TRAUMA HEALING
BENCANA KEKERINGAN
Makalah yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Manajemen Bencana Alam”
Yang dibina oleh Ibu Arista Maysaroh S.Kep.,Ners.,M.Kep.
Disusun Oleh :
2
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL...................................................................................
KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB 1. PENDAHULUAN..............................................................................
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat Penulisan
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................
2.1 Pengurangan Risiko Bencana
2.2 Tahap Pasca Bencana
2.3 Trauma Healing
2.3.1 Makna Konseling Trauma
2.3.2 Model Layanan Bimbingan
2.3.3 Tujuan Trauma Healing
BAB 3. PENUTUP..........................................................................................
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
3
DAFTAR PUSTAKA BAB 1. PENDAHULUAN
1
2
rusak, akan tetapi di dunia ini tidak ada alat atau pun mesin yang dapat
menyembuhkan trauma dihati, karena hati akan sembuh apabila didekati lagi oleh
hati, yaitu manusia sebagai makhluk yang memiliki hati.
4
5
trauma, dunia ini dirasa tidak aman dan nyaman. Oleh sebab itu, mereka
memerlukan orang lain yang bisa memberikan perlindungan dan rasa nyaman
pada mereka, sehingga mereka merasa tidak sendirian dalam hidup ini. Penciptaan
rasa aman teresebut bisa dilakukan dengan mengadakan permainan yang bias
mendorong individu untuk melupakan sejenak peristiwa traumatis yang
dialaminya. Bagi individu yang mengalami trauma karena perampokan di tempat
kerja, penciptaan rasa aman bisa dilakukan dengan memberi izin untuk tidak
masuk kerja dalam beberapa hari; dan bagi yang kena rampok di rumah, bisa
dilakukan dengan pindah rumah buat sementara.
Pendekatan klasikal bisa diterapkan untuk kasus-kasus yang berhubungan
dengan rasa takut yang tidak adaptif (Prawitasari, 2011). Salah satu teknik yang
digunakan secara luas bagi klien yang mengalami masalah kecemasan karena
peristiwa traumatis adalah disensitisasi sistematik (Holden, dalam Locke, Myers,
dan Herr, 2001; George dan Cristiani, 1995). Prawitasari (2011: 159)
menyebutnya dengan istilah “nirpeka beraturan”. Teknik ini didasarkan atas
prinsip classical conditioning. Asumsi dasar yang mendasari teknik ini adalah
bahwa semua perilaku individu terbentuk melalui pengalaman atau hasil belajar,
dan untuk mengubah, memodifikasi atau menghilangkan perilaku tersebut juga
melalui belajar. Oleh sebab itu, responsi terhadap kecemasan itu bias dipelajari
atau dikondisikan (Wolpe, dalam Hock, 1999), dan proses ini disebut dengan
terapi (Corey, 2012).
Sebelum disensitisasi dimulai, konselor melakukan konseling untuk
mengetahui informasi spesifik tentang kecemasan klien guna memahami latar
belakang diri klien secara komprehensif. Konselor harus mengidentifikasi gejala-
gejala trauma atau PTSD yang dialami oleh klien (Lawson, 2001) dengan
menanyakan kepada klien tentang kondisi atau peristiwa khusus yang memicu
rasa takut tersebut. Hal ini bisa dilakukan jika klien merasa nyaman, dan rasa
nyaman itu diciptakan oleh konselor.
Setelah penyulut kecemasan terdeteksi, konselor bersama klein menyusun
daftar urutan situasi yang menyulut kecemasan dalam bentuk hirarki, mulai dari
situasi yang menimbulkan kecemasan rendah sampai tinggi (Wolpe, dalam Hock,
1999; Holden, dalam Locke, Myers, dan Herr, 2001). Jumlah tahapan atau hirarki
8
urutan kecemasan yang disusun tergantung pada tingkat kecemasan yang dialami
klien, biasanya sampai lima, enam, atau lebih (Wolpe, dalam Hock, 1999).
“Dalam teknik ini, klien dilatih dulu untuk relaksasi kemudian secara bertahap
relaksasi ini dipasangkan dengan situasi yang menakutkannya sampai akhirnya ia
dapat mengatasi rasa takutnya” (Prawitasasi, 2011: 159).
Proses disensitisasi dimulai dengan menyuruh klien duduk dalam keadaan
santai dan nyaman sambil memejamkan matanya. Teknik ini disebut latihan
rileksasi, yaitu proses penegangan dan pengenduran berbagai otot, seperti lengan,
tangan, wajah, perut, kaki, dan lain sebagainya (Wolpe dalam Hock, 1999).
Setelah klien merasa rileks, ia diminta untuk membayangkan sesuatu yang paling
sedikit menimbulkan kecemasan sesuai dengan hirarki yang telah disusun.
Apabila klien masih bias santai dalam membayangkan peristiwa tersebut, konselor
bisa bergerak maju dalam hirarki selanjutnya sampai klien memberi isyarat bahwa
pada situasi itulah dia mengalami kecemasan, dan pada saat itu pula skenario
dihentikan (Wolpe, dalam Hock, 1999). Klien disuruh membuka matanya dan
disuruh duduk santai.
Apabila klien tidak bersedia melanjutkan pada hirarki kecemasan yang
lebih tinggi, konselor bersama klien membahas secara mendalam apa yang
dialaminya, atau melanjutkannya pada konseling berikutnya. Sebaliknya bila klien
bersedia melanjutkan konseling, pengendoran ketegangan dimulai lagi dan
dilanjutkan dengan hirarki kecemasan yang lebih tinggi lagi.
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang manajemen bencana
pada daerah rawan kekeringan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa telah
melaksanakan manajemen bencana untuk menanggulangi masalah dan dampak
kekeringan dengan melakukan beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Tahapan mitigasi dengan melakukan kegiatan pencarian sumber air bersih,
serta pembaharuan dan perbaikan penampungan air hujan.
2. Tahapan kesiapsiagaan dengan melakukan mapping wilayah kekeringan,
pembentukan Desa Tangguh Bencana dan Pamaskarta (pengelola air bersih
ditingkat masyarakat).
3. Tahapan respons dengan melakukan kegiatan dropping air dan bantuan logistik
yang semuanya sudah diatur dalam SOP yang telah dibuat.
4. Tahapan pemulihan dengan kegiatan bantuan sarana produksi pertanian,
bantuan pangan dan pelayanan medis, pembangunan prasarana pengairan, dan
yang terakhir pelaksanaan konservasi air dan sumber air di daerah tangkapan
hujan.
3.2 Saran
Perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak untuk mencegah dan
menanggulangi masalah kekeringan. Biasanya dilakukan melalui 4 aspek untuk
upaya pengurangan resiko dan kesiapsiagaan menghadapi bencana kekeringan.
Untuk 4 aspek tersebut diantaranya Hazard Assesment & Monitoring (penilaian
dan monitoring) yang dimana terdapat pembuatan peta rawan bencana dan
koordinasi dengan pihak desa terdampak kekeringan, Planning (Perencanaan)
yang meliputi mobilisasi sumberdaya dan program pembangunan, Prediction &
Warning System (Prediksi dan Peringatan dini) yang meliputi pembuatan banner
& posko kekeringan, Public Education & Research (Penddikan dan Penelitian
Publik) yang meliputi pengembangan SDM dalam menghadapi bencana dengan
11
12
DAFTAR PUSTAKA
Widayatun & Fatoni, Z., 2013. Permasalahan Kesehatan Dalam Kondisi Bencana:
Peran Petugas Kesehatan Dan Partisipasi Masyarakat. Jurnal
Kependudukan Indonesia, 8, pp.37-52.
Latipun. 2014. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi “Pemulihan Trauma Berbasis
Komunitas: Pengalaman Indonesia dalam Intervensi Trauma Massal”.
Volume 2 (3) 278-285.
Rahman, Ade. 2018. Analisa Kebutuhan Program Trauma Healing Untuk Anak-
Anak Pasca Bencana Banjir Di Kecamatan Sungai Pua Tahun 2018 :
Implementasi Manajemen Bencana. Vol XII No 7 Juli 2018.
Weaver, A.J., Flannelly, L.T., dan Preston, J.D. 2003. Counseling Survivors of
Traumatic Events: A handbook for pastors and other helping professional.
Avenue South, Nashville: Abingdon Press.