GARAM
Di zaman modern ini tidaklah masuk akal bagi kita bahwa garam bisa kehilangan
keasinannya. Sodium klorida (nama zat kimia untuk garam meja) merupakan
susunan zat yang tidak berubah. Zat ini sama sekali tidak dicemari oleh apapun.
Tetapi pada zaman Israel dahulu, garam di proses dengan cara menguapkan air
yang berasal dari Laut Mati. Air tersebut mengandung bermacam-macam zat lain
selain garam. Proses penguapan air tersebut menghasilkan kristal-kristal gar am dan
juga potasium klorida dan magnesium. Kristal-kristal garam itu dikumpulkan dan
menghasilkan garam yang relatif murni, karen a pada saat proses penguapan, yang
pertama kali terbentuk adalah kristal-kristal garam. Namun, apabila gar am yang
dihasilkan melalui proses penguapan itu tidak segera dipisahkan, dan kristal-kristal
garam kemasukkan embun, larut dan luluh, maka apa yang tersisa akan kehilangan
rasa asin dan menjadi tidak berguna[2].
Apa yang bisa Anda lakukan dengan garam yang tidak asin? Tidak ada gunanya.
Seorang petani tidak menghendaki zat-zat kimia semacam itu di atas tanahnya
karen a akan merusak tanaman. Membuang zat sisa di atas tumpukan pupuk juga
tidak akan berguna, karena sering kali pupuk dikumpulkan dan disebarkan di atas
tanah untuk menyuburkan. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah
membuangnya keluar di mana orang-orang bisa menginjak-injaknya[3]. Apabila
garam telah kehilangan sifat dasarnya, yaitu rasa asin, maka ia tidak dapat dibuat
asin kembali[4].
Dalam Khotbah di bukit, Tuhan Yesus berbicara kepada orang banyak dan murid-
murid-Nya: "Kamu adalah garam dunia." Sebagaimana halnya garam yang memiliki
karakteristik mencegah pembusukan, maka orang Kristen seharusnya dapat
memberikan pengaruh moral di tengah masyarakat di mana ia berada. Perkataan
dan perbuatan mereka seharusnya bisa mencegah pencemaran dalam hal moral
dan spiritual. Seperti halnya garam yang tidak kelihatan (contohnya, di dalam roti)
tetapi memiliki pengaruh yang kuat. Demikian pula halnya dengan orang Kristen
yang di tengah masyarakat tidak selalu terlihat dan diperhitungkan, tetapi mereka
baik secara individu maupun kelompok bisa mempengaruhi masyarakat dan
melakukan pencegahan di tengah dunia yang kotor dan cemar ini.
Tuhan Yesus bersabda: "Hendaklah kamu selalu mempunyai garam di dalam dirimu,
dan selalu hidup berdamai yang seorang dengan yang lain" (Markus 9:50). Dia
mendorong pengikut-pengikut-Nya untuk mempromosikan perdamaian dengan
menggunakan sumber spiritualnya[5], pertama di negerinya dan kemudian di luar
negeri. Orang Kristen akan kehilangan keefektifannya di dunia ini jika mereka tidak
dapat hidup damai di antara sesama orang Kristen sendiri. Banyak orang yang tidak
pernah membaca Alkitab, tetapi mereka dengan teliti memperhatikan kehidupan
orang-orang yang membaca Alkitab. Di gereja Kristen mula-mula, sekali waktu
Chrysostom yang fasih berbicara mengatakan, bahwa apabila orang Kristen hidup
sebagaimana mestinya, maka orang tidak percaya tidak akan ada lagi.
2. Dua Pembangun
Tukang bangunan yang bijaksana memilih dasar di atas batu karang. Kemudian dia
tidak perlu khawatir dengan hujan yang amat deras, kenaikan air secara tiba-tiba
yang dapat menyapu bersih rumah-rumah, dan angin keras yang memukul rumah-
rumah. Sebuah rumah yang dibangun di atas batu karang mempunyai pondasi yang
kuat.
Dua penulis Injil yaitu Matius dan Lukas, menyajikan sejumlah perbedaan dalam
penyusunan kata di dalam perumpamaan ini. Dalam derajat tertentu, variasi
penulisan dapat dijelaskan dengan menunjuk pada pembaca yang dituju oleh Matius
dan Lukas. Matius menulis untuk pembaca bangsa Yahudi yang tinggal di Israel,
tetapi Lukas memberitakan Injil kepada bangsa Yunani yang tinggal di Asia Kecil
dan di bagian-bagian lain di dunia Mediterania. Bagi orang Yahudi yang sangat
mengenal teknik-teknik pembangunan di daerah Israel, perumpamaan ten tang dua
tukang bangunan yang ditulis oleh Matius dapat dengan mudah dipahami. Tetapi,
Lukas tidak menulis untuk orang yang tinggal di Galilea atau Yudea. Dia menulis
untuk bangsa Yunani dan Helenis. Jadi Lukas mengganti prosedur cara
membangun, yang berbeda dengan cara membangun di Israel[2]. Lukas menulis
bahwa tukang bangunan menggali pondasi rumah itu dalam-dalam dan
meletakkannya di atas batu karang. Lukas harus mempertimbangkan perubahan
geografis dan klimatologis, di samping perbedaan konstruksi bangunan. Lukas
menunjukkan banjir yang datang dan aliran air yang deras, sedangkan Matius
menulis ten tang hujan yang turun, aliran air yang naik, dan angin yang bertiup.
Lukas berbicara mengenai bangunan di atas tanah, sedangkan Matius berbicara
mengenai bangunan di atas pasir. Perbedaan secara rind ini tidak mengubah arti
perumpamaan. Tukang bangunan memikirkan jauh ke depan pada waktu ia memilih
untuk membangun rumah di atas dasar pondasi yang permanen.
Orang yang membangun rumah dengan bijaksana adalah orang yang mendengar
perkataan Yesus dan melakukannya. Mendengar perkataan Yesus tetapi tidak
melakukannya adalah suatu kebodohan. Orang yang demikian diumpamakan
dengan orang yang membangun rumahnya di atas pasir atau di atas tanah tanpa
pondasi.
* Yehezkiel 13:10-16
13:10 Oleh karena, ya sungguh karena mereka menyesatkan umat-Ku dengan
mengatakan: Damai sejahtera!, padahal sama sekali tidak ada damai sejahtera --
mereka itu mendirikan tembok dan lihat, mereka mengapurnya --
13:11 katakanlah kepada mereka yang mengapur tembok itu: Hujan lebat akan
membanjir, rambun akan jatuh dan angin tofan akan bertiup!
13:12 Kalau tembok itu sudah runtuh, apakah orang tidak akan berkata kepadamu:
Di mana sekarang kapur, yang kamu oleskan itu?
13:13 Oleh sebab itu beginilah firman Tuhan ALLAH: Di dalam amarah-Ku Aku akan
membuat angin tofan bertiup dan di dalam murka-Ku hujan lebat akan membanjir,
dan di dalam amarah-Ku rambun yang membinasakan akan jatuh.
13:14 Dan Aku akan meruntuhkan tembok yang kamu kapur itu dan merobohkannya
ke tanah, supaya dasarnya menjadi kelihatan; tembok kota itu akan runtuh dan
kamu akan tewas di dalamnya. Dan kamu akan mengetahui bahwa Akulah TUHAN.
13:15 Begitulah Aku akan melampiaskan amarah-Ku atas tembok itu dan kepada
mereka yang mengapurnya dan Aku akan berkata kepadamu: Lenyap temboknya
dan lenyap orang-orang yang mengapurnya,
13:16 yaitu nabi-nabi Israel yang bernubuat tentang Yerusalem dan melihat baginya
suatu penglihatan mengenai damai sejahtera, padahal sama sekali tidak ada damai
sejahtera, demikianlah firman Tuhan ALLAH."
Pada kesimpulan khotbah di bukit (Matius 5-7) atau khotbah di tempatyang datar
(Lukas 6), Yesus menginginkan pendengarnya bukan hanya sebagai pendengar
tetapi sebagai pelaku dari Firman yang telah Dia sampaikan. Hanya mendengarkan
perkataan Yesus saja tidak cukup. Orang percaya harus percaya pada perkataan
Yesus dan membangun rumah imannya di atas dasar Yesus saja. Yesus adalah
pondasi di mana orang yang bijaksana membangun rumahnya. Seperti perkataan
Paulus, "Sesuai dengan kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku, aku
sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah meletakkan dasar, dan orang lain
membangun terus di atasnya. Tetapi tiap-tiap orang harus memperhatikan,
bagaimana ia harus membangun di atasnya. Karena tidak ada seorang pun yang
dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus
Kristus" :
* 1 Korintus 3:10, 11
Barangsiapa yang bijaksana mau mendengar dengan serius dan mengatur hidupnya
sesuai dengan perkataan Yesus. Barangsiapa mendengarkan Yesus tetapi tidak
melakukannya, ia akan mengalami keruntuhan yang hebat. Dia tidak menyediakan
waktu untuk menggali dan meletakkan pondasi. Rumahnya selesai dalam waktu
yang singkat dan untuk semen tara rumah itu dapat memenuhi kebutuhannya.
Tetapi, pada waktu kesukaran dan badai kehidupan datang menyerang, rumah yang
tidak memiliki Yesus sebagai pondasinya, akan runtuh dan hancur secara total.
Beberapa anak laki-laki dan perempuan sedang bermain bersama di pasar yang
biasanya sedang tidak digunakan. Beberapa anak ingin melakukan permainan
sebuah pesta pernikahan. Selain sepasang pengantin perempuan dan laki-laki,
mereka juga membutuhkan pemain seruling, dan beberapa anak berdansa di pesta
pernikahan itu. Meskipun pengantin perempuan dan laki-laki telah siap dan salah
satu anak telah memainkan seruling, anak yang lain menolak untuk berdansa.
Mereka tidak tertarik dengan permainan pesta pernikahan itu. Kemudian, beberapa
anak ingin melakukan permainan penguburan. Salah seorang dari mereka harus
bermain sebagai orang yang meninggal, sementara yang lainnya menyanyikan lagu
perkabungan. Sisanya harus meratap, tetapi mereka menolak. Mereka tidak tertarik
untuk terlibat dalam permainan penguburan itu. Anak-anak yang telah
merencanakan permainan itu duduk dan berkata kepada anak-anak yang tidak mau
berperan serta itu demikian.
Latar Belakang :
Di dalam masyarakat kita yang
industrialis, pertanian hanya
dikaitkan dengan produksi
makanan. Bertani bukan sekedar
gaya hidup, melainkan telah
menjadi cara untuk mencari
nafkah. Teknologi modern telah
diterapkan sepenuhnya pada
metode-metode pertanian,
sehingga petani-petani menjadi
teknisi dalam bidang ini. Contohnya, ia menjadi seorang ahli dalam menggunakan
pupuk, herbisida, dan insektisida dan ia menjadi seorang pengusaha yang
mengetahui biaya produksi, nilai hasil produksi, dan jadual pemasarannya.
Ketika Yesus mengajarkan perumpamaan ten tang seorang penabur kepada orang-
orang Galilea, mereka pada waktu itu sedang melihat petani menaburkan benih di
ladang pada bulan Oktober. Memang para penulis Injil tidak menceritakan kepada
kita kapan Yesus mengajarkan perumpamaan itu. Kemungkinan Yesus mengajar
pada waktu penabur keluar untuk menaburkan benih. Kerumunan (menurut Matius,
kerumunan orang banyak) itu datang ke pantai di sebelah barat laut di tepi danau
Galilea. Mungkin jumlah mereka mencapai ribuan. Yesus menggunakan mimbar
yang mengapung pada waktu berbicara kepada orang banyak itu. Ia duduk di atas
perahu yang didorong agak jauh dari tepi pantai[1]. Keadaan yang alami ini jauh
lebih efektif daripada sistem pendekatan publik secara modern.
Yesus tidak harus menjelaskan aktivitas petani, sebab dari jauh mungkin mereka
bisa melihat petani sedang bekerja, menabur biji gandum atau barley. Bahkan
mereka pun mungkin adalah petani yang dari ladang yang sedang dalam perjalanan
menuju pantai. Di dalam masyarakat pertanian pada waktu itu, pendengar
kebanyakan adalah petani-petani atau orang yang pernah bekerja di tanah
pertanian.
Pada zaman Yesus, bertani merupakan pekerjaan yang relatif sederhana. Meskipun
perumpamaan ini tidak mengatakan sesuatu mengenai metode pertanian. Namun
dari Perjanjian Lama (Yesaya 28: 24-25; Yeremia 4:3; dan Hosea 10:11/ 12) dan
dari sumber-sumber rabinik, kita belajar bahwa pada akhir musim panas yang
panjang dan panas sekali, petani akan pergi ke ladangnya menaburkan biji gandum
atau barley ke atas tanah yang keras. Petani mencangkul tanah untuk menutupi
benihnya, dan menunggu hujan musim dingin turun untuk menyemaikan benih itu[2].
Deskripsi perumpamaan ini akurat dan merupakan kejadian sehari-hari. Petani tidak
dapat mencegah biji-biji tidak jatuh di tanah yang keras. Cepat atau lambat burung-
burung akan memakannya. Burung juga bisa mengambil benih yang ditanam di
tanah. Semua ini merupakan bagian dari eara bertani pada waktu itu. Petani juga
tidak bisa berbuat apa-apa dengan batu kapur yang muneul di sana-sini, karena
merupakan keadaan dari tanah. Lagipula, dia telah meneoba untuk menyingkirkan
semak-semak duri dengan meneabut akarnya, namun tumbuh-tumbuhan ini sulit
dimusnahkan, karena semak-semak duri itu kelihatannya punya eara untuk tumbuh
kembali.
Petani menantikan waktu menuai di mana dia bisa membawa hasil panennya. Hasil
rata-rata pada waktu itu biasanya bisa kurang dari sepuluh kali lipat[3]. Seorang
petani dianggap mendapatkan hasil yang luar biasa besarnya kalau dia bisa
mendapatkan hasil panen sampai tiga puluh kali lipat atau apalagi enam puluh kali
lipat. Petani sangat jarang mendapatkan panen sampai seratus kali lipat (Kejadian
26:12). Singkatnya, petani tidak menaruh perhatian pada biji-biji gandum yang hilang
pada saat menabur. Dia menaruh harapannya ke masa depan dan menunggu waktu
panen tiba dengan penuh harapan.
Semua pendengar Yesus tidak ada yang tidak setuju dengan Dia. Klimaks dari kisah
ini mungkin yang akan mengejutkan pendengar-Nya. Oleh karena, Yesus
mengatakan bahwa hasil panen itu seratus kali lipat bukan panen normal yaitu
sepuluh kali lipat. Jadi, inti dari kisah ini adalah panen yang berlimpah-limpah.
Latar Belakang
Perumpamaan
Karena perumpamaan
tentang benih yang tumbuh
ini kurang rinci, kisah ini
menjadi cerita yang
sederhana. Di dalam
perumpamaan ini tidak
disebutkan mengenai persiapan tanahnya, curah hujan, sinar matahari,
pengendalian terhadap lalang, atau pemupukan secara organik. Di dalam
perumpamaan tentang penabur, kehidupan petani terlihat paralel, tidur pada waktu
malam, dan aktif kembali pada pagi hari. Pada saat panen dia meletakkan sabitnya
di atas biji-biji gandum.
Tema pokok yang sebenarnya dari perumpamaan ini adalah Allah yang mengontrol
semua elemen-elemen alam ini. Setelah menabur benih petani harus menyerahkan
saat bertunas, bertumbuh, penyerbukan, dan pendewasaannya kepada Allah. Petani
dapat menjelaskan proses pertumbuhan gandum, tetapi dia tidak dapat
menerangkan kejadiannya. Sesudah gandum ditaburkan, biji itu menyerap udara
yang lembab dari dalam tanah, menggembung, dan bertunas. Sesudah satu atau
dua minggu, daun-daun yang masih kecil muncul ke permukaan; tumbuh-tumbuhan
itu mulai bertunas dengan cepat, bertambah tinggi, dan bungkulnya mengembang.
Kemudian, pada saat tanaman tersebut mati, warnanya berubah dari hijau menjadi
warna keemasan; bijinya telah tua dan tibalah saatnya untuk menuai. Petani tidak
dapat menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan ini[4]. Petani hanyalah seorang
pekerja yang pada saat tertentu menabur dan menuai. Allahlah yang memegang
rahasia kehidupan. Allahlah yang mengontrol kehidupan ini.
Ladang Petani :
Sesudah Matius menulis perumpamaan tentang penabur
dan penafsirannya, dia mencatat bahwa Yesus bercerita
perumpamaan yang lain kepada orang banyak, satu kisah
tentang petani yang kelihatannya melakukan pekerjaannya
dengan baik. Petani mempunyai hamba-hamba dan juga
hamba-hamba untuk menuai pada saat yang tepat.
Sebagai petani yang berhasil, pemilik tanah ini telah
mendapatkan benih yang baik. Tentu saja dia tidak mau
menaburkan benih lalang - yang menyebabkan dia merasa
sedih tidak terkatakan. Benih yang baik pasti bebas dari
lalang. Petani itu telah menaburkan benih yang baik di ladangnya (cerita ini tidak
mementingkan kapan dan bagaimana benih itu ditaburkan),
Segera sesudah dia menyelesaikan tugas menabur benih gandum di musim dingin,
musuhnya datang. Dia datang di dalam kegelapan, sementara semua orang sedang
tidur, dan menaburkan benih lalang di antara gandum. Tentu saja dia tidak menutupi
semua ladang dengan lalang. Dia menaburkan benih lalang itu di sana-sini, Tidak
ada seorang pun yang tahu sampai musim semi tiba di mana lalang itu tumbuh di
antara tanaman gandum[3]. Lalang kelihatannya sangat mirip dengan gandum. Pada
saat tanaman mengeluarkan bongkolnya, barulah orang bisa membedakan lalang
dan gandum - "Jadi dari buahnyalah kamu akan men genal mereka" (Matius 7:20).
Pada waktu mengetahui hal itu, sudah tidak mungkin lagi melakukan sesuatu.
Seseorang yang berjalan di ladang gandum untuk membuang lalang, akan
menginjak-injak gandum. Lagipula, akar gandum dan lalang saling terjalin satu
dengan yang lain sehingga kalau lalang dicabut maka gandumnya akan tercabut
juga.
Meskipun begitu, petani tersebut mengalami situasi yang paling buruk. Dia tahu
bahwa lalang telah mengambil kelembaban udara dan vitamin yang seharusnya
diambil oleh tanaman gandum. Hasil panennya menjadi berkurang dari yang dia
harapkan. Kendatipun dia memiliki semua keterampilan bertani, dia tidak dapat
membuat perbedaan antara lalang dan gandum sampai tanaman mulai
mengeluarkan bongkolnya dan saat panen telah dekat[4]. Akhirnya setelah
berbulan-bulan petani itu melakukan pekerjaannya, dia menyadari bahwa musuhnya
mempunyai akal buruk menyerang dia. Dia harus menghadapi konsekuensi-
konsekuensi dari rencana buruk yang dilakukan oleh musuhnya.
Tukang kebun itu hanya mengambil satu biji sesawi. Sepertinya jari-jarinya terlalu
besar untuk memegang sebutir biji yang sangat kecil. Dia menaburkan biji di
ladangnya karena dia tahu bahwa biji yang kecil itu mempunyai kemampuan untuk
tumbuh menjadi tanaman yang seukuran pohon[3]. Dia hanya memerlukan satu
tanaman. Dan Dia mengetahui kekontrasan an tara biji dan tanaman[4].
Sebenarnya, ukuran biji sesawi yang sangat kedl itu telah terkenal sejak abad
pertama. Suatu kali Yesus mengatakan: " Sesungguhnya sekiranya kamu
mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada gunung ini:
Pindah dari tempat ini ke sana, ... " (Matius 17:20) [5]. Baik Matius maupun Markus
secara eksplisit mengatakan bahwa benih sesawi "adalah yang paling kecil dari
semua benih yang lain"[6]. Karena itu, semua kekontrasannya sangat ditampakkan,
karena kalimatnya diseimbangkan dengan penjelasan ten tang tanaman yang sudah
tumbuh: "tanaman kebun yang sangat besar dan menjadi sebuah pohon." Biji itu
benar-benar kecil, sebutir benih yang sangat kecil yang ditanam di ladang dan
menjadi sebuah pohon. Suatu mujizat!
Yesus menceritakan kisah seorang wanita yang membakar roti. Hal itu merupakan
pemandangan yang diambil dari kehidupan sehari-hari. Seorang wanita mengambil
sedikit ragi, mencampurnya dengan sejumlah besar tepung, dan membakarnya
menjadi roti, yang untuk sekali makan cukup untuk seratus orang. Baik Matius
maupun Lukas menunjukkan bahwa wanita itu mengambil tiga sukattepung. Satu
sukat kira-kira sarna dengan 13,13 liter. Jadi wanita itu mengambil 39 liter tepung
(beratnya 50 pon lebih) supaya bisa membakar roti dalam jumlah besar. Tentu saja,
jumlah ini terlalu besar untuk makan sehari di dalam keluarga kecil[1]. Tetapi Sarah,
istri Abraham, membakar roti sebanyak itu ketika ada tiga orang mengunjungi
mereka di Mamre (Kejadian 18:6). Dan sedikitnya ada dua referensi lain untuk
jumlah tiga sukat (seahs, atau satu efa) yang disebutkan untuk membakar roti
(Hakim 6:19 dan l Samuel 1:24).
Yesus tidak bermaksud menyebut leaven (adonan asam) sebagai sesuatu yang
jahat. Dia menggunakan konsep leaven karena kekuatannya yang tersembunyi.
Ragi dan adonan asam meresap ke dalam seluruh adonan sehingga menyebabkan
adonan mengembang. Sesudah ragi atau adonan asam dicampur dengan tepung,
ragi atau adonan as am tersebut tidak dapat diketemukan lagi. Ragi atau adonan
asam tersembunyi dan tidak terlihat.
Kedua perumpamaan ini hanya terdapat di dalam Injil Matius dan berbentuk
pasangan. Tidak diketahui apakah Yesus mengajarkan kedua perumpamaan ini
secara berurutan atau apakah Matius yang menyusun materinya secara topikal dan
menempatkan kedua perumpamaan itu bersama-sama: tetapi kenyataannya
keduanya ditulis secara bersama-sama.[1]
Dapat dikatakan bahwa kalimat pendahuluan dari kedua perumpamaan sangat tidak
seimbang. Di satu sisi Kerajaan Surga seperti harta, dan di lain pihak seperti
seorang pedagang. Kita tidak boleh mendekati kedua perumpamaan ini dengan pola
pikir Barat yang analitis. Kita harus mencoba memahami arti dasarnya seperti yang
dimengerti oleh para murid sebagai orang pertama yang mendengar perumpamaan-
perumpamaan ini.
Perumpamaan ten tang lalang jauh lebih deskriptif daripada perumpamaan tentang
pukat. Perumpamaan tentang lalang menyebutkan petani, hamba-hamba, dan para
penuai, tetapi di dalam perumpamaan tentang pukat ini hanya nelayan dan pekerja-
pekerjanya yang dijelaskan. Sesudah petani menan ami tanahnya, lalang ditaburkan
ke ladang, sementara itu di danau Galilea ikan yang dapat dimakan dan yang tidak
dapat dimakan bercampur menjadi satu. Perumpamaan lalang menjelaskan kondisi
ladang pada waktu sekarang dan panen sebagai peristiwa yang terjadi di masa yang
akan datang. Sebaliknya, perumpamaan tentang pukat menggambarkan pemisahan
ikan berkenaan dengan waktu sekarang.[3]
Petrus, yang dilatih di dalam tradisi Hukum Taurat, para Nabi dan tradisi orang
Yahudi, mengetahui bahwa dia harus mengampuni sesamanya. Dia tahu
kewajibannya. Tetapi sampai di mana batasannya? Apakah sebenarnya ada
batasannya? Petrus berpikir bahwa dia harus mengampuni sebanyak tujuh kali. Dia
berpikir tujuh kali saja sudah cukup, dan kemungkinan besar Yes us akan
mengatakan: "Ya Petrus, tujuh kali sudah cukup." Bukankah belas kasihan yang
tidak terbatas mendorong orang hidup dalam dosa? Tidakkah Yesus sependapat
dengan Petrus, "Cukup adalah cukup"?
Tetapi jawaban Yesus adalah, "Aku berkata kepadamu: bukan sampai tujuh kali,
melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." Yesus mengalikan dua angka yaitu
tujuh dan sepuluh - angka-angka yang melambangkan kesempurnaan - dan
menambahkan lagi angka tujuh. Dia bermaksud mengatakan, bukan tujuh kali, tetapi
tujuh puluh kali tujuh kali; yaitu kesempurnaan dikalikan kesempurnaan ditambah
dengan kesempurnaan[1]. Yesus memberikan konsep tentang ketidakterbatasan.
Belas kasihan Allah begitu besar sehingga tidak dapat diukur; demikian juga kamu,
Petrus, kamu harus menunjukkan belas kasihan yang seperti itu kepada sesamamu.
Yesus mengajarkan perumpamaan ten tang hamba yang tidak mau mengampuni
untuk menjelaskan besarnya kasih Allah dalam pengampunan, yang harus
direfleksikan oleh umat-Nya, Dia menceritakan sebuah kisah dan menceritakannya
dengan baik.
Ketika dia berdiri di hadapan tuannya, dia mendengar keputusan bahwa dia, istrinya,
anaknya, dan semua miliknya akan dijual untuk membayar hutangnya. Hal itu terlalu
besar baginya. Dia bersujud di kaki tuannya, meminta belas kasihan dan memohon,
"Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan." Dia memohon belas kasihan,
bukan pengampunan. Dia menjanjikan ganti rugi, karena dia tahu bahwa dia hanya
dapat memulai dan tidak lebih dari itu. Sebagai responsnya, dia menerima apa yang
paling sedikit dia harapkan - pembebasan. Tuannya berbelas kasihan kepadanya,
menghapuskan hutangnya dan membiarkan dia pergi[5]. Luar biasa! Betapa
sukacitanya! Betapa murah hatinya!
Semua ini hanya merupakan babak pertama dari sebuah drama[6]. Babak kedua
berhubungan dengan babak pertama: Menteri Keuangan itu menjadi tuan dan
bertemu dengan pegawai raja yang lain.
Ketika menuruni tangga istana raja, hamba yang dibebaskan hutangnya oleh raja
bertemu dengan sesama hamba yang berhutang seratus dinar kepadanya.
Sebenarnya jumlah tersebut tidak berarti apa-apa, karen a dengan bekerja beberapa
hari saja dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Tetapi pegawai raja tersebut
mencekik orang itu dan menuntut pembayaran dengan segera, "Bayarlah hutangmu
kepadaku!" [7] Orang yang berhutang itu sujud di kaki menteri keuangan dan
memohon, "Bersabarlah, aku akan membayar kembali." Dia tidak perlu berkata" Aku
akan membayar semuanya," karen a jumlahnya begitu kecil. Tidak perlu diragukan
dia pasti dapat membayar kembali semua hutangnya. Tetapi menteri keuangan itu
menolaknya dan memasukkan orang itu ke penjara. Ia mengharapkan sese orang
memberi jaminan dan membayar hutangnya.
Babak ketiga memperkenalkan saksi yang menyaksikan babak kedua; babak ini juga
merupakan konfrontasi kedua dan terakhir an tara raja dan pegawainya.
Kesimpulannya adalah bahwa setiap orang yang pernah diampuni harus siap
memberikan pengampunan kepada orang lain yang berhutang kepadanya dan harus
melakukannya dengan sepenuh hati.
12. Perumpamaan tentang Orang-orang Upahan di Kebun Anggur
Sementara para hamba dan pekerja sibuk dengan pekerjaannya di kebun anggur,
pemilik kebun kembali ke pasar untuk melihat kalau¬kalau dia dapat menemukan
lebih banyak pekerja lagi. Pada waktu itu antara puku18.00 dan pukul9.00, waktu di
mana banyak pekerja sedang melewatkan waktu mereka di pasar. Tuan tersebut
meminta mereka untuk menghabiskan sis a waktu mereka bekerja di kebun
anggurnya. Tuan tersebut menjanjikan gaji yang adil kepada mereka, meskipun dia
tidak menetapkan jumlahnya. Para pekerja tersebut, mengetahui reputasi pemilik
kebun anggur, percaya penuh kepadanya. Mereka pasti tidak akan kecewa di akhir
hari itu.
Pergi ke pasar yang terdekat dilakukan dalam jangka waktu yang teratur, pada
waktu siang dan pada pukul 15.00, dengan berbagai tingkat keberhasilan. Menjelang
petang terlihat jelas bahwa proyek tersebut tidak dapat diselesaikan sebelum gelap
kecuali didatangkan tambahan pekerja. Pemilik kebun anggur kembali lagi ke pasar
pada jam lima dan mendapati orang-orang yang sedang berdiri. Dia bertanya
mengapa mereka masih berada di pasar pada jam itu. Jawabannya adalah bahwa
tidak ada seorang pun yang datang untuk menawarkan pekerjaan kepada mereka.
Tuan itu berkata: "Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku." Tidak disebutkan di sana
tentang pemberian upah.
Pemilik kebun anggur tahu bahwa para pekerja diizinkan untuk makan anggur
sebanyak yang mereka inginkan. Dia memperkirakan kehilangan hampir tiga persen
dari hasil panennya untuk pekerja-pekerjanya. Tetapi, dengan menggaji pekerja-
pekerja yang mulai bekerja pada waktu petang, dia tidak beresiko kehilangan anggur
terlalu banyak. Dia mengharapkan agar para pekerja memakai energi mereka untuk
memanen anggur. "Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku."
Sebagaimana kebiasaan pada waktu itu, undangan diberikan langsung dan tamu-
tamu diingatkan akan hari pernikahan. Tetapi pada waktu hamba-hamba raja
menyampaikan pemberitahuan, mereka mengalami sakit hati. Orang-orang yang
mempunyai kedudukan tinggi dan anggota para bangsawan memberitahu hamba-
hamba tersebut bahwa mereka tidak akan melakukan apapun juga di dalam pesta
pernikahan yang akan diadakan. Mereka mengungkapkan kepahitan dan
perlawanan. Meskipun mereka mengetahui bahwa undangan kerajaan sama dengan
perintah kerajaan, mereka menolak untuk menjawab undangan raja.
Tetapi salah satu dari para tamu menolak mengenakan pakaian pesta yang
diberikan padanya ketika dia memasuki ruangan pesta. Karena pakaiannya itu,
keberadaan dia sangat mencolok. Saat kedatangan raja ke pesta tersebut telah tiba.
Raja memperhatikan dandanan para tamu, mengangguk tanda setuju, sampai
akhirnya dia menandai satu orang yang menolak mengenakan pakaian yang sesuai.
Dalam keheranan, raja berseru, "Hai saudara, bagaimana engkau masuk ke mari
dengan tidak mengenakan pakaian pesta?" Orang itu diam saja. Dia tidak dapat
mengatakan kepada raja secara baik-baik di depan semua tamu bahwa dia telah
menolak mengenakan pakaian yang diberikan kepadanya ketika dia masuk ke
ruangan pesta. Dia tetap diam. Raja memerintahkan hambanya untuk mengambil
tamu yang keras kepala ini, mengikatnya, dan melemparkannya ke dalam
kegelapan.