Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH KEPERAWATAN KOMUNITAS

RUJUKAN KESEHATAN

Oleh :
Kelompok 5
3B/S.Tr Keperawatan

I Gusti Agung Ngrh Ari Kepakisan (P07120219059)

I Made Tantri Patrayana (P07120219069)


I Made Gede Krisna Dwipayana (P07120219064)
Luh Putu Sukmawati (P07120219066)
Maria Sholasticha Putu Erlina S (P07120219068)
Dimas (P07120219085)
Ni Made Cahyaning Upadani (P07120219096)
Pande Gede Angga Gustina Aryanto (P07120219097)
Ni Made Arisasmita Candra Dewi (P07120219103)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN
DENPASAR JURUSAN KEPERAWATAN
2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan berkah dan rahmatnya bagi kelancaran pembuatan makalah untuk pemenuhan nilai
mata kuliah Keperawatan Komunitas. Judul makalah ini adalah “Rujukan Kesehatan”

Makalah ini dapat diselesaikan berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat :

a. selaku Dosen yang mengajar di mata kuliah Keperawatan Komunitas, yang telah
memberi dorongan, motivasi, dan petunjuk-petunjuk kepada penulis.
b. Pihak Keluarga yang sepenuhnya telah membantu dan memberi dorongan moril maupun
materiil yang juga sangat membantu dalam proses penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi materi
maupun teknik penulisannya, mengingat terbatasnya pengetahuan dan kemampuan yang penulis
miliki. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 04 Februari 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................................i
Kata Pengantar...........................................................................................................ii
Daftar Isi.....................................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan….......................................................................................2
BAB II. PEMBAHASAN..........................................................................................3
2.1 Pengertian End Of Life....................................................................................3
2.2 Prinsip-Prinsip End Of Life.............................................................................3
2.3 Teori The Peaceful End of Life (EOL)………………………………...….….5
2.4 Isu End Of Life Keperawatan Kritis…………………………...…….………7
2.5 Psikososial Aspek dari Keperawatan Kritis…………………………………16
2.6 Upaya Untuk Mengatasi Masalah Psikososial Pasien Kritis…………………20
BAB III. PENUTUP...................................................................................................24
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................24
3.2 Saran...............................................................................................................25
3.3 Daftar Pustaka.................................................................................................26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di negara Indonesia sistem rujukan kesehatan telah dirumuskan dalam Permenkes No.
01 tahun 2012. Sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab timbal balik pelayanan
kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horiontal. Sederhananya, sistem rujukan
mengatur darimana dan harus kemana seseorang dengan gangguan kesehatan tertentu
memeriksakan keadaan sakitnya. Pelaksanaan sistem rujukan di indonesia telah diatur dengan
bentuk bertingkat atau berjenjang, yaitu pelayanan kesehatan tingkat pertama, kedua dan
ketiga, dimana dalam pelaksanaannya tidak berdiri sendiri-sendiri namun berada di suatu
sistem dan saling berhubungan. Apabila pelayanan kesehatan primer tidak dapat melakukan
tindakan medis tingkat primer maka ia menyerahkan tanggung jawab tersebut ke tingkat
pelayanan di atasnya, demikian seterusnya. Apabila seluruh faktor pendukung (pemerintah,
teknologi, transportasi) terpenuhi maka proses ini akan berjalan dengan baik dan masyarakat
awam akan segera tertangani dengan tepat.
Manfaat sistem rujukan dari sudut pemerintah sebagai penentu kebijakan (policy
maker), manfaat sistem rujukan adalah membantu penghematan dana, karena tidak perlu
menyediakan berbagai macam peralatan kedokteran pada setiap sarana kesehatan;
memperjelas sistem pelayanan kesehatan, karena terdapat hubungan kerja antara berbagai
sarana kesehatan yang tersedia; memudahkan pekerjaan administrasi, terutama pada aspek
perencanaan. Dari sudut masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan (health consumer),
manfaat sistem rujukan adalah meringankan biaya pengobatan, karena dapat dihindari
pemeriksaan yang sama secara berulang-ulang; mempermudah masyarakat dalam
1
mendapatkan pelayanan, karena telah diketahui dengan jelas fungsi dan wewenang setiap
sarana pelayanan kesehatan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari sistem rujukan?
2. Apa tujuan dari sistem rujukan?
3. Apa saja kegiatan dan pembagian dalam sistem rujukan?
4. Bagaimana alur sistem rujukan?
5. Apa saja syarat rujukan?
6. Apa saja persiapan rujukan?
7. Apa saja keuntungan sistem rujukan?
8. Bagaimana tingkat rujukan pada sistem rujukan?
9. Bagaimana menentukan tempat tujuan rujukan?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian dari sistem rujukan
2. Untuk mengetahui tujuan dari system rujukan
3. Untuk mengetahui kegiatan dan pembagian dalam sistem rujukan
4. Untuk mengetahui alur sistem rujukan
5. Untuk mengetahui syarat rujukan
6. Untuk mengetahui persiapan rujukan
7. Untuk mengetahui keuntungan sistem rujukan
8. Untuk mengetahui tingkat rujukan pada sistem rujukan
9. Untuk mengetahui menentukan tempat tujuan rujukan

2
1.4 Manfaat Penulisan

Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui, mengerti, dan memahami pengertian dari sistem
rujukan, tujuan dari sistem rujukan, kegiatan dan pembagian dalam sistem rujukan, alur
sistem rujukan, syarat rujukan, persiapan rujukan, keuntungan sistem rujukan,tingkat rujukan
pada sistem rujukan, dan menentukan tempat rujukan

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sistem Rujukan

Rujukan adalah penyerahan tanggungjawab dari satu pelayanan kesehatan ke


pelayanan kesehatan yang lain. Pengertian sistem rujukan menurut Sistem Kesehatan
Nasional Depkes RI 2009, merupakan suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan
yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap satu/lebih kasus
penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal dari unit berkemampuan kurang kepada
unit yang lebih mampu atau secara horizontal antar unit-unit yang setingkat
kemampuannya. Sistem rujukan upaya keselamatan adalah suatu sistem jaringan fasilitas
pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab secara
timbal-balik atas masalah yang timbul baik secara vertikal (komunikasi antara unit yang
sederajat) maupun horizontal (komunikasi inti yang lebih tinggi ke unit yang lebih
rendah) ke fasilitas pelayanan yang lebih kompeten, terjangkau, rasional dan tidak
dibatasi oleh wilayah administrasi. Syarat syarat tertentu harus dipenuhi sebelum system
rujukan dapat berfungsi secara tepat yaitu seperti kesadaran masyarakat dalam masalah
kesehatan, petugas kesehatan harus memiliki pengetahuan yang adekuat dalam strategi
pendekatan resiko dan sistem rujukan, komunikasi dan transportasi yang mudah harus
tersedia

2.2 Tujuan Sistem Rujukan

2.3 Teori The Peaceful End of Life (EOL)

Teori Peacefull EOL ini berfokus kepada 5 Kriteria utama dalam

perawatan end of life pasien yaitu :1) bebas nyeri, 2) merasa nyaman, 3)

merasa berwibawa dan dihormati, 4) damai, 5) kedekatan dengan anggota

keluarga dan pihak penting lainnya.

1. Terbebas dari Nyeri

4
Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah hal yang utama

diinginkan pasien dalam pengalaman EOL (The Peaceful End Of Life).

Nyeri merupakan ketidaknyamanan sensori atau pengalaman emosi

yang dihubungkan dengan aktual atau potensial kerusakan jaringan

(Lenz, Suffe, Gift, Pugh, & Milligan, 1995; Pain terms, 1979).

2. Pengalaman Menyenangkan
Nyaman atau perasaan menyenangkan didefinisikan secara inclusive

oleh Kolcaba (1991) sebagai kebebasan dari ketidaknyamanan,

keadaan tenteram dan damai, dan apapaun yang membuat hidup terasa

menyenangkan ” (Ruland and Moore, 1998).

3. Pengalaman martabat (harga diri) dan kehormatan

Setiap akhir penyakit pasien adalah “ ingin dihormati dan dinilai

sebagai manusia” (Ruland & Moore, 1998). Di konsep ini

memasukkan ide personal tentang nilai, sebagai ekspresi dari prinsip

etik otonomi atau rasa hormat untuk orang, yang mana pada tahap ini

individu diperlakukan sebagai orang yang menerima hak otonomi, dan

mengurangi hak otonomi orang sebagai awal untuk proteksi (United

states, 1978).

4. Merasakan Damai

Damai adalah “perasaan yang tenang, harmonis, dan perasaan puas,

(bebas) dari kecemasan, kegelisahan, khawatir, dan ketakutan”

(Ruland & Moore, 1998). Tenang meliputi fisik, psikologis, dan

dimensi spiritual.

5
5. Kedekatan untuk kepentingan lainnya
Kedekatan adalah “perasaan menghubungkan antara antara manusia
dengan orang yang menerima pelayanan” (Ruland & Moore, 1998). Ini
melibatkan kedekatan fisik dan emosi yang diekspresikan dengan
kehangatan, dan hubungan yang dekat (intim).

2.4 Isu End Of Life Keperawatan Kritis

1. Konsep Do Not Resucitation (DNR)

Do Not Resuscitate (DNR) atau Jangan Lakukan Resusitasi merupakan

suatu tindakan dimana dokter menempatkan sebuah instruksi berupa

informed concent yang telah disetujui oleh pasien ataupun keluarga

pasien di dalam rekam medis pasien, yang berfungsi untuk

menginformasikan staf medis lain untuk tidak melakukan resusitasi

jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary resuscitation (CPR) pada

pasien. Pesan ini berguna untuk mencegah tindakan yang tidak perlu

dan tidak diinginkan pada akhir kehidupan pasien dikarenakan

kemungkinan tingkat keberhasilan CPR yang rendah (Sabatino, 2015).

DNR diindikasikan jika seorang dengan penyakit terminal atau

kondisi medis serius tidak akan menerima cardiopulmonary

resuscitation (CPR) ketika jantung atau nafasnya terhenti. Form DNR

ditulis oleh dokter setelah membahas akibat dan manfaat dari CPR

dengan pasien atau pembuat keputusan dalam keluarga pasien

(Cleveland Clinic, 2010).

6
American Heart Association (AHA) mengganti istilah DNR (Do

Not Resuscitate) dengan istilah DNAR (Do Not Attempt Resuscitate)

yang artinya adalah suatu perintah untuk tidak melakukan resusitasi

terhadap

7
pasien dengan kondisi tertentu, atau tidak mencoba usaha resusitasi

jika memang tidak perlu dilakukan, sehingga pasien dapat menghadapi

kematian secara alamiah, sedangkan istilah DNR (Do Not Resuscitate)

mengisyaratkan bahwa resusitasi yang dilakukan akan berhasil jika

kita berusaha (Brewer, 2008).

Keputusan penolakan resusitasi (DNAR) menurut Brewer (2008)

melibatkan tiga prinsip moral yang dapat dikaji oleh perawat, yaitu

autonomy, beneficience, dan nonmalefecience, ketiga prinsip tersebut

merupakan dilema etik yang menuntut perawat berpikir kritis, karena

terdapat dua perbedaan nilai terhadap profesionalisme dalam

memberikan asuhan keperawatan, secara profesional perawat ingin

memberikan pelayanan secara optimal, tetapi disatu sisi terdapat

pendapat yang mengharuskan penghentian tindakan.

2. Tahapan DNR

Sebelum menulis form DNR, dokter harus mendiskusikannya dengan

pasien atau seseorang yang berperan sebagai pengambil keputusan

dalam keluarga pasien. Semua hal yang didiskusikan harus

didokumentasikan dalam rekam medis, siapa saja yang mengikuti

diskusi, dan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, isi

diskusi serta rincian perselisihan apapun dalam diskusi tersebut.

Dokter merupakan orang yang paling efektif dalam membimbing

diskusi

8
dengan mengatasi kemungkinan manfaat langsung dari resusitasi

cardiopulmonary dalam konteks harapan keseluruhan dan tujuan bagi

pasien. Formulir DNR harus ditandatangani oleh pasien atau oleh

pembuatan keputusahan yang diakui atau dipercaya oleh pasien jika

pasien tidak dapat membuat atau berkomunikasi kepada petugas

kesahatan. Pembuat keputusan yang dipercaya oleh pasien dan diakui

secara hukum mewakili pasien seperti agen perawat kesehatan yang

ditetapkan dalam srata kuasa untuk perawatan kesehatan, konservator,

atau pasangan / anggota keluarga lainnya. Dokter dan pasien harus

menandatangani formulir tersebut, menegaskan bahwa pasien akan

diakui secara hukum keputusan perawatan kesehatannya ketika telah

memberikan persetujuan instruksi DNR ( EMSA).

Beberapa standar yang harus dilakukan pada saat diskusi

menentukan keputusan DNAR yaitu, dokter harus menentukan

penyakit/kondisi pasien, menyampaikan tujuan, memutuskan

prognosa, potensi manfaat dan kerugian dari resusitasi (CPR),

memberikan rekomendasi berdasarkan penilaian medis tentang

manfaat/kerugian CPR, dokter penanggung jawab harus hadir dalam

diskusi, mendokumentasikan isi diskusi, dan alasan pasien/keluarga

dalam pengambilan keputusan ( Breault 2011).

3. Peran Perawat dan pelaksanaan DNR


Peran perawat dalam Do Not Resuscitation adalah membantu dokter

dalam memutuskan DNR sesuai dengan hasil pemeriksaan kondisi

9
pasien.Setelah rencana diagnosa DNR diambil maka sesegera mungkin

keluarga diberikan informasi mengenai kondisi pasien dan rencana

diagnosa DNR. Perawat juga dapat berperan dalam pemberian informasi

bersama- sama dengan dokter ( Amestiasih, 2015). Perawat sebagai care

giver dituntut untuk tetap memberikan perawatan pada pasien DNR

tidak berbeda dengan pasien lain pada umumnya, perawat harus tetap

memberikan pelayanan sesuai dengan advice dan kebutuhan pasien

tanpa mengurangi kualitasnya. End of life care yang perawat lakukan

dengan baik diharapkan dapat memberikan peacefull end of life bagi

pasien, seperti yang digambarkan dalam teori keperawatan peacefull end

of life oleh Rulland and Moore yang meliputi terhindar dari rasa sakit,

merasakan kenyamanan, penghormatan, kedamaian, dan mendapatkan

kesempatan untuk dekat dengan seseorang yang dapat merawatnya

(Amestiasih, 2015).

Perawat sebagai advokat pasien, menerima dan menghargai

keputusan pasien/keluarganya sekalipun keputusan tersebut tidak sesuai

dengan harapan perawat, karena perawat tidak dibenarkan membuat

keputusan untuk pasien/keluarganya dan mereka bebas untuk membuat

keputusan (Kozier et al, 2010). Pemahaman tentang peran perawat

sebagai

10
pendukung dan advokasi pasien dapat bertindak sebagai penghubung

dan juru bicara atas nama pasien/keluarganya kepada tim medis.

Menurut ANA (2004) Perawat sebaiknya memperhatikan dan berperan

aktif terhadap perkembangan kebijakan DNAR di institusi tempat

mereka bekerja, dan diharapkan dapat berkerja sama dengan dokter

selaku penanggung jawab masalah DNAR. Perawat berperan sebagai

pemberi edukasi kepada pasien dan keluarga tentang keputusan yang

mereka ambil dan memberikan informasi yang relevan terkait

perannya sebagai advokat bagi pasien dalam memutuskan cara mereka

untuk menghadapi kematian.

4. Prinsip Etik Pelaksanaan DNR

Keputusan keluarga atau pasien untuk tidak melakukan resusitasi pada

penyakit kronis adalah merupakan keputusan yang dipandang sulit

bagi dokter dan perawat, karena ketidakpastian prognosis dan pada

saat keluarga menghendaki untuk tidak lagi dipasang alat pendukung

kehidupan. Keputusan sulit tersebut disebabkan karena kurangnya

kejelasan dalam peran tenaga profesional dalam melakukan tindakan

atau bantuan pada saat kondisi kritis, meskipun dukungan perawat

terhadap keluarga pada proses menjelang kematian adalah sangat

penting (Adams, Bailey Jr, Anderson, dan Docherty (2011).

11
Pasien DNAR pada kondisi penyakit kronis atau terminal dari sisi

tindakan keperawatan tidak akan berbeda dengan pasien pada

umumnya, hanya memiliki makna bahwa jika pasien berhenti

bernapas atau henti jantung, tim medis tidak akan melakukan

resusitasi/Resusitasi Jantung Paru (RJP), hal ini sesuai dengan definisi

yang dikemukakan AHA, bahwa jika RJP yang dilakukan tidak

memberikan hasil signifikan pada situasi tertentu, dan lebih membawa

kerugian bagi pasien/keluarganya dari segi materil maupun imateril,

maka pelaksanaan RJP tidak perlu dilakukan (Ardagh, 2000 dalam

Basbeth dan Sampurna, 2009).

Dalam pelaksanaan DNR masih terdapat dilema, dalam keperawatan

prinsip etik yang digunakan dalan pelaksanan DNR yaitu:

1) Prinsip etik otonomy

Di sebagian besar negara dihormati secara legal, tentunya hal

tersebut memerlukan keterampilan dalam berkomunikasi secara

baik, perawat secara kognitif memiliki komunikasi terapeutik yang

dapat dijadikan acuan untuk membicarakan hak otonomi

pasien/keluarganya, melalui informed consent, pasien dan keluarga

telah menentukan pilihan menerima/menolak tindakan medis,

termasuk resusitasi, meskipun umumnya pasien/keluarga tidak

memiliki rencana terhadap akhir kehidupannya. Pada prinsip etik

12
otonomy, perawat memberikan edukasi tentang proses tersebut

dengan cara-cara yang baik dan tidak menghakimi pasien/keluarga

dengan menerima saran/masukan, tetapi mendukung keputusan

yang mereka tetapkan (AHA, 2005 dalam Basbeth dan Sampurna,

2009).

2) Prinsip etik beneficence

Pada penerimaan/penolakan tindakan resusitasi mengandung arti

bahwa pasien memilih apa yang menurut mereka terbaik

berdasarkan keterangan-keterangan yang diberikan perawat. Pada

etik ini, perawat memberikan informasi akurat mengenai

keberhasilan resusitasi, manfaat dan kerugiannya, serta angka

harapan hidup pasca resusitasi, termasuk efek samping/komplikasi

yang terjadi, lama masa perawatan, serta penggunaan alat bantu

pendukung kehidupan yang memerlukan biaya cukup besar. Data-

data dan informasi yang diberikan dapat menjadi acuan

pasien/keluarganya dalam menentukan keputusan (Basbeth dan

Sampurna, 2009).

3) Prinsip etik nonmalefecience

Berkaitan dengan pelaksanaan tindakan RJP tidak

membahayakan/merugikan pasien/keluarganya. Menurut

Hilberman, Kutner J, Parsons dan Murphy (1997) dalam Basbeth

dan Sampurna (2009) dikatakan bahwa banyak pasien mengalami

13
gangguan neurologi berupa disabilitas berat yang diikuti dengan

kerusakan otak pasca RJP, menyebabkan kerusakan otak permanen

(brain death), tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakan

RJP bervariasi antara 10-83%. Tindakan RJP dikatakan tidak

merusak jika keuntungan yang didapatkan lebih besar.Pada etik ini,

perawat membantu dokter dalam mempertimbangkan apakah RJP

dapat dilakukan atau tidak terutama pada pasien dengan angka

harapan hidup relatif kecil dan prognosa yang buruk.

Menurut Adam et al (2011) dikatakan bahwa beberapa

penelitian menyebutkan bahwa masih didapatkan komunikasi

yang kurang baik antara perawat dan pasien/keluarganya

mengenai pelaksanaan pemberian informasi proses akhir

kehidupan, sehingga keluarga tidak memiliki gambaran untuk

menentukan/mengambil keputusan, serta pengambilan keputusan

pada proses menjelang kematian masih didominasi oleh perawat,

sebaiknya perawat berperan dalam memberikan dukungan,

bimbingan, tetapi tidak menentukan pilihan terhadap

pasien/keluarganya tentang keputusan yang akan dibuat.

5. Dilema Etik

Di Indonesia, kebijakan DNR sudah lama diterapkan namun

masih menjadi dilema bagi tenaga medis termasuk perawat. Sesuai

dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

14
519/Menkes/Per/Iii/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan

Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit,

disebutkan didalamnya bahwa prosedur pemberian atau penghentian

bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU

dan HCU yaitu semua bantuan kecuali RJP (DNAR = Do Not Attempt

Resuscitation), dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi otak yang

tetap ada atau dengan harapan pemulihan otak, tetapi mengalami

kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau dalam tingkat akhir

penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tidak dilakukan tindakan-

tindakan luar biasa, pada pasien-pasien yang jika diterapi hanya

memperlambat waktu kematian dan bukan memperpanjang

kehidupan.Untuk pasien ini dapat dilakukan penghentian atau

penundaan bantuan hidup.Sedangkan pasien yang masih sadar dan

tanpa harapan, hanya dilakukan tindakan terapeutik/paliatif agar pasien

merasa nyaman dan bebas nyeri (Depkes, 2011).

Keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada perawat

dikarenakan timbulnya penolakan dari hati nurani perawat terhadap

label DNR dan kondisi dilema itu sendiri. Timbulnya dilema psikis ini

juga dapat dipengaruhi oleh masih belum adekuatnya sumber

informasi tentang DNR yang dimiliki oleh perawat.Perawat tidak dapat

terhindar dari perasaan dilema. Merawat pasien setiap hari, melihat

perkembangan kondisi pasien, membuat rencana DNR seperti dua sisi

15
mata uang bagi perawat, disatu sisi harus menerima bahwa pemberian tindakan

CPR sudah tidak lagi efektif untuk pasien namun di sisi lain muncul perasaan iba

dan melihat pasien seolah-olah keluarganya. Dua hal tersebut dapat menjadikan

perawat merasa dilemma (Amestiasih, 2015). Perasaan empati juga dapat

dirasakan oleh perawat karena DNR.Perasan empati ini dapat disebabkan pula

oleh keputusan DNR yang ada dan tidak adekuatnya sumber informasi DNR yang

dimiliki perawat. Perasaan empati yang muncul juga dapat menjadi dampak dari

tingginya intensitas pertemuan antara perawat dengan pasien (Elpern, et al. 2005)

2.6 Psikososial Aspek dari Keperawatan Kritis

Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang bersifat

psikologik maupun social yang mempunyai pengaruh timbal balik. Masalah psikososial

adalah masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal balik,

sebagai akibat terjadinya perubahan social dan atau gejolak social dalam masyarakat yang

dapat menimbulkan gangguan jiwa. Teori Erik Erikson membahas tentang perkembangan

manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial.

Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam

beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial Erikson

adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita

kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah

berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan

orang lain.

ICU seringkali digambarkan sebagai suatu tempat yang penuh dengan stress,

16
yang baik tentang stres dan akibatnya akan membantu ketika bekerja pada unit

keperawatan kritis. Pemahaman ini dapat memungkinkan perawat untuk

mengurangi efek destruktif stress dan meningkatkan potensi positif dari stress
tidak hanya bagi klien dan keluarganya tetapi juga bagi perawat. Pemahaman baik pada
pasien dan dirinya sendiri.

1. Stress
Stress didefinisikan sebagai respon fisik dan emosional terhadap tuntutan yang
dialami individu yang diiterpretasikan sebagai sesuatu yang mengancam
keseimbangan (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Stres merupakan suatu

fenomena komplek, dimana sekumpulan komponen saling berinteraksi dan

bekerja serentak. Ketika sesuatu hal mengubah satu komponen subsistem,

maka keseluruhan sistem dapat terpengaruh. Jika tuntutan untuk berubah

menyebabkan ketidakseimbangan (disequilibrium) pada sistem,


maka
terjadilah stress. Individu kemudian memobilisasi sumber-sumber koping

untuk mengatasi stress dan mengembalikan keseimbangan. Idealnya, stress

bergabung dengan perilaku koping yang tepat akan mendorong suatu

perubahan positif pada individu. Ketika stress melebihi kemampuan koping


seseorang, maka potensi untuk menjadi krisis dapat terjadi.

Stressor

individu dan berakibat pada terjadinya fenomena stress (Emanuelsen &


Rosenlicht, 1986). Sumber stressor dapat berasal dari subsistem biofisikal,
psikososial atau masyarakat. Stressor biofisik antara lain organisme infeksius,
Stressor merupakan faktor internal maupun eksternal yang dapat mengubah
proses penyakit atau nutrisi yang buruk. Sedangkan contoh stressor
psikososial adalah harga diri yang rendah, masalah hubungan interpersonal,
dan krisis

17
perkembangan. Stressor ini berasal dari masyarakat luas seperti fluktuasi ekonomi polusi
dan teknologi tinggi. Bagaimana orang mengalami suatu stressor tergantung pada
persepsinya tentang stressor dan sumber kopingnya. Stress juga merupakan tambahan
(additive). Jika seseorang mendapat serangan stressor yang multipel, maka respon stress
akan lebih hebat.

3. Respon stres

Respon stress dapat diinduksi oleh stressor biofisik, psikososial atau


stressor social. Hans Selye dalam Emanuelsen & Rosenlicht (1986)
mengemukakan temuanya tentang stress kedalam suatu model
stress yang disebut general adaptation syndrome (GAS). GAS
terdiri atas 3 tahap yaitu (a) alarm respon, (b) stage of resistance
dan stage of exhaustion.
- Alarm respon. Merupakan tahap pertama dan ditandai oleh
respon cepat, singkat, melindungi/memelihara kehidupan dimana
merupakan aktivitas total dari system saraf simpatis. Tahap ini
sering disebut dengan istilah menyerang atau lari (fight-or-flight
response).
- Stage of resistance. Merupakan tahap kedua, dimana tubuh
beradaptasi terhadap ketidakseimbangan yang disebabkan oleh
stressor. Tubuh bertahan pada tahap ini sampai stressor yang
membahayakan hilang dan tubuh mampu kembali kekeadaan
homeostasis. Jika semua energi tubuh tubuhnya digunakan untuk
koping, maka dapat terjadi tahap yang ketiga yaitu tahap kelelahan.

18
- Stage of exhaustion. Saat semua energi telah digunakan untuk
koping, maka tubuh mengalami kelelahan dan berakibat pada
terjadinya sakit fisik, gangguan psikososial dan kematian.

4. Klien
Klien yang sakit dan harus masuk ke ruang ICU tidak saja bertambah
menderita akibat stress sakit fisiknya tetapi juga stress akibat psikososialnya.
Konsekuensinya, perawat yang melakukan asuhan keperawatan pada unit
keperawatan kritis didesign untuk memelihara atau mengembalikan semua
fungsi fisik vital dan fungsi-fungsi psikososial yang terganggu oleh keadaan

Sakitnya

5. Respon psikososial
Respon psikososial klien terhadap pengalaman keperawatan kritis mungkin
dimediasi oleh fenomena internal seperti keadaan emosional dan mekanisme
koping atau oleh fenomena eksternal seperti kuantitas dan kualitas stimulasi

lingkungan.
- Reaksi emosional.
Intensitas reaksi emosional dapat mudah dipahami jika
menganggap bahwa ICU adalah tempat dimana klien berusaha menghindari

kematian. Klien dengan keperawatan kritis memperlihatkan reaksi emosional


yang dapat diprediksi dimana mempunyai cirri-ciri yang umum, berkaitan

dengan sakitnya. Takut dan kecemasan secara umum adalah


reaksi pertama
yang tampak. Klien mungkin mengalami nyeri yang menakutkan, prosedur
yang tidak nyaman, mutilasi tubuh, kehilangan kendali, dan/atau meninggal.
- Depresi.
merupakan respon terhadap berduka dan kehilangan.pengalaman kehilangan

19
dapat memicu memori dimasa lalu muncul kembali dengan perasaan sedih
yang lebih hebat.

20
6. Mekanisme koping
Mekanisme koping merupakan skumpulan strategi mental baik disadari
maupun tidak disadari yg digunakan untuk menstabilkan situasi yang
berpotensi mengancam dan membuat kembali ke dalam keseimbangan

(Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Strategi koping klien merupakan upaya


untuk menimbulkan stabilitas emosional, dan lingkungan,

mendefinisikan kembali tugas/tujuan hidup, dan memecahkan masalah yang

ditimbulkan oleh karena sakit/penyakit. Beberapa contoh perilaku koping

adalah humor, distraksi, bertanya untuk suatu informasi berbicara dengan yang

lain tentang keluhan/perasaan-perasaannya, mendefinisikan kembali masalah

kedalam istilah yang lebih disukai.

2.6 Upaya Untuk Mengatasi Masalah Psikososial Pasien Kritis


Terjadinya sakit atau keadaan KRISIS atau KRITIS seseorang menimbulkan
stres dan anxietas baik pada klien, keluarga atau orang terdekat. Oleh karena :
a. Ancaman thd kehidupannya dan kesejahteraanya

b. Ancaman ketidakberdayaan

c. Kehilangan

d. Beratnya penyakit

e. Kehilangan kendali

f. Perasaan kehilangan fungsi & harga diri

g. Kegagalan membentuk pertahanan diri

h. Perasaan terisolasi

i. Takut mati

Respon yang dialami baik pasien atau keluarga yang mengalami kegawatan atau
sakit kritis umumnya akan :
a. Terkejut dan tidak percaya

21
b. Mengembangkan kesadaran

c. Resolusi ( keputusan )

Sebagai perawat professional apabila pasien atau keluarga mengalami hal


tersebut maka penatalaksanaan keperawatan tidak terlepas dan:
1. Proses keperawatan

2. Memenuhi kebutuhan dasar pasien

3. adaptasi

4. Advokasi

Tindakan tersebut ditujukan untuk:

1. Dukungan emosional, sosial, spiritual dan fisik di lingkungan


perawatan
2. meningkatkan kenyamanan

3. meningkatkan integritas dan identitas pasien

4. koping yang adaptif dan efektif

 Proses Koping

Proses koping pada pasien yang mengalami trauma sangat dipengaruhi oleh:

a. Gejala awal ( pasien menangis / ketakutan karena tidak tahu kondisinya)

b. Penolakan klien terhadap kondisinya

 Wawancara dan Intervensi Psikososial

Bagi perawat emergensi / perawat kritis sangat diperlukan wawancara &


intervensi psikososial sebab disamping umumnya pasien dan keluarga
mengalami sakit yang tiba-tiba juga terkadang disertai situasi yang buruk dan
penyakit yang berat. Keberhasilan tindakan ini sangat tergantung pada:
a. Informasi & jawaban yg memuaskan atas permasalahan mereka

b. Jaminan terhadap kesehatannya

c. Perubahan kearah kesembuhan


22
d. Harapan keluarga

e. Sikap tenaga keperawatan

f. Frekuensi kontak dengan pasien / keluarga

 Upaya Perawatan Psikososial Pasien Kritis

1. Modifikasi Lingkungan.

Pertama adalah merubah lingkungan ICU. Lingkungan ICU sebaiknya


senantiasa dimodifikasi supaya lebih fleksibel walaupun menggunakan
banyak sekali peralatan dengan teknologi canggih, serta meningkatkan
lingkungan yang lebih mendukung kepada proses recovery (penyembuhan
pasien) (Jastremski, 2000). Konsep pelayanan yang berfokus pada pasien
memungkinkan untuk mempromosikan the universal room. Ketersediaan alat
yang portable dan lebih kecil meningkatkan keinginan untuk mendekatkan
pelayanan pada pasien daripada pasien yg datang ke tempat pelayanan.
Kemungkinan untuk membuat work statiun kecil (decentralization of nursing
activities) untuk tiap pasien akan mengurangi stress bagi pasien (Jastremski,
2000).

2. Terapi musik.

Disamping modifikasi lingkungan seperti diuraikan diatas, cara lain untuk


menurunkan stress pada pasien yang dirawat di ICU adalah terapi musik.
Tujuan therapy musik adalah menurunkan stress, nyeri, kecemasan dan
isolasi. Beberapa penelitian telah meneliti efek musik pada physiology pasien
yang sedang dirawat dan menemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan
heart rate, komplikasi jantung dan meningkatkan suhu ferifer pada pasien
AMI. Juga ditemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan stress pasien
(Jastremski, 2000; Harvey, 1998; White, 1999). Musik yang digunakan bisa
berupa suara air, suara hujan, suara angin atau suara alam (Jastremski,1998).
Masing - masing pasien diberikan headset untuk mendengarkannya.
Pengurangan cahaya di malam hari juga akan mengurangi stressor bagi
pasien.

23
3. Melibatkan kelurga dan memfasilitasi keluarga dalam perawatan pasien kritis.
Lingkungan ICU harus mampu mengakomodasi kebutuhan pasien dan
keluarganya (Jastremski, 2000). Pasien tentunya sangat mengharapkan
dukungan emosional dari keluarganya (Olsen, Dysvik & Hansen, 2009)
karenanya jam besuk harus lebih fleksibel. Selama ini jam bezuk hanya 2 kali
sehari. Hal ini perlu dimodifikasi terutama untuk seseorang yang sangat
berarti bagi pasien. Disamping itu keluarga perlu diberikan ruangan tunggu
yang nyaman dengan fasilitas kamar mandi, TV dan internet connection
(Hamilton, 1999).
4. Komunikasi terapeutik.
Perawat dan tenaga kesehatan lainnya sering lupa atau kurang perhatian
terhadap masalah komunikasinya dengan pasien dan keluarganya. Berdasarkan
sistematic review yang dilakukan oleh Lenore & Ogle (1999) terhadap
penelitian tentang komunikasi perawat pasien di ruang ICU di Australia
menemukan bahwa komunikasi perawat di ruang ICU masih sangat kurang
meskipun mereka mempunyai pengetahuan yang sangat tinggi tentang
komunikasi terapeutik. Hal ini juga dialami oleh teman dekat penulis ketika
anaknya di rawat di ICU. Dia merasa perawat ICU di rumah sakit

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

End of life merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan


kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo, 2016). End of life akan
membantu pasien meninggal dengan bermartabat. Pasien yang berada dalam fase
tersebut biasanya menginginkan perawatan yang maksimal dan dapat meningkatkan
kenyamanan pasien tersebut. End of life merupakan bagian penting dari keperawatan
paliatif yang diperuntukkan bagi pasien yang mendekati akhir kehidupan.

Pasien-pasien yang dirawat diruangan Kritis ( IGD, ICU, ICCU, PICU )


adalah pasien-pasien yang sedang mengalami keadaan kritis. Keadaan kritis
merupakan suatu keadaaan penyakit kritis yang mana pasien sangat beresiko untuk
meninggal. Pada keadaan kritis ini pasien mengalami masalah psikososial yang cukup
serius dan karenanya perlu perhatian dan penanganan yang serius pula dari perawat
dan tenaga kesehatan lain yang merawatnya. Dalam memberikan asuhan keperawatan
pada pasien kritis ini, perawat ini harus menunjukkan sikap profesional dan tulus
dengan pendekatan yang baik serta berkomunikasi yang efektif kepada pasien.
Jadi dapat disimpulkan bahwa End of life care merupaka salah satu tindakan keperawatan
yang difokuskan pada orang yang telah berada di akhir hidupnya, tindakan ini bertujuan untuk
membuat orang hidup dengan sebaik-baiknya selama sisa hidupnya dan meninggal dengan
bermartabat.

25
3.2 Saran
1. Seorang perawat diharapkan mampu memahami issue End Of Life di keperawatan kritis
dan psikososial aspek dari keperawatan kritis sehingga dapat memberikan asuhan
keperawatan pada pasien kritis dengan baik dan benar.
2. Kepada pembaca, jika menggunakan makalah ini sebagai acuan dalam pembuatan makalah
atau karya tulis yang berkaitan dengan judul makalah ini, diharapkan kekurangan yang ada
pada makalah ini dapat diperbaharui dengan lebih baik

26
DAFTAR PUSTAKA

Hudak, C., & Gallo, B. (2010). Keperawatan kritis pendekatan holistik (Edisi 6. Vol. 1). Jakarta:
Buku Kedokteran EGC. (Hockenberry &Wilson, 2005) Laporan Tahunan RSUD dr. Saiful
Anwar (2014)
Beckstrand., et, al. (2015). Rural Emergency Nurse’s End of Life care obstacle experiences: stories
from the last frontier. Journal Of Emergency Nursing.
Enggune, M., Ibrahim, K., & Agustina, H. R. (2014). Persepsi Perawat Neurosurgical Critical Care
Unit terhadap Perawatan Pasien Menjelang Ajal.Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 2(1).
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/11/13-Aspek-Psikososial-dalam-merawat-pasien-
kritis.pdf

27

Anda mungkin juga menyukai