MODUL PERTEMUAN KE - 2
MATA KULIAH :
BAHAN PERKERASAN JALAN (2 SKS)
INDIKATOR PENILAIAN :
• Ketepatan menjelaskan sifat dn karateristik bahan penyusun lapis perkerasan
jalan
• Ketepatan menjelaskan klasifikasi tanah sebagai bahan perkerasan jalan
• Ketepatan menjelaskan sumber-sumber dan jenis batuan, klasifikasi agregat
dan aspal
METODE PEMBELAJARAN :
• Kuliah
• Dikusi
• Penugasan dalam persentasi makalah
TM : 1 x (2 x 50”)
PT : 1 x (2 x 60”)
BM : 1 x (2 x 60”)
PUSTAKA :
1. Drakos, C. (2009). Flexible Pavement Distress. University of Florida.
www.pdf-finder.com/Dr.-Christos-Drako
2. Departemen Pekerjaan Umum Badan, (2005), Modul Road Design Engineer
(RDE)-12 : Bahan Perkerasan Jalan, Jakarta, Badan Pembinaan Konstruksi
dan Sumber Daya Manusia Pusat Pembinaan Kompetensi dan Pelatihan
Konstruksi (PUSBIN-KPK)
3. Departemen Pekerjaan Umum Badan, (2005), Teknik Bahan Perkerasan
Jalan, Seri Panduan Pemeliharaan Jalan Kabupaten, Jakarta, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pusat Penelitian Pengembangan Prasarana
Transportasi
4. Departemen Pekerjaan Umum, 2018. “Spesifikasi Umum Perkerasan Aspal”,
Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga
5. Departemen Pekerjaan Umum Badan, (2005), Modul-3 : Jenis Bahan Lapis
Perkerasan Lentur, Jakarta, Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat
Penelitian Pengembangan Prasarana Transportasi
6. Huang, Y.H. University of Kentucky (2004). 2nd Edition. Pavement Analysis
and Design. Published by Pearson Prentice Hall. pp 1.
7. Gatot Rusbintardjo (2011). Oil Palm Fruit Ash (OPFA) Modified Bituman –
New Binder for Hot-Mix Asphalt (HMA) Pavement Mixtures. Lambert
Academic Publshing GmbH & Co. KG Germany 2011.
8. Kerbs, R.D dan Walker, R.D, 1971. Highway Materials, McGraw-Hill Book
Company, New York, USA.
9. Robert, F.L., Kandhal, P.S., Brown, E.R., Dah, Y. L., and Kennedy, T.W.
(1996). Hot Mix Asphalt – Materials, Mixture Design and Construction. 2nd
edition. NAPA Education Foundation, Lanham, Maryland. pp 448-463.
10. Silvia Sukirman, 2003, Beton Campuran Panas, Jakarta, Penerbit Granit.
11. Tri Mulyono, (2015), Jalan Raya 2 : Modul 2 – Spesifikasi Bahan Perkerasan
Jalan dalam Infrastruktur Jalan dan Jembatan, Jakarta: Program D3
Transportasi Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta
POKOK BAHASAN :
2.1. TANAH
Dalam bidang jalan raya, istilah tanah mencakup semua bahan dari tanah
lempung (clay) sampai kerakal (batu-batu yang besar) yang dapat digunakan
sebagai bahan jalan baik sebagai tanah dasar maupun sebagai
lapisan lainnya pada struktur perkerasan jalan.
Salah satu persyaratan utama dalam penggunaan bahan tanah sebagai
tanah dasar atau sebagai bahan untuk lapisan lainnya pada struktur perkerasan
jalan adalah bahwa bahan tanah tersebut harus cukup kuat untuk meneruskan
dan mendukung beban volume lalu lintas. Salah satu cara untuk melihat mutu
dari tanah yang digunakan adalah dengan mengetahui klasifikasi dari tanah
tersebut.
2.1.1 Klasifikasi Tanah
Dalam mekanika tanah, istilah tanah menacakup semua bahan konstruksi yang
berasal dari quarry atau pits seperti : lempung; lanau; psir; kerikil; kerakal;
berangkal; dsb. Cara menggolongkan jenis tanah atau disebut klasifikasi tanah
adalah :
a. Primer :
ASTM Committee on Soils for Engineering Purpose mendefinisikan pasir sebagai
butiran antara 0,05 mm (No.270) sampai 2,0 mm (No.10). Sebaliknya berbagai
sumber mendefinisikan pasir sebagai butiran yang lolos No.4 atau ¼”. Banyak
Kontraktor, Engineer dan Desainer berpikir serupa. Beberapa rujukan
memberikan batasan berikut di bawah ini :
b. Sekunder
a. Tanah berbutir kasar (< 50% lolos saringan No.200). Butir tanah ini dapat
dilihat secara visual. Tanah berbutir kasar ini dapatdibedakan atas:
- Kerikil (> 50% tertahan saringan No.4);
- Pasir (> 50% lolos saringan No.4).
• Butiran > Pasir Memakai simbol menurut Ukuran Butir dan Gradasinya.
Contoh : GW (Gravel – well graded); SP (Sand – poor graded)
• Butiran < Pasir : Memakai simbol menurut Ukuran Butir dan Tingi
Rendahnya Batas Cair (Liquid Limit, disingkat “LL”). Untuk LL > 50
disebut “high” dan LL < 50 disebut “low”. Contoh : ML (Silt – low liquid
limit); OL (Organic – low liquid limit); CH (Clay – high liquid limit)
b. Tanah berbutir halus (> 50% lolos saringan No.200). Pada tanah ini butirannya
tidak dapat dilihat secara visual.
c. Tanah organik yang dapat diidentifikasi dari warna, bau dan sisa tumbuhan
yang terkandung didalamnya.
Pengklasifikasian tanah berdasarkan metode UCS ini dapat dilakukan dengan
menggunakan grafik Casagrande seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Jenis tanah dan peruntukannya sebagai bahan untuk lapis pada struktur
perkerasan jalan ditunjukkan pada Tabel 2.3
A4, A5, A6 dan A7 : butiran lolos No.40 (600 µm) > 35%
A3 (pasir halus)
A2 (kerikil-pasir kelanauan/kelempungan) : A2-4, A2-5, A2-6 dan
A2A4 dan A5 (tanah-tanah lanau)
A6 (tanah lempung)
A7 (tanah lempung) : A7-5 dan A7-6
A7-5 jika PI < (LL - 30) & A7-6 jika PI > (LL - 30)
Tanah dasar dapat berbentuk tanah asli setempat atau tanah yang
diangkut dari tempat lain, ditimbun di atas permukaan anah asli dan dipadatkan
untuk selanjutnya digunakan sebagai perletakan bagi perkerasan yang dibangun
diatasnya. Pada umumnya kegagalan perkerasan diakibatkan oleh kegagalan
tanah dasar. Untuk itu perlu adanya perhatian khusus tentang penggunaan tanah
sebagai tanah dasar. Beberapa karakteristik tanah yang penting untuk
diperhatikan bila tanah tersebut akan digunakan sebagai tanah dasar struktur
perkerasan jalan antara lain adalah: daya dukung tanah, kepadatan, pengaruh
terhadap kinerja tanah, dan konsolidasi. Tanah dasar yang baik adalah yang
mempunyai kepadatan yang tinggi dengan nilai tertentu sehingga mempunyai
daya dukung yang baik serta berkemampuan mempertahankan perubahan
Tabel 2.5 Jenis Tanah dan Peruntukan sebagai Bahan Untuk Struktur
Perkerasan Jalan
dimana:
mencapai nilai maksmum. Penurunan nilai berat volume kering tanah pada saat
awal pertambahan kadar air disebabkan oleh efek tarik kapilaritas.
Gambar 2.2 Kepadatan Kering Tanah Maksimum dan Kadar Air Optimum
Gambar 2.3 Bentuk Umum Kurva Pemadatan Empat Jenis Tanah (ASTM D-698)
a. CBR Laboratorium
Nilai CBR ini didapat dari pengujian di laboratorium dan merupakan ukuran
komparatif tahanan terhadap geseran atau deformasi plastis tanah yang telah
dipadatkan pada kadar air optimum, pada berbagai tingkat kerapatan. Nilai
CBR ini digunakan untuk perencanaan lapis perkerasan yang baru. Alat yang
digunakan adalah dengan menggunakan mesin penetrasi (SNI 03-1744-
0989).
b. CBR Lapangan
Adalah CBR yang diperoleh dari pengujian langsung di lapangan (in place)
atau pengambilan contoh asli dengan tabung CBR (undisturbed sample). Nilai
CBR ini dianggap mewakili kondisi lapangan yang ada serta kadar air asli
(alam). Nilai CBR lapangan memiliki hubungan yang baik dengan nilai
penetrasi konus yang dihasilkan oleh alat Penetrometer Kerucut Dinamis –
DCP (Dynamic Cone Penetrometer). Oleh sebab itu, untuk tujuan praktis alat
DCP dapat digunakan untuk memperkirakan nilai CBR lapangan.
c. CBR Rencana; Nilai CBR ini digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan.
Nilai CBR dapat dikorelasikan dengan Daya Dukung Tanah (DDT). Penentuan
DDT, selain berdasarkan pada CBR, dapat pula didasarkan pada Indeks
Kelompok (Group Indeks). Group Indeks adalah suatu kelompok indeks penilaian
yang dibuat dalam sistim klasifikasi AASHTO (AASHTO M145).
Grup Indeks ini dibuat dengan assumsi sebagai berikut :
• Semua kelompok yang masuk dalam kelompok A-1, A-3 dan A-2 kecuali
A-2-6 dan A-2-7 adalah kelompok tanah yang baik untuk dijadikan tanah
dasar.
• Tanah berbutir halus adalah 35% lolos saringan No. 200.
• Batas cair tanah adalah 40% dan batas indeks plastis adalah 10%.
Dengan berdasarkan assumsi terebut di atas, AASHTO merumuskanGI sebagai
berikut :
GI = (F – 35) {0,2 + 0,005 (LL – 40)} + 0,01 (F – 15) (IP – 10)
Keterangan :
GI = Grup indeks
F = Jumlah persentase yang lolos saringan No. 200 dari material yang
lolos saringan 3 inci.
LL = Batas cair (liquid limit)
IP = Indeks plastis
Evaluasi secara umum daya dukung tanah untuk lapis tanah dasar dalam cara
indeks group ditunjukkan pada Tabel 2.6
dan sifat kimia. Jenis dan campuran agregat sangat mempengaruhi daya tahan
atau stabilitas suatu perkerasan jalan (Kerbs, and Walker, 1971).
a. Agregat Alam
Agregat yang menggunakan bahan baku dari batu alam atau proses
penghancuran menjadi butiran bervariasi, Jenis batuan yang bermutu baik
digunakan untuk agregat memiliki kekerasan tidak mudah aus /rapuh, kompak,
kekal dan tidak pipih. Agregat dari alam diproses menjadi: (1) kerikil dan pasir
alam, agregat yang berasal dari penghancuran secara proses gesekan dan
benturan dengan bantuan air antar batuan ditemukan di sekitar sungai atau di
daratan. Agregat alami berasal dari pelapukan atau disintegrasi dari batuan
besar, baik dari batuan beku, sedimen maupun metamorf. Memiliki bentuk bulat
tetapi masih tercampur dengan humus dan tanah liat. Oleh karena itu jika
digunakan untuk agregat harus dilakukan pencucian terlebih dahulu. (2) Agregat
batu pecah, proses menjadi agregat yang terbuat dari batu alam yang dipecah
mengunakan mesin (crusher stone)dengan ukuran tertentu.
b. Agregat Buatan
Pasir adalah material berbutir yang dihasilkan oleh pelapukan alami batuan atau
pemecahan batuan pasir-batu. Terdapat beberapa jenis pasir dengan masing-
masing gradasi tertentu.
a. Pasir Angin
Pasir yang dibawa angin dan mengumpul di suatu tempat. Umumnya berbutir
halus dengan ukuran antara No.40 sampai No.100.
b. Pasir Danau atau Pantai
Pasir berbutir halus dan bulat umumnya dicampur dengan pasir kasar.
Umunya berukuran antara No.40 sampai No.200
c. Pasir Sungai
Pasir yang dibawa oleh air dan menggelinding antar butiran sehingga tidak
bersudut tajam. Umumnya bebas dari lumpur dan berbutir halus dengan
ukuran butiran antara No.4 sampai No.100.
d. Pasir dari Pasir-Batu (Sirtu)
Pasir yang diperoleh dari pengayakan pasir-batu lolos No.4. Kadang-kadang
mengandung tanah dan berukuran antara No.4 sampai No.200
e. Pasir Gunung
Pasir yang berasal dari deposit alami dengan sedikit atau tanpa kerikil.
Umumnya berukuran antara ⅜“ sampai No.200
f. Pasir Buatan
Pasir yang diperoleh dari pengayakan batu pecah mesin lolos No.4
2. Kerikil
Kerikil diperoleh dari pelapukan alami batuan, berukuran lebih besar dari pasir
yang dianggap tertahan No.4 atau ¼“.
a. Kerikil Kacang Polong (Pea Gravel)
Kerikil yang bersih, berasal dari kerikil sungai dengan ukuran antara ¼“
sampai ½“
b. Kerikil Sungai
Kerikil yang dapat dijumpai pada hulu maupun hilir, terdiri dari butiran bulat
berukuran diatas ¼“ dengan permukaan yang halus bercampur dengan pasir
sungai, umumnya bebas dari tanah dan lanau. Material yang lolos ¼“ ini
termasuk paisr sungai.
c. Kerikil Gunung
pengangkutan. Hasil dari pengolahan ini berupa batu pecah dengan ukuran ≤ 10
mm, 10 – 20 mm, 20 – 30 mm, 30 – 50 mm, 50 – 75 mm.
Proses pembuatan gradasi bahan pengisi pada pemuatan asphalt beton dapat
dilakukan dengan tahapan proses sebagai berikut:
Proses timbunan dan perawatan agregat dilapangan agar tidak rusak akibat
cuaca
, air genangan, sebelum digunakan sebagai bahan perkerasan jalan
1. Penimbunan agregat di lapangan, harus diberi alas agar tidak bercampur
dengan tanah dan lumpur. Di bagian atas ditutup dengan terpal agar terhindar
dari air hujan, karena agregat yang terlalu basah akan sulit untuk melekatnya
dengan kadar bahan aspal terpaki pada waktu membuat sampuran..
2. Penimbunan pasir harus aman i dari permukaan tanah agar terhindar dari
aliran air ketika hujan dan genangan air membawa lumpur.
3. Penumpukan material filer harus terhindar dari kelembaban.
4. Bahan aspal dalam drum harus terhindar dari masuknya air kedalam drum.
Agregat yang digunakan untuk lapisan pondasi dan lapisan pondasi bawah harus
memenuhi persyaratan-persyaratan:
• Gradasi;
• Batas cair (Liquid limit);
• Batas plastis (Plastis limit);
• Indeks plastisitas (Plasticity Index);
• Kepadatan kering maksimum;
• Kadar air optimum;
• CBR.
b. Bahan Lapisan Penutup
Lapisan penutup tersebut dapat terdiri dari antara lain: lapis penetrasi makadam,
burtu, burda, dan aspal beton. Bahan yang dipergunakan untuk lapisan penutup
ini haruslah memenuhi persyaratan:
• Gradasi;
• Abrasi;
• Soundness;
• Ketahanan lekat;
• Sand equivalent;
• Bentuk butir;
• Bidang pecah;
• Berat jenis.
2.3 Aspal
Aspal sering disebut juga dengan bitumen yaitu bahan padat yang
berwarna coklat sampai hitam, yang terdiri dari senyawa hydrocarbon yang bila
dipanaskan akan meleleh dan pada kondisi dingin aspal bersifat padat. Aspal
digunakan sebagai salah satu komponen utama dalam perkerasan lentur karena
aspal mempunyai adhesi yang kuat dan kedap air.
Dalam campuran berbahan pengikat aspal, selain sifat agregat, sifat
aspal sangat menentukan kinerja dari campuran tersebut. Oleh sebab itu,
sebelum digunakan kuantitas dan kualitas aspal harus diuji terlebih di
laboratorium. Sifat-sifat aspal yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai
berikut :
Aspal batu Kentucky dan Buton adalah aspal yang secara alamiah
terdeposit di daerah Kentucky, USA dan di pulau Buton, Indonesia.Aspal dari
deposit ini terbentuk dalam celah-celah batuan kapur dan batuan pasir. Aspal
yang terkandung dalam batuan ini berkisar antara 9 %- 40 % dari masa batu
tersebut dan memiliki tingkat penetrasi antara 0 - 40. Aspal alam yang ada di
Pulau Buton
Indonesia mempunyai kandungan aspal berkisar 10 % - 40%, sedangkan di
Kentucky kadar bitumenya jauh lebih rendah, yaitu rata-rata 9%.
Untuk pemakaiannya, deposit ini harus ditambang terlebih dahulu,
dicampur dengan minyak pelunak atau aspal keras dengan angka penetrasi yang
lebih tinggi agar didapat suatu campuran aspal yang memiliki angka penetrasi
sesuai dengan yang diinginkan. Pada saat ini di Indonesia, aspal buton telah
dikembangkan lebih lanjut, sehingga menghasilkan aspal batu dalam bentuk
butiran.
Gambar 2.8 Tipikal Hasil Penyulingan untuk Beberapa Jenis Minyak Mentah
a. Aspal Keras
Aspal minyak adalah aspal yang merupakan residu destilasi minyak bumi.
Hasil penambangan minyak dari perut bumi dapat menghasilkan residu jenis
asphaltic base crude oil, banyak mengandung aspal, dan parafin base crude oil
yang mengandung banyak parafin, atau mixed base crude oil yang mengandung
campuran antara parafin dan aspal. Untuk bahan ikatan pada perkerasan jalan
umumnya digunakan aspal minyak jenis asphalticbase crude oil.
Klasifikasi dari aspal buatan, menurut bahan dasar aspal dibedakan menjadi
(Suprapto, 2004):
1). Dari bahan hewani (animal origin), yaitu diperoleh dari pengolahan crude oils.
Dari proses pengolahan crude oils akan diperoleh bahan bakar dan residu,
yang jika diproses lanjut akan diperoleh aspal/bitumen.
2). Dari bahan nabati (vegetable origin), yaitu diperoleh dari pengolahan batu
bara/coal, dalam hal ini akan diperoleh tar.
Menurut tingkat kekerasan, aspal minyak/ aspal murni/ petroleum asphalt,
diklasifikasikan menjadi :
1) Aspal keras dan atau aspal panas/dan atau Aspal cement (Asphalt Cement)
merupakan aspal yang digunakan dalam keadaan panas. Aspal keras
berbentuk padat dalam drum pada keadaan penyimpanan dalam temperatur
ruang (25-30C). aspal ini termasuk aspal buatan yang langsung diperoledari
penyaringan minyak dan merupakan aspal keras.
2) Berdasarkan tingkat kekerasan dan kekentalannya, maka aspal dibedakan
menjadi : AC 40-50,2) AC 60-70,3) AC 85-100,4) AC 120-150,5) AC 200300.
Angka-angka tersebut menunjukkan kekerasan bahan aspal, angka kecil
menunjukan bahan paling keras adalah AC 40-50 dan yang terlunak adalah
AC 200-300. Penentuan angka kekerasan ditandai ukuran berapa dalam
masuknya jarum penetrasi ke dalam benda uji contoh aspal. Aspal dengan
penetrasi rendah digunakan di daerah bercuaca panas atau lalu lintas dengan
LHR tinggi, sedangkan aspal dengan penetrasi tinggi digunakan untuk daerah
bercuaca dingin atau lalu lintas dengan LHR rendah. Di Indonesia pada
umumnya dipergunakan aspal dengan penetrasi 60-70 dan 80-100.
Gambar 2.9 Loes Ultrafine Bubuk Tanah Liat Kuning 3000 mesh
2. Debu Berbutir
Debu berbutir adalah debu dari batuan (misalnya dari batu marmer), Portland
cement, atau debu buatan atau alami lainnya. Umumnya 80 sampai 100% lolos
No.200. Debu berbutir ditambahkan ke dalam campuran aspal untuk mengisi
rongga dalam campuran dan meningkatkan stabilitas campuran. Kapur tohor
termasuk jenis debu berbutir, namun pemakaian filler jenis ini harus dibatasi
malsimum 1% karena efek ekspansifnya. Pemakaian debu marmer lebih aman
karen atidak ekspansif.
3. Abu Terbang (Flyash)
Filler buatan yang diperoleh dari pembakaran batu bara. Umumnya 80% lolos
No.200. Semula material dianggap limbah yang sangat mengganggu industri
pembangkit tenaga listrik dan jumlahnya memakan tempat yang cukup besar.
Belakangan material ini dapat digunakan sebagai filler added untuk campuran
aspal.