selepas terang di kampung itu. Mencoba memata-matai para dedemit sialan yang berkeliaran, sekaligus memulai mencari informasi tentang keberadaan markas-markas kompeni. Dia tak ingin membuang-buang waktu dengan percuma. Sepanjang jalan yang dia temui: api-api tampak menyala di dalam tong-tong sampah besi. Beberapa orang berkerumun di situ, sekadar menghangatkan diri dari dinginnya angin malam yang menusuk. Asapnya mengepul di udara, menyebar di tiap- tiap sudut lorong dan di seluruh jalanan, berbaur dengan para manusia malam. Orang-orang mabuk berkeliaran, pengemis- pengemis, berderek meminta-minta di pinggiran, segerombolan pemeras sedang menjarah sebuah kedai kecil, koyok liar menggonggong di sudut gelap, tikus-tikus berkelahi di dalam parit berbau busuk memperebutkan makanan sisa, mereka yang menyebut kelompok orang-orang jahat menempati wilayahnya masing-masing dan rumah- rumah bordil bersinar terang ramai pengunjung. Di sebelah dinding luar rumah bordil, sepasang kekasih tengah bercumbu mesra, di bawah cahaya lampu samar- samar. Tubuh mereka berdua menempel sangat lekat. Si perempuan tampak menikmati bibir si laki-laki yang mengisap-isap dalam pagutan yang kuat. Seolah-olah, mereka berdua tak memedulikan mata orang-orang yang melintas. Serasa tempat itu hanya milik mereka berdua saja. Kepalang basah, sudah semenit lebih, Ratna Mewangi memandang sepasang kekasih itu bersenggama yang berjarak sepuluh langkah dari tempatnya berdiri. Sampai membuat napsu tidak tahu malunya menggelora. Hingga suara desahan si perempuan yang menggema sekali, terpaksa mengusirnya dari situ. Sejauh kakinya melangkah memintasi beberapa rumah bordil yang berjejer, banyak para sundal lagi merayu-rayu orang-orang yang lewat di depan tempat mereka menyambung hidup. Tepat di muka rumah bordil di penghujung jalan, seorang sundal yang umurnya kira-kira mendekati paruh baya, mendadak menjeramah lengan Ratna Mewangi. “Singgahlah sebentar,” kata perempuan itu dengan mengapit sebatang cerutu di jari telunjuk dan jari tengahnya. Ratna Mewangi menatap datar dan lekas menangkup setengah wajahnya dengan selendang. “Maaf ... aku masih ada urusan lain,” balasnya merundukkan kepala. “Permisi.” Hendak melangkah, perempuan itu menahan lengan Ratna Mewangi seakan tak menginginkannya pergi. Dia kemudian bertanya, “Wajahmu cantik, kenapa ditutupi?” Secepatnya Ratna Mewangi menjawab dengan pandangan matanya yang tajam dan nada mengundang emosi, “Bukan urusanmu!” Perempuan itu lantas tersenyum mengangkat bibir sebelahnya dan berkata, “Aku suka perempuan sepertimu.” Tanpa bercakap lagi, Ratna Mewangi berkelebat mengeloskan paksa lengannya dari kepalan tangan perempuan itu, dia segera bertolak diri. Perempuan itu menghisap sekali cerutunya, menarik dalam-dalam asapnya lalu mengembuskannya perlahan-lahan melalui hidung dan mulut. Sayup-sayup kedua matanya yang belum kelihatan berkeriput, dia bercakap sendiri: Belum kutanya siapa namamu, kau malah pergi. Bila bertemu kembali, kau tak akan kulepaskan perempuan pujaanku. Setelah itu, dia membanjur bibirnya yang lembut dengan ludah yang menempel di lidahnya, sampai kelihatan mengkilap. Sepintas dilihat-lihat, dia rupanya telah tergoda oleh pesona kecantikan Ratna Mewangi, dan tampaknya dia adalah seorang perempuan penyuka sesama jenis, atau mungkin kedua-duanya. Belum terlalu jauh Ratna Mewangi memangkas jarak dari perempuan itu, dia mencoba menoleh sekali ke belakang, memastikan kalau perempuan itu sudah tak lagi berdiri di situ. Tapi apa yang dia lihat, perempuan itu ternyata masih setia memandanginya. Tak elak perasaan kesalnya muncul tiba- tiba. Dasar perempuan sinting, gumamnyasembari melemparkan pandangannya kembali ke depan. Dia terus berjalan tanpa melihat-lihat lagi ke belakang. Sepanjang jalan sehabis rumah bordil tersebut, Ratna Mewangi digonggong para koyok liar yang bersembunyi di balik sudut lorong sunyi. Dia pun beberapa kali berpapasan dengan orang-orang asing. Sampai dia tiba di depan sebuah kedai yang masih buka. Di dalam kedai itu, ada beberapa orang terlihat sedang menikmati minuman sambil bercakap-cakap. Sepintas dia menangkap perbincangan mereka mengenai kompeni. Sekilap, kakinya seolah memerintah sendiri. Dia kemudian singgah di dalam kedai tersebut. Seorang laki-laki lalu datang mendapatinya di tempat duduk. “Mau pesan apa, neng?” tanya laki-laki itu. “Araknya satu, pak,” jawab Ratna Mewangi. Laki-laki itu merundukkan kepalanya sebelum berlalu mengambilkan pesanan Ratna Mewangi. Tak menunggu lama, laki-laki itu datang membawa sebotol arak dan berupa cemilan yang terbuat dari daging giling di dalam piring kecil sebagai penawar alkohol. Ratna Mewangi mulai meneguk arak setengah-setengah gelas dan menyetel baik-baik pendengaran macannya supaya dapat menangkap semua yang mereka cakapkan. “Apa kau pernah tidur dengan perempuan keturunan penjajah itu?” “Tidak. Tapi aku pernah sekali melihat seorang perempuan Belanda telanjang.” “Apa?!” Seketika keadaan jadi ricuh sesudah kalimat tak senonoh itu keluar dari mulut salah seorang dari mereka. Ratna Mewangi tetap memasang telinga pada segerombolan laki-laki setengah teler, yang tak tahu diri menggosipkan apa yang dia pikir itu pantas. Dia terus menguping semua yang mereka cakapkan walaupun terdengar sangat menjijikkan. Dia tampak santai- santai saja sambil menikmati setengah-setengah gelas arak yang disajikan. Tapi wajahnya hampir jadi rusak. “Sialan kau! Tak mau bagi-bagi keuntungan.” “Hehe. Aku juga cuma mengintip di pemandian air panas.” “Pantas!” “Hei bung, bila ketangkap kau mampus digantung hidup- hidup di depan kerumunan orang.” “Alllahhh, itu tergantung kitanya saja,” selorohnya. “Kalau kita pintar, kita dapat enak. Kalau tidak ... ya mampus. Hahahaha.” Dia tertawa Parau dan melanjutkan, “Bung-bung sekalian, kalian tahu ... dada perempuan Belanda itu benar- benar montok ... sumpah! Apalagi bagian bawahnya ... uh ... bukan main mulusnya.” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya tampak menikmati. “Dasar kau, bung. Pokoknya sehabis dari sini aku mau mampir ke tempatnya si nyai itu.”
“Hm. Ingat istri di rumah, bung.”
“Ahh, itu belakangan, bung. Kita juga butuh yang muda-muda iya, toh? Hahaha.” “Kau ini ... tidak pernah berubah dari dulu.” “Namanya juga lelaki bung, mirip anjing. Hahaha.” Selama beberapa menit berselang, Ratna Mewangi tak mendapatkan informasi yang penting dari percakapan mereka. Malah dia merasa sangat jengkel dengan ocehan busuk dari mulut mereka. Laki-laki laknat, gumamnya mengerling segerombolan laki-laki bobrok itu. Dia lalu meneguk sekali arak segelas sebelum dirinya berdiri dari tempat duduknya, menyisakan setengah botol lebih arak di atas meja. Setelah melepaskan beberapa koin, dia langsung keluar dari kedai. Baru saja sampai di depan kedai, deru mesin kendaraan berat terdengar mendekat. Cahaya lampu besar yang luas dan tajam, sekelebat memecah gelap di ujung jalan. Lampu-lampu kendaraan muncul satu persatu, saling berarak. Datang mendekat pada Ratna Mewangi yang menyaksikannya. Awalnya pandangan itu, hampir secepatnya musnah saat kendaraan-kendaraan milik orang-orang Belanda, melangkaui batas mata Ratna Mewangi. Namun tiba-tiba saja, kedua matanya terbuka lebar-lebar sesudah bayangan orang yang dia dendam seumur hidupnya, sekilas berada di dalam kendaraan yang paling depan. Pikirannya berkecamuk, bercampur dendam dan amarah yang dahsyat. Dia lantas memandanginya sampai roda kendaraan-kendaraan itu berhenti atau lenyap di antara bangunan-bangunan rumah. Dan tak disangka, kendaraan-kendaraan tersebut ternyata berhenti di depan rumah bordil yang mempertemukannya dengan si perempuan tadi. Sebab penasaran, curiga, sekaligus itu merupakan tugasnya sebagai mata-mata pemberontak, dia segera berlindung di balik dinding tua sebelah kedai dan mengamatinya dari situ. Dari dalam kendaraan Jeep paling depan, turunlah seorang laki-laki berpostur tinggi besar berparas bule dan seorang yang berpostur tak terlalu tinggi berparas pribumi, menyusul beberapa serdadu-serdadu Belanda keluar dari dalam kendaraan yang mengawal di belakang. Tiga orang perempuan yang masih kuncup terpandang muncul dari dalam menjemput mereka, disusul si perempuan itu. Tampaknya mereka berdua orang-orang penting Belanda, sebab dikawal sebegitu ketatnya. Dan dilihat dari seragam yang dikenakan si laki-laki berpostur tinggi, barangkali, dia adalah seorang jenderal Belanda berpangkat tinggi dan satunya lagi mungkin saja kaki tangannya. Tak begitu jelas terlihat, namun masih bisa diamati walaupun dia harus beberapa kali meremas kening dan bawah matanya.