Anda di halaman 1dari 18

1.

GARAM

Di sepanjang sejarah garam sudah


digunakan untuk mengawetkan dan
memberi rasa terhadap makanan.
Garam merupakan salah satu
kebutuhan hidup yang mendasar.
Kegunaannya bersifat universal
dan kelihatannya persediaan
garam tidak ada habis-habisnya.
Garam selain memiliki kualitas
yang menguntungkan, garam juga
bisa merusak. Garam bisa
mengubah tanah yang subur menjadi tanah yang tandus[1]. Contohnya, wilayah di
sekitar Laut Mati.

Di zaman modern ini tidaklah masuk akal bagi kita bahwa garam bisa kehilangan
keasinannya. Sodium klorida (nama zat kimia untuk garam meja) merupakan
susunan zat yang tidak berubah. Zat ini sama sekali tidak dicemari oleh apapun.
Tetapi pada zaman Israel dahulu, garam di proses dengan cara menguapkan air
yang berasal dari Laut Mati. Air tersebut mengandung bermacam-macam zat lain
selain garam. Proses penguapan air tersebut menghasilkan kristal-kristal gar am dan
juga potasium klorida dan magnesium. Kristal-kristal garam itu dikumpulkan dan
menghasilkan garam yang relatif murni, karen a pada saat proses penguapan, yang
pertama kali terbentuk adalah kristal-kristal garam. Namun, apabila gar am yang
dihasilkan melalui proses penguapan itu tidak segera dipisahkan, dan kristal-kristal
garam kemasukkan embun, larut dan luluh, maka apa yang tersisa akan kehilangan
rasa asin dan menjadi tidak berguna[2].

Apa yang bisa Anda lakukan dengan garam yang tidak asin? Tidak ada gunanya.
Seorang petani tidak menghendaki zat-zat kimia semacam itu di atas tanahnya
karen a akan merusak tanaman. Membuang zat sisa di atas tumpukan pupuk juga
tidak akan berguna, karena sering kali pupuk dikumpulkan dan disebarkan di atas
tanah untuk menyuburkan. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah
membuangnya keluar di mana orang-orang bisa menginjak-injaknya[3]. Apabila
garam telah kehilangan sifat dasarnya, yaitu rasa asin, maka ia tidak dapat dibuat
asin kembali[4].

Dalam Khotbah di bukit, Tuhan Yesus berbicara kepada orang banyak dan murid-
murid-Nya: "Kamu adalah garam dunia." Sebagaimana halnya garam yang memiliki
karakteristik mencegah pembusukan, maka orang Kristen seharusnya dapat
memberikan pengaruh moral di tengah masyarakat di mana ia berada. Perkataan
dan perbuatan mereka seharusnya bisa mencegah pencemaran dalam hal moral
dan spiritual. Seperti halnya garam yang tidak kelihatan (contohnya, di dalam roti)
tetapi memiliki pengaruh yang kuat. Demikian pula halnya dengan orang Kristen
yang di tengah masyarakat tidak selalu terlihat dan diperhitungkan, tetapi mereka
baik secara individu maupun kelompok bisa mempengaruhi masyarakat dan
melakukan pencegahan di tengah dunia yang kotor dan cemar ini.
Tuhan Yesus bersabda: "Hendaklah kamu selalu mempunyai garam di dalam dirimu,
dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain" (Markus 9:50). Dia
mendorong pengikut-pengikut-Nya untuk mempromosikan perdamaian dengan
menggunakan sumber spiritualnya[5], pertama di negerinya dan kemudian di luar
negeri. Orang Kristen akan kehilangan keefektifannya di dunia ini jika mereka tidak
dapat hidup damai di antara sesama orang Kristen sendiri. Banyak orang yang tidak
pernah membaca Alkitab, tetapi mereka dengan teliti memperhatikan kehidupan
orang-orang yang membaca Alkitab. Di gereja Kristen mula-mula, sekali waktu
Chrysostom yang fasih berbicara mengatakan, bahwa apabila orang Kristen hidup
sebagaimana mestinya, maka orang tidak percaya tidak akan ada lagi.

2. Dua Pembangun

Yesus seringkali menyaksikan hujan lebat yang tiba-tiba


yang disebabkan oleh dasar sungai yang kering dan
berubah menjadi aliran air sungai yang sangat deras.
Pemandangan serna cam ini sudah biasa di Israel,
karena cuaca dapat berubah dengan cepat dan kadang-
kadang merubah daratan secara drastis.

Pada zaman Yesus, rumah-rumah di pedesaan biasanya


dibangun dari lumpur yang mengeras. Pencuri bisa
melubangi tembok rumah semacam ini (Matius 6:19).
Ketika Yesus sedang mengajar di sebuah rumah, empat
orang melubangi atap rumah supaya mereka bisa menurunkan temannya yang
lumpuh (Markus 2:3, 4). Apabila tukang bangunan ingin memberikan pelayanan
bisnis yang baik, maka ia akan membangun rumah jauh dari temp at jalan air,
meskipun selokan-selokannya mungkin tetap kering selama bertahun-tahun[1].

Tukang bangunan yang bijaksana memilih dasar di atas batu karang. Kemudian dia
tidak perlu khawatir dengan hujan yang amat deras, kenaikan air secara tiba-tiba
yang dapat menyapu bersih rumah-rumah, dan angin keras yang memukul rumah-
rumah. Sebuah rumah yang dibangun di atas batu karang mempunyai pondasi yang
kuat.

Seorang tukang bangunan yang bodoh membangun rumahnya seperti dia


memasang kemah. Tidak terpikir olehnya bahwa sebuah rumah seharusnya
dibangun dengan struktur yang permanen. Dia membangun rumahnya di atas pasir,
mungkin supaya dekat dan mudah untuk mendapatkan air di sungai kecil. Penghuni
rumah tidak perlu takut, sepanjang cuaca tetap baik dan langit tetap biru. Tetapi bila
tanpa peringatan yang cukup cuaca berubah, awan sudah berkumpul, hujan turun,
aliran air naik, dan angin bertiup, maka rumah itu akan rubuh dengan kerasnya.

Dua penulis Injil yaitu Matius dan Lukas, menyajikan sejumlah perbedaan dalam
penyusunan kata di dalam perumpamaan ini. Dalam derajat tertentu, variasi
penulisan dapat dijelaskan dengan menunjuk pada pembaca yang dituju oleh Matius
dan Lukas. Matius menulis untuk pembaca bangsa Yahudi yang tinggal di Israel,
tetapi Lukas memberitakan Injil kepada bangsa Yunani yang tinggal di Asia Kecil
dan di bagian-bagian lain di dunia Mediterania. Bagi orang Yahudi yang sangat
mengenal teknik-teknik pembangunan di daerah Israel, perumpamaan ten tang dua
tukang bangunan yang ditulis oleh Matius dapat dengan mudah dipahami. Tetapi,
Lukas tidak menulis untuk orang yang tinggal di Galilea atau Yudea. Dia menulis
untuk bangsa Yunani dan Helenis. Jadi Lukas mengganti prosedur cara
membangun, yang berbeda dengan cara membangun di Israel[2]. Lukas menulis
bahwa tukang bangunan menggali pondasi rumah itu dalam-dalam dan
meletakkannya di atas batu karang. Lukas harus mempertimbangkan perubahan
geografis dan klimatologis, di samping perbedaan konstruksi bangunan. Lukas
menunjukkan banjir yang datang dan aliran air yang deras, sedangkan Matius
menulis ten tang hujan yang turun, aliran air yang naik, dan angin yang bertiup.
Lukas berbicara mengenai bangunan di atas tanah, sedangkan Matius berbicara
mengenai bangunan di atas pasir. Perbedaan secara rind ini tidak mengubah arti
perumpamaan. Tukang bangunan memikirkan jauh ke depan pada waktu ia memilih
untuk membangun rumah di atas dasar pondasi yang permanen.

Orang yang membangun rumah dengan bijaksana adalah orang yang mendengar
perkataan Yesus dan melakukannya. Mendengar perkataan Yesus tetapi tidak
melakukannya adalah suatu kebodohan. Orang yang demikian diumpamakan
dengan orang yang membangun rumahnya di atas pasir atau di atas tanah tanpa
pondasi.

Perumpamaan ini menyuarakan perkataan nabi Yehezkiel. Dia menjelaskan tentang


dibangunnya tembok tipis, kemudian turun hujan deras, hujan es meluncur dengan
keras, dan badai topan melanda, sehingga tembok tersebut runtuh

* Yehezkiel 13:10-16
13:10 Oleh karena, ya sungguh karena mereka menyesatkan umat-Ku dengan
mengatakan: Damai sejahtera!, padahal sama sekali tidak ada damai sejahtera --
mereka itu mendirikan tembok dan lihat, mereka mengapurnya --
13:11 katakanlah kepada mereka yang mengapur tembok itu: Hujan lebat akan
membanjir, rambun akan jatuh dan angin tofan akan bertiup!
13:12 Kalau tembok itu sudah runtuh, apakah orang tidak akan berkata kepadamu:
Di mana sekarang kapur, yang kamu oleskan itu?
13:13 Oleh sebab itu beginilah firman Tuhan ALLAH: Di dalam amarah-Ku Aku akan
membuat angin tofan bertiup dan di dalam murka-Ku hujan lebat akan membanjir,
dan di dalam amarah-Ku rambun yang membinasakan akan jatuh.
13:14 Dan Aku akan meruntuhkan tembok yang kamu kapur itu dan merobohkannya
ke tanah, supaya dasarnya menjadi kelihatan; tembok kota itu akan runtuh dan
kamu akan tewas di dalamnya. Dan kamu akan mengetahui bahwa Akulah TUHAN.
13:15 Begitulah Aku akan melampiaskan amarah-Ku atas tembok itu dan kepada
mereka yang mengapurnya dan Aku akan berkata kepadamu: Lenyap temboknya
dan lenyap orang-orang yang mengapurnya,
13:16 yaitu nabi-nabi Israel yang bernubuat tentang Yerusalem dan melihat baginya
suatu penglihatan mengenai damai sejahtera, padahal sama sekali tidak ada damai
sejahtera, demikianlah firman Tuhan ALLAH."

Pada kesimpulan khotbah di bukit (Matius 5-7) atau khotbah di tempatyang datar
(Lukas 6), Yesus menginginkan pendengarnya bukan hanya sebagai pendengar
tetapi sebagai pelaku dari Firman yang telah Dia sampaikan. Hanya mendengarkan
perkataan Yesus saja tidak cukup. Orang percaya harus percaya pada perkataan
Yesus dan membangun rumah imannya di atas dasar Yesus saja. Yesus adalah
pondasi di mana orang yang bijaksana membangun rumahnya. Seperti perkataan
Paulus, "Sesuai dengan kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku, aku
sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah meletakkan dasar, dan orang lain
membangun terus di atasnya. Tetapi tiap-tiap orang harus memperhatikan,
bagaimana ia harus membangun di atasnya. Karena tidak ada seorang pun yang
dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus
Kristus" :
* 1 Korintus 3:10, 11
Barangsiapa yang bijaksana mau mendengar dengan serius dan mengatur hidupnya
sesuai dengan perkataan Yesus. Barangsiapa mendengarkan Yesus tetapi tidak
melakukannya, ia akan mengalami keruntuhan yang hebat. Dia tidak menyediakan
waktu untuk menggali dan meletakkan pondasi. Rumahnya selesai dalam waktu
yang singkat dan untuk semen tara rumah itu dapat memenuhi kebutuhannya.
Tetapi, pada waktu kesukaran dan badai kehidupan datang menyerang, rumah yang
tidak memiliki Yesus sebagai pondasinya, akan runtuh dan hancur secara total.

Perumpamaan ini secara tidak langsung berbicara tentang penghakiman Allah, di


mana setiap orang, baik yang membangun rumahnya dengan bijaksana atau pun
yang bodoh, harus menghadapinya. Orang yang bijaksana yang membangun rumah
imannya atas dasar Yesus dapat bertahan menghadapi badai kehidupan. Dia tetap
aman, bisa mengatasinya, dan menang. Di bagian pengajaran Yesus tentang
berbahagialah (Matius 5:1-12), Yesus memanggil orang miskin, orang yang lemah,
orang yang tertindas sebagai orang yang berbahagia. Di dalam perumpamaan ini,
orang yang membangun rumahnya di atas batu karang menunjukkan ketekunan di
dalam melakukan segala sesuatu. Mereka mendengarkan perkataan Yesus dan
melakukannya. Karena itu, mereka tidak pemah runtuh. Mereka percaya kepada
Yesus dan menaati perkataan-Nya.

3. Perumpamaan tentang Anak-anak di Pasar

Yesus menceritakan sebuah


perumpamaan yang indah
yaitu tentang anak-anak yang
berrnain di pasar. Dia
rnengarnbil langsung
pernandangan dari
kehidupan sehari-hari,
pernandangan yang biasa
dari anak-anak membuat
drama dan memainkannya
sendiri. Drama pendek ini
dapat dijelaskan sebagai berikut.

Beberapa anak laki-laki dan perempuan sedang bermain bersama di pasar yang
biasanya sedang tidak digunakan. Beberapa anak ingin melakukan permainan
sebuah pesta pernikahan. Selain sepasang pengantin perempuan dan laki-laki,
mereka juga membutuhkan pemain seruling, dan beberapa anak berdansa di pesta
pernikahan itu. Meskipun pengantin perempuan dan laki-laki telah siap dan salah
satu anak telah memainkan seruling, anak yang lain menolak untuk berdansa.
Mereka tidak tertarik dengan permainan pesta pernikahan itu. Kemudian, beberapa
anak ingin melakukan permainan penguburan. Salah seorang dari mereka harus
bermain sebagai orang yang meninggal, sementara yang lainnya menyanyikan lagu
perkabungan. Sisanya harus meratap, tetapi mereka menolak. Mereka tidak tertarik
untuk terlibat dalam permainan penguburan itu. Anak-anak yang telah
merencanakan permainan itu duduk dan berkata kepada anak-anak yang tidak mau
berperan serta itu demikian.

4. Perumpamaan tentang Penabur

Latar Belakang :
Di dalam masyarakat kita yang
industrialis, pertanian hanya
dikaitkan dengan produksi
makanan. Bertani bukan sekedar
gaya hidup, melainkan telah
menjadi cara untuk mencari
nafkah. Teknologi modern telah
diterapkan sepenuhnya pada
metode-metode pertanian,
sehingga petani-petani menjadi
teknisi dalam bidang ini. Contohnya, ia menjadi seorang ahli dalam menggunakan
pupuk, herbisida, dan insektisida dan ia menjadi seorang pengusaha yang
mengetahui biaya produksi, nilai hasil produksi, dan jadual pemasarannya.

Ketika Yesus mengajarkan perumpamaan ten tang seorang penabur kepada orang-
orang Galilea, mereka pada waktu itu sedang melihat petani menaburkan benih di
ladang pada bulan Oktober. Memang para penulis Injil tidak menceritakan kepada
kita kapan Yesus mengajarkan perumpamaan itu. Kemungkinan Yesus mengajar
pada waktu penabur keluar untuk menaburkan benih. Kerumunan (menurut Matius,
kerumunan orang banyak) itu datang ke pantai di sebelah barat laut di tepi danau
Galilea. Mungkin jumlah mereka mencapai ribuan. Yesus menggunakan mimbar
yang mengapung pada waktu berbicara kepada orang banyak itu. Ia duduk di atas
perahu yang didorong agak jauh dari tepi pantai[1]. Keadaan yang alami ini jauh
lebih efektif daripada sistem pendekatan publik secara modern.

Yesus tidak harus menjelaskan aktivitas petani, sebab dari jauh mungkin mereka
bisa melihat petani sedang bekerja, menabur biji gandum atau barley. Bahkan
mereka pun mungkin adalah petani yang dari ladang yang sedang dalam perjalanan
menuju pantai. Di dalam masyarakat pertanian pada waktu itu, pendengar
kebanyakan adalah petani-petani atau orang yang pernah bekerja di tanah
pertanian.

Pada zaman Yesus, bertani merupakan pekerjaan yang relatif sederhana. Meskipun
perumpamaan ini tidak mengatakan sesuatu mengenai metode pertanian. Namun
dari Perjanjian Lama (Yesaya 28: 24-25; Yeremia 4:3; dan Hosea 10:11/ 12) dan
dari sumber-sumber rabinik, kita belajar bahwa pada akhir musim panas yang
panjang dan panas sekali, petani akan pergi ke ladangnya menaburkan biji gandum
atau barley ke atas tanah yang keras. Petani mencangkul tanah untuk menutupi
benihnya, dan menunggu hujan musim dingin turun untuk menyemaikan benih itu[2].

Petani yang diceritakan dalam perumpamaan Yesus menaburkan benih yang


diambil dari sebuah tas yang dikalungkan pada leher dan bahunya. Tas tergantung
di depannya, dan dengan langkah yang berirama dia menaburkan benih di
sepanjang jalur-jalur tanah. Dia tidak memperhatikan apakah ada biji-biji yang jatuh
di pinggir jalur, atau apakah benih jatuh di tanah yang dangkal dengan batu-batu
kapur yang menonjol ke luar, atau apakah gandum itu jatuh di antara semak-semak
duri, di mana semak-semak itu akan tumbuh di musim semi dan menghimpit
gandum yang tumbuh. Bagi petani semua itu adalah pekerjaan yang harus
diselesaikan dalam satu hari.

Deskripsi perumpamaan ini akurat dan merupakan kejadian sehari-hari. Petani tidak
dapat mencegah biji-biji tidak jatuh di tanah yang keras. Cepat atau lambat burung-
burung akan memakannya. Burung juga bisa mengambil benih yang ditanam di
tanah. Semua ini merupakan bagian dari eara bertani pada waktu itu. Petani juga
tidak bisa berbuat apa-apa dengan batu kapur yang muneul di sana-sini, karena
merupakan keadaan dari tanah. Lagipula, dia telah meneoba untuk menyingkirkan
semak-semak duri dengan meneabut akarnya, namun tumbuh-tumbuhan ini sulit
dimusnahkan, karena semak-semak duri itu kelihatannya punya eara untuk tumbuh
kembali.

Petani menantikan waktu menuai di mana dia bisa membawa hasil panennya. Hasil
rata-rata pada waktu itu biasanya bisa kurang dari sepuluh kali lipat[3]. Seorang
petani dianggap mendapatkan hasil yang luar biasa besarnya kalau dia bisa
mendapatkan hasil panen sampai tiga puluh kali lipat atau apalagi enam puluh kali
lipat. Petani sangat jarang mendapatkan panen sampai seratus kali lipat (Kejadian
26:12). Singkatnya, petani tidak menaruh perhatian pada biji-biji gandum yang hilang
pada saat menabur. Dia menaruh harapannya ke masa depan dan menunggu waktu
panen tiba dengan penuh harapan.

Semua pendengar Yesus tidak ada yang tidak setuju dengan Dia. Klimaks dari kisah
ini mungkin yang akan mengejutkan pendengar-Nya. Oleh karena, Yesus
mengatakan bahwa hasil panen itu seratus kali lipat bukan panen normal yaitu
sepuluh kali lipat. Jadi, inti dari kisah ini adalah panen yang berlimpah-limpah.

5. Perumpamaan tentang Benih yang Tumbuh

Latar Belakang
Perumpamaan
Karena perumpamaan
tentang benih yang tumbuh
ini kurang rinci, kisah ini
menjadi cerita yang
sederhana. Di dalam
perumpamaan ini tidak
disebutkan mengenai persiapan tanahnya, curah hujan, sinar matahari,
pengendalian terhadap lalang, atau pemupukan secara organik. Di dalam
perumpamaan tentang penabur, kehidupan petani terlihat paralel, tidur pada waktu
malam, dan aktif kembali pada pagi hari. Pada saat panen dia meletakkan sabitnya
di atas biji-biji gandum.

Meskipun rincian-rincian di dalam perumpamaan ini penting karena menekankan


tentang car a menabur, bertumbuh, dan menyiangi rumput, tetapi perumpamaan ini
tidak menceritakannya secara rinei. Kita seharusnya tidak berasumsi kalau petani
menghabiskan hari-harinya dengan bermalas-malasan. Tentu saja tidak; dia telah
melakukan pekerjaannya, di mana waktunya telah habis banyak untuk membajak,
memupuk, dan menyiangi rumput. Selain tugas harian tersebut, dia harus membeli
dan menjual, merencanakan dan menyiapkan panen. Semua pekerjaan ini dijamin
ada di dalam perumpamaan ini dan dapat dimengerti. Kita juga mencatat bahwa
Allah akan menyediakan hujan yang diperlukan[3]. Allahlah yang mengontrol semua
elemen-elemen alam ini.

Tema pokok yang sebenarnya dari perumpamaan ini adalah Allah yang mengontrol
semua elemen-elemen alam ini. Setelah menabur benih petani harus menyerahkan
saat bertunas, bertumbuh, penyerbukan, dan pendewasaannya kepada Allah. Petani
dapat menjelaskan proses pertumbuhan gandum, tetapi dia tidak dapat
menerangkan kejadiannya. Sesudah gandum ditaburkan, biji itu menyerap udara
yang lembab dari dalam tanah, menggembung, dan bertunas. Sesudah satu atau
dua minggu, daun-daun yang masih kecil muncul ke permukaan; tumbuh-tumbuhan
itu mulai bertunas dengan cepat, bertambah tinggi, dan bungkulnya mengembang.
Kemudian, pada saat tanaman tersebut mati, warnanya berubah dari hijau menjadi
warna keemasan; bijinya telah tua dan tibalah saatnya untuk menuai. Petani tidak
dapat menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan ini[4]. Petani hanyalah seorang
pekerja yang pada saat tertentu menabur dan menuai. Allahlah yang memegang
rahasia kehidupan. Allahlah yang mengontrol kehidupan ini.

6. Perumpamaan tentang Lalang di Antara Gandum

Ladang Petani :
Sesudah Matius menulis perumpamaan tentang penabur
dan penafsirannya, dia mencatat bahwa Yesus bercerita
perumpamaan yang lain kepada orang banyak, satu kisah
tentang petani yang kelihatannya melakukan pekerjaannya
dengan baik. Petani mempunyai hamba-hamba dan juga
hamba-hamba untuk menuai pada saat yang tepat.
Sebagai petani yang berhasil, pemilik tanah ini telah
mendapatkan benih yang baik. Tentu saja dia tidak mau
menaburkan benih lalang - yang menyebabkan dia merasa
sedih tidak terkatakan. Benih yang baik pasti bebas dari
lalang. Petani itu telah menaburkan benih yang baik di ladangnya (cerita ini tidak
mementingkan kapan dan bagaimana benih itu ditaburkan),

Segera sesudah dia menyelesaikan tugas menabur benih gandum di musim dingin,
musuhnya datang. Dia datang di dalam kegelapan, sementara semua orang sedang
tidur, dan menaburkan benih lalang di antara gandum. Tentu saja dia tidak menutupi
semua ladang dengan lalang. Dia menaburkan benih lalang itu di sana-sini, Tidak
ada seorang pun yang tahu sampai musim semi tiba di mana lalang itu tumbuh di
antara tanaman gandum[3]. Lalang kelihatannya sangat mirip dengan gandum. Pada
saat tanaman mengeluarkan bongkolnya, barulah orang bisa membedakan lalang
dan gandum - "Jadi dari buahnyalah kamu akan men genal mereka" (Matius 7:20).

Pada waktu mengetahui hal itu, sudah tidak mungkin lagi melakukan sesuatu.
Seseorang yang berjalan di ladang gandum untuk membuang lalang, akan
menginjak-injak gandum. Lagipula, akar gandum dan lalang saling terjalin satu
dengan yang lain sehingga kalau lalang dicabut maka gandumnya akan tercabut
juga.

Hamba-hamba petani mengingatkan supaya waspada dengan masalah tersebut dan


menunjukkan keinginannya melakukan sesuatu. Mereka ingin mengetahui dari mana
asal benih itu. Petani itu hanya memberitahu mereka bahwa seorang musuh yang
melakukannya dan mereka harus membiarkan lalang itu sampai waktu panen. Pada
waktu panen itulah para penuai akan menerima instruksi untuk mengumpulkan
lalang, mengikatnya berberkas-berkas, dan mengumpulkan gandum untuk
persediaan di gudang. Petani akan menggunakan berkas-berkas lalang - benih dan
jerami - sebagai bahan bakar. Karena itu dia dapat mengubah kerugian menjadi
keuntungan: sebagai persediaan bahan bakar untuk musim dingin.

Meskipun begitu, petani tersebut mengalami situasi yang paling buruk. Dia tahu
bahwa lalang telah mengambil kelembaban udara dan vitamin yang seharusnya
diambil oleh tanaman gandum. Hasil panennya menjadi berkurang dari yang dia
harapkan. Kendatipun dia memiliki semua keterampilan bertani, dia tidak dapat
membuat perbedaan antara lalang dan gandum sampai tanaman mulai
mengeluarkan bongkolnya dan saat panen telah dekat[4]. Akhirnya setelah
berbulan-bulan petani itu melakukan pekerjaannya, dia menyadari bahwa musuhnya
mempunyai akal buruk menyerang dia. Dia harus menghadapi konsekuensi-
konsekuensi dari rencana buruk yang dilakukan oleh musuhnya.

7. Perumpamaan tentang Biji Sesawi

Menabur dan Bertumbuh :


Dua puluh lima anak-anak
sekolah bersama dengan guru
mereka pergi ke Washington
D.C. untuk melihat Gedung
Putih. Ketika mereka kembali
ke kelas, guru itu menyuruh
setiap murid untuk menulis
sebuah karangan singkat
tentang tamasya ke Gedung
Putih. Dua puluh lima
karangan merefleksikan dua puluh lima aspek tempat tinggal kepresidenan. Satu
anak menulis, "Gedung Putih adalah seperti ini," diikuti dengan penjelasan
mengenai ciri yang paling relevan menurut penglihatan mereka. Anak yang lain
menggunakan pendahuluan yang sarna di dalam karangannya, tetapi
menggambarkan perspektif Gedung Putih secara keseluruhan dengan cara yang
berbeda-beda,

Yesus memberitahu murid-murid-Nya karakteristik Kerajaan Allah yang banyak. Dia


menjelaskan segi individual dari peraturan Kerajaan Allah melalui perumpamaan-
perumpamaan. Jadi Dia memperkenalkan perumpamaan-Nya dengan frasa:
"Kerajaan Allah adalah seperti .... "

Perumpamaan tentang biji sesawi sangat kontras dengan perumpamaan gandum


dan lalang, di mana perumpamaan biji sesawi ini sangat singkat. Yesus
menggambarkan ukuran biji sesawi yang menakjubkan hanya dengan beberapa
kata ("pohon" di dalam Injil Matius dan Lukas; di dalam Injil Markus "sayuran") yang
berkembang dari biji yang sangat kecil yang ditanam di kebun-kebun. Yesus
menekankan perbedaan antara kecilnya biji dan besarnya sayuran dengan jelas. Dia
tidak mengatakan sepatah katapun tentang kualitas biji sesawi. Dia dapat
menyebutkan kegunaannya untuk makanan dan obat-obatan, warnanya dan
rasanya, tetapi yang dimaksudkan perumpamaan ini bukanlah tentang kualitas.

Yesus menggunakan contoh dari kehidupan sehari-hari, Di dalam masyarakat kita


yang modern, tidak banyak orang yang mengenal masalah kebun, yang mereka
kenal adalah makanan kalengan, botolan dan makanan bungkusan. Tetapi pada
zaman Yesus, hampir setiap orang mempunyai tanah perkebunan sendiri. Bahkan
pendeta pun pada zaman itu memberikan sepersepuluh dari rempah-rempah
selasih, adas manis dan jintan - dari kebun mereka (Matius 23:23) . Sayuran sesawi
selalu ada di setiap kebun. Sayuran ini sangat sering ditanam di tanah yang
merupakan batas kebun karen a sayuran ini membutuhkan banyak tempat. Di dalam
Injil Matius, tukang kebunnya menanam biji sesawi di ladang, di dalam Injil Lukas
ditanam di sebidang tanah, dan di dalam Injil Markus di kebun.

Tukang kebun itu hanya mengambil satu biji sesawi. Sepertinya jari-jarinya terlalu
besar untuk memegang sebutir biji yang sangat kecil. Dia menaburkan biji di
ladangnya karena dia tahu bahwa biji yang kecil itu mempunyai kemampuan untuk
tumbuh menjadi tanaman yang seukuran pohon[3]. Dia hanya memerlukan satu
tanaman. Dan Dia mengetahui kekontrasan an tara biji dan tanaman[4].
Sebenarnya, ukuran biji sesawi yang sangat kedl itu telah terkenal sejak abad
pertama. Suatu kali Yesus mengatakan: " Sesungguhnya sekiranya kamu
mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada gunung ini:
Pindah dari tempat ini ke sana, ... " (Matius 17:20) [5]. Baik Matius maupun Markus
secara eksplisit mengatakan bahwa benih sesawi "adalah yang paling kecil dari
semua benih yang lain"[6]. Karena itu, semua kekontrasannya sangat ditampakkan,
karena kalimatnya diseimbangkan dengan penjelasan ten tang tanaman yang sudah
tumbuh: "tanaman kebun yang sangat besar dan menjadi sebuah pohon." Biji itu
benar-benar kecil, sebutir benih yang sangat kecil yang ditanam di ladang dan
menjadi sebuah pohon. Suatu mujizat!

Yesus menyimpulkan perumpamaan ini dengan menyinggung bagian Perjanjian


Lama yaitu Daniel 4:12 dan Yehezkiel17:23 dan 31:6. Perikop dari Kitab Daniel ini
dikenal oleh pendengarnya karena perikop ini menunjuk kepada mimpi
Nebukadnezar ten tang sebuah pohon yang sedemikian kuat sampai ujungnya
mencapai surga. Di tanah di bawah rimbunnya pohon itu ditemukan tempat
bernaung, dan cabang-cabangnya dihinggapi burung-burung untuk bertengger.
Yesus yang berbicara mengenai Firman Allah (Yohanes 3:34) mengajar di dalam
Alkitab dengan menggunakan kata-kata kiasan verbal secara tidak langsung, dan
mengundang perhatian terhadap perumpamaan Mesianik di dalam Yehezkiel17:23,
"Di atas gunung Israel yang tinggi akan Kutanam dia, agar ia bercabang-cabang dan
berbuah dan menjadi pohon aras yang hebat; segala macam burung dan yang
berbulu bersayap tinggal di bawahnya, mereka bernaung di bawah cabang-
cabangnya"[7].

8. Perumpamaan tentang Ragi

Salah satu cara mengajar Yesus adalah melalui pendidikan


secara visual. Kapanpun Yesus mengajar orang tentang
Kerajaan Allah, Dia menggunakan contoh-contoh yang
diambil langsung dari kehidupan sehari-hari. Saat Dia
bertumbuh di Nazaret, Yesus melihat ibu-Nya membakar
roti. Pertama, ibu Yesus menyiapkan periuk dan panci;
kemudian mengambil tepung, air, dan ragi dan
menambahkan sedikit garamo Dia mencampur semua
bahan-bahan tersebut dan kemudian membiarkan adonan
itu. Untuk sesaat pekerjaannya selesai; ragi itu mengambil
alih pekerjaannya dan menyebabkan adonan tersebut
mengembang. Ketika proses fermentasi telah selesai, dia dapat membakar roti.

Yesus menceritakan kisah seorang wanita yang membakar roti. Hal itu merupakan
pemandangan yang diambil dari kehidupan sehari-hari. Seorang wanita mengambil
sedikit ragi, mencampurnya dengan sejumlah besar tepung, dan membakarnya
menjadi roti, yang untuk sekali makan cukup untuk seratus orang. Baik Matius
maupun Lukas menunjukkan bahwa wanita itu mengambil tiga sukattepung. Satu
sukat kira-kira sarna dengan 13,13 liter. Jadi wanita itu mengambil 39 liter tepung
(beratnya 50 pon lebih) supaya bisa membakar roti dalam jumlah besar. Tentu saja,
jumlah ini terlalu besar untuk makan sehari di dalam keluarga kecil[1]. Tetapi Sarah,
istri Abraham, membakar roti sebanyak itu ketika ada tiga orang mengunjungi
mereka di Mamre (Kejadian 18:6). Dan sedikitnya ada dua referensi lain untuk
jumlah tiga sukat (seahs, atau satu efa) yang disebutkan untuk membakar roti
(Hakim 6:19 dan l Samuel 1:24).

Seseorang dapat beragumentasi bahwa penerjemah modern mengaburkan arti


dasar dari suatu ayat dengan menerjemahkan bahasa Yunani zume sebagai yeast
(ragi) dan bukan leaven (adonan asam). Selain orang Yahudi, kebanyakan orang
tidak mengenal kata leaven (adonan asam), dan karena alas an ini maka konsep
tentang ragi diperkenalkan: "Hal Kerajaan Surga itu seumpama ragi yang diambil
seorang perempuan dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir
seluruhnya." (Matius 13:33). Ragi seperti yang kita ketahui hari ini adalah bersih,
segar, bermanfaat, dan bahkan lezat. Ragi dibuat dari pengolahan larutan mineral
gula-garam yang ditambahi zat tepung. Tetapi, adonan asam diproduksi dengan
menyimpan sejumlah adonan selama satu minggu dan ditambahkan sari buah untuk
mempercepat proses fermentasi. Adonan as am dipengaruhi oleh
perkembangbiakkan bakteri yang berbahaya, yang akan berlangsung terus di dalam
proses pembuatan roti sampai proses tersebut dihentikan, yaitu ketika orang makan
roti tidak beragi selama satu minggu, seperti yang mereka lakukan selama
Paskah[1].

Yesus tidak bermaksud menyebut leaven (adonan asam) sebagai sesuatu yang
jahat. Dia menggunakan konsep leaven karena kekuatannya yang tersembunyi.
Ragi dan adonan asam meresap ke dalam seluruh adonan sehingga menyebabkan
adonan mengembang. Sesudah ragi atau adonan asam dicampur dengan tepung,
ragi atau adonan as am tersebut tidak dapat diketemukan lagi. Ragi atau adonan
asam tersembunyi dan tidak terlihat.

9. Perumpamaan tentang Mutiara yang Berharga

Di dalam kisah seri tujuh perumpamaan, Matius


sungguh-sungguh menguraikan secara luas kedua
perumpamaan yang pertama, yaitu perumpamaan ten
tang seorang penabur, dan perumpamaan tentang
lalang di antara gandum. Kedua perumpamaan itu
masing-masing diberikan penafsirannya. Lima
perumpamaan yang lain lebih singkat dan langsung
menjelaskan tentang isinya. Kedua perumpamaan
tentang harta yang terpendam dan tentang mutiara yang
berharga masing-masing terdiri atas dua kalimat; dan
bagian dari kalimat pertama dari masing-masing
perumpamaan ini selalu ada frasa pendahuluan, "Kerajaan Surga seperti ... " Tentu
saja, hal pokok dari perumpamaan ini ditemukan di dalam kalimat kedua.

Kedua perumpamaan ini hanya terdapat di dalam Injil Matius dan berbentuk
pasangan. Tidak diketahui apakah Yesus mengajarkan kedua perumpamaan ini
secara berurutan atau apakah Matius yang menyusun materinya secara topikal dan
menempatkan kedua perumpamaan itu bersama-sama: tetapi kenyataannya
keduanya ditulis secara bersama-sama.[1]

Dapat dikatakan bahwa kalimat pendahuluan dari kedua perumpamaan sangat tidak
seimbang. Di satu sisi Kerajaan Surga seperti harta, dan di lain pihak seperti
seorang pedagang. Kita tidak boleh mendekati kedua perumpamaan ini dengan pola
pikir Barat yang analitis. Kita harus mencoba memahami arti dasarnya seperti yang
dimengerti oleh para murid sebagai orang pertama yang mendengar perumpamaan-
perumpamaan ini.

10. Perumpamaan tentang Pukat

Perumpamaan tentang pukat hanya ditulis di dalam Injil


Matius. [1] Perumpamaan tentang pukat ini merupakan
perumpamaan yang sama dengan perumpamaan tentang
lalang dan gandum; penafsiran dari keduanya difokuskan
pada hari penghakiman. Tetapi terdapat bukti adanya
perbedaan yang penting dari kedua perumpamaan tersebut. Yesus menekankan
masalah kesabaran di dalam perumpamaan ten tang lalang. Masalah kesabaran ini
tidak ada di dalam perumpamaan tentang pukat.[2]

Perumpamaan ten tang lalang jauh lebih deskriptif daripada perumpamaan tentang
pukat. Perumpamaan tentang lalang menyebutkan petani, hamba-hamba, dan para
penuai, tetapi di dalam perumpamaan tentang pukat ini hanya nelayan dan pekerja-
pekerjanya yang dijelaskan. Sesudah petani menan ami tanahnya, lalang ditaburkan
ke ladang, sementara itu di danau Galilea ikan yang dapat dimakan dan yang tidak
dapat dimakan bercampur menjadi satu. Perumpamaan lalang menjelaskan kondisi
ladang pada waktu sekarang dan panen sebagai peristiwa yang terjadi di masa yang
akan datang. Sebaliknya, perumpamaan tentang pukat menggambarkan pemisahan
ikan berkenaan dengan waktu sekarang.[3]

11. Perumpamaan tentang Pengampunan

Cerita yang Dikisahkan Yesus


Apakah Yesus pernah menolak orang yang datang
kepada-Nya dengan pertobatan dan iman? Tentu saja
tidak, tidak pernah betapapun besar dosa yang telah ia
lakukan. Itulah jawaban kami. Dan kita mengetahui hal
ini karena "Alkitab mengatakan demikian." Tetapi
berapa kali kita harus mengampuni saudara kita? Yesus
mengampuni seseorang yang telah melakukan satu
kejahatan yang keji sekali adalah satu hal, namun kita
mengampuni sesama kita yang terus menerus jatuh ke
dalam dosa yang sama merupakan hal yang lain.

Petrus, yang dilatih di dalam tradisi Hukum Taurat, para Nabi dan tradisi orang
Yahudi, mengetahui bahwa dia harus mengampuni sesamanya. Dia tahu
kewajibannya. Tetapi sampai di mana batasannya? Apakah sebenarnya ada
batasannya? Petrus berpikir bahwa dia harus mengampuni sebanyak tujuh kali. Dia
berpikir tujuh kali saja sudah cukup, dan kemungkinan besar Yes us akan
mengatakan: "Ya Petrus, tujuh kali sudah cukup." Bukankah belas kasihan yang
tidak terbatas mendorong orang hidup dalam dosa? Tidakkah Yesus sependapat
dengan Petrus, "Cukup adalah cukup"?

Tetapi jawaban Yesus adalah, "Aku berkata kepadamu: bukan sampai tujuh kali,
melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." Yesus mengalikan dua angka yaitu
tujuh dan sepuluh - angka-angka yang melambangkan kesempurnaan - dan
menambahkan lagi angka tujuh. Dia bermaksud mengatakan, bukan tujuh kali, tetapi
tujuh puluh kali tujuh kali; yaitu kesempurnaan dikalikan kesempurnaan ditambah
dengan kesempurnaan[1]. Yesus memberikan konsep tentang ketidakterbatasan.
Belas kasihan Allah begitu besar sehingga tidak dapat diukur; demikian juga kamu,
Petrus, kamu harus menunjukkan belas kasihan yang seperti itu kepada sesamamu.

Yesus mengajarkan perumpamaan ten tang hamba yang tidak mau mengampuni
untuk menjelaskan besarnya kasih Allah dalam pengampunan, yang harus
direfleksikan oleh umat-Nya, Dia menceritakan sebuah kisah dan menceritakannya
dengan baik.

Seorang raja memanggil semua pegawai-pegawainya (hamba-hambanya) pada hari


yang sudah ditentukan untuk mengadakan perhitungan[2]. Salah satu dari mereka
mempunyai hutang kepada raja dengan jumlah yang mengejutkan yaitu sepuluh ribu
talenta, suatu jumlah yang mengandung arti jutaan. Sebenarnya, kata sepuluh ribu
mempunyai arti dasar yang pokok yaitu tidak terhingga, tidak terhitung, tidak
terbatas[3]. Lagipula, pada zaman itu talenta merupakan satuan yang paling besar di
dalam sistem moneter. Sebagai perbandingan, pajak tahunan dari seluruh kerajaan
pada zaman Herodes Agung yaitu sekitar sembilan ratus talenta[4]. Menteri
keuangan tersebut jelas sekali berhutang dalam jumlah yang banyak kepada
tuannya. Kita tidak diberitahu dia menggunakan uang tersebut untuk apa; hal ini
tidak penting. Dia mempunyai hutang sepuluh ribu talenta, dan dia harus
membayarnya. Dia tahu bahwa dia tidak akan pernah mengumpulkan uang sejumlah
itu pada hari perhitungan.

Ketika dia berdiri di hadapan tuannya, dia mendengar keputusan bahwa dia, istrinya,
anaknya, dan semua miliknya akan dijual untuk membayar hutangnya. Hal itu terlalu
besar baginya. Dia bersujud di kaki tuannya, meminta belas kasihan dan memohon,
"Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan." Dia memohon belas kasihan,
bukan pengampunan. Dia menjanjikan ganti rugi, karena dia tahu bahwa dia hanya
dapat memulai dan tidak lebih dari itu. Sebagai responsnya, dia menerima apa yang
paling sedikit dia harapkan - pembebasan. Tuannya berbelas kasihan kepadanya,
menghapuskan hutangnya dan membiarkan dia pergi[5]. Luar biasa! Betapa
sukacitanya! Betapa murah hatinya!

Semua ini hanya merupakan babak pertama dari sebuah drama[6]. Babak kedua
berhubungan dengan babak pertama: Menteri Keuangan itu menjadi tuan dan
bertemu dengan pegawai raja yang lain.

Ketika menuruni tangga istana raja, hamba yang dibebaskan hutangnya oleh raja
bertemu dengan sesama hamba yang berhutang seratus dinar kepadanya.
Sebenarnya jumlah tersebut tidak berarti apa-apa, karen a dengan bekerja beberapa
hari saja dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Tetapi pegawai raja tersebut
mencekik orang itu dan menuntut pembayaran dengan segera, "Bayarlah hutangmu
kepadaku!" [7] Orang yang berhutang itu sujud di kaki menteri keuangan dan
memohon, "Bersabarlah, aku akan membayar kembali." Dia tidak perlu berkata" Aku
akan membayar semuanya," karen a jumlahnya begitu kecil. Tidak perlu diragukan
dia pasti dapat membayar kembali semua hutangnya. Tetapi menteri keuangan itu
menolaknya dan memasukkan orang itu ke penjara. Ia mengharapkan sese orang
memberi jaminan dan membayar hutangnya.

Babak ketiga memperkenalkan saksi yang menyaksikan babak kedua; babak ini juga
merupakan konfrontasi kedua dan terakhir an tara raja dan pegawainya.

Tidak ada satupun perbuatan yang dapat dilakukan dengan sembunyi-sembunyi:


rahasia-rahasia istana sulit untuk disimpan. Ada orang lain yang melihat apa yang
telah terjadi dan tidak bisa menyembunyikannya. Mereka harus menceritakan
peristiwa ini kepada raja. Ketika mend en gar cerita itu, raja sangat marah. Dia
memanggil pegawai tersebut dan memarahinya. "Hai hamba yang jahat, seluruh
hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah
engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihi engkau?"
kemudian raja itu menyerahkan dia kepada algojo-algojo sampai semua hutangnya
dibayar[8].

Kesimpulannya adalah bahwa setiap orang yang pernah diampuni harus siap
memberikan pengampunan kepada orang lain yang berhutang kepadanya dan harus
melakukannya dengan sepenuh hati.
12. Perumpamaan tentang Orang-orang Upahan di Kebun Anggur

Cerita yang dikenal dengan judul "Orang-orang Upahan di


Kebun Anggur"[1] ini merupakan salah satu perumpamaan
tentang Kerajaan Surga yang ditulis oleh Matius. Tetapi
perumpamaan ini tidak berakhir dengan pesan, "pergi dan
perbuatlah demikian" di dalam Kerajaan Allah. Fokus
perumpamaan ini bukan pada hubungan pekerja dan bukan
soal memberikan gaji yang adil, tetapi pada perkataan dan
perbuatan tuan yang secara teologis menunjuk pada Allah
yang dengan bebas memberikan karunia yang baik kepada
manusia. Cerita ini sungguh-sungguh menggemakan sebaris
kalimat dari salah satu bagian Mazmur Daud, "Kecaplah dan
lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu ... " (Mazmur 34:9).

Pekerjaan dan Pekerja-pekerja :


Perumpamaan ini tidak memberikan waktu yang tepat saat di mana para pekerja
dibutuhkan untuk bekerja di kebun anggur. Namun demikian asumsi bahwa ini
terjadi pada bulan September} di mana buah anggur dipanen, tidaklah terlalu dibuat-
buat. Periode waktu dari terbit sampai terbenamnya matahari selama bulan
September di Israel adalah sekitar puku16 pagi sampai 6 sore. Dengan
mengabaikan waktu istirahat untuk makan dan berdoa, pekerja-pekerja Yahudi pada
zaman Yesus menganggap lama waktu kerja yang biasa dalam sehari adalah
sepuluh jam[3]. Temperatur pada bulan September di Israel selama tengah hari
masih cukup tinggi, sehingga pekerja-pekerja di luar ladang atau di kebun anggur
benar-benar mengalami "panasnya hari itu." Seorang pemilik kebun anggur yang
cukup besar telah menetapkan untuk memanen anggurnya pada hari yang sudah
ditentukan. Semua hamba yang bekerja kepadanya sepanjang tahun pergi ke kebun
anggur pada pukul 6.00 pagi, semen tara pada waktu fajar menyingsing pemiliknya
mengunjungi pasar-pasar di dekat kota atau desa. Dia memerlukan sejumlah
pekerja-pekerja lain, yaitu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dan yang mau
melakukan pekerjaan harian dengan gaji yang pantas yaitu satu dinar sehari[4]. Pria-
pria yang sehat dan mampu untuk bekerja berdiri sejak pagi an tara pukul 5.00 dan
6.00 menunggu tuan yang datang kepada mereka untuk memberi pekerjaan. Pemilik
kebun anggur itu berbicara kepada mereka, menyebutkan gaji harian mereka
sebesar satu dinar. Mereka semua setuju, lalu ia membawa mereka ke kebun
anggur untuk bekerja selama sepuluh jam. Pekerja-pekerja yang tidak mempunyai
pekerjaan yang tetap itu sangat bergantung kepada tuan yang memerlukan mereka
untuk bekerja dalam jangka waktu yang pendek. Jelas sekali bahwa para pekerja
jauh lebih bergantung kepada kebaikan dan kemurahan tuan mereka daripada
sebaliknya.
Pada zaman Yesus merupakan hak yang istimewa bagi seorang pekerja untuk
ditempatkan di dalam posisi untuk mendapatkan gaji. Dengan menyediakan
pekerjaan baginya, tuan tersebut telah menunjukkan kebaikan hati kepadanya.
Perbuatan tersebut merupakan suatu anugerah dari tuannya[5]. Dengan
menghabiskan waktu menganggur di pasar berarti pekerja dan keluarganya
bersandar kepada derma. Pekerja itu tidak memiliki sumber pendapatan, dan tidak
selalu ada pemberian dari orang kaya. Karenanya, satu hari kerja merupakan
anugerah bagi dia dan keluarganya.

Sementara para hamba dan pekerja sibuk dengan pekerjaannya di kebun anggur,
pemilik kebun kembali ke pasar untuk melihat kalau¬kalau dia dapat menemukan
lebih banyak pekerja lagi. Pada waktu itu antara puku18.00 dan pukul9.00, waktu di
mana banyak pekerja sedang melewatkan waktu mereka di pasar. Tuan tersebut
meminta mereka untuk menghabiskan sis a waktu mereka bekerja di kebun
anggurnya. Tuan tersebut menjanjikan gaji yang adil kepada mereka, meskipun dia
tidak menetapkan jumlahnya. Para pekerja tersebut, mengetahui reputasi pemilik
kebun anggur, percaya penuh kepadanya. Mereka pasti tidak akan kecewa di akhir
hari itu.

Karena pekerjaan bertambah dan setelah pemilik dan mandurnya menghitung


jumlah jam kerja yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan sebelum malam
tiba, maka diperlukan tambahan pekerja. Pemilik kebun anggur mengetahui dengan
pasti kapan buah anggurnya harus dipetik. Jika anggur-anggur tersebut tidak dipetik
dan tertunda satu atau dua hari saja, maka kandungan gulanya menjadi terlalu
tinggi. Harga pasar untuk anggur yang sangat bermutu tergantung pada ketepatan
jumlah kadar gula dalam anggur. Jika waktu panen jatuh pada hari Jumat, pemilik
tanah akan melakukan segalanya dengan segenap kekuatannya untuk menggaji
pekerja tambahan supaya bisa menyelesaikan pekerjaannya sebelum hari Sabat[6].

Pergi ke pasar yang terdekat dilakukan dalam jangka waktu yang teratur, pada
waktu siang dan pada pukul 15.00, dengan berbagai tingkat keberhasilan. Menjelang
petang terlihat jelas bahwa proyek tersebut tidak dapat diselesaikan sebelum gelap
kecuali didatangkan tambahan pekerja. Pemilik kebun anggur kembali lagi ke pasar
pada jam lima dan mendapati orang-orang yang sedang berdiri. Dia bertanya
mengapa mereka masih berada di pasar pada jam itu. Jawabannya adalah bahwa
tidak ada seorang pun yang datang untuk menawarkan pekerjaan kepada mereka.
Tuan itu berkata: "Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku." Tidak disebutkan di sana
tentang pemberian upah.

Pemilik kebun anggur tahu bahwa para pekerja diizinkan untuk makan anggur
sebanyak yang mereka inginkan. Dia memperkirakan kehilangan hampir tiga persen
dari hasil panennya untuk pekerja-pekerjanya. Tetapi, dengan menggaji pekerja-
pekerja yang mulai bekerja pada waktu petang, dia tidak beresiko kehilangan anggur
terlalu banyak. Dia mengharapkan agar para pekerja memakai energi mereka untuk
memanen anggur. "Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku."

13. Perumpamaan tentang Dua Orang Anak


* Matius 21:28-32 LAI TB
21:28 "Tetapi apakah pendapatmu tentang
ini: Seorang mempunyai dua anak laki-laki. Ia
pergi kepada anak yang sulung dan berkata:
Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam
kebun anggur.
21:29 Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia
tidak pergi.
21:30 Lalu orang itu pergi kepada anak yang
kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu
menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia
menyesal lalu pergi juga.
21:31 Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?"
Jawab mereka: "Yang terakhir." Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan
sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah.
21:32 Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu,
dan kamu tidak percaya kepadanya. Tetapi pemungut-pemungut cukai dan
perempuan-perempuan sundal percaya kepadanya. Dan meskipun kamu
melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya
kepadanya."
Note:
Anak sulung - "Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi."
Anak Kedua - "Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga."
Murid menjawab: "Yang terakhir"

14. Perumpamaan tentang Penggarap-penggarap Kebun Anggur

Menurut Injil Matius, Markus


dan Lukas, Yesus
menceritakan perumpamaan
tentang penggarap-
penggarap kebun anggur ini
selama minggu terakhir
kehidupakNya di dunia. Satu
penulis Injil mungkin berbeda
dengan penulis lainnya dalam
detil-detil kecilnya tetapi
mereka semua dengan setia
meneruskan ajaran Yesus. Kitab apokrifa yaitu Injil Thomas juga menyajikan
perumpamaan ini[1]. Kisah ini mungkin merupakan kisah nyata dan mengambil
gambaran sejarah gerejawi bangsa Israel. Orang-orang yang berada di sekeliling
Yesus mengerti kisah dari perumpamaan ini, karena mereka memberi respons
dengan mengatakan "Sekali-kali jangan" (Lukas 20:16). Lagipula, orang-orang
Farisi, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat tahu bahwa perumpamaan ini
ditujukan kepada mereka.

15. Perumpamaan tentang Perjamuan Kawin


Sama seperti perumpamaan tentang
orang-orang yang berdalih yang secara
khusus ada di dalam Injil Lukas,
perumpamaan tentang perjamuan kawin
ini hanya ada di dalam Injil Matius. Kedua
perumpamaan ini mungkin mempunyai
beberapa kemiripan dan mempunyai tema
yang umum, tetapi perbedaannya
sedemikian fundamental sehingga dua
perumpamaan yang berbeda ini perlu
dibicarakan.
Isi Perumpamaan
Yesus menceritakan kisah seorang raja yang menyiapkan pesta pernikahan bagi
anaknya. Rajalah - bukan istrinya, bukan anaknya, tetapi raja -- yang mengatur
semuanya. Untuk kesempatan yang penuh sukacita ini yaitu pernikahan anaknya,
raja merencanakan sebuah pesta yang besar. Dia mengharapkan semua orang
yang mempunyai kedudukan tinggi dan penting di istananya menghadiri pesta
pernikahan tersebut. Dia mengirimkan berita pernikahan.

Sebagaimana kebiasaan pada waktu itu, undangan diberikan langsung dan tamu-
tamu diingatkan akan hari pernikahan. Tetapi pada waktu hamba-hamba raja
menyampaikan pemberitahuan, mereka mengalami sakit hati. Orang-orang yang
mempunyai kedudukan tinggi dan anggota para bangsawan memberitahu hamba-
hamba tersebut bahwa mereka tidak akan melakukan apapun juga di dalam pesta
pernikahan yang akan diadakan. Mereka mengungkapkan kepahitan dan
perlawanan. Meskipun mereka mengetahui bahwa undangan kerajaan sama dengan
perintah kerajaan, mereka menolak untuk menjawab undangan raja.

Bayang-bayang kelam menyinari istana kerajaan. Orang-orang yang mempunyai


kedudukan tinggi dengan terus terang menghina raja. Mereka menolak menghormati
raja dengan tidak mau menghadiri pernikahan putra mahkota. Meskipun demikian,
raja tersebut tetap membuat persiapan untuk pesta pernikahan. Ketika hari
pernikahan anaknya tiba, dia mengutus hamba-hambanya untuk mengingatkan
orang-orang penting di seluruh negeri bahwa mereka diundang ke pesta. Segala
sesuatu telah siap.

Sayangnya, perbuatan raja tersebut mendapatkan reaksi. Mestinya raja telah


mengetahui tanggapan-tanggapan macam apa yang akan diterima oleh hamba-
hambanya ketika mereka diutus untuk yang kedua kalinya. Mereka telah menerima
jawaban negatif yang nadanya memusuhi. Mereka pasti akan mengalami kepahitan
dan kemarahan yang sarna, bahkan mungkin lebih buruk lagi. Hamba-hamba
tersebut pergi dengan membawa pesan raja: "Lembu-lembu jantan dan ternak
piaraanku telah disembelih; semuanya telah tersedia, datanglah ke perjamuan kawin
ini"[1]. Tetapi tamu-tamu yang diundang tidak memberikan perhatian kepada
undangan kerajaan. Secara terbuka mereka bersikap menantang: ada yang pergi ke
ladang, yang lain pergi mengurus usahanya. Dan ketika hamba-hamba raja tinggal
lebih lama di kelompok ketiga, mereka dianiaya. Bahkan beberapa dari mereka
dibunuh.
Dengan murka Raja mengirim pasukannya untuk menghukum pembunuh-pembunuh
tersebut dan membakar kota mereka. Dia melepaskan kemarahannya dengan
mengambil tindakan menghukum; tetapi pada saat yang sama dia juga ingin ada
orang datang dan merayakan pesta pernikahan anaknya bersama-sama dengan dia.
Jadi dia menyuruh hamba-hambanya untuk pergi keluar, ke persimpangan-
persimpangan jalan untuk mengundang mereka yang mau datang ke pesta tersebut.
Baik orang baik maupun orang jahat datang dalam jumlah yang besar, sehingga
ruangan itu dipenuhi oleh tamu-tamu.

Tetapi salah satu dari para tamu menolak mengenakan pakaian pesta yang
diberikan padanya ketika dia memasuki ruangan pesta. Karena pakaiannya itu,
keberadaan dia sangat mencolok. Saat kedatangan raja ke pesta tersebut telah tiba.
Raja memperhatikan dandanan para tamu, mengangguk tanda setuju, sampai
akhirnya dia menandai satu orang yang menolak mengenakan pakaian yang sesuai.
Dalam keheranan, raja berseru, "Hai saudara, bagaimana engkau masuk ke mari
dengan tidak mengenakan pakaian pesta?" Orang itu diam saja. Dia tidak dapat
mengatakan kepada raja secara baik-baik di depan semua tamu bahwa dia telah
menolak mengenakan pakaian yang diberikan kepadanya ketika dia masuk ke
ruangan pesta. Dia tetap diam. Raja memerintahkan hambanya untuk mengambil
tamu yang keras kepala ini, mengikatnya, dan melemparkannya ke dalam
kegelapan.

Anda mungkin juga menyukai