Anda di halaman 1dari 18

Nama : Prisilia Kalimbe

NMP : 02.17.001

Tugas : Studi Kasus tentang perpajakan

STIE Widya Dharma Kotamobagu

PENGGELAPAN DOKUMEN KEUANGAN PAJAK PT. ASIAN AGRI GROUP

A. Posisi Kasus

PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup
Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes,
pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan
kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun).  Terungkapnya
dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin
Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$
3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group
financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya.
Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro
Jaya. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting
perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara
Vincent dan wartawan Tempo.

Pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan
permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen
keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang
berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun
pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG
secara terperinci. Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit
mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri
dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli
riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan.
Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT
AA sebagian adalah perusahaan fiktif.

Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan


permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT
AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan. Direktur Jendral Pajak, Darmin
Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik
dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan
serangkaian penyelidikan – termasuk penggeledahan terhadap kantor PT AAG,
baik yang di Jakarta maupun di Medan.

Berdasarkan hasil penyelidikan  tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan


terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh)
dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga "bahwa dalam tahun pajak
2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang
berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak
kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889
miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan
untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang
digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan
penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp
1,3 triliun.

Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah
ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN,
EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus,
direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen
Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.

Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari


pemberitaan investigatif Tempo – baik koran maupun majalah – dan
pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi
perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini mendapat
perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-
blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat penegak hukum malah
mencoba mempidanakan tindakan para whistle blower ini. Vincent didakwa
dengan pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama
rekannya, sempat mencoba mencairkan uang PT AAG. 

B. Dasar Hukum

a. UU No. 6 Tahun 1983 stdtd UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP);
b.Peraturan Menteri Keuangan No. PMK-80/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010;
c.Peraturan Menteri Keuangan No. PMK-187/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember
2007.
 JANGKA WAKTU PEMBAYARAN PAJAK

1)      Kewajiban Pajak Tahunan Orang Pribadi atau Badan

Sesuai dengan UU KUP Pasal 9 ayat (2) disebutkan bahwa Kekurangan


pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak
Penghasilan disampaikan.

2)      Kewajiban Pajak Masa

a)      Sesuai dengan Pasal 2 PMK-80/PMK.03/2010 disebutkan bahwa:


a.       PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus
disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.

b.      PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus
disetor paling lamatanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.

c.       PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

d.      PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal
15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

e.      PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

f.        PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus
disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.

g.       PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

h.      PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi
bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk
ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor
harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.

i.         PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari
kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.

j.        PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari yang
sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari
belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.

k.       PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas
kepada penyalur/agen atau industri yang dipungut oleh Wajib Pajak badan yang
bergerak dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas, dan pelumas, harus
disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.

l.         PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan
tertentu sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

m.    PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri harus disetor oleh
orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri paling
lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
n.      PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh orang
pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 (lima
belas) bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.

o.      PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara
Pengeluaran sebagai Pemungut PPN, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

p.      PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat
Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN, harus disetor
pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena
Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.

q.      PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut
PPN selain Bendahara Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

r.        PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan
beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling
lama pada akhir Masa Pajak terakhir.

s.       Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP
yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa,
harus dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu       untuk masing-masing
jenis pajak.

b)      Sesuai dengan Pasal 2 PMK-80/PMK.03/2010 disebutkan bahwa PPN atau


PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak harus disetor paling lama
akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat
Pemberitahuan Masa PPN disampaikan.

 JANGKA WAKTU PELAPORAN PAJAK (SPT)

1)      Sesuai UU KUP Pasal 3 ayat (3) disebutkan bahwa Batas  waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan adalah:

a.       untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang
pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak

b.      untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan,
paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

2)      Sesuai Pasal 7 PMK-80/PMK.03/2010 dinyatakan bahwa:

a.       Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran
pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh,
seperti PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 4 ayat (2) Final, PPh Pasal 15, PPh Pasal
23/26, PPh Pasal 25, PPh Pasal 22 sesuai angka 2. 2). a).k & l di atas, wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari
setelah Masa Pajak berakhir.

b.      Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang
telah disetor sebagaimana dimaksud angka 2.2).a).m & n serta angka 2.2).b) di
atas, dengan menggunakanSurat Pemberitahuan Masa PPN ke Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

c.       Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib
melaporkan PPN yang telah disetor atas Kegiatan Membangun Sendiri dengan
menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke KPP yang wilayahnya
meliputi tempat bangunan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah
Masa Pajak berakhir.

d.      Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor atas pemanfaatan Barang
Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke KPP yang wilayahnya
meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut,
paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.

e.      Pemungut Pajak (PPh Pasal 22, PPN & PPnBM) yakni Direktorat Bea dan
Cukai wajib melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan paling lama pada
hari kerja terakhir minggu berikutnya.

f.        Pemungut PPh Pasal 22 yakni Bendahara Pemerintah wajib melaporkan


hasil pemungutannya paling lama 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak
berakhir.

g.       Pemungut PPN (bendahara pengeluaran & selain bendahara pemerintah)


wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah disetor ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat Pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

h.      Wajib Pajak dengan kriteria tertentu (PPh Pasal 25 & PPh Masa lainnya) yang
melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari
setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir.

 JATUH TEMPO PELUNASAN SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP) & SURAT


TAGIHAN PAJAK (STP)

Jangka waktu pelunasan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat
keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan
Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan.
Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak didaerah tertentu, jangka waktu
pelunasan dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal
penerbitan.

Wajib Pajak usaha kecil sebagaimana dimaksud di atas terdiri dari Wajib Pajak
orang pribadi dan Wajib Pajak badan.

Wajib Pajak orang pribadi usaha kecil harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1)      Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri; dan

2)      menerima atau memperoleh peredaran usaha dari kegiatan usaha atau
menerima penerimaan bruto dari pekerjaan bebas dalam Tahun Pajak sebelumnya
tidak lebih dari Rp 600.000.000,00.

Wajib Pajak badan usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :

1)      modal Wajib Pajak badan 100% (seratus persen) dimiliki oleh Warga Negara
Indonesia;

2)      menerima atau memperoleh peredaran usaha dalam Tahun Pajak


sebelumnya tidak lebih dari Rp 900.000.000,00.

 SANKSI ADMINISTRASI TERKAIT PEMBAYARAN DAN PELAPORAN


PAJAK

1)      Sanksi Tidak atau Terlambat Lapor SPT

Sesuai Pasal 7 UU KUP, disebutkan bahwa apabila Surat Pemberitahuan tidak


disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar:

a)      Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN

b)      Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya

c)       Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak
badan

d)      Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak
orang pribadi.

2)      Sanksi Tidak atau Terlambat membayar pajak

1.       Terlambat membayar pajak masa

Pasal 9 ayat (2a) UU KUP menyatakan bahwa pembayaran atau penyetoran pajak
masa yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran
pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
2.       Terlambat membayar pajak tahunan

Pasal 9 ayat (2b) UU KUP menyatakan bahwa atas pembayaran atau penyetoran
pajak tahunan yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian SPT
Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian SPT
Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.

3.       Tidak/kurang membayar pajak masa/tahunan

membayar Sesuai Pasal 14 ayat (3) UU KUP disebutkan bahwa Jumlah


kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena tidak atau
terlambat membayar pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian
Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan
Pajak.

3)      Sanksi Tidak atau Terlambat melunasi Ketetapan Pajak

Sesuai Pasal 19 UU KUP, dinyatakan bahwa apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT),
serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding
atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih
harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang
dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenaisanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh
masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan
atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.

C.Analisa

 Menurut pendapat Hendri Dzikri Fauzi

Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG tidak terlepas dari


pemberitaan investigatif Tempo – baik koran maupun majalah – dan pengungkapan
dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara, apalagi perkara
tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini mendapat perlindungan
sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua pihak ini di-blaming. Alih-alih
memberikan perlindungan, aparat penegak hukum malah mencoba
mempidanakan tindakan para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan pasal-
pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama rekannya, sempat
mencoba mencairkan uang PT AAG. Bahkan Vincent telah divonis dan dihukum 11
tahun penjara. Sementara itu, pesan pendek (SMS) Metta Dharmasaputra –
wartawan Tempo – disadap aparat penegak hukum, print-out-nya beredar di
kalangan pers. Pemberitaan investigatif Metta Dharmasaputra dan komunikasinya
dengan Vincent sempat menjadi urusan Dewan Pers, bahkan nyaris diproses
secara pidana.Selain itu, pemberitaan Tempo juga di-blaming melalui riset di
bidang komunikasi publik oleh dosen Fisipol UGM atas pesanan PT AAG – yang
menyatakan bahwa pemberitaan-pemberitaan seputar kasus penggelapan pajak
tersebut tidak mencari solusi yang komprehensif. Sedangkan P3-ISIP UI – yang
melakukan riset serupa atas pesanan PT AAG – menyimpulkan bahwa pers
(pemberitaan Tempo) cenderung melakukan bias dan keberpihakan yang secara
etis patut direnungi. Bisa jadi hasil-hasil riset tersebut sebagai legitimasi untuk
memperkarakan Tempo.Apa yang dialami Vincent dan Tempo tersebut sebenarnya
merupakan cermin buram bagi perlindungan saksi di Indonesia selama ini.
Kejadian ini bukanlah yang pertama dialami para pengungkap fakta. Tetapi
kejadian berulang yang tujuannya tidak lain adalah untuk menutupi kejahatan
yang sesungguhnya. Para pengungkap fakta semacam ini sering mengalami
berbagai bentuk kekerasan – intimidasi dan teror, bahkan diperkarakan secara
hukum – baik perdata maupun pidana. Lihat saja misalnya Kasus Udin, kasus
Endin Wahyudi, Kasus Ny Maria Leonita, Kasus Romo Frans Amanue, dan banyak
lagi.Jangan sampai apa yang dialami Vincent dan Tempo tersebut menjadi alat
untuk membungkam pengungkapan kasus yang sesungguhnya, dalam hal ini
dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG.

Penyelesaian Kasus Asian Agri: Di Dalam atau Luar Pegadilan?

PT Asian Agri Group (AAG) diduga telah melakukan penggelapan pajak (tax
evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara
senilai trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana
mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal ini
sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan
terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas
teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu
penjahat kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar
pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya.
Celah Keluar dari Pengadilan
Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana
perpajakan dengan sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya
masih ada celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu
hakim di pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court
settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur
bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan
penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang
telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi
administratif berupa denda. Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam
mengatur tindak pidana perpajakan. Peluang out of court settlement dimungkinkan
bagi segala jenis tindak pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk
“Perlawanan Pasif terhadap Pajak”, yaitu perlawanan yang tidak dilakukan secara
sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak
dalam melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar
sidang juga berlaku untuk “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” yang perbuatannya
dilakukan lewat cara-cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski
masuk kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat
diselesaikan di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung
pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan
dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.

Tidak Hanya Urusan Pajak


Menilik modus operandi dalam kasus ini, penggelapan pajak bukanlah satu-
satunya perbuatan pidana yang bisa didakwakan kepada Asian Agri Group.
Penyidikan terhadap Asian Agri Group juga dapat dikembangkan pada tindak
pidana pencucian uang (money laundering). Dalam hal itu, penggelapan pajak oleh
Asian Agri Group perlu dilihat sebagai kejahatan asal (predict crime) dari tindak
pidana pencucian uang. Sebagaimana lazimnya, kejahatan pencucian uang tidak
berdiri sendiri dan terkait dengan kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang adalah
cara untuk menghapuskan bukti dan menyamarkan asal-usul keberadaan uang
dari kejahatan yang sebelumnya. Dalam kasus ini, penggelapan pajak dapat
menjadi salah satu mata rantai dari kejahatan pencucian uang.
Asian Agri Group mengecilkan laba perusahaan dalam negeri agar terhindar
dari beban pajak yang semestinya dengan cara mengalirkan labanya ke luar negeri
(Mauritius, Hongkong Macao, dan British Virgin Island). Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT) kelompok usaha Asian Agri Group kepada Ditjen Pajak telah
direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi (Lihat pernyataan Darmin Nasution,
Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa SPT itu). Modus semacam itu
memang biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian uang, sebagaimana juga
diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), Yunus Hussein mengenai profile, karakteristik, dan pola transaksi
keuangan yang tidak beres sebagai indikasi kuat adanya money laundering (Metro
TV, 8/1/2008).
Kuatnya dugaan tindak pidana pencucian uang oleh Asian Agri Group semakin
didukung fakta-fakta yang diperoleh lewat penelusuran Tempo. Investigasi
wartawan Tempo memperlihatkan adanya transaksi mencurigakan melalui
perbankan untuk mengalirkan uang hasil penggelapan pajak Asian Agri Group ke
afiliasinya di luar negeri yang ternyata adalah perusahaan fiktif. Salah satu
perusahaan fiktif itu adalah Twin Bonus Edible Oil and Fat, yang setelah dilakukan
pengecekan rupanya menggunakan alamat pabrik payung yang berkedudukan
hukum di Hongkong (Tempo, 4/2/2007).Catatan/profile transaksi keuangan yang
tidak beres dan adanya transaksi dengan perusahaan fiktif merupakan bukti
permulaan yang bisa digunakan untuk membuat terang dugaan tindak pidana
pencucian uang. Penyidikan selanjutnya bisa dilakukan dengan menyelusuri tiga
tahapan dalam kejahatan pencucian uang. Pertama, penempatan (placement) yang
dimulai dengan menyelundupakan penghasilan yang diduga dari laba perusahaan
ke negara lain. Kedua, pelapisan (layering) yaitu proses pemindahan dana dari
beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil upaya placement ke tempat
lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks didesain untuk
menyamarkan atau mengelabui sumber uang haram terebut (mengenai tahap
layering, lihat: Yunus Hussein, 2007). Ketiga, integrasi (integration) yang
merupakan tahap akhir dari proses money laundering yang bertujuan menjadikan
uang hasil tindak pidana itu dapat digunakan/dinikmati selayaknya uang halal.

Berujung di Pengadilan

Berbeda dengan tindak pidana perpajakan, dalam proses penyelesaian


tindak pidana pencucian uang tidak ada satu pihak pun yang diberi kewenangan
untuk menghentikan penyidikan. Dengan demikian, jika PPATK dan penyidik
dapat melakukan koordinasi dengan baik untuk menuntaskan penyidikan tindak
pidana pencucian uang itu, maka persidangan kasus ini pun dapat segera digelar.
Akhirnya, lemahnya ketentuan hukum mengenai perpajakan harus menjadi
catatan lembaga legislatif. Ketentuan yang memberikan kewenangan untuk
menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan hanya akan menimbulkan
ketidakpastian hukum dan jelas tidak mampu menghadirkan keadilan.
Persetujuan kita bersama terhadap filosofi pajak yang tidak bertujuan
membangkrutkan usaha, semestinya juga tidak diinterpretasikan lewat kebijakan
yang membeda-beda kan kedudukan warga negara di hadapan hokum.

Menurut Pendapat
Terdakwa menyuruh Ricky Bunjaya untuk membuat Kartu Tanda
Penduduk dengan nama Hendri Susilo, dengan tujuan untuk mendirikan dua
perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas berkedudukan di Jakarta masing-
masing dengan nama PT. Asian Agri Jaya dan PT. Asian Agri Utama, selanjutnya
Hendri Susilo menyerahkan nomor rekening atas nama PT. Asian Agri Jaya dan
PT. Asian Agri Utama berikut Swift Code Pin serta 3 (tiga) buah stempel/cap
perusahaan kepada Terdakwa. Terdakwa memberitahukan kepada Hendri Susilo
dan Agustinus Ferry Susanto bahwa uang dalam waktu dekat akan masuk ke
rekening dan menugaskan orang tersebut untuk mencairkan dana yang sudah
masuk rekening. Selanjutnya Terdakwa membuat 2 (dua) lembar perintah aplikasi
transfer menggunakan formulir Fortis Bank SA/NV Singapore,
menandatanganinya dengan meniru tanda tangan Kueh Chin Poh dan Ong Chan
Hwa dan mengirimkan perintah aplikasi transfer tersebut ke Singapore melalui
jasa pengiriman DHL di Bandara Polonia Medan. Atas pengiriman 2 (dua) aplikasi
transfer tersebut pada tanggal 15 Nopember 2006 dana masuk dari Fortis Bank
SA/NV Singapore ke rekening PT. Asian Agri Jaya sebesar USD 1.906.215.60 dan
ke rekening PT. Asian Agri Utama sebesar USD 1.203.872.47.
Ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari putusan majelis hakim tersebut,
baik dari dakwaan dan tuntutan JPU serta pertimbangan dan putusan majelis
hakim. JPU mendakwa dengan dakwaan alternatif kumulatif. Dakwaan Kesatu
Pasal 3 ayat (1)  huruf a UU TPPU atau Dakwaan Kedua pasal 6 ayat (1) huruf c
UU TPPU dan Dakwaan Ketiga Pasal 263 KUHP.
Dalam Dakwaan kesatu tidak dicantumkan unsur penting TPPU yaitu
”dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan,”
hal ini menjadi tidak sinkron dengan aturan dan ancaman pidana dalam Pasal 3
ayat (1) huruf a UU TPPU. Selain itu, Unsur Pasal 3 UU TPPU “dengan sengaja”
tidak dimasukkan di dalam uraian dakwaan, dengan demikian dakwaan ini
sebenarnya tidak cermat, jelas dan lengkap sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Konsekuensinya dakwaan ini dapat dianggap
kabur (obscur libel) dan menurut Pasal 143 ayat (3) KUHAP surat dakwaan yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal
demi hukum. Selain itu, melihat bahwa penyusunan dakwaan alternatif telah
disusun secara keliru karena Posisi Kasus yang identik antara Dakwaan Kesatu
dan Dakwaan Kedua, serta mengingat Dakwaan Kesatu dan Kedua merupakan
tindak pidana yang berbeda, maka penyusunan Posisi Kasus harus disesuaikan
dengan pasal yang dikenakan. Dalam dakwaan ketiga uraian perbuatannya sama
dengan uraian perbuatan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf c UU TPPU jo. Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP, namun ternyata yang dimaksud adalah untuk dakwaan
melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Penyebutan
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menjadi kabur, karena tidak merinci secara tegas
terdakwa dikenakan dakwaan unsur pasal bentuk yang mana.
Dari pemeriksaan di persidangan, yang perlu dikritisi adalah terkait
pemeriksaan saksi. Ada beberapa saksi dihadapkan di persidangan yang tidak
memenuhi persyaratan sebagai saksi sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Pendapat saksi (berupa opini) dicatat sebagai keterangan saksi, padahal hal
ini tidak boleh dilakukan mengingat saksi hanya dibolehkan memberikan
keterangan tentang apa yang ia dengar, lihat, atau alami sendiri tentang terjadinya
suatu peristiwa pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 27 KUHAP.
Selain itu, ada Testimonium de Auditu dan saksi yang seharusnya menjadi saksi
kunci karena keterlibatannya dengan terdakwa dalam hal terjadinya tindak pidana
tidak dapat dihadirkan di persidangan tanpa keterangan ketidakhadirannya,
sehingga berita acara dipenyidikanlah yang dibacakan keterangannya.
Dalam tuntutannya, JPU menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan
terbukti menempatkan harta kekayaan adalah sebagaimana dakwaan JPU pasal 3
ayat (1) huruf a UU TPPU, tetapi dalam tuntutan JPU mengenakan pasal 3 ayat (1)
huruf c UU TPPU dengan salah satu unsurnya adalah membayarkan harta
kekayaan. Menurut JPU dalam tuntutannya TPPU tersebut dilakukan dengan
memalsu surat sebagaimana Pasal 263 ayat (1) KUHP.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana uang-uang hasil dari
penghindaran pajak tersebut dapat di money laundry-kan. Kami telah
menganalisis bahwa ada beberapa modus pencucian uang yang digunakan. 
1.    Modus Pertama :
Transfer pricing, yaitu dari perusahaan-perusahaan Asian Agri di Indonesia
kemudian dijual dengan harga murah (dibawah harga pasar) kepada
perusahaan-perusahaan di Hongkong dan kemudian perusahaan-perusahaan
hongkong tersebut akan menjual kepada Global Advance Oil and Fats dan Asia
Agri Abadi Oil and Fats dengan harga yang sedikit lebih tinggi. Kedua
perusahaan tersebut barulah menjual kepada riil buyer dengan harga pasar,
sehingga perusahaan di Indonesia mengalami kerugian sehingga penghindaran
pajak dapat terjadi. Setelah transfer pricing terjadi, keuntungan dari
perusahaan Global Advance Oil and Fats dan Asia Agri Abadi Oil and Fats
akan ditransfer ke Asian Agri Abadi International Ltd. Hal tersebut belum
selesai, modus ini memanfaatkan offshore company (First Island Trust dan
Treston International) sebagai alat pencucian uang. Offshore company adalah
perusahaan yang mempunuyai kegiatan pembiayaan sehingga terdapat pihak
investor dan peminjam, dimana pinjaman biasanya diberikan dengan bunga
yang tinggi. Pihak investor disini adalah Sukamto Tanoto dan keluarga sebagai
Beneficial Owner dan Asian Agri Abadi International Ltd sebagai peminjam
melalui Goaled, Headcorp, Good Fortune, dan lain-lain, sehingga dengan
modus tersebut, Sukamto Tanoto dapat memanfaatkan uang hasil dari tindak
pidana perpajakan.
2.   Modus Kedua
Modus money laundry selanjutnya adalah dengan biaya fiktif, yaitu dimana
perusahaan-perusahaan di Indonesia membuat biaya-biaya fiktif guna
mengalirkan dananya ke ST, dengan melalui rekening pribadi milik Haryanto
Wisastra dan Eddy Lukas (HAREL) dan Eddy Lukas dan Djoko Oetomo (ELDO).
Mereka adalah orang-orang kepercayaan Sukamto Tanoto. Uang yang telah
ditukarkan kemata uang Dollar melalui remmitance dan masuk ke rekening
Goaled dan Headcorp yang notabene milik ST.

3.   Modus Ketiga


Modus selanjutnya hampir sama dengan modus diatas, yang membedakan
adalah setelah uang dari perusahaan-perusahaan Indonesia ditransfer ke
rekening HAREL and ELDO, kemudian dana tersebut akan dimasukkan
kedalam manager investasi, yaitu PEAM dan GOLDEN EAGLE, dimana PEAM
mengurusi bidang financial dan GOLDEN EAGLE mengurusi administrasi.
Setelah diurus keuangannya, uang tersebut akan ditransfer ke Pacific Oil and
Gas dan Perusahaan-perusahaan Indonesia.
Berdasarkan literatur, cara-cara pencucian uang yang dapat diduga dilakukan
oleh Asian Agri: 
1.    Penyembunyian ke dalam struktur bisnis (conceal-ment within business
structure). Dalam hal ini, para pencuci uang berupaya untuk menyembunyikan
hasil-hasil kejahatan mereka ke dalam kegiatan normal dari bisnis atau ke dalam
perusahaan yang telah ada yang dikendalikan organisasi kejahatan bersangkutan.
Hasil-hasil kejahatan mereka pindahkan melalui sistem keuangan dengan cara
mencampur dana hasil kejahatan dengan transaksi-transaksi bisnis yang telah
ada, sehingga pada gilirannya dapat memberikan keuntungan bagi para
pelakunya.
2.    Penyalahgunaan bisnis yang sah (misuse of legitimate business). Cara
yang digunakan pencuci uang dalam tipe ini adalah dengan menggunakan
bisnis yang telah ada atau perusahaan yang telah berdiri untuk menjalankan
pencucian uang, yang dalam hal ini, perusahaan itu sendiri tidak mengetahui
bahwa sumber dana perusahaan berasal dari hasil tindak kejahatan. Dengan
demikian dana tersebut akan terlihat seakan-akan memang berasal dari
perusahaan yang bersangkutan, bukan berasal dari pemilik yang
sesungguhnya, yaitu penjahat.
3.    Penggunaan identitas palsu, dokumen palsu, atau perantara (use of false
identities, document’s, or straw men). Penggunaan dokumen-dokumen
identitas yang palsu untuk membuka rekening bank atau pun untuk
melaksanakan transaksi keuangan untuk meniadakan hubungan antara asset
hasil kejahatan dengan pelakunya. Dokumen palsu yang lain dapat pula
mereka gunakan untuk menunjang kegiatan pencucian uang, misalnya
dengan membuat faktur palsu (false invoicing), tanda terima (receipt) palsu,
ataupun dokumen perjalanan (travel documentation) palsu untuk
membuktikan kebenaran mengenai dana yang disetorkan kepada lembaga
keuangan bersangkutan.
4.    Pengeksplotasian masalah-masalah yang menyangkut yurisdiksi
internasional (exploiting international jurisdictional issues). Pelaku kejahatan
pencucian uang juga memanfaatkan perbedaan-perbedaan yang ada dalam hal
peraturan dan persyaratan yang berlaku antara negara yang satu dengan
negara lain, seperti ketentuan rahasia bank dan perpajakan, persyaratan
identifikasi nasabah, keterbukaan, pendirian perusahaan dan pembatasan
lalu-lintas devisa.
 
Tipologi pencucian uang yang diduga dilakukan Asian Agri adalah transaksi
yang diduga dilakukan dengan jumlah relative kecil namun dengan frekuensi
yang tinggi (structuring) dan transaksi yang dilakukan dengan menggunakan
beberapa rekening atas nama individu yang berbeda-beda untuk kepentingan
satu orang  tertentu (smurfing).
 
Dihubungkan dengan TPPU, dapat diuraikan dugaan TPPU sbb:
1.    Pemilik Asian Agri (ST)
Alternatif yang dapat didakwakan:
– hanya diproses dakwaan penggelapan pajak dan pemalsuan surat jo
penyertaan KUHP;
-diproses secara kumulatif pemalsuan surat serta TPPU, tapi mengingat
penggelapan pajak sedang di sidik oleh PPNS, maka tidak mungkin digabung.
Karena TPPU disidik penyidik polri.
 unsur-unsur Pasal 3 ayat (1) UU TPPU sebagai berikut :
1)    Setiap orang, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Karena dinyatakan dengan kata setiap orang, maka diperuntukkan tanpa
melihat kewarganegaraan seseorang, artinya semua orang dapat dikenakan
pasal ini, lebih-lebih masalah Money Laundring ini sudah merupakan masalah
global.
2) Dengan sengaja, ini berarti orang yang disangkakan melakukan Tindak
Pidana Pencucian uang tersebut harus dibuktikan sifat sengajanya, apakah
sebagai bentuk kesengajaan sebagai kehendak, atau perbuatannya itu
memang dikehendaki, ataukah hanya karena bentuk pengeahuan, artinya
adanya pengetahuannya akan dampak dari perbuatannya.
3) Menempatkan; mentransfer; membayarkan atau membelanjakan; 
menghibahkan atau menyumbangkan; menitipkan; membawa keluar negeri;
menukarkan atau perbuatan lainnya,  yang adalah masing-masing perbuatan
merupakan suatu alternative yang cukup dibuktikan salah satunya saja,
kecuali seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus, maka
kesemuanya harus dituangkan dalam berkas perkara, seperti :
a) Menempatkan kedalam jasa keuangan, artinya perbuatan memasukkan
uang tunai kedalam penyedia jasa keuangan, seperti menabung, membuka
giro atau deposito (sipelaku /predicat crime menyimpan sendiri hartanya).
b) Mentransfer, artinya perbuatan pemindahan uang dari penyedia jasa
keuangan satu ke penyedia jasa keuangan lain (pelaku/ predicat crime
memindahkan harta kekayaan yang diperolehnya dari tindak pidana itu
kepada pihak lain dengan menggunakan sarana perbankan).
c) Membayarkan atau membelanjakan, artinya penyerahan sejumlah uang atas
pembelian sesuatu benda kepada seseorang atau pihak lain. (pelaku
menggunakan uang hasil tindak pidananya itu untuk membayar atau
berbelanja, seperti membeli tanah, perusahaan dsb).
d) Menghibahkan atau menyumbangkan, artinya perbuatan hukum  
mengalihkan kebendaan secara cuma-cuma, termasuk pengertian hibah
dalam hukum perdata kepada   pihak lain maupun keluarganya.
e) Menitipkan, artinya uang hasil kejahatannya disimpan kepada seseorang,
baik secara phisik, maupun menggunakan sarana perbankan milik temannya
itu sebagaimana ketentuan hukum perdata.
f)      Membawa ke luar negeri, artinya kegiatan membawa secara phisik atas
kekayaannya, baik dalam bentuk uang maupun benda lainnya tersebut
dengan melewati batas wilayah Negara Republik Indonesia.
g)    Menukarkan, artinya perbuatan penukaran mata uang ke mata uang
asing (Valas) ataupun dari surat berharga yang satu kepada surat berharga
lainnya, termasuk penukaran benda lainnya.
h)    Perbuatan lainnya adalah perbuatan-perbuatan diluar yang telah
disebutkan diatas, seperti Over booking, yaitu pemindah bukuan dari rekening
satu kepada rekening lainnya dalam satu bank, sehingga tidak termasuk
transfer) dll.
4) Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana, maksudnya orang tersebut dengan penilaiannya dia dapat
mengetahui atau setidak-tidaknya secara kepatutan dapat memperkirakan
(proparte dulus proparte culpa) bahwa harta itu diperolehnya dari hasil
kejahatan, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang
no. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sedang yang dimaksud harta kekayaan disini adalah sebagaimana ketentuan
pasal 1 angka 4 UU TPPU yang menyebutkan adalah semua benda bergerak
atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
     Ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, artinya bukan saja lembaga perbankan
dan asuaransi, tetapi juga penyedia jasa keuangan lainnya sebagaimana yang
ditentukan oleh pasal 1 ke 5 UU TPPU yang menyebutkan penyedia jasa
keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan
atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas
pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana,
kostodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang
valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi dan kantor pos.
Baik atas nama sendiri atau orang lain, artinya sekalipun diatas namakan
rang lain sipelaku tetap saja tidak dapat dibebaskan dari perbuatan pencucian
uang.
Dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana
 
– pasal 6 UU TPPU dikenakan terhadap keluarga ST dan/atau rekannya:
 
Pasal 6 ayat (1) TPPU menyatakan : “Setiap orang yang menerima atau
menguasai, penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan atau penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,-  (lima belas milyar rupiah)”.
Dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)     Digunakannya kata setiap orang, maka diperuntukkan tanpa melihat
kewarganegaraan seseorang, artinya semua orang dapat dikenakan pasal ini,
lebih-lebih masalah Money Laundring ini sudah merupakan masalah global .
Menerima atau menguasai, penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan atau penukaran harta kekayaan, dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a)     Menerima atau menguasai penempatan harta kekayaan, berarti sifat
perbuatannya sebagai penampung uang tunai bahkan hanya menguasai atau
berada dalam kekuasaannya harta kekayaan ke dalam system perbankannya,
tanpa diperlukan suatu pembuktian siapa pemilik dari harta kekayaan
tersebut.
b)    Menerima atau menguasai pentransferan harta kekayaan, artinya seperti
point 2 diatas, tetapi melalui transaksi perbankan, bukan uang tunai.
c)     Menerima atau menguasai pembayaran harta kekayaan,merupakan
perluasan ancaman kepada pihak-pihak, dalam hal ini termasuk dalam
konteks tindakan yang legal atau syah, sehingga dibutuhkan suatu itikad baik
dari penjual untuk membantu pemberantasan kejahatan money laundering di
Indonesia.
d)     Menerima atau menguasai hibah harta kekayaan, identik dengan point b
diatas, tetapi dikhususkan untuk tindakan pemberian.
e)     Menerima atau menguasai sumbangan harta kekayaan, sama dengan
poin c untuk yang bersifat sukarela sekalipun
f)      Menerima atau menguasai penitipan atau penukaran harta kekayaan,
dalam hal ini menunjukkan betapa sangat luas jangkauan larangan termasuk
juga hanya untuk tindakan penitipan yang berarti tanpa sifat kepemilikan
sama sekali.
2)     Yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
maksudnya, orang tersebut dengan penilaiannya dapat mengetahui atau
setidak-tidaknya secara kepatutan dapat memperkirakan (proparte dulus
proparte culpa) bahwa harta itu diperolehnya dari hasil kejahatan,
sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang no. 25
tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Penutup

KESIMPULAN

kasus Asian Agri adalah cermin sempurna bagi penegak hukum kita.Dari
situ tergambar, sebagian dari mereka tidak sungguh-sungguh menegakkan
keadilan, malah berusaha menyiasati hukum dengan segala cara. Tujuannya boleh
jadi buat melindungi orang kaya yang diduga melakukan kejahatan. Dan kalau
perlu dilakukan dengan cara mengorbankan orang yang lemah.Persepsi itu
muncul setelah petugas Kepolisian Daerah Metro Jaya bersentuhan dengan kasus
dugaan penggelapan pajak Asian Agri, salah satu perusahaan milik taipan
superkaya, Sukanto Tanoto. Kejahatan ini diperkirakan merugikan negara Rp 786
miliar. Polisi amat bersemangat mengusut Vincentius Amin Sutanto, bekas
pengontrol keuangan perusahaan itu, hingga akhirnya dihukum 11 tahun penjara
pada Agustus lalu. Padahal justru dialah yang membongkar dugaan penggelapan
pajak dan money laundering oleh Asian Agri. Pemerintah mestinya berterima kasih
kepada mereka. Dugaan penggelapan pajak itu bukannya mengada-ada. Direktorat
Jenderal Pajak telah menetapkan hina anggota direksi Asian Agri sebagai
tersangka kasus pidana pajak. Jika kasus ini segera ditangani dengan tuntas,
amat besar uang negara yang bisa diselamatkan.Upaya ini juga akan mencegah
pengusaha lain melakukan penyelewengan serupa, sehingga tujuan pemerintah
mendongkrak penerimaan pajak tercapai.Tidak sewajarnya polisi mengkhianati
program pemerintah. Mereka seharusnya segera mengusut pula dugaan pencucian
uang yang dilakukan Asian Agri. Perusahaan ini diduga menyembunyikan hasil
"penghematan" pajak ke berbagai bank di luar negeri. Inilah yang mestinya
diprioritaskan dibanding membidik orang yang justru membantu membongkar
dugaan penggelapan pajak.
Berdasarkan hasil analis, dapat diketahui bahwa Vincentius memegang
peranan penting dalam menguak kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh ST
dimana Vincent sebagai Financial Controller Asian Agri yang dimiliki oleh ST.
Vincentius dalam kasus dugaan penggelapan pajak ST ini berperan sebagai
whistleblower. Lemahnya penegakan hukum dan kurang komprehensifnya
pengaturan mengenai perlindungan saksi secara yuridis formal pada gilirannya
membuat saksi enggan memberikan kesaksian mengenai segala sesuatu yang ia
dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri.
 
Dalam Witness Protection Act di USA, perlindungan terhadap whistleblower
sudah mengakomodir agar terhadap whistleblower diberlakukan penganuliran
pendakwaan dan bukan hanya keringanan hukuman seperti di Indonesia, tapi
benar-benar dibebaskan. Guna mengungkap kasus yang lebih besar,
membebaskan pelaku dalam kasus kecil yang terlibat dalam lingkup kasus besar
tersebut. Hukum perlindungan saksi dan korban di Indonesia tidak mengenal plea
agreement. Prinsip yang terkandung dalam plea agreement adalah untuk
mendorong peran aktif saksi, sehingga diberikan suatu penghargaan bagi
siapapun yang berperan dalam melaporkan/membantu membongkar tindak
pidana. Selain itu masih terdapat pula plea bargain yang memiliki makna bahwa
saksi yang menjadi pelaku tersebut dapat bernegosiasi mengenai pengurangan
hukuman yang akan dijatuhkan terhadapnya di muka pengadilan.
Hukum mengenai perlindungan saksi dan pelapor yang berlaku di Indonesia
yaitu Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban hanya memberikan keringanan hukuman bagi pelaku pidana berdasarkan
pertimbangan hakim yang diatur pada Pasal 10 ayat 2. Dasar hukum
perlindungan saksi dan pelapor selain tercantum dalam Undang-undang No. 13
Tahun 2006, juga terdapat dalam Undang-undang Pengadilan HAM No. 26 Tahun
2000 pada Pasal 34, UNCAC pasal 32, Konvensi Palermo/ TOC pada Pasal 24 dan
Pasal 25.
 
 
Dalam rangka pelaksanaan proses pemeriksaan tindak pidana pencucian
uang, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003
(UU TPPU), telah mengatur mengenai perlindungan khusus terhadap Pelapor dan
Saksi yang dicantumkan pada Pasal 39 sampai Pasal 43 yang dikuatkan dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tentang Tatacara Pemberian
Perlindungan Khusus sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 42 UU TPPU.
Dalam pengaturan ini, terhadap saksi dan pelapor telah diberikan perlindungan
khusus oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/atau
hartanya termasuk keluarganya dari pihak manapun. Dengan pemberian
perlindungan khusus tersebut diharapkan baik Pelapor dan Saksi memperoleh
jaminan atas rasa aman dan dapat memberikan keterangan yang benar, sehingga
proses peradilan terhadap tindak pidana pencucian uang dapat dilaksanakan
dengan baik.
Menurut UU Kejaksaan, Jaksa Agung bisa memakai kewenangan
diskresinya melalui hak oportunitas untuk menganulir pendakwaan bagi saksi
pelaku yang berjasa dalam mempermudah proses pengusutan suatu perkara.
Penggunaan hak oportunitas ini pernah dilakukan Jaksa Agung dalam
menyingkap kasus korupsi di tanah air.
Mengingat kasus dugaan penggelapan pajak oleh ST pada saat ini masih
dalam proses penyidikan dan ditangani oleh ditjen pajak, maka ada beberapa opsi
yang sebaiknya dilakukan yaitu :
1. Untuk dijatuhkannya putusan terhadap pengambilan harta kekayaan Vincent,
harus diungkap penggelapan pajak oleh ST terlebih dahulu, apabila terbukti
uang yang dicuri/digelapkan berasal dari tindak pidana tsb.
2. Terhadap kasus penggelapan pajak yang terjadi, bisa langsung dikumulatif
dengan dakwaan money laundering.
SARAN
1.Formulasi mengenai perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana dalam
tindak pidana perpajakan perlu disempurnakan mengikuti perkembangan zaman
khususnya perkembangan teknologi dan informasi agar tidak terdapat celah
hukum untuk melakukan pelanggaran ataupun kejahatan. Sehingga kerugian
keuangan negara dari hasil Tindak Pidana Perpajakan dapat diminimalisir bahkan
menjadi mustahil.

2.Dibutuhkan pengawasan ketat dalam upaya pemungutan pajak meskipun


berlaku Sistem Self Assesment, guna mengantisipasi terjadinya penghindaran
pajak khususnya oleh wajib pajak badan serta mencegah adanya praktik
pemerasan oleh pegawai DJP ataupun penyuapan oleh wajib pajak.
Serta penting bagi Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak untuk
mempertimbangkan penetapan target pemungutan pajak secara realistis relevan
dengan situasi perekonomian masyarakat.

3.Formulasi kebijakan terhadap tindak pidana perpajakan dipandang perlu untuk


mengatur Sanksi Pidana denda atau memberlakukan Sanksi Administrasi yang
berorientasi pada konsep pengembalian kerugian pada pendapatan penerimaan
negara. Karena yang menjadi sasaran dalam penegakan hukum di bidang
perpajakan adalah pengembalian dan/atau pelunasan utang pajak oleh Wajib
Pajak.
Sehingga, lebih bermanfaat bagi pengembalian kerugian negara dan meningkatkan
pendapatan penerimaan dan devisa bagi negara. Dengan demikian, Sanksi Pidana
tetap merupakan Ultimum Remedium dalam proses penegakan hukum terutama
di bidang
perpajakan.

Anda mungkin juga menyukai