Anda di halaman 1dari 34

MENOPAUSE

1.Judul : Kecemasan Wanita Pada Masa Menopause Berdasarkan

Tingkat Ekonomi

2. Penulis : 1. Atun Wigati


2. Ummi Kulsum

3. Kota : Kudus, Indonesia

4. Hasil :

Penelitian mengenai pengaruh tingkat ekonomi terhadap tingkat Kecemasan ibu dalam menghadapi
menopause di Desa Mindahan Kecamatan Batealit Kabupaten Jepara Tahun 2017 akan dibahas
meliputi:

A.Daftar distribusi frekuensi tingkat ekonomi di Desa Mindahan Kecamatan Batealit Kabupaten
Jepara Tahun 2017 :
Hasil penelitian dari 37 ibu tentang tingkat ekonomi ibu di Desa Mindahan Kecamatan Batealit
Kabupaten Jepara Tahun 2017 terbanyak adalah rendah (< 800.000) sejumlah 21 orang (56,8%), dan
terkecil adalah ekonomi tinggi (> 800.000) sejumlah 6 orang (16,2%).

Menurut Efendi (2003) menjelaskan bahwa tingkatan ekonomi seseorang di Indonesia sesuai dengan
kebutuhannya adalah ekonomi tinggi Yaitu tingkatan kemapanan ekonomi seseorang yang dapat
atau mampu memenuhi semua kebutuhan mulai dari kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.
Dilihat dari tingkatan penghasilan perbulan melebihi nilai upah minimum regional / kabupaten
(UMR/ UMK) yang disesuaikan karakteristik masyarakat setempat. Ekonomi cukup yaitu tingkatan
ekonomi seseorang yang mampu memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Dilihat dari tingkatan
penghasilan perbulan sesuai dengan nilai UMR. Ekonomi rendah yaitu tingkatan ekonomi seseorang
hanya mampu memenuhi kebutuhan primernya saja kadang tidak mampu memenuhinya. Dilihat
dari tingkatan penghasilan perbulan lebih rendah dari UMR yang disesuaikan karakteristik
masyarakat setempat.

Berdasarkan data pemerintah dari surat keputusan Gubernur jawa tengah nomor 561.4/73/2017 :
pemerintah kabupaten jepara Upah Minimum Regional (UMR) yaitu sebesar Rp.800.000.-per bulan.
Berdasarkan hasil dan teori di atas tingkat ekonomi adalah rendah. Hal tersebut dapat dikatakan
bahwa ibu mempunyai penghasilan perbulan sesuai dengan nilai UMR (800.000).

B. Daftar distribusi frekuensi tingkat kecemasan Ibu Dalam Menghadapi Menopause di Desa
Mindahan Kecamatan Batealit Kabupaten Jepara Tahun 2017

Hasil penelitian terhadap 37 ibu tentang kecemasan ibu dalam menghadapi menopause terbanyak
adalah kecemasan ringan sebanyak 15 orang (40,5%), kecemasan sedang sebanyak 10 orang (27%),
kecemasan berat sebanyak 11 orang (29,7%) dan yang paling terkecil kecemasan panik sebanyak 1
orang (2,8%). Menurut Aqila (2010). Ada tiga periode dalam menopause yaitu : Klimakterum adalah
masa peralihan antara masa reproduksi dan masa senium. Biasanya periode ini disebut juga dengan
premenopause. Menopause adalah saat haid terakhir dan bila sesudah menopause disebut pasca
menopause. Senium merupakan periode sesudah pascamenopause, yaitu ketika individu telah
mampu menyesuaikan dengankondisinya sehingga tidak mengalami gangguan fisik.

Berdasarkan teori di atas dan dari hasil penelitian kecemasan ibu dalam menghadapi menopause di
Desa Mindahan Kecamatan Batealit Kabupaten Jepara Tahun 2017 menunjukkan bahwa sebagian
besar tingkat kecemasan ringan. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa ketegangan dalam
menghadapi menopause yaitu penurunan kadar estrogen menyebabkan periode menstuasi yang tak
teratur. Inilah yang biasanya dijadikan sebagai tanda dimulainya masa menopause.

C. Tingkat kecemasan ibu dalam menghadapi menopause berdasarkan tingkat ekonomi di Desa
Mindahan Kecamatan Batealit Kabupaten Jepara Tahun 2017

hasil didapatkan sebagian besar ibu mempunyai tingkat ekonomi rendah mengalami kecemasan
berat menghadapi menopause sebesar 11 orang(29,7%). Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan
pvalue 0,001 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada korelasi tingkat ekonomi dengan
kecemasan ibu dalam menghadapi menopause di Desa Mindahan Kecamatan Batealit Kabupaten
Jepara Tahun 2017.

Sependapat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Soedirham et al (2008) bahwa pada wanita
ekonomi rendah akan mempersiapkan diri untuk menghadapi menopause dengan ketakutan yang
berlebihan. Sedangkan pada wanita dengan ekonomi tinggi atau wanita karier tidak berpengaruh
karena disibukkan oleh kegiatan pekerjaan kantor.

Menurut Aqila (2010) menjelaskan bahwa rasa kurang nyaman menjalani masa menopause akan
semakin terasa parah jika seorang wanita tersebut dalam kondisi stress. Mengetahui berbagai
macam gejala menopause tentu membuat wanita menjadi takut, mulai dari ancaman
ketidaknyamanan dalam hubungan seks, sampai berbagai macam masalah kesehatan seperti
ancaman penyakit jantung dan osteoporosis. Disamping itu, kegemukan, keriput, dan mengendurnya
kulit membuat penampilan tidak lagi secantik waktu muda. Tidak heran jika semua itu menjadikan
wanita takut bahkan cemas dalam menghadapi masa ini. (Aqila, 2010)

Menurut Hall, C.S 2004, faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan diantaranya lingkungan yang
asing, kehilangan kemandirian sehingga mengalami ketergantungan dan memerlukan bantuan orang
lain, berpisah dengan pasangan dan keluarga, masalah biaya, kurang informasi, ancaman akan
penyakit yang lebih parah, masalah pengobatan. Masalah biaya merupakan termasuk masalah
ekonomi, hal ini akan mempengaruhi kecemasan seseorang dalam menghadapi menopause.

5. Kesimpulan :
Penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan hasil bahwa terdapat korelasi tingkat ekonomi
dengan kecemasan ibu dalam menghadapi menopause di Desa Mindahan Kecamatan Batealit
Kabupaten Jepara Tahun 2017 (p<0,05) dengan nilai korelasi r = 0,571 yang menunjukkan bahwa
korelasi sedang. Diharapkan dapat dilakukan penelitian terkait kecemasan pada ibu menopause
dengan determinan yang berbeda dan wanita pada usia menopause agar lebih menambah wawasan
tentang menopause dan penanganannya sehingga dapat mengurangi kecemasan ibu dan tidak
tergantung pada keadaan ekonomi.
1.Judul : Hubungan Dukungan Suami dengan Tingkat Kecemasan Istri
dalam Menghadapi Menopause
2. Penulis : Eka Heni Susanti
3. Kota : Jl. Mulyorejo Kampus C Unair Surabaya 60115
4. Hasil :
Hubungan antara tingkat kecemasan dengan usia responden dalam menghadapi
menopause.
1.Hubungan antara Tingkat kecemasan dengan usia istri dalam menghadapi menopause.
Lebih dari setengahnya responden yang berusia 46–50 tahun tidak mengalami kecemasan
sebanyak 16 orang (69,6%). Berdasarkan hasil uji Probability exactdiperoleh nilai p sebesar
0,324 (p > 0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifi kan antara usia dengan
tingkat kecemasan.
2. Hubungan antara Tingkat kecemasan dengan pendidikan istri dalam menghadapi
menopause.
Lebih dari setengahnya responden yang berpendidikan SMA tidak mengalami kecemasan
sebanyak 18 orang (75,0%). Berdasarkan hasil uji Probability exactdiperoleh nilai p sebesar
0,640 (p > 0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifi kan antara pendidikan
dengan tingkat kecemasan.
3. Hubungan antara Tingkat kecemasan dengan jumlah anak pada istri dalam menghadapi
menopause.
Lebih dari setengahnya responden yang memiliki anak 2 (dua) sebanyak 13 orang (76,5%)
tidak mengalami kecemasan. Responden yang memiliki anak ≥ 3 sebanyak 13 orang (76,5%)
tidak mengalami kecemasan. Hasil analisis dengan menggunakan uji korelasi spearman
didapatkan nilai 0,025 dengan p = 0,882 (p > 0,05), berarti tidak ada hubungan yang
signifikan antara jumlah anak dengan tingkat kecemasan
4. Hubungan antara Tingkat kecemasan dengan tingkat pengetahuan pada istri dalam
menghadapi menopause.
Lebih dari setengahnya responden yang memiliki tingkat pengetahuan baik tidak mengalami
kecemasan sebanyak 18 orang (85,7%). Responden yang memiliki pengetahuan cukup
sebanyak 10 orang (66,6%) tidak mengalami kecemasan. Hasil analisis dengan menggunakan
uji korelasi Spearman didapatkan nilai 0,102 dengan p = 0,544 (p > 0,05), tidak ada
hubungan yang signifi kan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat kecemasan.
5. Tabulasi silang Hubungan antara dukungan suami dengan tingkat kecemasan istri dalam
menghadapi menopause.
Responden yang mendapat dukungan suami terdapat 12 orang (31,5%) tidak mengalami
kecemasan. sedangkan 17 orang (44,7%) yang tidak mendapat dukungan tidak mengalami
kecemasan. Hasil uji Spearman didapatkan nilai r = –0,376 dan p = 0,020 (p < 0,05), berarti
terdapat hubungan antara dukungan suami dengan tingkat kecemasan wanita dalam
menghadapi menopause, dan semakin tinggi dukungan suami maka semakin rendah tingkat
kecemasan yang dialami responden.

5. Kesimpulan
Sebagian besar responden tidak mengalami kecemasan dalam menghadapi menopause dan
sebagian besar suami tidak memberikan dukungan pada istri dalam menghadapi
menopause. Terdapat hubungan antara dukungan suami dengan tingkat kecemasan pada
wanita dalam menghadapi menopause di polindes Tebalo Manyar Gresik.
INCEST
1.Judul : Perlindungan Anak Sebagai Korban Incest Dalam
Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
2. Penulis : Muhammad Khairul
3. Kota : jl. Tuanku Tambusai, Desa Balai Makam, Kecamatan Mandau,
Kabupaten Bengkalis - Riau
4. Hasil :
A. Perlindungan Anak sebagai Korban Incest dalam Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia
1.Tinjauan Umum tentang Incest
Bahwa yang dimaksud dengan incest adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh individu
didalam sebuah keluarga dengan anggota keluarga lainnya, baik itu ayah dengan anak, ibu
dengan anak, kakek dengan cucu, kakak dengan adik, dan paman dengan keponakannya.
Sebagian termasuk kedalam kejahatan atau penganiayaan seksual, dimana perilaku seksual
yang dilakukan dapat berupa penganiayaan secara fisik maupun non fisik, oleh orang yang
lebih tua atau memiliki kekuasaan yang bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual
pelakunya.
2. Perlindungan Anak dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Untuk melakukan perlindungan terhadap anak yang manjadi korban tindak pidana, maka
batasan tentang anak sangat urgen dilakukan untuk melaksanakan kegiatan perlindungan
anak dengan benar dan terarah, semata-mata untuk mempersiapkan generasi mendatang
yang tangguh dan dapat menghadapi segala tantangan dunia. Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa yang dimaksud anak adalah seorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun baik anak yang masih berada dalam kandungan.33
dari Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 1/PUU-VIII/2010, yang berbunyi terkait
dengan frasa “8 (delapan) tahun” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional),
artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “12 (dua belas) tahun”.
3. Perlindungan Anak dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Pendapat para Pakar
Hukum
Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang
sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus
pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembagunan
yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali
Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan
membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur,
materil spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
4. Perlindungan Anak Kandung sebagai Korban Kejahatan Seksual
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, korban adalah orang yang mengalami kekerasan atau ancaman, dan
atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Anak dalam hal ini merupakan
bagian dari salah satu unsur yang dilindungi dalam rumah tangga dan rentan menjadi
sasaran korban kejahatan seksual, sehingga terdapat pula pengaturan ksusus melalui
undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, namun dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia tidak ditemukan pengertian korban anak dalam rumah
tangga (anak kandung). Sehingga hal ini berdampak kepada persamaan penanganan secara
spesifik terhadap anak sebagai korban baik yang berasal dari keluarga sendiri (anak
kandung) dengan anak di luar keluarga (anak orang lain).
B. Faktor yang melatarbelakangi tidak berjalannya Perlindungan Hukum terhadap Anak
sebagai Korban Incest
1. Faktor-faktor terjadinya perkosaan Perkosaan merupakan kejahatan kesusilaan yang
bisa disebabkan oleh berbagai faktor.
Kejahatan ini cukup kompleks penyebabnya dan tidak berdiri sendiri. Penyebabnya dapat
dipengaruhi oleh kondisi yang mendukung, keberadaan korban yang secara tidak langsung
mendorong pelakunya dan bisa jadi 40 Ibid. karena ada unsur-unsur lain yang
mempengaruhinya.
Berdasarkan pendapat pakar di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa faktor penyebab
perkosaan setidaknya adalah sebagai berikut:
1. Pengaruh perkembangan budaya barat;
2. Gaya hidup pergaulan remaja;
3. Rendahnya mengamalan dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan;
4. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah;
5. Ketidak mampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya; dan
6. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan
(keputusan) dan perilaku korban yang dilanggap menyakiti dan merugikannya.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, penulis dapat mengambil faktor-faktor utama yang
mempengaruhi terjadinya kejahatan incest di atas meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.Keadaan terjepit
2. Kesulitan seksual pada orang tua, ayah tidak mampu mengatasi dorongan seksualnya.
3. Pengawasan dan didikan salah satu orang tua yang kurang karena kesibukan bekerja
mencari nafkah dapat melonggarkan pengawasan oleh orang tua bisa terjad incest.
2. Akibat Korban Perkosaan Kejahatan
kekerasan terhadap wanita (anak), khususnya perkosaan (incest) di satu sisi dipandang
sebagai kejahatan yang sangat merugikan dan mencemaskan, bukan saja wanita (anak) akan
tetapi juga masyarakat dan kemanusiaan,
3. Faktor-faktor yang melatarbelakangi tidak berjalannya Perlindungan
Kasus incest telah banyak terjadidan mendapatkan penanganan para pihak saja, bukan
aparat penegak hukum sehingga perlindungan hukum terhadap tindak pidana ini tidak
dapat berjalan dengan baik.
4. Perbedaan tujuan Hukum dalam Mengadvokasi Korban Kekerasan Seksual (Incest)
Pembungkaman yang terkait dengan supremasi hukum positif yang belum ditegakkan
secara sempurna, mengharuskan pemerintah untuk bekerja keras dalam mencapai tujuan
hukum yakni untuk mencapai ketertiban, ketentraman, kedamaian dan keadilan.
Merupakan tugas pemerintah untuk melindungi warga negaranya agar dapat hidup nyaman,
jauh dari penindasan dan tindakan kekerasan yang dilakukan secara proporsional, jagan
sampai tujuan penegakan hukum (idealisme yuridis) masih dikalakan oleh tujuan yang
bersifat politik, ekonomi, dan primordialisme.

5. Kesimpulan
Perlindungan anak sebagai korban incest dalam peraturan perundangundangan di Indonesia
dapat ditemui dalam berbagai peraturan perundangundangan di Indonesia, namun dalam
peraturan perundang-undangan tersebut tidak ditemukan pengertian korban anak kandung.
Sehingga hal ini berdampak kepada persamaan penanganan secara spesifik terhadap anak
sebagai korban baik yang berasal dari keluarga sendiri (anak kandung) dengan anak di luar
keluarga (anak orang lain). Terlebih dampak yang ditimbulkan dari kejahatan tersebut
dengan korban yang berbeda akan menghasilkan dampak yang berbeda pula, khususnya
psikologis korban kejahatan perkosaan anak kandung (incest).
Faktor yang melatarbelakangi tidak berjalannya perlindungan hukum terhadap anak sebagai
korban incestyaitu disebabkan antara lain bahwa anak korban incest cenderung bersifat
tidak terbuka, keluarga yang menganggap kejadian tersebut merupakan suatu aib, faktor
sosial lingkungan dan faktor aturan hukum yang belum mengakomodir kepentingan korban
incest secara maksimal.
1.Judul : Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Pemerkosaan Incest
2. Penulis : Desilasidea Cahya Zalzabella
3. Kota : Jl. Brawijaya, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183
4. Hasil :
Korban perkosaan Incest lebih memiliki tekanan psikis dan bahkan lebih memiliki niat untuk
menggugurkan janinnya apabila jika mengalami kehamilan. Korban mengalami kehamilan
yang tidak diinginkan akibat perilaku jahat orang terdekatnya. Orang yang seharusnya
melindungi dan menyayangi korban justru menjadi orang yang mengerikan untuk korban.
Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia mengatur perihal hak
perempuan salah satunya tentang jaminan hak reproduksi perempuan seperti yang
dijelaskan pada Pasal 49 ayat 3 yang berbunyi, hak khusus yang melekat pada diri
perempuan dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum. Hak-hak
reproduksi adalah merupakan hak asasi manusia dan dijamin oleh Undang-Undang.
Berdasarkan pasal 72 Undang-Undang Kesehatan, kehamilan yang tidak dikehendaki akibat
perkosaan, jelas itu melanggar hak-hak reproduksi korban perkosaan. Demi memberikan
jaminan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak reproduksi korban perkosaan sebagai
bentuk hak asasi manusia, maka terdapat legalisasi aborsi bagi perempuan yang hamil
akibat perkosaan.
Faktor kondisi sosial yang sering memungkinkan pelanggaran incest adalah rumah yang
sempit dengan penghuni yang berdesakan, alkoholisme, isolasi geografis, sehingga sulit
mencari hubungan dengan anggota keluarga yang lain. Penyebab Incest lainnya yaitu antara
lain ruangan rumah yang baik memungkinkan orang tua, anak, dan saudara pisah kamar.
Sedangkan hubungan incest antara ayah dengan anak perempuannya dapat terjadi
sehubungan dengan keberadaan penyakit mental serius pada pihak ayah. Jenis-jenis incest
berdasarkan penyebabnya adalah :
a. Incest yang terjadi secara tidak sengaja, misalnya kakak-adik lelaki perempuan remaja
yang tidur sekamar, bias tergoda melakukan eksperimentasi seksual sampai terjadi incest.
b. Incest akibat psikopatologi berat. Jenis ini biasa terjadi antara ayah yang alkoholik atau
psikopatik dengan anak perempuannya. Penyebabnya adalah kondornya kontrol diri akibat
alkohol atau psikopati sang ayah.
c. Incest akibat pedofilia, misalnya seorang lelaki yang haus menggauli anak-anak
perempuan dibawah umur, termasuk anaknya sendiri.
d. Incest akibat contoh buruk dari ayah. Seorang lelaki menjadi senang melakukan incest
karena meniru ayahnya melakukan perbuatan yang sama dengan kakak atau adik
perempuannya.
e. Incest akibat patologi keluarga dan hubungan perkawinan yang tidak harmonis. Seorang
suami-ayah yang tertekan akibat sikap memusuhi serba mendominasi dari istrinya bisa
terpojok melakukan incest dengan anak perempuannya.
Ada beberapa penyebab atau pemicu timbulnya incest. Akar dan penyebab tersebut tidak
lain adalah karena pengaruh aspek struktural, yakni situasi-situasi menyebabkan
ketidakberdayaan pada diri individu. Khususnya apabila ia seorang laki-laki (notabene
cenderung dianggap dan menganggap diri sendiri lebih berkuasa) akan sangat terguncang,
dan menimbulkan ketidakseimbangan mental-psikologis. Dalam ketidak berdayaannya
tersebut, tanpa adanya iman sebagai kekuatan internal/spiritual, seseorang akan dikuasai
oleh dorongan primitive, yakni dorongan seksual ataupun agresifitas.
5. Kesimpulan :
Untuk faktor-faktor penyebab perkosaan incest cukup jelas, dan faktor-faktor yang terjadi
dari korban perkosaan WA juga terjadi pada korban-korban perkosaan seperti yang saya
tulis di tabel menurut data perkosaan incest pada Pengadilan Negeri Sleman. Ada faktor lain
yang mempengaruhi seperti faktor lingkungan. Kasus pada tabel diatas bukan kakak adik
melainkan anak kepada anak kandungnya, seperti yang dilakukan Gundul sebagai ayah
terhadap Oka anak kandungnya sendiriyang masih dibawah umur sampai hamil. Namun
berbeda dengan kasus AS yang memperkosa WA adik kandungnya hingga hamil dan WA
dengan terpaksa melakukan aborsi, Oka yang diperkosa ayah kandungnya sampai hamil 6
bulan tetap mempertahankan kandungannya. Oka masih dibawah umur dan dia harus
menerima nasibnya menjadi Ibu diumur yang masih sangat muda atas perilaku buruk ayah
kandungnya sendiri.Sangat miris itu terjadi karena figur seorang ayah yang seharusnya
dijadikan panutan dan tempat berlindung justru menghancurkan masa depan anak, dan itu
sudah banyak terjadi di Indonesia. Sebisa mungkin kita harus menghindari atau mencegah
faktor-faktor yang menjadi penyebab perkosaan incest tersebut.
Pelecehan seksual pemerkosaan

Judul : SUPREMASI PATRIARKI: REAKSI MASYARAKAT INDONESIA DALAM MENYIKAPI NARASI


SEKSUALITAS DAN PERKOSAAN KASUS REYNHARD SINAGA

Penulis : Nikodemus Niko dan Alfin Dwi Rahmawan

Kota : manchester, inggris

Hasil : Reynhard Tambos Maruli Tua Sinaga merupakan terpidana hukuman mati dalam kasus
pemerkosaan berantai di Inggris. Berita online seperti di Indonesia memberitakan kasus ini dengan
berbagai angletermasuk menyudutkan orientasi seksual gay sebagai pelaku kejahatan seks. Kasus
Reynhard (yang adalah kasus perkosaan, kriminal, kejahatan), dikomentari secara amburadul oleh
narasi-narasi yang tidak bertanggung jawab. Tidak hanya masyarakat dunia maya di Indonesia, juga
media-media daring yang memberitakan kasus ini dengan narasi seksualitas yang timpang. Hal ini
menandakan bahwa edukasi gender dan seksualitas masih belum sampai kepada masyarakat di
semua lapisan sosial. Pada perkembangan analisis wacana yang konvensional, Arifin
(2017)menyebutkan bahwa pada bahasa media, bukan hanya sebagai identitas atau penanda
semata tetapi terdapat keterkaitan dengan ideologi tertentu. Artinya bahwa pemberitaan media
online sendiri masih sangat kental pada ideologi patriarki.

Kesimpulan : Narasi seksualitas masih menjadi pembahasan yang tabu untuk dibahas dan
diperbincangkan dalam kacamata sebagian besar masyarakatIndonesia. Hal ini menandakan bahwa
masyarakat kita kurang mengedukasi diri mengenai seksualitas, dalam kata lain bahwa pendidikan
seksual masih belum merata dalam setiap kelompok masyarakat. Hal ini bisa saja karena akses-akses
terhadap pendidikan seksual tidak memadai, dan atau terdapatdogma-dogma tertentu yang kurang
membuka ruang untuk keberagaman seksualitas.Terdapat narasi yang belum selesai ketika kita
membicarakan kejahatan seksual dengan orientasi seksualitas marjinal (LGBT). Stigma, stereotipe
dan diskriminasi yang masih kerap terjadi di alami oleh kelompok seksualitas marjinal di Indonesia.
Superioritas laki-laki menjadi penanda bahwa pada masyarakat patriarki terjadi pendiskriminasian
terhadap minoritas gender dan seksualitas (Parker, & Parker, 1979). Ketika Reynhard yang adalah
homoseks melakukan kejahatan seksual, dengan mudahnya stigma dan stereotipe melekat bahwa;
―semua homoseks sama saja, pasti adalah predator kejahatan seksual.‖ Narasi yang belum selesai
ini, sepatutnya menjadi perdebatan bagi akademisi dalam rangka menuju membangun pola
pemahaman yang benar mengenai kejahatan seksual dan orientasi seksual.
Judul : REPRESENTASI PEREMPUAN KORBAN PEMERKOSAAN DI MEDIA MASSA

Penulis : Dani Marsa Aria Putri

Kota : malang

Kesimpulan : Pemberitaan mengenai kasus pemerkosaan di koran Suara Merdeka memberikan


penggambaran mengenai kondisi perempuan korban pemerkosaan. Bagaimana perempuan
digambarkan di dalam pemberitaan nantinya akan mempengaruhi cara pandang masyarakat
terhadap korban. Segala stigma yang telah ada dapat berkembang maupun meluruh bersamaan
dengan bagaimana Suara Merdeka menyajikan sebuah berita. Berdasarkan analisis sintagmatik dan
analisis paradigmatik yang menggunakan five major codes milik Roland Barthes, menunjukkan
bahwa pada dasarnya pemberitaan mengenai kasus pemerkosaan di koran Suara Merdeka ingin
merepresentasikan perempuan korban pemerkosaan sebagai sosok yang pasif, lemah, dan tidak
berdaya ketika menghadapi pelaku di dalam setiap kejadian pemerkosaan. Perempuan sebagai sosok
yang ikut bersalah di dalam kejadian pemerkosaan. Korban dianggap sebagai penyebab
pemerkosaan karena ikut berperan ketika pemerkosaan terjadi. Selain itu, perempuan korban
pemerkosaan dikelilingi oleh nilai-nilai di dalam masyarakat yang cenderung merugikan dirinya.
Beberapa stigma dan label yang diberikan oleh masyarakat ketika perempuan menjadi korban
pemerkosaan dapat memberikan beban psikologis tertentu pada korban.Suara Merdeka sebagai
perusahaan media massa yang memiliki banyak pembaca di daerah Jawa Tengah memberikan
pemberitaan yang tidak seimbang mengenai perempuan korban pemerkosaan. Di dalam kenyataan,
perempuan korban pemerkosaan mengalami tekanan dan trauma yang memberatkan dirinya. Jika
kemudian media memberikan penggambaran yang tidak seimbang mengenai korban, maka hal
tersebut akan menambah beban perempuan sebagai korban pemerkosaan. Ia ditekan baik dari pihak
pelaku, stigma yang dibuat oleh masyarakat, dan media massa di mana kasusnya diberitakan.
Andropause

Judul : HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PRIA LANSIA TENTANG ANDROPAUSE DI DESA
LAMBANG SARI V KECAMATAN LIRIK
Penulis : Sidri Rizqi Yuniati

Kota : Pekanbaru, Riau

Hasil : Menurut asumsi penelitian pria dewasa dipengaruhi oleh lembaga pendidikan dan lembaga
agama. Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan agama sangat menentukan sistem
kepercayaan tidaklah heran jika sikap responden terbanyak adalah negatif. Dimana mayoritas tingkat
pendidikan responden di Desa Lambang Sari V Lirik terbanyak yaitu tamatan dari SLTP sebanyak 16
responden (40%).Kurangnya kesadaran untuk menangani andropause pada pria dewasa masih
sangat minim walaupun pengetahuan responden baik akan tetapi sikap dalam menanganinya
responden bersikap banyak negatif dibandingkan dengan positif.

Kesimpulan : Kesimpulan secara umum mayoritas pengetahuan pria lansia tentang andropause
adalah baik, dan mayoritas sikap pria lansia tentang andropause adalah negatif dan terdapat
hubungan antara pengetahuan yang baik dan sikap yang positif.

Judul : HUBUNGAN ANDROPAUSE DENGAN STRES PRIA BERISTRI

Penulis : Arief Bachtiar & Nurul Hidayah

Kota : Malang

Hasil : Hasil penelitian meliputi gambaran umum lokasi penelitian, data umum karakteristik
responden, dan data khusus serta hasil uji hipotesis dengan Chi Square (Arikunto, 2006). Adapun
yang termuat dalam data umum adalah umur, pendidikan, dan pekerjaan.

Kesimpulan : Sebagian besar pria beristri mengalami Androupose dan mengalami stress. Hasil uji Chi
Square dengan derajat kemaknaan 0,05 didapatkan nilai signifikansi 0,006, sehingga nilai 0,006 <
0,05 yang berarti H0 ditolak yang berarti terdapat hubungan andropause dengan stres pria beristri di
BugulKidul Pasuruan. Petugas kesehatan harus berperan aktif untuk senantiasa memberikan
bimbingan, arahan, yang berupa penyuluhan kesehatan kepada masyarakat tentang androupose dan
cara mengatasinya serta cara mengendalikan stres yang dapat dilakukan dalam acara pertemuan
rutin yang ada di kelurahan. Diperlukan perhatian yang lebih tentang penanganan andropause pada
khususnya, dan kesehatan pria usia lanjut pada umumnya. Salah satu cara yaitu dengan
memaksimalkan keberadaan posyandu lansia
ABORTUS

Judul : FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ABORTUS INKOMPLIT DI RUANG


KEBIDANAN RSUD MAYJEND. HM. RYACUDU KOTA BUMI

Penulis : Andesia Maliana.AS

Kota : Kota Bumi

Hasil Analisis Bivariat

Hasil analisis bivariat tercantum pada tabel 1 yang meliputi:

Hubungan Umur dengan Abortus Inkomplit. Uji statistik hubungan umur dengan abortus inkomplit
dengan menggunakan chi square diperoleh nilai p value= 0,011 yang menunjukkan bahwa ada
hubungan umur dengan kejadian abortus inkomplit di RSUD Mayjend.

HM Ryacudu Kotabumi Lampung Utara Tahun 2013-2014. Diperoleh juga nilai OR=1.893 (1.181-
3.035) yang berarti ibu yang berumur <20 dan >35 tahun mempunyai risiko mengalami abortus
inkomplit sebesar 1.9 kali dibandingkan ibu yang berumur 20-35 tahun (tidak berisiko).

Hubungan paritas dengan abortus inkomplit diketahui bahwa dari 224 ibu yang paritas <1 dan ≥5
terdapat sebanyak 34 (37%) yang mengalami abortus inkomplit dan 190 (51.6%) tidak mengalami
abortus inkomplit. Adapun 236 ibu yang paritas 2-4 terdapat sebanyak 58 (63.0%) mengalami
abortus inkomplit dan 178 (48.4%) tidak mengalami abortus inkomplit.

Hubungan riwayat abortus dengan abortus inkomplit dengan menggunakan chi square diperoleh
nilai p value= 0,005 yang menunjukkan bahwa ada hubungan riwayat abortus dengan kejadian
abortus inkomplit di RSUD Mayjend HM Ryacudu Kotabumi Lampung Utara Tahun 2013-2014.
Diperoleh juga nilai OR= 2.298 (1.320-3.999) yang berarti ibu yang pernah mengalami abortus
mempunyai risiko mengalami abortus inkomplit sebesar 2.3 kali dibandingkan ibu yang tidak pernah
mengalami abortus.

Hubungan penyakit ibu dengan abortus inkomplit dengan menggunakan chi square diperoleh nilai p
value= 0,356 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan penyakit ibu dengan kejadian abortus
inkomplit di RSUD Mayjend HM Ryacudu Kotabumi Lampung Utara Tahun 2013-2014.

Hubungan anemia dengan abortus inkomplit menggunakan chi square diperoleh nilai p value= 0,012
yang menunjukkan bahwa ada hubungan anemia dengan kejadian abortus inkomplit di RSUD
Mayjend HM Ryacudu Kotabumi Lampung Utara Tahun 2013-2014. Diperoleh juga nilai OR= 1.886
(1.174-3.031) yang berarti ibu yang mengalami anemia mempunyai risiko mengalami abortus
inkomplit sebesar 1.9 kali dibandingkan ibu yang tidak anemia.

PEMBAHASAN

Pembahasan Univariat

a. Distribusi Frekuensi

berdasarkan Kejadian Abortus Inkomplit


Hasil analisis univariat yang dapat diketahui bahwa yang memiliki usia <20 dan >35 tahun (berisiko)
sebanyak 39 (42.4%) dari kelompok kasus dan 103 (28%) dari kelompok kontrol. Ibu dengan paritas
pertama dan >5 (berisiko), sebanyak 34 (37%) dari kelompok kasus dan 190 (51.6%) dari kelompok
kontrol. Ibu yang pernah mengalami abortus inkomplit sebanyak 25 (27.2%) dari kelompok kasus
dan 55 (14.9%) dari kelompok kontrol. Ibu yang ada penyakit yang menyertai sebanyak 21 (22.8%)
dari kelompok kasus dan 66 (17.9%) dari kelompok kontrol. Ibu yang mengalami anemia sebanyak 54
(58.7%) dari kelompok kasus dan 100 (27.2%) dari kelompok kontrol.

Menurut pendapat Winkjosastro (2005) yang menyatakan bahwa umur reproduktif sehat adalah 20-
35 tahun dan umur berisiko adalah kurang dari 20 tahun. Dan menurut pendapat Herbert Hutabarat
(Manuaba, 2010) yang mengemukakan umur yang memiliki resiko tinggi adalah kurang dari 20 tahun
atau lebih dari 35 tahun.

Menurut Winkjosastro (2005) paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan ibu baik dalam
keadaan hidup atau meninggal. Paritas 2-4 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut
kematian maternal. Paritas 1 atau lebih dari 4 mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi.

Salah satu penyakit yang menyertai ibu hamil adalah hipertensi. Hipertensi pada saat hamil menurut
Manuaba (2010) sangat rentan terhadap kondisi yang memunculkan potensi penyulit kehamilan.
Oleh sebab itu disarankan pada ibu hamil untuk mengendalikan serta mengontrol tekanan darahnya
agar tidak mengalami hipertensi.

Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok dan kematian ibu pada persalinan sulit, walaupun
tidak terjadi perdarahaan. Menurut WHO, kejadian anemia kehamilan berkisar antara 20 dan 89%,
dengan menetapkan Hb 11 gr% (g/dl) sebagai dasarnya. Angka anemia kehamilan di Indonesia
menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Pengaruh anemia dalam kehamilan memberi pengaruh

kurang baik pada ibu, baik dalam kehamilan, persalinan maupun dalam nifas dan masa selanjutnya.
Berbagai penyulit dapat timbul akibat anemia, seperti abortus, partus prematus, partus lama,
perdarahan postpartum, syok, infeksi (Winkjosastro, 2005).

Berdasarkan penjelasan diatas penulis berpendapat bahwa ibu dengan umur dibawah 20 tahun
memiliki resiko terhadap kehamilannya karena organ reproduksinya belum matang dan diatas 35
tahun karena fungsi dari organ reproduksinya sendiri sudah menurun. Pada ibu dengan paritas tinggi
dan memiliki riwayat abortus serta memiliki penyakit yang menyertai baiknya dapat melakukan
pemeriksaan kehamilan secara rutin untuk menghindari terjadinya abortus. Ibu dengan anemia
dapat melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin serta melakukan pemeriksaan kadar
hemoglobin pada trimester 1 dan trimester ke 3.

Pembahasan Bivariat

a. Hubungan Antar Umur dengan Abortus Inkomplit

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 460 responden terdapat 39 responden (27.5%) yang
berisiko (<20 atau >35 tahun) dan 53 responden (16.7%) tidak berisiko (20-35 tahun) mengalami
abortus inkomplit. Dan terdapat 103 responden (72.5%) yang berisiko (<20 atau >35 tahun) dan 265
responden (83.3%) tidak berisiko (20-35 tahun) tidak mengalami abortus inkomplit. Hasil uji Chi
Square dilaporkan bahwa nilai p value 0,011, artinya lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha (α=
0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%,
terdapat hubungan antara umur dengan abortus inkomplit.
Resiko abortus semakin tinggi dengan semakin bertambahnya umur ibu. Insiden abortus dengan
trisomi meningkat dengan bertambahnya umur ibu. Risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1:80, pada
umur diatas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/ trisomi akan meningkat setelah
usia 35 tahun (Winkjosastro, 2005).

Hasil penelitain ini didukung oleh penelitian Misroh Mulianingsih (2012) yang berjudul “Hubungan
Beban Kerja Dengan Kejadian Abortus Spontan Pada Perempuan Yang Bekerja di Sentra Pertanian di
Kabupaten Lombok Timur, dimana ada hubungan yang signifikan antara umur dan abortus inkomplit
dengan p value sebesar 0,032.

Maliana, Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Abortus Inkomplit 21

Riwayat abortus secara klasik hal ini

Responden

didefinisikan sebagai keguguran berulang, keguguran tiga kali berturut turut atau lebih pada 20
minggu atau kurang atau dengan berat janin

kurang dari 500 gram (Cuningham, 2012).

22 Jurnal Kesehatan, Volume VII, Nomor 1, April 2016, hlm 17-25

Berdasarkan penjelasan tersebut maka penulis berpendapat bahwa ibu yang berisiko terjadinya
abortus adalah ibu dengan umur <20 dan >35 tahun. Untuk menghindari terjadinya abortus atau
keguguran pada ibu, yang ingin merencanakan kehamilannya baiknya untuk dapat hamil pada
rentang umur 20 hingga 35 tahun saja. Dan bagi ibu hamil yang sudah hamil pada umur <20 atau >35
tahun untuk dapat melakukan antenatal care (pemeriksaan kehamilan) secara teratur. Karena
semakin muda atau semakin tua umur ibu saat hamil akan semakin berisiko terjadinya abortus.

baik selama kehamilan, kehamilan akan dapat berlangsung hingga aterm. Sedangkan paritas resiko
tinggi lebih dari 4 kali dapat disebabkan oleh menurunnya fungsi alat reproduksi dalam menerima
buah kehamilan dan dapat dikurangi atau dicegah dengan mengikuti program berencana.

c. Hubungan Riwayat Abortus dengan Abortus Inkomplit

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 460 responden terdapat 28 responden (33.7%) pernah ada
riwayat abortus dan 64 responden (17.0%) tidak pernah ada riwayat abortus yang mengalami
abortus inkomplit. Dan terdapat 55 responden (66.3%) pernah ada riwayat abortus dan 313 (83.0%)
responden tidak pernah ada riwayat abortus yang tidak mengalami abortus inkomplit. Hasil uji Chi
Square dilaporkan bahwa nilai p value 0.001, artinya lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha (α=
0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%,
terdapat hubungan antara riwayat abortus dengan abortus inkomplit.

Hal ini sesuai dengan teori

b. Hubungan Paritas dengan Inkomplit

Abortus

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 460 responden terdapat 34 responden (15.2%) yang
berisiko (paritas 1 atau >5) dan 58 responden (24.6%) tidak berisiko (paritas 2-4) mengalami abortus
inkomplit. Dan terdapat 190 responden (84.8%) yang berisiko (paritas 1 atau >5) dan 178 responden
(75.4%) tidak berisiko (20-35 tahun) tidak mengalami abortus inkomplit. Hasil uji Chi Square
dilaporkan bahwa nilai p value 0.016, artinya lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha (α= 0,05).
Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%, terdapat
hubungan antara paritas dengan abortus inkomplit.

Menurut Winkjosastro (2005) paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan ibu baik dalam
keadaan hidup atau meninggal. Paritas 2-4 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut
kematian maternal. Paritas 1 atau lebih dari 4 mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi.

Hal ini sejalan dengan penelitian Putri Rochmawati (2013) yang berjudul “Faktor- Faktor yang
Mempengaruhi Abortus di Rumah Sakit Umum Pusat DR. Soeradji Tirtonegoro Klaten”. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh paritas terhadap abortus dan ibu hamil dengan
paritas > 3 mempunyai peluang 0,214 kali mengalami abortus dibandingkan ibu hamil dengan paritas
1-3 (OR= 0,214, P= 0,011).

Berdasarkan penjelasan tersebut maka penulis berpendapat bahwa responden paritas tidak berisiko
karena pada dasarnya setiap ibu hamil mempunyai resiko untuk terjadi abortus inkomplit, bila tidak
ditangani dan dicegah dengan asuhan kebidanan yang lebih baik. Sedangkan responden dengan
resiko tinggi primipara dapat disebabkan oleh kurangnya asuhan obstetrik yang baik selama
kehamilan. Tetapi jika dilakukan asuhan obstetrik yang lebih

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wiwian Wulandari (2011) yang berjudul Faktor Risiko
Kejadian Abortus Spontan di Rumah Sakit Ibu dan Anak pertiwi Makassar, hasil penelitian
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara riwayat abortus dengan kejadian abortus
dengan p value 0,023.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka penulis berpendapat bahwa riwayat abortus merupakan
keadaan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan dan sebagai
batasan digunakan kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram yang
pernah dialami oleh ibu pada kehamilan sebelumnya atau memiliki keluarga yang sering mengalami
abortus setiap menjalani kehamilan.

menurut Hebert

Hutabarat dalam (Manuaba, 2010), faktor kehamilan dengan resiko tinggi berdasarkan komplikasi
obstetri adalah usia kurang dari 19 tahun atau lebih 35 tahun, paritas (primigravida tua primer atau
sekunder, grandemultipara, riwayat abortus, riwayat kematian janin dalam rahim, riwayat pre
eklampsia, riwayat kehamilan molahidatidosa, riwayat persalinan dengan tindakan, perdarahan
antepartum, kehamilan ganda, hamil dengan kelinan letak. Dan berdasarkan komplikasi medis
adalah kehamilan yang disertai dengan anemia, hipertensi, penyakit jantung, hamil dengan diabetes
melitus, hamil dengan obesitas, hamil dengan penyakit hati,

hamil disertai dengan penyakit paru.

Melihat kondisi yang menunjukkan bahwa masih banyak ibu yang mengalami riwayat abortus. Oleh
sebab itu ibu perlu mewasapadai kondisi riwayat abortus yang dialaminya dengan melakukan
kunjungan rutin untuk melakukan pemeriksaan kehamilan.

d. Hubungan Penyakit Ibu dengan Abortus Inkomplit


Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 460 responden terdapat 21 responden (24.1%) ada
penyakit yang menyertai dan 71 responden (19.0%) tidak ada penyakit yang menyertai, mengalami
abortus inkomplit. Dan terdapat 66 responden (71.9%) ada penyakit yang menyertai dan 302 (81.0%)
responden tidak ada penyakit yang menyertai, tidak mengalami abortus inkomplit. Hasil uji Chi
Square dilaporkan bahwa nilai p value 0.356, artinya lebih besar dibandingkan dengan nilai alpha
(α=0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 95%,
tidak terdapat hubungan antara penyakit ibu dengan abortus inkomplit.

Hal ini tidak sesuai dengan teori Liewellyn, beberapa wanita, biasanya berusia lebih dari 30 tahun,
menderita hipertensi ketika hamil. Tetapi kebanyakan mengembangkannya pada paruh kedua
kehamilan. Jika ini terjadi, penyakit itu disebut hipertensi kehamilan (Liewellyn, 2005).

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Mustika (2011) yang berjudul Faktor- faktor yang
berhubungan dengan kejadian abortus spontan di RSUD Abdul Moeloek Provinasi Lampung Tahun
2011. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara penyakit ibu dengan
abortus dengan p value 0.012 dan OR 3.864 (1.438-10.381).

Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis berpendapat bahwa faktor penyakit ibu tidak ada
hubungan dengan kejadian abortus inkomplit, karena ada faktor lain yang lebih berpengaruh
terhadap terjadinya abortus inkomplit. Meskipun begitu tetapi teori menyebutkan lain. Oleh sebab
itu ibu hamil dengan penyakit yang menyertai agar dapat melakukan kunjungan antenatal care (ANC)
secara rutin agar petugas kesehatan dapat membantu melakukan pengawasan terhadap penyakit
yang menyertai ibu hamil, baik itu hipertensi, diabetes melitus, asma, jantung, kolesterol dan lain
sebagainya. Selain itu juga ibu perlu memiliki pengetahuan tentang makanan yang harus dikonsumsi
sehingga tidak menimbulkan penyakit yang menyertai semakin

bertambah parah yang dapat berisiko terjadinya keguguran(abortus).

e. Hubungan Anemia dengan Abortus Inkomplit

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 460 responden terdapat 38 responden (27.5%) dengan
anemia dan 54 responden (16.8%) dengan tidak anemia yang mengalami abortus inkomplit. Dan
terdapat 100 responden (72.5%) dengan anemia dan 268 (83.2%) responden dengan tidak anemia
yang mengalami abortus inkomplit. Hasil uji Chi Square dilaporkan bahwa nilai p value 0.012, artinya
lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha (α= 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan secara
statistik dengan derajat kepercayaan 95%, terdapat hubungan antara anemia dengan abortus
inkomplit. Sedangkan nilai OR 1.886 ( CI 95% 1.174-3.031) artinya responden dengan anemia
berpeluang untuk mengalami abortus inkomplit sebesar 1.886 kali dibandingkan dengan responden
yang tidak dengan anemia.

Hal ini sesuai dengan teori Menurut (Manuaba, 2005) Pengaruh anemia selama kehamilan, dapat
terjadi abortus, persalinan prematur, hambatan tumbuh kembang janin dalam rahim, mudah terjadi
infeksi, ancaman dekompensasi kordis (Hb< 6gr%), molahidatidosa, hiperemesis gravidarum,
perdarahan antepartum, ketuban pecah dini (KPD).

Hasil Penelitian inipun didukung oleh penelitian yang dilakukan Mariani (2012), yang berjudul faktor-
faktor yang berhubungan dengan kejadian abortus inkomplit diruang kebidanan Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Zainoel Abidin banda Aceh Tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara anemia dengan kejadian abortus dengan p value 0.024.

Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis berpendapat bahwa ibu hamil yang mengalami anemia
dapat berisiko terjadinya abortus. Oleh sebab itu diharapkan ibu hamil untuk dapat melakukan
pemeriksaan antenatal care (ANC) secara teratur untuk menghindari terjadinya abortus, dan dapat
melakukan pemeriksaan kadar hemoglobin pada kehamilan trimester 1 dan trimester ke 3 serta
memiliki pengetahuan yang cukup mengenai makanan yang perlu dikonsumsi bagi ibu hamil yang
mengalami anemia untuk dapat membantu menaikkan kadar hemoglobin ibu disamping pemberian
tablet Fe yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

Maliana, Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Abortus Inkomplit 23

24 Jurnal Kesehatan, Volume VII, Nomor 1, April 2016, hlm 17-25

Pembahasan Multivariat

Hasil pembahasan multivariat menunjukkan bahwa variabel umur merupakan faktor yang paling
dominan berhubungan kejadian baortus inkomplit di ruangan kebidanan RSUD Mayjend HM
Ryavudu (p value; 0.006 dan OR; 1.985). sehingga dapat diterpretasikan bahwa ibu dengan umur
berisiko (<20 tahun dan >35 tahun) berisiko mengalami abortus inkomplit sebesar 1.9 kali
dibandingkan dengan ibu yang dengan umur tidak berisiko (20-35 tahun).

Setelah dilakukan analisis multivariat yaitu dengan mengendalikan faktor perancu diperoleh 4
variabel yang berhubungan erat dengan abortus inkomplit yaitu, umur, paritas, riwayat abortus dan
anemia. Selanjutnya diketahui bahwa variabel umur merupakan variabel yang dominan
berhubungan abortus inkomplit.

Sejalan juga dengan teori Manuaba penyulit pada kehamilan remaja lebih tinggi dibandingkan kurun
waktu produksi sehat antara usia 20 dan 30 tahun. Keadaan ini disebabkan belum matangnya alat
reproduksi untuk hamil, sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan
pertumbuhan janin. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila ditambah dengan tekanan
(stres) psikologis, sosial, ekonomi, sehingga memudahkan terjadinya keguguran (abortus), persalinan
prematur, mudah terjadi infeksi, anemia kehamilan, keracunan kehamilan (Manuaba, 2010).

Berdasarkan penjelasan tersebut penulis berpendapat, baiknya pada umur remaja atau muda (<20
tahun) dapat diberikan penyuluhan atau pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi terutama
mengenai bahaya kehamilan pada umur <20 tahun agar dapat mencegah dampak dari akibat yang
ditimbulkan. Bagi ibu hamil dengan umur >35 tahun baiknya dapat ikut berpartisipasi dalam ber KB
agar dapat menekan angka kematian dan kesakitan ibu dan janin. Apabila bagi ibu hamil pada umur
<20 dan >35 tahun karena pada umur berisiko tinggi terjadinya penyulit kehamilan salah satunya
abortus inkomplit. Untuk menghindari terjadinya abortus inkomplit dapat dicegah dengan
pemeriksaan kehamilan (antenatal care) secara rutin untuk dapat melakukan deteksi dini dan
pemantauan yang intensif bagi ibu hamil dengan resiko tinggi. Selain itu dapat diberikan pendidikan
kesehatan pada ibu dengan umur yang berisiko (<20 dan >35 tahun) saat hamil pada saat kunjungan
antenatal care dengan model komunikasi, informasi dan edukasi (KIE).

SIMPULAN

Usia <20 dan >35 tahun (berisiko) sebanyak 39 (42.4%) dari kelompok kasus dan 103 (28%) dari
kelompok kontrol, paritas pertama dan >5 (berisiko) sebanyak 34 (37%) dari kelompok kasus dan 190
(51.6%) dari kelompok kontrol. Ibu dengan mengalami abortus inkomplit sebanyak 25 (27.2%) dari
kelompok kasus dan 55 (14.9%) dari kelompok kontrol dan ada penyakit yang menyertai sebanyak 21
(22.8%) dari kelompok kasus dan 66 (17.9%) dari kelompok kontrol. Ibu yang mengalami anemia
sebanyak 54 (58.7%) dari kelompok kasus dan 100 (27.2%) dari kelompok kontrol.
Ada hubungan yang bermakna antara umur dengan abortus inkomplit dengan nilai p value 0,011,
paritas dengan abortus inkomplit dengan nilai p value 0,016, riwayat abortus dengan abortus
inkomplit dengan nilai p value 0,005 dan anemia dengan abortus inkomplit dari hasil uji statistik
didapatkan nilai p value 0,012.

Tidak ada hubungan yang bermakna antara penyakit ibu dengan abortus inkomplit dari hasil uji
statistik didapatkan nilai p value 0,356 lebihbesar dibandingkan dengan nilai alpha (α=0,05). Faktor
resiko yang paling dominan sebagai

penyebab abortus inkomplit dari hasil uji statistik multivariat, variabel umur dengan nilai OR
tertinggi yaitu

1.985 (95% CI 1.218- 3.236), ibu dengan umur berisiko (<20 atau >35 tahun) 2 kali lebih tinggi terjadi
abortus inkomplit dibandingkan ibu dengan umur tidak

berisiko (20-35 tahun).


Judul : Analisis Faktor Resiko Kejadian Abortus di RSUP Dr. M.Djamil Padang

Penulis : Lili Fajriaa ,

Kota : Padang

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada ibu yang mengalami abortus di RSUP M.Djamil Padang
selama tahun 2012 tercatat sebanyal 125 kasus namun sampel yang diambil hanya sebanyak 52
kasus dengan melihat kelengkapan data- data yang ada dicatatan klien. Dengan meneliti data-data
yang ada dicatatan medical record tersebut terlihat faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi
kejadian abortus pada ibu tersebut. Dari faktor – faktor yang diteliti diantaranya : Pariatas, umur ibu,
Pekerjaan ibu, Riwayat penyakit, Jarak kehamilan dan kadar Hb ibu dapat kita jelaskan sebagai
berikut :

1. Analisa Univariat a. Paritas

Dari Tabel 4.4 terlihat jumlah anak ( paritas ) ibu lebih banyak responden memiliki jumlah anak lebih
dari 3 yakni : 59,6 % ( 31 Orang ) . Hal ini menunjukkan sebagian ibu sangat beresiko mengalami
kejadian abortus.

Menurut Warburton dan Frases (1964), Wilson, et al (1996) menyampaikan bahwa resiko abortus
meningkat dengan bertambahnya paritas ibu (Cuningham, 2005 : 951).

Paritas adalah jumlah anak seorang ibu melahirkan anak viabel. Paritas 2-3

148

antara

kadar Hb dengan Kejadian abortus dimana

orang anak merupakan paritas beresiko yang mempunyai dampak terhadap kematian maternal
(Prawirohardjo dan Winkjosastro, 2007 : 305).

b. Umur Ibu

Dari Tabel 4.5 terlihat sebagian

responden jika dilihat dari sisi umur yang menyebabkan abortus terdapat 57.7 % ( 30 orang ). Artinya
ibu-ibu yang mengalami abortus sebagian besar berada pada rentang umur yang kurang baik un tuk
kehamilan.

Umur merupakan faktor resiko lain untuk terjadinya abortus. Umur yang dimaksud yaitu umur aman
akan kehamilan dan pesalinan pada umur 20-35 tahun. Kematian pada wanita hamil dan melahirkan
pada umur di bawah 20 tahun yaitu 2-5 kali lebih tinggi dari umur 20-29 tahun dan meningkat lagi
sesudah berudah berumur 30-35 tahun (Prawirohardjo dan Winkjosastro, 2007 : 315).

c. Pekerjaan Ibu

Dari Tabel 4.6 terlihat pada

umumnya responden tidak bekerja yakni 84,6% (44 orang). Hal ini akan menurunkan resiko abortus
mengingat ibu sebagian besar hanya melakukan pekerjaan sehari-hari sebagi ibu rumah tangga.

Pekerjaan yang dimaksudkan disini adalah pekerjaan berat yang dilakukan


oleh ibu hamil sehingga ibu mesti mengeluarkan tenaga ekstra untuk melakukan pekerjaan tersebut
atau dengan adanya emansipasi wanita pada zaman sekarang ini, maka kondisi wanita atau ibu yang
bekerja banyak kita jumpai di bidang apa saja. Kondisi ini juga terjadi pada ibu hamil yang bekerja, Di
Indonesia belum ada Undang-undang yang mengatur ibu hamil untuk tidak bekerta atau
mendapatkan cuti selama hamil, sehingga kondisi ini dapat memicu angka kejadian abortus pada ibu
hamil yang bekerja pada bidang pekerjaan yang membutuhkan tenaga atau fisik yang stabil.

d. Riwayat Penyakit

Dari Tabel 4.7 terlihat sebagian besar

responden tidak ada menderita penyakit pada waktu kejadian abortus. Hal ini menunjukkan bahwa
penyakit bukan sebagai faktor yang berkontribusi untuk kejadian abortus yang dialami ibi saat ini
baik ibu yang mengalami abortus satu kali ataupun ibu yang mengalami abortus lebih dari satu kali.

Walaupun faktor penyakit tidak memberikan kontribusi pada kejadian abortus namun perlu di lihat
dan diperhatikan faktor-faktor lain yang lebih memungkinkan abortus yang dialami ibu sangat
dominan .

e. Jarak Kehamilan Sebelumnya

Dari Tabel 4.8 terlihat sebagian

responden jarak kehamilannya tidak beresiko dalam penyebab abortus yakni 57.7 % ( 30 orang ).

Menurut WHO jarak yang baik antara kehamilan yang laiu dengan kehamilan berikutnya adalah
antara 2 – 5 tahun. Maconochie,dkk mengatakan bahwa jaeak kehamilan yang terlalu lama akan
meningkatkan terjadinya abortus dan sebaliknya jarak yang terlalu dekan akan meningkatkan juga
kejadian abortus.

149

f. Kadar Hb

Dari Tabel 4.10 terlihat responden

yang mengalami kejadian abortus lebih dari 1 kali hanya 15.4 % ( 8 orang )

Kehamilan secara fisiologis akan berpengaruh pada kadar Haemoglobin ibu akibat terjadinya
peningkatan volume darah selama proses kehamilan. Sehingga kadar Hb yang rendah masih banyak
dijumpai pada ibu hamil, ditambah lagi jika ibu selama hamil mengalami asupan gizi yang kurang. Hal
ini akan meningkatkan kejadian abortus pada ibu hamil.

2. Analisa Bivariat

Dari hasil penelitian yang telah

dilakukan pada 52 orang responden yang mengalami abortus di RSUP Dr. M.Djamil Padang selama
tahun 2012 dengan memperhatikan kriteria inklusi dan ekslusi dan setelah dilakukan uji chi-Square
dengan derjat kemaknaan α = 0,05, maka dari keseluruhan faktor-faktor resiko yang peneliti amati
diantaranya : Faktor Paritas, Faktor Umur, Faktor Pekerjaan , Faktor Riwayat penyakit yang pernah
diderita ibu, Faktor kadar Hb dan faktor jarak kehamilan dengan yang sebelumnya didapatkan hasil
bahwa : faktor pekerjaan dan kadar Hb menunjukkan hasil yang bermakna yakni untuk faktor
pekerjaan p = 0,000 sedangkan untuk faktor kadar Hb p= 0,001. Jika di bandingkan dengan
kemaknaan kedua faktor tersebut sangat signifikan.
Faktor pekerjaan menunjukkan hasil yang signifikan tapi bertolak belakang dengan persepsi ibu
tentang faktor pekerjaan, hampir sebagian besar ibu mengatakan tidak berkerja atau hanya sebagai
ibu rumah tangga. Hal ini sangat kita kuatirkan dimana jika dilihat pekerjaan ibu rumah tangga pada
masing- masing responden tidak bisa dinilai berat atau ringannya pekerjaan yang dilakoni

Lili, Anlisa Faktor Resiko Kejadian Abortus

NERS JURNAL KEPERAWATAN VOLUME 9, No 2, Oktober 2013 : 140-153

ibu. Namun persepsi pekerjaan ibu rumah tangga merupakan pekerjaan yang ringan dan bekerja
diluar merupakan pekerjaan yang berat merupakan pandangan yang sangat keliru dan perlu upaya
untuk menentukan standar berat ringan pekerjaan dengan mengukur aktifitas ibu masing- masing.

Faktor kadar Hb ibu juga menunjukkan hasil yang signifikan dimana kadar haemoglobin yang rendah
akan meningkatkan insiden abortus. Hal ini sejalan dengan penelitian abidin.Z, 2011 di RS, Kariadi
Semarang dimana dikatakan kadar Hb ibu yang rendah akan menyebabkan angka kejadian abortus
meningkat.

Fungsi Hb sangat vital sekali didalam tubuh,. Hb berperan sebagai alat transportasi O2 serta nutrisi
ke seluruh jaringan tubuh. Jika kadarnya kurang didalam tubuh sehingga transportasi O2 dan nutrisi
juga akan terganggu dan kondisi anemia sangat banyak ditemui pada ibu hamil. Secara fisiologis
kehamilan akan menyebabkan peningkatan volume darah yang seharusnya didiringi oleh
peningkatan sel-sel darahnya. Pada kondisi anemia akan mudah terlepasnya hasil konsepsi dari
uterus, sehingga pengaturan zat-zat gizi pada ibu hamil penting sekali diperhatikan oleh ibu maupun
atas dukungan keluarga agar bayi dan ibu dapat sehat sampai pada masa kelahirannya.

Menurut pendapat Ebrahim.dkk anemia selama kehamilan dapat menyebabkan terjadinya berat
badan lahir rendah, prematuritas, cacat mental bahkan kematian pada perinatal. Ibu hamil yang
mengalami anemia memiliki resiko yang lebih tingga untuk mengalami abortus.

Namun faktor-faktor lain seperti : umur ibu, Paritas, Riwayat penyakit yang diderita ibu serta faktor
jarak tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini sangat berbeda sekali dengan penelitian-

150

penelitian sebelumnya, diantaranya penelitian

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada penelitian ini ingin mengetahui faktor - faktor resiko kejadian abortus di RSUP Dr. M.Djamil
Padang tahun 2012 dengan jumlah populasi sebanyak 125 responden dan sampel sebanyak 52
responden dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Distribusi frekwensi kejadian abortus

yang mengalami lebih satu kali sebanyak 15,4 % ( 8 orang ) sedangkan yang mengalami abortus satu
kali sebanyak 84,6 % (44 orang).

2. Distribusi frekwensi kejadian abortus berdasarkan umur ibu yang

merupakan penyebab

sebanyak 42,3 % ( 22 orang ) sedangkan yang tidak penyebab 57,7 % (30 orang).
3. Distribusi frekwensi kejadian abortus berdasarkan paritas yang merupakan penyebab sebanyak
59,6 % ( 31 orang ) dan yang bukan penyebab sebanyak 40,4 % ( 21 orang )

4. Distribusi frekwensi kejadian abortus berdasarkan pekerjaan ibu yang bekerja sebanyak 15,4 % ( 8
orang ) sedangkan ibu yang tidak bekerja sebanyak 57,7 % (30 orang).

5. Distrubusi frekwensi kejadian abortus berdasarkan kadar Hb yang memiliki kadar Hb rendah
sebanyak 21,2 % (11 orang) sedangkan kadar Hb yang normal sebanyak 78,8 % ( 41 orang ).

6. Distribusi frekwensi kejadian abortus berdasarkan riwayat penyakit ibu

yang pernah menderita suatu penyakit sebanyak 1,9 % ( 1 orang ) sedangkan yang tidak pernah
menderita suatu penyakit sebanyak 98,1 % ( 51 orang )

7. Distribusi frekwensi kejadian abortus dengan jarak kehamilan sebelumnya

abortus

yang memiliki resiko sebanyak 42,3 % ( 22 Orang ) dan yang tidak beresiko sebanyak 57,7 % (30
orang)

8. Tidak ada hubungan umur ibu dengan kejadian abortus dengan nilai p = 1,000 > α 0,05.

9. Tidak ada hubungan paritas dengan kejadian abortus dengan nilai p=0,700 > α 0,05.

10. Terdapat hubungan pekerjaan ibu dengan kajadian abortus dengan nilai p=0,000 <α 0,05.

11. Terdapat hubungan kadar Hb dengan kejadian abortus dimana nilai p=0,001<α 0,05

12. Tidak ada hubungan riwayat penyakit dengan kejadian abortus dengan nilai p=1,000<α 0,05

13. Tidak ada hubungan jarak kehamilan dengan kejadian abortus dengan nilai p=0,260<α 0,05

Setelah melihat kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian diatas maka pada kesempatan ini
dapat kami sarankan sebagai berikut :

1. Bagi Institusi Pelayanan

Kelengkapan data dalam catatan medik klien sangat penting diperhatikan bagi pihak rumah sakit
dengan selalu melakukan fungsi pengawasan bagi petugas di ruangan sehingga pada saat klien
pulang dari rumah sakit data-data penting yang berhubungan dengan penyakit klien dapat
dilengkapi sebelum diberikan status ke petugas medical record. 2. Bagi Instansi Pendidikan

Diharapkan dengan adanya penelitian ini akan dapat menambah informasi pada perpustakaan
pendidikan sehingga dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan khusnya dalam mata kuliah
keperawatan maternitas.

3. Bagi Peneliti selanjutnya

Mengingat belum dapatnya dijelaskan penyebab abortus pada ibu dan masih banyak perbedaan
yang didapatkan pada penelitian-penelitian sebelumnya tentang faktor resiko kejadian abortus di
lapangan maka perlu terus dilakukan penelitian tentang faktor-faktor resiko kejadian abortus dengan
metode yang berbeda.
KTD

Judul : Dampak Kehamilan Tidak Diinginkan terhadap Perawatan Kehamilan dan Bayi (Studi
Fenomenologi)

Penulis : Nawati1, Farial Nurhayati2

1,2Program Studi Keperawatan Bogor, Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung, Indonesia.

SIMPULAN

Dampak kehamilan yang tidak diinginkan terhadap perawatan kehamilan pada penelitian ini
teridentifikasi 3 tema, yaitu: tema 1. masalah psikososial dampak dari kehamilan tidak diinginkan;
tema 2. penolakan terhadap kehamilan; dan tema 3. kurangnya perawatan kehamilan. Sedangkan
dampak kehamilan yang tidak diinginkan terhadap perawatan bayi teridentifikasi 1 tema yaitu:
butuh waktu untuk menerima bayinya.

HASIL

Karakteristik informan pada penelitian ini diperoleh data usia informan termuda yaitu 17 tahun, dan
usia informan tertua yaitu 44 tahun. Pekerjaan informan terbanyak adalah ibu rumah tangga,
beberapa informan bekerja sebagai pelayan, buruh dan Pegawai Negeri Sipil. Pendidikan sebagian
besar informan berpendidikan SMA dan SMP. Jumlah anak informan terbanyak memiliki 1 orang
anak, dan terbanyak memiliki 5 orang anak.

Dampak kehamilan yang tidak diinginkan terhadap perawatan kehamilan pada penelitian ini
teridentifikasi 3 tema, yaitu:

1. Masalah Psikososial Dampak dari Kehamilan Tidak Diinginkan

Masalah psikososial dalam keluarga yang tidak siap menerima kehamilan dan bayi adalah faktor
internal dari kehamilan tidak diinginkan. Tema ini timbul dari kategorik-kategorik keluhan
psikososial, masalah keluarga, masalah mengganggu, masalah psikososial, psikosomatis. Empat
orang partisipan mengatakan stres setelah

Nawati, Dampak Kehamilan Tidak Diinginkan terhadap Perawatan Kehamilan dan Bayi ... 23

mengetahui dirinya hamil dan takut jika keluarga mengetahui kehamilannya.

“Stres, pusing, sakit, tidak mau keluar rumah selama dua bulan setelah tahu bahwa sedang hamil.”
(I1.L72)

“...Stres, kaget tidak mau hamil,..” (I2,L60)

“......takut tidak mau hamil..” (I3,L42)

2. Penolakan terhadap Kehamilan

Keluarga menolak terhadap kehamilan dan menganjurkan tindakan mengakhiri kehamilan


merupakan masalah dampak kehamilan yang tidak dinginkan terhadap lingkungan atau keluarga.
Tema ini timbul dari kategorik menolak kehamilan, keluarga tidak menginginkan kehamilan , umur
sudah tua, anak banyak, belum nikah,marah, membenci. Tujuh informan mengatakan keluarga
menolak kehamilan.

“...keluarga kaget, marah suruh menggugurkan...” (I2,L54)

“...marah, mertua sampai sekarang ga mau gendong cucunya katanya bukan cucunya dia..” (I3,L56)

“...keluarga marah marah setelah tau hamil...” (I5,L51)

“...orang tua menganjurkan untuk digugurkan dengan minum jamu, dipijit ke paraji dan disuruh naek
turun tangga..” (I7,L49)

3. Kurangnya Perawatan Kehamilan

Tema ini diperoleh dari kategorik tidak periksa kehamilan secara rutin, lupa karena sering berganti
tempat periksanya, malas, makan seadanya karena keluhan psikosomatik, minum obat obatan , jamu
untuk haid, dipijat, jamu pelancar haid, tidak memakai khusus baju hamil. Informan sebagian besar
mengatakan tidak memeriksa kehamilan secara rutin dan berusaha untuk mengakhiri kehamilannya.

“..Tidak rutin baru tahu hamil setelah 5 bulan , diperiksa ke puskesmas..” (I1,L95)

“....ga pernah periksa hanya sekali karena disuruh paraji, periksa ke bidan disuruh usg ke dokter,
hasilnya perempuan katanya, saya tambah malas dan tidak mau datang lagi ...”(I4,L84)

“....minum obat pelancar haid jamu gendong....”(I5,L77)

Sedangkan dampak kehamilan yang tidak diinginkan terhadap perawatan bayi teridentifikasi 1 tema
yaitu :

1. Butuh Waktu untuk Menerima Bayi

Tema ini diperoleh dari kategorik: tidak ada yang langsung menyusui, alasan tidak keluar ASI, bayi
diberi susu formula dan bubur, sejak bayi lahir langsung diberi makanan, menyayangi bayi, tidak ada
persiapan khusus, tidak mengetahui jenis immunisasi yang sudah diberikan, pertumbuhan dan
perkembangannya lebih lambat. Sebagian besar informan mengatakan tidak langsung menyusui
bayinya Karena air susu tidak keluar.

“....Tidak pakai ASI, langsung formula dan bubur bayi karena nangis melulu..”(I1,L107)

“....Selama seminggu ga nyusui..” (I3,L103)

PEMBAHASAN

Masalah psikososial dalam keluarga yang tidak siap menerima kehamilan dan bayi adalah faktor
internal dari kehamilan tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan penelitian kualitatif dari Izugbara &
Carolyne Egesa (2014) partisipan melaporkan merasa takut, marah, dan putus asa saat mengetahui
bahwa mereka telah hamil secara tidak sengaja: "Ketika saya tahu, saya sangat ketakutan, saya
hampir bunuh diri, saya tidak tahu harus memulai dari mana,". Data yang dikumpulkan menunjukkan
bahwa menanggapi wanita menyalahkan diri mereka sendiri atas kehamilan yang tidak diinginkan.
Hasil penelitian kualitatif Widyoningsih (2011) menghasilkan tema stres yang dirasakan keluarga.
Dalam penelitian tersebut teridentifikasi adanya stres yang dirasakan keluarga, meliputi stres fisik,
stres finansial, stres psikologis dan stres sosial.

Rendahnya tingkat pendidikan dan sosial ekonomi, lamanya menikah, dan ketidakinginan pasangan
terhadap kehamilan adalah faktor risiko dari kehamilan tidak diinginkan. Wanita dengan kehamilan
tidak diinginkan berisiko tinggi terhadap perilaku tidak sehat, tidak merawat kehamilan dan memiliki
risiko tinggi terhadap aborsi (Shiadeh, et al, 2016).

Secara umum perasaan yang muncul dari remaja, orang tua, dan pasangan terhadap kehamilan
adalah perasaan tidak menyenangkan. Pandangan remaja terkait kehamilannya adalah bahwa
kehamilan terjadi dikarenakan pergaulan yang menuntun remaja untuk melakukan hubungan
seksual pranikah. Kehamilan remaja

24 Jurnal Kesehatan, Volume 9, Nomor 1, April 2018, hlm 21-25

berdampak bagi remaja itu sendiri dan anak yang dilahirkan. Dukungan pada saat kehamilan dan
perawatan anak datang dari orang tua dan teman. Status hubungan dengan pasangan
mempengaruhi perilaku perawatan kesehatan (Ratnaningrum, 2016).

Mengabaikan perawatan kehamilan dan pada awal kehamilan ada usaha untuk mengakhirinya. Ibu
yang mengalami kehamilan tidak diinginkan berpeluang tidak melakukan perawatan kehamilan 1,79
dibandingkan kehamilan diinginkan; berpeluang sama terhadap perilaku tidak memberikan ASI
eksklusif dan tidak memberikan imunisasi dasar lengkap. Hasil analisis stratifikasi menunjukkan
pengaruh status kehamilan tidak diinginkan terhadap perilaku: perawatan kehamilan; pemberian ASI
eksklusif dan pemberian imunisasi dasar lengkap yang juga dipengaruhi oleh status ekonomi.
Semakin kaya cenderung melakukan perawatan (Dini, et al, 2016).

Seorang responden mengatakan bahwa kehamilannya hasil dari perbuatan seksual coba- coba,
namun ternyata hal tersebut menyebabkan kehamilan. Wanita memandang kehamilan sebagai
suatu hasil alami hubungan perkawinan baik diinginkan maupun tidak diinginkan tergantung dari
keadaan. Pada remaja kehamilan terjadi akibat percobaan seksual. Setelah kehamilan dipastikan
respon emosi wanita dapat bervariasi, dari yang sangat gembira sampai syok, tidak yakin dan putus
asa. Reaksi yang diperlihatkan pada banyak wanita nanti atau tidak sekarang (Bobak, et al, 2005).

Informan sebagian besar mengatakan pernah melakukan perbuatan akan mengakhiri kehamilannya
dengan berbagai cara. Wanita yang bahagia dengan kehamilannya dari waktu ke waktu dapat
memiliki sikap bermusuhan terhadap kehamilan atau janinnya. Pernyataan pasangan tentang
kecantikan wanita yang tidak hamil atau peristiwa promosi seorang kolega ketika keputusan
memiliki seorang anak berarti melepaskan pekerjaan dapat meningkatkan rasa ambivalensi.
Perasaan ambivalen yang menetap sampai trimester tiga dapat mengindikasikan.

Judul : HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DENGAN TINGKAT

PENGETAHUAN TENTANG KESEHATAN


REPRODUKSI REMAJA DALAM UPAYA

PENCEGAHAN KEHAMILAN TIDAK

DI INGINKAN (KTD)

Penulis : Afiyatun Nikmah , Sri Subiyatun Widaningsih, Yogyakarta.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada
siswa kelas X SMA N 2 Banguntapan Bantul pada tahun 2018, sebagian besar kategori baik, yaitu 33
responden (89,2%), namun 3 responden (8,1%) memiliki tingkat pengetahuan cukup dan 1
responden (2,7%) memiliki tingkat pengetahuan yang kurang.

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan adalah faktor pendidikan.
Responden adalah siswi kelas X SMA, sehingga sudah mendapatkan materi tentang hal-hal yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi dari mata pelajaran biologi, misalnya masalah organ
reproduksi. Materi yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, menjadi dasar bagi responden
untuk memahami hal-hal lain yang berkaitan, misalnya masalah kehamilan tidak diinginkan, yang
didapatkan dari sumber-sumber yang lain. Hal ini didukung dengan pola berpikir ilmiah yang cukup
baik dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi (Wawan, 2011).

Faktor lain yang mempengaruhi terhadap tingkat pengetahuan tentang kehamilan tidak diinginkan
adalah informasi. Informasi tentang kehamilan tidak diinginkan diperoleh salah satunya melalui
konseling dan internet. Konseling yang dilakukan dalam kegiatan PIK-KRR (Pusat Informasi Konseling
Ksehatan Reproduksi Remaja) yang ada di SMA N 2 Banguntapan Bantul. Melalui kegiatan
ekstrakulikuler tersebut, responden dapat belajar banyak hal mengenai kesehatan reproduksi dan
permasalahan yang terjadiserta cara mengatasinya, termasuk dalam kehamilan tidak diinginkan.
Informasi dari internet sering diakses oleh siswi untuk memperoleh pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi remaja untuk meningkatkan pengetahuan (Wawan, 2011).

Uraian diatas sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap pengetahuan adalah paparan informasi. Paparan informasi mempengaruhi tingkat
pengetahuan remaja dalam berbagai hal, termasuk tentang kesehatan reproduksi. Informasi yang
didapatkan remaja dapat diperoleh melalui bermacam macam sumber, seperti media masa,
konseling, penyuluhan dan internet (Wawan, 2011).

Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan antara peran orang tua dengan Tingkat
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja dalam upaya pencegahan kehamilan tidak
diinginkan (KTD) Pada Siswi Kelas X SMA N 1 Banguntapan Bantul tahun 2018. Hasil penelitian ini
mendukung hasil penelitian Delvi (2015) yang mendapatkan hasil adanya Hubungan Peran Orang
Tua Dalam Memberikan Pendidikan seks Pranikah dengan Perilaku Seks Pranikah Pada Siswa Kelas X
Di SMK N 2 Sewon Bantul Yogyakarta.

Berbagai peran di ambil orang tua dalam pendidikan remaja salah satunya adalah sebagai pendidik.
BKKBN (2009) menyatakan bahwa orang tua hendak menyadari tentang perubahan fisik maupun
psikis yang akan dialami remaja. Orang tua wajib memberikan bimbingan, mengarahkan dan
mengembangkan kepribadian kepada remaja serta menanamkan nilai perilaku yang baik melalui
diskusi dan komunikasi dua arah tentang kesehatan reproduksi remaja dan seksualitas.

Orang tua dapat memberikan barbagai informasi yang dibutuhkan remaja mengenai kesehatan
reproduksi remaja, termasuk masalah kehamilan tidak diinginkan. Informasi, nasehat, bimbingan
dan arahan yang diberikan orang tua dalam pencegahan kehamilan tidak diinginkan, menjadi sebuah
informasi yang berharga bagi remaja yang semakin mengingkat tingkat pengetahuanya tentang
kehamilan tidak diinginkan (Wheley & wong, 2012).

Uraian diatas sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang berengaruh
terhadap pengetahuan adalah peran orang tua. Peran orang tua dalam mendidik anak sangat
menentukan pembentukan karakter dan perkembangan kepribadian anak. Selanjutnya hubungan
komunikasi yang baik antara orang tua dan anak akan menciptakan saling memahami terhadap
masalah-masalah keluarga, khususnya mengenai problematika remaja, untuk meningkatkan
pengetahuan anak remaja secara umum khususnya kesehatan reproduksi remaja.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja dalam pencegahan kehamilan tidak diinginkan
(KTD) pada siswi kelas X SMA N 2 Banguntapan Bantul 2018, sebagian besar kategori baik, yaitu 33
responden (89,2%). Sedangkan, Peran orang tua dalam upaya pencegahan kehamilan tidak
diinginkan (KTD) pada siswi kelas X SMA N 2 Banguntapan Bantul tahun 2018, sebagian besar
kategori baik, yaitu 27 responden (73,0%). Sehingga terdapat hubungan yang bermakna antara
peran orang tua dengan tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja dalam upaya
pencegahan kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada siswi kelas X SMA N 2 Banguntapan tahun 2018.
Hasil uji Kendal tau didapatkan hasil 0,029 dengan p < 0,05.

KEKERASAN BERBASIS GENDER


JUDUL :Gender dan Ekonomi (Analisa Terhadap Mitra Go-Jek Perempuan di Indonesia Tahun 2018)

KOTA : UIN Alauddin Makassar,Indonesia

PENULIS: Darmawati, H.

KESIMPULAN : Perlakuan pihak Go-Jek terhadap mitra pengendara perempuannya terlihat dari
system perekrutan dan penggajian. Perekrutan dilakukan tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan. Laki-laki tidak diistimewakan dari perempuan, sepanjang mereka memenuhi
persyaratan yang diajukan oleh pihak Go-Jek maka mereka diterima. Hal sama terjadi pada system
penggajian, mereka tidak menerima gaji sebagaimana kebiasaan pekerja kantoran, pendapatan
mereka tergantung ketekunan mereka. Semakin mereka sering menerima orderan, semakin banyak
pendapatan mereka. Go-Jek menerapkan system bagi hasil 80% untuk mitra dan 20% untuk
perusahaan, juga ada system bonus dan komisi, serta fasilitas lain semisal kemudahan menyicil
rumah dan lainnya. Respon masyarakat terhadap keberadaan Mitra Go-jek perempuan terbagi
menjadi dua, positif dan negative. Pandangan positif beralasan bahwa perempuan tersebut
melakukannya pasti karena alasan ekonomi, sepanjang mereka memperhatikan keselamatannya,
maka hal ini wajar saja. Pihak yang berada disisi negative beranggapan bahwa perempuan tidak
cukup tangguh untuk mengantar mereka ke tempat tujuan, kasihan dan tidak nyaman dibonceng
oleh perempuan.

Hasil dan Pembahasan

1. Perlakuan Pihak Go-Jek Terhadap Mitra Pengendara Perempuan.


a) Perekrutan
PT. Aplikasi Karya Anak Bangsa atau lebih dikenal sebagai GO-JEK adalah
start-up Indonesia yang diklasifikasikan sebagai perusahaan system transportasi setelah
menutup putaran pendanaan pada Agustus 2016. Armada GO-JEK sekarang ini
melebihi 400,000 pengendara dan termasuk motor, mobil dan truk. Ini adalah

Vol: 12 No: 1
perusahaan Unicorn terbesar yang berbasis di Jakarta, Indonesia. Perusahaan ini bernilai
5 milyar dollar hingga Februari 2018. Sebuah survey menyatakannya sebagai aplikasi
kendaraan bermotor paling popular di Indonesia (Wikipedia, diakses 22 April 2018).
Tipe pelayanannya adalah 1) Kurir Instan; 2) Transportasi; 3) Pengantaran Makanan; 4)
Pembelanjaan Pribadi; 5) Layanan lain yang akan terus bertambah. Untuk menjadi
mitra Go-Jek, tidak ada pembedaan antara mitra perempuan dan mitra pria. Semua harus
melalui prosedur yang sama, mulai dari mengisi data-data pada formulir daring, yang
persyaratannya harus punya Sim C bagi mitra Go-Ride dan Sim A bagi mitra Go-Car,
punya STNK, dan tentu saja punya telepon pintar berbasis android. Jika pendaftaran
mereka telah mendapat persetujuan pihak Go-Jek maka mereka diwajibkan membuat
akun virtual di CIMB Niaga sebesar 100 ribu rupiah.
Salah satu kelebihan bekerja sebagai mitra adalah kerja yang tidak terikat waktu,
seorang dosen di UIN Sumatra Utara, Khairina (Tribun Medan 21 April 2018, diakses

26 Mei 2018), yang juga seorang kandidat doctor, malah bangga menjadi mitra Go-Jek,
karena banyak pengalaman menarik dan mengharukan yang diperolehnya. Disamping
pengalaman, beliau juga mendapat tambahan penghasilan yang digunakan untuk
menyelesaikan pendidikan doktoralnya.
Sejalan dengan prinsip kesetaraan gender, pekerjaan sebagai mitra Go-Jek
menjadi bukti bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai akses yang sama untuk
memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang sama. Hal ini seiring dengan misi GJek
sendiri yakni meningkatkan kesejahteraan sosial dengan memastikan efisiensi pasar.

Perusahaan ini berkeinginan untuk menyebarkan dampak sosial positif melalui


teknologi, meningkatkan pendapatan pengendara GO-JEK dan memastikan standar
hidup yang lebih baik bagi mereka dan keluarganya.
Meskipun istilahnya ‘mitra’ namun pengendara tidak bisa seenaknya, karena
perusahaan juga bisa melakukan penghentian (banned) terhadap mitranya yang
melakukan pelanggaran. Adapun pelanggaran yang bisa dikenai penghentian adalah
mengendara ugal-ugalan, tidak ramah, tidak pakai jaket, tidak pakai helm.
Layanan Go-Jek tidak hanya berfokus pada transportasi, salah satu sub usahanya
adalah Go-Life yang meliputi Go-Massage, Go-Clean, Go-Glam, Go-Auto. Kontan Id
tertanggal 18 April 2018 (diakses 27 Mei 2018), memberitakan bahwa menurut Yuanita
Agata (VP Marketing Go-Life) “Lebih dari 60% mitra yang bergabung dengan Go-Life

adalah wanita dengan latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Tidak sedikit juga
dari mereka yang menjadi tulang punggung keluarga, sementara di sisi lain juga harus
mengurus anak dan kebutuhan rumah tangga,“ ujar Yuanita. Dengan adanya Go-Life
lanjut Yuanita, semakin banyak kesempatan para pekerja sektor informal seperti terapis
pijat, beautician, cleaner serta montir untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan akses
yang mudah ke pelanggan.
Fasilitas lain yang diberikan oleh manajemen Go-Jek sebagaimana diberitakan
Bisnis.com tertanggal 28 Maret 2018 (diakses 26 Mei 2018) yakni mitra pengemudi
yang tergabung di dalam ekosistem Go-Jek diklaim memperoleh akses ke berbagai
layanan dan jasa keuangan. Mulai dari tabungan, asuransi, jaminan sosial, KPR, cicilan

terjangkau, tabungan umroh dan haji, berbagai diskon kebutuhan, hingga akses
pendanaan berwirausaha.“Tujuan kami mitra dengan berbagai layanan ini adalah agar
kesejahteraan mitra bisa bersifat berkelanjutan. Program manfaat ini terus kami perluas
agar mitra kami semakin punya kesempatan untuk makin sejahtera," lanjut Go-Jek.
Data di atas menunjukkan bahwa perusahaan ini memang mampu membawa
mitranya ke kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Misi yang ditetapkan Go-Jek
tidak berhenti di kata-kata, namun diimplementasikan dalam program-program
bisnisnya. Dengan membuat berbagai layanan yakni : GO-JEK (Go-Jek, Go-Ride, Go-
Car, Go-Food, Go-Mart, Go-Send, Go-Box, Go-Tix, Go-Med); GO-LIFE (Go-Massage,
Go-Clean, Go-Glam, Go-Auto); GO-PAY (Go-Pay, Go-Point, Go-Pulsa, Go-Bills).
Kesemua layanan ini diperuntukkan bagi para pelanggan Go-Jek, dan tentu saja ini
membuka lapangan kerja bagi anak-anak bangsa di sector informal yang pada akhirnya
membuat tingkat kehidupan mereka lebih layak dan sejahtera, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan.
Seorang mitra perempuan sebagaimana diwartakan Republika.co.id (diakses 22
Mei 2018) mendapat penghargaan sebagai Top 10 driver 2017, karenanya belia berhak
untuk mendapat kemudahan untuk menyicil rumah dan berangkat haji. Beliau sudah
merenovasi rumah orang tuanya dan melakukan umroh. Bentuk penghargaan lain yang
diberikan Go-Jek kepada mitra dan talent perempuannya adalah pada peringatan Hari
Kartini tahun 2017, mereka diajak nonton bareng film ‘Kartini’ bersama pemain utama

film tersebut Dian Sastro. Menejemen Go-Jek mengungkapkan bahwa ini adalah bentuk
penghargaan yang diberikan pada mitra dan talent perempuan, karena mereka telah

menunjukkan semangat yang besar untuk menghidupi keluarganya, di sela-sela


kesibukan mereka sebagai seorang ibu. Merekalah sebenarnya Kartini-Kartini sejati
bangsa ini.
Ditilik dari sudut pandang Agama Islam, apa yang dilakukan oleh perempuan ini
tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam, Islam meluaskan para perempuan untuk
mencari penghasilannya sendiri, dan itu adalah hak mereka, terutama jika itu
menyangkut kebutuhan keluarga. Selama keluarga selalu menjadi focus utama mereka.
b) Penggajian
Para mitra Go-Jek tidak mendapat gaji sebagaimana umumnya pegawai kantoran,
pendapatan mereka bergantung pada ketekunan mereka. System penggajian yang
digunakan adalah system bagi hasil, mitra 80% dan Go-Jek 20%. Untuk layanan Go-Jek
di Makassar ketentuan bonusnya adalah:
i. 7 poin = Rp. 10.000
ii. 15 poin = Rp. 25.000
iii. 20 poin = Rp. 40.000
iv. 25 poin = Rp. 55.000

v. 30 poin = Rp. 70.000


Dalam satu hari yang sama menyelesaikan order (total 30 poin) maksimal bonus
yang diterima Rp. 200.000. Selain ketentuan di atas ada beberapa ketentuan komisi
tambahan yang diberlakukan yakni Rp. 3000 untuk order antara pukul 23.00 – 05.00,

namun tidak berlaku untuk di beberapa kota seperti Subang, Padang Sidempuan, Metro,
Pangkal Pinang, Tanjung Pinang, Duri, Sabang, Kudus, Kebumen, Tomohon, Bitung,
Gorontalo, dan Palu. Sedangkan untuk layanan Go-Food, komisi tambahan Rp. 3000
untuk order dengan jarak lebih dari 10 km, Rp. 3000 untuk order pada pukul 23.00 –
05.00, dan Rp. 3000 untuk order lebih dari Rp. 300.000. Komisi tambahan ini tidak di
wilayah-wilayah yang disebutkan di atas. Pada layanan Go-Med, Rp. 3000 untuk jarak
order 10-20 Km, dan menjadi Rp. 6000 jika lebih dari 20 Km. Order pukul 23.00 –
05.00 mendapat bonus Rp. 3000, berlaku di semua wilayah Go-Jek (Situs Go-JekIndonesia diakses 20
Mei 2018).

Penelitian oleh Martin dan Garvi, 2009 mengemukakan bahwa pertumbuhan


Gross Domestic Product (GDP) menstimulasi peningkatan nilai Gender Development

Index (GDI) dan Human Development Index (HDI) serta menurunkan kesenjangan
antar kedua indeks tersebut. Dalam penelitian lainnya, Klasen dan Lamanna (2009)
menghitung konsekuensi secara kuantitatif yang harus ditanggung oleh sebuah negara

ketika terdapat ketimpangan gender dalam pendidikan dan pekerjaan dinegaranya yaitu
perbedaan laju pertumbuhan ekonomi berkisar antara 0,9-1,7% di Timur Tengah dan
Afrika Utara serta 0,1-1,6% di Asia Selatan bila dibandingkan dengan negara-negara di
kawasan Asia Timur dan Pasifik (Widayanti, 2013: 2). Kesemua penelitian di atas
menggambarkan bahwa ketimpangan gender akan berpengaruh negative terhadap
perkembangan ekonomi.
Sebuah penelitian menarik oleh Samosir & Toersilaningsih (2004) yang

melakukan penelitiannya di 14 kabupaten/kota (Provinsi Kalimantan Tengah),


menemukan bahwa analisis deskriptif menunjukkan ketimpangan gender yang tajam di

beberapa kabupaten/kota. Hasil analisis regresi menunjukkan pengaruh negative dan


signifikan antara ketimpangan gender dengan pertumbuhan ekonomi. Sederhananya,
pertumbuhan ekonomi tidak akan berjalan dengan baik jika ketimpangan gender tidak
dibenahi terlebih dahulu. Artinya laki-laki dan perempuan harus memperoleh akses
yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang layak, dan itu tidak
ditemukan di beberapa kabupaten/kota pada penelitian tersebut.
Di Go-Jek Indonesia tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan atas
pendapatan yang akan mereka peroleh. Selama mereka tekun dan gigih, perempua bisa
memperoleh pendapatan yang sama, bahkan lebih banyak dari laki-laki. Ketika tidak
ada kesamaan akses ekonomi antara laki-laki dan perempuan, maka tentu ini akan
memicu perbaikan ekonomi suatu wilayah.

JUDUL : ANALISA GENDER DAN PENTINGNYA KONDISI PSYCHOLOGICAL WELLBEING BURUH DI


TEMPAT KERJA (Penelitian pada Buruh Tekstil di Indonesia)

PENULIS: Widya Nandini


KESIMPULAN
Melalui hasil analisa dari pengolahan data yang ada menunjukkan hipotesis pertama

hingga ke empat secara signifikan diterima. Melalui hasil yang ada menunjukkan bahwa terbukti

adanya pengaruh dukungan supervisor sebagai job resources dan job insecurity yang merupakan

job demand terhadap kondisi psychological wellbeing. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kerja

secara psikologis menjadi penting untuk penentu kondisi psychological wellbeing. Hal ini

penting dikarenakan kondisi psychological wellbeing telah mempengaruhi kondisi kepuasan

kerja dan kesehatan fisik yang sangat penting bagi produktifitas perusahaan. Penelitian ini juga
menunjukkan fungsi penting job resources yang pada khususnya disini adalah dukungan

http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jrmsi 88
supervisor sebagai penyeimbang job demand yang harus diterima individu pada khususnya disini

adalah kondisi job insecurity individu sehingga kondisi psikologis bisa tetap terjaga.

Penelitian ini juga menunjukkan gender terbukti telah memoderasi pengaruh antara

kondisi psychological wellbeing dan kesehatan fisik. Hal ini diikuti dengan fakta bahwa wanita
ebih mudah memiliki kebahagiaan dibandingkan pria yang menunjukkan bahwa baik pria dan
wanita tidak ada perbedaan penerimaan beban kerja namun mengarah pada proses pengelolaan

informasi dan motivasi.


Penelitian ini juga memiliki berbagai keterbatasan penelitian yaitu masih terbatasnya output

penelitian yang hanya berdasarkan kepuasan kerja dan kesehatan fisik dan belum merupakan
output organisasi secara nyata seperti produktifitas atau kinerja. Selain itu keterbatasan penelitian
juga ada pada pengukuran job insecurity. Penelitian ini belum secara menyeluruh mengukur

secara komprehensif dan mendetail sehingga analisa yang dilakukan bisa lebih mendalam.
Penelitian ini juga masih terbatas pada pengkajian faktor eksternal dari individu yang memiliki
potensi untuk dikaji melalui faktor internal individu khususnya pada sektor buruh.

HASIL PENELITIAN: hasil pengolahan uji regresi pada setiap pengaruh yang

dibangun hipotesisnya. Pengolahan uji regresi melalui SPSS ini menggunakan Coinfidence
Interval pada titik 97% yaitu dengan tingkat error 3%. Melalui hasil regresi yang dilakukan pada
data 2012 dan 2015 menunjukkan hasil regresi yang konsisten pada pengaruh dukungan

supervisor dan job insecurity terhadap psychological wellbeing, kepuasan kerja serta kesehatan fisik
individu.
Melalui uji regresi yang ada menunjukkan bahwa peran supervisor dalam menciptakan

iklim kerja yang produktif berpengaruh dalam menentukan kondisi mood dan psikologis individu

sesuai dengan penelitian oleh Maertz et al (2007) dan sejalan dengan pernyataan oleh Brunetto et al
(2011) bahwa supervisor memiliki peran untuk menurunkan tingkat stres karyawan di tempat kerja.

Fungsi dukungan supervisor disini merupakan kebalikan dari kondisi job insecurity yang
merupakan job demand. Melalui uji hipotesis yang ada menunjukkan bahwa job insecurity ini
memang merupakan pemicu stres yang menggagu kondisi psikologis individu (Sverke et al, 2002).
Peneliti juga melakukan uji lanjutan dari output kondisi psychological wellbeing terhadap
variabel output yang mempengaruhi produktifitas dan kinerja pekerja secara nyata yaitu

kepuasan kerja dan kesehatan fisik pekerja (Tabel 2). Melalui signifikansi pengaruh terhadap

kedua hubungan ini menunjukkan bahwa kondisi psikologis individu mampu mempengaruhi
persepsi kepuasan terhadap pekerjaannya hingga daya tahan tubuh untuk kesehatannya (Salovey
(Salovey

et al, 2000; Faragher, 2005).

Sedangkan pada pengujian moderasi pada hubungan psychological wellbeing dan


kesehatan fisik adalah signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kebahagiaan lebih tinggi

yang dirasakan wanita juga mempengaruhi terhadap kondisi kesehatan fisiknya dibanding laki-
laki. Hal ini menunjukkan dukungan terhadap Barnet et al, 1994 bahwa laki-laki cenderung lebih
mudah terkena depresi atau gangguan kondisi psikologis dibandingkan wanita. Terlebih lagi
menurut Pugliesi (1995) menyatakan bahwa salah satu penyebab mengapa pria cenderung lebih
sulit untuk bahagia dikarenakan pria cenderung lebih sulit untuk mengutaraka emosi negatif dan
menceritakan mengenai masalahnya maupun juga memiliki harga diri yang cukup tinggi

Anda mungkin juga menyukai