Anda di halaman 1dari 8

Manajemen Trauma Healing Terhadap Bencana

A. Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2007).
Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan
lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah kejadian dan
intensitas bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor dan kekeringan) yang terjadi
secara silih berganti di banyak daerah di Indonesia.
Bencana alam dapat mengakibatkan dampak yang merusak pada bidang ekonomi, sosial
dan lingkungan. Kerusakan infrastruktur dapat mengganggu aktivitas sosial, dampak dalam
bidang sosial mencakup kematian, luka-luka, sakit, hilangnya tempat tinggal dan kekacauan
komunitas, sementara kerusakan lingkungan dapat mencakup hancurnya hutan yang
melindungi daratan. Bencana seperti banjir pun dapat memakan korban yang signifikan pada
komunitas manusia karena mencakup suatu wilayah tanpa ada peringatan terlebih dahulu
dan dapat dipicu oleh bencana alam lain seperti hujan lebat. (Ade Rahman, 2018)
Bencana Alam dapat terjadi sebagai akibat perilakudan adanya peristiwa alam. Bencana
alam sebagai akibat dari perilaku sebagai contohnya adalah fenomena banjir akibat
penebangan liar atau tata kota yang tidak tertata dengan benar. Sementara itu ada juga
bencana alam yang murni merupakan akibat dari peristiwaalam. Karenanya peristiwa
geologi dan psikologi sangat erat kaitannya. Berbagai tempat di Indonesia pemah mengalami
bencana alam yang amat dahsyat. Gunung Galunggung di Jawa Barat pemah meletus dengan
menelan korban nyawa, harta.dan benda yang tidak sedikit. Bemlangkali hampirtiaptahun
Gunung Merapi diYogyakarta menyemburkan wedusgembel. Kasus lumpurpanasdi Sidoatjo
juga bencana yang mengakibatkan korban yang lumayan besar. Bukan hanya bencana
vulkanik, tetapi bencana tektonik acapkali terjadi di Indonesia. Misalnya, pada tahun 2002
terjadi bencana tektonik yang menyebabkan Lampung porak poranda. Banyakrumah-rumah
roboh, nyawa manusia melayang sia-sia. (Koentjoro, 2007)
Berbagai peristiwa traumatik banyak terjadi di Indonesia. Peristiwa traumatik tersebut
tidak hanya dalam bentuk konflik dan kekerasan secara sosialsaja. Peristiwa traumatik di
Indonesia antara lain kerena faktor alam seperti tsunami, gempa, banjir, kebakaran, dan
erupsi gunung berapi. Dari berbagai peristiwa konflik yang terjadi di Indonesia, pengungsian
selalu mengikuti dan menimbulkan masalah psikososial bagi masyarakat dengan
penyelesaianyang tidak mudah. Masalah psikologis yang ditimbulkan oleh konflik memberi
efek yang lebih dalam bagi masyarakat mengalaminya. (Latipun, 2014)
B. Trauma
Trauma pada korban bencana alam tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Agar korban
bencana dapat terus melanjutkan kehidupannya secara normal, maka diperlukan terapi
trauma/pemulihan trauma (trauma healing). Trauma healing adalah salah satu kebutuhan
utama bagi korban bencana. Dengan terapi trauma healing diharapkan korban bisa benar-
benar sembuh dari traumanya dan dapat menjalani kehidupannya sebagaimana sebelum
bencana terjadi. Trauma Healing sangat diperlukan di Indonesia yang merupakan Negara
rawan bencana alam, mulai dari banjir, tanah longsor, gempa dan lain sebagainya. Bencana
alam tersebut banyak menimbulkan kerugian dan kesedihan pada korbannya. Bahkan tak
jarang pula korban bencana alam mengalami trauma berat akibat bencana. Ketakutan
terhadap bencana adalah reaksi yang sangat umum dialami oleh korban bencana. Terkadang
korban bencana mengalami pengulangan ingatan mengena bencana tersebut yang kemudian
dapat berkembang lebih serius menjadi rasa hilangnya emosi, atau bahkan mengalami
insomnia, dan waspada berlebihan. Pada anak-anak trauma terhadap bencana alam dapat
merenggut keceriaan anak. Ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk melakukan trauma
healing. terapi trauma healing dapat dilakukan dengan pemberian obat atau terapi psikis.
Pada prisnipnya trauma healing yang diberikn pada orang dewasa dan berbeda pada anak-
anak. Pada anak-anak trauma healing dapat dilakukan melalui beberapa metode, yang
pertama adalah melalui teknik play teraphy pada anak. Dengan menggunakan pla therapy
pada anak akan diajak mengatasi traumanya melalui media permainan. Metode lain yaitu
dengan terapi melalui tari, dengan tari anak dapat mengekspresikan emosi yang ada di dalam
dirinya. Hal ini dikarenakan tari bersifat rekreatif. (Ade Rahman, 2018)
Trauma merupakan suatu kejadian pisik atau emosional serius yang menyebabkan
kerusakan substansial terhadap pisik dan psikologis seseorang dalam rentangan waktu yang
relative lama (Weaver, Flannelly, dan Preston, 2003). Sementara trauma psikis dalam
psikologi diartikan sebagai kecemasan hebat dan mendadak akibat peristiwa dilingkungan
seseorang yang melampaui batas kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau
menghindar. Di samping itu, trauma adalah suatu kondisi emosional yang berkembang
setelah suatu peristiwa trauma yang tidak mengenakkan, menyedihkan, menakutkan,
mencemaskan dan menjengkelkan, seperti peristiwa: pemerkosaan, peperangan, kekerasan
dalam keluarga, kecelakaan, bencana alam dan peristiwa-peristiwa tertentu yang membuat
batin tertekan (Lawson, 2001; Kinchin, 2007). Trauma psikis terjadi ketika seseorang
dihadapkan pada peristiwa yang menekan yang menyebabkan rasa tidak berdaya dan
dirasakan mengancam. Reaksi umum terhadap kejadian dan pengalaman yang traumatis
adalah berusaha menghilangkannya dari kesadaran, namun bayangan kejadian itu tetap
berada dalam memori.
C. Model Konseling Trauma
Layanan konseling trauma pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua korban selamat yang
mengalami stres dan depresi berat, baik itu orang tua maupun anak-anak. Anak-anak perlu
dibantu untuk bisa menatap masa depannya dan membangun harapan baru dengan kondisi
yang baru pula. Bagi orang tua, layanan konseling trauma akan membantu mereka memahami
dan menerima kenyataan hidup saat ini; untuk selanjutnya mampu melupakan semua tragedi
dan memulai kehidupan baru.Di samping untuk menstabilkan kondisi emosional, layanan
konseling trauma bagi orang tua idealnya juga memberikan keterampilan yang dapat dijadikan
modal awal memulai kehidupan baru dengan pekerjaan-pekerjaan baru sesuai kapasitas yang
dimiliki dan daya dukung lingkungan. Dengan demikian, mereka bisa sesegera mungkin
menjalani hidup secara mandiri sehingga mereka tidak terus-menerus menyandarkan
kehidupannya pada orang lain, termasuk pada pemerintah. Untuk mencapai efektivitas
layanan, konseling trauma dilakukan dengan dua format, yaitu format individual (untuk
korban yang tingkat stres dan depresinya berat), dan format kelompok (untuk individu yang
beban psikologisnya masih pada derajat sedang). (Herman Nirwana, 2012)
Sebelum pelaksanaan layanan konseling diberikan, langkah pertama adalah menciptakan
rasa aman (Weaver, dkk. 2003). Bagi individu yang mengalami trauma, dunia ini dirasa tidak
aman dan nyaman. Oleh sebab itu, mereka memerlukan orang lain yang bisa memberikan
perlindungan dan rasa nyaman pada mereka, sehingga mereka merasa tidak sendirian dalam
hidup ini. Penciptaan rasa aman teresebut bisa dilakukan dengan mengadakan permainan yang
bias mendorong individu untuk melupakan sejenak peristiwa traumatis yang dialaminya. Bagi
individu yang mengalami trauma karena perampokan di tempat kerja, penciptaan rasa aman
bisa dilakukan dengan memberi izin untuk tidak masuk kerja dalam beberapa hari; dan bagi
yang kena rampok di rumah, bisa dilakukan dengan pindah rumah buat sementara.
Pendekatan klasikal bisa diterapkan untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan rasa
takut yang tidak adaptif (Prawitasari, 2011). Salah satu teknik yang digunakan secara luas
bagi klien yang mengalami masalah kecemasan karena peristiwa traumatis adalah disensitisasi
sistematik (Holden, dalam Locke, Myers, dan Herr, 2001; George dan Cristiani, 1995).
Prawitasari (2011: 159) menyebutnya dengan istilah “nirpeka beraturan”. Teknik ini
didasarkan atas prinsip classical conditioning. Asumsi dasar yang mendasari teknik ini adalah
bahwa semua perilaku individu terbentuk melalui pengalaman atau hasil belajar, dan untuk
mengubah, memodifikasi atau menghilangkan perilaku tersebut juga melalui belajar. Oleh
sebab itu, responsi terhadap kecemasan itu bias dipelajari atau dikondisikan (Wolpe, dalam
Hock, 1999), dan proses ini disebut dengan terapi (Corey, 2012).
Sebelum disensitisasi dimulai, konselor melakukan konseling untuk mengetahui
informasi spesifik tentang kecemasan klien guna memahami latar belakang diri klien secara
komprehensif. Konselor harus mengidentifikasi gejala-gejala trauma atau PTSD yang dialami
oleh klien (Lawson, 2001) dengan menanyakan kepada klien tentang kondisi atau peristiwa
khusus yang memicu rasa takut tersebut. Hal ini bisa dilakukan jika klien merasa nyaman, dan
rasa nyaman itu diciptakan oleh konselor.
Setelah penyulut kecemasan terdeteksi, konselor bersama klein menyusun daftar urutan
situasi yang menyulut kecemasan dalam bentuk hirarki, mulai dari situasi yang menimbulkan
kecemasan rendah sampai tinggi (Wolpe, dalam Hock, 1999; Holden, dalam Locke, Myers,
dan Herr, 2001). Jumlah tahapan atau hirarki urutan kecemasan yang disusun tergantung pada
tingkat kecemasan yang dialami klien, biasanya sampai lima, enam, atau lebih (Wolpe, dalam
Hock, 1999). “Dalam teknik ini, klien dilatih dulu untuk relaksasi kemudian secara bertahap
relaksasi ini dipasangkan dengan situasi yang menakutkannya sampai akhirnya ia dapat
mengatasi rasa takutnya” (Prawitasasi, 2011: 159).
Proses disensitisasi dimulai dengan menyuruh klien duduk dalam keadaan santai dan
nyaman sambil memejamkan matanya. Teknik ini disebut latihan rileksasi, yaitu proses
penegangan dan pengenduran berbagai otot, seperti lengan, tangan, wajah, perut, kaki, dan
lain sebagainya (Wolpe dalam Hock, 1999). Setelah klien merasa rileks, ia diminta untuk
membayangkan sesuatu yang paling sedikit menimbulkan kecemasan sesuai dengan hirarki
yang telah disusun. Apabila klien masih bias santai dalam membayangkan peristiwa tersebut,
konselor bisa bergerak maju dalam hirarki selanjutnya sampai klien memberi isyarat bahwa
pada situasi itulah dia mengalami kecemasan, dan pada saat itu pula skenario dihentikan
(Wolpe, dalam Hock, 1999). Klien disuruh membuka matanya dan disuruh duduk santai.
Apabila klien tidak bersedia melanjutkan pada hirarki kecemasan yang lebih tinggi,
konselor bersama klien membahas secara mendalam apa yang dialaminya, atau
melanjutkannya pada konseling berikutnya. Sebaliknya bila klien bersedia melanjutkan
konseling, pengendoran ketegangan dimulai lagi dan dilanjutkan dengan hirarki kecemasan
yang lebih tinggi lagi
D. Model layanan bimbingan
Berbagai model layanan bimbingan menurut Edi Purwanta (2010) dalam makalah
disampaikan pada Diklat Pendampingan Anak Berkebutuhan Khusus Korban Erupsi Merapi
telah dikonstruksikan untuk membantu mereka, tetapi model yang sesuai sangat tergantung
pada masalah dan kondisi lingkungan pendukungnya (keluarga utamanya orangtua,
significant’ others yang membantu mereka). Salah satu model umum adalah Sequentially
Planned Integrative Counseling for Children (Model SPICC). Model ini merupakan model
integratif yang telah memperoleh dukungan riset sejak tahun 1995 (Geldard dan Geldard,
2010). Secara skuential model tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Model SPICC ini bila digambarkan dalam tabel sebagai berikut:
Sequentially Planned Integratif Counseling for Children (SPICC)
Fase Proses yang dibutuhkan Pendekatan Metode/strategi
Fase 1  Anak bergabung dengan Konseling Berbagi cerita akan
konselor berbasis membantu anak-anak
 Anak mulai klien mulai merasa lebih baik
menceriterakan kisah
mereka

Fase 2  Anak melanjutkan kisah Terapi Memunculkan


mereka gestalt kesadaran anak-anak
 Kesadaran anak membuat anak-anak
terhadap masalah mulai mampu mengenali
meningkat masalah secara jelas,
 Anak-anak mulai berhubungan dengan
berhubungan dengan emosi dan melepaskan
emosi dan mungkin emosi tersebut
mengalami perasaan
terharu
 Anak-anak akan
membelokkan
pembicaraan dan
menunjukkan resistensi

Fase 3 Anak-anak Terapi Merekonstruksi dan


mengembangkan perspektif naratif menebalkan kisah yang
atau pandangan yang lebih dimasalahkan
berbeda terhadap dirinya. anak-anak dan
memperkuat perspektif
mereka
Fase 4  Anak-anak Terapi Proses menantang
berhubungan dengan perilaku pikiran yang tidak
keyakinan yang kognitif membantu
merusak diri menghasilkan
 Anak-anak mencari opsi perubahan sikap
dan pilihan

Fase 5 Anak-anak berlatih Terapi Merasakan sikap baru


merasakan dan perilaku dan menghasilkan
mengevaluasi sikapnya penguatan pada sikap
yang baru adaptif

DAFTAR PUSTAKA
Kinchin, D. 2007. A Guide to Psychological Debriefing. London: Jessica Kingsley
Publishers.

Koentjoro, Budi Andayani. 2007. Recovery Kawasan Bencana: Perwujudan Trauma


Healing Melalui Kegiatan Psikologi dan Rohani. UNISIA No 63/XXX/I/2007

Latipun. 2014. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi “Pemulihan Trauma Berbasis
Komunitas: Pengalaman Indonesia dalam Intervensi Trauma Massal”. Volume
2 (3) 278-285

Nirwana, Herman. 2012. Konseking Trauma Pasca Bencana. Vol 15 No 2 (Desember


2012)

Prawitasari, J.E. 2011. Psikologi Klinis:Pengantar terapan mikro & makro. Jakarta:
Penerbit Erlangga

Purwanta, Edi. 2010. Diklat Pendampingan Anak Berkebutuhan Khusus Korban Erupsi
Merapi.

Rahman, Ade. 2018. Analisa Kebutuhan Program Trauma Healing Untuk Anak-Anak
Pasca Bencana Banjir Di Kecamatan Sungai Pua Tahun 2018 : Implementasi
Manajemen Bencana. Vol XII No 7 Juli 2018
Undang undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Weaver, A.J., Flannelly, L.T., dan Preston, J.D. 2003. Counseling Survivors of Traumatic
Events: A handbook for pastors and other helping professional. Avenue South,
Nashville: Abingdon Press.

Siyoto, S., & Sodik, M. A. (2015). Dasar Metodologi Penelitian. Literasi Media Publishing.

Sodik, M. A. (2014). Sikap Pencegahan Aborsi Ditinjau Dari Pengetahuan Tentang Bahaya Dan
Resiko Kesehatan. Strada Jurnal Kesehatan http://publikasi. stikesstrada. ac.
id/wpcontent/uploads/2015/02/9-SIKAP-SIKAPPENCEGAHAN-ABORSI. pdf.

Sodik, M. A., Kesehatan, D. P., & STRADA, I. P. P. I. S. (2016). Leprosy Patients in public
perception: A qualitative study of patient confidence (dis) in the Community. Journal
of Global Research in Public Health, 2(1), 82-89.
Sodik, M. A., Suprapto, S. I., & Pangesti, D. (2013). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Pelaksanaan Pelayanan Prima Pegawai Di Rsui Orpeha Tulungagung. STRADA Jurnal
Ilmiah Kesehatan, 2(1), 24-32.

Sodik, M. A., & Nzilibili, S. M. M. (2017). The Role Of Health Promotion And Family Support With
Attitude Of Couples Childbearing Age In Following Family Planning Program In Health.
Journal of Global Research in Public Health, 2(2), 82-89.

Awan, I., & Sodik, M. A. (2018). Diskriminasi dan Kesehatan Mental.

Karina, Z., & Sodik, M. A. (2018). Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai