Anda di halaman 1dari 3

Kisah Sang Mualim

Mega-mega jingga tengah mengudara

Membawa warta bagi Sang Mualim

Berseru, berteriak di sela penantian :

“ Kawan, utuslah dermaga tuk melepas bahtera milikmu “

Raut resah seketika padam

Rasa syukur kian meluap

Perlahan, bahtera itu ia lepas

Tuk berlarung dengan arus

Dalam sejuk semilir senja

Kawan, kau harus tau

Dalam tubuh bahtera

Secercah harapan menumpang tinggal

Menunggu hamparan buana diseberang

Tempat mereka tinggal

Dan berpijak nanti

Namun, tak lama

Kala Sang Mualim terbenam dalam lamunan

Arus segara seketika mengamuk

Cadasnya turut membuai bahtera

Agar tunduk dan pasrah

Pada tarian liar jemarinya

Maka, saat itu

Terukirlah rongga pada lekuk bahtera

Memberi cela bagi pasang dan surut


Merayu harapan-harapan yang sempat singgah

Agar hanyut dalam ruas

Tinggalkan tulus kasih bahtera

Sungguh sayang, sungguh malang

Paras Sang Mualim kini memerah

Tatapannya tampak geram

Bak mengancam harapan-harapan yang kian jauh

Angkasa tampak kelam kala ini

Ombak segara jua tak saling berkecamuk

Sungguh senyap

Hingga semilir angin tiba

Menghantar sebuah tanya :

“ Kawan, tatapanmu begitu sia sia. Apa yang akan kau lakukan? “

“ Diam, aku akan turun. Mungkin, harapan-harapan itu belum jauh perginya “ ,
Tukas Sang Mualim.

Tepat setelahnya

Sepasang tungkai menjulur

Jemarinya turut menerka dan mencari

Apa yang masih tersisa

“ Oh kawan, kau kira hanya dirimu yang geram ? Tidak, aku juga ! Mengapa harapan-harapan itu lebih
kau pilih ? “

Sebuah tanya hadir kembali

“ Menurutmu, bagaimana aku bisa hidup tanpa harapan-harapan itu? “

Kedua lengan kini mulai bersidekap

Benaknya sibuk mencari cela

“Aku beritahu kau. Sekumpulan arca telah membisikkan padaku, tentang kau yang tak jauh beda
dengan dingin, dan kerasnya mereka. Kurasa, harapan-harapan itu tampak rupawan bagimu. “
Senyap tak kunjung beranjak, lisannya tetap bungkam

“ Sebenarnya, kau masih punya pilihan. Entah kau beri pada hidupmu, atau harapan itu. Namun aku
yakin, ego tak kan jadi tabir kali ini. “

Sang mualim tampak menunduk

Deru nafasnya telah surut

Kepal jemarinya runtuh

Adakah yang mampu tersanggah ?

Bukankah nuraninya benar ?

Kini

Dengan suar tekad dan asa

Ia kembali

Tuk mengisi relung pada tubuh Bahtera

Sebelum fajar memanggilnya pulang

Anda mungkin juga menyukai