui beberapa regulasi yang memang
dan Pengelolaan mengelola lingkungan hidup terkesan tidak konsisten dengan pasal di
Lingkungan secara lestari. (Pasal 1 ayat 30) samping. Berikut adalah kronologi dari
Hidup lahirnya program MIFEE dan food estate:
Dalam perlindungan dan 1) Pada tahun 2007,
pengelolaan lingkungan hidup, penandatanganan memorandum
Pemerintah bertugas dan of understanding dilakukan oleh
berwenang menetapkan kebijakan bupati Merauke dengan sejumlah
mengenai tata cara pengakuan investor untuk merealisasikan
keberadaan masyarakat hukum program Merauke Integrated
adat, kearifan lokal, dan hak Rice Estate (MIRE).
masyarakat hukum adat yang 2) Melalui Rencana Pembangunan
terkait dengan perlindungan dan Jangka Menengah Daerah
pengelolaan lingkungan hidup (RPJMD) Papua pada tahun 2006-
(Pasal 63 ayat (1)) 2011 memberikan beberapa bulir
untuk menciptakan kemudahan
investasi dan perdagangan melalui
lingkungan dengan kemudahan
izin dan keringanan pajak
(Ramadayanti 2020)
3) Peraturan Pemerintah (PP) No. 26
tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional,
Kabupaten Merauke dijadikan
sebagai kawasan andalan untuk
pengembangan pertanian dan
perkebunan.
4) Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 2010 tentang Percepatan
Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional Tahun
2010, yang diantaranya
mengamanatkan penyusunan
Grand Design Food and Energy
Estate di Merauke. 5) Peraturan
Presiden Nomor 32 Tahun 2011
tentang Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2011-2025
atau MP3EI
Mitchell (2003) Kearifan lokal memiliki enam 1) Pengetahuan Lokal, misalnya
dalam dimensi, diantaranya adalah: pada masyarakat Marind
Sedyawati 1) Pengetahuan Lokal, yaitu pengetahuan lokal tercermin
(2006) cara pandang dan dalam paradigma
kecerdasan khas yang Ekosetrisme yang dianut.
dimiliki oleh masyarakat 2) Nilai Lokal, misalnya
setempat. perilaku yang melarang
2) Nilai Lokal, yaitu aturan- untuk tidak mengganggu
aturan tentang tingkah laku totem milik marga lain atau
dan perbuatan yang merusak hutan.
dibentuk dan ditaati 3) Keterampilan Lokal,
bersama. misalnya berburu rusa liar
3) Keterampilan Lokal, dan bercocok tanam sagu.
kemampuan suatu individu 4) Sumberdaya Lokal, yaitu
atau kelompok dalam hutan.
bertahan hidup untuk 5) Mekanisme Pengambilan
keluarganya atau dirinya, Keputusan Lokal, dengan
biasa disebut sebagai adanya kepala suku atau
ekonomi substansi. kepala adat.
4) Sumberdaya Lokal, yaitu 6) Solidaritas Kelompok Lokal,
sesuatu yang dimiliki dan ditandai dengan adanya sikap
dapat dimanfaatkan dengan saling memiliki atas hutan,
sebijak-bijaknya untuk dan totem dengan adanya
melangsungkan kehidupan. marga-marga.
Misalnya adalah Hutan.
5) Mekanisme Pengambilan Berdasarkan hal tersebut, sudah
Keputusan Lokal, yaitu dapat tergambar bahwa masyarkat
pemerintahan kesukuan Marind memiliki kearifan lokal
dengan kepala suku yang yang khas dalam mengelola
bijaksana. lingkungan.
6) Solidaritas Kelompok
Lokal, yaitu keeratan
hubungan satu sama lain
yang karena dasar
kesamaan tujuan dan
identitas sehingga
menimbulkan tindakan
gotong royong dan saling
melindungi atau
menghargai.

Wujud kebudayaan dari Masyarakat Marind sudah dibuktikan keabsahannya.


Menurut Koentjaraningrat (1993), wujud kebudayaan dapat dilihat dari segi gagasan,
aktivitas, dan artefak. Gagasan merupakan wujud kebudayaan yang sifatnya abstrak dan
tidak dapat dilihat secara langsung, biasanya berbentuk suatu ide, pikiran, norma, atau
aturan-aturan tertentu. Aktivitas merupakan wujud kebudayaan yang dapat
diidentifikasikan melalui sistem sosial yang ada, misalnya cara berkomunikasi
masyarakat. Artefak merupakan wujud kebudayaan yang konkret menunjukan hasil dari
gagasan atau aktivitas suatu masyarakat.
Masyarakat Marind memiliki wujud kebudayaan berupa Totem dan Hutan
Sebagai Mama. Ini merupakan dua contoh dari kebudayaan yang ada di Merauke.
Totem, memiliki gagasan berupa norma yang mengikat bagi seluruh marga yang ada
untuk menghormati totem-totem satu sama lain. Gagasan tersebut kemudian
diimplementasikan lewat suatu aktivitas terkait dengan tidak melakukan tindakan
terlarang (merusak totem misalnya) dan saling menghormati wujud totem satusama lain.
Artefak totemisme dapat dilihat dari wujud makhluk hidup yang dimaksud, misalnya
sagu, kelapa, burung, dan lainnya. Hal-hal tersebut menunjukan bahwa kebudayaan
memiliki satu keterkaitan dan kekhasan miliki masyarakat Marind.
Hutan Sebagai Mama merupakan bentuk dari gagasan yang berupa norma agar
masyarakat bertingkah laku dengan baik terhadap alam. Aktivitas yang diperkenankan
dapat dengan tidak semena-mena terhadap alam, misalnya tidak merusak hutan karena
sama saja dengan menyakiti mama. Artefak yang dapat dilihat adalah berupa hutan.
Kebudayaan yang khas tersebut tentu memiliki kaitan yang besar dengan hutan. Pada
kesempatan ini, program MIFEE banyak melakukan tindakan eksklusi masyarakat
Marind dengan hutan adat yang dinilai sakral tersebut. Sebanyak 1,2 juta hektar wilayah
MIFEE tentu akan menyeret habis luas hutan milik masyarakat Marind. Dengan kata
lain, kebudayaan yang selama ini disosialisasikan atau ditaati menjadi tidak berarti.
Apakah kebudayaan masyarakat Marind dapat hilang? Ancaman ironi ini
dapat dijawab dengan tiga wujud kebudayaan di atas. Apabila ketiganya sudah hilang
dan tidak dapat disosialisasikan kepada generasi selanjutnya, maka bisa jadi kebudayaan
totem atau kearifan lokal hutan sebagai mama hanyalah tinggal sisa peradaban. Sistem
penghidupan masyarakat Marind banyak bertumpu pada hutan. Hutan dapat menjadi
sistem mata pencaharian bagi masyarakat Marind. Bukan hanya persoalan hasil
hutannya semata, namun terkait dengan aspek lingkungan misalnya sungai

4. Paradigma Ekologi: Orientasi Ekonomi Tidak Sejalan Dengan Masyarakat


Adat
Grand Design MIFEE (2010) menyebutkan bahwa: “untuk memperkuat stock
atau cadangan pangan dan bioenergi nasional dalam rangka memantapkan dan
melestarikan ketahanan pangan nasional serta memasuki pasar bahan pangan dunia
melalui ekspor produk pangan yang dihasilkan, ditempuh dengan memanfaatkan
keunggulan komparatif wilayah berupa potensi lahan pertanian skala luas dan subur
dengan tetap menjaga dan melestarikan lingkungan hidup”. Namun faktanya, stok atau
cadangan pangan pada program MIFEE memiliki hasil yang cukup unik.
Situasi MIFEE merupakan indikasi adanya land grabbing atau perampasan
lahan. Menurut Bollin (2010) perampasan lahan dapat terjadi karena adanya krisis
keuangan, krisis pangan, krisis energi, dan krisis iklim. Pemicu adanya land grabbing
adalah dikarenakan adanya permintaan pangan dunia untuk dasar ketahanan pangan
(Borras dan Franco 2012). Pemerintah menjadikan MIFEE atau food estate untuk
memenuhi pasokan pangan sebagai alibi perampasan lahan yang mengakibatkan
perampasan lahan di masyarakat Marind lazim terjadi. Hal ini dibebabkan oleh adana
permintaan dunia, maka Indonesia tergiur untuk mendatangkan investor dan
mengalihkan rezim kepemilikan suatu hutan dari yang awalnya milik masyarakat Adat
menjadi miliki privat.
Salah satu kegagalan MIFEE adalah tidak sesuainya target dengan realisasi
pelaksanaan pemanfaatan lahan. Targetnya minimal luas lahan 1000 Ha memiliki
komposisi 70% tanaman pangan, 9% peternakan, 8% perikanan, 8% perkebunan, 5%
komoditas lain (Santosa 2014). Namun hasilnya, komposisi menjadi kayu industri
sebanyak 970.000 Ha, sawit sebanyak 300.000 Ha, tanaman pangan sebanyak 69.000
Ha (Keiya 2019).
Diskrepansi tersebut menjelaskan bahwa pelaksanaan MIFEE tidak sesuai
dengan grand design. Dampak lainnya terhadap masyarakat Marind adalah semakin
sempitnya hutan yang diakses sehingga sumberdaya yang didapatkan semakin
berkurang. Akibatnya masyarakat kesulitaan untuk mendapatkan daging rusa dan sagu,
tidak semudah ketika hutan belum dijadikan sebagai wilayah khusus untuk 36
perusahaan tersebut.
Masyarakat Marind memandang hutan sebagai ibu, dengan begitu segala bentuk
penghormatan dilakukan dengan menerapkan etika dan cara pandang yang sangat
ekosentris. Hutan menyediakan daging rusa, sagu, bahkan obat-obatan. Pesta adat yang
diselenggarakan tidak akan terlepas dari adanya pegnambilan hasil hutan yang
bijaksana. Hutan sudah ibarat seorang ibu yang memberikan banyak hal untuk tumbuh
kembang anak-anaknya sehingga mampu hidup dengan baik. Hal ini tentu akan berbeda
ketika cara pandangnya adalah melalui antroposentris, atau terlalu terob sesi dengan
ekonomi. Hutan menjadi ladang uang yang menggiurkan, banyak pohon industri yang
bisa ditebang dan dijual atau hutan yang dikonversi menjadi ladang uang melalui
tanaman perkebunan yang sama sekali tidak serupa dengan fungsi hutan sebagaimana
mestinya.
Tabel 4 Paradigma Ekologi dan Hubungan dengan MIFEE
Paradigma Penjelasan Hubungan dengan MIFEE
Antroposentrisme Manusia adalah sentra Perusahaan-perusahaan yang tergabung di
yang memiliki nilai, dalam proyek MIFEE memiliki indikasi
makhluk hidup lainnya ekonomi sentris.
dianggap tidak memiliki
nilai. Hal ini menjadi salah Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan
satu tanda bahaya dari grand design MIFEE “...memasuki
mengingat apabila hutan pasar bahan pangan dunia melalui ekspor
(makhluk hidup lainnya) produk pangan yang dihasilkan”
dianggap tidak memiliki
nilai moral, maka tindakan Artinya, fokus dari program MIFEE adalah
eksploitasi dan untuk ekonomi (ekspor), pada faktanya
pengalihfungsian menjadi tidak ada tanggungjawab moral
hal yang bisa lumrah masayarakat adat dan hutan setempat.
terjadi. Dengan begitu, hutan hanya dijadikan
sebagai ladang bisnis dan ekonomi sentris
yang tidak sesuai dengan pandangan para
masyarakat Marind.
Biosentrisme Manusia dan makhluk
hidup lainnya memiliki
nilai.
Ekosentrisme Lanjutan dari Tercermin pada masyarakat Marind. Hutan
biosentrisme, bahwa tidak memang dijadikan sebagai sumber
hanya makhluk hidup lain penghidupan, hal itu lantas tidak
(biotik) yang memiliki menjadikan masyarakat Marind
nilai moral melainkan menjadikan hutan sebagai ladang bisnis.
makhluk tak hidup Hal demikian masuk ke dalam kearifan
(abiotik) yang memiliki lokal dari dimensi keterampilan lokal dan
nilai moral. sumberdaya lokal. Dimana
pemanfaatannya menggunakan
pengetahuan lokal yang bijak sehingga
untuk mengambil hasil hutan pun
dilakukan dengan sangat hatihati dan
menghargai setiap apa yang ada di hutan.

Dengan demikian, padnangan hutan


menurut masyarakat adat cenderung
melalui suatu gagasan atau pengetahuan
lokal dengan mengedepankan konsep
lestari dan sakral, karena apabila merusak
hutan maka sama saja dengan menyakiti
mama.
Cara pandang yang berbeda tentu akan memanifestasikan konflik di antara dua
kepentingan tersebut. Akar masalahnya adalah hutan yang selama ini disosialisasikan
dengan sakral sebagai sistem penghidupan dan wahana kebudayaan masyarakat Marind
diambil. Akibatnya ketika hutan menjadi rusak atau tidak sesuai fungsinya, maka akan
berpengaruh kepada aspek kebudayaan lainnya.
Hal ini berkaitan pula dengan adanya sistem kepemilikan lahan yang
berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat Marind. Menurut USAID (2006)
terdapat rezim property yang menyebabkan perbedaan akses dan kontrol:
1) Private Property atau kepemilikan individu/pribadi, yaitu kepemilikan yang hak
atas memiliki sesuatu melekat dengan jelas melalui sistem privasi sehingga tidak
sembarang orang asing boleh mengakses sumberdaya atau subjek agraria
tersebut. Misalnya perusahaan.
2) Common Property atau kepemilikan bersama, yaitu kepemilikan yang dimiliki
oleh sekelompok orang. Misalnya masyarakat adat.
3) State Property atau kepemilikan negara, yaitu kepemilikan yang aturannya
ditetapkan oleh negara.
4) Open Access atau akses terbuka, yaitu tidak ada yang memiliki sumberdaya atau
subjek agraria tersebut sehingga tidak ada ikatan aturan yang berlaku.
Hutan merupakan rezim kepemilikan bersama bagi masyarakat Marind. Segenap
aturan mengikat atas siapa-siapa saja yang boleh dan dilarang untuk mengakses hutan
atau sumber agraria tersebut. Jika kepemilikan itu diintervensi oleh suatu kebijakan,
maka dapat berubah menjadi private, state, atau bahkan menjadi open access apabila
setelah dipindah alihkan lalu ditelantarkan. Perubahan rezim tersebut mengakibatkan
terbatasnya akses yang dimiliki oleh masyarakat Marind terhadap hutan. Berikut
merupakan dampak-dampak yang terjadi ketika akses hutan yang berubah menjadi
kepemilikan pribadi, bukan oleh masyarakat Marind (Keiya 2019):
1) Kampung Zanegi, yang merupakan rumah hidup masyarakat Marind, sudah
kesulitan mendapatkan sagu dan bumi (hutan) terasa tandus.
2) Sungai menjadi keruh, berminyak, dan ikan tercemar. Akibatnya untuk
mendapatkan ikan dan air bersih perlu mencari tempat yang jauh.
3) Anak-anak banyak yang mengalami gizi buruk karena kesulitan mendapatkan
pangan dari hutan.
4) Mata pencaharian sulit, yang biasanya bisa menjual hasil hutan berupa daging
rusa dan sagu dengan mudah, sekarang kemiskinan mulai menjadi teror yang
nyata bagi masyarakat Marind. Migrasi ke kota meningkat karena memang mata
pencaharian di tempat asal sudah tidak menjanjikan. Perekonomian di kampung
Zanegi sebelum adanya PT SIS bisa mencapai pemasukan 6.000.000 per bulan
dari hasil penjualan daging buruan, 1kg dijual sebanyak 15.000 rupiah.
5) Dahulu, pohon dari hutan dimanfaatkan untuk alat musik. Sekarang banyak
pohon yang ditebang dan dijual.
6) Kawasan hutan kramat, sudah dipastikan mulai menghilang.
Kesulitan masyarakat Marind untuk mengakses sumberdaya lokal dapat
menyebabkan kemiskinan struktural. Kemiskinan Struktural adalah kemiskinan yang
terjadi karena struktur sosial masyarakat dengan ketidakmampuan mengakses
sumberdaya tertentu. Bisa dikarenakan adanya intervensi elit dan marginalisasi.
5. Fenomena Partisipasi Manipulatif dalam Food Estate
Partisipasi manipulatif memiliki kesan jahat dan tidak sejalan dengan
pembangunan masyarakat. Partisipasi manipulatif disuarakan oleh Arnstein (1969)
dan Pretty (1995). Berikut merupakan perbedaan definisi partisipasi manipulatif:

Tabel 5 Perbedaan Definisi Partisipasi Manipulatif Antara Arnstein (1969) dan


Pretty (1995)

Arnstein (1969) Pretty (1995)


Merupakan partisipasi dari tingkatan Disebut juga sebagai partisipasi “pura-
terendah. Biasanya masyarakat direkrut pura”. Masyarakat terintegrasi, tetapi
sebagai komite atau badan nasehat, sebenarnya dari stakeholder pembuat
tujuannya adalah agar program yang kebijakan atau pemerintah, tidak
dibawa mendapatkan dukungan dari memberikan masyarakat kekuasaan.
setempat. Manipulasi ditandai dengan
dijadikannya masyarakat yang terlibat
sebagai public relations bagi para agen
eksternal. Misalnya di dalam program
pembaharuan desa, dimana asumsi dari
masyarakat setempat menyatakan
bahwa program tersebut memang
dibutuhkan. Padahal, masyarakat sendiri
yang direkrut sebenarnya hanya
dimanipulasi agar masyarakat setempat
merasa percaya dan butuh akan program
tersebut.

Interpretasi yang didapatkan dari penjelasan dua tokoh di atas adalah bahwa
partisipasi manipulatif tidak hanya sebatas partisipasi formalitas, tidak berarti partisipasi
sebenarnya. Kebenaran partisipasi harusnya dapat mengacu pada bentuk partisipasi
Cohen dan Uphoff (1980) yang menyatakan bahwa setidaknya partisipasi melewati dari
mulai partisipasi dalam pengambilan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan,
partisipasi dalam menikmati hasil, serta partisipasi dalam evaluasi. Pada kenyataannya,
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh masyarakat Marind tidak dilandaskan asas
apa yang menjadi needs bagi masyarakat Marind. Penandatanganan surat penghargaan
dari PT SIS kepada masyarakat Marind menjadikan partisipasi tersebut terlihat sangat
manipulatif, seakan disetujui tetapi pada akhirnya masyarakat Marind merasa dirugikan.
Masyarakat Marind hanya dijadikan sebagai objek formalitas atas legalitas yang tidak
mencapai kesepakatan yang sebenarnya.
Adopsi teknologi tidak serta merta cepat dan instan dan dapat menimbulkan
polemik di kemudian hari. Akibatnya partisipasi akan berujung semu. Jika program food
estate mencapai hasil positif tentang partisipasi masyarakat lokal, tentu tidak akan
menimbulkan gejolak konflik yang menyebabkan masyarakat tereksklusi dari
pembangunan.
Inovasi merupakan sesuatu yang memiliki keuntungan relatif dan biasanya
berupa hal baru yang dapat diterapkan kepada masyarakat. Untuk mengadopsi suatu
inovasi, tentu sangat diperlukan kehati-hatian dan kesabaran. Namun, pada
kenyataannya pada saat melakukan program MIFEE dan bahkan food estate, proses
adopsi tidak ditekankan. Dalam proses adopsi, tentu memiliki tahapannya. Tahapannya
ada lima:
1) Tahap pengetahuan, ditandai dengan rasa ingin tahu suatu subjek sehingga dapat
membuka diri apabila terdapat suatu inovasi.
2) Tahap persuasi, ditandai dengan aspek sikap dengan menilai suka atau tidak
suka dari subjek terhadap suatu inovasi.
3) Tahap keputusan, ditandai dengan menolak apabila tidak suka atau menerima
apabila suka. Sebenarnya tidak selalu begitu, bisa saja mungkin tidak suka
namun tetap menerima, biasanya ada faktor lain misalnya tuntutan atau insentif.
4) Tahap implementasi, ditandai dengan keaktifan mental maupun tindakan
terhadap implementasi inovasi.
5) Tahap konfirmasi, ditandai dengan adanya penguatan dari subjek. Apabila suatu
inovasi tersebut dinilai memiliki manfaat atau keuntungan relatif yang sesuai,
maka objek akan mencari penguatan dengan melanjutkan. Demikian sebaliknya.
Adopsi inovasi dengan lima tahapan tersebut diperlukan untuk memunculkan
partisipasi yang penuh dari suatu program perlu adanya. Jangan sampai masyarakat
dibodohi oleh kebijakan, suatu hak bagi masyarakat untuk menolak apabila tidak ingin
mengadopsi suatu inovasi. Menolak merupakan salah satu bentuk partisipasi dalam
pengambilan keputusan. Jika partisipasi tidak tercapai, maka ketika program MIFEE
masih terus berjalan hanya akan menyebabkan marginalisasi bagi masyarakat. Menurut
Perlman (2010), marginalisasi terdiri dari Marginalisasi Sosial dan Marginalisasi
Budaya. Marginalisasi Sosial adalah keadaan ketika masyarakat terisolasi hidupnya
dengan tidak mendapatkan ruang untuk mengakses sumberdaya. Marginalisasi Budaya
adalah keadaan ketika masyarakat terisolasi dengan tidak diberikan ruang terkait suku,
agama, ras, dan adat (SARA) sehingga implementasi suatu kebudayaan menjadi tidak
optimal atau disulitkan.
Pada kasus MIFEE, marginalisasi sosial ditandai dengan masyarakat adat yang
tidak dapat mengakses sumber daya dari hutan karena adanya rezim properti yang
berubah. Sehingga untuk mencari hewan buruan, obat-obatan, dan pangan lainnya
mengalami kesulitan dan harus mencari ke daerah lain. Hal tersebut menjadikan
masyarakat terisolasi, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan pun harus pergi ke kota
karena tidak disediakan sama oleh perusahaan. Kemudian marginalisasi budaya yang
ada di masyarakat tergambar ketika masyarakat perlahan kehilangan identitas menjadi
masyarakat Marind. Totemisme terganggu karena hutan yang hilang, kearifan lokal
tentang paradigma ekosentrisme yang menganggap hutan sebagai mama tidak lagi
menjadi hal sakral jika pada kenyataannya dirusak sendiri aturannya oleh orang luar
(perusahaan). Akibatnya, menyelenggarakan adat istiadat terganggu.

Solusi dan Saran

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa permasalahan terkait program


MIFEE atau yang diperbaharui lagi dengan istilah Food estate oleh pemerintah bukan
merupakan permasalahan kecil sehingga perlu dianalisis dan ditindak lanjuti.
Permasalahan yang diakibatkan dari program food estate secara nyata salah satunya
dapat dirasakan oleh masyarakat khususnya masyarakat Marind yang sudah jelas
semakin terekslusi yang dilatar belakangi oleh hutan terkonversi dan berubah fungsinya.
Istilah eksklusi tentu melibatkan aktor-aktor sebagai pihak yang mengeklusi dan pihak
yang terekslusi dimana keduanya sama sama memiliki kepentingan terhadap SDA.
Perdebatan dari masing masing aktor semakin tajam karena menyangkut rezim
kepemilikan yang secara umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu common property
dan private property. Objek utama yang jelas terlihat adalah perubahan system tenurial
di wilayah/kawasan hutan. Akibat dari adanya hutan yang disekap oleh korporasi
menyebabkan beberapa permasalahan yang menjadi isu yang perlu diperhatikan. Jika
dilihat dari segi ekonomi yang dikaitkan dengan inovasi yang diadopsi masih tidak
ditekankan baik saat program MIFEE bahkan food estate. Hal itu memperkuat
pernyataan yang sebelumnya karena untuk dapat memunculkan partisipasi masyarakat
yang penuh dari suatu program perlu adanya pengadopsian inovasi dari masyarakat
lokal itu sendiri. Jika partisipasi tidak tercapai maka yang terjadi adalah marginalisasi.
Dalam jangka waktu sekarang marginalisasi juga sudah jelas terlihat khususnya pada
masyarakat adat. Marginalisasi sosial ditandai dengan masyarakat adat yang tidak dapat
mengakses sumberdaya dari hutan karena adanya rezim property yang berubah.
Marginalisasi budaya yang ada di masyarakat tergambar ketika masyarakat adat
perlahan kehilangan identitas.
Dari hasil kajian yang telah kami lakukan, program food estate sejatinya dapat
berjalan dengan baik apabila dalam proses perencanaan, aksi, monitoring, dan
evaluasinya dapat dikaji dan dianalisis ulang lebih mendalam. Justru yang menjadi
permasalahan dalam menghadapi krisis pangan sebagai dampak akibat pandemi
COVID-19 seperti saat ini adalah bagaimana mengupayakan pengadaan dan distribusi
pangan nasional agar berjalan maksimal di tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB). Terlebih jikalau meninjau keadaan ekonomi dan ketergantungan hidup
masyarakat terhadap lahan untuk tanaman pangan seperti saat ini. Proses pengadaan
food estate yang kurang matang dikhawatirkan akan menimbulkan dampak dan
kerugian yang besar terhadap kehutanan dan lingkungan, sosial ekonomi masyarakat,
dan sebagainya dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Oleh karenanya, kami merekomendasikan beberapa saran terhadap jalannya
program food estate ini. Kami menawarkan beberapa solusi untuk meminimalisir
kemungkinan kerugian terhadap program food estate ini, antara lain :
1. Melakukan evaluasi terhadap kegagalan food estate sebelumnya dengan cara
mengkaji dan meninjau ulang dampak yang ditimbulkan, proses perencanaan,
monitoring, dan keberlanjutan food estate untuk sekarang dan jangka panjang.
Kegiatan pengawasan dalam jangka waktu tertentu juga diperlukan untuk
memastikan lahan yang digunakan tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain.
2. Pemerintah mengembalikan fungsi hutan lindung bukan mengubahnya secara
keseluruhan menjadi lahan proyek food estate. Kepastian hukum mengenai fungsi
hutan lindung juga harus menjadi prioritas dengan cara memastikan lahan yang
digunakan food estate tetap selektif di kawasan hutan.
3. Kerja sama dengan LSM pemerhati kehutanan dan lingkungan. Hal ini
memungkinankan terkumpulnya data secara maksimal dan substantif dengan
memanfaatkan elemen sumberdaya manusia yang banyak.
4. Intensifikasi lahan pertanian dengan mengakomodasi beragam teknologi di bidang
pertanian dan subsidi yang tepat sasaran.
5. Keterbukaan data dan informasi. Data dan informasi mengenai segala aspek yang
dikerjakan dalam food estate sangat berguna dalam meluruskan pemahaman dan
kepercayaan masyarakat. Selain itu, keterbukaan data dan informasi diperlukan agar
kita mengamatinya memakai data yang sama; data kehutanan, data food estate, data
investor.
6. Terkait pangan Indonesia sendiri, kami percaya kalau pemerintah menjaga hutan dan
gambut, itu berkontribusi pada penanggulangan krisis iklim, sehingga pertanian akan
bagus. Kalau hutan kacau, microclimate rusak, pertanian akan jelek. Jadi komitmen
iklim itu akan bagus buat ketahanan pangan Indonesia.
7. Melindungi lahan pertanian yang ada karena laju konversi lahan pertanian ke non
pertanian yang tinggi dan mempertimbangkan pencabutan perlindungan lahan
pertanian abadi.
8. Memaksimalkan reforma agraria untuk kesejahteraan petani.
Daftar Pustaka

Anonymous. 2020 Sep 20. Lumbung pangan: Proyek 'food estate' di lahan gambut
dituding ancam kebakaran lahan, KLHK sebut justru dapat meminimalisir bencana.
BBC.com. Indonesia. [diakses 2021 Mei 26].
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54284365
Arnstein SR. 1969. A Ladder Of Citizen Participation. Journal of the American Institute
of Planners. J Am Inst Plann. 35 November 2012:37–41.
https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01944366908977225.
Bidang Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur
2013, Penyelenggaraan program transmigrasi di Provinsi Kalimantan Timur,
Samarinda.
Bollin A. 2011. Fenomena Global Perampasan Tanah. DTE 89-90. November 2011.
Borras dan Franco. 2012. Global Land Grabbing and Trajectories of Agrarian Change A
Preliminary Analysis. Journal of Agrarian Change 12(1) 34-59.
Bryant RL. and Bailey S. 1997. Third World Political Ecology. London: Routledge
Cohen J, Uphoff N. 1980. Participation’s place in rural development: Seeking clarity
through specificity. World Dev. 8: 213–235.
Dewi R. 2012. Dilema Percepatan Pembangunan Dan Permasalahan Pembangunan
Berkelanjutan Dalam Pelaksanaan MIFEE Di Merauke. Ejournal Politik Lipi. 9(1):
47-57
Eryan A, Shafira D, Wongkar EELT. 2020. Analisis Hukum Pembangunan Food Estate
Di Kawasan Hutan Lindung, Seri Analisis Kebijakan Kehutanan dan Lahan.
Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law.
Ginting, L and Pye, O 2013, ‘Resisting agribusiness development: The Merauke
Integrated Food and Energy Estate in West Papua, Indonesia’, ASEAS - Austrian
Journal of South-East Asian Studies, 6(1), pp. 160–182.
Keiya R. 2019. Merauke Integrated Food And Energy Estate (Studi kasus land grabbing
di Merauke Papua) [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineke Cipta.
Marie Y. 2020 Des 7. Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah, untuk Siapa?. Hutan.
[diakses 2021 Mei 28]. https://www.mongabay.co.id/2020/12/07/proyek-food-
estate-di-kalimantentengah-untuk- siapa/
McCarthy, JF and Obidzinski, K 2015, ‘Responding to food security and land questions:
Policy principles and policy choices in Kalimantan, Indonesia’, in Land grabbing,
conflict and agrarian environmental transformations: perspectives from East and
Southeast Asia An international academic

Anda mungkin juga menyukai