Anda di halaman 1dari 161

MENUJU

K E S E TA R A A N
GENDER
PE R FI L M A N
INDONESIA
Analisis Data Terpilah-Gender
dan Rekomendasi Rencana Aksi

SA ZKIA NOOR ANGGR AINI


R AHAYU HARJANTHI
TITO IMANDA
MENUJU
K E S E TA R A A N
GENDER
PERFILMAN
INDONESIA
A n a l i s i s D a t a Te r p i l a h - G e n d e r
dan Re kom en da s i Ren c ana A k s i
Penulis : Sazkia Noor Anggraini
Rahayu Harjanthi
Tito Imanda

Desain Sampul : Regina Surbakti

Penata Letak :

ISBN : 978-623-98834-0-9

Diterbitkan oleh Asosiasi Pengkaji Film Indonesia


untuk:

dengan koordinasi :
iv

K ATA
PENGANTAR

Pengumpulan dan analisis data terpilah-gender


industri film Indonesia ini dilakukan oleh
KAFEIN di bawah proyek yang dikomisikan
oleh UNESCO. Proyek ini bertujuan untuk
menginisiasi perbincangan kebijakan terhadap
status keseimbangan gender dalam industri
film Indonesia. Penerbitan buku ini diharapkan
menjadi inisiatif awal bagi industri film Indonesia
melakukan pengumpulan dan analisis data terpilah
gender secara rutin sebagai bentuk pengamatan
situasi ketimpangan gender. Buku ini terdiri dari
dua bagian, bagian pertama berisi analisis data
terpilah-gender. Bagian kedua berisi sejumlah
rekomendasi rencana aksi kemudian sebagai
lanjutan dari analisis data di bagian pertama.
v

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan


sebuah kerangka kerja yang disusun dengan melibatkan
pemangku kepentingan. Data dikumpulkan dari
beberapa klaster utama: situs daring dan katalog yang
terbuka untuk publik www.filmindonesia.or.id, perguruan
tinggi yang memiliki program studi film, festival film,
organisasi pendanaan film, dan asosiasi profesional film.
Hasil analisis data menghasilkan beberapa kesimpulan
sebagai berikut:

1. Keterlibatan perempuan dalam industri film,


terutama pascareformasi, mengalami peningkatan
meski secara persentase tak terlalu besar. Meski
hingga saat ini industri film, secara kuantitas,
masih didominasi oleh laki-laki, perempuan tak
sepenuhnya ditinggalkan.

2. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa perempuan


memiliki akses yang sama besarnya dengan
laki-laki untuk bekerja di industri film. Anggaran
produksi film tak memengaruhi kualitas kerja,
baik produksi dengan anggaran besar maupun
kecil, perempuan bisa bekerja dengan kualitas
yang sama. Demikian juga dari sisi upah, tidak
ada perbedaan signifikan antara pekerja laki-laki
dengan perempuan dalam industri film.

3. Satu catatan penting dan menarik -dan terjadi di


industri maupun sekolah film- adalah perempuan
memiliki kecenderungan memilih profesi perfilman
yang menawarkan fleksibilitas lebih. Profesi yang
dimaksud antara lain penulis skenario, pengarah
artistik, produser pelaksana. Jumlah perempuan
pada profesi sutradara, pengarah sinematografi,
vi

penyunting gambar, penata suara dan pengarah


musik sangat kecil. Pilihan tersebut bisa jadi terkait
dengan peran gender konvensional berbeda
dengan laki-laki yang lebih memilih pekerjaan
teknis. Sebaliknya perempuan cenderung memilih
peran profesional yang memungkinkan mereka
melakukan peran gender konvensional mereka
sebagai anak perempuan, ibu dan istri.

4. Proporsi penghargaan terkait profesi perfilman


(kecuali aktris yang memiliki kategori sendiri) yang
diterima perempuan lebih kecil dibandingkan laki-
laki. Hal ini sangat mungkin berkorelasi dengan
proporsi angka keterlibatan perempuan dalam
industri film. Apresiasi dan penghargaan bagi
perempuan lebih banyak tercatat dalam festival
dokumenter dan atau festival film di luar arus
utama yang banyak muncul pascareformasi.

5. Data terkait pendidikan menunjukkan angka


yang berimbang antara mahasiswa laki-laki dan
perempuan di sekolah film. Data lain menunjukkan
jumlah perempuan yang menyelesaikan studi dan
menerima beasiswa sekolah film lebih banyak
dibandingkan laki-laki.

Kesimpulan tersebut menunjukkan meski industri film


tampak cukup terbuka bagi partisipasi perempuan, namun
menyisakan sejumlah pertanyaan terkait rendahnya angka
partisipasi perempuan. Sebagai respon terhadap data-
data yang telah diolah, kami menawarkan rekomendasi
rencana aksi bagi para pemangku kepentingan
perfilman Indonesia. Rencana aksi tersebut diharapkan
vii

bisa membuka jalan bagi partisipasi perempuan -dan


kelompok termarginalkan lainnya - dan juga kesempatan
bagi mereka untuk bersuara bagi perfilman Indonesia.

Rekomendasi dirumuskan dengan menggunakan


metode ‘teori perubahan’ dan ‘analisis pemangku
kepentingan’. Tujuan utama rekomendasi dirumuskan
sebagai “mencapai kesetaraan gender dalam perfilman
Indonesia” yang dibagi dalam tiga sasaran. Sasaran
pertama adalah memperbaiki kondisi kerja produksi dan
kegiatan perfilman Indonesia untuk membuatnya menjadi
ideal, aman dan inklusif bagi semua pihak. Sasaran kedua
adalah untuk mendorong partisipasi kelompok gender
termarginalisasi dan kelompok termarginalisasi lainnya
dalam produksi dan kegiatan perfilman Indonesia.
Sasaran ketiga adalah membawa perspektif gender
dalam pembuatan film karena memiliki representasi
yang seimbang tidak menjamin bahwa isi film akan
menjadi sensitif terhadap gender maupun kelompok
marginal lainnya. Terdapat sebelas rencana aksi yang
direkomendasikan untuk mencapai setiap sasaran.
Setiap rencana aksi juga dilengkapi dengan capaian dan
identifikasi pihak yang memiliki potensi penggerak setiap
aksi.

Analisis kami menunjukkan bahwa Badan Perfilman


Indonesia (BPI), dengan otoritas, representasi dan jaringan
kerja yang dimiliki, akan menjadi pemain kunci yang
dapat menggerakkan rekomendasi. Sedangkan asosiasi
lain seperti Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI),
Asosiasi Program Studi Film dan Televisi (PROSFISI), dan
Asosiasi Pengkaji Film (KAFEIN) dapat dilibatkan dengan
dukungan pendanaan dari donor dan atau pemerintah.
viii

Organisasi pemerintah seperti Kementerian Pendidikan


dan Kebudayaan, Kementerian Tenaga Kerja, Komisi
X dan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat dan juga
pemerintah daerah adalah pemangku kepentingan yang
harus diberikan informasi, diadvokasi dan dilibatkan
dalam kegiatan.

Kami memahami buku ini hanyalah sebuah upaya


kecil untuk mencapai keseimbangan gender di dunia
perfilman. Setidaknya cukup memberi tenaga untuk
mendorong keterlibatan perempuan dalam pekerjaan
teknis perfilman dan menciptakan peran gender yang
lebih cair. Di masa mendatang, semoga kita bisa melihat
representasi dan suara yang lebih berimbang dalam
perfilman.
ix
x

DAFTAR
ISI

Kata Pengantar iv

Bagian 1
Pendahuluan 1
Sekelumit Sejarah Perfilman Indonesia 10
Ketimpangan Gender dalam Profesi Perfilman 18
Akses Produksi dan Manfaat Ekonomi 62
Ketimpangan Gender dalam Festival dan Penghargaan 72

Pendidikan Film 82

Kesimpulan 96

Bagian 2
Pendahuluan 102

Rekomendasi Rencana Aksi 114
Identifikasi Pemangku Kepentingan 122
Analisis Pemangku Kepentingan 140
Kesimpulan 148
TERPILAH-GENDER

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


1

INDONESIA
INDUSTRI
DATA

FILM
PENDAHULUAN

Ketika melihat industri film Indonesia, dengan


mudah kita bisa menemukan sejumlah perempuan
yang memiliki nama besar di industri ini. Sebagian
dari mereka ada yang berprofesi sebagai sutradara,
penulis skenario, atau aktris terkenal. Kenyataan
tersebut memunculkan asumsi dan klaim bahwa
tidaklah kurang representasi perempuan dalam
perfilman Indonesia. Sayangnya pernyataan
tersebut tidaklah didukung dengan data statistik
yang cukup. Ketimpangan apapun -jika ada- kerap
tak terlihat sebab ketiadaan data.
3

Pengumpulan dan analisis data terpilah-gender


menjadi penting ketika hendak membincangkan
kebijakan terkait status keseimbangan gender dalam
industri film Indonesia. Data tersebut berguna untuk
melakukan observasi ketimpangan gender, dan dalam
jangka panjang diharapkan pengumpulan data serupa
bisa menjadi satu kegiatan rutin dalam industri perfilman

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


Indonesia. Secara khusus, tujuan dari pengumpulan dan
analisis data terpilah-gender ini adalah untuk:

1. Penyusunan data terpilah-gender dari industri film


Indonesia berdasarkan sebuah kerangka kerja
yang telah disetujui oleh pemangku kepentingan,

2. Analisis terhadap situasi ketimpangan gender


dalam industri film Indonesia berdasarkan data,
dan

3. Rekomendasi untuk rencana aksi untuk mencapai


kesetaraan gender dalam perfilman Indonesia
(termuat dalam bagian dua buku ini).

Metodologi dan kerangka kerja yang digunakan


untuk pengumpulan data disusun dengan melibatkan
para pemangku kepentingan perfilman. Kerangka kerja
awal dan metodologi dipublikasikan melalui sebuah
konferensi virtual “Perempuan dalam Film dan Perfilman
Indonesia” di https://kafein.or.id/filmgender/ yang
dilakukan dari dari Juni hingga Agustus 2020. Melalui
konferensi tersebut didapatkan umpan balik, komentar,
serta pengayaan dari beberapa penelitian sejenis untuk
penyempurnaan metodologi dan kerangka kerja.
4

Proses pengumpulan data melibatkan tim peneliti


yang terdiri dari 7 (tujuh) peneliti lapangan dan 3 (tiga)
pemroses data. Data dikumpulkan dari beberapa klaster
utama:

1. situs katalog publik www.filmindonesia.or.id,

2. perguruan tinggi yang memiliki program studi


film,

3. festival film,

4. organisasi pendanaan film, dan

5. asosiasi profesi film.

Dari lima klaster tersebut didapatkan statistik awal


data terpilah-gender yang komprehensif dari industri
film Indonesia. Tercatat 4.148 judul film yang dihimpun
dari katalog/web publik, 3 (tiga) perguruan tinggi yang
memiliki program studi film, 3 (tiga) festival film dan
2 (dua) organisasi pendanaan film, survei daring, dan
10 (sepuluh) asosiasi profesi. Kuantifikasi rasio gender
dilakukan oleh peneliti lapangan dengan mengolah data
yang diperoleh dari institusi film, festival dan organisasi
pendanaan film. Sampel data mengenai ketimpangan
gender dikumpulkan dari klaster asosiasi profesi film.
Indikator yang digunakan untuk pengumpulan data
antara lain: persepsi gender, kesetaraan upah, akses pada
pendanaan, pendidikan dan penghargaan yang akan
mempertajam analisis data.
5

Data film Indonesia (film panjang) diperoleh dari


katalog publik di laman web www.filmindonesia.or.id.
Data film di laman tersebut dikelompokkan dan diindeks
berdasarkan genre (total 14 genre) dan tahun rilis. Dari
setiap genre, laman web akan menampilkan daftar film
berdasar urutan tahun rilis. Setiap judul film tersambung
dengan pranala yang berisi informasi rinci, mulai kredit

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


film, tahun rilis, sinopsis, penghargaan, media terkait
(seperti poster atau foto) dan ulasan film. Titel kredit
memuat sejumlah nama yang terlibat di dalam produksi.
Setiap nama, ketika di-klik akan menampilkan data
terkait, semisal dalam film apa saja mereka terlibat, serta
penghargaan dalam bidang perfilman yang pernah
diterima.

Data-data tersebut diunduh secara manual dari katalog


dan disalin ke perangkat pengolah data untuk memilah
gender dari pembuat film, kru dan protagonis utama yang
kami simpulkan dari 1) nama mereka, 2) foto, 3) biografi
atau 4) sinopsis. Jika hal-hal tersebut tidak memberikan
indikasi gender, maka dilakukan penelusuran lebih
lanjut, baik dari yang bersangkutan dan atau orang yang
mengenal mereka untuk mendapatkan informasi terkait
gender.

Setiap kategori data pekerja film Indonesia


dikelompokkan berdasar tahun, kemudian dipilah
berdasar jenis gender di kolom yang berbeda. Selain
pengelompokkan berdasar tahun (1926-2020), klasifikasi
6

data juga dilakukan dengan pengelompokan tiap dekade


dan berdasar jenis profesi. Klasifikasi ini dilakukan
untuk melihat tren perubahan profesi triangle system
(produser-sutradara-penulis skenario) dalam perfilman
maupun sebagai pekerja teknis. Pencatatan ini tidak
hanya menunjukkan perubahan jumlah perempuan
yang bekerja di perfilman Indonesia, juga bagaimana
fluktuasi tiap dekade berbeda yang kemungkinan besar
dipengaruhi status sosial-politik-ekonomi negara.

Data dari klaster institut dan universitas terdiri dari


empat sub-topik; a) penerimaan murid dan kelulusan,
b) dosen, c) minat utama yang dipilih mahasiswa dalam
tugas akhir, dan d) beasiswa. Tiap sub-topik dikategorikan
berdasarkan angka dan dipilah berdasarkan gender di
tiap periode tahun akademik selama 10 tahun terakhir.
Sampel diperoleh dari perguruan tinggi yang memiliki
program studi film, yaitu: Universitas Pelita Harapan (UPH)
di Jabodetabek, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta,
dan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Data dari
beberapa perguruan tinggi lain tidak bisa didapatkan
karena ketidaklengkapan data di tiap institusi.

Data terkait festival film dan organisasi pendanaan film


diperoleh dari empat sumber sebagai berikut:

1. Direktorat Film, Musik dan Media Baru, sebelumnya


disebut Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang
Film) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Organisasi ini telah secara rutin mendanai produksi
film dokumenter dan fiksi sejak 2018-2019.
7

2. Dinas Kebudayaan, Provinsi Daerah Istimewa


Yogyakarta yang menyediakan akses pendanaan
produksi film dari Dana Istimewa sejak 2013.

3. Forum Film Dokumenter, asosiasi dan Festival Film


Indonesia (FFI)

4. Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) melalui

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


website resmi mereka untuk mendapatkan data
yang tersedia mengenai penghargaan.

Beberapa data primer lain dikumpulkan melalui


kuesioner survei daring untuk mendapatkan respon
dari pembuat film profesional. Tercatat ada 9 (sembilan)
asosiasi profesi dalam produksi film fiksi yang terlibat,
yaitu: Association Casting of Indonesia (ACI); Indonesian
Film Directors Club (IFDC); Indonesian Motion Picture
Audio Association (IMPAct); Indonesian Film Editor
(INAFED); Indonesian Cinematographer Society (ICS);
Rumah Aktor Indonesia (RAI); Asosiasi Penulis Indonesia
Untuk Layar Lebar (PILAR); Asosiasi Produser Film
Indonesia (APROFI); Indonesia Production Designer (IPD);
1 (satu) organisasi pembuat film dokumenter Asosiasi
Dokumentaris Nusantara (ADN), rumah-rumah produksi
dan pekerja film lainnya. Kuesioner dikirimkan ke tiap
asosiasi untuk disebarkan ke anggota secara umum tanpa
membedakan jenis kelamin. Tercatat 7 (tujuh) responden
perempuan dari total 27 responden dari asosiasi profesi,
dan 20 responden perempuan dari total 67 responden
dari asosiasi dokumenter.
8

Data yang diperoleh dari kuesioner terkait persepsi


terhadap akses kerja di antara para profesional perfilman,
anggaran dari tiap produksi yang mereka pernah terlibat,
upah, pendidikan formal dan informal, beasiswa dan
kesempatan akses pendanaan. Data primer ini tentu saja
bukan data yang cukup besar untuk merepresentasikan
industri, namun cukup membantu dalam melakukan
analisis dan memberikan perspektif pandangan untuk
menginterpretasikan situasi.

Keseluruhan data terolah akan disajikan dengan urutan


sebagai berikut:

1. Konteks sejarah perfilman Indonesia untuk


menjelaskan fluktuasi yang ditemukan dalam data
statistik

2. Ketimpangan gender dalam profesi perfilman

3. Akses produksi dan manfaat ekonomi

4. Festival dan penghargaan film

5. Pendidikan film

Analisis kesetaraan gender dalam cerita film belum


dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya untuk
mengidentifikasi setiap sinopsis film dari tahun 1926
hingga sekarang. Pembahasan lebih dalam mengenai
hubungan antara sutradara laki-laki dengan protagonis
perempuan juga belum dilakukan dengan alasan yang
sama.
SEKELUMIT
SEJARAH
PERFILMAN
INDONESIA1

Industri film Indonesia telah mengalami naik


turun mengikuti konteks sosial-politik-ekonomi.
Industri ini telah menjadi subjek dari berbagai
kebijakan, terutama yang dirancang untuk
mengontrol isi dan penggunaan produknya dengan
tujuan propaganda. Grafik-grafik yang akan kita
lihat di bagian lain dalam buku ini tidak diragukan
lagi adalah refleksi dari guncangan tersebut.
Gelombang atau era perfilman Indonesia dapat
diringkas sebagai berikut:

1 Bagian ini merupakan rangkuman dari tulisan Imanda, T., 2015. The State Market and the Indonesian Film
Industry. In: L. Giukin, J. Falkowska and D. Desserr, ed., Small Cinemas in Global Market: Genres, Identities,
Narratives. London: Lexington Books, dan presentasi oleh Yvonne Michalik dalam konferensi daring https://
kafein.or.id/panel-sejarah/
11

1926-1942 (Hindia Belanda)

Pada awal adanya pembuatan film di nusantara, otoritas


kolonial menegakkan sensor untuk mempertahankan
posisi superior masyarakat Eropa di Indonesia. Komisi
Film Hindia Belanda didirikan untuk menyensor film-film
yang masuk ke Indonesia dan menciptakan atmosfer

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


perfilman yang lebih kondusif bagi masyarakat pribumi.

Film pertama yang diproduksi di Indonesia adalah


Loetoeng Kasaroeng pada tahun 1926 oleh dua sutradara
Belanda G.Krueger dan L.Heuveldrop. Kemudian pada
tahun 1930-an, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan
Filmordonantie Staatsblad (Film Ordinance Statute no.
507, sebuah hukum yang mengharuskan komisi film
untuk menonton, memeriksa dan menyetujui setiap film
sebelum dirilis.

1942-1945 (Pendudukan Jepang)

Selama tahun 1942 hingga 1945 pendudukan Jepang,


industri film menurun secara drastis dengan adanya salah
satu masa terburuk dari sejarah negara ini: kebebasan
ekspresi dan semua jenis ekspresi politis dilarang. Namun
dari bangsa Jepang, pembuat film Indonesia belajar
membuat film-film propaganda.
12

1945-1966 (Era Soekarno)

Industri film lokal berkembang setelah Perang Dunia


Kedua. Kebijakan-kebijakan awal fokus pada kesatuan
negara yang baru lahir. Di bawah kepemimpinan
Presiden Soekarno, renggangnya hubungannya dengan
Barat pada tahun 1957 hingga kejatuhannya pada tahun
1966, memunculkan kebijakan terkait sensor. Hukum
perfilman yang represif dari masa pendudukan Belanda,
Filmordonantie Staatsblad, diaktivasi ulang dan kebijakan
sensor juga mengekang apapun yang datang dari Barat
sebagai “kampanye imperialis” dan “tidak revolusioner”.
Di masa ini, Indonesia memproduksi film pertama Darah
& Doa pada tahun 1950 dan pembuat film perempuan
juga mulai memasuki arena dengan debut Ratna Asmara
sebagai sutradara dalam film Sedap Malam (1950) dan
juga Sofia WD dengan Badai Selatan (1960).

Di bawah payung hukum baru, Film Establishment


Act No. 1 (1964), pemerintah mulai aktif terlibat dalam
perfilman Indonesia melalui pemberian ijin produksi
dan juga impor, ekspor dan distribusi. Film-film yang
diproduksi di Indonesia harus mendukung ideologi
dominan dan menjadi kritik yang konstruktif untuk negara.
13

1970-1990 (Penyensoran Besar-Besaran)

Hingga tahun 1970-an, film dianggap sebagai medium


berbahaya bagi stabilitas sosial. Kontrol terhadap isi film
dan produksi film dimulai dari sangat awal: pembuat film
harus mengajukan judul film, sinopsis, naskah dan daftar
kru, semuanya bisa diubah jika pejabat-pejabat negara

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


merasa tidak nyaman. Ada daftar “boleh dan tidak boleh”.
Kru film harus memiliki pengalaman tertentu sebelum naik
ke posisi baru. Seorang pengarah sinematografi harus
memiliki pengalaman 5 (lima) tahun sebagai kameramen,
seorang kameramen harus memiliki pengalaman 5 (lima)
tahun sebagai asisten kameramen, dan seterusnya.
Secara praktis tidak mungkin untuk menjadi sutradara di
Indonesia sebelum usia empat puluh. Selain izin produksi,
film melalui proses sensor, pejabat lain pun dapat
memotong gambar dan suara yang problematis secara
politik dan moral.

Pada masa penyensoran besar-besaran ini, pembuat


film yang kritis harus menyembunyikan agenda sosial
mereka dan secara hati-hati membunyikan pernyataan
publik. Pekerjaan pembuat-pembuat film seperti
Sjumandjaja, Teguh Karya atau Arifin C. Noer menawarkan
tampilan yang lebih dekat pada situasi tersebut.

Namun banyak juga pembuat film dan produser lain


memutuskan mengambil rute yang mudah: berfokus
pada film sebagai hiburan. Kontrol politik yang termasuk
perlindungan dari film asing, yang dicurigai memberikan
pengaruh buruk atau pemikiran kritis kepada massa,
14

menempatkan film lokal tanpa kompetisi. Dengan


orientasi yang disebut di atas, mendorong industri film
membuat film sebanyak mungkin, sebagian besar film
lokal dibuat secara instan dan tanpa kontrol kualitas yang
semestinya.

Beberapa pembuat film perempuan yang terkenal


pada era ini adalah Chitra Dewi sebagai sutradara
Penunggang Kuda dari Cimande (1971), Bercinta Dalam
Gelap (1971) dan Dara-Dara (1971) serta Ida Farida yang
menulis naskah Melawan Badai (1974) dan menyutradarai
Guruku Cantik Sekali (1979), Tak Ingin Sendiri (1985) dan
Suara Kekasih (1989)

1990-1999 (Globalisasi)

Saat proses globalisasi di awal tahun 1990-an


mendorong pemerintah otoritarian lebih terbuka pada
produk budaya Barat, film-film Hollywood masuk kembali
ke pasaran. Produksi film lokal jatuh hingga hampir nol di
pertengahan dekade, meninggalkan hanya beberapa film
erotik tiap tahun. Perusahaan film besar fokus membuat
film-film untuk televisi. Satu atau dua lulusan film, seperti
maestro Garin Nugroho, mulai membuat film cerita
panjang tanpa izin dan memenangkan penghargaan
internasional. Pada era ini Garin menjadi salah satu pionir
pembuat film amatir.
15

1999 - Kini

Semuanya baru dimulai lagi saat beberapa pembuat


film idealistik memutuskan membangun industri lokal
dari awal di akhir 1990-an dan meletakan apresiasi tinggi
kepada lulusan-lulusan sekolah film. Mereka adalah anak
muda global yang tumbuh dengan film Hollywood dan

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


saluran MTV (Music Television), seperti pembuat film
perempuan Mira Lesmana, Nia Dinata, Shanty Harmayn,
Nan Achnas dan sutradara laki-laki seperti Riri Riza, Joko
Anwar, Hanung Bramantyo, atau Ifa Isfansyah. Mereka
terdidik, global dan kosmopolitan yang tidak memiliki
masalah bekerja dengan standar industri luar negeri.
Segera di akhir tahun 2000-an, perusahaan film besar
kembali dan berjuang untuk mendapatkan slot di bioskop.

Sebelum pandemi Covid-19, sebagian besar pembuat


film pionir di awal tahun 2000-an memiliki perusahaan
film yang bekerja dengan logika “butik” di mana mereka
membuat film berkualitas tinggi setiap satu atau dua
tahun. Sementara perusahaan film besar juga membuat
satu atau dua film dengan nilai produksi tinggi setiap
tahun dan banyak film-film yang dibuat dengan tujuan
hiburan dan laba.
Dari sekelumit sejarah di atas, kita dapat
menghubungkan lonjakan-lonjakan angka pekerja
film di akhir 1960-an hingga 1980-an kepada
usaha pemerintah untuk mendorong film lokal
dan penurunan yang terjadi setelahnya ke masa
globalisasi saat film-film impor mendominasi
pasar lokal. Industri kemudian mendapatkan
hidupnya kembali di awal tahun 2000-an dengan
naiknya generasi pembuat film baru. Pada bagian
berikutnya, kita akan mempelajari hasil dari
pengumpulan data terpilah-gender dari industri
film Indonesia.
KETIMPANGAN
GENDER
DALAM
PROFESI
PERFILMAN

Data berikut menunjukkan total angka dan


persentase perempuan dan laki-laki pada tiap
profesi dalam industri. Dari katalog publik www.
filmindonesia.or.id, teridentifikasi sembilan
profesi; 1) produser, 2) produser pelaksana, 3)
sutradara, 4) penulis skenario, 5) pengarah
sinematografi, 6) penyunting gambar, 7) pengarah
artistik, 8) penata suara, 9) penata musik. Klaster
data ini juga ditampilkan bersama dengan
membandingkan akses, tren dalam triangle system
dalam produksi film dan pekerja teknis dalam
film.
19

Produser

Dianggap sebagai “Tuhan” dalam film, produser


memegang pengaruh sangat besar dalam produksi
film. Merekalah yang memiliki ide-ide untuk sebuah film
dan merancang produksinya. Kesetaraan dalam profesi
ini sangatlah penting. Representasi perempuan dalam

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


profesi ini begitu timpang, meskipun terdapat beberapa
nama produser perempuan yang paling terkenal dalam
perfilman Indonesia seperti Mira Lesmana, Nia Dinata,
Shanti Harmayn, Meiske Taurisia dan Sheila Timothy.

Dari data jelas terlihat bahwa jumlah produser


perempuan selalu jauh lebih rendah dari laki-laki. Meski
sejak tahun 2000 terjadi kenaikan jumlah, namun angka
perempuan yang bekerja sebagai produser tidak pernah
mencapai setengah dari angka laki-laki.

Berdasar kronologis waktu, jumlah perempuan yang


menjadi produser meningkat sejak pascareformasi (tahun
2000-an). Jumlah produser perempuan terbanyak tercatat
pada tahun 2019 dengan total 42 orang.
20

DATA PRODUSER PER TAHUN


DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA
21

PERSENTASE PRODUSER PER DEKADE


22

Data juga menunjukkan bahwa total jumlah angka


produser perempuan di dekade terakhir mencapai
302, meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan
dekade sebelumnya. Angka tersebut menunjukkan lebih
terbukanya akses bagi perempuan untuk bekerja sebagai
produser meski belum sepenuhnya. Dominasi laki-laki
dalam profesi ini belum pernah lebih rendah dari 70%.
Partisipasi perempuan sebagai produser dalam satu
dekade bahkan tidak pernah mencapai 30% dari total
industri.

TREN PRODUSER PER DEKADE


23

Produser Pelaksana

Menurut data, produser pelaksana pertama di


Indonesia ternyata adalah perempuan. Profesi ini pertama
kali muncul dalam perfilman Indonesia berdasar data
tahun 1983. Data produser pelaksana perempuan kembali
muncul pada tahun 1984 dan 1991. Tahun sesudahnya

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


hingga 2003 tidak ada lagi data yang menunjukkan
kemunculan perempuan sebagai produser pelaksana.

Laki-laki pertama yang bekerja sebagai produser


pelaksana ditemukan paling awal tahun 2004. Data baru
menjadi konsisten setelah tahun 2007. Pola data seperti
ini muncul karena istilah “produser pelaksana” (line
producer) belum lama diadopsi secara formal dalam
industri perfilman Indonesia. Istilah ini mulai dikenal
pascareformasi, sesudah perfilman Indonesia bangkit
dari mati suri, ketika industri mulai menggunakan lulusan
sekolah film.

Sebelumnya, para pelaku industri perfilman


didominasi oleh mereka yang tidak mengenyam
pendidikan perfilman secara formal. Alasan itulah yang
menyebabkan penggunaan istilah yang sedikit berbeda
dengan yang umumnya digunakan industri perfilman di
negara lain.
24

DATA PRODUSER PELAKSANA PER TAHUN


25

Produser pelaksana bertanggung jawab atas berbagai


hal selama proses produksi, termasuk beberapa tugas
rinci seperti menerjemahkan naskah menjadi anggaran,
membuat penyesuaian-penyesuaian sesuai permintaan
produser, hingga lingkup kerja yang lebih luas terkait
persyaratan-persyaratan naskah seperti lokasi, set,
properti, kostum, dan seterusnya. Mengingat profesi ini

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


berhubungan dengan tugas-tugas yang berorientasi
pada detil, tidak mengejutkan jika banyak perempuan
menekuni profesi ini dibandingkan profesi lain.
Perempuan secara tradisional dianggap lebih baik pada
tugas seperti ini dibandingkan laki-laki.

Total perempuan yang bekerja di profesi ini lebih


rendah daripada laki-laki, meskipun pada tahun 2007
angkanya relatif seimbang. Pada tahun 2008 keterlibatan
laki-laki sebagai produser pelaksana dua kali lebih
banyak daripada perempuan. Jumlah perempuan yang
bekerja sebagai produser pelaksana mencapai angka
tertinggi pada tahun 2019. Pada tahun yang sama tercatat
sebanyak 58 perempuan menempati posisi produser
pelaksana, sedangkan laki-laki yang menempati posisi
sama tercatat total 56 orang.

Grafik berikut menunjukkan, pada dekade 2010-


2020, total perempuan yang bekerja sebagai produser
pelaksana mencapai 297 orang. Angka ini menunjukkan
peningkatan signifikan sejak dekade 2000-2009.
Meskipun terjadi peningkatan, partisipasi perempuan
dalam profesi ini masih tidak lebih dari angka 44%.
26

PERSENTASE PRODUSER PELAKSANA PER DEKADE

TREN PRODUSER PELAKSANA PER DEKADE


27

Sutradara

Sutradara memegang peran penting dalam keputusan


kreatif pada pembuatan film. Mereka bertanggungjawab
memvisualisasikan naskah dan mengarahkan kru dan
aktor untuk mencapai visi produser. Nama perempuan
pertama kali tercatat sebagai sutradara film Indonesia

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


pada tahun 1950. Jumlah sutradara perempuan di
industri perfilman Indonesia mencapai angka tertinggi
pada tahun 2012 dengan total 22 orang. Jumlah ini tak
mencapai 20% dari 132 orang sutradara laki-laki pada
tahun 1977.

Meskipun ada peningkatan angka secara tetap setelah


tahun 2000, jumlah sutradara perempuan hanya 19% dari
angka total pada dekade 2000-2009.

Jumlah sutradara perempuan naik hingga berjumlah


124 orang selama dekade 2010-2020. Pada dekade yang
sama, jumlah sutradara laki-laki mencapai 996 orang,
lebih dari dua kali lipat dari dekade 2000-2009.
28

DATA SUTRADARA PER TAHUN


DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA
29

PERSENTASE SUTRADARA PER DEKADE


30

TREN SUTRADARA PER DEKADE

Penulis Skenario
Keterlibatan perempuan sebagai penulis skenario
menunjukkan tren berbeda dibandingkan dengan profesi
lainnya dalam industri film. Penulis skenario perempuan
yang pertama tercatat adalah pada tahun 1927, hanya
selisih satu tahun sejak film pertama dibuat di Indonesia.
Sejak tahun 1951, hampir tiap tahun ada film yang
ditulis oleh penulis skenario perempuan. Ketidakhadiran
perempuan dalam profesi ini tercatat pada 6 tahun yang
berbeda (1956, 1959, 1963, 1965, 1967, dan 2001). Data
ini menunjukkan bahwa kehadiran perempuan sebagai
penulis skenario termasuk ajeg dan konsisten, tidak
seperti profesi lainnya. Keajegan itu tak serta merta ada
kesetimbangan jumlah dan persentase antara penulis
skenario laki-laki dan perempuan.
DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA
31

DATA PENULIS SKENARIO PER TAHUN


32

PERSENTASE PENULIS SKENARIO PER DEKADE


33

Pada dekade 2010-2020, jumlah penulis skenario


perempuan meningkat hampir tiga kali lipat dari dekade
2000-2009, namun angka itu hanya terhitung 32%
dibandingkan laki-laki.

TREN PENULIS SKENARIO PER DEKADE

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


Sebuah catatan penting mengenai profesi perempuan
sebagai penulis skenario adalah keterlibatan sebesar
32% (2010-2020) dan 31% (2000-2009) merupakan
persentase terbesar keterlibatan perempuan di industri
film dibandingkan dengan profesi lainnya.

Tingkat keterlibatan perempuan yang lebih tinggi


kemungkinan besar disebabkan oleh sifat pekerjaannya.
Pekerjaan menulis naskah dapat dilakukan di rumah
dengan waktu kerja yang lebih fleksibel, tidak seperti
profesi-profesi lain. Alasan inilah yang mungkin kenapa
34

banyak perempuan memilih profesi penulis skenario.


Beban pekerjaan domestik menyebabkan perempuan
cenderung menekuni profesi di bidang perfilman
yang memungkinkan mereka bekerja sambil sekaligus
mengerjakan peran domestik dan reproduksi mereka.

Pengarah Sinematografi

Seorang pengarah sinematografi bertanggung


jawab membuat keputusan-keputusan artistik dan teknis
terkait gambar, seperti tata kamera atau pencahayaan.
pengarah sinematografi perempuan pertama tercatat
pada tahun 1959 dan kemudian tidak ada lagi hingga era
2000-an. Perkembangan industri film pascareformasi tak
menjadikan perempuan memilih profesi ini.

Angka tertinggi jumlah perempuan yang menjadi


pengarah sinematografi adalah 16 orang pada tahun
2019. Angka ini sangat rendah jika dibandingkan
dengan pengarah sinematografi laki-laki yang mencapai
jumlah 133 orang pada tahun 1977. Pekerjaan pengarah
sinematografi yang bersifat cukup teknis nampaknya tak
terlalu dipilih perempuan, kemungkinan terkait dalam
peran gender tradisional di mana hal-hal teknis biasanya
dibebankan pada laki-laki.
DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA
35

DATA PENGARAH SINEMATOGRAFI PER TAHUN


36

PERSENTASE PENGARAH SINEMATOGRAFI PER DEKADE


37

Grafik tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan


perempuan dalam profesi ini hanya mencapai 9% di
dekade 2000-2009. Selama 7 (tujuh) dekade sebelumnya
posisi pengarah sinematografi sepenuhnya (100%)
dipegang oleh laki-laki.

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


TREN PENGARAH SINEMATOGRAFI PER DEKADE
38

Penyunting Gambar

Profesi penyunting gambar (editor) dalam perfilman


Indonesia muncul pertama kali pada tahun 1937.
Penyunting gambar bertugas mengedit rekaman film
mentah dan menyusunnya adegan demi adegan dalam
cerita yang padu.

Hingga awal tahun 2000-an, laki-laki masih


mendominasi profesi ini, meskipun ada peningkatan
partisipasi perempuan. Sejak 2002, tercatat perempuan
mulai bekerja sebagai penyunting gambar, dan angka
ini terus meningkat meskipun tidak signifikan. Partisipasi
tertinggi perempuan dalam profesi penyunting gambar
mencapai angka 24 orang pada tahun 2019, sementara
penyunting gambar laki-laki mencapai 155 orang.
DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA
39

DATA PENYUNTING GAMBAR PER TAHUN


40

PERSENTASE PENYUNTING GAMBAR PER DEKADE


41

Persentase jumlah penyunting gambar perempuan


dalam industri perfilman selama dua dekade terakhir
tercatat lebih tinggi daripada persentase pengarah
sinematografi perempuan dalam dekade yang sama.
Sepanjang empat dekade sebelum tahun 2000, tercatat
hanya ada 5 (lima) penyunting gambar perempuan. Pada
dua dekade berikutnya, keterlibatan perempuan sebagai

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


penyunting gambar meningkat meski tidak pernah lebih
dari 14%.

TREN PENYUNTING GAMBAR PER DEKADE


42

Pengarah Artistik

Pengarah artistik bertanggung jawab dalam rancangan


set film dan pengelolaan konstruksi set film. Profesi ini juga
menjadi penghubung antara perancang produksi dengan
kru konstruksi. Profesi pengarah artistik, berdasarkan data
di perfilman Indonesia, tercatat pertama kali pada tahun
1940.

Data perempuan yang menekuni profesi pengarah


artistik tercatat pertama kali pada tahun 1953. Kehadiran
perempuan sebagai pengarah artistik, meski tidak begitu
signifikan jika dibandingkan dengan jumlah laki-laki,
terlihat cukup stabil di era 1970-an hingga 1980-an.

Pada tahun 2019, tercatat sebanyak 100 film yang


melibatkan pengarah artistik perempuan. Angka ini paling
tinggi jika dibandingkan dengan tahun-tahun yang lain.
Pada tahun yang sama, tercatat ada 121 pengarah artistik
laki-laki. Proporsi ini adalah proporsi tertinggi perempuan
bekerja di film dibandingkan dengan tahun-tahun lainnya
dan profesi-profesi lainnya.

Dari grafik berikut terlihat angka proporsi perempuan


sebagai pengarah artistik cukup stabil sejak tahun 2010.
DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA
43

DATA PENGARAH ARTISTIK PER TAHUN


44

PERSENTASE PENGARAH ARTISTIK PER DEKADE


45

Pada dekade 2010-2020, terlihat bahwa angka


partisipasi pengarah artistik perempuan mencapai 41%,
sementara laki-laki mencapai hampir 60%. Pada dekade
yang sama, secara persentase keterlibatan perempuan
sebagai pengarah artistik paling tinggi dibandingkan
profesi lain.

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


TREN PENGARAH ARTISTIK PER DEKADE
46

Penata Suara

Penata suara selain bertanggung jawab atas kejernihan


dialog, ia juga merancang berbagai efek suara yang
dibutuhkan sebuah film. Profesi penata suara dalam
perfilman Indonesia ditemukan tercatat pertama kali pada
tahun 1931. Dua puluh tahun kemudian, pada tahun 1951
tercatat kehadiran perempuan yang menekuni profesi
penata suara.

Sama dengan pengarah sinematografi perempuan,


dari grafik terlihat bahwa partisipasi perempuan sebagai
penata suara sangat rendah. Partisipasi perempuan dalam
profesi ini mencapai puncaknya pada tahun 2019 dengan
jumlah 11 orang penata suara perempuan. Angka ini masih
sangat rendah jika dibandingkan dengan partisipasi laki-
laki yang mencapai angka 113 orang pada tahun 1977.

Dari tahun 1930 hingga 1999 tercatat hanya ada 6


perempuan yang bekerja sebagai penata suara dan
semuanya ada di dekade 1950-an. Pascareformasi, angka
ini tidak naik secara signifikan dengan hanya maksimal 7%
penata suara perempuan dari total angka per tahun. Data
ini menunjukkan perempuan yang bekerja sebagai penata
suara paling minoritas dibandingkan profesi-profesi lain.
DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA
47

DATA PENATA SUARA PER TAHUN


48

PERSENTASE PENATA SUARA PER DEKADE


49

TREN PENATA SUARA PER DEKADE

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


Penata Musik

Penata musik memilih musik yang digunakan dalam


film untuk menciptakan atmosfer yang sesuai dengan
pengadeganan dan tema cerita dalam film. Mereka
mengawasi pekerjaan komposer dan musisi yang direkrut
untuk film.

Grafik berikut menunjukkan jumlah penata musik/


komposer/penata aransemen perempuan dan laki-laki
selama bertahun-tahun sejak pertama dicatat pada tahun
1930. Penata suara perempuan pertama ditemukan pada
tahun 1957 dan angka tersebut tetap rendah hingga
sekarang. Angka tertinggi penata musik perempuan
ditemukan pada tahun 2012 dengan jumlah hanya 23,
dibandingkan dengan laki-laki berjumlah 116 pada tahun
2018.
50

DATA PENATA MUSIK PER TAHUN


DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA
51

PERSENTASE PENATA MUSIK PER DEKADE


52

TREN PENATA MUSIK PER DEKADE

Jumlah penata suara musik perempuan meningkat


dalam dua dekade terakhir. Perempuan yang bekerja
sebagai penata musik 153 orang di dekade 2010-2020.
Angka ini tetap tidak signifikan dibandingkan dengan
penata musik laki-laki. Penata musik perempuan hanya
terdiri dari 16% dari total pekerja penata musik. Artinya,
serupa dengan data pengarah sinematografi, penata
suara dan penyunting gambar, angka perempuan
yang bekerja sebagai penata musik sangat rendah
dibandingkan dengan profesi lain seperti penulis skenario
dan pengarah artistik.
53

Kesimpulan

Dari data di atas, cukup jelas bahwa perempuan selalu


menjadi minoritas dalam setiap profesi dalam produksi
film. Meskipun terdapat sedikit variasi di antara profesi-
profesi tersebut, secara keseluruhan proporsi perempuan
selalu rendah, termasuk di era pascareformasi. Hal ini

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


cukup menyedihkan mengingat beberapa individu
yang sangat berperan dalam menghidupkan kembali
perfilman Indonesia pascareformasi adalah perempuan.
Perempuan masih belum dapat menantang dominasi
laki-laki dalam profesi-profesi ini. Ilustrasi grafik-grafik
berikut adalah perhitungan angka rata-rata setiap profesi
selama 10 dekade sejak tahun 1926 hingga 2020 dan
membandingkannya antara laki-laki dan perempuan.
Data menunjukkan bahwa perempuan adalah minoritas
dalam setiap profesi.

Partisipasi tertinggi perempuan ditemukan dalam


profesi produser (72,8), penulis skenario (80,2), dan artistik
(80,3). Partisipasi terendah perempuan ditemukan pada
profesi penata suara (8,1), pengarah sinematografi (12,4),
dan penyunting gambar (22,6). Kesenjangan terbesar
antara perempuan dan laki-laki ditemukan dalam profesi
sutradara (338,7) dan kesenjangan terkecil ditemukan
dalam profesi produser pelaksana (26,7). Anomali data
pada profesi produser pelaksana, membuat kita fokus
pada kesenjangan terbesar kedua yaitu pengarah artistik
(207, 8).
54

JUMLAH RATA-RATA PEKERJA


PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI BERDASAR PROFESI
55

Data tersebut menunjukkan bahwa perempuan


sama sekali tidak ditinggalkan dalam perkembangan
industri film di Indonesia. Saat tren industri menunjukkan
peningkatan dalam pekerjaan film, jumlah pekerja film
perempuan, meskipun minoritas juga menunjukkan
peningkatan. Hampir dalam semua profesi, pekerja
perempuan meningkat jumlahnya pada gelombang

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


pertama perkembangan industri film Indonesia (1970-
1979) dan terus meningkat pada dekade 1980-1989.
Angka profesional perempuan menurun pada dekade
1990-1999 ketika perfilman Indonesia kolaps dan
memengaruhi angka produksi film dan juga pekerja
film. Pekerja film dan produksi film Indonesia kembali
pada tahun 2000-an di era pascareformasi. Dalam
beberapa profesi, lonjakan kenaikan sangat tajam seperti
ditunjukkan grafik di bawah ini. Pengarah artistik, penulis
skenario, produser dan produser pelaksana menunjukkan
kenaikan tajam partisipasi perempuan pada dua dekade
terakhir (2000-2020) dengan adanya 667 pengarah
artistik perempuan. Sementara tren perempuan yang
bekerja sebagai penata suara, pengarah sinematografi
dan sutradara sangat minimum. Contohnya, jumlah
penata suara perempuan adalah yang terendah dengan
hanya 48 perempuan terlibat dalam dekade terakhir
(2010-2020).
56

TREN PROFESI PEREMPUAN

Grafik berikut menunjukkan kenaikan persentase


keterlibatan perempuan dalam profesi film di setiap
dekade. Keterlibatan terbesar perempuan adalah di
sektor artistik (59%), penulis skenario (39%) dan produser
pelaksana (26%) yang meningkat di dua dekade terakhir.
57

PERSENTASE PROFESI PEREMPUAN PER DEKADE

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


Riset ini juga mempertimbangkan triangle system
(produser, sutradara, penulis) dalam produksi film untuk
melihat bagaimana perempuan berperan dalam posisi-
posisi pemegang keputusan. Dari grafik berikut terlihat
dominasi laki-laki dalam ketiga profesi, yakni sutradara
(93%), produser (81%) dan penulis skenario (80%).
58

PERSENTASE PROFESI DALAM T RIANGLE SYSTEM

Analisa data keterlibatan perempuan dalam pekerjaan


teknis menunjukkan, sekali lagi, dominasi laki-laki.
Partisipasi terendah perempuan ditemukan dalam penata
suara dengan hanya 3% sedangkan partisipasi tertinggi
perempuan dalam kerja teknis adalah sebagai pengarah
artistik 22%, persentase ini lebih besar dari angka
persentase perempuan yang bekerja sebagai penulis
skenario.
DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA
59

PERSENTASE PEKERJAAN TEKNIS


Dari paparan data tersebut dapat disimpulkan
bahwa laki-laki masih mendominasi profesi dalam
pembuatan film, baik profesi dalam triangle system
maupun profesi pekerjaan teknis. Keterlibatan
perempuan dalam kedua area terbanyak hanya
mencapai 20%. Pola ini tampaknya terkait dengan
peran gender konvensional di mana hal-hal yang
dianggap “teknis” ditugaskan pada laki-laki
sedangkan perempuan melakukan hal-hal yang
tidak begitu teknis, terutama pekerjaan yang
membutuhkan ketelitian tertentu atau dalam
pengelolaan hubungan dengan orang-orang
atau pekerja seperti dalam pengarah artistik.
Pertimbangan fleksibilitas pekerjaan berpengaruh
terhadap persentase pekerjaan tertentu seperti
penulis skenario. 2

2
Data terkait ini bisa dilihat pada presentasi Citra Dewi Utami yang bisa diakses melalui tautan:
https://kafein.or.id/panel-mahasiswa-dan-pembuat-film-muda/
AKSES
PRODUKSI
DAN
MANFAAT
EKONOMI
63

Penerima Dana Publik

Data pendanaan dikumpulkan dari dua program


pendanaan pemerintah: 1) program fasilitasi fiksi pendek
dan dokumenter 2018-2019 oleh Pusbang Film dan 2)
Dana Istimewa dari Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta
2012-2019. Grafik berikut menunjukkan bahwa hanya

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


24% dari penerima dana ini adalah perempuan.

PERSENTASE PENERIMA DANA PUBLIK


64

Informasi dan Akses terhadap Kerja

Data terkait pengetahuan mengenai akses terhadap


kerja dan manfaat kerja yang berbeda bagi laki-laki
dan perempuan diperoleh dari kuesioner daring yang
disebarkan ke asosiasi-asosiasi profesional dan asosiasi
dokumenter. Terdapat 94 responden, terdiri dari 28
perempuan (30%) dan 66 laki-laki (70%).

Ketika ditanyakan apakah mudah bagi mereka


untuk mengakses pekerjaan atau informasi mengenai
pekerjaan, tercatat 69% perempuan menjawab YA, lebih
banyak dari laki-laki (48%) yang menjawab sama.

INFORMASI DAN AKSES PEKERJAAN


65

Frekuensi Keterlibatan Produksi Film

Pertanyaan terkait frekuensi keterlibatan dalam


produksi film menghasilkan data bahwa hanya laki-laki
yang terlibat dalam 4 judul atau lebih dalam setahun
(14%), sementara tidak ada perempuan (0%) yang terlibat
lebih dari 4 judul setahun. Perempuan kebanyakan hanya

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


terlibat dalam 1-2 judul setahun (75%), dan sisanya (25%)
terlibat 3-4 judul dalam setahun.

PRODUKSI FILM PER TAHUN


66

Hubungan dengan Anggaran Film

Berdasar data dari asosiasi film fiksi, sebanyak 10%


responden laki-laki yang terlibat dalam film-film dengan
anggaran 20-30 milyar rupiah. Kebanyakan perempuan
(40%) terlibat dalam film dengan anggaran di bawah 20
milyar rupiah, dan 40% lainnya terlibat dalam produksi
dengan anggaran 10-20 milyar rupiah.

KETERLIBATAN BERDASAR ANGGARAN


(FILM FIKSI)
67

Sementara dalam dokumenter tidak ada ada


perbedaan signifikan terhadap akses anggaran produksi
antara laki-laki dengan perempuan.

KETERLIBATAN BERDASAR ANGGARAN


(FILM DOKUMENTER)

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


68

Upah

Pola yang serupa muncul dalam jawaban responden


terkait upah rata-rata mereka. Sebanyak 14% responden
perempuan yang menjawab kuesioner menyatakan
menerima upah lebih dari 130 juta rupiah. Sementara
sebagian besar laki-laki dan perempuan yang menjawab
kuesioner menerima upah kurang dari 30 juta rupiah.

RATA-RATA UPAH
(PRODUKSI FILM FIKSI)
69

Sekali lagi terdapat pola yang sama dalam rata-rata


upah pekerja dokumenter. Ada lebih banyak variasi dan
tidak ada perbedaan signifikan antara laki-laki dengan
perempuan, meskipun sebagian besar laki-laki (42%)
yang menjawab kuesioner menerima upah lebih rendah
dari 5 (lima) juta rupiah .

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


RATA-RATA UPAH
(PRODUKSI FILM DOKUMENTER)
Data pendukung dari kuesioner yang disebar
dan dikirimkan kembali tentu saja bukanlah
representasi populasi. Setidaknya ini dapat
memberikan pandangan tambahan dalam kajian
ini. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan
bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara laki-
laki dan perempuan dalam hal akses terhadap
kerja, atau penerimaan pendanaan atau upah.
Angka persentase laki-laki yang lebih besar dalam
penerimaan pendanaan publik dipengaruhi oleh
angka proporsi laki-laki dan perempuan dalam
pekerjaan produksi film. Jumlah proporsi pekerja
perempuan yang lebih sedikit sebanding dengan
proporsi angka perempuan yang menerima
pendanaan.
KETIMPANGAN
GENDER
DALAM
FESTIVAL
DAN
PENGHARGAAN
73

Festival Film Indonesia (FFI)

Festival Film Indonesia (FFI) merupakan festival yang


pertama dan berlangsung paling lama di Indonesia. Piala
Citra, sebutan penghargaan dalam festival ini, diakui
sebagai apresiasi tertinggi dalam industri film Indonesia.
Perbandingan peraih Piala Citra (di luar penghargaan

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


aktor dan aktris) antara laki-laki dan perempuan dihitung
berdasar akumulasi 8 (delapan) kategori dari tahun
1955 hingga 2019. Persentase perempuan yang meraih
penghargaan sejak penyelenggaraan Festival Film
Indonesia pertama kali pada tahun 1955 hingga 2019
tercatat hanya 8%. Hal ini menunjukkan keseluruhan
partisipasi perempuan dalam pekerjaan film sangat
rendah.

PERSENTASE PEMENANG
FESTIVAL FILM INDONESIA (FFI)
74

Berdasar data keseluruhan tersebut dilakukan


kategorisasi berdasar profesi untuk mengetahui di bagian
mana perempuan mendapatkan apresiasi tertinggi
dalam Festival Film Indonesia. Penulis skenarion adaptasi
menduduki peringkat pertama dengan angka 40%,
disusul penulis skenario (30%).

Sementara, meskipun jumlah perempuan yang


melakoni profesi penata musik dan suara tak terlalu
banyak, tercatat sebanyak 10% perempuan memenangi
kategori penata musik, dan 8% berjaya di kategori penata
suara (8%).

Sebaliknya, meski banyak perempuan yang menggeluti


profesi sebagai pengarah artistik dibanding profesi lain,
kategori ini tak banyak dimenangkan oleh perempuan.
Tercatat sebanyak 94% penghargaan kategori pengarah
artistik dimenangkan oleh laki-laki.
DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA
75

PEMENANG FFI 1955-2019


BERDASAR KATEGORI
76

Festival Film Dokumenter (FFD)

Festival Film Dokumenter (FFD) adalah festival film


dokumenter yang pertama dan terlama di Indonesia,
bahkan di Asia Pasifik. Festival yang pertama kali
diselenggarakan pada tahun 2002 ini masih terus
berjalan hingga sekarang. Festival ini membicarakan isu-
isu hak asasi manusia dan menjadi bagian penting dari
dunia dokumenter. Dari data berikut terlihat bahwa jika
dibandingkan dengan FFI, festival ini mencatat lebih
banyak pemenang perempuan. Tercatat 29% peraih
penghargaan di FFD adalah perempuan, angka ini jauh
lebih besar dari FFI yang hanya 8%. Angka ini tak berarti
film dokumenter lebih inklusif terhadap perempuan.

PEMENANG FFD 2002-2019


77

Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF)

JAFF adalah festival internasional bagi pembuat film


di seluruh Asia yang diselenggarakan di Yogyakarta. JAFF
telah dikenali sebagai penghargaan bergengsi bagi film
dan pembuat film yang bekerja di luar arus utama industri.
Festival ini dianggap memberi lebih banyak ruang bagi

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


bentuk dan perspektif baru dalam skema perfilman
Indonesia. Persentase perempuan yang memenangkan
penghargaan di festival ini adalah 38%, secara angka
paling tinggi dibanding persentase di festival lain. .

PEMENANG JAFF 2006-2019


78

Data Pendukung dari Survei Daring

Survei daring -berdasarkan data responden-


menunjukkan persentase perempuan penerima
penghargaan lebih tinggi (59%) dibandingkan laki-laki
(41%).

PENERIMA PENGHARGAAN

Penghargaan dari luar negeri juga lebih banyak


diterima perempuan yakni sebesar 18% dibandingkan
laki-laki yang hanya 5%. Sebaliknya, sebagian besar
responden laki-laki menerima penghargaan mereka di
dalam negeri (64%).
79

CAKUPAN PENGHARGAAN

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


Tidak ada perbedaan signifikan antara laki-laki dengan
perempuan dalam hal jumlah penghargaan yang diterima
oleh individu-individu. Sebagian besar perempuan (80%)
dan laki-laki (70%) menerima 1-3 penghargaan, dan
hanya sebagian kecil yang menerima 3-5 penghargaan
atau lebih dari 5 (lima) penghargaan.
Terkait penghargaan, rendahnya penghargaan
yang diterima perempuan berkait dengan jumlah
perempuan yang bekerja di industri film. Temuan
penting dan menarik adalah di beberapa festival,
seperti FFD atau JAFF, jumlah penghargaan yang
diterima perempuan lebih tinggi proporsinya
dibandingkan jumlah mereka di industri. Jika
dilihat secara rinci, meskipun hanya ada sejumlah
kecil perempuan bekerja sebagai penata suara dan
musik, beberapa dari mereka meraih penghargaan
dalam ajang Festival Film Indonesia. Satu-satunya
data yang tidak cocok adalah profesi pengarah
artistik di mana ada sebagian besar perempuan
bekerja sebagai pengarah artistik, namun proporsi
penghargaannya lebih tinggi untuk laki-laki.
PENDIDIK AN
FILM
83

Pendidikan Formal

Data admisi dan kelulusan mahasiswa dikumpulkan


dari tiga sekolah film; Universitas Pelita Harapan, Jakarta,
Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Institut Seni
Indonesia Surakarta (Jawa Tengah) dari periode 2010-
2020. Total populasi admisi mahasiswa adalah 1,597

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


dengan perbandingan 43% perempuan dan 57% laki-laki.
Angka ini menunjukkan ketimpangan gender -sekalipun
dalam jumlah kecil- dalam admisi mahasiswa.

Persentase perempuan dalam menyelesaikan studi


lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Lebih banyak
mahasiswa perempuan menyelesaikan pendidikan
mereka sementara beberapa mahasiswa laki-laki tidak
menyelesaikan gelar mereka. Tercatat hanya 52% laki-laki
yang berhasil menyelesaikan studi dari keseluruhan 57%.

DATA ADMISI DAN KELULUSAN


84

Kuesioner survei yang dilakukan secara daring


memberikan data untuk memperluas sudut pandang
terkait hal tersebut. Grafik berikut menunjukkan bahwa
sebanyak 80% pekerja film perempuan bergelar S1,
sementara laki-laki bergelar S1 hanya berjumlah 49%.
Angka ini hampir sama dengan perbandingan laki-laki
dan perempuan yang memiliki gelar S2. Sebanyak 20%
perempuan memiliki gelar S2, dan hanya 17% laki-laki
yang memiliki gelar setara. Artinya pekerja film perempuan
tampaknya memiliki pendidikan formal yang lebih tinggi
daripada laki-laki. Data lain menunjukkan sebanyak 32%
lagi laki-laki yang memiliki pendidikan dengan gelar
yang lebih rendah, yaitu 26% lulusan SMA dan 6% lulusan
diploma.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN FORMAL


85

Pendidikan Informal

Grafik berikut menunjukkan bahwa sebagian


besar responden perempuan kami memiliki akses
pada pendidikan informal, seperti bengkel kerja film,
residensi dan bentuk-bentuk kolaborasi lainnya. Total
96% perempuan dari 27 responden menjawab ya untuk

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


pertanyaan mengenai pendidikan informal, yang artinya
hanya 1 responden perempuan tidak pernah mendapat
pendidikan informal. Data menunjukkan bahwa
perempuan memiliki kesempatan lebih untuk mengakses
pendidikan informal daripada laki-laki.

AKSES PENDIDIKAN INFORMAL


86

Informasi terkait lokasi di mana responden


mendapatkan pendidikan informal terlihat dalam grafik
berikut:

LOKASI PENDIDIKAN INFORMAL

Grafik tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak


perempuan yang memiliki pendidikan informal baik
di Indonesia dan di luar negeri lebih tinggi (36%)
dibandingkan laki-laki (10%). Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa perempuan memiliki akses
pendidikan informal yang sama dengan laki-laki, dan
banyak pembuat film perempuan Indonesia mendapat
pengakuan dari luar negeri.
87

Pilihan Minat dalam Tugas Akhir


Sebagian besar sekolah film di Indonesia menawarkan
dua pilihan minat bagi tugas akhir mahasiswa yaitu kajian
film dan produksi film. Dari grafik berikut terlihat bahwa
sebagian besar mahasiswa perempuan tertarik pada
kajian film (60%) dan hanya 40% tertarik pada produksi

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


film. Sementara ada hampir 60% mahasiswa laki-laki
tertarik pada produksi film dan hanya sekitar 40% tertarik
pada kajian.31

PILIHAN MINAT TUGAS AKHIR

Data tersebut menunjukkan perbandingan jumlah


mahasiswa yang memilih produksi film dan kajian film
sebagai tugas akhir. Dari data tersebut, diperoleh data
terkait pilihan peran mahasiswa perempuan dalam
produksi film sebagai tugas akhir.

3
Data di sini sejalan dengan riset yang dilakukan Renta Vulkanita Hasan dan Lala Palupi
Santyaputri yang sudah dipresentasikan dalam Konferensi Virtual KAFEIN. Presentasi mereka
dapat diakses melalui tautan berikut: https://kafein.or.id/panel-mahasiswa-dan-pembuat-film-
muda/
88

Konsisten dengan data dari industri, sebagian besar


mahasiswa perempuan memilih penulis skenario (77%)
dan pengarah artistik (62%). Hanya beberapa memilih
penyunting gambar, pengarah sinematografi dan
sutradara, sementara tidak ada yang memilih penata
suara.

PILIHAN PERAN DALAM PRODUKSI FILM TUGAS AKHIR


89

Data berikut ini menunjukkan bahwa perempuan yang


menjawab bahwa pendidikan mereka terkait dengan
karir profesional mereka adalah 61% dan ini sedikit lebih
tinggi daripada laki-laki dengan hanya 58%.

HUBUNGAN ANTARA PENDIDIKAN


DENGAN KARIR PROFESIONAL

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA

Dari kuesioner asosiasi profesional film, diperoleh


data mengenai hubungan antara profesi pembuat film
dan latar belakang sekolah film mereka. Pertanyaan
yang diajukan adalah apakah responden memiliki latar
belakang sekolah film, atau responden pernah belajar
di program studi film dan televisi. Jawaban 94 (sembilan
puluh empat) responden menunjukkan bahwa 44%
pembuat film perempuan dan 51% pembuat film laki-laki
memiliki latar belakang film. Grafik berikut menunjukkan
bahwa jumlah laki-laki dengan latar belakang sekolah
film lebih banyak dari perempuan.
90

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

Beasiswa

Data terkait beasiswa film dikumpulkan dari sekolah


film dan organisasi film. Salah satu lembaga perfilman
tersebut adalah Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang
Film) -sebuah lembaga pemerintah berfokus pada
film- di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang
memberikan beasiswa bagi mahasiswa film dari tahun
2017-2018.

Persentase laki-laki penerima beasiswa Pusbang film


adalah 62%, lebih besar dari persentase perempuan yang
hanya 38%.
91

SUMBER BEASISWA

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


Selain Pusbang Film, dukungan pemerintah lainnya
dalam beasiswa untuk sekolah film adalah Bidikmisi,
Peningkatan Prestasi Akademik (PPA), Supersemar,
Bantuan Biaya Mahasiswa (BBM). Tidak semua beasiswa
memberikan pembayaran penuh untuk uang sekolah,
biaya hidup dan pengeluaran lainnya. Hanya ada 1
(satu) perempuan mendapatkan pendanaan penuh dari
kampus swasta (UPH). Dari data tesebut terlihat bahwa
jumlah perempuan yang menerima beasiswa di sekolah
film lebih tinggi daripada laki-laki. Artinya sekolah film
memberikan lebih banyak akses bagi perempuan untuk
mendapatkan beasiswa dan dukungan pendanaan
dibandingkan organisasi film.
92

Data pendukung yang diperoleh dari kuesioner daring


dari asosiasi profesional menunjukkan bahwa perempuan
memiliki akses lebih banyak terhadap beasiswa (60%)
dibandingkan laki-laki (30%). Namun bagi responden
secara keseluruhan, akses terhadap beasiswa masih
minim.

Grafik berikut menunjukkan bawah bahwa sebanyak


70% laki-laki tidak memiliki akses beasiswa. Fakta bahwa
perempuan memiliki akses lebih terhadap beasiswa
pendidikan formal mungkin terkait dengan persentase
lebih tinggi kelulusan perempuan dari sekolah film
sebagaimana disebut sebelumnya.

BEASISWA PENDIDIKAN FORMAL


93

Terkait akses beasiswa pendidikan informal,


responden perempuan menjawab menerima beasiswa
informal, sedangkan hanya 23% responden laki-laki yang
mendapatkan kesempatan ini.

BEASISWA PENDIDIKAN INFORMAL

DATA TERPILAH GENDER INDUSTRI FILM INDONESIA


94

Dosen Film

Data mengenai proporsi gender dosen film


dikumpulkan dari 3 (tiga) sekolah film. Jumlah dosen
perempuan sebanyak 33%. Jumlah dosen perempuan
kurang dari setengah dari persentase dosen laki-laki
(67%). Persentase dosen perempuan yang tidak imbang
ini kemungkinan memengaruhi tidak adanya perspektif
perempuan dalam pengajaran film.

PERBANDINGAN DOSEN FILM


Dari sisi pendidikan, tampaknya perempuan
lebih beruntung di sekolah film daripada di
industri. Proporsi perempuan yang menyelesaikan
pendidikan dan mendapatkan beasiswa lebih
tinggi, tetapi preferensi mereka dalam profesi
sejalan dengan apa yang terjadi di industri.
Perempuan lebih suka melakukan kajian film, dan
dalam produksi film mereka lebih suka berperan
sebagai penulis skenario dan pengarah artistik.
Satu area yang dapat diperbaiki adalah proporsi
gender dosen film untuk membawa perspektif
yang lebih imbang dalam pengajaran film.
KESIMPULAN
BAGIAN
PERTAMA
Dari analisis yang telah dilakukan dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:

• Perempuan tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh


industri. Saat industri berkembang, terutama
pascareformasi, keterlibatan perempuan juga
meningkat, meskipun dalam persentase kecil.
Industri masih didominasi oleh laki-laki dalam hal
jumlah.

• Berdasarkan kuesioner, perempuan hampir


tidak memiliki masalah mengakses industri
untuk bekerja jika mereka mau. Perempuan juga
menerima pendanaan film dan dapat bekerja baik
dalam produksi dengan anggaran besar maupun
kecil. Terlebih lagi, tidak ada perbedaan signifikan
dalam upah antara pekerja laki-laki dengan
perempuan dalam industri.

• Namun, perlu diperhatikan bahwa perempuan


cenderung untuk memilih profesi perfilman
yang menawarkan fleksibilitas lebih. Profesi yang
dimaksud antara lain penulis skenario, pengarah
artistik, produser pelaksana. Jumlah perempuan
pada profesi sutradara, pengarah sinematografi,
penyunting gambar, penata suara, dan pengarah
musik sangat kecil. Ini konsisten baik di industri
maupun sekolah film. Pilihan tersebut bisa jadi
terkait dengan peran gender konvensional, yang
mereservasi pekerjaan teknis untuk laki-laki; dan
perempuan memilih peran profesional yang
memungkinkan mereka melakukan peran gender
konvensional mereka sebagai anak perempuan,
ibu dan istri.
• Perempuan hanya menerima proporsi
penghargaan yang sangat kecil dalam profesi
perfilman (kecuali aktris, yang memiliki kategorinya
sendiri), namun ini mungkin berkorelasi dengan
proporsi perempuan yang terlibat dalam industri
yang mana angkanya sangat kecil. Tampaknya ada
apresiasi lebih untuk perempuan dalam festival
film dokumenter atau festival film arus pinggir
meskipun ini mungkin dikarenakan periode waktu
dari festival-festival dan penghargaan tersebut.

• Tampaknya perempuan lebih beruntung di


sekolah film daripada di industri. Terdapat angka
yang lebih berimbang antara mahasiswa laki-laki
dengan perempuan di sekolah-sekolah film jika
dibandingkan dengan angka di industri. Ada lebih
banyak perempuan yang berhasil menyelesaikan
sekolah film dibandingkan dengan laki- laki dan
lebih banyak perempuan menerima beasiswa di
sekolah film.
Industri film Indonesia tampaknya cukup
terbuka untuk partisipasi perempuan, namun
patut dipertanyakan apakah ada sesuatu yang
Sebagaimana
menghalangi terlihat
perempuan dari untuk
kesimpulan di atas,
berpartisipasi.
industri film Indonesia tampaknya
Sebagai respon dari analisis data-data tersebut cukup
terbuka untuk partisipasi perempuan,
dalam bagian pertama ini adalah formula sejumlahnamun
patut
rencanadipertanyakan apakahdan
aksi yang ditujukan ada sesuatu
serta yang
melibatkan
menghalangi perempuan
pemangku kepentingan untuk Indonesia
perfilman berpartisipasi.
untuk
Sebagai respon dari analisis data-data
mencapai kesetaraan gender dalam perfilman tersebut
dalam bagian
Indonesia. pertama
Rencana iniyang
aksi adalah formula
telah sejumlah
disusun akan
rencana aksi yang ditujukan dan serta melibatkan
menjadi bagian kedua buku ini. Semoga rencana
pemangku kepentingan perfilman
aksi yang direkomendasikan membukaIndonesia
jalanuntuk
yang
mencapai
lebih mulus bagi perempuan (dan juga perfilman
kesetaraan gender dalam kelompok
Indonesia. Rencana
termarginalisasi aksi yang
lainnya) telah berpartisipasi
untuk disusun akan
menjadi bagian kedua buku ini. Semoga
dan memberikan suara mereka kepada perfilman rencana
aksi yang direkomendasikan membuka jalan yang
Indonesia.
lebih mulus bagi perempuan (dan juga kelompok
termarginalisasi lainnya) untuk berpartisipasi
dan memberikan suara mereka kepada perfilman
Indonesia.
REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA
RENCANA AKSI
REKOMENDASI
101

KESETARAAN

INDONESIA
PERFILMAN
MENCAPAI

GENDER
UNTUK
PENDAHULUAN

Naskah ini adalah tawaran rekomendasi rencana


aksi untuk mencapai kesetaraan gender dalam
perfilman Indonesia sebagai respon terhadap hasil
penelitian data terpilah-gender. Hasil penelitian
sebagaimana terangkum dalam bagian pertama
buku ini menunjukkan adanya ketimpangan
gender dalam perfilman Indonesia. Temuan
tersebut membutuhkan tindakan lanjutan untuk
mencapai kesetaraan gender dalam perfilman
Indonesia.
103

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


Penyusunan naskah ini bertujuan untuk:

1. Merekomendasikan serangkaian rencana aksi


kepada pemangku kepentingan film Indonesia
untuk mencapai kesetaraan gender dalam
perfilman Indonesia,

2. Mengidentifikasi pemangku kepentingan yang


berpotensi untuk mengakomodasi dan melakukan
aksi yang direkomendasikan,

3. Melibatkan pemangku kepentingan dalam


perumusan rencana aksi untuk memperoleh
dukungan dan keterlibatan mereka dengan
harapan mampu meningkatkan kemungkinan
direalisasikannya aksi-aksi ini.

Analisis pemangku digunakan untuk mendefinisikan


strategi pelibatan agar rekomendasi rencana aksi ini dapat
direalisasikan. Badan Perfilman Indonesia (BPI), dengan
otoritas, representasi dan jaringan kerja yang dimiliki,
akan menjadi pemain kunci dan penggerak rekomendasi
ini. Asosiasi-asosiasi seperti Asosiasi Profesi (APROFI),
Asosiasi Program Studi Film dan Televisi (PROSFISI), dan
Asosiasi Pengkaji Film (KAFEIN) dapat dilibatkan sebagai
pelaksana. Dukungan dana, baik dari lembaga donor atau
lembaga pemerintah lain diperlukan untuk pelaksanaan
kegiatan yang direncanakan. Dengan demikian donor
merupakan pemain kunci dalam rencana aksi ini.

Organisasi-organisasi pemerintah yang terkait dengan


aksi ini seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Tenaga Kerja, Komisi X dan Komisi VIII
Dewan Perwakilan Rakyat dan juga pemerintah daerah
104

adalah pemangku kepentingan yang harus diberikan


informasi, diadvokasi dan dilibatkan dalam kegiatan. Jalur
komunikasi harus dibuka terhadap subjek dari rencana
aksi ini yaitu pekerja film perempuan, penyintas kekerasan
seksual, dosen-dosen film, mahasiswa film, dan pekerja
film secara umum. Selain harus dapat mengomunikasikan
masukan dan keluhan, para subjek juga perlu menerima
respon dari input mereka. Penonton film Indonesia perlu
dilibatkan secara strategis dengan menginformasikan
mereka tentang masalah secara umum, kemajuan dan
capaian melalui media massa dan media sosial.

Rekomendasi ini bersifat terbuka dan semoga bisa


menjadi diskursus baru dan kemungkinan diskusi lanjutan
bagi seluruh pemangku kepentingan. Rekomendasi ini
dirumuskan menggunakan dua alat yang biasa digunakan
dalam proyek-proyek pembangunan internasional yaitu
‘teori perubahan’ dan ‘analisis pemangku kepentingan’.

Teori Perubahan
Teori perubahan adalah sebuah alat yang digunakan
oleh banyak organisasi yang bekerja dalam bidang
pembangunan internasional. Sebagai sebuah alat, teori
ini memungkinkan penggunanya untuk menjelaskan
bagaimana sebuah hasil yang diinginkan dapat dicapai
dengan menciptakan perubahan-perubahan dan
bagaimana perubahan tersebut dipengaruhi oleh
kegiatan-kegiatan di dalam proyek. Teori ini tak sekadar
menunjukkan runutan pemikiran logis di balik sebuah
rumusan melainkan juga bermanfaat untuk menjamin
bahwa rencana aksi yang dirumuskan memiliki kontribusi
secara logis pada tujuan besarnya.
105

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


Penyusunan teori perubahan biasanya dimulai dengan
memperjelas atau memutuskan tujuan akhir atau tujuan
besar yang pengguna inginkan. Setelah itu, pengguna
merunut ke belakang dan memutuskan perubahan-
perubahan apa yang perlu terjadi agar tujuan besar
dapat dicapai. Perubahan-perubahan ini disebut hasil.
Aksi atau kegiatan kemudian dirumuskan untuk membuat
perubahan atau hasil yang kita inginkan tadi bisa terjadi.

Tim inti KAFEIN terdiri dari Dr. Tito Imanda, Dr. Evi
Eliyanah, Sazkia Noor Anggraini S.Ant, S.Sn, M.Sn,
difasilitasi oleh konsultan pembangunan internasional
Rahayu Siti Harjanthi, M.A, merumuskan naskah awal dari
tujuan utama dan sasaran-sasaran untuk teori perubahan
sebagai titik mula diskusi dan juga untuk merancang
kegiatan konsultasi. Naskah ini dirumuskan melalui riset
awal dan masukan dari berbagai presentasi di konferensi
virtual “Perempuan dalam film dan perfilman Indonesia”
(https://kafein.or.id/en/filmgender/).
106

Berdasarkan sasaran-sasaran yang diidentifikasi,


berikutnya dilakukan dua diskusi kelompok terpumpun
(focus group discussion/FGD). Diskusi dilakukan bersama
beberapa pemangku kepentingan film Indonesia yang
dianggap relevan untuk pengembangan teori perubahan.
Tujuan utama dari penyusunan rekomendasi rencana aksi
ini adalah “Mencapai kesetaraan gender dalam perfilman
Indonesia”. Tujuan tersebut terbagi dalam sejumlah
sasaran awal sebagai berikut:

1. Kesempatan yang setara bagi perempuan dan


kelompok marginal lainnya

2. Perfilman Indonesia menjadi tempat kerja yang


aman dari kekerasan dan pelecehan seksual

3. Perspektif gender terintegrasi dalam pembuatan


film

Mengingat bahwa penelitian ini dilakukan di tengah


pandemi, keseluruhan proses konsultasi dengan
pemangku kepentingan dilakukan melalui interaksi
daring. Diskusi kerangka kerja data terpilah gender
dengan pemangku kepentingan yang direncanakan
sebagai kegiatan pertama digantikan dengan konferensi
virtual. Konsultasi kedua dengan pemangku kepentingan
yang semestinya mendiskusikan rencana aksi digantikan
dengan serangkaian diskusi kelompok terpumpun dan
penyebaran naskah rekomendasi secara daring untuk
mengumpulkan masukan.
107

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


Diskusi kelompok terpumpun (DKT) pertama
diselenggarakan secara daring pada tanggal 26 Agustus
2020. Diskusi dilakukan dengan beberapa anggota
Badan Perfilman Indonesia untuk mendiskusikan hal-
hal yang terkait dengan industri secara umum dan
kebijakan, khususnya terkait dengan sasaran I, II dan
dukungan pembiayaan untuk sasaran III. Pesertanya
terdiri dari: Dewi Umaya (Wakil Ketua), Alex Sihar (Ketua
Bidang Advokasi Kebijakan), Gunawan Paggaru (Ketua
Bidang Organisasi dan Jaringan), Agung Sentausa (Ketua
Bidang Fasilitasi Pembiayaan Film), dan HM Bagiono
(Ketua Bidang Perlindungan dan Mediasi). Dari DKT ini
perumusan sasaran I dan II disesuaikan untuk merespon
kekhawatiran peserta menyangkut redaksi kalimat yang
seolah menunjukkan bahwa perempuan dan kelompok
marginal secara aktif dihalangi sebagai peserta perfilman
Indonesia. Sementara halangan sesungguhnya berasal
dari budaya dan struktural. Kondisi kerja dalam produksi
dan kegiatan perfilman tidak aman dan kondusif untuk
siapapun, apalagi perempuan, menjadi keprihatinan
utama. Perbaikan kondisi kerja, selain menjadi fokus
utama rencana aksi, juga diikuti dengan penambahan
beberapa kegiatan yang akan mendorong partisipasi
kelompok marginal. Bagaimanapun perbaikan kondisi
kerja semata tidak akan serta merta membuat perempuan
dan kelompok marginal lain tiba-tiba berpartisipasi dalam
kegiatan perfilman.
108

Diskusi kelompok terpumpun kedua (DKT) kedua


dilaksanakan pada 12 September 2020 bersama anggota
asosiasi sekolah film dan dosen-dosen sekolah film
untuk membicarakan soal pendidikan film. Diskusi ini
membicarakan hal-hal terkait dengan sasaran III dengan
tidak melupakan sasaran I dan II. Peserta diskusi terdiri
dari: Arief Sulistiyono, Dara Bunga Rembulan, Naswan
Iskandar, Lala Sentyapuri, Nan Achnas, Kus Sudarsono.
Kami memberikan pengantar mengenai proyek,
presentasi data terpilah gender dan juga rekomendasi
rencana aksi yang dihasilkan FGD pertama. Sebagian
besar peserta menyetujui perlunya kurikulum yang
responsif terhadap gender, proporsi gender dosen film
yang lebih seimbang, dan juga perlunya studi terhadap
isi film-film Indonesia terkait dengan sensitivitas jender.
Isu sensitivitas gender, anti kekerasan, dan anti pelecehan
seksual harus masuk sebagai bagian kode etik industri
sebagai upaya perbaikan menyeluruh. Masuknya isu-isu
gender, anti kekerasan, dan anti pelecehan seksual dalam
kode etik industri diharapkan tak hanya menjadi standar
industri melainkan juga standar baru kurikulum perfilman.
Dengan demikian memudahkan penyebaran nilai-nilai
kesadaran gender dalam kegiatan akademik.

Hasil akhir dari rencana aksi dalam bentuk teori


perubahan akan dipaparkan di bab berikutnya.
109

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


Analisis Pemangku Kepentingan
Analisis pemangku kepentingan digunakan dalam
merancang dan mengelola program pembangunan
internasional untuk membantu mengidentifikasi kelompok
pemangku kepentingan. Identifikasi ini penting untuk
menentukan kelompok mana yang harus didorong untuk
berpartisipasi dalam program dan atau mengidentifikasi
kelompok yang rentan yang perlu dilindungi dari dampak
negatif. Analisis pemangku kepentingan juga berguna
untuk menjamin bahwa pemangku kepentingan yang
relevan, yang dapat menentukan kesuksesan program
sudah dipertimbangkan secara masak.

Tiga langkah mendasar untuk membuat analisis


pemangku kepentingan adalah:

1. mengidentifikasi pemangku kepentingan dan


kepentingan mereka,

2. menilai tingkat pengaruh mereka, dan

3. mengidentifikasi strategi pelibatan untuk setiap


kelompok pemangku kepentingan.

Kelompok pemangku kepentingan kemudian akan


diposisikan dalam matriks kepentingan dan pengaruh.
Matriks terdiri dari garis x yang menunjukkan tingkat
pengaruh dan y yang menunjukkan tingkat kepentingan.
110

Saat semua pemangku kepentingan diposisikan dalam


matriks, secara umum dikelompokkan dalam empat
kelompok sebagai berikut:
111

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


Panduan umum berikut akan memberikan acuan
bagaimana cara pelibatan setiap kelompok pemangku
kepentingan.
112

Analisis pemangku kepentingan dilakukan dengan


menggunakan pengetahuan mengenai pemangku
kepentingan tersebut dan menganalisanya berdasarkan
panduan di atas. Naskah rekomendasi rencana aksi
kemudian dipasang di situs KAFEIN untuk konsultasi
publik selama 7 hari dari 21-27 September 2020.
Pemangku kepentingan, melalui aplikasi layanan pesan
seluler, diundang untuk memberikan masukan terhadap
rekomendasi. Masukan dan dukungan pemangku
kepentingan bisa dikirimkan ke alamat surel yang
disediakan. Meskipun usaha ini sudah dilakukan, respon
yang dikirimkan ke surel tak sesuai harapan. Banyak
pemangku kepentingan hanya berbagi apresiasi mereka
melalui balasan di aplikasi layanan pesan seluler.
REKOMENDASI
RENCANA
AKSI

Berikut adalah naskah pertama rekomendasi


rencana aksi sebagai hasil dari pemikiran tim inti
KAFEIN dengan masukan dari Badan Perfilman
Indonesia dan dosen-dosen sekolah film. Naskah
awal ini akan ditawarkan dan dikonsultasikan
kepada seluruh pemangku kepentingan film.
Berdasar teori perubahan ditemukan 3 (tiga)
perubahan besar yang harus dilakukan untuk
mencapai kesetaraan gender dalam perfilman.
Perubahan pertama adalah perbaikan kondisi
kerja untuk menjadi lebih aman dan inklusif,
perubahan kedua berupa dorongan bagi gender
termarginalisasi dan kelompok lain untuk
berpartisipasi dalam perfilman, dan perubahan
ketiga adalah integrasi perspektif gender dalam
pembuatan film.
115

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


Sasaran I TUJUAN
Memperbaiki kondisi kerja dalam
produksi dan kegiatan perfilman
Mencapai
Indonesia untuk menjadi ideal, aman Kesetaraan
dan inklusif bagi semua gender, Gender
termasuk mereka yang berasal dari
kelompok termarginalisasi. dalam
Perfilman
Asumsi: Kondisi kerja yang buruk
menghalangi perempuan dan kelompok Indonesia
marginal lainnya untuk berpartisipasi
dalam perfilman.

Sasaran II
Mendorong partisipasi kelompok
gender termarginalisasi dan kelompok
termarginalisasi lainnya dalam produksi
dan kegiatan perfilman Indonesia
dengan menyediakan insentif dan
membuka ruang-ruang baru bagi
mereka untuk belajar dan berkarya

Asumsi: Perbaikan kondisi kerja tidak


akan serta merta membuat perempuan
dan kelompok termarginalisasi
berpartisipasi dalam perfilman, perlu
ada dorongan secara aktif untuk
membawa mereka masuk.

Sasaran III
Perspektif gender terintegrasi dalam
pembuatan film Indonesia .

Asumsi: Keseimbangan gender tidak


menjamin film yang dibuat sensitif
gender, maka dari itu perlu usaha lebih
untuk membawa perspektif gender
dalam pembuatan film.
116

SASARAN PERTAMA yang merupakan


perbaikan kondisi kerja untuk menjadi lebih
ideal, aman dan inklusif dapat dicapai melalui
tiga aksi yang menghasilkan tiga luaran.
Sasaran ini diharapkan tak hanya mendorong
pemangku kepentingan untuk duduk bersama
dan menyetujui definisi kondisi kerja yang ideal,
aman dan inklusif serta melainkan juga bergerak
bersama untuk mencapainya.
Pelibatan asosiasi profesi perfilman penting
dilakukan sebagai bentuk dukungan mereka
terhadap usaha ini. Pembentukan kelompok
dukungan bagi para penyintas diperlukan
sebagai salah satu upaya mitigasi tindakan
kekerasan maupun pelecehan seksual yang
sudah terjadi.
117

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


Aksi 1 Hasil A
Membuat sebuah panduan Pemangku
praktik terbaik yang kepentingan
mendefinisikan kondisi menyetujui
kerja yang ideal, aman dan sebuah usaha
inklusif bagi seluruh pekerja yang terkoordinasi
termasuk untuk kelompok yang untuk mencapai
rentan dan termarginalisasi praktik terbaik
serta merumuskan strategi untuk produksi
untuk perbaikan kebijakan dan kegiatan
ketenagakerjaan perfilman perfilman yang
melalui sebuah proses yang ideal, aman dan
melibatkan seluruh pemangku inklusif.
kepentingan.

Aksi 2 SASARAN I
Memfasilitasi pertemuan
antara asosiasi-asosiasi profesi
perfilman Indonesia untuk
mendiskusikan kegiatan-
kegiatan apa yang dapat
mereka lakukan bersama-sama
untuk mencapai kondisi kerja
yang ideal, aman dan inklusif
bagi pekerja film.

Aksi 3 Hasil B
Membuat sebuah organisasi Terdapat
untuk perfilman Indonesia yang perlindungan
menyediakan perlindungan dan dukungan
dan dukungan bagi para bagi penyintas
penyintas kekerasan dan kekerasan dan
pelecehan seksual yang terjadi pelecehan seksual
dalam produksi atau kegiatan yang terjadi dalam
perfilman Indonesia. produksi atau
kegiatan perfilman
Indonesia.
118

SASARAN KEDUA adalah rekomendasi untuk


pendorongan pada gender termarginalisasi
dan kelompok termarginalisasi lainnya untuk
berpartisipasi dalam perfilman. Sasaran ini terdiri
dari empat kegiatan. Pertama adalah perlakuan
database untuk menjamin visibilitas dari
ketimpangan apapun yang masih ada, kedua
adalah mendorong lebih banyak perempuan
dan kelompok marginal dalam pembuatan
kebijakan, ketiga dengan menyediakan ruang-
ruang baru bagi pembuat film baru untuk
belajar, dan keempat adalah penyediaan ruang
untuk menampilkan karya mereka.
119

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


Aksi 4 Hasil C
Memperluas kerangka kerja Mempertahankan
untuk data terpilah gender visibilitas
perfilman Indonesia untuk ketimpangan dan
memasukkan nuansa terkait menyediakan
dengan kategori-kategori akses
marginalisasi lainnya dan pengetahuan
memelihara, memperbaharui bagi publik untuk
dan mempublikasikan data memungkinkan
tersebut. adanya advokasi
sesuai kebutuhan
atau penyesuaian
Aksi 5 kebijakan.

SASARAN II
Mendorong perempuan dan/
atau kelompok minoritas lain
untuk mencapai posisi strategis
dalam pembuatan kebijakan
perfilman.

Aksi 6 Hasil D
Membuat lokakarya kolaborasi Menyediakan
dengan calon-calon pembuat ruang-ruang
film dari gender termarginalisasi untuk film-film
atau kelompok marginal lainnya. yang dibuat oleh
atau mengenai
kelompok
Aksi 7 termarginalisasi
untuk belajar dan
Membuat kegiatan-kegiatan memamerkan
dengan berbagai tema, karya mereka
menggunakan berbagai macam sebagai bentuk
wadah untuk memamerkan insentif untuk
film-film yang dibuat oleh atau mereka tetap
mengenai kelompok yang berkarya.
termarginalisasi.
120

SASARAN KETIGA yang berfokus pada isi film,


pertama-tama diupayakan melalui advokasi
pendanaan film. Kedua dengan melakukan
transformasi pendidikan formal film untuk lebih
responsif terhadap gender. Ketiga dengan
melakukan intervensi melalui pelatihan informal
yang ditargetkan kepada berbagai kelompok
pemangku kepentingan seperti komunitas
film, dsb. Keempat adalah dengan penyusunan
katalog ulasan film terkait dengan sensitivitas
gender dan keberagaman dalam film Indonesia.
121

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


Aksi 8 Hasil E
Mengadvokasi pemilihan Terdapat insentif
pendanaan film yang berasal untuk film-
dari uang rakyat untuk film dengan
mempertimbangkan sensitivitas sensitivitas gender
gender dan keberagaman. dan keberagaman,

Aksi 9 Hasil F
Membuat sebuah panduan Terdapat
untuk mencapai kurikulum dan dokumen acuan
lingkungan yang responsif yang membantu

SASARAN III
gender untuk sekolah film. sekolah film
mentransformasi
kurikulum dan
lingkungan
mereka menjadi
lebih responsif
terhadap gender,

Aksi 10 Hasil G
Membuat pelatihan untuk Meningkatkan
berbagai kelompok pemangku kesadaran
kepentingan mengenai mengenai
perspektif gender dalam film. perspektif gender
dalam film kepada
pemangku
kepentingan film.
Aksi 11
Membuat katalog review film
terkait dengan sensitivitas
gender dan keberagaman,
IDENTIFIK ASI
PEMANGKU
KEPENTINGAN
UNTUK
IMPLEMENTASI
RENCANA
AKSI

Pada bagian ini akan ditampilkan identifikasi


pihak-pihak yang memiliki potensi untuk
memimpin aksi-aksi berdasar rekomendasi
tersebut pada bagian sebelumnya. Rekomendasi
tiap pihak yang memimpin disesuaikan dengan
kebutuhan tiap aksi. Institusi donor dan institusi
pemerintah yang memiliki pendanaan menjadi
pemangku kepentingan penting untuk setiap aksi
terkait biaya penerapannya.
123

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


AKSI 1 PELAKSANA:
Membuat sebuah panduan praktik BADAN
terbaik yang mendefinisikan
PERFILMAN
kondisi kerja yang ideal, aman
dan inklusif bagi seluruh pekerja INDONESIA
termasuk untuk kelompok yang
rentan dan termarginalisasi
serta merumuskan strategi
untuk perbaikan kebijakan
ketenagakerjaan perfilman melalui
sebuah proses yang melibatkan
seluruh pemangku kepentingan

Rekomendasi ini berdasarkan masukan dari Diskusi


Kelompok Terpumpun (DKT) yang dilakukan bersama
Badan Perfilman Indonesia. Berdasar pertimbangan
banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat, Badan
Perfilman Indonesia paling sesuai untuk memimpin
kegiatan ini. Badan Perfilman Indonesia merupakan
lembaga yang memiliki kombinasi yang tepat dari otoritas,
representasi, dan jaringan sehingga diharapkan dapat
menjalankannya secara efektif. Kementerian Tenaga Kerja
dapat dilibatkan untuk mendukung kegiatan ini begitupun
juga dengan pihak lain seperti Komnas Perempuan
dan lain-lain. Kemitraan dengan rumah produksi atau
kegiatan perfilman lain juga dibutuhkan untuk menguji
coba panduannya. Berikut adalah beberapa tahap yang
bisa dilakukan dalam implementasinya:
124

Pertama, lakukan penelitian yang akan memberikan


data-data yang membantu untuk membuat perubahan
ke arah kondisi kerja perfilman Indonesia yang lebih
inklusif bagi semua gender dan kelompok marginal
lainnya. Beberapa jenis penelitian bisa jadi dibutuhkan
untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai
kondisi kerja di perfilman Indonesia dan bagaimana hal
itu menghambat kelompok marginal untuk berpartisipasi
dalam ketenagakerjaan perfilman dengan rekomendasi
untuk bagaimana memperbaikinya. KAFEIN (Asosiasi
Pengkaji Film Indonesia), peneliti independen yang fokus
pada perempuan dalam perfilman Indonesia dan peneliti
lain yang dianggap sesuai dengan topik akan menjadi
kelompok yang terbaik untuk diundang melakukan
penelitian ini. Topik-topik penelitian yang mungkin
dilakukan:

• Mengumpulkan data kualitatif dari pekerja film


Indonesia dari berbagai posisi mengenai kondisi
kerja dan mencari masukan mereka mengenai apa
yang bisa menjadi kondisi kerja ideal bagi mereka

• Sebuah tinjauan terhadap hukum ketenagakerjaan


Indonesia dan hukum serta konvensi internasional
yang berlaku bagi praktik kerja perfilman Indonesia

• Studi perbandingan dengan praktik kerja film di


negara-negara lain

• Praktik rekrutmen yang terjadi di industri dan


kegiatan perfilman dengan rekomendasi untuk
memperbaikinya
125

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


Kedua, memfasilitasi sebuah kelompok kerja yang
bertujuan untuk mendefinisikan kondisi kerja yang
ideal, aman dan inklusif bagi seluruh pekerja termasuk
mereka yang dari kelompok rentan dan termarginalisasi
serta merumuskan strategi untuk perbaikan kebijakan
ketenagakerjaan film. Kelompok kerja ini sebaiknya
melibatkan berbagai kelompok pemangku kepentingan,
dengan perwakilan-perwakilan dari pemangku
kepentingan film, pemangku kepentingan terkait
hak-hak pekerja dan kebijakan ketenagakerjaan film.
Kelompok ini harus terdiri dari mereka yang memiliki
kepentingan terbesar dan/atau memiliki pengetahuan
terbesar mengenai masalah. Konsultan profesional dapat
dipekerjakan untuk mengatasi kurangnya pengetahuan
pada bidang-bidang tertentu. Penelitian yang berasal dari
tahap sebelumnya sebaiknya menjadi dasar bagi diskusi
yang dilakukan kelompok ini. Waktu pelaksanaan kegiatan
ini dapat memakan waktu berminggu-minggu dengan
banyak pertemuan, termasuk melakukan konsultasi
publik dan dapat dibagi-bagi menjadi beberapa klaster
jika diperlukan.

Hasil kerja kelompok ini berupa sebuah panduan


praktik terbaik yang akan membantu setiap produksi
dan kegiatan perfilman untuk menciptakan tempat kerja
yang ideal, aman dan inklusif. Panduan praktik terbaik
ini dapat digunakan secara sukarela sebagai acuan bagi
produser film yang ingin mencapai lingkungan yang ideal
dan inklusif dalam produksi film mereka. Panduan ini juga
dapat digunakan sebagai acuan untuk strategi perbaikan
kebijakan ketenagakerjaan film.
126

Panduan ini sebaiknya membahas hal-hal berikut


meskipun bisa memasukkan hal-hal lain juga:

• Bagaimana membuat pengamanan untuk


mencegah pelecehan seksual di tempat kerja
seperti dengan adanya kebijakan perusahaan,
klausa kontrak lengkap dengan contoh kontrak
disediakan, prosedur pengajuan keluhan, dsb

• Bagaimana melindungi hak reproduksi pekerja


seperti panduan mengenai aturan cuti haid, cuti
hamil atau kemungkinan untuk adanya dukungan
pengasuhan anak, dsb

• Praktik rekrutmen yang adil dan inklusif

• Aturan mengenai jam kerja, upah dan kebijakan


mengenai serikat

• Bagaimana mengakomodasi pekerja dengan


disabilitas

Ketiga, lakukan proyek percontohan dengan beberapa


rumah produksi atau kegiatan perfilman untuk menguji
coba di lapangan penerapan dan efektivitas panduan
praktik terbaiknya. Panduan praktik terbaik sebaiknya
diujicobakan untuk menjamin bahwa panduan tersebut
dapat diterapkan dan efektif. Ini membutuhkan kemitraan
dengan beberapa rumah produksi atau kegiatan
perfilman yang bersedia untuk berpartisipasi menerapkan
panduan dalam pekerjaan mereka. Perlu ada pencatatan
yang komprehensif mengenai bagaimana penerapan
berlangsung begitupun juga catatan-catatan tentang
127

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


bagian-bagian apa yang harus diperbaiki. Umpan balik
ini kemudian perlu didiskusikan lagi oleh kelompok
kerja dan untuk dilakukan penyesuaian yang diperlukan
terhadap panduannya.

Sebagai tambahan, untuk meningkatkan kesadaran


dan untuk meningkatkan kemungkinan panduannya
digunakan oleh para pemangku kepentingan, perlu
publikasi proses dan hasil kegiatan ini. Sebuah rencana
komunikasi dengan tim komunikasi serta jalur-jalurnya
perlu disiapkan sebelum proyek berjalan untuk menjamin
bahwa capaian-capaian penting dilaporkan secara efektif.

AKSI 2 PELAKSANA:
Memfasilitasi pertemuan antara BADAN
asosiasi-asosiasi profesi perfilman
Indonesia untuk mendiskusikan
PERFILMAN
tindakan-tindakan apa yang dapat INDONESIA
dilakukan bersama-sama untuk
mencapai lingkungan kerja yang
ideal, aman dan inklusif bagi
pekerja film

Berdasarkan diskusi dengan anggota pengurus


Badan Perfilman Indonesia, jelas bahwa asosiasi profesi
semestinya mengambil peran sentral dalam masalah
ini. Berdasar beberapa pertimbangan, Badan Perfilman
Indonesia memiliki kapasitas mengajak asosiasi-asosiasi
perfilman untuk bertemu dan membahas tindakan apa
yang dapat dilakukan bersama-sama untuk mengadvokasi
128

dan mendukung lingkungan kerja yang ideal, aman dan


inklusif bagi pekerja film. Terdapat 9 (sembilan) asosiasi
profesi perfilman, masing-masing mewakili profesi yang
berbeda dalam perfilman: sutradara, aktor, penulis,
editor, audio, casting, perancang produksi, produser dan
sinematografer. Sebagai tambahan, “Arts for Women”
adalah sebuah asosiasi feminis untuk bagi pekerja seni
dan aktivis perempuan yang menyediakan tempat yang
aman dan nyaman, dan juga perlindungan dan advokasi
bagi pekerja seni perempuan. Karena asosiasi-asosiasi
ini merupakan organisasi yang mewakili pekerja film dan
pekerja film/seni perempuan pada saat ini, maka mereka
adalah pemangku kepentingan kunci yang memiliki
kekuatan untuk membuat perubahan jika mereka
melakukan sebuah usaha yang terkoordinasi.

AKSI 3 PELAKSANA:
Membuat sebuah organisasi BADAN
untuk perfilman Indonesia yang
menyediakan perlindungan dan
PERFILMAN
dukungan bagi para penyintas INDONESIA
kekerasan dan pelecehan seksual
yang terjadi dalam produksi atau
kegiatan perfilman Indonesia

Aksi ini diusulkan oleh Nia Dinata, salah satu produser


terkenal di Indonesia yang peduli terhadap masalah ini.
Usulannya adalah untuk membuat sebuah kelompok
dukungan untuk para penyintas kekerasan seksual di
perfilman Indonesia. Ada contoh sebuah organisasi
penyintas kekerasan seksual seperti Lentera Sintas
129

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


Indonesia yang membuka sebuah ruang aman bagi para
penyintas untuk berbagi dan menyembuhkan trauma
mereka bersama-sama.

Pendekatan serupa dapat digunakan khusus untuk


penyintas kekerasan dan pelecehan seksual yang
terjadi di dalam produksi atau kegiatan perfilman.
Karena organisasi ini khusus untuk perfilman Indonesia,
terpenuhinya rasa dekat dan lebih mudah menjangkau
orang-orang yang membutuhkan menjadi sangat
penting. Organisasi ini juga dapat memberikan dukungan
lebih jauh seperti menyediakan jasa konseling (seperti
yang dilakukan Yayasan Pulih), pendampingan hukum
jika dibutuhkan, dan juga kegiatan penjangkauan dan
peningkatan kesadaran masyarakat.

Pembentukan organisasi ini dapat difasilitasi oleh BPI


didukung oleh lembaga pemerintahan seperti Komnas
Perempuan. Organisasi bisa saja berupa unit di bawah
organisasi yang sudah ada yang relevan dengan isu;
Lentera Sintas Indonesia atau Yayasan Pulih yang disebut
di atas atau asosiasi multi-profesi yang besar seperti
Karyawan Film Televisi (KFT) bisa menjadi pilihan. Akan
tetapi, penting untuk pertama-tama berkomunikasi
dengan orang-orang yang memiliki hubungan dengan
penyintas, orang-orang yang dipercaya oleh penyintas,
dan bahkan para penyintas itu sendiri untuk memulai
organisasi ini. Dalam kasus ini, organisasi yang terbentuk
nantinya direkomendasikan bisa berkolaborasi dengan
organisasi perlindungan perempuan Arts for Women,
Lentera Sintas Indonesia dan Yayasan Pulih, dengan
koordinasi bersama Komnas Perempuan.
130

AKSI 4 PELAKSANA:
Memperluas kerangka kerja untuk KAFEIN
data terpilah-gender perfilman
Indonesia untuk memasukkan
nuansa terkait dengan kategori-
kategori marginalisasi lainnya dan
memelihara, memperbaharui dan
mempublikasikan data tersebut

Agar menjadi benar-benar inklusif, dibutuhkan data-


data yang menunjukan interseksionalitas antara gender
dan kategori-kategori marginalisasi lainnya seperti
disabilitas, minoritas etnik, kelas sosial-ekonomi dan
sebagainya. Analisis statistik juga dapat dibuat menjadi
lebih komprehensif untuk memasukkan misalnya proporsi
statistik terhadap seluruh populasi atau angkatan kerja
atau industri-industri lain. Data terpilah gender mestinya
tersedia dalam sebuah laman situs yang terbuka sebagai
sumber pengetahuan publik yang dapat digunakan
menjadi dasar penyesuaian kebijakan jika diperlukan.
Ini dapat dilakukan oleh KAFEIN melalui pemeliharaan
website terpisah atau disatukan dengan katalog film
Indonesia yang sudah ada melalui kemitraan.
131

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


AKSI 5 PELAKSANA:
Mendorong perempuan dan/atau KAFEIN
kelompok minoritas lain untuk
mencapai posisi strategis dalam
pembuatan kebijakan perfilman

Aksi ini diformulasikan berdasarkan masukan


pemangku kepentingan selama periode konsultasi
publik. Perlu ada lebih banyak representasi perempuan
dan kelompok termarginalisasi lainnya dalam posisi-
posisi kunci dalam pembuatan film dan distribusi film.
Untuk dapat mendorong lebih banyak perempuan dan
kelompok termarginalisasi lainnya untuk mencapai posisi
penting dalam kebijakan film, berikut adalah sejumlah
langkah-langkah rekomendasi:

Pertama, lakukan beberapa penelitian yang


mendukung pengetahuan dalam memformulasikan
strategi untuk meningkatkan representasi perempuan
dan kelompok termarginalisasi lainnya dalam posisi-
posisi kunci. Misalnya:

• Pemetaan kebijakan perfilman Indonesia: institusi-


institusi apa dan hukum mana yang mempengaruhi
perfilman Indonesia? Posisi-posisi mana yang
paling strategis untuk mempengaruhi kebijakan
dalam perfilman Indonesia?
132

• Pemetaan aset sumber daya manusia dan institusi


perfilman Indonesia. Individu-individu mana
yang memiliki potensi untuk mencapai posisi
penting dalam kebijakan perfilman? Apakah
mereka mendukung kelompok termarginalisasi?
Organisasi mana saja yang memiliki kemampuan
untuk mendukung kandidat? Apa kepentingan-
kepentingan yang mereka miliki?

Kedua, rekomendasikan strategi untuk meningkatkan


representasi perempuan dan kelompok termarginalisasi
lainnya dalam posisi-posisi kunci dan advokasikan strategi
tersebut pada pemangku kepentingan.

Karena bagian aksi ini berorientasi pada penelitian,


KAFEIN berpotensi untuk melaksanakan kegiatan ini.

AKSI 6 PELAKSANA:
Membuat lokakarya kolaborasi ASOSIASI
dengan calon-calon pembuat film
dari gender termarginalisasi atau
PERFILMAN
kelompok marginal lainnya

Kolaborasi adalah sebuah cara yang realistis untuk


mentransfer pengetahuan dan mendorong orang
untuk berpartisipasi dalam kegiatan perfilman dan juga
memungkinkan kisah mereka diceritakan dengan cara
yang tulus dan berarti. Donor atau pendanaan pemerintah
dapat mendanai produksi film yang menampilkan
133

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


kolaborasi antara pembuat film yang mapan dengan
orang-orang dari kelompok marginal atau gender
marginal. Bisa juga ada program mentoring misalnya
antara produser/sutradara/penulis naskah perempuan
yang sukses dengan bakat-bakat baru untuk memupuk
regenerasi untuk menghindari disparitas yang lebih
jauh. Meskipun terbatas, program-program seperti itu
sudah ada dan telah dilakukan oleh berbagai organisasi
perfilman, jadi ada berbagai pilihan kolaborator, praktik
terbaik dan pengalaman yang dapat dipelajari. Kegiatan
ini dapat dipimpin oleh asosiasi perfilman apapun seperti
KAFEIN atau APROFI.

AKSI 7 PELAKSANA:
Membuat kegiatan-kegiatan BADAN
dengan berbagai tema,
menggunakan berbagai macam
PERFILMAN
wadah untuk memamerkan INDONESIA
film-film yang dibuat oleh atau
mengenai kelompok yang
termarginalisasi

Beberapa acara dapat dibuat dengan pemrograman


yang fokus pada kelompok marginal, pada beberapa
platform yang berbeda seperti festival film, webisode,
atau penayangan televisi. Keberadaan platform digital
seperti YouTube, Viu, Iflix, Go Play, Bioskop Online, Mubi,
Disney Plus, Catchplay, Viddsee, Netflix dan lainnya telah
membuka kesempatan yang besar untuk membuat lebih
banyak acara penayangan.
134

Presentasi dari Ratna Erika M. Suwarno dalam Konferensi


Virtual menunjukkan bahwa platform digital dapat
menjadi salah satu cara untuk memajukan karir seorang
pembuat film, dalam kasus ini karir seorang sutradara
perempuan. Acara-acara khusus dapat dirancang dengan
memanfaatkan ketersediaan platform digital. Acara
tersebut dapat dibuat sesuai kebutuhan tema tertentu,
misalnya film-film yang dibuat sutradara perempuan, atau
film-film yang dibuat oleh atau mengenai orang-orang
dengan disabilitas, bisa juga tema geografis seperti
provinsi atau kelompok etnis di Indonesia. Pemilihan
tema-tema tersebut menjadi penting karena dua hal.
Pertama, mendorong keberagaman dan menyediakan
akses mereka yang tadinya tidak memiliki akses untuk
penayangan yang menjangkau luas, dan kedua bisa
mendorong mereka untuk membuat film dengan tema-
tema tersebut.

Festival bertema seperti itu cukup umum di masa


lalu, khususnya pada momen-momen setelah reformasi
politik. Sayangnya, krisis ekonomi di akhir tahun 2000-
an dan naiknya sentimen-sentimen anti-minoritas
mengakibatkan berkurangnya penyelenggaraan festival
dengan tema khusus seperti disebut di atas. Ketiadaan
festival tak berarti ketiaadan pemrogram, kurator dan
manajer. Keberadaan mereka masih dibutuhkan untuk
berkontribusi dan atau berbagi pengalaman. Tema-tema
sejenis bisa diintegrasikan dengan festival film dengan isu
khusus seperti urbanisasi, lingkungan, buruh, anti-korupsi,
kelompok etnik, bahasa lokal, dsb.
135

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


AKSI 8 PELAKSANA:
Mengadvokasi pemilihan BADAN
pendanaan film yang berasal
dari uang rakyat untuk
PERFILMAN
mempertimbangkan sensitivitas INDONESIA
gender dan keberagaman

Setiap tahun Pusat Pengembangan Perfilman


(Pusbang Film) di Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menyediakan pendanaan untuk pembuatan
film. Perubahan kelembagaan dari Pusbang Film menjadi
Direktorat Film, Musik dan Media Baru diharapkan
tak berpengaruh terhadap pendanaan pembuatan
film di masa mendatang. Selain lembaga di tingkat
pusat, optimalisasi pendanaan di tingkat pemerintah
daerah juga diperlukan. Pemerintah setingkat provinsi
diharapkan juga memiliki program pendanaan film,
seperti provinsi Yogyakarta yang memiliki “dana istimewa”
untuk mendukung seniman lokal (dan telah mendanai
film “Tilik” yang kontroversial dalam persoalan gender).

Berdasarkan hasil diskusi kelompok terarah dengan


anggota pengurus Badan Perfilman Indonesia, diperoleh
catatan penting untuk mengadvokasi kriteria pemilihan
dan kurator dari pendanaan ini untuk mempertimbangkan
sensitivitas gender dan keberagaman. Advokasi dapat
dipimpin oleh Badan Perfilman Indonesia didukung oleh
beberapa Komisi Perfilman Lokal sebagai organisasi yang
fokus pada promosi daerah spesifik untuk mendapatkan
keuntungan dari produksi film. Program kampanye perlu
dilakukan untuk meningkatkan kesadaran publik dan
136

memotivasi Kemendikbud dan pemerintah daerah untuk


membuat perubahan-perubahan ini. Kampanye ini dapat
memanfaatkn film “Tilik” sebagai titik awal diskusi terkait
persoalan gender.

AKSI 9 PELAKSANA:
Membuat sebuah panduan PROSFISI
untuk mencapai kurikulum dan
lingkungan yang responsif gender
untuk sekolah film

Pentingnya pengarusutamaan gender dalam


pendidikan film telah disorot oleh presentasi Dr. Evi
Eliyanah di Konferensi Virtual. Administrator-administrator
program studi film di sekolah-sekolah dan universitas-
universitas seni memperbaharui kurikulumnya sepanjang
tahun, dan mereka mendiskusikannya dengan kolega-
kolega mereka dari institusi lain di Asosiasi Program Studi
Film dan Televisi (PROSFISI). Badan Perfilman Indonesia
dapat mendorong dibuatnya panduan proses yang
dirancang secara khusus untuk membantu mencapai
kurikulum dan lingkungan yang responsif gender untuk
sekolah film.

Panduan ini dapat sejajar dengan panduan untuk isu-


isu progresif lainnya yang dibutuhkan untuk menghasilkan
pembuat-pembuat film dengan pernyataan budaya seperti
lingkungan, anti-korupsi dan sebagainya. Badan Perfilman
Indonesia dapat bertindak sebagai penyelenggara untuk
137

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


program pembuatan panduan itu. Asosiasi seperti
KAFEIN dapat bertindak sebagai penyedia pengetahuan
terkait isu gender, dan anggota asosiasi lain semacam
PROSFISI dapat memanfaatkan panduan ini.

Pelibatan Kemendikbud tidak sebatas memberikan


pengesahan melainkan di masa mendatang diharapkan
dapat menetapkan dan memberlakukan sebuah
kebijakan yang mendukung implementasi dari panduan
yang dihasilkan. Dukungan dari Kemendikbud berguna
untuk menjaring sekolah-sekolah film dan mengintervensi
kurikulum mereka. Sebagai langkah awal, hal ini dapat
dilakukan oleh beberapa individu di perfilman Indonesia
yang memiliki perhatian dan ingin mendorong maju aksi
ini dalam mencapai kesetaraan gender dalam perfilman
Indonesia. Dukungan dari lembaga seperti Badan
Perfilman Indonesia dan PROSFISI serta organisasi donor
bisa sangat berguna sebagai pengaruh advokasi. Debat
akhir-akhir ini mengenai film “Tilik” bisa memberikan
sebuah momentum untuk mendorong agenda ini.

Metodologi pengembangan panduan ini bisa


disamakan dengan aksi 1 yang sudah dijelaskan
sebelumnya terkait pengembangan panduan untuk
kondisi kerja. Badan Perfilaman Indonesia dan PROSFISI
dapat memfasilitasi sebuah kelompok kerja yang terdiri
dari administrator prodi film dan/atau dosen-dosen film
dan kemudian melibatkan beberapa sekolah film untuk
menjadi proyek percontohan untuk panduan ini.
138

AKSI 10 PELAKSANA:
Membuat pelatihan untuk BPI
berbagai kelompok pemangku
kepentingan mengenai perspektif KAFEIN
gender dalam film ASOSIASI PROFESI

Aksi ini berbentuk penyelenggaraan pelatihan


mengenai perspektif gender dalam film yang ditujukan
tidak untuk mahasiswa film melainkan untuk profesional.
Seperti aksi 8, Badan Perfilman Indonesia dapat bertindak
sebagai panitia untuk program pelatihan sementara
KAFEIN dapat menyediakan keahlian dalam isu
gender. Pelatihan ini dapat menggunakan aksi 8 untuk
mengembangkan kurikulum pelatihan, dan asosiasi-
asosiasi akan menggunakan panduan ini untuk membuat
pelatihan spesifik untuk anggota-anggota mereka.

AKSI 11 PELAKSANA:
Membuat katalog ulasan film KAFEIN
terkait dengan sensitivitas gender
dan keberagaman

Ide aksi ini bermula dari pertanyaan Nan Achnas


dalam diskusi kelompok terarah dengan dosen dosen-
dosen film. Pertanyaannya adalah apakah sudah ada studi
terhadap film-film Indonesia yang memusatkan perhatian
pada sensitivitas gender. Sebuah situs web independen
139

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


(bisa berupa blog) dapat dibuat dan secara rutin
menerbitkan ulasan film Indonesia dengan sensitivitas
gender dan keberagaman di dalamnya. Blog ini dapat
dibuat menggunakan model situs web yang sudah ada
seperti https://www.mediaversityreviews.com dengan
penyesuan dan adaptasi untuk film dan penonton
Indonesia. KAFEIN atau organisasi lain yang tertarik dapat
membuat situs web tersebut bisa memulainya dengan
menyewa beberapa kontributor. Ulasan dimaksud harus
memenuhi standar kualitas tertentu, isu gender dan
keberagaman dikemas sedemikian rupa agar dapat
menarik penonton umum. Ulasan harus bisa memberikan
muatan isu yang lebih lengkap, sekalipun tes Bechdel
dan atau tes Mako Mori -dengan keterbatasan yang ada-
yang umum dipakai untuk mengukur penonton global,
bisa digunakan untuk mengidentifikasi representasi dan
isu gender.
ANALISIS
PEMANGKU
KEPENTINGAN
141

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


Berikut ini adalah hasil analisis pemangku kepentingan
yang diidentifikasi di bagian lain naskah ini.

No. Pemangku Kepentingan Kepentingan Pengaruh

1. Badan Perfilman Indonesia Tinggi Tinggi


(BPI)
2. Asosiasi Profesi Perfilman Tinggi Sedang Tinggi
(APROFI)
3. Asosiasi Program Studi Film Tinggi Sedang Tinggi
dan Televisi (PROSFISI)
4. Perusahaan & Komunitas Tinggi Sedang Tinggi
Film
5. Arts for Women Tinggi Sedang Tinggi
6. Lembaga Donor Tinggi Tinggi
7. KAFEIN (Asosiasi Pengkaji Tinggi Sedang Tinggi
Film Indonesia)
8. Kemenaker Sedang Rendah Tinggi
9. Komnas Perempuan Sedang Rendah Tinggi
10. Direktorat Film, Musik dan Sedang Rendah Tinggi
Media Baru Kemendikbud
11. Dirjen Dikti Kemendikbud Rendah Tinggi
12. Komisi X DPR (pembuat Rendah Tinggi
konstitusi film)
13. Komisi VIII DPR (RUU PKS) Rendah Tinggi
14. Pemerintah Daerah Sedang Rendah Tinggi
15. Pekerja film perempuan Tinggi Rendah
16. Penyintas kekerasan seksual Tinggi Rendah
dalam perfilman Indonesia
17. Pengajar film Tinggi Sedang Rendah
18. Mahasiswa film Tinggi Sedang Rendah
19. Pekerja film secara umum Tinggi Sedang Rendah

20. Penonton film Indonesia Rendah Rendah


142

Berdasarkan analisis setiap pemangku kepentingan


dikelompokkan dalam matriks kepentingan-pengaruh
sebagai berikut:
143

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


Analisis ini menunjukkan bahwa pemain utama untuk
rencana aksi ini adalah Badan Perfilman Indonesia yang
memiliki otoritas untuk memimpin dan mendukung seluruh
kegiatan yang direkomendasikan. Sementara lembaga
donor menjadi pemain kunci yang mampu mendorong
pihak-pihak lain untuk menerapkan aksi dengan
menyediakan pendanaan yang dibutuhkan. Sementara
asosiasi-asosiasi adalah pemangku kepentingan yang
memiliki jaringan untuk melibatkan dan mewakili subjek
target untuk rencana aksi ini. Perusahaan dan komunitas
film adalah yang akan memanfaatkan dan menerapkan
banyak dari hasil-hasil kerja aksi direkomendasikan.

Pembuat konteks kebanyakan adalah lembaga


pemerintah yang merumuskan dan mengeluarkan
kebijakan dan juga merupakan sumber pendanaan untuk
kegiatan. Subjek isu ini adalah pekerja film perempuan
dan penyintas kekerasan seksual yang memiliki
kepentingan terbesar namun hanya sedikit pengaruh.
Pengajar film dapat berpotensi menjadi agen perubahan
dalam kampus masing-masing namun memiliki otoritas
terbatas. Mahasiswa film yang akan menerima pendidikan
dan menjadi sumber daya manusia untuk produksi film
juga adalah subjek. Pekerja film secara umum akan juga
menerima manfaat dari aksi yang kami rekomendasikan
meskipun kepentingan mereka tidak setinggi pekerja film
perempuan. Penonton film Indonesia adalah kerumunan
yang harus dilibatkan secara minimal namun strategis.
Maka dari itu berikut ini adalah rekomendasi untuk
strategi pelibatan pemangku kepentingan.
144

PEMAIN KUNCI: Para pemain kunci


adalah mereka yang akan
BPI, Lembaga mengimplementasikan rencana
Donor, Arts aksi. Kegiatan ini dilakukan
for Women, dalam koordinasi dengan BPI
ASPROFI, dan maka dari itu kami berharap
PROSFISI, BPI akan mengambil rencana
KAFEIN, aksi ini dan bekerja untuk
perusahaan mengamankan pendanaan
dan komunitas dan menerapkannya. Lembaga
donor seperti UNESCO dan
film
lainnya dapat menyediakan
pendanaan untuk kegiatan-
kegiatan yang dapat dilakukan
oleh Arts for Women, ASPROFI,
PROSFISI, dan KAFEIN.
Perusahaan dan komunitas film
perlu dilibatkan secara dekat
dalam proses implementasi agar
mereka lebih semangat untuk
benar-benar mengaplikasikan
hasil dari rencana aksi.
Komunitas film lokal juga harus
dilibatkan untuk mendukung
kegiatan advokasi dengan
pemerintah daerah.
145

REKOMENDASI RENCANA AKSI UNTUK MENCAPAI KESETARAAN GENDER PERFILMAN INDONESIA


PEMBUAT BPI dan organisasi lain yang
KONTEKS: akan melakukan rencana
aksi harus menjadwalkan
Kemenaker, pertemuan untuk advokasi
Komnas dengan para pembuat konteks
Perempuan, yang relevan, mengundang
Direktorat Film, mereka ke pertemuan dan event
Musik dan dan menjaga arus informasi
Media Baru, kepada mereka mengenai
Ditjen Dikti proses dan kemajuan kegiatan.
Kemendikbud, Jika memungkinkan juga
mendapatkan dukungan dan
Komisi X DPR,
pengesahan kegiatan yang
Komisi VIII DPR,
dilakukan.
Pemerintah
Daerah

SUBJEK: BPI dan organisasi lain yang


akan melakukan rencana
Pekerja film aksi harus menjadwalkan
perempuan, pertemuan untuk advokasi
penyintas dengan para pembuat konteks
kekerasan yang relevan, mengundang
seksual, dosen mereka ke pertemuan dan event
film, mahasiswa dan menjaga arus informasi
film, pekerja kepada mereka mengenai
film proses dan kemajuan kegiatan.
Jika memungkinkan juga
mendapatkan dukungan dan
pengesahan kegiatan yang
dilakukan.
146

KERUMUNAN: Untuk melibatkan mereka


secara strategis, kita dapat
Penonton film menggunakan publikasi melalui
Indonesia media massa dan media sosial
untuk menginformasikan mereka
mengenai kegiatan-kegiatan
yang dilakukan, kemajuannya
dan pencapaiannya.
KESIMPULAN
BAGIAN
KEDUA
Data terpilah-gender mengenai perfilman Indonesia
jelas menunjukkan ketimpangan partisipasi perempuan
dalam perfilman Indonesia. Partisipasi perempuan
cenderung berpusat pada beberapa posisi yang
fleksibel seperti penulis naskah dan artistik. Sementara di
sekolah film kesenjangan tidak begitu besar, sebaliknya
angka kesenjangan di industri justru lebih besar. Hal ini
menunjukkan bahwa perempuan yang menyelesaikan
sekolah film memutuskan untuk tidak bergabung dengan
industri.

Keseluruhan hasil analisis data terpilah-gender


direspon dengan sejumlah rekomendasi aksi yang dapat
dilakukan pemangku kepentingan film Indonesia untuk
mengubah situasi ini. Terdapat tiga isu utama yang
harus ditangani: pertama, perbaikan kondisi kerja dalam
perfilman Indonesia; kedua, peningkatan partisipasi
perempuan dan kelompok marginal lainnya; dan ketiga,
pengintegrasian perspektif gender dalam pembuatan
film. Selain rekomendasi 10 (sepuluh) aksi yang dapat
diambil untuk menyelesaikan tiga isu utama tersebut
juga terdapat rekomendasi strategi pelibatan pemangku
kepentingan.
Keseimbangan gender yang sempurna bukanlah
tujuan utama dari kegiatan ini, namun melalui
pengumpulan data terpilah-gender dan sejumlah
rekomendasi aksi, diharapkan di masa mendatang
didapatkan representasi dan suara yang lebih
berimbang dalam produksi film dan kegiatan
perfilman. Dorongan agar perempuan lebih banyak
terlibat dalam pekerjaan teknis adalah salah satu
cara menampilkan peran gender yang lebih cair
dalam perfilman Indonesia. Semoga rekomendasi
rencana aksi ini dapat membuka jalan yang
lebih mulus bagi perempuan (dan juga kelompok
termarginalisasi lainnya) untuk berpartisipasi
dan memberikan suara mereka bagi perfilman
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai