Anda di halaman 1dari 6

Seribu Arca

Saksi Pengkhianatan

Dahulu kala, diatas buana tempat arca-arca itu bercengkrama

Sebuah singgasana milik Prabu Baka tengah singgah

Dengan segala damai dan tentram, awalnya

Sebelum lengan-lengan utusan Bandung Bondowoso hadir mengusik

Lisannya mengumbar riuh, tungkainyapun beringas

Menyapu rintih milik insan dengan tombak dalam genggamnya

Menghantar nafas Sang Prabu menuju muaranya

Maka sejak hari itu

Singgasana yang dulunya sarat akan damai jatuh dalam genggam Bandung Bondowoso

Dengan segala tahta dan binar didalamnya

Tak luput Lara Janggrang, putri semata wayang Prabu Baka

“ Kisah yang menarik bunda, adik senang mendengarnya “ucap sebuah suara

Dari rupa yang sungguh manis dan polos

Matanya berkedip, bibirnya mengumbar senyum. Ia nampak bahagia

Raga dengan penuh kehangatan disudut ruang mulai mengangguk


Pada sebuah suara yang baru saja tercecar dalam senyap

Kini lisannya belum jua ingin mengatup, nafasnya hendak mengambil ancang

Namun sejak kali pertama Bandung ucapkan rasa suka

Hati Lara tak pernah ingin sepaham, tangis milik jiwanya mengalir

Disetiap kata “ suka “ dan “ cinta “ mengapung diudara

“ Tunggu, mungkin aku dapat menyangkal “, ucapnya pada suatu siang

Maka saat harapan itu datang, Lara bergegas menemui Bandung

Tanpa hela nafas, lisannya dengan lincah bermelodi

“ Bandung, kau boleh saja mempersuntingku. Asalkan kau mampu membuat 2 sumur yang

dalam dan 1000 candi untukku Tepat sebelum fajar menyingsing “

Setelah sepasang bibir itu akhirnya terdiam, Bandung pun mengangguk

Ia begitu yakin

Rupa yang benaknya tenggelam dalam tanya kini mulai terdiam, bibirnya nampak jerah

mengatup

“ Bunda lanjutkan saja kisahnya. Adik suka “ ujar suara dari sepasang bibir mungil itu

Berbekal sebuah anggukan, sekumpulan kata bersiap tercecar kembali

Maka sejak angkasa yaum tenggelam dalam petang


Bandung beserta kawan kasat matanya bergegas

Lengan-lengan tak terjamah itu begitu sibuk mengais tanah, merakit arca

Tungkai tungkai itu pun tak henti-hentinya berjingkat

Malam masih saja nampak gulita, bersama hambur gemintang diangkasa, dan arca pada

buananya yang mulai singgah pada suatu bilang, 900

Lara Jonggrang begitu risau, ia tentu tak ingin Bandung begitu mudah memperolehnya

Maka, Lara bergegas berlari menuju graha-graha diufuk timur

Raga-raga yang masih terlelap ia bangunkan

“ Cepat, bantu aku. Kumohon. Bakarlah jerami dan bentangkanlah selendang milikmu. Segera !

“, ucap Lara pada rupa rupa yang masih nampak hening

Dengan sigap, sekumpulan raga berhambur keluar

Mereka hendak laksanakan pinta Lara

Maka dibakarlah jerami-jerami itu bersama bentang slendang abang

Angkasa yang tadinya petang, perlahan sesak akan semburat jingga

Raga-raga itu tengah merias langit rupanya

Sang fajar kini bagai mencuat dihujung timur, seolah-seolah beranjak pagi

Bandung Bondowoso menatapnya, matanya mengangguk, namun tidak batinnya


Ia percaya hari masih petang

“ Seharusnya malam belum jua beranjak, kau curang Lara “, ucapnya lirih

Larapun menghampiri Bandung, hendak katakan bahwa Bandung telah gagal.

Namun naas

Sebelum lisan itu sempat bergumam, kutukan itu melesat begitu cepat

“ Kau seharusnya mengakui saja. Bahwa kau tak ingin denganku “ ujar Bandung

Lengannya sibuk mengusap ubun Lara yang kini membatu

“ Maaf, kau harus menerima ini. Kau tak berhak menyanggah. Aku ingin engkau menjadi arca

dalam candi ke 1000 yang akan ku bangun “

Raga dengan penuh kehangatan disudut ruang mulai menghembus nafas, kalimat itu tercecar

sempurna

Bagaimana kabar buah hatinya ?

Raga itu hendak mencari rupa yang nampak lega atas tanya yang telah terjawab

Namun ia salah, rupa yang tengah ia cari kini memerah

Pelupuk matanya basah, isaknya terlantun, ia sedang sedih.

“ Ada apa nak ? “ raga disudut ruang nampak gelisah

Matanya menatap pilu pada rupa yang kini mulai khawatir


“ Aku takut bunda, dimana kita akan tinggal ? “ ucapnya

Kini raga di sudut ruang tampak bingung

Ia sungguh tak mengerti, batinnya lelah mencari cela pada teka-teki buah hatinya

“ Adik hanya takut Bandung masih bernafas hingga detik ini. Ia akan mengutuk jiwa-jiwa ingkar

disana menjadi arca bukan ? Jika bumi tempat kita berpijak saat ini sesak akan arca, kita akan

tinggal dimana bunda ? “

Senyum perlahan merekah dalam rupa yang sempat jerah, fikirnya mulai temukan cela

“ Kita tidak akan kemana-mana anakku. Maka dari itu tengadahlah, agar batin mereka lekas

terjamah oleh ridho illahi. Jangan pula kau ikuti jejak mereka. Kau tak ingin menjadi arca

bukan ? “

Pilu yang sedari tadi mengalir mulai terhenti, muaranya sibuk mengangguk

“Cukup 1000 candi saja bunda. Adik berjanji, Bandung tidak akan pernah membangun candi ke

1001- dengan adik sebagai arca “ ujar raga di sudut ruang.

Anda mungkin juga menyukai