Anda di halaman 1dari 7

OHMIC HEATING APPLICATION TO FOOD PROCESSING

TEKNOLOGI OHMIC HEATING PADA PROSES PENGOLAHAN PANGAN

 
1.    Definisi
Pemanasan ohmik mengambil nama dari hukum Ohm, yang dikenal sebagai hubungan
antara arus, tegangan, dan tahanan. Pemanasan ohmik yang dikenal sebagai joule
heating atau resistance heating merupakan teknik pemanasan dengan melewatkan arus bolak
balik (AC) pada bahan pangan yang merupakan material konduktif. Pemanasan ohmik berbeda
dengan pemanas microwave dari segi penggunaan frekuensi. Pemanasan ohmik dioperasikan
dengan frekuensi rendah (50 sampai dengan 60 Hz) yang tidak akan merusak dinding sel,
sedangkan microwave dioperasikan pada frekuensi tinggi yaitu sekitar 915 sampai 2450 MHz
(Sastry, 2002). Teknologi pemanasan ohmik dapat diterapkan, tidak hanya untuk cairan tetapi
juga untuk multi-fase campuran cair-padat (Delgado et al., 2012). Dalam bidang pengolahan
pangan, pemanasan ohmik didefinisikan sebagai suatu proses dimana bahan pangan (cair,
padatan, atau campuran antara keduanya) dipanaskan secara simultan dengan mengalirkan
arus listrik melaluinya.
Pada pemanasan ohmik, hal penting yang perlu diperhatikan untuk memastikan
keberlangsungan perlakuan adalah mengetahui ‘cold spot’ bahan pangan. Apabila lokasi ‘cold
spot’ telah diketahui maka suhunya dapat diukur secara langsung (Knirsch et al., 2010).
Elektroda yang digunakan harus memiliki kemampuan menghantarkan listrik yang baik dan
komponennya tidak mudah untuk berpindah ke bahan pangan. Pemanasan ohmik dicapai
melalui aplikasi medan listrik (electric field) pada pangan yang memiliki konduktivitas listrik yang
berada diantara dua elektroda dan kontak langsung dengannya (Vicente and Ines, 2007).

2.   Prinsip Kerja
Secara teori, setiap bahan pangan memiliki hambatan (biasa dikenal sebagai specific
electrical resistance) yang dapat menghasilkan panas apabila ada listrik yang melewatinya
(Fellows, 2009). Dasar inilah yang digunakan dalam teknologi
pemanasan ohmik. Pemanasan ohmik menggunakan hambatan listrik dari produk pangan
tersebut untuk menghasilkan energi yang akan menyebabkan terjadinya kenaikan temperatur
sehingga pemanasan yang terjadi akan dapat berjalan cepat dan seragam (Sakr and Shuli,
2014). Bila dibandingkan dengan pemanasan konvensional dimana pemanasan diberikan dari
luar permukaan bahan pangan, maka pada pemanasan ohmik, pemanasan terjadi dari dalam
dan di seluruh bagian bahan pangan.

3.   Mekanisme Kerja
            Pada pemanasan ohmik, suhu konduktivitas listrik menjadi lebih tinggi, karena
terjadinya electro-osmosis yang tergantung dari besarnya medan voltase yang digunakan. Pada
voltase tinggi, electro-osmosis mendorong ion-ion melewati membran dinding sel bahkan pada
suhu lebih rendah (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010).
            Untuk menghasilkan panas, bahan pangan harus memiliki konduktifitas listrik. Bahan
pangan yang dilewati arus listrik memberi respon berupa pembangkitan panas secara internal
akibat adanya tahanan listrik dalam bahan pangan tersebut. Jumlah panas yang dibangkitkan
dalam bahan pangan akibat aliran arus berhubungan langsung dengan kerapatan arus yang
ditimbulkan oleh besarnya medan listrik (field strength) dan konduktifitas listrik dari bahan
pangan yang diolah. Konduktifitas listrik bahan pangan meningkat secara linier dengan
peningkatan suhu sehingga proses pemanasan menjadi semakin efektif dengan semakin
meningkatnya suhu selama proses pemanasan ohmik berlangsung (Salengke dan Sastry,
1999).

4.   Peralatan
Sistem pemanasan ohmik terdiri dari minimal 2 atau lebih elektroda, elektroda menjadi
faktor penting dalam merancang peralatan pemanasan ohmik. Perbedaan rancangan
tergantung pada lokasi dan posisi. Rancangan dapat disusun sebagai sistem statis dalam
kontainer atau aliran kontinu (Sakr and Shuli, 2014). Berikut adalah skema dari beberapa
rancangan dasar pada sistem pemanasan ohmik:
                                                                                                              

Gambar 1. Rancangan dasar dari sitem pemanasan ohmik. (a) sistem batch, untuk (b)-(d)


adalah sistem kontinu.
 
Bahan yang biasa digunakan untuk elektroda adalah titanium, stainless steel, platinized-
titanium, aluminium dan graphite. Untuk produk yang memiliki kualitas yang tinggi, biasanya
penggunaan logam seperti stainless steel lebih disarankan, pada saat yang sama frekuensi dan
tegangan harus ditingkatkan untuk mencegah terjadinya korosi (Sakr and Shuli, 2014).

5.   Keunggulan
            Keuntungan menggunakan pemanasan ohmik yaitu efisiensi konversi energi dan
kedalaman penetrasi lebih tinggi dibandingkan microwave. Selain itu Pencapaian temperatur
yang diinginkan berlangsung dengan cepat (>1oC/s), seragam, dan menyeluruh (tidak hanya di
permukaan). Sedangkan keunggulan utama dari pemanasan ohmik yaitu cepat dan system
pemanasannya yang relatif seragam dan merata, termasuk untuk produk yang mengandung
partikulat yang dapat mengurangi jumlah total panas yang kontak dengan produk dibandingkan
dengan pemanasan konvensional yang memerlukan waktu lama untuk terjadinya penetrasi
panas ke bagian pusat bahan (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010).

6.   Aplikasi
Pemanasan ohmik dapat digunakan untuk memanaskan makanan cair yang mengandung
partikulat besar, seperti sup dan makanan rebus dan irisan buah-buahan pada sirup, saus, dan
cairan sensitif panas. Aplikasi lain potensi ohmik pemanasan termasuk blanching, pencairan,
gelatinisasi, fermentasi, pengeringan dan ekstraksi (Ramaswamy, 2003). Beberapa penelitian
yang mengaplikasikan pemanasan ohmik yaitu sebagai berikut:

a.   Pasteurisasi Gochujang (Cho et al., 2016)


Gochujang (produk pangan tradisional Korea) yang memiliki nilai konduktivitas yang
rendah (0,458 W/m.K) dipasteurisasi menggunakan pemanasan ohmik dengan variasi
frequensi (40-20.000 Hz) dan tegangan (20-60 V). Hasilnya menunjukkan bahwa
pemanasan ohmik dengan frequensi 5 kHz dan tegangan 60 V merupakan perlakuan terbaik.
Penurunan jumlah mikroba strain Bacillus mencapai 99,7%. Hasil ini lebih baik dibandingkan
dengan pemanasan konvensional pada suhu 100oC selama 8 menit dimana penurunan jumlah
mikroba hanya 81,9%. Selain itu, kualitas organoleptik dan kandungan fisikokimia produk hasil
pasteurisasi frequensi (40-20.000 Hz) dan tegangan (20-60 V). Hasilnya menunjukkan bahwa
pemanasan ohmik dapat dipertahankan sesuai dengan produk awal dan lebih baik dari produk
hasil pasteurisasi konvensional. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa
pemanasan ohmik dapat diaplikasikan untuk proses pasteurisasi produk kental seperti
pasta Gochujang (lada merah fermentasi).
b.  Thawing pada daging beku (Duygu and Gurbuz, 2015)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan
pengaruh pemanasan ohmik dan secara konvensional terhadap jumlah dan kecepatan berat
yang hilang pada produk setelah thawing. Hasilnya menunjukkan bahwa proses thawing
dengan pemanasan ohmik memerlukan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan
konvensional. Pada pemanasan ohmik nilai kehilangan berat (loss weight) lebih kecil, begitu
juga nilai kerusakan nutrisi dan aktivitas mikroba selama thawing. Berdasarkan hasil tersebut
maka pemanasan ohmik dapat dijadikan alternatif thawing daging beku yang efektif.
c.   Pasteurisasi jus jeruk untuk menjaga kandungan karotenoid (Achir et al., 2015)
Pada penelitian tersebut dilakukan perbandingan pemanasan ohmik dan pasteurisasi
konvensional terhadap kandungan karotenoid jus jeruk. Hasilnya menunjukkan bahwa
penurunan kandungan karotenoid produk yang dipasteurisasi dengan pemanasan ohmik lebih
kecil dibandingkan dengan produk pasteurisasi konvensional. Pada pasteurisasi konvensional
penurunan kandungan eppoxyxantofil terjadi hingga 70% dan hidroxyxantofil 40%. Sedangkan
pada pemanasan ohmik nilai penurunannya dibawah 30% dan 20%. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pemanasan ohmik dapat menjadi alternatif pasteurisasi jus jeruk untuk menjaga
kandungan karotenoid khususnya xantofil.

7.   Parameter-Parameter yang Berpengaruh


Beberapa parameter yang mempengaruhi proses pemanasan ohmik, diantaranya adalah
sebagai berikut :
a. Arus dan Tegangan Listrik
Kerapatan arus listrik (current density) adalah rasio antara arus dan luas permukaan
elektroda. Hal ini penting untuk diperhatikan karena digunakan untuk merancang dimensi dari
elektroda. Beda tegangan listrik yang digunakan pada proses akan mempengaruhi
waktu pemanasan ohmik, pembentukan panas per unit waktu akan meningkat seiring dengan
kenaikan beda tegangan yang digunakan (Sakr and Shuli, 2014).
b.    Frekuensi dan Bentuk Gelombang
Frekuensi dan bentuk gelombang pada tegangan yang digunakan dapat memberikan
pengaruh pada nilai konduktivitas dan proses pemanasan bahan. Pada industri pangan
dilaporkan bahwa ketika frekuensi bahan ditingkatkan dari 50 – 10.000 Hz maka waktu yang
dibutuhkan untuk memanaskan bahan hingga suhu 80oC mengalami peningkatan 6 kali
lipat.  Pada proses pemanasan ohmik tipe frekuensi rendah yakni sekitar 50-60 Hz dapat
menyebabkan oksigen dan hydrogen mengalami perubahan dan akan menyebabkan elektrolisis
pada air (Sakr and Shuli, 2014).
c.    Konduktivitas Elektrik
Parameter utama yang mempengaruhi efektivitas proses pemanasan ohmik adalah
konduktivitas elektrik (σ). Konduktivitas elektrik menunjukkan nilai efektivitas bahan mampu
mengakomodasi pergerakan muatan elektrik. Nilai tersebut didapatkan dari rasio densitas dan
kekuatan medan listrik (Sakr and Shuli, 2014). Persamaannya yaitu sebagai berikut :

σ = (1/R) (L/A)
Dimana : σ (Sm-1) = kontivitas produk,   R (Ω)   = hambatan,
L(m)      = panjang dari sel,     A (m2) = luas area sel.

Konduktivitas listrik pada bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
adalah kekuatan ionik, air bebas dan struktur mikro dari bahan. Keberadaan komponen
ionik seperti asam dan garam akan meningkatkan nilai konduktivitas, sedangkan keberadaan
komponen non-polar seperti lemak dapat menurunkan nilai konduktivitas (Varghese et al.,
2014).  Konduktivitas listrik pada beberapa bahan tidaklah konstan dan itu bergantung pada
suhu bahan, normalnya berhubungan secara linier (Sakr and Shuli, 2014).
Efisiensi proses pemanasan ohmik bergantung pada konduktivitas listrik dari bahan
pangan. Semakin tinggi nilai konduktivitasnya maka efisiensinya akan semakin meningkat.
Setiap bahan memiliki nilai konduktivitas yang berbeda-beda, berikut adalah beberapa contoh
produk dengan dengan nilai konduktivitasnya.

Tabel 1. Nilai konduktivitas listrik dari beberapa jenis bahan pangan (Varghese et al., 2014)

d.    Ukuran, Kapasitas Panas dan Viskositas/Sifat Alir Bahan


Ukuran partikel bahan yang kecil seperti bentuk emulsi dan koloid (yang memiliki ukuran <
5 mm) efek orientasinya tidak begitu mempengaruhi konduktivitas namun pada bahan dengan
ukuran partikel yang lebih besar (15-25 mm) maka orientasinya pada medan listrik akan
memberikan efek pada konduktivitas listrik bahan yang tentu akan berpengaruh pada
kecepatan pemanasan (Vargeshe, 2014).
Bahan yang mempunyai kapasitas panas yang rendah maka akan cenderung untuk
panas lebih cepat dan sebalknya apabila bahan memiliki kapasitas panas yang tinggi maka
akan cenderung lambat proses pemanasannya (Vargeshe, 2014). Viskositas fluida bahan juga
mempengaruhi proses pemanasan ohmik, bahan yang memiliki viskositas fluida yang lebih
tinggi akan lebih cepat dalam proses pemanasan ohmik dibandingkan dengan bahan yang
viskositas fluidanya lebih rendah. (Sakr and Shuli, 2014). Pada pemanasan ohmik bahan yang
memiliki komponen padatan lebih banyak akan lebih cepat proses pemanasannya dibandingkan
apabila dalam bentuk cair. Ini terjadi pada bahan yang memiliki nilai konduktivitas yang sama.
Hal tersebut berbeda dengan proses pemanasan konvensional, dimana pada bahan cair proses
pemanasannya akan lebih cepat (Fellows, 2009). Berikut adalah grafik yang dapat kondisi
tersebut :

Gambar 2. Penetrasi panas pada bahan pangan. (a) pemanasan konvensional,


(b) pemanasan ohmik

8.   Efek Proses
a.   Efek Terhadap  Mikroba
Selama proses pemanasan ohmik yang akan menyebabkan terbentuknya pori-pori pada
membran sel sehingga sel mikroba menjadi inaktif. Pori-pori dapat terbentuk dengan berbagai
ukuran bergantung kekuatan dari medan listrik dan selanjutnya membrane dapat terbuka dalam
waktu yang singkat. Pecahnya membran menyebabkan komponen intraseluler keluar dan
menyebabkan mikroba berada pada kondisi letal atau subletal injury (Turp et al.,
2013). Pemanasan ohmik mampu menurunkan jumlah mikroba lebih dengan waktu yang lebih
cepat dibandingkan dengan pemanasan konvensional, berikut adalah data penurunan jumlah
mikroba setelah pemanasan ohmik pada beberapa produk :

Tabel 2. Inaktifasi mikroba pada beberapa produk daging (Turp et al., 2013)


 
b.  Efek Terhadap Enzim
Pemanasan ohmik enzim-enzim mampu mendegradasi/inaktifasi enzim penyebab off-
flavor, perubahan rasa dan juga tekstur diantaranya peroksidase, lipoksigenase,
polifenoloksidase, pektinase, alkaline phosphatase, dan ß-galactosidase (Vicente and Ines,
2007). Pada penelitian yang dilakukan oleh Icier et al. (2006) menunjukkan
bahwa proses blansing kacang polong menggunakan pemanasan ohmik dengan tegangan 30
V/cm mampu menginaktifasi enzim peroksidase lebih cepat dibanding blansing konvensional.

c.   Efek Terhadap Komponen yang Sensitif Panas/Nutrisi


Penelitaian yang dilakukan Sarkis et al. (2013) menggunakan tegangan listrik yang
rendah pada pemanasan ohmik menunjukkan terjadinya degradasi antosianin (komponen
sensitif panas) lebih rendah dibandingkan pemanasan konvensional. Degradasi antosianin
dapat meningkat apabila dilakukan peningkatan tegangan listrik dan komponen padatan pada
proses pemanasan ohmik. Hal tersebut juga terjadi pada asam askorbat (vitamin C), menurut
penelitian Castro et al. (2004) diketahui bahwa proses pemanasan ohmik dengan tegangan
yang rendah sekitar 20 V/cm tidak mengakibatkan terjadinya degradasi asam askorbat.
d. Efek Terhadap Warna
Berdasarkan penelitian Bozkurt and Icier (2010), terjadi perubahan nilai parameter warna
daging setelah proses pemanasan ohmik yakni nilai L* lebih tinggi dan nilai a* lebih rendah. Hal
tersebut menunjukkan bahwa produk daging menjadi lebih terang dan lebih pudar warna
merahnya bila dibandingkan dengan pemanasan konvensional. Pada pemanasan ohmik produk
daging yang dihasilkan memiliki warna yang lebih homogen dan tidak ada lapisan yang lebih
matang/coklat pada permukaannya. Perubahan warna juga terjadi pada produk buah-buahan.
Berdasarkan penelitian Mercali et al. (2014), pulp buah acerola mengalami penurunan nilai L*,
a* dan b* setelah proses pemanasan ohmik. Hal tersebut diperkirakan akibat terjadinya
degradasi komponen pigmen yang berupa antosianin dan karotenoid.

DAFTAR PUSTAKA

Achir, C., Thiziri H., Khodir M., Jean P., Manuel D. 2016. Pasteurization of Citrus Juices with
Ohmic Heating to Preserve The Carotenoid Profile. Innovative Food Science & Emerging
Technologies, 33:397-404.
Bozkurt, H., Icier, F. 2009. Rheological Characteristics of Quince Nectar during Ohmic
Heating. International Journal of Food Properties, 12:844–859.
Castro, I., Teixeira, J. A., Salengke, S., Sastry, S. K., Vicente, A. A. 2004. Ohmic Heating of
Strawberry Products: Electrical Conductivity Measurements and Ascorbic Acid
Degradation Kinetics. Innovative Food Science & Emerging Technologies, 5:27–36.
Cho, W., Yoon Y., Myong-Soo C. 2016. Pasteurization of Fermented Red Pepper Paste
by Ohmic Heating. Innovative Food Science & Emerging Technologies, 34:180-186.
Duygu, B., Gürbüz U. Application of Ohmic Heating System in Meat Thawing. Procedia - Social
and Behavioral Sciences, 195:2822-2828.
Fellows, P.J. 2009. ‘Dielectric, ohmic and infrared heating’ in Food Processing Technology
(Third edition), p. 581-609.
Icier, F., Yildiz, H., & Baysal, T. 2008. Polyphenoloxidase Deactivation Kinetics During Ohmic
Heating of Grape Juice. Journal of Food Engineering, 85:410–417.
Knirscha,M., Carolina A., Antonio A. Oliveira S., Thereza. 2010. Ohmic Heating. Trends in Food
Science & Technology, 21:436-441
Mercali, G. D., Schwartz, S., Marczak, L. D. F., Tessaro, I. C., Sastry, S. 2014. Ascorbic Acid
Degradation And Color Changes In Acerola Pulp During Ohmic Heating: Efect Of Electric
Feld Frequency. Journal of Food Engineering, 123, 1–7.
Muchtadi, R. T dan Ayustaningwarno, F. 2010. Teknologi Proses Pengolahan
Pangan. Penerbit Alfabeta : Bandung.
Ramaswamy, Raghupathy., Balasubramaniam, V.M (Bala)., Sastry, S.K. 2003. Ohmic Heating
of Foods Fact Sheet for Food Processors. Ohio State University, Columbus.
Sakr, M., Shuli L. 2014. A comprehensive review on applications of ohmic heating
(OH). Renewable and Sustainable Energy Reviews, 39:262–269
Sarkis, J. R., Mercali, G. D., Tessaro, I. C., Marczak, L. D. F. 2013. Evaluation Of Key Parameters
during Construction and Operation of An Ohmic Heating Apparatus. Innovative Food
Science & Emerging Technologies, 18:145–154.
Salengke, S. 2000. Electrothermal Effects of Ohmic Heating on Biomaterials.
Ph.D. Dissertation, The Ohio State University, Columbus, OH.
Salengke, S., Sastry, S.K. 1999. Comparative modeling study of ohmic heating of
solid-liquid mixture. Institute of Food technologists Annual Meeting. Chicago - Illinois,
USA. July 24-28.
Turp, G., Sengun Y., Kendirci P., Icier P. 2013. Effect of ohmic treatment on quality characteristic
of meat: A review. Meat Science, 93:441–448.
Varghese, K, Pandey M., Radhakrishna K., Bawa S. 2014. Technology, Applications and
Modelling of Ohmic Heating: A Review. J Food Sci Technol, 51(10):2304–2317.
Vicente, A., Ines A. 2007. Novel Thermal Processing Technologies in Advances in Thermal and
Non-Thermal Food Preservation. Blackwell Publishing.

Anda mungkin juga menyukai