Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Merokok

1. Pengertian Perilaku Merokok

Menurut Martin dan Pear (2015: 3) perilaku (behavior) adalah apa pun yang

dikatakan atau dilakukan seseorang. Secara teknis, perilaku adalah apa pun aktivitas

otot, kelenjar atau aktivitas di sebuah organisme. Perilaku atau aktivitas-aktivitas

tersebut dalam pengertian yang luas, yaitu perilaku yang menampak (overt behavior)

dan perilaku yang tidak menampak (innert behavior), demikian pula aktivitas-

aktivitas tersebut di samping aktivitas motorik juga termasuk aktivitas emosional dan

kognitif (Walgito, 2002: 13). Menurut Lewin (dalam Walgito, 2002: 14) perilaku

merupakan fungsi atau bergantung pada lingkungan (environment) dan organisme

yang bersangkutan. Sedangkan menurut Skinner (dalam Notoatmodjo, 2010: 20)

perilaku adalah respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).

Dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau

makhluk hidup yang bersangkutan. Oleh karena itu dari segi biologis, semua makhluk

hidup mulai dari binatang sampai dengan manusia mempunyai aktivitas masing-

masing.

Menurut Chaplin (dalam Pieter dan Lubis, 2010: 26) perilaku adalah kumpulan

reaksi, perbuatan, aktivitas, gabungan, gerakan, tanggapan atau jawaban dari yang

dilakukan seseorang. Perilaku merupakan proses mental dari reaksi seseorang yang
12
13

sudah tampak atau masih sebatas keinginan (Kartini Kartono, dalam Pieter dan Lubis,

2010: 26). Menurut Pavlov (dalam Pieter dan Lubis, 2010: 26) perilaku merupakan

keseluruhan atau totalitas akibat belajar dari pengalaman belajar sebelumnya, dan

dipelajari melalui proses penguatan dan pengkondisian, sedangkan menurut Branca

(dalam Pieter dan Lubis, 2010: 26) perilaku merupakan reaksi manusia akibat

kegiatan kognitit, afektif, dan psikomotorik yang saling berkaitan. Jika salah satu

aspek mengalami hambatan, maka aspek perilaku juga terganggu. Menurut Kwick

(dalam Notoatmojo, 2011: 141) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau

perbuataan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah suatu

kegiatan atau aktivitas yang dilakukan makhluk hidup baik yang dapat diamati secara

langsung atau tidak.

Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang apabila digunakan dapat

mengakibatkan bahaya bagi kesehatan. Berdasarkan pada PP No. 19 tahun 2003,

rokok adalah hasil olahan tembakau yang dibungkus dan merupakan hasil dari

tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan lainnya, atau sintetisnya yang

mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa adanya bahan tambahan. Rokok

adalah silinder dari kertas yang panjangnya berukuran sekitar 70-120 mm (bervariasi

tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau

yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara

agar asapnya dapat dihirup melalui mulut pada ujung lainnya (Aula, 2010: 11-12).

Menurut Wismanto dan Sarwo (2007:1) menyatakan merokok adalah perilaku

manusia yang sudah berusia ratusan tahun bahkan ribuan tahun. Perilaku merokok
14

adalah perilaku yang merugikan bukan hanya pada diri si perokok sendiri namun juga

merugikan orang lain yang ada di sekitarnya. Menurut Santrock (2007: 245) merokok

(di mana obat aktifnya adalah nikotin) adalah salah satu sumber utama timbulnya

masalah kesehatan meskipun sebetulnya dapat dicegah. Menurut McRee dan Gebelt

(dalam Santrock, 2007: 246) mengatakan bahwa kelompok kawan sebaya berperan

penting bagi timbulnya kebiasaan merokok, sedangkan menurut Dariyo (2008: 36)

merokok merupakan sebuah kebiasaan (life style) yang sudah mendarah daging dan

sulit untuk dihentikan. Padahal merokok memiliki efek yang membahayakan, seperti

kanker (kanker mulut, kanker tenggorokan, kanker perut, kanker paru), penyakit

jantung dan gangguan pernafasan kronis. Beberapa penyakit tersebut terserang karena

adanya kandungan atau unsur zat dari rokok yaitu berupa karbomonoksida, tar dan

nikotin (Sarafino dalam Dariyo, 2008: 40-41). Nikotin merupakan bahan psikoaktif

utama di semua bentuk rokok dengan dan tanpa tembakau (King, 2010: 325).

Menurut Kovasc, Lajtha & Sershen (dalam King, 2016: 211) nikotin memiliki

peranan yang dapat menstimulasi pusat kesenangan otak dengan menaikkan tingkat

dopamin. Menurut Levinthal (dalam King, 2016: 211) efek perilaku dari nikotin

meliputi atensi dan kesiagaan yang meningkat, penurunan rasa marah dan kecemasan,

serta hilangnya rasa sakit. Pada akhirnya, perilaku merokok menjadi sebuah

kebiasaan. Menghisap sebatang rokok dapat mendorong hilangnya otonomi ketika

seorang perokok merasa bahwa tidak merokok memerlukan usaha atau menyebabkan

ketidaknyamanan, selanjutnya seseorang mulai memberikan label perokok pada

dirinya dan merokok menjadi bagian dari konsep dirinya, bahkan, merokok dapat

menjadi ketergantungan secara fisiologis akibat perilaku merokok karena adanya


15

nikotin (bahan utama dari tembakau yang sangat mudah menimbulkan kecanduan)

(Feldman, 2012: 230-231). Tembakau adalah sebuah tumbuhan Nicotiana Tabacum.

Tembakau dapat dibuat rokok, dikunyah atau dihirup. Merokok baik sigaret atau

cerutu dapat menyebabkan masalah pernafasan, kanker paru-paru, emphysema,

impotensi, gangguan kehamilan dan janin, masalah jantung dan penyakit vaskular

ferifer. Merokok merupakan penyebab kematian dini dan kecacatan terbesar yang

dapat dicegah (Hasan, 2008: 243).

Menurut Perry (dalam Wismanto dan Sarwo, 2007: 2) menyatakan bahwa

perilaku merokok dimulai pada usia remaja, dan percobaan merokok tersebut

berkembang menjadi pengguna secara tetap dalam kurun waktu beberapa tahun

kemudian, meskipun pada awalnya remaja yang mencoba merokok kurang dapat

menikmati rokok pertamanya karena membuat si perokok merasa pahit di mulut,

mual dan pusing, namun karena dorongan sosial (dorongan teman-teman), perilaku

pertama tersebut menjadi menetap. Perasaan mual dan pusing disebabkan karena

tubuh memerlukan penyesuaian terhadap zat-zat yang terkandung di dalam rokok

yang tidak dapat diterima tubuh, namun lama kelamaan menjadi kebiasaan dan

teradaptasi setelah mengalami beberapa kali percobaan merokok (Wismanto dan

Sarwo, 2007: 2).

Menurut Wismanto dan Sarwo (2007: 3-4) menyatakan bahwa sebagian besar

anggota masyarakat telah mengetahui bahaya yang ditimbulkan karena perilaku

merokok. Sudah semestinya seseorang mempunyai pengetahuan ini, seseorang yang

terdidik dengan baik (memiliki tingkat pendidikan yang tinggi), yang bekerja di

bidang kesehatan akan menghindarkan diri dari perilaku merokok, namun dalam
16

kenyataannya individu yang memiliki pengetahuan tentang bahaya merokok, yang

berpendidikan tinggi bahkan sebagian yang bekerja di bidang kesehatan pun (seperti

perawat dan dokter) juga memiliki kebiasaan merokok. Terlebih lagi sebenarnya

peringatan akan bahaya merokok telah ditulis secara jelas dan besar di setiap bungkus

rokok yang diproduksi, namun kenyataanya perilaku merokok tidak berkurang.

Menurut Kessler (dalam Nevid, dkk, 2003: 19) kebiasaan merokok bukan cuma

kebiasaan yang buruk, tetapi juga merupakan bentuk adiksi fisik terhadap obat

stimulan, nikotin, yang ditemukan dalam produk tembakau termasuk rokok, cerutu,

dan tembakau tanpa asap. Merokok (atau penggunaan tembakau lainnya) merupakan

sarana memasukkan obat ke tubuh (Nevid, dkk, 2003: 19).

Berdasarkan teori diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok

adalah aktivitas menghisap rokok (gulungan daun tembakau kering) yang dilakukan

seseorang.

2. Dimensi - Dimensi Perilaku Merokok

Menurut Haynes dan O’Brien (2000: 152) menyebutkan bahwa dimensi

perilaku ada 6 yaitu frequency (frekuensi), duration (durasi), magnitude (besarnya),

cyclicity, variability (variabilitas), dan rate (menilai)

Menurut Kahng, dkk (dalam Fisher, 2011: 120-121) menyatakan bahwa

dimensi perilaku meliputi :

a. Frekuensi (frequency)

Frekuensi mengacu pada berapa kali (banyaknya) perilaku terjadi


17

b. Durasi (duration)

Durasi melibatkan jumlah waktu bahwa respon target dilakukan

c. Latensi (latency)

Latensi memiliki sifat tersembunyi atau tidak diketahui oleh orang yang

bertindak. Latensi terdiri dari stimulus dan respon dari ketertarikan

d. Intensitas (Intensity)

Intensitas melibatkan besar, kekuatan, amplitudo, atau upaya tanggapan

Menurut Martin dan Pear (2015: 5) menyebutkan bahwa dimensi perilaku ada

3 yaitu:

a. Durasi

Durasi adalah sebuah perilaku merujuk panjangnya waktu yang dibutukan perilaku

melakukan aksinya

b. Frekuensi

Frekuensi adalah sebuah perilaku merujuk pada jumlah tindakan yang muncul di

periode waktu tertentu

c. Intensitas

Intensitas atau kekuatan adalah sebuah perilaku merujuk pada upaya fisik atau

energi yang dilibatkan untuk melakukan perilaku

Menurut Tomkins (dalam Dariyo, 2008: 38-39) menyatakan bahwa alasan

individu melakukan perilaku merokok antara lain:

a. Pengaruh oleh perasaan positif

Individu melakukan perilaku merokok karena mendapatkan manfaat positif dari

merokok. Misalnya menjadi tenang, senang dan nyaman


18

b. Pengaruh oleh perasaan negatif

Individu merokok karena rokok dapat meredakan emosi-emosi negatif yang

dihadapinya. Misalnya ketika seseorang cemas menunggu proses kelahiran

anaknya, seseorang tersebut merokok sehingga membuat kondisinya fisiknya

menjadi santai, rileks dan tenang (tidak cemas lagi)

c. Habitual (ketergantungan fisiologis)

Kondisi dimana individu merokok menjadi sebuah kebiasaan (life style). Secara

fisik individu merasa ketagihan dan tidak dapat menghindar atau menolak

permintaan yang berasal dari dalam tubuhnya

d. Ketergantungan psikologis

Kondisi ketika individu merasakan, memikirkan dan memutuskan untuk merokok

terus-menerus. Dalam keadaan dimana saja dan seperti apa, individu tersebut

selalu merokok

Menurut Aula (2010: 54) menyebutkan bahwa ada 3 indikator yang muncul

bagi perokok, sebagai berikut;

a. Aktivitas Fisik

Perilaku yang ditampakkan seseorang saat merokok. Perilaku ini seperti

memegang rokok, menghisap rokok dan menghembuskan asap rokok

b. Aktivitas Psikologis

Aktivitas yang muncul bersamaan dengan aktivitas fisik. Aktivitas tersebut berupa

asosiasi seseorang terhadap rokok yang diisap, seperti anggapan mampu


19

meningkatkan konsentrasi, memperlancar kemampuan pemecahan masalah,

penghalau kesepian dan meningkatkan kepercayaan diri

c. Intensitas Merokok Cukup Tinggi

Hal ini menunjukkan seberapa sering atau seberapa banyak seseorang menghisap

rokok setiap harinya

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dimensi dari

perilaku merokok adalah durasi merokok, frekuensi merokok, intensitas merokok.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok

Menurut Atkinson, dkk (tanpa tahun: 294-295) menyatakan bahwa perilaku

merokok dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Pengaruh Orang tua

Dimana nilai-nilai orang tua memainkan peran penting dalam penggunaan obat.

Remaja yang berasal dari keluarga yang tidak bahagia, yang orang tuanya tidak

memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik yang keras, lebih

mudah melakukan perilaku merokok dibandingkan remaja yang berasal dari

keluarga yang bahagia (Baer dan Corrado)

b. Pengaruh Teman

Dimana remaja yang melakukan perilaku merokok mungkin saja mempengaruhi

teman-temannya untuk mencoba atau remaja tersebut mulai merokok kemudian

memiliki teman-teman yang merokok pula (Johnson)


20

c. Faktor Kepribadian

Hal ini tidak dipengaruhi dari orang lain tetapi dalam diri individu itu sendiri.

Dimana orang yang memiliki konformitas rendah akan sulit terkena dampak dari

perilaku merokok begitu pun sebaliknya.

Menurut Sarafino (dalam Aula, 2010: 38-43) menyebutkan bahwa perilaku

merokok dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu;

a. Faktor Sosial

Faktor terbesar dari kebiasaan merokok adalah faktor sosial atau lingkungan.

Karakter seseorang dibentuk oleh lingkungan sekitarnya. Faktor sosial disini

meliputi keluarga, teman-teman (konformitas), dan tetangga

b. Faktor Psikologis

Merokok dilakukan agar seseorang mendapatkan relaksasi atau ketenangan, serta

mengurangi kecemasan. Berikut ini merupakan gejala-gejala dari alasan seseorang

merokok:

1) Ketagihan

a. Adanya rasa ingin merokok yang menggebu

b. Merasa tidak bisa hidup selama setengah hari tanpa rokok

c. Merasa tidak bila kehabisan rokok

d. Kesemutan di lengan dan kaki

e. Gelisah, sulit tidur, sulit konsentrasi, lelah dan pusing

2) Kebutuhan Mental

a. Merokok merupakan kenikmatan

b. Adanya dorongan merokok ketika tidak merokok


21

c. Merasa lebih rileks

d. Merasa lebih konsentrasi sewaktu bekerja dengan merokok

e. Keinginan merokok ketika ada masalah

3) Kebiasaan

a. Kebiasaan merokok setelah makan

b. Kebiasaan merokok sambil minum kopi

c. Merasa kehilangan benda yang dimainkan ditangan

d. Kadang-kadang menyalakan rokok tanpa sadar

c. Faktor Genetika

Faktor genetik atau biologis dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lain, seperti faktor

sosial dan psikologi.

Menurut Feldman (2012: 230) menyatakan bahwa, faktor-faktor perilaku

merokok meliputi:

a. Faktor Genetika

Genetik mempengaruhi seberapa rentan seseorang melakukan perilaku merokok.

Apakah seseorang akan menjadi perokok, seberapa banyak melakukan perilaku

merokok dan seberapa mudah individu untuk berhenti merokok

b. Faktor Lingkungan

Lingkungan memiliki penyebab utama dari perilaku merokok. Iklan menjadi salah

satu maraknya pengaruh media terhadap perilaku merokok. Selain itu pengaruh

teman (konformitas) menjadi penyebab seorang remaja merokok, ditambah dengan

pengakuan dari teman jika merokok merupakan suatu bentuk kedewasaan.


22

Berdasarkan dari faktor-faktor penyebab munculnya perilaku merokok ialah

faktor sosial, dan faktor psikologis, maka penelitian ini peneliti memilih pengaruh

faktor sosial berupa teman atau biasa disebut konformitas sebagai variabel bebas yang

mempengaruhi perilaku merokok.

B. Konformitas

1. Pengertian Konformitas

Menurut Cialdini & Goldstein (dalam Taylor, dkk, 2009: 253) menyatakan

bahwa konformitas adalah suatu tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku

seseorang agar sesuai dengan perilaku orang lain. Dapat diartikan perilaku yang

dilakukan dengan sukarela karena orang lain melakukan hal yang sama. Menurut

Baron dan Byrne (2005: 53) menyatakan tekanan untuk melakukan konformitas

berakar dari kenyataan bahwa di berbagai konteks ada aturan-aturan eksplisit ataupun

tak terucap yang mengindikasikan bagaimana kita seharusnya atau sebaiknya

bertingkah laku. Aturan-aturan ini dikenal sebagai norma sosial (social norms), dan

aturan-aturan ini sering kali menimbulkan efek yang kuat pada tingkah laku.

Terlepas dari budaya yang ada, bagaimanapun juga setiap orang pasti akan

melakukan konformitas dalam situasi tertentu dan untuk alasan yang sama dengan

yang lain. Beberapa melakukannya karena individu mengidentifikasikan diri dengan

kelompok dan anggota kelompok, serta ingin tampil serupa dengan kelompok.

Beberapa melakukannya berdasarkan keinginan pribadi, mempertahankan pekerjaan,

dipromosikan, atau memenangkan pemilihan umum. Selain itu, tidak mudah untuk

menjadi orang yang nonkonformis, sebagaimana yang akan kita lihat nanti. Anggota
23

kelompok sering kali merasa tidak nyaman dengan individu yang berbeda pendapat

dan akan selalu mencoba untuk mempersuasi individu untuk mengikuti aturan

kelompok. Bila persuasi dengan cara yang menyenangkan gagal, kelompok dapat saja

menghukum, mengisolasi, atau menolak individu yang tidak mau melakukan

konformitas ini (Wade dan Tavris, 2007: 302).

Menurut Santrock (2007: 60) menjelaskan bahwa konformitas adalah individu

mengadopsi sikap atau perilaku orang lain karena merasa didesak oleh orang lain

(baik desakan nyata atau pun tidak). Desakan untuk konform pada kawan-kawan

sebaya cenderung sangat kuat selama masa remaja. Sejalan dengan pendapat diatas,

menurut Wade dan Tavris (2007:301) terdapat satu hal yang seseorang lakukan ketika

berada dalam suatu kelompok ialah konform, sedangkan konform itu sendiri

merupakan suatu tindakan atau perilaku yang diadopsi sebagai hasil dari adanya

tekanan kelompok baik itu nyata maupun yang dipersepsikan.

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

konformitas adalah suatu perilaku yang dilakukan individu karena adanya keinginan

agar seragam atau sesuai dengan norma kelompok atau orang lain.

2. Aspek-aspek Konformitas

Menurut Gross (2010: 90) menyatakan bahwa aspek konformitas ada 2

macam yaitu:

a. Internalisasi

Internalisasi terjadi ketika seseorang memiliki keyakinan atau pendapat pribadi

yang konsisten dengan keyakinan atau pendapat orang lain (publik).


24

b. Compliance

Compliance terjadi ketika jawaban yang disampaikan atau diberikan didepan

publik tidak sesuai (bukan jawaban pribadi) dengan jawaban yang diyakininya

Menurut Feldman (2012: 358-359) menyatakan bahwa aspek-aspek

konformitas yaitu:

a. Karakteristik kelompok

Semakin menarik kelompok di mata para anggotanya, semakin besar kemampuan

kelompok tersebut untuk menghasilkan konformitas

b. Situasi ketika individu merespons

Konformitas jauh lebih tinggi ketika seseorang harus merespons secara terbuka

dibandingkan ketika indivu dapat memunculkan respon secara tertutup

c. Jenis tugas

Seseorang yang mengerjakan tugas dan pertanyaan yang ambigu (yang tidak

memiliki jawaban yang jelas) lebih rentan terhadap tekanan sosial

d. Kebulatan suara dalam kelompok

Kelompok yang bersatu dalam mendukung sebuah posisi memperlihatkan tekanan

konformitas yang paling kuat

Sears, dkk (1985: 85-96) menyatakan bahwa aspek-aspek konformitas ialah:

a. Kekompakan

Kekuatan yang menyebabkan orang tertarik pada suatu kelompok dan membuat

ingin tetap menjadi anggotanya. Semakin besar rasa suka anggota yang satu

terhadap anggota lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari
25

keanggotaan kelompok, serta semakin besar kesetiaan individu dan sebagainya,

akan semakin kompak kelompok itu

b. Kesepakatan

Orang yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan

menyesuaikan pendapatnya. Namun, bila kelompok tidak bersatu, akan tampak

adanya penurunan tingkat konformitas

c. Ketaatan

Harapan dari orang yang menduduki posisi tertentu terutama adalah menimbulkan

ketaatan. Hal-hal yang membuat individu merasa lebih bertanggung jawab

terhadap perilakunya sendiri atau menonjolkan aspek negatif dari apa yang

dilakukannya akan mengurangi tingkat kepatuhan

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari

konformitas adalah kekompakan, kesepakatan dan ketaatan.

C. Klub Motor

Menurut E- Media Solusindo (2013: 15) menyatakan bahwa manusia tidak

akan lepas dari proses sosialisasi. Manusia akan selalu memerlukan orang lain.

Sekaya atau sekuat apa pun, manusia tidak akan bisa hidup tanpa adanya orang lain di

sekitarnya. Karena itu, kebutuhan manusia akan sosialisasi memang sangat penting,

sepenting kebutuhan manusia akan makanan dan minuman. Demikian halnya dengan

komunitas sebagai sarana bersosialisasi. Arti komunitas berasal dari bahasa latin
26

communitas yang berasal dari kata dasar communis. Artinya adaa masyarakat, publik,

milik bersama, atau banyak orang.

Dasar ilmu sosiologi, komunitas atau klub dapat diartikan sebagai kelompok

orang yang saling berinteraksi yang ada di lokasi tertentu. Namun, definisi ini terus

berkembang dan diperluas menjadi individu-individu yang memiliki kesamaan

karakteristik tanpa melihat lokasi atau tipe interaksinya.

Menurut ahli sosiologi, sebuah komunitas atau klub akan memiliki empat tipe

utama, yaitu:

1. Adanya keanggotaan di dalamnya. Tidak mungkin ada komunitas tanpa ada

anggota di dalamnya

2. Adanya saling mempengaruhi. Anggota-anggota komunitas atau klub bisa saling

mempengaruhi satu dengan lainnya

3. Adanya integrasi dan pemenuhan kebutuhan antaranggota

4. Adanya ikatan emosional antaranggota

Jadi, inti komunitas adalah adanya kelompok orang yang memiliki identitas yang

hampir mirip sama dimana faktor lokasi tidak terlalu relevan lagi. Yang penting,

anggota komunitas harus berinteraksi secara regular (E- Media Solusindo, 2013: 15-

16).

Individu ikut klub-klub motor tersebut adalah untuk mendapatkan pengakuan.

Keberadaan sebagai anggota klub adalah untuk memperoleh apa yang mereka tidak

peroleh di tempat lain. Bagi anggota klub motor materi bukan yang utama. Lewat

klub motor, anggota klub motor akan menemukan orang yang memiliki kesamaan

interest. Anggota klub motor memiliki perilaku sebagai pemuja kenangan. Tidak itu
27

saja, anggota klub motor adalah orang-orang yang romantis, melankolis, dan

pengagum harmonisasi alam. Jika di tengah mengadakan safari VM atau Tour Harley

Davidson Club, Safari Vespa, dan sebagainya. Anggota klub motor pasti akan

merambah alam, yang setiap tour atau safari pasti berpindah tempat, dan dengan

membawa ciri dan kekhasan yang ada pada klub Harley Davidson. Meski musik

dangdut bukan yang ditabukan, yang menonjol adalah musik-musik country.

Keberadaan klub sangat menonjol, memiliki pengaruh magis.Betapa tidak, anggota

klub motor yang tidak bergabung ke dalamnya, akan merasa bahwa “nggak gaul,

nggak ikut, nggak level”. Klub-klub ini keberadaannya menjadi simbol baru, simbol

yang menjadi reference genarasinya (Partao dan Maharani, 2004: 74-75).

D. Hubungan Antara Konformitas Dengan Perilaku Merokok Pada

Anggota Klub Motor

Kebiasan mengonsumsi rokok atau tembakau dimulai dari individu masih

remaja yang berlanjut ke masa dewasa atau bahkan hingga usia lanjut. Dalam masa

remaja adalah masa transisi menuju dewasa, tak jarang masa-masa ini merupakan

masa yang sangat penting dalam pembentukan karakter, namun ironisnya, masa ini

juga merupakan masa dimana banyaknya permasalahan yang dihadapi. Seorang

remaja masih dalam kondisi labil, tidak memiliki pijakan atau prinsip yang kuat

dalam menghadapi kehidupannya, maka tak jarang individu terbawa arus konform

dari teman-temannya. Jika konform tersebut bersifat positif tidak masalah, tetapi jika

bersifat negatif tentu menjadi masalah. Salah satu perilaku konform yang bersifat

negatif ialah perilaku merokok. Merokok merupakan perilaku yang mendatangkan


28

beragam penyakit baik disadari atau tidak. Tak jarang, beberapa dari individu

melakukan perilaku merokok karena ikut-ikutan teman, coba-coba hingga ketagihan,

bahkan ada yang memang sengaja merokok agar diakui keren, jantan oleh

kelompoknya.

Perilaku merokok seharusnya tidak terjadi karena hal ini membahayakan

kesehatannya. Dalam hal ini, ada beberapa penelitian yang mengangkat tema tentang

fenomena yang muncul yaitu perilaku merokok. Menurut (Sari, dkk, 2003: 87)

memaparkan dalam penelitiannya bahwa perilaku merokok terdapat berbagai alasan.

Berdasarkan hasil penelitian alasan merokok yang paling dominan adalah karena

kebiasaan dan kebutuhan 35%, coba-coba 20,67%, menenangkan pikiran 14,67%,

pergaulan 8%, enak rasanya 7,33%, suka 4,67%, banyak masalah 4,33%, cari

inspirasi dan motivasi 4%, mengisi waktu 1,33%.

Adanya berbagai alasan tersebut, pada akhirnya membuat remaja melakukan

perilaku merokok. Perilaku merokok merupakan aktivitas menghisap rokok

(gulungan daun tembakau kering) yang dilakukan seseorang. Padahal perilaku

merokok baik sigaret atau cerutu (rokok yang dibuat dari gulungan daun tembakau

kering) dapat menyebabkan masalah pernafasan, kanker paru-paru, impotensi,

gangguan kehamilan, masalah jantung. Ada banyak faktor yang menyebabkan

perilaku merokok salah satunya adalah konformitas (Feldman, 2012: 230).

Pada beberapa penelitian tentang perilaku merokok dan konformitas

sebelumnya telah ditemukan hasil yang mendukung bahwa ada hubungan antara

perilaku merokok dan konformitas. Menurut Komasari dan Helmi (2000: 40-46)

mengatakan dalam penelitiannya ada 3 faktor penyebab perilaku merokok yaitu


29

kepuasan, sikap permisif orang tua terhadap perilaku merokok dan pengaruh teman

sebaya. Berdasarkan dari beberapa faktor tersebut, faktor lingkungan keluarga dan

lingkungan teman sebaya memberikan sumbangan yang berarti dalam perilaku

merokok. Merokok bagi individu mempunyai kaitan yang erat dengan aspek

psikologi terutama efek yang positif yaitu sejumlah 92,5% sedangkan efek negatif

hanya sebesar 7,4555% (pusing, ngantuk, dan pahit). Hasil ini menunjukkan bahwa

subyek merasakan kepuasaan setelah merokok. Kepuasaan ini berkaitan dengan

aspek-aspek emosi. Yang paling menonjol dirasakan subyek adalah kenikmatan

(38,296%), kepuasaan (15,957%) dan merasakan ketenangan (12,766%). Individu

merokok merupakan upaya-upaya untuk dapat diterima di lingkungannya. Hampir

28% subyek menyatakan bahwa konsumsi terbesar rokok ketika sedang berkumpul

dengan teman-temannya yaitu baik nongkrong di mall, begadang, piknik atau

kumpul-kumpul saja.

Konformitas menurut Santrock (2007: 60) adalah suatu perilaku yang

diadopsi dari orang lain karena merasa didesak oleh orang lain (baik desakan nyata

atau pun tidak). Desakan untuk konform pada kawan-kawan sebaya cenderung sangat

kuat selama masa remaja. Menurut Pratiwi (2009: 12-13) mengatakan dalam

penelitiannya bahwa ada hubungan antara konformitas dengan perilaku merokok.

Konformitas terjadi karena kesamaan antara perilaku seseorang dengan perilaku

orang lain sesuai dengan norma yang ada. Jadi, individu yang konformis akan

cenderung mudah mengikuti tuntutan kelompok sehingga apabila kelompok

berperilaku merokok, maka akan mengikuti perilaku tersebut. Dalam penelitian ini

konformitas menyumbangkan 29,62% pengaruh dalam perilaku merokok.


30

E. Hipotesis

Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan diatas, maka peneliti

mengajukan hipotesis, yaitu ada hubungan positif antara konformitas dengan perilaku

merokok, semakin tinggi konformitas maka semakin tinggi perilaku merokok pada

anggota klub motor, begitu pula sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai