Anda di halaman 1dari 47

HUBUNGAN KADAR ALBUMIN DAN KADAR ENZIM

TRANSAMINASE PADA PASIEN DBD YANG MENGALAMI DSS DAN


TIDAK MENGALAMI DSS

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan oleh:

Dimas Novian Saputra


J500150023

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA


SURAKARTA
2018
PROPOSAL SKRIPSI

HUBUNGAN KADAR ALBUMIN DAN KADAR ENZIM


TRANSAMINASE PADA PASIEN DBD YANG MENGALAMI DSS DAN
TIDAK MENGALAMI DSS

Yang diajukan oleh :

Dimas Novian Saputra

J500150023

Telaj disetujui oleh Penguji Utama Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas


Muhammadiyah Surakarta, Pada hari . . . . . . . , tanggal. . . . . . . . 2018

Pembimbing Utama

dr. Iin Novita Sp. PD

NIP/NIK

Kepala Biro Skripsi

dr. Anika Candra

NIK
Proposal Skripsi

HUBUNGAN KADAR ALBUMIN DAN KADAR ENZIM


TRANSAMINASE PADA PASIEN DBD YANG MENGALAMI DSS DAN
TIDAK MENGALAMI DSS

Yang diajukan oleh :

Dimas Novian Saputra


J500150023

Telah disetujui dan disahkan oleh Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari . . . . . . . , tanggal . . . . . . . . . . . . . 2018

Ketua Penguji
Nama :. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
(. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . )
NIP/NIK :
Anggota Penguji
Nama :. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
(. . . . . . . . . . . . . . . . . . )
Pembimbing Utama
Nama :. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
(. . . . . . . . . )
NIP/NIK :

Kepala Biro Skripsi

dr. Anika Candra


NIK
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iv
BAB I......................................................................................................................................2
PENDAHULUAN..................................................................................................................2
A. Latar Belakang................................................................................................................2
B. Perumusan Masalah.........................................................................................................2
C. Tujuan Penelitian.............................................................................................................2
1. Tujuan Umum.............................................................................................................2
2. Tujuan Khusus.............................................................................................................2
D. Manfaat Penelitian...........................................................................................................2
BAB II....................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................................3
A. LANDASAN TEORI......................................................................................................3
B. KERANGKA TEORI.....................................................................................................28
C. HIPOTESIS.....................................................................................................................29
BAB III.................................................................................................................................30
METODE PENELITIAN.....................................................................................................30
A. Desain Penelitian...........................................................................................................30
B. Tempat dan Waktu Penelitian........................................................................................30
C. Populasi dan Sampel.....................................................................................................30
D. Besar Sampel.................................................................................................................30
E. Teknik Sampling............................................................................................................32
F. Kriteria Sampel..............................................................................................................32
G. Variabel Penelitian.........................................................................................................32
H. Definisi Operasional......................................................................................................33
I. Cara Kerja Penelitian....................................................................................................35
J. Skema Penelitian...........................................................................................................36
K. Analisis Data.................................................................................................................36
L. Jadwal Penelitian...........................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................38
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengue adalah virus penyakit yang menyebar paling cepat di dunia
(WHO-TDR, 2009). Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit
yang disebabkan oleh virus Dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus
Flavivirus, dan famili Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk dari
genus Aedes, terutama Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit DBD dapat
muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Penyakit
ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat. (Kemenkes
R.I., 2016) Kosasih dan Alisjahbana (2016) berpendapat Infeksi virus dengue
dapat mengakibatkan infeksi asimtomatik, demam berdarah (DB), atau bentuk
yang lebih parah, demam berdarah dengue (DBD) dan sindrom syok dengue
(SSD).
Dalam 50 tahun terakhir, insiden infeksi virus dengue meningkat 30
kali lipat, diperkirakan 50 juta orang terinfeksi setiap tahun dan 2, 5 milyar orang
tinggal di daerah endemis. Berdasarkan jumlah kasus demam berdarah dengue
(DBD), Indonesia menempati kasus tertinggi di kawasan Asia Tenggara. (WHO
2011) Infeksi virus dengue telah menyebar di 33 provinsi dan 436 kabupaten /
kota dari 497 kabupaten / kota di Indonesia. Data Kementrian Kesehatan RI
menunjukkan kenaikan signifikan angka kesakitan dari 0, 05 per 100 000 pada
tahun 1968 menjadi 39, 8 per 100 000 penduduk tahun 2014, dengan angka
kematian (case fatality rate) 0, 90%. Kejadian epidemik tertinggi dilaporkan
terjadi pada tahun 2010, yaitu 86 per 100 000 kasus. (Karyanti et al, 2014)
Dinas Kesehatan Kota Solo (2017) melaporkan ditemukan kasus
Penyakit Demam Berdarah sebanyak 751 kasus yang tersebar di 17 wilayah
Puskesmas di Kota Surakarta. Dengan jumlah kasus sebanyak 751, maka
didapatkan angka kesakitan (insidence rate/IR) sebesar 13, 58 per 10. 000
penduduk. Angka ini meningkat cukup tajam dibandingkan tahun 2015 dimana
IR tahun 2015 sebesar 9, 23 per 10. 000 penduduk. Dengan demikian target

2
3

Renstra Kota Surakarta untuk indikator Incidence rate (IR) DBD < 4
per 10. 000 penduduk tidak tercapai, termasuk untuk target nasional yaitu IR < 2
%.
Keterlambatan pasien datang berobat, kesalahan dalam
mendiagnosis, kurangnya memahami tanda-tanda keparahan DBD dan
pengobatannya menyebabkan penyakit DBD lebih parah dan dapat terjadinya
syok (Pujiati, 2009).Penyakit DBD mempunyai kemungkinan 5% menyebabkan
kematian apabila berkembang menjadi Dengue Shock Syndrome (DSS) dengan
angka kematian sebesar 40%-50% apabila terlambat dalam penanganan. Hal ini
dikarenakan pasien mengalami defisit volume cairan akibat meningkatnya
permeabilitas kapiler pembuluh darah sehingga darah menuju keluar dari
pembuluh. Akibatnya hampir 35% pasien DBD yang terlambat ditangani akan
mengalami syok hipovolemik hingga meninggal (Saniathi, 2009).
Dengue Shock Syndrome (DSS) adalah kegagalan sirkulasi darah
karena kebocoran plasma dalam darah akibat permeabilitas kapiler darah yang
meningkat ditandai dengan denyut nadi lemah dan cepat (tidak teraba),
penyempitan pembuluh darah atau nadi, hipotensi (tekanan darah tidak terukur),
kulit yang dingin dan lembab, tampak lesu, lemah dan gelisah hingga terjadinya
syok/renjatan berat (WHO, 2009) (Kemenkes RI, 2013).
Kebocoran plasma merupakan komplikasi infeksi dengue yang dapat
mengakibatkan cairan plasma intravaskular dan albumin ke luar ke ruang ekstra
vaskular. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan hipovolemia dan
hipoalbuminemia. (WHO-TDR, 2009) (Suwarto et al,2017) Hipovolemia yang
tidak mendapat penatalaksanaan secara dini dapat mengakibatkan sindroma
renjatan dengue (DSS).(Srikiatkhachorn 2009)
Pada penelitian imunopatogenesis infeksi virus Dengue
menunjukkan adanya peningkatan antibodi, inflammatory cells dan berbagai
sitokin yang berakibat pada gangguan permeabilitas endotel dan disfungsi organ. (
Yati, AW dan Ronald MN, 2017) Adanya defek pada endotel sangat
mempengaruhi kadar albumin dalam darah. Penurunan kadar albumin digunakan
sebagai penanda awal kebocoran plasma, yang artinya perjalanan penyaki
4

infeksi dengue menjadi bertambah berat. ( Suvarna JC dan Rane PP, 2009)
Kemudian, disfungsi organ hepar merupakan salah satu akibat dari infeksi
dengue yang sering muncul dalam bentuk hepatomegali dan peningkatan ringan
sampai sedang kadar enzim aminotransferase walaupun jaundice dan gagal hepar
akut jarang terjadi. Dalam sebuah penelitian ditemukan hanya 3% pasien dengue
yang memilki SGOT dan SGPT normal. Dan juga, kadar SGOT ditemukan lebih
tinggi dibanding kadar SGPT pada pasien dengue. (Trunk et al, 2010) Hal ini
sesuai dengan kriteria WHO 2009 ,dimana menurut WHO 2009 peningkatan
SGOT / SGPT ≥ 1000 U/liter juga merupakan tanda bahwa penyakit sudah
memberat
Penelitian lain oleh W. Petdachai (2005) menemukan dari total 38
sampel pada 13 pasien ( 34,2% ) ditemukan memiliki tingkat SGOT lebih tinggi
daripada SGPT. Dimana kadar SGPT 5 kali lebih tinggi dari batas normal (SGPT
> 200 U/liter). Tingkat rata rata SGPT pasien dengan gangguan hepar adalah
1466,9 U/liter dibanding 83,1 U/liter tidak mengalami gangguan hepar.
Gangguan hepar ditemukan 8 dari 31 pasien (25,8%) dengan DHF derajat 3, dan 5
dari 7 pasien (71,4%) dengan DHF derajat 4 (P=0,034).
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penetian mengenai hubungan kadar albumin dan kadar enzim
transaminase pada pasien demam berdarah dengue yang mengalami DSS dan
tidak mengalami DSS.

B. Perumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan hasil pemeriksaan albumin dan enzim
transaminase pada pasien DBD yang mengalami DSS dan tidak mengalami
DSS?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kadar albumin dan kadar enzim transaminase
pada pasien demam berdarah dengue yang mengalami DSS dan tidak
mengalami DSS.
5

2. Tujuan Khusus
a. Menilai hubungan antara kadar albumin pada pasien demam
berdarah dengue yang mengalami DSS dan tidak mengalami DSS.
b. Menilai hubungan antara kadar enzim transaminase pada pasien
demam berdarah dengue yang mengalami DSS dan tidak mengalami
DSS.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi mengenai
hubungan kadar albumin dan kadar enzim transaminase pada pasien
demam berdarah dengue yang mengalami DSS dan tidak mengalami DSS.
2. Bagi peneliti, menambah wawasan terhadap pemeriksaan
penunjang infeksi dengue dan menambah keterampilan dalam penulisan
karya tulis ilmiah.
3. Bagi praktisi, menjadi sumber informasi hubungan kadar
albumin dan kadar enzim transaminase pada pasien demam berdarah
dengue yang mengalami DSS dan tidak mengalami DSS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. LANDASAN TEORI

1. Definisi
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) (dengue
haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabka oleh
virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri
sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia
dan diathesis hemoragik. (Suhendro et al, 2014)

2. Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue. Virus
yang termasuk ke dalam genus Flavivirus ini memiliki serotipe (DEN 1-4)
yang semuanya dapat menyebabkan penyakit DBD. Serotipe yang paling
banyak ditemukan di Indonesia adalah DEN-3. (Suhendro et al. , 2014)
Virion dengue merupakan virus ssRNA sensitif positif sebagai
geniomnya berbentuk sferis dengan diameter 50nm. Protein virus ini
terdiri dari protein C untuk kapsid dan core. Kemudian dilapisi k
membrandan terdapat protein selubung serta NS untuk protein non-
struktural. Protein non struktural NS-1 sering digunakan sebagai antigen
diagnostik di awal penyakit. (Samanta et al, 2015)
Virus ini ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti dan sedikit
oleh Aedes albopictus. Masa laten infeksi in vitro virus ini kira kira 12-16
jam, setelah itu virus dapat ditemukan di ekstrasel. Virus dengue terutama
menyerang sel-sel yang termasuk sistem retikuloendotelial, yaitu sel
mosoit dan progenitornya, sel limfosit B, sel Kupfer, dan juga makrofag.
(Agus,424-34)

6
7

3. Epidemiologi
Virus dengue merupakan virus yang paling cepat menyebar di
dunia. (WHO 2009) Virus ini tersebar di benua Afrika, Asia, Amerika,
dan Austalia dengan kominasi tipe virus yang berbeda-beda. (Agus, 424-
34) Peningkatan insidens terjadi sebesar 30 kali lipat dengan peningkatan
perluasan geografis ke negara-negara baru dalam 50 tahun terakhir.
Diperkirakan 50 juta kasus infeksi dengue terjadi setiap tahunya. (WHO
2009)
Penyakit DBD berhubungan dengan kondisi lingkungan dan
perilaku masyarakat. Faktor lingkungan yang terutama berpengaruh
adalah tersedianya tempat perindukan bagi namuk betina yaitu bejana yang
berisi air jernih seperti kaleng bekas, bak mandi, dan tempat
penampungan air lainnha. (Suhendro et al, 2014) Penyakit DBD dapat
muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur.
(Kemenkes RI 2016)
Menurut data profil kesehatan Indonesia tahun 2016, jumlah
penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 204. 171 kasus dengan jumlah
kematian sebanyak 1. 598 orang. Jumlah kasus DBD tahun 2016
meningkat dibandingkan jumlah kasus tahun 2015 (129. 650 kasus).
Jumlah kematian akibat DBD tahun 2016 juga meningkat dari tahun 2015
(1. 071 kematian). IR atau angka kesakitan DBD tahun 2016 juga
meningkat dari tahun 2015, yaitu 50, 75 menjadi 78, 85 per 100. 000
penduduk. Namun, Case Fatality Rate (CFR) mengalami penurunan dari
0, 83% pada tahun 2015 menjadi 0, 78% pada tahun 2016. (Kemenkes RI
2016)
Faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan transmisi
virus dengue yaitu (Suhendro et al, 2014) :
a. Vektor: kebiasaan menggit, perkembangan vektor, kepadatan
vektor di lingkungan, dan transportasi vektor dari satu tempat ke
tempat lainnya.
b. Hospes: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi
dan paparan terhadap nyamuk, usia, dan jenis kelamin.
8

c. Lingkungan: curah hujan, suhu, kepadan penduduk, dan sanitasi.

4. Patogenesis
DHF seringkali terdiagnosis pada pasien dengan infeksi sekunder.
Hal ini berhubungan dengan sistem imun penderita dan patogenesis dari
DHF itu sendiri. Baik imunitas innate (sistem komplemen dan sel natural
killer atau sel NK) dan imunitas adaptif (sel humoral dan sel imun
termediasi) terlibat dalam proses ini. Peningkatan aktivasi sistem imun,
terutama pada infeksi sekunder, menimbulkan respon sitokin besar-
besaran yang menyebabkan perubahan vaskuler. Sedangkan, hasil
produksi virus, seperti NS1 (non-structural protein 1) berperan dalam
pengaturan aktivasi komplemen dan permeabilitas vaskuler. (WHO,
2011)
Beberapa sitokin dengan efek peningkatan permeabilitas kapiler
berperan dalam patogenesis DHF. Beberapa penelitian menunjukkan, pola
dari respon sitokin-sitokin ini berhubungan dengan pola sel T spesifik
untuk virus dengue yang memproduksi TNF-α, IFN-γ, dan kemokin.
Peningkatan fragmen komplemen juga terdeteksi pada DHF diantaranya
C3a dan C5a yang diketahui memiliki efek meningkatkan permeabilitas
kapiler. (WHO, 2011)
Patogenesis dari DHF sendiri sebenarnya belum jelas diketahui.
Namun ada beberapa teori yang dikemukakan, diantaranya: 1) teori
secondary heterologues infection; 2) teori ADE (antibody dependent
enhancement); 3) mediator inflamasi; dan 4) virulensi virus. Teori
pertama dan kedua memiliki prinsip yang sama namun dengan sudut
pandang yang berbeda. Teori pertama melihat patogenesis penyakit
berdasarkan serotipe virus dengue. Sedangkan teori kedua, yaitu teori
ADE dibuat berdasarkan reaksi antigen dan antibodi yang terjadi. (Yasa et
al, 2012).
Teori ADE menjelaskan bahwa pembentukan antibodi yang tidak
netral dapat mempermudah infeksi sel oleh virus dan mempercepat
replikasi. Pada infeksi sekunder dengan serotipe virus yang berbeda akan
9

menjadikan virus sebagai super antigen. Antigen ini selanjutnya


akan menjadi pembawa muatan polipeptida spesifik milik MHC II yang
nantinya akan berikatan dengan sel T CD4+. Ikatan ini akan diperantarai
oleh sel T reseptor. Sel T CD4+ kemudian akan mengeluarkan beberapa
komplemen seperti IFN-g, IL-2 dan CSF (colony stimulating factor).
Kadar IFN-g yang meningkat dapat merangsang makrofag untuk
mengeluarkan sitokin prokoagulasi diantaranya IL-1, IL-6, TNF-a, PAF
(platelet activating factor), dan NO (nitric oxide). Sitokin-sitokin ini
dapat mempengaruhi sel endotel PD dan hemostasis yang berakhir pada
kebocoran plasma dan perdarahan. (Yasa et al, 2012).

5. Patofisiologi
Ciri khas dari DHF yaitu adanya kebocoran plasma sebagai akibat
dari peningkatan permeabilitas vaskuler. Hal ini juga merupakan dasar
dari terjadinya shock dan penurunan volume intravaskuler. Kebocoran ini
hanya terjadi pada tempat-tempat tertentu seperti pleura dan kavum
peritoneum dalam waktu 24 – 48 jam. Shock yang pulih cepat tanpa gejala
sisa dan tidak adanya inflamasi pada pleura maupun peritoneum
mengindikasikan adanya perubahan fungsional pada integritas vaskuler
sebagai mekanisme yang mendasari. (WHO, 2011).
Trombositopena pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1)
supresi sumsum tulang; 2) destruksi dan pemendekan usia tombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukan
keadaan hiposelular dan terjadi supresi megakariosit. Setelah keadaan
nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses-proses hematopoiesis
termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat
terjadi trombositopenia justru mengalami kenaikan, hal ini menunjukan
terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi
terhadap keadaan trombositopenia. Sementara, destruksi trombosit terjadi
akibat pengikatan fragmen C3g, adanya antibodi virus dengue, dan
konsumsi trombosit selama proses koagulopati di perifer. Adanya
gangguan pelepasan ADP serta kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang
10

meningkat dapat mengakibatkan gangguan fungsi trombosit.


(Suhendro et al, 2014).
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel
yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukan
terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium
III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi
melalui aktovafi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsic
juga berperan melalui aktivasi factor Xia namun idak melalui aktivasi
kontak (kalikrein C1-Inhibitor complex) (Suhendro et al, 2014).

6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bervariasi
tergantung dari strain virus dan faktor pejamu seperti usia, status imun,
dan lain lain. Manifestasi klinis dapat berupa asimtomatik, viral syndrome,
demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD), termasuk sindrom
renjatan dengue/ dengue hock syndrome (DSS). Infeksi oleh satu macam
serotipe virus dengue bisa memberikan imunitaas sepanjang hidup namun
pada serotipe virus yang berbeda hanya bertahan dalam watu yang singkat.
(WHO 2011)
11

Dengue virus infection

Asymptomatic Symptomatic

Undifferentiated Dengue fever Dengue


Expanded dengue
Fever (DF) haemorrheagic
Syndrome/
(viral syndrome) fever (DHF)
Isolated organopathy
(with plasma
(unusual manifestation)
leakage)

Without
haemorrhage With unusual
DHF DHF with shock
haemorrhage
non-shock Dengue shock
syndrome (DSS)

a. Undifferentiated fever
Orang yang terinfeksi virus dengue terutama saat pertama kali
atau infeksi primer akan mengalami gejala demam yang sulti dibedakan
dari infeksi virus lainnya. Gejala lain yang mungkin menyertai adalah
ruam makulopapupar, gejala saluran napas atas, dan gejala gastrointestinal.
(WHO 2011)
b. Dengue fever
Dengue fever atau demam dengue paling sering ditemukan pada
anak yang lebih tua, remaja, atau dewasa. Demam bersifat akut, tinggi, dan
biasanya bifasik. Demam bisa bertahan 2-7 hari dan biasanya disertai
mual, muntah, dan penurunan nafsu makan. Sakit kepala hebat, nyeri retro-
12

orbital, nyeri otot, nyeri sendi, ruam, leukopenia, dan trombositopeia juga
sering ditemukan. (WHO 2011)
c. Dengue haemorrhagic fever
Dengue haemorrhagic fever atau demam berdarah dengue lebih
sering terjadi pada anak usia < 15 tahun terutama pada daerah
hiperendemis karena ifeksi berulang virus dengue ini. Namin fenomena ini
juga nampaknya sudah mulai meningkat pada orang dewasa. Gejala yang
sering muncul berupa diathesis hemoragik seperti tes tourniquet (+),
petekie, dan perdarahan saluran cerna pada kasus yang berat. (WHO 2011)
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan hematokrit
>20% ( dibandingkan standar usia dan jenis kelamin atau bila
dibandingkan dengan nilai Hematokrit sebelumnya). Adanya fusi pleura,
asites, maupun hipoproteinemua menandakan telah terjadi kebocoran
plsma. (Suhendro et al, 2014)
d. Dengue Shock Syndrome
Lekopenia progesif yang diikuti oleh penurunan kadaar trombosit
dengan cepat biasanya mendahului kebocoran plasma yag nantinya jika
volume plasma berkurang drastis akan terjadi syok. Syok pada pasien
DBD yang biasa disebut dengue shock syndrome (DSS) sering terjadi pada
hari ke 4-5 oenyakit. DSS akan muncul dengan gejala nadi yang cepat dan
lemah, bahkan dalam keadaan berat tidak teraba, tekanan darah turun
(<20mmHg), hipotensi, CRT > 2 detik, kulit dingin dan lembab disertai
gelisah. (WHO 2011)
e. Expanded dengue syndrome
Pada beberapa kasus, infeksi dengue dapat terjadi tanpa adanya
tanda-tanda kebocoran plasma. Namun terdapat manifestasi yang jarang
ditemukan yang dapat meliatkan hati, ginjal, otak, atau jantung. Diduga hal
inibehubungan dengan koinfeksi, komorbiditas, atau komplikasi dari syok
berkepanjangan. (WHO 2011)
13

7. Diagnosis
Menurut WHO tahun 2011 diagnosis infek dengue dapat
ditegakan melalui kriteria berikut: (WHO 2011)
a. Demam Dengue (DD)
Demam akut disertai minimal 2 dari tanda berikut:
1) Sakit kepala
2) Nyeri retro-orbital
3) Nyeri oto
4) Nyeri sendi
5) Ruam
6) Manifestasi perdarahan
7) Leupenia ≤ 5000 sel/mm3
8) Trombositopenia ≤ 150.000 sel/mm3
9) Peningkatan hematokrit 5-10%
Dan disertai 1 dari tanda berikut:
1) Tes serologi positif
2) Terdapat kasus DBD di waktu dan lokasi tempat
tinggal yang sama dengan pasien
b. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Semua tanda dibawah ini :
1) Demam akut 2-7 hari
2) Manifestasi perdarahan: tes tourniquest positif,
petekie, ekimosis atau purpura, atau perdarahan
mukosa, perdarahan saluran cerna, dan lainnya.
3) Hitung trombosit ≤ 100.000 sel/mm3
4) Tanda kebocoran plasma: peningkatan
hematokrit/hemokonsentrasi ≥20%, efusi pleura,
asites, atau hipoproteinemia/albuminemia
c. Sindrom Syok Dengue
Kriteria demam berdarah dengue seperti diatas dengan
tanda-tanda syok dibawah ini.
14

1) Takikardi, akral dingin, CRT > 2 detik, nadi lemah,


dan letargi
2) Tekanan nadi ≤ 20 mmHg dengan peningkatan
tekanan diastolik, contoh 100/80 mmHG
3) Hipotensi bedasarkan usia. Tekanan sistolik < 80
mmHg untuk usia dibawah 5 tahun atau < 80-90
untuk anak yang lebih tua dan rang dewasa.

8. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti untuk meegakan infeksi virus dengue dapat
diperoleh dari hasil isolasi irus dengue (cell culture) ataupun deteksi
antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase
Polymerase Chain Reacton)< namun karena teknik yang lebih rumit, saat
ini tes serologi yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue
berupa antobodi total, IgM dan IgG. Parameter laboratoris yang dapat
diperiksa adalah: (Suhendro et al, 2014)
a. Leukosit: jumlah dapat normal atau menurun. Mulai
hari ke-3 dapat ditemui limfosit relatif (> 45% dari total
leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15%
dari jumlah total leukosit yang pada fase DSS akan
meningkat.
b. Trombosit: umunya akan trombositopenia pada hari ke
3-8.
c. Hematokrit: kebocoran plsma dibuktikan awal,
umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
d. Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang
dicurigai perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
e. Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat
kebocoran plasma.
f. SGOT/SGPT: dapat meningkat.
15

g. Ureum dan kreatinin: bila didapat gangguan fungsi


ginjal.
h. Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian
cairan.
i. Golongan darah dan cross match: bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah.
j. Immunoserologi dilakukan dengan pemeriksaan IgM
dan IgG
IgM: Terdeteks mulai hari ke 3-5, meningkat hingga
minggu ke-3, menghlang setelah 60-90 hari.
IgG: Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada
hari ke-14, pada infksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada
hari ke-2.
k. Haemagglutination Inhibition Test (HI)
HI paling sering digunakan di masa lalu untuk
diagnosis serologi rutin infeksi dengue. Uji ini sensitif dan
mudah dilakukan, membutuhkan peralatan minimal, dan
sangat akurat jika dilakukan dengan benar. Karen antibodi
HI bertahan lama (hingga lebih dari 50 tahun), tes ini baik
untuk studi sero-epidemiologi.

9. Penalalaksanaan
a. Terapi cairan intravena pasien DHF pada masa kritis
1. Indikasi:
a. Jika pasien tidak dapat menerima
intake cairan adekuat secara peroral
atau jika pasien muntah
b. Jika hematokrit terus meningkat 10
– 20 %
c. Shock atau shock yang tertunda
2. Prinsip pemberian:
16

a. Diberikan cairan kristaloid saat


kondisi kritis kecuali pada anak < 6
bulan (dapat diganti dengan sodium
klorida 0,45%)
b. Larutan dextran 40 atau larutan
koloid hiperonkotik lain dengan
osmolalitas > 300 mOsm/l
diberikan jika terjadi kebocoran
plasma atau pada pasien yang tidak
respon dengan volume kristaloid
rendah
c. Volume kontrol dehidrasi +5%
harus diberikan untuk menjaga
keseimbangan volume intravaskuler
dan sirkulasi yang adekuat.
d. Durasi terapi intravena tidak boleh
lebih dari 24 – 48 jam pada pasien
dengan shock. Namun pada pasien
tanpa shock, terapi diberikan
sampai 60 – 72 jam
e. Pada pasien dengan obesitas,
digunakan berat badan ideal untuk
menghitung jumlah cairan yang
dibutuhkan. (WHO, 2011)
ii. Terapi pasien dengan shock
1. Rehidrasi cairan kristaloid awal 20 ml/kg
selama 15 – 30 menit
2. Jika tanda shock menghilang, kurangi
cairan hingga 10 ml/kg untuk 1 – 2 jam
3. Ulangi pemeriksaan kadar hematokrit.
Apabila nilai hematokrit lebih rendah dari
17

4. nilai awal, maka kurangi lagi cairan


menjadi 5 – 7 ml/kg dalam 4 – 6 jam
5. Jika setelah rehidrasi awal pasien tetap
menunjukkan gejala shock, ulangi
pemberian cairan 20 ml/kg selama 15 – 30
menit
6. Jika setelah 2x pemberian bolus kristaloid
intravena awal kondisi pasien tidak
membaik, berikan bolus ketiga dengan
dosis dan waktu sesuai dengan bolus
pertama dan kedua. Kemudian lakukan
reevaluasi. Apabila pasien menunjukkan
perbaikan, maka turunkan dosis sesuai
anjuran poin ii dan iii
7. Namun bila pasien terus mengalami
kondisi yang sama (shock persisten)
berikan cairan koloid intravena 10 – 20
ml/kg selama 30 – 60 menit
8. Apabila terjadi perbaikan, berikan cairan
kristaloid 10 ml/kg/h selama 2 jam dan
turunkan perlahan
9. Namun bila tidak membaik, berikan koloid
dosis kedua 10 – 20 ml/kg dalam satu jam
10. Bila tetap tidak membaik, periksa kondisi
hemodinamik pasien, dan mungkin
dilakukan hal-hal berikut:
a. Tentukan fungsi pompa jantung dan
penggunaan amine
b. Evaluasi kondisi medis yang
menyertai
18

c. Evaluasi asidosis yang persisten


dan risiko perdarahan serta lakukan
terapi
d. Jika diperlukan cairan tambahan
dalam 24 jam, kecepatan dan
volume cairan tergantung pada
respon klinis pasien.
e. Pasien dengan dengue yang berat
harus segera dibawa ke unit
perawatan intensif dengan dokter
dan perawat yang telah ahli (WHO,
2016)

10. Derajat Infeksi Virus Dengue


Berdasarkan WHO 2009, derajat keparahan infeksi dengue
secara umum dibagi menjadi 2 kategori yaitu dengue tidak berat (non-
severe dengue) dan dengue berat (severe dengue). Dengue tidak berat
dibagi lagi menjadi dengue tanda peringatan (dengue with warning signs)
dan dengue tanpa tanda peringatan (dengue without warning signs).
(WHO 2009) Kriteria derajat penyakit infeksi virus dengue menurut WHO
2009 :
19

Klasifikasi kasus dengue dan tingkat keparahannya (WHO 2009)

Dengue tidak berat

Dengue tanpa tanda peringatan Dengue dengan tanda Dengue berat


peringatan

Probable dengue Pasieb yang memenuhi Pasien yang memenuhi


Tinggal di / bepergian ke area kriteria dengue ditambah kriteria dengue dengan
endemis dengue. Demam dan dengan tanda peringatan tambahan gejala kebocoran
mengalami 2 gejala berikut: sebagai berikut: plasma berat dapat
 Mual, muntah  Nyeri perut menyebabkan:
 Ruam kulit  Muntah persisten  Syok(SSD)
 Nyeri kepala/retroorital  Gambaran klinis  Akumulasi cairan
 Ter tourniquiet (+) akumulasi cairan dengan distress

 Leukopenia  Perdarahan mukosa pernapasan

 Letargi, testlesness  Perdarahan berat

Dengue yang terkonfirmasi  Pembesaran hepar >2


Keterlibatan organ yang
pemeriksaan laboratorium cm
berat
(penting saat tidak ada tanda  Lab: peningkatan
 Hepar: SGOT atau
kebocoran plsma hematokrit dengan
SGPT ≥ 1000
penurunan cepat
 SSP: peurunan
htung trombosit
kesadaran
 Jantung dan organ
lain

Sumber: WHO Dengue Guidlines for Diagnosis, Treatment, Preventation and


Control.2009
20

Selain berdasarkan kriteria WHO 2009 diatas, terdapat juga


klasifikasi derajat keparahan infeksi dengue berdasarkan WHO 2011 yang
membagi tingkat keparahan menjadi 5 tingkat yaitu demam dengue (DD)
serta demam berdarah dengue (DBD) derajat I, II, III, dan IV. Kriteria
untuk masing masing tingkat ada dibawah ini: (WHO 2011)
Klasifikasi kasus dengue dan tingkat keparahannya (WHO 2011)

Kriteria infeksi Derajat Gejala Laboratorium


dengue
DD Demam disertai 2 atau
lebih tanda: 1. Leukopeni (leukosit ≤ 5000
Sakit kepala, nyeri sel/mm3
retroorbita, mialgia, 2. Trombositopenia (trombosit <
artralgia, ruam, 150.000 sel/mm3
manifestasi perdarahan 3. Peningkatan hematocrit (5-10%)
4. Tidak ada tanda kehilangan plasma

DBD I Gejala DD ditambah uji Trombositopenia (<100.000/μl)


tourniquet positif dan dengan bukti ada kebocoran plasma
terdapat kebocoran plasma dan peningkatan nilai hematokrit
>20%
DBD II Gejala DBD derajat I
ditambah perdarahan 1. Trombositopenia (<100.000/μl)
spontan (perdarahan dengan bukti ada kebocoran plasma
mukosa, saluran cerna, dan peningkatan nilai hematokrit
ekimosis, purpura), >20%
hematemesis atau melena 2. Hemostasis bisa abnormal

*DBD III Gejala DBD derajat II


ditambah kegagalan 1. Trombositopenia (<100.000/μl)
sirkulasi (kulit dingin, dengan bukti ada kebocoran plasma
lembab serta gelisah) dan peningkatan nilai hematokrit
21

>20%
2. Hemostasis bisa abnormal

*DBD IV Syok berat disertai dengan


tekanan darah dan nadi 1. Trombositopenia (<100.000/μl)
tidak terukur dengan bukti ada kebocoran plasma
dan peningkatan nilai hematokrit
>20%
2. Hemostasis bisa abnormal

Sumber: Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and


Dengue Haemorrhagic Fever. 2011

Untuk DBD derajat III dan IV digolongkan juga sebagai sindrom syok dengue
(SSD)
11. Efek Infeksi Dengue pada Sel Hati

Tingkat viremia tinggi yang tinggi pada infeksi virus dengue


terkait dengan keterlibatan berbagai organ dalam bentuk penyakit yang
parah (Martina, Koraka, & Osterhaus, 2009). Hati adalah organ yang
paling umum mengalami kerusakan. Manifestasi hepatik dapat timbul
akibat dari toksisitas virus langsung atau disregulasi imunologis saat
merespon virus. Spektrum keterlibatan hati ditandai dengan peningkatan
asimtomatik transaminase hati seiring meningkatnya keparahan infeksi
(Samanta & Sharma, 2015). Hepatosit dan sel kupffer merupakan target
primer infeksi virus dengue (Senevirante, Malavige, & Silva, 2006), hal ini
telah dikonfirmasi dalam biopsi dan otopsi kasus fatal (Huerre, 2001).
Dalam menginfeksi sel targetnya, langkah pertama yang dilakukan virus
adalah pelekatan pada reseptor yang ada pada permukaan sel inang.
Protein E memiliki peran dalam penempelan dari virus, meskipun sifat
pasti reseptor yang digunakan masih belum diketahui (Senevirante,
Malavige, & Silva, 2006). Heparan Sulfat memainkan peran penting
sebagai katalisator masuknya DENVs ke dalam sel hati (HepG2). Dalam
22

sebuah penelitian, DEN-1 dapat menginfeksi dan bereplikasi dalam sel


HepG2, hal ini menunjukan adanya interaksi virus dengan sel hapar
sehingga memperkuat dugaan bahwa sel hepat merupakan target potensial
virus dengue (Thepparit & Smith, 2004). Dalam memilih targetnya, virus
memilih sel dengan lingkungan yang kondusif bagi virus untuk tumbuh
dan berkembang di dalam sel inang, kondisi lingkungan ini dipengaruhi
oleh serotipe virus, strain dan tipe sel. Misalnya, sel pada fase G2 sel lebih
rentan terhadap infeksi dengue bahkan dapat mempercepat replikasi virus
(Phoolcharoen & Smith, 2004). Walaupun terdapat banyak pendapat
mengenai mekanisme invasi virus dengue, namun beberapa ahli telah
menyetujui bahwa pengikatan virus dengue ke hepatosit terfasilitasi. Hal
ini berarti satu ikatan mendorong pengikatan partikel berturut-turut, serupa
dengan pengikatan oksigen pada hemoglobin. Setelah penempelan virus,
internalisasi dilakukan dengan fusi langsung atau endositosis. Jalur masuk
ini dapat diperantarai atau bahkan saat tidak diperantarai oleh reseptor
(Senevirante, Malavige, & Silva, 2006). Hasil akhir dari infeksi hepatosit
oleh virus dengue adalah apoptosis seluler, fenomena ini telah ditunjukkan
baik secara in vivo maupun in vitro. Setelah apoptosis, yang tersisa dari sel
hanyalah councilman bodies (Matsuda et al., 2005). Menurut Samanta &
Sharma (2015), berbagai jalur yang terlibat dalam apoptosis ini adalah
adanya sitopati viral, disfungi mitokondria akibat hipoksia, respon
imunitas sel host, dan stress pada retikulum endoplasma yang dipercepat
Aktivasi apoptosis sel mitokondria berasal dari cacat fungsional dan
morfologi struktur akibat hipoksia jaringan. Kondisi tersebut menstimulasi
TRAIL dan TNF-α sehingga terjadi disfungsi mitokndria oleh ekspresi
virus dengue (Nagila et al., 2013). Konsentrasi sitokin seperti interleukin
(IL) -2, IL-6, tumor necrosis factor-α (TNF-α), dan interferon-γ (IFN- γ)
mencapai tingkat puncak pada 3 hari pertama.Hingga saat ini belum
diketahui mekanisme bagaimana sistem imunitas host merusak hati.
Namun cedera pada demam berdarah diyakini merupakan proses yang
dimediasi sel T yang melibatkan interaksi antara antibodi dan sel endotel
serta sitokin ditambah polimorfisme genetik dari faktor host
23

12. Enzim Aminotransferase Hati (AST dan ALT)

Hati normalnya akan menghasilkan beberapa produk salah


satunya protein yang disebut sebagai enzim. Enzim adalah protein
katalisator yang dihasilkan oleh sel hidup dan umumnya terdapat di dalam
sel. Pada kondisi normal terdapat keseimbangan antara pembentukan
enzim dengan penghancurannya. Apabila terjadi kerusakan sel atau
peningkatan permeabilitas membran sel, enzim akan banyak keluar ke
ruang ekstra sel dan masuk ke sirkulasi. Oleh sebab itu, salah satu jenis
pemeriksaan yang sering dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan
hati adalah pemeriksaan enzimatik Penilaian kadar enzim transaminase
merupakan pemeriksaan yang sering digunakan untuk mengukur level
beberapa jenis enzim hati. Enzim tersebut berfungsi sebagai protein
spesifik yang membantutubuh untuk memecahkan dan memetabolisme
substansi yang diperlukan dengan mengkatalisis reaksi transaminasi
(Bernal & Wendon, 2013). Menurut Gowda et al (2009), terdapat dua
produk yang biasanya diukur sebagai bagian dari gambaran enzim
transaminase: a. ALT (alanine transaminase), disebut juga sebagai SGPT
(serum glutamik piruvik transaminase) b. AST (aspartat transaminase),
disebut juga sebagai SGOT (serum glutamik oksaloasetik transaminase)
Enzim aspartat transaminase (AST) merupakan enzim mitokondria yang
berfungsi mengkatalisis pemindahan bolak-balik gugus amino dari asam
aspartat ke asam α- oksaloasetat membentuk asam glutamat dan
oksaloasetat (Price, Sylvia A, & Wilson, 2006). AST dapat ditemukan
dalam sel hepar, otot jantung, otot rangka, ginjal, otak, pancreas, pulmo,
white blood cell, dan eritrosit. Banyaknya organ yang terlibat
menyebabkan tes ini kurang spesifik untuk mendiagnosis penyakit hati.
Enzim yang dibuat dalam sel hepatosit adalah Alanine Transaminase
(ALT). ALT memiliki konsentrasi yang tinggi di hepar dan terdapat dalam
jumlah kecil pada organ lain. Hal ini menjadikan ALT menjadi penanda
yang lebih spesifik untuk menandakan kerusakan hati dibandingkan AST.
Kadar ALT meningkat hampir diseluruh penyakit yang menyebabkan
peradangan pada hati seperti hepatitis, sirosis postneurotik, dan efek
24

hepatotoksik obat (Kemenkes Kesehaatan, 2010). Pada kondisi normal


enzim yang dihasilkan oleh sel hati konsentrasinya rendah dalam darah.

Tabel 2. Nilai Rujukan AST dan ALT


UKURAN SATUAN NILAI RUJUKAN
ALT/SGPT U/L Perempuan : <54
Laki – Laki : < 63
AST/SGOT U/L <41
Sumber: Lee et al., 2012
Dalam beberapa penelitian ditemukan terdapat pebedaan kadar
rerata bilirubin serum, AST, dan ALT yang signifikan antara pasien DD
dengan DBD. Disfungi hepar lebih parah terjadi pada pasien DBD dan
DSS. Sebanyak 10% persen pasien DBD dan 100% pasien DSS
mengalami peningkatan AST >10 kali nilai normal, sedangkan
peningkatan kadar ALT >10 kali normal ditemukan pada 88,9% pasien
DSS. (Jnaneshwari et al, 2014). Umumnya kadar AST meningkat lebih
cepat dan kadar puncaknya lebih tinggi dari ALT. Hal ini tergolong
berkebalikan dengan infeksi virus lainnya yang menyerang hati. Kadar
AST yang tinggi kemungkinan bukan hanya berasal dari kerusakan hepar
saja, tetapi juga dari cedera miosit mengingat gejala musculoskeletal yang
sering menyertai infeksi dengue seperti nyeri otot/sendi (Jnaneshwari et
al., 2014; Kuo et al, 1992).

13. Albumin pada penderita infeksi virus Dengue


a. Albumin serum
Albumin merupakan protein utama dalam plasma manusia dan
menyusun sekitar 60% dari total protein plasma. Sekitar 40% dari albumin
terdapat dalama plasma dan 60% lainnya terdapat dalam ruang
ekstraseluler. Albumin manusia terdiri atas satu rantai polipeptida yang
tersusun dari 585 asam amino dan mengandung 17 ikatan sulfida. Karena
massa molekulnya yang relatif rendah (kurang lebih 69 kDa) dan
konsentrasinya yang tinggi albumin diperkirakan bertanggung jawab atas
25

75-80% dari tekanan osmotik plasma manusia.(Murray et al, 2010) Kadar


normal albumin dalam serum antara 3,5-4,5 g/dL, dengan kandungan total
tubuh 300-350 g. Fungsi albumin yang penting lainnya adalah
kemampuannya untuk mengikat berbagai macam ligand. Ligand ini
mencakup asam lemak bebas (FFA),kalsium, hormon steroid tertentu,
bilirubin dan sebagian triptofan plasma. Selain itu, sejumlah obat
diantaranya sulfonamid, penisilin G, dikumarol dan aspirin juga terikat
dengan albumin.(Nimmanitya, 1993; 48-54)

b. Albumin serum pada penderita infeksi virus Dengue


Pada pasien infeksi virus Dengue, kadar albumin akan menurun
seiring beratnya penyakit. Pada infeksi virus Dengue dengan derajat
sedang hingga berat, yaitu pada derajat DBD akan ditemukan keadaan
hipoalbuminemia. Kebocoran plasma, yang diindikasikan
hipoalbuminemia pada dengue, merupakan indikator berat penyakit.
Albuminemia lebih dari 4g/dL berhubungan dengan resiko rendah DBD.
Hal tersebut mungkin karena tingginya jumlah albuminemia
menggambarkan integritas sel endotel pembuluh darah, sebaliknya kadar
albumin kurang dari 4g/dL dapat dijadikan sebagai indikator awal dari
perubahan permeabilitas pembuluh darah. Oleh karena itu, kadar albumin
dapat dijadikan indikator awal kebocoran plasma dan bermanfaat untuk
penanda prognostik. (Villar et al, 2008)
Keadaan hipoalbuminemia pada infeksi virus Dengue derajat
yang berat berkaitan dengan adanya proses inflamasi akut. Sitokin (TNF,
IL6) yang dilepaskan sebagai sebagai respon inflamasi terhadap respon
inflamasi terhadap respon fisiologis ( infeksi, pembedahan, trauma) dapat
menurukan kadar albumin serum dengan beberapa mekanisme, yaitu
peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehinnga albumin akan
berdifusi ke ruang ekstravaskuler. Selain itu, adanya peningkatan
degradasi dan penurunan sintesis akibat aktivasi TNF-α, yang menurunkan
transkripsi gen albumin. (Peralta 2010)
26

14. Hubungan Albumin dan Enzim transaminase dengan pasien


demam berdarah dengue yang mengalami syok
Dengue Shock Syndrome (DSS) adalah kegagalan sirkulasi darah
karena kebocoran plasma dalam darah akibat permeabilitas kapiler darah
yang meningkat ditandai dengan denyut nadi lemah dan cepat (tidak
teraba), penyempitan pembuluh darah atau nadi, hipotensi (tekanan
darah tidak terukur), kulit yang dingin dan lembab, tampak lesu3, lemah
dan gelisah hingga terjadinya syok/renjatan berat (WHO, 2009)
(Kemenkes RI, 2013).Kebocoran plasma merupakan komplikasi infeksi
dengue yang dapat mengakibatkan cairan plasma intravaskular dan
albumin ke luar ke ruang ekstra vaskular. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan hipovolemia dan hipoalbuminemia. (WHO-TDR, 2009)
(Suwarto et al,2017) Hipovolemia yang tidak mendapat penatalaksanaan
secara dini dapat mengakibatkan sindroma renjatan dengue (DSS).
(Srikiatkhachorn 2009)
Pada penelitian imunopatogenesis infeksi virus Dengue
menunjukkan adanya peningkatan antibodi, inflammatory cells dan
berbagai sitokin yang berakibat pada gangguan permeabilitas endotel dan
disfungsi organ. ( Yati, AW dan Ronald MN, 2017) Adanya defek pada
endotel sangat mempengaruhi kadar albumin dalam darah. Penurunan
kadar albumin digunakan sebagai penanda awal kebocoran plasma,
yang artinya perjalanan penyakit infeksi dengue menjadi bertambah
berat. ( Suvarna JC dan Rane PP, 2009) Kemudian, disfungsi organ hepar
merupakan salah satu akibat dari infeksi dengue yang sering muncul
dalam bentuk hepatomegali dan peningkatan ringan sampai sedang
kadar enzim aminotransferase walaupun jaundice dan gagal hepar akut
jarang terjadi. Dalam sebuah penelitian ditemukan hanya 3% pasien
dengue yang memilki SGOT dan SGPT normal. Dan juga, kadar SGOT
ditemukan lebih tinggi dibanding kadar SGPT pada pasien dengue. (Trunk
et al, 2010) Hal ini sesuai dengan kriteria WHO 2009 ,dimana menurut
27

WHO 2009 peningkatan SGOT / SGPT ≥ 1000 U/liter juga merupakan


tanda bahwa penyakit sudah memberat
28

B. KERANGKA TEORI
Infeksi virus dengue

Sumsum Tulang Makrofag Hepar


\Sel endotel jaringan

Hemopoesis Replikasi virus di


Disfungsi hepatosit dan sel
endotel Sitokin Kupffer
Proinflamasi

Trombositopenia
Permeabilitas PGE IL-1 Kematian sel hepar
dan fragilitas TNF-α
pembuluh Gangguan
darah
koagulasi
(koagulopati) Disfungsi
organ hepar
Ekstravasasi
cairan plasma Manifestasi
perdarahan
Demam

Hemokonsent Pelepasan enzim


rasi aminotransferase ke
dalam darah

Hematokrit

Kadar
Keterangan : Albumin
SGOT SGPT
( ) :Tidakditeliti Demam
Dengue
( ) :Diteliti

Mengalami DSS (Dengue Tidak Mengalami DSS


Syok Sindrom) (Dengue Syok Sindrom)
29

C. HIPOTESIS

1. Terdapat Hubungan antara pasien DBD yang mengalami DSS dan tidak
mengalami DSS pada kadar Albumin
2. Terdapat Hubungan antara pasien DBD yang mengalami DSS dan tidak
mengalami DSS pada kadar enzimtransaminase
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional
dengan pendekatan cross sectional untuk mengetahui perbedaan
antara kadar albumin dan Kadar enzim transaminase pada pasien
DBD yang mengalami DSS dan tidak mengalami DSS

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah
Dr. Moewardi Kota Surakarta. Pengumpulan data dilaksanakan di
bagian instalasi rekam medis pada bulan September – Oktober 2018

C. Populasi dan Sampel


Populasi Target
Pasien penderita demam berdarah dengue yang mengalami DSS
dan tidak mengalami DSS

Populasi Terjangkau
Pasien penderita demam berdarah dengue (DBD) yang menjalani
rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Kota Surakarta

Sampel penelitian

Pasien penderita demam berdarah dengue yang mengalami DSS


dan tidak mengalami DSS yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Moewardi Kota Surakarta.

D. Besar Sampel
Besar sampel yang akan digunakan dalam penelitian dihitung dengan
mengunakan rumus:

30
31

2
(Zα √ 2 PQ +Zβ √ P 1 ( 1−P 1 )+ P 2 ( 1−P 2 ))
n1 =n2= 2
(P 1−P 2)
Keterangan:
n1 : Jumlah sampel pada kelompok kasus
n2 : Jumlah sampel pada kelompok kontrol
Zα : Nilai Z pada derajat kepercayaan = 1,645
Zβ : Nilai Z pada kekuatan uji = 0,842
OR : Odds ratio pada kelompok yang sudah diketahui nilainya pada
penelitian terdahulu = 9,65 (Khan et al, 2013; Suryadi et al, 2017)
P1 : Proporsi efek pada kelompok kasus
P2 : Proporsi efek pada kelompok kontrol = 0,5
P : Proporsi total
¿ x P2
P1=
( 1−P2 ) +(¿ x P2 )
9,65 x 0,5
P1=
( 1−0,5 )+(9,65 x 0,5)
4,825
P1= =0,9
5,325
P1 + P2 0,9+ 0,5
P= = =0,7
2 2
Q=1−P=1−0,7=0,3
2
(1,645 √ 2 x 0,7 x 0,3+ 0,842 √ 0,9 ( 1−0,9 )+ 0,5 ( 1−0,5 ) )
n1 =n2=
(0,9−0,5)2
( 1,0528+0,4883 )2 2,3749
n1 =n2= 2
= =14,84=15
( 0,9−0,5 ) 0,16
Sehingga didapatkan hasil untuk kelompok kasus dan kontrol masing-
masing 15 sampel atau total sampel minimal berjumlah 30 sampel.
Namun, untuk mengantisipasi adanya data yang kurang lengkap, dropout,
atau hilang pengamatan, maka jumlah sampel ditambah dengan asumsi
lepas pengamatan 10%, sehingga perlu dilakukan koreksi terhadap besar
sampel dengan menggunakan rumus:
' n
n=
1−f
32

' 30
n=
1−0,1
30
n' =
0,9
'
n =33.33
Jadi, jumlah sampel akhir dari penelitian ini minimal 33 sampel.

E. Teknik Sampling
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan teknik
consecutive sampling

F. Kriteria Sampel
Kriteria Inklusi
1. Pasien demam berdarah dengue yang berusia ≥ 18 tahun
2. Pasien yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah
Dr. Moewardi Kota Surakarta
3. Pasien yang diperika kadar albuminnya pada hari ke 3, 4, 5, 6,
atau 7 onset demam
4. Pasien yang diperika kadar SGOT dan SGPT nya pada hari ke 3,
4, 5, 6, atau 7 onset demam

Kriteria Eksklusi
1. Pasien dengan penyakit yang dapat mempengaruhi kadar albumin
dan kadar kolesterol total (sepsis, penyakit hepar kronis dan
sindroma nefrotik).

G. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : kadar albumin dan kadar enzim tranaminase
2. Variabel terikat : derajat infeksi virus dengue
3. Varibel luar
Variabel terkendali : jenis kelamin, umur
33

H. Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat ukur Cara Skala
pengukuran
Derajat penyakit Dibagi menjadi SSD dan Non SSD Rekam Berdasarkan Nominal
menurut WHO 1997, dengan definisi:
infeksi virus 1. Non SSD yaitu DBD derajat I (Gejala medis diagnosis yang
dengue DD ditambah uji bendung positif, di rekam medis.
trombositopenia (<100.000/μl)
dengan bukti ada kebocoran plasma
dan peningkatan nilai hematokrit
>20%) dan DBD derajat II (Gejala
DBD derajat I ditambah perdarahan
spontan yaitu: perdarahan mukosa,
saluran cerna, ekimosis, purpura,
hematemesis atau melena, lalu
trombositopenia (<100.000/μl)
dengan bukti ada kebocoran plasma
dan peningkatan nilai hematokrit
>20%, hemostasis bisa abnormal)
2. SSD (Sindrom Syok Dengue) yaitu
DBD derajat III (Gejala DBD derajat
II ditambah tanda kegagalan sirkulasi
seperti: kulit dingin, lembab serta
gelisah, trombositopenia
(<100.000/μl) dengan bukti
kebocoran plasma dan peningkatan
nilai hematokrit >20%, hemostasis
bisa abnormal) dan DBD derajat IV
(Syok berat disertai dengan tekanan
darah dan nadi tidak terukur,
trombositopenia (<100.000/μl)
dengan bukti kebocoran plasma dan
peningkatan nilai hematokrit >20%,
hemostasis bisa abnormal).
Albumin Kadar albumin serum yang diambil dari Rekam Kriteria kadar Rasio
sampel darah vena, diperiksa oleh medis albumin
laboratorium Patologi Klinik. Kadar (hasil 1. Normal
normal albumin dalam serum antara 3, pemeriksa Jika 3,4 - 5, 4
4-5, 4 g/dL. an mg/dl
laboratoriu 2. Tidak normal
m Jika < 3, 5 mg/dl
SGOT SGOT(Serum Glutamic Oxaloasetik Rekam 1= kadar ALT Ordinal
Transminase) adalah enzim yang medis normal
34

terdapat di sel hepar, sel miokardium, 2= kadar ALT


sel otot rangka, ginjal yang akan meningkat
meningkat kadarnya jika terdapat < 3 kali
kematian sel – sel tersebut nilai
normal
3= kadar ALT
meningkat
3-9 kali
nilai
normal
4= kadar ALT
meningkat
≥ 10 nilai
Normal
SGPT SGPT (Serum Glutamic Piruvate Rekam 1= kadar ALT Ordinal
Transaminase) adalah enzim yang medis Normal
terutama terdapat dalam sel hepar yang 2= kadar ALT
akan meningkat bila terjadi gangguan meningkat
fungsi hepar < 3 kali
nilai
normal
3= kadar ALT
meningkat
3-9 kali
nilai
normal
4= kadar ALT
meningkat
≥ 10 nilai
normal
Usia Lama hidup pasien dihitung dari saat Rekam Berdasarkan Ordinal
lahir samai ulang tahun terakhir saat medis data yang
35

pencatatn rekam medis didapat pada


kolom identitas
pasien .
Dikategorikan
menjadi:
18 – 24
25 – 34
35 – 44
45 – 54
55 – 64
≥65
Jenis kelamin Perbedaan biologis pada fisik manusia Rekam Berdasarkan Nominal
medis data yang
didapat pada
kolom identitas
pasien .
Dikategorikan
menjadi:
Laki-laki
Perempuan

I. Cara Kerja Penelitian


Peneliti datang ke bagian instalasi rekam medis RSUD Kota
Surakarta. Kemudia peneliti memilih dan menetapkan sampel.
Selanjutnya peneilit mengumpulkan data dari rekam medis pasien. Dan
yang terakhir melakukan analisis data dengan menggunakan metode uji
Chi Square menggunakan aplikasi
36

J. Skema Penelitian

Rekam medis pasien rawat inap DBD


di RSUD Dr. Moewardi Kota
Surakarta

Consecutive sampling dengan


memperhatikan kriteria inklusi
dan ekskluai

Sampel

Kadar SGOT Demam


Albumin
Dengue

Mengalami DSS (Dengue Tidak Mengalami DSS


Syok Sindrom) (Dengue Syok Sindrom)

Analisis data, Uji


Statistik

K. Analisis Data
Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode
uji Chi Square dmenggunakan aplikasi untuk menilai perbedaan antara
derajat infeksi dengue dengan kadar albumin dan kadar enzim. Albumin
dan kadar enzim transaminase pada masing-masing derajat infeksi dengue
menggunakan aplikasi SPSS
37

L. Jadwal Penelitian
TAHUN 2018

JULI AGUSTUS SEPTEMB OKTOBER NOVEMBER


ER
Penyusunan
Proposal
Ujian
Proposal
Perbaikan
Proposal
Pengambilan
Data
Pengolahand
anAnalisis
Data
Penyusunan
Skripsi
Ujian
Skripsi
Perbaikan
Skripsi
DAFTAR PUSTAKA

Bernal W & Wendon J. 2013. Acute Liver Failure. New England Journal of
Medicine. 369(26): 2525–2534.

Dahlan, M Sopiyudin. Besar sampeL dan cara pengambilan sampel dalam


penelitian kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika; 2014.
H.30-2

Dewi BE, Takasaki T, Sudiro TM, Nelwan R, Kurane I. Elevated Levels of Solube
Tumour Necrosis Factor Receptor 1, Thrombomodulin and Solube
Endothelial Cell adhesion Molecules in Patients with Dengue Hemorrhagic
Fever. Dengue Bulletin. 2007;Vol 31:103-10.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di


sarana pelayanan kesehatan. 19-34.

Dinas Kesehatan Kota Surakarta. Profil Kesehatan Kota Surakarta tahun 2016.
Surakarta: Dinas Kesehatan Kota Surakarta;2016. H. 56-59

Gibson RV. Dengue Conundrums. International Journal of Antimicrobial Agents.


2010;Vol 36(26-39).

Gowda S, Desai PB, Hull VV, Math AK, Vernekar SN, & Kulkarni SS. 2009. A
review on laboratory liver function tests. The Pan African medical journal.
3:17.

Guidelines for treatment of Dengue Fever / Dengue Hemorrhagic Fever in small


hospital. World Health Organization. New Delhi.1999;7.

38
39

Hardani, Muty, 2018. Hubungan Hasil Pemeriksaan Aspartate Transaminase


Dan Alanine Transaminase Terhadap Derajat Keparahan Pasien Infeksi
Dengue Di Rs Urip Sumoharjo Bandarlampung. Lampung : Universias
Lampung. Skripsi.

Huerre MR, Lan NT, Marianneau P, Hue NB, Khun H, Hung NT, et al. 2001.
Liver histopathology and biological correlates in five cases of fatal dengue
feverin Vietnamese children. Virchows Arch. 438(2):107-15.

Jnaneshwari M, Jayakumar S, Kumar AK, Uday G. 2014. Study of


serumaminotransferase levels in dengue fever. J of Evolution of Med and
Dent Sci.3(10):2445-55.

Khan MI, Anwar E, Agha A, et al. Factors predicting severe dengue in patients
with dengue fever. Mediterr J Hematol Infect Dis 2013; 5: e2013014.

Karyanti MR, Uiterwaal CSPM, Kusriastuti R, Hadinegoro SR, Rovers MM,


Heesterbeek H, dkk. The changing incidence of dengue haemorrgahic
fever in Indonesia : a 45-year registrybase analysis. BMC Infect Dis
2014;14:1-7

Kuo CH, Dar IT, Chi SC, Chi KL, Shue SC, & Yun FL. 1992. Liver biochemical
test and dengue fever. Am J Trop Med Hyg. 47(3):265-70.

Kementrian Kesehatan RI. 2010. Buletin jendela epidemiologi.


Jakarta:Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2:48

Kementrian Kesehatan RI. 2015. Profil kesehatan Indonesia 2014.


Jakarta:Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
40

Kementrian Kesehatan RI. 2013. Profil kesehatan Indonesia 2014.


Jakarta:Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun


2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2016. H. 179-
82
Koraka P, Suharti C, Setiati CE, Mairuhu AT, Van Gorp E, Hack CE, et al.
Kinetics of Dengue Virus-specific Immunoglobulin Classes and Subclasses
Correlate with Clinical Outcome of Infection. J Clin Microbio. 2001;Vol.
39 4332-8.

Kosasih, H. et al. 2016. The Epidemiology, Virology and Clinical Findings of


Dengue Virus Infections In a Cohort of Indonesian Adults in Western
Java. PLOS Neglected Tropical Deseases, pp.1-18.

Lee LK, Gan VC, Lee VJ, Tan AS, Leo YS, & Lye DC. 2012. Clinical relevance
and discriminatory value of elevated liver aminotransferase levels for
dengue severity. PLOS Negleted Tropical Diseases. 6(6):1-8.

Martina B, Koraka P, & Osterhaus A. 2009. Dengue virus pathogenesis:


anintegrated view. Clinical Microbiology Reviews. 22(4):564-81.

Matsuda T, Almasan A, Tomita M, Tamaki K, Saito M, Tadano M, et al.


2005. Dengue virus-induced apoptosis in hepatic cells is partly mediated
by Apo2ligand/tumour necrosis factor-related apoptosis-inducing ligand. J
Gen Virol. 86(4):1055-65.
41

Murray RK, Granner DK, Mayes PA. Biokimia harper. Diterjemahkan Hartono
A. Edisi 25. Jakarta: EGC. 2003; 254-702.

Nagila A, Netsawang J, Suttitheptumrong A, Morchang A, Khunchai S,


SrisawatC, et al. 2013. Inhibition of p38MAPK and CD137 signaling
reduce dengue virusinducedTNF-α secretion and apoptosis. Virol J.
10:105
Nimmanitya S. Clinical Manifestation of Dengue/ Dengue Hemorrhgic Fever.
New Delhi: WHO, SEARO 1993; 48-54.

Nicolas, Suryadi et al. 2017. Albumin Level as Predictor of Shock and Reccurent
Shock in Children with Dengue Hemorrhagic Fever, Vol. 20, No. 2

Peralta R. Hypoalbuminemia. Emedicine Medscape. 2010 [ update 2010 Apr 15;


cited 2011 Nov 1]Available from: http://emedicine. medscape.
com/article/166724-overview

Petdachai, W. 2005. Hepatic Dysfungtion in Children with Dengue Shock


Syndrome. Vol 29

Phoolcharoen W & Smith DR. 2004. Internalization of the dengue virus


iscellcycle modulated in HepG2, but not Vero cells. J Med Virol.
74:434-41.

Price, Sylvia A, & Wilson LM. 2006. Patofisiologi, konsep klinis proses-
prosespenyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
42

Pujiati, 2009.Perbedaan Gangguan Hemoestasis pada Penderita Demam


Berdarah Dengue tanpa Syok dan SSD (Sindrom Syok Dengue). Sultan
Agung, Vol.XLV.No.199

Rena NMRA, Utama S, & Parwati, T. 2009. Kelainan hematologi pada demam
berdarah dengue. Journal Penyakit Dalam. 10(3):218-25.

Samanta J & Sharma V. 2015. Dengue and its effects on liver. WJCC.
3(2):125-32.

Seneviratne SL, Malavige GN, & Silva HJ. 2006. Pathogenesis of


liverinvolvement during dengue viral infections. Trans R Soc Trop Med
Hyg. 100:608-14.

Sisjufri, Ahmad, 2014. Hubungan Kadar SGOT dan SGPT dengan DBD derajat
I dan II pada Pasien Dewasa Rawat Inap DI Rumah Sakit Umum (RSU)
Kot Tangerang Selatan Tahun 2014-2015. Jakarta : UIN
SyarifHidayatullah. Skripsi.

Sjahrurachman, Agus. Flaviviridae dalam: buku ajar mikrobiologi kedokteran.


Ed rev. Tangerang: Binarupa Aksara. H. 424-32

Soegijanto S. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue.


www.pediatrikcom/buletin/20060220- 8ma2gi-buletindoc; 2002 [cited
2010]; Available from: www.pediatrikcom/ buletin/20060220-8ma2gi-
buletindoc

Sowandoyo E, editor. Demam Berdarah Dengue pada Orang Dewasa, Gejala


Klinik dan Penatalaksanaannya. Seminar Demam Berdarah Dengue di
Indonesia 1998; RS Sumberwaras. Jakarta.
43

Saniathi, Elmy, 2009, Obesitas Sebagai Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue. Sari
Pediatri, Vol. 11, No.4, 238-243.

Suwarto S, Tedjo SR, Sinto R, Ibrahim E, Suryamin M. Association of endothelial


glycocalyx and tight and adherens junctions with severity of plasma
leakage in dengue infection. J Infect Dis. 2017;215(6):992-9. doi:
10.1093/infdis/jix041.
Srikiatkhachorn A. Plasma leakage in dengue haemorrhagic fever. Thromb
Haemost. 2009;102(6):1042-9.

Suhendro, Nainggolan L, L dkk. Demam berdarah denue dalam: buku ajar ilmu
penyakit dalam. Ed 6. Jakarta: Interna Publishing; 2014. H. 539-48

Suvarna JC, Rane PP. Serum lipid profile: a predictor of clinical outcome in
dengue infection. Holy Spirit Hospital, Mumbai, India; 2009. [ cited
2011 Sep 30]. Available from:http://www. ncbi. nlm. nih.
gov/pubmed/1001286.

Thepparit C & Smith DR. 2004. Serotype-specific entry of dengue virus into
livercells: identification of the 37-kilodalton/67-kilodalton high-affinity
lamininreceptor as a dengue virus serotype 1 receptor. J Virol. 78:12647-
56.

Trung DT, Thao LTT, Hien TT, dkk. Liver involvement associated with dengue
infection in adults in Vietnam. Am J Trop medHyg. 2010;83(4):774-80

Villar LA, Diaz FA, Martinez RA. Biochemical Alteration as Marker of Dengue
Hemorragic. Am J Trop Med Hyg. 2008;370-4.
44

World Health Organisation, 1997. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis,


treatment, prevention and control. 2nd edition. Geneva. www. who. int [
cited 2012 Jul 9].

World Health Organization. Ceomrehensive Guidelines for Prevention and


Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. India: WHO; 2011

WHO. Dengue dan severe dengue [internet]. World Health Organization; 2014
[disitasi tanggal 25 Juni 2018]. Tersedia dari: http://www. who.
int/mediacentre/factsheets/fs117/en/.

World Heatlth Organization. Dengue guidlines for diagnosis, treatment,


preventation and control. France: WHO; 2009. H. 5, 10-1, 25-8, 91-2,
97-9.

WHO-TDR, 2009. Dengue Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention and


Control. New Edition ed. France: WHO Library Cataloguing-in-Publication
Data.

Yasa, Wayan Putu Sutirta. et al. 2012. Trombositopenia Pada Demam Berdarah
Dengue. Medicina, Vol. 43, No.2, 114-21

Yati, AW dan Ronald MN. 2017. Hubungan Kadar Kolesterol Total dan Kadar
Albumin dengan Kebocoran Plasma pada Demam Berdarah Dengue. Vol 6
(3).

Anda mungkin juga menyukai