Anda di halaman 1dari 16

1

TRAUMA HEALING
BENCANA KEKERINGAN
Makalah yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Manajemen Bencana Alam”
Yang dibina oleh Ibu Arista Maysaroh S.Kep.,Ners.,M.Kep.

Disusun Oleh :

1. Annisa Fitryah Brillianty (162303101015)


2. Novita Tri Handayani (162303101093)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN KAMPUS LUMAJANG


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan


rahmat serta hidayah-Nya sehingga makalah dengan judul “Trauma Healing
Bencana Kekeringan” ini dapat terselesaikan dengan baik.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu per satu, yang telah membantu menyiapkan dan memberi
masukan dalam penulisan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk menambah pengetahuan bagi pembaca.
Segala upaya telah dilakukan untuk menyempurnakan makalah ini, namun
bukan mustahil dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan dan
kesalahan baik materi maupun penyajian. Oleh karena itu, diharapkan saran dan
komentar yang dapat dijadikan sebagai masukan dalam menyempurnakan
makalah ini di masa yang akan datang.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...................................................................................
KATA PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
BAB 1. PENDAHULUAN..............................................................................
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat Penulisan
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................
2.1 Pengurangan Risiko Bencana
2.2 Tahap Pasca Bencana
2.3 Trauma Healing
2.3.1 Makna Konseling Trauma
2.3.2 Model Layanan Bimbingan
2.3.3 Tujuan Trauma Healing
BAB 3. PENUTUP..........................................................................................
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

3
DAFTAR PUSTAKA BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara Indonesia berada di garis khatulistiwa pada posisi silang antara dua
benua dan dua samudera, berada dalam wilayah yang memiliki kondisi geografis,
geologis, hidrologis, dan demografis yang rawan terhadap terjadinya bencana
dengan frekuensi yang cukup tinggi. Kondisi alam yang rentan terhadap berbagai
bencana ini tidak dapat dihindari, namun dapat diminimalisir dari dampak buruk
yang akan ditimbulkannya. Namun, pengalaman memperlihatkan bahwa kejadian-
kejadian bencana alam selama ini telah banyak menimbulkan kerugian dan
penderitaan yang cukup berat sebagai akibat dari perpaduan bahaya alam dan
kompleksitas permasalahan lainnya. Bencana alam yang terjadi cukup besar
biasanya akan menghilangkan banyak harta benda, nyawa serta korban luka fisik
maupun psikologis. Sehingga korban dari bencana tersebut cenderung mengalami
yang dinamakan trauma.
Trauma merupakan suatu kejadian fisik atau emosional serius yang
menyebabkan kerusakan substansial terhadap pisik dan psikologis seseorang
dalam rentangan waktu yang relative lama (Weaver, Flannelly, dan Preston, 2003).
Sementara trauma psikis dalam psikologi diartikan sebagai kecemasan hebat dan
mendadak akibat peristiwa dilingkungan seseorang yang melampaui batas
kemampuannya untuk bertahan, mengatasi atau menghindar. Di samping itu,
trauma adalah suatu kondisi emosional yang berkembang setelah suatu peristiwa
trauma yang tidak mengenakkan, menyedihkan, menakutkan, mencemaskan dan
menjengkelkan, seperti peristiwa: pemerkosaan, peperangan, kekerasan dalam
keluarga, kecelakaan, bencana alam dan peristiwa-peristiwa tertentu yang
membuat batin tertekan (Lawson, 2001; Kinchin, 2007). Trauma psikis terjadi
ketika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang menekan yang menyebabkan
rasa tidak berdaya dan dirasakan mengancam. Reaksi umum terhadap kejadian
dan pengalaman yang traumatis adalah berusaha menghilangkannya dari
kesadaran, namun bayangan kejadian itu tetap berada dalam memori.

1
2

Trauma pada korban bencana alam tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.


Korban bencana tersebut perlu mendapatkan perlakuan yang cepat untuk
keamanan mereka. Agar korban bencana dapat terus melanjutkan kehidupannya
secara normal, maka diperlukan terapi trauma/pemulihan trauma (trauma
healing). Trauma healing adalah salah satu kebutuhan utama bagi korban bencana.
Dengan terapi trauma healing diharapkan korban bisa benar-benar sembuh dari
traumanya dan dapat menjalani kehidupannya sebagaimana sebelum bencana
terjadi. Trauma Healing sangat diperlukan di Indonesia yang merupakan Negara
rawan bencana alam, mulai dari banjir, tanah longsor, gempa dan lain sebagainya.
Bencana alam tersebut banyak menimbulkan kerugian dan kesedihan pada
korbannya. Bahkan tak jarang pula korban bencana alam mengalami trauma berat
akibat bencana. Ketakutan terhadap bencana adalah reaksi yang sangat umum
dialami oleh korban bencana. Terkadang korban bencana mengalami pengulangan
ingatan mengena bencana tersebut yang kemudian dapat berkembang lebih serius
menjadi rasa hilangnya emosi, atau bahkan mengalami insomnia, dan waspada
berlebihan. Pada anak-anak trauma terhadap bencana alam dapat merenggut
keceriaan anak. Ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk melakukan trauma
healing. terapi trauma healing dapat dilakukan dengan pemberian obat atau terapi
psikis. Pada prisnipnya trauma healing yang diberikn pada orang dewasa dan
berbeda pada anak-anak. Pada anak-anak trauma healing dapat dilakukan melalui
beberapa metode, yang pertama adalah melalui teknik play teraphy pada anak.
Dengan menggunakan play therapy pada anak akan diajak mengatasi traumanya
melalui media permainan. Metode lain yaitu dengan terapi melalui tari, dengan
tari anak dapat mengekspresikan emosi yang ada di dalam dirinya. Hal ini
dikarenakan tari bersifat rekreatif (Ade Rahman, 2018).
Salah satu penyembuhan trauma akibat bencana yaitu menggunakan
metode trauma healing. Biasanya metode ini dilakukan dengan pendekatan
psikologis yang akan mendukung peningkatan kesejahteraan dan kemandirian. Di
dunia ini ada banyak alat yang dapat mendeteksi akan tanda-tanda datangnya
sesuai bencana alam. Bagitu pun setelah bencana selesai, ada banyak mesin dan
bahan-bahan yang dapat membangun kembali gedung serta rumah-rumah yang
3

rusak, akan tetapi di dunia ini tidak ada alat atau pun mesin yang dapat
menyembuhkan trauma dihati, karena hati akan sembuh apabila didekati lagi oleh
hati, yaitu manusia sebagai makhluk yang memiliki hati.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana sistem manajemen pengurangan risiko bencana?
1.2.2 Apa saja tahapan yang berlangsung pasca bencana kekeringan?
1.2.3 Apa saja yang ilakukan saat memberikan metode trauma healing?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Mengetahui sistem manajemen pengurangan risiko bencana.
1.3.2 Mengetahui tahapan yang berlangsung pasca bencana kekeringan.
1.3.3 Mengetahui apa saja yang dilakukan saat memberikan metode
trauma healing.

1.4 Manfaat Penulisan


Keberhasilan dari sebuah perbuatan adalah yang dapat memberikan
manfaat bagi sekelilingnya, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan
manfaat sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Harapan besar penelitian ini dapat menjadi salah satu literatur untuk
penelitian selanjutnya. Selain itu juga dapat memberikan sumbangsih keilmuan
dan menjadi bahan rujukan di bidang ilmu kesejahteraan sosial khususnya mata
kuliah Manajemen Bencana.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam
penanganan trauma healing untuk korban bencana, sehingga bisa melakukan
evaluasi terkait metode intervensi yang pernah dilakukan untuk perubahan yang
lebih baik kedepannya.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengurangan Risiko Bencana


Pengurangan risiko bencana merupakan kegiatan untuk mengurangi
ancaman dan kerentanan serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
menghadapi bencana. Pengurangan risiko bencana dilakukan melalui kegiatan:
a. Pengenalan dan pemantauan risiko bencana
b. Perencanaan partisipatif penanggulangan bencana
c. Pengembangan budaya sadar bencana
d. Peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana
e. Penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana
Untuk melakukan upaya pengurangan risiko bencana dilakukan
penyusunan rencana aksi pengurangan risiko bencana yang terdiri dari:
a. Rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana
b. Rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana.

2.2 Tahapan Pasca Bencana


Pasca bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan
daerah bencana, prasarana dan sarana umum, bantuan perbaikan rumah, sosial,
psikologis, pelayanan kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan rekonstruksi
(pembangunan, pembangkitan dan peningkatan sarana prasarana, termasuk fungsi
pelayanan kesehatan) (Widayatun & Fatoni, 2013).
Tahap pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan
rekonstruksi.
a. Pemulihan (recovery)
Pemulihan merupakan tahap atau langkah pemulihan sehubungan dengan
kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana. Dalam tahap ini terdapat dua
bagian, yakni pemulihan dan pengawasan yang ditujukan untuk memulihkan
keadaan ke kondisi semula atau setidaknya menyesuaikan kondisi pasca
bencana guna keberlangsungan hidup selanjutnya.

4
5

Beberapa kegiatan yang terkait dengan pemulihan adalah a) perbaikan


lingkungan daerah bencana; b) perbaikan prasarana dan sarana umum; c)
pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; d) pemulihan sosial
psikologis; e) pelayanan kesehatan; f) rekonsiliasi dan resolusi konflik; g)
pemulihan sosial ekonomi budaya; dan j) pemulihan fungsi pelayanan publik.
Sedangkan jika bencana belum terjadi, maka untuk mengantisipasi kejadian
bencana dimasa mendatang dilakukan penyusunan petunjuk/pedoman
mekanisme penanggulangan pasca bencana.
b. Rehabilitasi (rehabilitation)
Rehabilitasi merupakan perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca
bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar
semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca
bencana. Rehabilitasi dilakukan oleh Seksi Rehabilitasi dan Kasi Rehabilitasi
yang meliputi kegiatan-kegiatan perbaikan PAH (penampungan air hujan) dan
pipa-pipa penyalur air bersih yang rusak akibat dimakan usia atau karena cuaca
yang cukup ekstrim ataupun perbaikan infrastruktur lainnya.
c. Rekonstruksi (reconstruction)
Rekonstruksi menurut Soehatman Ramli (2010:38) adalah pembangunan
kembali semua sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca
bencana baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran
utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial, dan budaya
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.
Rekonstruksi dilakukan dengan berbagai kegiatan seperti penambahan jumlah
PAH dan pipa-pipa penyalur air bersih. Selain itu, dalam upaya pemulihan
ekonomi juga dilakukan kegiatan seperti pemberian modal usaha dan bibit
tanaman untuk ditanam disawah masyarakat yang terkena dampak kekeringan.
Dengan adanya kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut, maka
kehidupan masyarakat yang sebelum terjadinya kekeringan perlahan-lahan
mulai kembali.
6

2.3 Trauma Healing


Trauma dalam istilah psikologis menunjukkan kondisi yang syok dan
tertekan oleh suatu peristiwa yang membekas relatif lama pada korban. Beberapa
kondisi yang dapat potensial menjadi peristiwa traumatis menurut Taylor (2000)
antara lain bencana, menjadi korban kriminal, kehilangan orang yang dicintai,
kehilangan harta benda Parkinson (2000). menjelaskan bahwa peristiwa traumatis
dapat terjadi pada saat bencana terjadi hingga bencana telah berlalu, dalam
kondisi terakhir ini yang disebut post traumatic stress disorder (PTSD) Trauma
healing adalah suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan untuk mengurangi
atau menghilangkan trauma yang ada. Di sisi lain, trauma healing adalah suatu
tindakan yang dilakukan untuk membantu orang lain yang sedang mengalami
gangguan dalam psikologisnya yang diakibatkan syok atau trauma.

2.3.1 Makna Konseling Trauma


Layanan konseling trauma pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua korban
selamat yang mengalami stres dan depresi berat, baik itu orang tua maupun anak-
anak. Anak-anak perlu dibantu untuk bisa menatap masa depannya dan
membangun harapan baru dengan kondisi yang baru pula. Bagi orang tua, layanan
konseling trauma akan membantu mereka memahami dan menerima kenyataan
hidup saat ini; untuk selanjutnya mampu melupakan semua tragedi dan memulai
kehidupan baru. Di samping untuk menstabilkan kondisi emosional, layanan
konseling trauma bagi orang tua idealnya juga memberikan keterampilan yang
dapat dijadikan modal awal memulai kehidupan baru dengan pekerjaan-pekerjaan
baru sesuai kapasitas yang dimiliki dan daya dukung lingkungan. Dengan
demikian, mereka bisa sesegera mungkin menjalani hidup secara mandiri
sehingga mereka tidak terus-menerus menyandarkan kehidupannya pada orang
lain, termasuk pada pemerintah. Untuk mencapai efektivitas layanan, konseling
trauma dilakukan dengan dua format, yaitu format individual (untuk korban yang
tingkat stres dan depresinya berat), dan format kelompok (untuk individu yang
beban psikologisnya masih pada derajat sedang) (Herman Nirwana, 2012).
Sebelum pelaksanaan layanan konseling diberikan, langkah pertama adalah
menciptakan rasa aman (Weaver, dkk. 2003). Bagi individu yang mengalami
7

trauma, dunia ini dirasa tidak aman dan nyaman. Oleh sebab itu, mereka
memerlukan orang lain yang bisa memberikan perlindungan dan rasa nyaman
pada mereka, sehingga mereka merasa tidak sendirian dalam hidup ini. Penciptaan
rasa aman teresebut bisa dilakukan dengan mengadakan permainan yang bias
mendorong individu untuk melupakan sejenak peristiwa traumatis yang
dialaminya. Bagi individu yang mengalami trauma karena perampokan di tempat
kerja, penciptaan rasa aman bisa dilakukan dengan memberi izin untuk tidak
masuk kerja dalam beberapa hari; dan bagi yang kena rampok di rumah, bisa
dilakukan dengan pindah rumah buat sementara.
Pendekatan klasikal bisa diterapkan untuk kasus-kasus yang berhubungan
dengan rasa takut yang tidak adaptif (Prawitasari, 2011). Salah satu teknik yang
digunakan secara luas bagi klien yang mengalami masalah kecemasan karena
peristiwa traumatis adalah disensitisasi sistematik (Holden, dalam Locke, Myers,
dan Herr, 2001; George dan Cristiani, 1995). Prawitasari (2011: 159)
menyebutnya dengan istilah “nirpeka beraturan”. Teknik ini didasarkan atas
prinsip classical conditioning. Asumsi dasar yang mendasari teknik ini adalah
bahwa semua perilaku individu terbentuk melalui pengalaman atau hasil belajar,
dan untuk mengubah, memodifikasi atau menghilangkan perilaku tersebut juga
melalui belajar. Oleh sebab itu, responsi terhadap kecemasan itu bias dipelajari
atau dikondisikan (Wolpe, dalam Hock, 1999), dan proses ini disebut dengan
terapi (Corey, 2012).
Sebelum disensitisasi dimulai, konselor melakukan konseling untuk
mengetahui informasi spesifik tentang kecemasan klien guna memahami latar
belakang diri klien secara komprehensif. Konselor harus mengidentifikasi gejala-
gejala trauma atau PTSD yang dialami oleh klien (Lawson, 2001) dengan
menanyakan kepada klien tentang kondisi atau peristiwa khusus yang memicu
rasa takut tersebut. Hal ini bisa dilakukan jika klien merasa nyaman, dan rasa
nyaman itu diciptakan oleh konselor.
Setelah penyulut kecemasan terdeteksi, konselor bersama klein menyusun
daftar urutan situasi yang menyulut kecemasan dalam bentuk hirarki, mulai dari
situasi yang menimbulkan kecemasan rendah sampai tinggi (Wolpe, dalam Hock,
1999; Holden, dalam Locke, Myers, dan Herr, 2001). Jumlah tahapan atau hirarki
8

urutan kecemasan yang disusun tergantung pada tingkat kecemasan yang dialami
klien, biasanya sampai lima, enam, atau lebih (Wolpe, dalam Hock, 1999).
“Dalam teknik ini, klien dilatih dulu untuk relaksasi kemudian secara bertahap
relaksasi ini dipasangkan dengan situasi yang menakutkannya sampai akhirnya ia
dapat mengatasi rasa takutnya” (Prawitasasi, 2011: 159).
Proses disensitisasi dimulai dengan menyuruh klien duduk dalam keadaan
santai dan nyaman sambil memejamkan matanya. Teknik ini disebut latihan
rileksasi, yaitu proses penegangan dan pengenduran berbagai otot, seperti lengan,
tangan, wajah, perut, kaki, dan lain sebagainya (Wolpe dalam Hock, 1999).
Setelah klien merasa rileks, ia diminta untuk membayangkan sesuatu yang paling
sedikit menimbulkan kecemasan sesuai dengan hirarki yang telah disusun.
Apabila klien masih bias santai dalam membayangkan peristiwa tersebut, konselor
bisa bergerak maju dalam hirarki selanjutnya sampai klien memberi isyarat bahwa
pada situasi itulah dia mengalami kecemasan, dan pada saat itu pula skenario
dihentikan (Wolpe, dalam Hock, 1999). Klien disuruh membuka matanya dan
disuruh duduk santai.
Apabila klien tidak bersedia melanjutkan pada hirarki kecemasan yang
lebih tinggi, konselor bersama klien membahas secara mendalam apa yang
dialaminya, atau melanjutkannya pada konseling berikutnya. Sebaliknya bila klien
bersedia melanjutkan konseling, pengendoran ketegangan dimulai lagi dan
dilanjutkan dengan hirarki kecemasan yang lebih tinggi lagi.

2.3.2 Model Layanan Bimbingan


Berbagai model layanan bimbingan menurut Edi Purwanta (2010) dalam
makalah disampaikan pada Diklat Pendampingan Anak Berkebutuhan Khusus
Korban Erupsi Merapi telah dikonstruksikan untuk membantu mereka, tetapi
model yang sesuai sangat tergantung pada masalah dan kondisi lingkungan
pendukungnya (keluarga utamanya orangtua, significant’ others yang membantu
mereka). Salah satu model umum adalah Sequentially Planned Integrative
Counseling for Children (Model SPICC). Model ini merupakan model integratif
yang telah memperoleh dukungan riset sejak tahun 1995 (Geldard dan Geldard,
2010). Secara skuential model tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
9

Model SPICC ini bila digambarkan dalam tabel sebagai berikut:


Sequentially Planned Integratif Counseling for Children (SPICC)
Fase Proses yang dibutuhkan Pendekatan Metode/strategi
Fase 1  Anak bergabung Konseling Berbagi cerita akan
dengan konselor berbasis membantu anak-
 Anak mulai klien anak mulai merasa
menceriterakan kisah lebih baik
mereka

Fase 2  Anak melanjutkan Terapi Memunculkan


kisah mereka gestalt kesadaran anak-
 Kesadaran anak anak membuat
terhadap masalah anak-anak mampu
mulai meningkat mengenali
 Anak-anak mulai masalah secara
berhubungan dengan jelas, berhubungan
emosi dan mungkin dengan emosi dan
mengalami perasaan melepaskan emosi
terharu tersebut
 Anak-anak akan
membelokkan
pembicaraan dan
menunjukkan resistensi
10

Fase 3 Anak-anak Terapi Merekonstruksi dan


mengembangkan naratif menebalkan kisah
perspektif atau yang lebih
pandangan yang dimasalahkan
berbeda terhadap anak-anak dan
dirinya. memperkuat
perspektif mereka
Fase 4  Anak-anak Terapi Proses menantang
berhubungan dengan perilaku pikiran yang tidak
keyakinan yang kognitif membantu
merusak diri menghasilkan
 Anak-anak mencari perubahan sikap
opsi dan pilihan

Fase 5 Anak-anak berlatih Terapi Merasakan sikap baru


merasakan dan perilaku dan menghasilkan
mengevaluasi penguatan pada
sikapnya yang baru sikap adaptif

2.3.3 Tujuan Trauma Healing


Kegiatan trauma healing mempunyai banyak manfaat bagi masyarakat
yang menjalani trauma healing ini. berikut ini merupakan manfaat dari trauma
healing:
a. Menghilangkan beban di pikiran.
b. Membuat bahagia.
c. Menjadi pribadi yang lebih ikhlas.
d. Menjadi semangat kembali.
e. Membuat hati tenang dan tentram.
f.Lebih peka untuk menyikapi keadaan yang ada.
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang manajemen bencana
pada daerah rawan kekeringan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa telah
melaksanakan manajemen bencana untuk menanggulangi masalah dan dampak
kekeringan dengan melakukan beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Tahapan mitigasi dengan melakukan kegiatan pencarian sumber air bersih,
serta pembaharuan dan perbaikan penampungan air hujan.
2. Tahapan kesiapsiagaan dengan melakukan mapping wilayah kekeringan,
pembentukan Desa Tangguh Bencana dan Pamaskarta (pengelola air bersih
ditingkat masyarakat).
3. Tahapan respons dengan melakukan kegiatan dropping air dan bantuan logistik
yang semuanya sudah diatur dalam SOP yang telah dibuat.
4. Tahapan pemulihan dengan kegiatan bantuan sarana produksi pertanian,
bantuan pangan dan pelayanan medis, pembangunan prasarana pengairan, dan
yang terakhir pelaksanaan konservasi air dan sumber air di daerah tangkapan
hujan.

3.2 Saran
Perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak untuk mencegah dan
menanggulangi masalah kekeringan. Biasanya dilakukan melalui 4 aspek untuk
upaya pengurangan resiko dan kesiapsiagaan menghadapi bencana kekeringan.
Untuk 4 aspek tersebut diantaranya Hazard Assesment & Monitoring (penilaian
dan monitoring) yang dimana terdapat pembuatan peta rawan bencana dan
koordinasi dengan pihak desa terdampak kekeringan, Planning (Perencanaan)
yang meliputi mobilisasi sumberdaya dan program pembangunan, Prediction &
Warning System (Prediksi dan Peringatan dini) yang meliputi pembuatan banner
& posko kekeringan, Public Education & Research (Penddikan dan Penelitian
Publik) yang meliputi pengembangan SDM dalam menghadapi bencana dengan

11
12

cara sosialisasi tentang pengetahuan kebencanaan serta pembentukan desa


tangguh bencana. Untuk pada saat kekeringan terjadi hal yang dilakukan adalah
Dropping Air ke wilayah terdampak bencana kekeringan.
13

DAFTAR PUSTAKA

Widayatun & Fatoni, Z., 2013. Permasalahan Kesehatan Dalam Kondisi Bencana:
Peran Petugas Kesehatan Dan Partisipasi Masyarakat. Jurnal
Kependudukan Indonesia, 8, pp.37-52.

Kinchin, D. 2007. A Guide to Psychological Debriefing. London: Jessica Kingsley


Publishers.

Koentjoro, Budi Andayani. 2007. Recovery Kawasan Bencana: Perwujudan


Trauma Healing Melalui Kegiatan Psikologi dan Rohani. UNISIA No
63/XXX/I/2007.

Latipun. 2014. Jurnal Sains dan Praktik Psikologi “Pemulihan Trauma Berbasis
Komunitas: Pengalaman Indonesia dalam Intervensi Trauma Massal”.
Volume 2 (3) 278-285.

Nirwana, Herman. 2012. Konseking Trauma Pasca Bencana. Vol. 15 No. 2


(Desember 2012).

Prawitasari, J.E. 2011. Psikologi Klinis:Pengantar terapan mikro & makro.


Jakarta: Penerbit Erlangga.

Purwanta, Edi. 2010. Diklat Pendampingan Anak Berkebutuhan Khusus Korban


Erupsi Merapi.

Rahman, Ade. 2018. Analisa Kebutuhan Program Trauma Healing Untuk Anak-
Anak Pasca Bencana Banjir Di Kecamatan Sungai Pua Tahun 2018 :
Implementasi Manajemen Bencana. Vol XII No 7 Juli 2018.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

Weaver, A.J., Flannelly, L.T., dan Preston, J.D. 2003. Counseling Survivors of
Traumatic Events: A handbook for pastors and other helping professional.
Avenue South, Nashville: Abingdon Press.

Anda mungkin juga menyukai