Anda di halaman 1dari 6

A.

Konsep Relaksasi Napas Dalam


Relaksasi merupakan bentuk dari teknik distraksi yang lebih khusus dan efektif
untuk nyeri kronis (Doliarn’do, Kurniajati, & Kristanti, 2018). Teknik relaksasi nafas dalam
merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan
kepada bagaimana cara melakukan nafas dalam nafas lambat (menahan inspirasi secara
maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan
intesitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan
meningkatkan oksigenasi darah (Ruhman, 2017).
Slow deep breathing merupakan tindakan yang disadari untuk mengatur pernapasan
secara dalam dan lambat yang dapat menimbulkan efek relaksasi. Terapi relaksasi banyak
digunakan dalam kehidupan seharihari untuk dapat mengatasi berbagai masalah misalnya
stres, ketegangan otot, nyeri, hipertensi, gangguan pernapasan, dan lain-lain. Relaksasi secara
umum merupakan keadaan menurunnya kognitif, fisiologi, dan perilaku (Potter & Perry,
2010). Pada saat relaksasi terjadi perpanjangan serabut otot, menurunnya pengiriman impuls
saraf ke otak, menurunnya aktifitas otak, dan fungsi tubuh yang lain. Karakteristik dari
respons relaksasi ditandai oleh menurunnya denyut nadi, jumlah pernapasan, penurunan
tekanan darah, dan konsumsi oksigen (Potter & Perry, 2010).
Slow deep breathing adalah metode bernapas yang frekuensi bernapas kurang dari 10 kali
permenit dengan fase ekshalasi yang panjang (Breathesy, 2007). Slow deep breathing adalah
gabungan dari metode nafas dalam (deep breathing) dan napas lambat sehingga dalam
pelaksanaan latihan pasien melakukan nafas dalam dengan frekuensi kurang dari atau sama
dengan 10 kali permenit.
Hal yang perlu diperhatikan dalam teknik relaksasi adalah postur tubuh
yang benar, menenangkan pikiran dan lingkungan yang sunyi (Doliarn’do et al., 2018).
Tujuan teknik relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara
pertukaran gas, mencegah atelektasis paru, meningkatkan efisiensi batuk, mengurangi stres
fisik maupun emosional yaitu intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan (Ulinnuha, 2017).
Manfaat yang ditimbulkan dari teknik relaksasi nafas dalam adalah mampu menurunkan
atau menghilangkan rasa nyeri, meningkatkan ketentraman hati, dan berkurangnya rasa cemas
(Smeltzer & Bare, 2011). Selain itu, manfaat teknik relaksasi napas dalam antara lain dapat
menurunkan denyut nadi, penurunan ketegangan otot, penginkatan kesadarn, perasaan damai
sejahtera dan peiode kewaspadaan santai. Teknik ini dapat dilakukan dimana saja dan kapan
saja, caranya sangat mudah dan dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien tanpa memerlukan
media serta dapat merilekskan otot-otot yang tegang (Ulinnuha, 2017).
Langkah-langkah dalam latihan slow deep breathing, menurut University of Pittsburgh
Medical Center (2003) dalam (Ruhman, 2017) :
1. Atur pasien dengan posisi duduk.
2. Kedua tangan pasien diletakkan di atas perut.
3. Anjurkan melakukan napas secara perlahan dan dalam melalui hidung dan tarik napas
selama 3 detik, rasakan abdomen mengembang saat menarik napas
4. Tahan napas selama 3 detik.
5. Kerutkan bibir, keluarkan melalui mulut dan hembuskan napas secara perlahan selama 6
detik. Rasakan abdomen bergerak ke bawah.
6. Ulangi langkah 1 sampai 5 selama 15 menit.
7. Latihan slow deep breathing dilakukan dengan frekuensi 3 kali sehari.
Supaya teknik ini dapat efektif maka diperlukan partisipasi individu dan kerja sama.
B. Konsep Medis & Keperawatan Dispepsia
1. Konsep medis
Definisi
Dispepsia adalah kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri atau rasa
tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh,
sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada. Dispepsia merupakan
kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut bagian atas yang menetap
atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh saat makan, cepat kenyang,
kembung, sendawa, anoreksia, mual, muntah, heartburn, regurgitasi (Ruhman, 2017)
Etiologi
Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, termasuk
juga didalamnya penyakit yang mengenai lambung atau yang dikenal sebagai penyakit
maag (Ruhman, 2017). Dispepsia disebabkan karena makan yang tidak teratur sehingga
memicu timbulnya masalah lambung dan pencernaannya menjadi terganggu.
Ketidakteraturan ini berhubungan dengan waktu makan, seperti berada dalam kondisi
terlalu lapar namun kadang-kadang terlalu kenyang. Selain itu kondisi faktor lainnya yang
memicu produksi asam lambung berlebihan, diantaranya beberapa zat kimia, seperti
alcohol, umumnya obat penahan nyeri, asam cuka, makanan dan minuman yang bersifat
asam, makanan yang pedas serta bumbu yang merangsang.
Manifestasi klinis
Patofisiologi
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat
seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stress, pemasukan makanan
menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat
mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung.
Kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang
terjadinya kondisi asam lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa
impuls muntah yang mengakibatkan intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan
(Ruhman, 2017). Patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan
penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki
peranan bermakna, seperti Abnormalitas fungsi motorik lambung (khususnya
keterlambatan pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume
lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang lebih cepat, serta
gastric compliance yang lebih rendah), infeksi Helicobacter pylori dan faktor-faktor
psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan depresi.
a. Sekresi lambung
Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan yang
tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi
dalam pengeluaran sekresi asam lambung. Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang
lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa
pada lambung.
b. Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan
pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), gangguan
akomodasi lambung saat makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah satu dari keadaan ini
dapat ditemukan pada setengah atau dua pertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan
pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia fungsional dengan keluhan
seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati.
c. Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori terdapat sekitar 50% pada dispepsia
fungsional dan tidak berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai terdapat kecenderungan
untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional dengan H. pylori positif
yang gagal dengan pengobatan konservatif baku.
Penatalaksanaan
Tindakan non farmakologi yang dapat digunakan adalah memberikan terapi
dingin dan hangat, memberikan aromaterapi, mendengarkan musik, menonton televisi,
melakukan gerakan, memberikan sentuhan terapeutik dan teknik relaksasi nafas dalam
(Ruhman, 2017)
Penatalaksanaan dispesia mecakup pengaturan diet dan pengobatan medis, antara
lain sebagai berikut:
a. Membatasi konsumsi makanan yang dapat menyebabkan terjadinya dispepsia seperti
mengkonsumsi makanan pedas, minuman kafein dan beralkohol
b. Makan dalam porsi kecil tetapi sering dan dianjurkan untuk makan 5-6 kali dalam
sehari
c. Menghindari penggunaan atau konsumsi anti nyeri seperti aspirin dan ibu profen.
Gunakan anti nyeri lain yang lebih aman bagi lambung seperti parasetamol
d. Mengontrol stres dan rasa cemas
e. Antasida
f. Penghambat pompa proton (PPI). Golongan obat ini dapat mengurangi produksi
asam lambung
g. Penyekat H2 reseptor antagonists (H2RAs)
h. Prokinetik dapat membantu proses pengosongan lambung
i. Antibiotik. Pemberian dilakukan jika dyspepsia disebabkan oleh infeksi
j. Anti-depressants atau anti-anxiety dapat digunakan untuk menghilangkan rasa tidak
nyaman yang disebabkan oleh dispesia dengan menurunkan sensasi nyeri yang
dialami
k. Psikoterapi
Pemeriksaan penunjang
Salah satu diagnosis Dispepsia dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan
Endoskopi. Hasil pemeriksaan endoskopi saluran cerna atas yang sering ditemukan dari
kasus dispepsia yaitu gastritis, dispepsia fungsional, gastritis erosif, dan duodenitis.Lokasi
kelainan dispepsia sering ditemukan pada lambung diikuti duodenum. Hasil pemeriksaan
endoskopi dapat 8 ditemukan normal walaupun gejala dispepsia tersebut ada hal ini
dinamakan dengan istilah dispepsia fungsional (Kumar dkk, 2012). Pemeriksaan lain untuk
menegakkan diagnosis dispepsia dapat berupa tes darah, pemeriksaan nafas, pemeriksaan
feses, ultrasonografi abdomen dan pemeriksaan pencitraan (X-ray atau CT scan).
C. Skala Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial (Doliarn’do et al., 2018). Nyeri
merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat subjekif karena
perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala dan tingkatannya, dan hanya orang
tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Ulinnuha,
2017).
Intensitas nyeri dapat ditentukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah bertanya
pada pasien tentang nyeri atau ketidaknyaman. Pengukuran intensitas nyeri dapat
menggunakan skala angka atau Numeric Rating Scale (NRS) atau Skala Wajah yang biasanya
digunakan pada anak-anak yang sulit mengungkapkan intepretasi nyeri yang ia rasakan
(Ulinnuha, 2017).
Gambar Numeric Rating Scale (NRS)

Gambar Skala Wajah

Referensi

Doliarn’do, D. A. B., Kurniajati, S., & Kristanti, E. E. (2018). Kompres Hangat dan Relaksasi
Nafas Dalam Efektif Menurunkan Nyeri Pasien Reumatoid Artritis. Jurnal Penelitian
Keperawatan, 4 No. 2. Retrieved from
https://jurnal.stikesbaptis.ac.id/index.php/keperawatan/article/view/324/297

Potter, P. ., & Perry, A. G. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan
Praktik (7 Vo. 3). Jakarta: Salemba Medika.

Ruhman, M. (2017). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Pada Pasien Dispepsia Dengan
Intervensi Relaksasi Nafas Dalam dan Relaksasi Aromaterapi Bunga Mawar Terhadap
Perubahan Skala Nyeri Di Ruang Unit Gawat Darurat RSUD Aji Muhammad Parikesit
Tenggarong (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Samarinda). Retrieved from
https://dspace.umkt.ac.id/bitstream/handle/463.2017/358/KIAN-.pdf?
sequence=1&isAllowed=y

Smeltzer, & Bare. (2011). Buku Ajar keperawatan medikal bedah Brunner & Suddarth, Alih
Bahasa oleh agung waluyo, dkk. Jakarta: EGC.

Ulinnuha, T. N. (2017). Pengaruh Teknik Relaksasi Napas Dalam Terhadap Penurunan Tingkat
Nyeri Pada Lansia Dengan Rheumathoid Arthritis. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan
Cendekia Medika Jombang.

Anda mungkin juga menyukai