Anda di halaman 1dari 4

Narcissus

Narcissus is a genus of predominantly spring flowering perennial plants of the amaryllis


family, Amaryllidaceae. Various common names including daffodil, narcissus and jonquil
are used to describe all or some members of the genus.

‘’ Ahh … It was awesome … ‘’

Haitani Ran dan segenap pesonanya menghembuskan napas kuat-kuat seraya mengempaskan
tubuh eloknya yang tidak terbungkus sehelai kain itu, di sebelah tubuh wanita yang barusan
ia semburkan aliran deras cairan cintanya dengan sepenuh hati, dan nafsu.

Wanita itu tempo napasnya sama berantakan dengan Ran, aliran peluh di sepanjang garis
wajah cantiknya juga tampak sama derasnya dengan Ran. Namun perasaan yang mengisi dua
hati sejoli itu, sayangnya tak menemukan kesamaan.

Wajah si adam tampak terlukis senyum kelewat lebar dan mata yang gemerlapan euforia,
serta hatinya yang riang gembira serupa langit malam di pergantian tahun yang ramai akan
ledakan kembang api aneka warna. Sementara si hawa, oh semesta , bahkan wajahnya saat ini
rasanya sulit dieja sebagai ‘wajah’ sebagaimana redupnya tanda-tanda kehidupan di sana.
Walau sedikit sepercik api dari mancis rokok pun, tidak dapat ditemukan. Ia tidak terlihat
hidup — tubuhnya seperti diisi oleh angin saja.

Memang begini adanya: perasaan Haitani Ran dan wanita yang ia cintai itu akan selalu
oposisi bak kutub kembar magnet yang memang diciptakan untuk saling tidak
tarik-menarik — tak peduli berapa jumlah tahun yang sudah mereka lewati bersama.

‘’As awesome as always,’’ Ran mengimbuh, masih dengan mata sayu dan suara serak
khasnya sehabis senggama.

Yang barusan diucapkan oleh Ran itu adalah ‘kalimat pujian’ — umumnya membuat orang
yang dipuji merasa bangga atas hal yang dilakukannya. Apalagi ini Haitani Ran dan
tubuhnya yang bergelimangan pesona; yang umumnya akan membuat wanita yang
disenggamainya tersenyum bangga pada diri sendiri jika ia lontarkan kalimat itu sehabis
mencapai puncak kenikmatan.
Namun ini wanita yang sejak awal tidak pernah menginginkan Ran dan semua tentangnya
ini — justru merasa makin jijik pada dirinya sendiri. Terlebih ketika pria usia dua puluh tujuh
tahun ini kemudian menghadap ke kanan, menggeser tubuhnya lebih dekat dengan si wanita,
dan memeluk perutnya erat. Gue menjijikkan banget, wanita itu menutup mata seolah ia
berharap matanya tidak akan pernah terbuka lagi. Kebalikan dengannya, Ran lanjut
membenamkan kepala di ceruk leher si wanita, tersenyum; seolah itu adalah tempat rehat
paling menyenangkan dan aman baginya.

Aroma tubuh Haitani Ran lantas hadir menyapa indera penciuman si puan; parfumnya
beraroma akuatik anggrek dan kemewahan, berpadu serasi dengan seberkas aroma tembakau
hasil dari isapan cerutunya berjam-jam di balkon penthouse-nya ini, serta segulung aroma
keringat maskulin dari kulit polosnya. Ada tercium pula jejak-jejak parfum si wanita itu
sendiri dari tubuh Haitani Ran, bikin ia jadi merasa makin jijik. Tidak lagi soal tubuhnya saja,
tapi .. terhadap banyak hal .

Namun tak dapat dipungkiri, wangi pria Haitani satu ini naim sekali. He smells like the
keynote from every good scent from this world that can bottle you into an addiction. But
sadly, she couldn’t seem to smell anythingㅡanymore .

“Cantik? Kamu melamun?’’ Sebuah guncangan pelan serta kecupan singkat merayap di
pundaknya, membuat lamunan si wanita tersentak dan lantas berlarian pergi dan melebur
bersama udara. Ia lalu berkedip beberapa kali, berusaha kembali menguasai diri, untuk
kemudian mendapati dua mata berwarna lila itu sudah menatapnya.

Teduh, hangat, misterius, dan memesona disaat yang bersamaan; begitulah definisi sorot mata
Haitani Ran yang khas. Bagi si wanita, selalu mengingatkannya pada sinar bulan yang
menerpa permukaan sungai kecil di sebelah rumah neneknya yang ada jauh di dalam hutan.
Namun akhir-akhir ini, untuk beberapa alasan, si puan merasa tatapan pria Haitani itu
‘sedikit’ berubah kepadanya. Agak mirip .. cara Papa memandang Mama di pesta perayaan
perak pernikahan mereka .

‘’Iya, melamun,’’ wanita yang Ran cintai itu menjawab dengan mata yang berlarian ke
langit-langit kamar. Agaknya sudah kehabisan semua energi untuk kembali berkomunikasi
dengan mata penuh pesona itu.
‘’Melamunkan apa?’’ Tangan kanan Ran yang semula memeluk perut wanitanya, bergerak
meraih tangan kanannya dan mengarahkannya ke puncak kepalanya sendiri; minta
dielus-elus. Wanita itu menurut, walau matanya masih menolak untuk bertatapan. Kehalusan
dari rambut warna ungu dengan goresan-goresan hitam ini, lantas menggelitiki jari-jari si
wanita.

‘’Gak tau.’’

‘’Kok gak tau?’’

‘’Ya karena memang gak tau.’’

Haitani Ran tertawa kecil, lalu mencium singkat bibir warna batu mawar kuarsa milik
wanitanya itu, dan berkata, ‘’Makasih ya cantik, aku senang.’’

How can someone sound as delightful as the wishes cast when a star falls, and as terrifying
as the mysterious knocking on the living room door at 3 am at the same time? How can the
devil look like an angel when he smiles at you? How can you be the ‘Haitani Ran’?

Dia bak sundal bergelimangan pesona, yang sepoi-sepoi menarik tanganmu menuju jurang
seraya membisikkan rentetan kalimat ganjil tapi indah, kemudian dengan begitu saja, kau
menerjunkan diri bersamanya dalam tawa. Menemui maut secara bersenang-senang.

Semua ini melelahkan: Haitani Ran bak cara destruksi diri yang paling menyenangkan.

‘’Ran, aku pergi dulu.’’

Di menit berikutnya, wanita bersurai arang itu dengan gerakan tiba-tiba bangkit dari ranjang
dan segera memungut pakaiannya yang berserakan di lantai — seolah baru kena hantam palu
besar yang menyadarkannya bahwa, ‘kamu sedang bersama si Haitani Ran yang bergelimang
pesona itu, loh!’. Dan sekarang telah diketahuinya: itu tidak akan pernah benar untuknya.

‘’Kamu mau kemana?’’ Si pria Haitani yang terkejut walau sudah mengantisipasinya,
bertanya seraya bangkit duduk dengan lesu — oposisi sekali dari bagaimana dirinya terlihat
sepersekon yang lalu.

‘’Pulang. Kamu udah senang , kan?’’


Haitani Ran membeku, dan wanita itu memilih untuk mendadak jadi bisu; membikin hening
kesempatan membentangkan sayapnya dengan cukup lebar di antara mereka. Rasanya seperti
ada sesuatu di dalam diri Ran yang digores oleh wanita itu. Mungkin, egonya? Atau
perasaannya? Atau bahkan, harapannya? Tapi, ‘harapan’ untuk apa? Dan sejak kapan ia
kembali menghidupkan satu kata yang telah lama dibunuhnya itu?

Namun tebak-tebakan Ran dengan dirinya sendiri itu sontak berhenti, ketika dilihatnya si
wanita rambut arang kesukaannya itu selesai mengancing kemeja putihnya. Ran buru-buru
menghampiri, serupa wanita itu yang buru-buru menuju pintu untuk pergi . Pria jangkung itu
lantas memeluknya erat dari belakang.

Tapi hanya beberapa detik Ran berhasil memeluknya lagi, sebab si puan dengan gerakan
tiba-tiba berjongkok, bikin Ran jadi memeluk udara di detik selanjutnya. ‘’Kancing kemejaku
jatuh satu, Ran,’’ katanya seraya bangkit berdiri lagi sehabis memungut kancing kemeja
imajiner, dan langsung berjalan menuju pintu keluar.

Dan tanpa melihat sedikit pun, wanita tawanan lara itu keluar dari kamar setelah sebelumnya
berkata, ‘’Aku pergi dulu. Kamu jangan lupa mandi terus makan malam. Nanti aku kabari
kalau udah sampai rumah, ya.’’

Lalu pintu kamar tertutup kembali, meninggalkan si pria Haitani sendiri, bersama rasa asam
yang mendadak melumuri batok kepala sampai hati. Satu gelembung pikiran kemudian lahir:

Ini ego gue yang lagi tersakiti, ya?

— Episode 1, selesai.

Anda mungkin juga menyukai