Anda di halaman 1dari 6

BAB VIII

MENULIS RESENSI

A. Pengertian Resensi
Resensi diartikan sebagai tulisan tentang ulasan atau timbangan buku atau wawasan
tentang baik atau kurang baiknya kualitas suatu tulisan yang terdapat di dalam buku. Namun,
makna resensi akhir-akhir ini meluas tidak hanya penilaian terhadap kualitas suatu buku saja.
Resensi diartikan pula sebagai pemberian penilaian terhadap suatu karya buku (fiksi dan
nonfiksi), pementasan drama, film, atau musik dengan cara mengungkapkan segi
keunggulan dan kelemahan secara objektif.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan resensi adalah salah satu upaya menghargai
tulisan atau karya tulisan orang lain dengan cara memberikan komentar secara objektif.
Dalam hal ini harus dihindari sejauh mungkin sifat subjektif penulis terhadap bahan yang
akan diresensi. Selain itu, penulis resensi harus memiliki wawasan yang cukup tentang bahan
yang akan diresensi demi tercapainya sasaran penimbangan suatu karya.

B. Tujuan Menulis Resensi


Menulis resensi sebagai suatu upaya memperkenalkan buku, pementasan drama, film,
atau musik kepada orang lain dengan maksud agar orang lain dapat membaca buku,
menyaksikan pementasan drama, film, atau musik. Dalam hal ini tujuan menulis resensi pun
menjadi luas. Beberapa tujuan menulis resensi yaitu sebagai berikut.
1. Menimbang agar buku, pementasan drama, film, atau musik mendapatkan perhatian dari
orang yang belum pernah membaca atau menyaksikannya.
2. Memberikan penilaian dan penghargaan terhadap isi suatu buku, pementasan drama, film,
atau musik sehingga penilaian itu diketahui khalayak.
3. Melihat kesesuaian latar belakang pendidikan dan ilmu pengarang (untuk buku), melihat
kesesuaian karakterisasi tokoh, tokoh, setting, alur, dan amanat (untuk pementasan drama
dan film), serta melihat kesesuaian komposisi melodi, ritme, aliran musik, dan jenis musik
(untuk musik).
4. Menghargai keunggulan dari suatu penulisan buku, pementasan drama, film, atau musik
yang disajikan sebagai sebuah karya.
5. Mengungkapkan kelemahan dari suatu penulisan buku, pementasan drama, film, atau
musik yang disajikan sebagai sebuah karya.
6. Memberikan komentar atau kritikan terhadap bobot ilmiah atau nilai sastra yang
terkandung dalam sebuah buku dan unsur-unsur pembangun dalam sebuah pementasan
drama, film, atau musik.

C. Cara Membuat Resensi


Pada saat membuat resensi seorang resensator harus betul-betul menguasai dan bahan
yang akan diresensi. Dengan demikian, karangan resensi tidak hanya mengungkapkan segala
sesuatu yang terdapat di dalam karya melainkan mencakup pula uraian perbandingan dengan
karya-karya lain yang sejenisnya. Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan resensator
ketika menulis resensi.
1. Resensator harus mengetahui unsur-unsur/sistematika resensi mencakup judul resensi,
identitas resensi (identitas buku, pementasan drama, film, atau musik), pendahuluan
(boleh ada boleh tidak), inti/isi resensi, keunggulan karya yang diresensi, kelemahan
karya yang diresensi, dan penutup.
2. Resensator harus bersikap objektif terhadap sesuatu yang akan diresensi dengan
menanggalkan sepenuhnya sikap subjektifitas.
3. Resensator harus mencoba membandingkan dengan sajian bentuk lain yang memiliki
kesesuaian dengan bahan yang akan diresensi.
4. Resensator harus mencoba memberikan komentar dengan acuan yang jelas dan terarah
supaya tidak timbul kesalahtapsiran antara resensator, penulis/pembuat karya, dan
pembaca/penikmat karya.

Agus Mulyadi, S.Pd. (2021). Menulis Resensi. Kelas XI Semester 2.


5. Resensator hendaknya memiliki wawasan yang luas terhadap bahan yang akan diresensi.
6. Resensator harus mengungkapkan data berupa bagian atau unsur-unsur yang diresensi
secara jelas dan lengkap.
7. Resensator harus menghindari interprestasi yang keliru terhadap bahan yang diresensi,
yaitu dengan cara mengetahui dengan jelas tujuan dan arah penulis/penyaji karya tersebut.

D. Unsur-unsur/Sistematika Resensi
Unsur-unsur atau sistematika resensi harus dipenuhi oleh seorang peresensi dalam
menulis resensi. Hal tersebut berguna demi menghasilkan hasil tulisa resensi yang baik dan
benar. Adapun unsur-unsur/sistematika resensi yaitu sebagai berikut.
1. Judul resensi.
2. Identitas buku, pementasan drama, film, atau musik yang diresensi.
3. Pendahuluan, berisi memperkenalkan pengarang/pembuat, tujuan pengarang/pembuat,
dan sebagainya (boleh ada boleh tidak)
4. Inti/isi resensi.
5. Keunggulan buku, pementasan drama, film, atau musik.
6. Kelemahan buku, pementasan drama, film, atau musik.
7. Penutup (kesimpulan)

E. Contoh Resensi Film Negeri 5 Menara

Negeri 5 Menara; Mimpi Beda, Rasa Sama

Judul : Negeri 5 Menara


Tahun Produksi : 2012
Sutradara : Affandi Abdul Rachman
Produser : Salman Aristo, Aoura Lovenson Chandra, Dinna Jasanti
Pemain : Gazza Zubizareta, Rizki Ramdani, Billy Sandy, Lulu Tobing,
Jiofani Lubis, Ernest Samudera, Aris Putra, dan Ikang Fawzi
Produksi : Kompas Gramedia
Distributor : Million Pictures
Durasi : 100 Menit

Tiga hal yang kerap ditemukan dalam film Indonesia belakangan ini adalah kampung
halaman, ambisi, dan persahabatan. Masih hangat dalam ingatan kita mengenai film,
seperti “Tendangan dari Langit”, “Semesta Mendukung’, dan “Laskar Pelangi”.
Persahabatan, kampung halaman, dan ambisi menghadirkan kehangatan tersendiri
yang mudah dicerna penonton Indonesia, sebuah perasaan yang kemudian
direproduksi dalam pengulangan formula serupa. Alasannya bersifat ekonomis, yakni
merangkul penonton massal dari segala kelas untuk berbondongbondong ke bioskop,
yang kemudian diterjemahkan menjadi keuntungan besar. Perkenalan lewat novel juga
dijadikan strategi sendiri untuk mendorong
komunitasnya dalam menyaksikan versi layar lebarnya. Hasilnya bagi pembuat film
adalah membuka kesempatan sekuel atau melebarkan sayap melalui bentuk
pertunjukan lain. Laskar Pelangi, misalnya, dikreasi ulang menjadi pentas musikal di
atas panggung. Formula ala Laskar Pelangi ternyata menular juga pada Negeri 5
Menara, baik novel yang ditulis oleh Ahmad Fuadi maupun adaptasi filmnya yang
disutradarai Affandi Abdul Rachman (sebelumnya The Perfect House, Heartbreak.
com, dan Pencarian Terakhir). Kedua karya ini mempunyai pola cerita yang tak ayal
menyandingkan keduanya dalam satu lini yang sama. Bermimpi, menjadikan mimpi
itu nyata, menemui kegagalan, dan akhirnya muncul sebuah pertanyaan krusial,
“Apakah semua mimpi akhirnya harus terwujud untuk dikategorikan sebagai sebuah
kesuksesan?”

Agus Mulyadi, S.Pd. (2021). Menulis Resensi. Kelas XI Semester 2.


Penantian Panjang dan Lambat
Film “Negeri 5 Menara” berkisah tentang Alif, pemuda yang menghabiskan hidupnya
di tengah keluarga religius di Tanah Gadang. Ia bermimpi menjejakkan kaki di Pulau
Jawa dan masuk dalam barisan mahasiswa sebuah kampus tersohor di Bandung.
Sayang, orang tuanya menganggap sia-sia kalau sudah sampai di Jawa, Alif tidak
menuntut ilmu agama. Jadilah Alif seorang murid Pondok Madani. Untungnya, ada
kelima sahabatnya yang sukses membuat Alif sedikit kerasan di tengah peraturan yang
mengikat dan kadang terkesan konyol. Bersama Baso, Atang, Raja, Said, dan Dulmajid
mereka mencari-cari mimpi apa yang bisa mereka wujudkan selepas dari pondok
pesantren tersebut. Tersebutlah negara-negara dengan penandanya yang khas. Ini
makin membuat enam sekawan itu makin menjadi dalam bermimpi. Sejak awal
perkenalan dengan tokoh Alif, penonton seperti diarahkan dan diberi peringatan kalau
kisah hidup Alif cukup panjang untuk diikuti. Pergolakan keinginan Alif yang
berbenturan dengan rasa ingin membanggakan kedua orang tuanya dijabarkan cukup
detail dan panjang dalam satu perjalanan waktu. Penonton seperti diberi posisi strategis
untuk menikmati perjalanan seorang anak lewat waktu yang berjalan lambat. Detail
yang disampaikan seperti ingin menguliti semua gerak Alif layaknya orang tua yang
protektif. Sampai masuk ke pondok pesantren, posisi itu masih tersedia bagi penonton
meskipun Alif sudah tidak lagi tinggal bersama orang tuanya.

Ada Ustaz Salman (diperankan oleh Donny Alamsyah) yang mendadak punya posisi
signifikan dengan keberadaan Alif dan kawan-kawannya. Ustaz Salman selalu tampil
heroik ketika enam sekawan itu terjepit dalam situasi lemah. Sayangnya, tokoh
terdekat yang seharusnya memiliki kekuatan emosional yang erat dengan anak-anak
itu justru terasa layaknya tokoh sampingan yang sekadar lewat saja. Di awal, pengaruh
Ustaz Salman begitu terasa nyata dengan kalimat menggugah: Man jadda wajada.
Semangat yang di awal begitu terasa menggugah hati keenam sahabat itu malah luruh
begitu saja justru di saat keenamnya tersebut makin akrab. Padahal, sebagai tokoh yang
sudah cukup menarik perhatian di awal, Ustaz Salman bisa mengambil peran penting
dalam kisah anak-anak ini selama di pondok. Di awal terlihat jelas saat kekakuan
antarsiswa masih terasa, Ustaz Salman mencoba membakar semangat mereka,
membuat mereka bertanya-tanya apa sebenarnya tujuan mereka di pondok tersebut.
Setelah itu, enam sekawan ini menjadi salah satu produk sukses Ustaz Salman dalam
mengompori muridnya yang masih hijau dan mempunyai banyak ambisi. Eksistensi
Ustaz Salman perlahan seolah menghilang pada hubungan emosional dengan para
siswanya. Saat akhirnya Ustaz Salman meninggalkan pondok, tidak ada kontak yang
dilakukan dengan keenam siswa tersebut. Entah adegan sengaja tidak dibuat dramatis
yang berlebihan atau ingin menyampaikan peran Ustaz Salman yang sudah selesai
saatnya ia pergi meninggalkan Alif dan kawan-kawan yang sedang berapi-api
mengejar mimpinya. Pertanyaan lainnya adalah sampai kapan penonton harus
menunggu hingga konflik mulai muncul ke permukaan? Sepanjang film penonton
dihadapkan pada masalah-masalah kecil yang tidak berdampak bagi jalan cerita
ataupun hubungan antartokohnya. Contohnya adalah keinginan Alif untuk sekolah di
ITB. Berbagai cara ia coba supaya bisa masuk sana, termasuk “menyabotase” ujiannya
sendiri. Di tengah-tengah cerita juga terselip angan-angan Alif saat ia berkunjung ke
Bandung. Saat itu penonton seperti hanya diingatkan dengan ambisi Alif di awal film,
tetapi tidak ada tindak lanjut sampai film usai. Masalah yang ditampilkan timbul
tenggelam seolah tidak penting bagi para tokohnya. Di samping itu, ada sejumlah
masalah kecil yang sebenarnya bisa menjadi penghubung para tokoh. Saat itulah
penantian tersebut membuahkan kebosanan dan ritme yang serba datar, tidak
memberikan letupan perasaan yang begitu menggebu-gebu. Banyaknya tokoh yang
disorot dan juga tokoh pendukung yang muncul bisa jadi alasan dari alpanya perasaan
itu.

Agus Mulyadi, S.Pd. (2021). Menulis Resensi. Kelas XI Semester 2.


Ansambel yang Akrab
Lantas, dari mana perasaan hangat yang di awal sempat disebut menjadi salah satu
kekuatan film ini? Terlepas dari plot cerita yang cenderung lambat dan tak beraturan,
keenam tokoh utama yang tergabung dalam ansambel film ini mempunyai kekuatan
tersendiri. Alif menjadi tokoh sentral yang lengkap dengan ambisinya untuk
meninggalkan pondok, tetapi terbentur dengan ikatan persahabatan yang dimiliki.
Baso, siswa asal Gorontalo, mungkin menyisakan sedikit kesan yang berbeda jika
dibandingkan lima tokoh lainnya. Ia tampak sederhana, cerdas, dan bersahaja. Di balik
kesederhanaannya itu, ada sisi yang begitu menyentuh Alif dan kawan-kawan,
termasuk menyisakan ruang hangat bagi penonton. Sekilas ada momen-momen penuh
pesan ala motivator yang mencoba membakar semangat. Seperti Ustaz Salman yang
begitu berapi-api di awal, ada seseorang dalam enam sekawan ini yang tanpa disadari
memiliki kemampuan serupa dengan sang ustaz, tetapi dengan cara yang lebih
menyentuh. Baso sukses meredam emosi-emosi Alif atau teman-teman saat
menemukan perselisihan. Pada adegan yang cukup emosional, Baso harus kembali ke
kota kelahirannya demi mengurus neneknya yang sakit keras. Kelima kawannya
mengelilinginya dengan wajah sedih, nyaris berlinang air mata.

Baso sebagai orang yang ditangisi terlihat santai dan tidak menahan beban.
Terjelaskanlah peran Baso sebagai wingman sang tokoh utama. Perannya memberi
dampak pada jalan cerita dan merekatkan tokoh-tokoh lainnya. Kelekatan para tokoh
ini yang akhirnya membangun kehangatan antarpribadi. Penonton disuguhkan sisi
menyenangkan saat mereka masih berangan-angan menjelajahi dunia pascakelulusan
mereka dari pondok. Impian yang serba selangit itu kembali didukung lewat aksi-aksi
keenamnya yang mencoba mendobrak aturan pondok yang serba ketat. Momen yang
satu per satu terjadi itulah yang membuat adanya pertemuan rasa nyaman,
persahabatan, dan juga nostalgia ambisi yang dibangun lewat ansambel pemain film
ini. Sejak awal sudah muncul tebakan seputar ke mana alur cerita akan berjalan,
mungkin karena formula yang digunakan terasa begitu akrab bagi penonton film
Indonesia. Tentunya formula mujarab ini tidak berhenti sampai sini. Konon sederet
film-film adaptasi berpola sama diluncurkan tahun 2012 ini. Setidaknya keakraban
enam sekawan “Negeri 5 Menara” masih sangat nikmat untuk diikuti meski formula
filmnya sendiri sudah terlalu familiar.

(Diolah dari http://cinemapoetica.com)

F. Contoh Resensi Buku (novel) Galaksi Kinanthi

Galaksi Kinanthi : Menakar Cinta, Menebus Cita

Judul Buku : Galaksi Kinanthi


Penulis : Tasaro Gk
Penerbit : Salamadani
Tahun Terbit : 2009
Tebal : 432 Halaman

Agus Mulyadi, S.Pd. (2021). Menulis Resensi. Kelas XI Semester 2.


Tasaro GK dengan suara yang datar mengatakan, novel karyanya sampai November
2009 ini sudah dicetak sebanyak tiga kali. Ketika berkunjung ke kantor redaksi Seputar
Indonesia (SI) di suatu sore dia pun langsung menyodorkan novel kebanggaannya,
Galaksi Kinanthi. Bukunya cukup tebal berisi sekitar 432 halaman dan sampul depan
bergambar sesosok perempuan di atas kapal menatap purnama dengan latar belakang
patung Liberty dan gedung-gedung bertingkat.
Ketika di balik ternyata sampulnya memiliki dua sisi berbeda dan terlipat apik. Di sisi
dalam ada sosok lelaki yang berdiri di atas geladak kapal. Letaknya tak jauh dari sosok
perempuan pada sampul muda. Di sisi lain, tergambar seorang lelaki berbaring di
padang rumput sedang memandang purnama yang sama. Ide yang unik dan nyentrik.
Beberapa nama kondang penulis, seniman, dan sutradara tanah air pun menghiasi
sampul depan dan belakang. Mulai Dewi “Dee” Lestari sampai Helvy Tiana Rosa, dari
Gola Gong hingga Imam Tantowi, memberikan sanjungan untuk Galaksi Kinanthi.
Saat melangkah ke daftar isi terdapat judul-judul yang tak biasa namun sederhana.
Bertengger di daftar pertama Virgo (Sang Perawan), berturut-turut ada Cancer
(Kepiting), leo (Singa), Lyra (Dawai). Ada Crux (Layang-layang), Pavo (Merak),
Pengasuh (Kuda Terbang), Ara (Altar), dan terakhir Perseus (Pahlawan). Semua ada
16 judul dengan penamaaan yang unik mengambil kata-kata dalam mitologi Yunani.
Sepintas, setelah melihat penampilan luar yang menarik, cukup membetot keinginan
saya untuk memulai mengarungi lembar-lembar Galaksi Kinanthi. “Begini cara kerja
sesuatu yang engkau sebut cinta”, beritu membaca kalimat pertama yang tersaji, saya
menebak ini novel tentang cinta atau seseorang yang mempertanyakan cinta.
Tak terlalu meleset, sebab selanjutnya saya seperti dihamburi kalimat puitis bercita
rasa futuristik dan imajinasi yang menggalaksi. “Berkasih mesra dengan konstelasi
Crux. Sejari telunjuk dari rasi bintang Centaurus dan Musca. Di sana hidup para hati
yang terjebak dalam ruang tunggu tanpa tepi waktu”.
Pada bagian pertama kita dipertemukan dengan tokoh utama yang bernama Prof.
Kinanti Hope. Perempuan yang matang berusia sekitar 27-28 tahun, cerdas, cantik,
berasal dari Indonesia. Dia begitu serius berdiskusi dengan Zhaki, lelaki modern,
tampan, seorang editor penerbitan sukses di New York, berasal dari Tibet.
Pada bagian kedua, kita ditarik dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Gunung
Kidul, Yogyakarta, yang masih tradisional. Di sini bertemu dengan Kinanti kecil yang
menggendong adiknya menemani Ajuj, anak laki-laki berusia 12 tahun, berburu
kepiting. Seperti anak desa kebanyakan, Ajuj kulitnya kecoklatan, baik hati, dan
senang mendendangkan Kinanthi.
Bab selanjutnya, mulai mengalir keterikatan Kinanthi dan Ajuj, sampai konflik yang
pelik khas masyarakat pedesaan yang miskin, lugu, namun tetap menyimpan cita-cita.
Kita disuguhkan kisah ‘Pengembaraan’ Kinanthi untuk mengangkat harkat dan derajat
keluarganya di desa yang miskin dan susah. Perjalanan dari Gunung Kidul, ke
Bandung, Jakarta, Arab Saudi, Kuwait, sampai akhirnya mengantar Kinanthi ke
Amerika Serikat.
Penderitaan, kepedihan, dan nestapa yang dialami Kinanthi menjelma menjadi
tempaan dirinya menjadi seorang perempuan cerdas, cantik, dan mapan. Sampai
akhirnya dia begitu ingin kembali ke desanya dan berusaha menemukan cinta sejatinya
yang mulai bersemai sejak kecil.

Agus Mulyadi, S.Pd. (2021). Menulis Resensi. Kelas XI Semester 2.


Meskipun Galaksi Kinanthi merupakan karya fiksi, di dalamnya kita disuguhkan kisah
yang penuh petualangan dan penuh ‘Petuah’ tentang perjuangan mewujudkan cinta
dan cita-cita. Bukan sekadar menegaskan bahwa cinta dan cita-cita harus
diperjuangkan, melainkan bagaimana kita menakar cinta sejati dan menebus cita-cita.
Memang saya tak sampai menitikan air mata mengikuti kisah Kinanthi, gadis kecil
yang lemah ini dijual keluarganya, disiksa, bahkan diperkosa ketika menjadi TKW,
sampai akhirnya menjadi profesor an penulis hebat. Namun, ketika keangkuhan
hatinya runtuh oleh cinta yang sederhana, saya harus mengakui hati saya ikut meleleh
ketika membaca novel ini.
Jadi, tak heran bila novel ini sudah dicetak tiga kali dan mendapat pujian para penulis,
seniman, dan tokoh kondang. Saya pikir Anda pun jangan sampai melewatkan novel
ini untuk menemukan semangat dalam memperjuangkan cinta dan cita-cita.

G. Pola Tulisan Resensi


Secara garis besar pola tulisan resensi dibagi tiga jenis yaitu pola informatif, deskriptif,
dan kritis. Lebih jelasnya ketiga pola tulisan resensi tersebut yaitu sebagai berikut.
1. Pola informatif yaitu tulisan resensi yang berusaha memberikan keterangan-keterangan
tentang buku, pementasan drama, film, atau musik dengan maksud memberitahu kepada
pembaca/penikmat karya.
2. Pola deskriptif yaitu tulisan resensi yang berusaha menggambarkan atau melukiskan
bahasan-bahasan secara detail sebagai objek kajian resensi.
3. Pola kritis yaitu tulisan resensi yang berusaha mengulas bahasan-bahasan secara detail
dengan memberikan refresentasi pemahaman berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan
dan sikap yang objektifitas.

H. Manfaat Resensi
Berdasarkan uraian dan contoh resensi di atas, menulis resensi memiliki banyak
manfaat. Adapun manfaat menulis resensi yaitu sebagai berikut.
1. Bahan pertimbangan yaitu memberikan gambaran kepada pembaca mengenai suatu
karya. Lantas dengan adanya resensi mereka dipengaruhi atas karya yang dihasilkan.
2. Sarana promosi karya yaitu memberikan keterangan-keterangan lebih lanjut atas hasil
karya yang dihasilkan. Besar harapan resensi dapat membawa pembaca/penikmat karya
untuk ikut serta menikmati karya yang dihasilkan.
3. Pengembangan kreatifitas yaitu wadah untuk mencurahkan gagasan penulis dengan
memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu karya yang dihasilkan.
4. Nilai ekonomis yaitu hasil (pendapatan) yang diperoleh penulis manakala hasil resensi
yang dibuatnya bisa dimuat di media masa atau media yang lainnya.

Agus Mulyadi, S.Pd. (2021). Menulis Resensi. Kelas XI Semester 2.

Anda mungkin juga menyukai