Anda di halaman 1dari 21

JENIS-JENIS PAJAK PENGHASILAN

PEMBAHASAN..............................................................................................

2.1Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15.............................................. 2


2.2 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 19..............................................5
2.3 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21..............................................5
2.4 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21..............................................7
2.5 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21..............................................7
2.6 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24............................................10
2.7 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25............................................12
2.8 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26............................................15
2.9 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 29............................................18

PENUTUP

3.1 Kesimpulan...............................................................................19
3.2 Saran.........................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut kepada obyek pajak atas
penghsilan yang diperolehnya. PPh akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan
usaha selaku wajib pajak yang memperoleh penghasilan. Setiap perusahaan jasa
maupun non jasa sebagai wajib pajak diwajibkan untuk membayar pajak.
Bagi perusahaan, pajak merupakan sumber pengeluaran(cash disbursment) tanpa
adanya imbalan langsung untuk perusahaan tersebut. Sehingga biasanya banyak
perusahaan melakukan upaya untuk membayar pajak terutangnya sekecil mungkin
selama hal tersebut memungkinkanPada hakekatnya perpajakan di Indonesia di
tetapkan berdasarkan undang-undang, hal ini merupakan pencerminan bagian dari
pelaksanaan tonggak demokrasi dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Dalam hubungan ini merupakan suatu realita negara yang merdeka dan berdaulat.
Sesuai perjalanan sejarah perpajakan nasional di Indonesia, tak dapat dipungkiri bahwa
dalam penyusunan kerangka acuan perubahan undang-undang dan peraturan perpajakan
sebagian besar bersumber dari sistem perpajakan warisan kolonial penjajah, terutama
ketika negara Republik Indonesia baru terbentuk. Dalam beberapa dekade terakhir ini
perubahan tersebut telah banyak mengalami perubahan yang bersumber dari sistem
perpajakan negara lain.

1.2 Rumusan Masalah

         PPh Pasal 15


         PPh Pasal 19
         PPh Pasal 21
         PPh Pasal 22
         PPh Pasal 23
         PPh Pasal 24
         PPh Pasal 25
         PPh Pasal 26
         PPh Pasal 29
. PPh Final Pasal 4 ( ayat 2 )

1.3 Tujuan Penulisan


Menjelaskan tentang jenis-jenis pajak pasal 15,19,21,22,23,24,25,26,29
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15

A. Pengertian PPh Pasal 15 adalah :


Pajak Penghasilan yang dikenakan Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh
Wajib Pajak Tertentu, yaitu :

         Perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional


         Perusahaan pelayaran dalam negeri
         Perusahaan penerbangan dalam negeri
         Perusahaan asuransi luar negeri
         Perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi
         Perusahaan dagang asing
         Perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah atau BOT
(“build, operate, and transfer”).
Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau
sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri
Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna
menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.

B. Wajib Pajak Tertentu Pasal 15 :

1.     Wajib Pajak Pelayaran Dalam negeri


* Untuk penghasilan neto = 4% x peredaran bruto
* Untuk PPh terhutang = 1,2% x peredaran bruto dan final
Tertuang dalam KepMenKeu 416/KMK.04/1996

2.     Wajib Pajak Penerbangan Dalam Negeri


* untuk penghasilan neto = 6% x peredaran bruto
* untuk PPh terhutang = 1,8% x peredaran bruto dan tidak final
Tertuang dalam KepMenKeu 475/KMK.04/1996

3.     Wajib Pajak Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri


* untuk penghasilan neto = 6% x peredaran bruto
* untuk PPh terhutang = 0,44% x Peredaran bruto dan Final
Tertuang dalam KepMenKeu 417/KMK.04/1996

2
4.     Wajib Pajak Kantor Perwakilan Dagang Asing
* untuk penghasilan neto = 1% x ekspor bruto ke Indonesia
* PPh terhutang = 0,44% x ekspor bruto dan Final
Tertuang dalam KepMenKeu 634/KMK.04/1996.

5.     Wajib Pajak Kerja Sama Telkom


* untuk PPh terhutang = 5% x peredaran bruto dan Final
* Penghasilan Neto = 14,285% x peredaran bruto. Tarif 35%
Tertuang dalam KepMenKeu 88/KMK.04/1994

6.     Wajib Pajak Jasa Maklon Internasional


* untuk penghasilan neto = 7% x peredaran bruto
* untuk PPh terhutang = tarif tertinggi pasal 17 x penghasilan neto.
Tertuang dalam KepMenKeu 543/KMK.03/2002

C. PPh Pasal 15 untuk pelayaran nasional :


Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
416/KMK.04/1996 tentang “Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi
Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri” dijelaskan :
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan
atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang
yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan
di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.
Pasal 2
(1) Penghasilan neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri ditetapkan
sebesar 4% (empat persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1;
(2) Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau
barang bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri adalah sebesar 1,2% (satu
koma dua persen) dari peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, dan
bersifat final.

Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 29/PJ.4/1996 tentang PPh


Terhadap Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Seri PPh Umum No. 35),
angka 6 menjelaskan :
Pelunasan PPh yang terutang dilakukan sebagai berikut :
a. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter
dengan pemotong pajak, maka pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut
wajib :
a.1. memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan atau
nilai pengganti;
a.2. memberikan Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam

3
Negeri (Final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dengan
menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran I;
a.3. menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-
lambatnya 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya imbalan,
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP);
a.4. Melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan
Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau
terutangnya imbalan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran II,
dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan Lembar ke-2 Bukti Pemotongan PPh atas
Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri (Final).
b. Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka
Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri wajib
b.1. menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-
lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya
penghasilan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final;
b.2. melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-
lambatnya tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya
penghasilan, dengan menggunakan bentuk sebagaimana pada Lampiran III, dilampiri
dengan lembar ke-3 SSP Final;

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dijelaskan bahwa:


1.Atas penghasilan Wajib Pajak Pelayaran Dalam Negeri dari pengangkutan orang
dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia
dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya
dikenakan pajak penghasilan sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto
dan bersifat final.
2.Apabila penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter dengan
pemotong pajak, maka pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan
pelaporan pajak adalah pihak yang membayar atau terutang hasil.

Pasal 15 UU PPh
Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak
tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3)
ditetapkan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 15 UU PPh
Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib
Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional,
perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi,
perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-
guna-serah (“build, operate, and transfer”).

Untuk menghitung kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai
dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri

4
Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna
menghitung besarnya penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.
2.2 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 19

PPh PASAL 19

      Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan
faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan
karena perkembangan harga, , yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang
wajar.
     Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif
pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif
pajak  tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
2.3 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21
A. Pengertian Pajak Penghasilan PPh Pasal 21
Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Adapun pengertian dari Pajak Penghasilan menurut Undang-Undang Pajak
Penghasilan adalah “ pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan
dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu
tahun pajak”. Yang dimaksud penghasilan menurut pasal 4 ayat (1) Undang- Undang
Nomor 36 Tahun 2008 :
            Pajak Penghasilan, adalah “ setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun”. Sedangkan yang
dimaksud dengan
            Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.

B.  Kebijakan Pajak Penghasilan PPh Pasal 21


Dasar hukum Pajak Penghasilan PPh pasal 21 yaitu :
1.    Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun
2007.
2.    Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.

5
3.    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo
Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata
Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan
Penundaan Pembayaran Pajak.
4.    Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan
Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan
serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak
Penghasilan.
5.    Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21/26.
6.    Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.011/2012
tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Kena Pajak.
7.      Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman
Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan
Orang Pribadi.
C.  Perhitungan Pajak Penghasilan PPh pasal 21 atas Penghasilan
Seperti yang telah kita ketahui, mulai bulan Januari 2013, Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP) telah berubah. Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak
kawin dan tidak mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00
atau setara dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan itu, tata cara
penghitungan PPh Pasal 21 juga mengalami perubahan. Perubahan itu diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata
Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi.
Dalam aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas
pemerintah, yang membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun
sepanjang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana pensiun,
badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar
uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar
honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan kondisi tertentu dan penyelenggara
kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan

6
internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang
menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan
dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu
kegiatan.
Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan
menjadi 6 macam, yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun
berkala; PPh pasal 21 untuk pegawai  tidak tetap atau tenaga kerja lepas; PPh pasal 21
bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai
pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta program
pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menarik dana pensiun.  Di
kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh pasal 21 untuk
Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.

2.4 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22

Pph Pasal 22 Adalah Pemungutan  Pajak Yang Di Lakukan Atas Pembelian


Barang, Impor Barang Dan Pembelian / Penjualan Barang Di Bidang Usaha Tertenu.
Oleh Karna Itu  Yang Dilakukan Pemungukan Pph Pasal 22 Adalah Pemasuk Barang
Kepada Pemerintah , Impor Dan Pemasok/Beli Barang Dari Badan-Badan Tertentu.
Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 22 Adalah Pph Yang Di Pungut Oleh :

1.    Bendahara Pemerintah Pusat / Daerah, Instansi Atau Lebaga Pemerintah Dan Lembaga-
Lembaga Negara Lain, Berkenan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang .
2.    Badan Badan Tertentu , Baik Badan Pemerintah Maupun Swasta Berkenan Dengan
Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain.
3.    Wajib Pajang Badan Yang Melakukan Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat
Mewah.

2.5 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

A. Pengertian Pph pasal 23

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang
berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21.

Pemotong dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23

1.Pemotong PPh Pasal 23:

a. badan pemerintah;
b. Wajib Pajak badan dalam negeri;
c. penyelenggaraan kegiatan;
d. bentuk usaha tetap (BUT);
7
e. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
f. Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur
Jenderal Pajak.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:

a. WP dalam negeri;
b. BUT

Tarif dan Objek PPh Pasal 23 dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen)
dari jumlah bruto dan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai

Saat Terutang, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 23


a. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan
terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih
dahulu.

b. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan
takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.

c. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir.

Bukti Pemotong PPh Pasal 23


Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib
Pajak Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.

B. Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23

Perubahan pada penghasilan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah


dihapuskannya Pasal 23 ayat (1) huruf b yaitu pengenaan PPh Pasal 23 yang bersifat
final sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto  atas bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi. Jenis penghasilan lainnya tetap yaitu, dividen, bunga royalti,
hadiah dan penghargaan selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21, sewa, imbalan jasa
teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan dan “jasa lain” selain yang
telah dipotong PPh Pasal 21. Penentuan “jasa lain” dalam UU PPh yang baru diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan, sementara dalam ketentuan lama, penentuannya
dilakukan oleh Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Jenis-jenis penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23,
sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (4) adalah sebagai berikut :

1. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank (tidak berubah)

2. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi (tidak berubah)

8
3.dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen
yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c)
(ketentuan baru dalam frasa berwarna biru)

4.bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j (ketentuan ini
dihapus sesuai dengan perubahan di Pasal 4 ayat (3) Undang-undang PPh)

5. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i (tidak berubah) 

6.  sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya (tidak
berubah)

7.  bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya (ketentuan ini
dihapus sehingga pengenaan PPh nya kembali pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf
a, atau akan dikenakan PPh Final tersendiri berdasar Pasal 4 ayat(2)?)

C. Tarif PPh Pasal 23

Dalam ketentuan lama, struktur tarif PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut :

1.                  Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap
penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah dan penghargaan selain yang
sudah dipotong PPh Pasal 21.

2.                  Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat final dikenakan kepada bunga


simpanan yang dibayarkan koperasi yang jumlahnya melebihi Rp240.000,- sebulan.

3.                  15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; dan imbalan sehubungan
dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain
jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Ketentuan mengenai jenis penghasilan dan besarnya perkiraan penghasilan neto diatur
dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-70/PJ/2007.Silahkan klik Daftar Tarif PPh
Pasal 23 untuk mengetahuinya.

Dalam ketentuan baru Undang-undang Pajak Penghasilan, struktur tarifnya adalah


sebagai berikut :

1.                  Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap
penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah, penghargaan dan bonus selain
yang sudah dipotong PPh Pasal 21.

2.                  Dihapus

3.                  sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:

9
·                     sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan

·                     imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa  konsultan,  dan jasa  lain  selain  jasa  yang  telah  dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Dari paragraf di atas bisa kita simpulkan bahwa pada point 1 tidak mengalami
perubahan berarti. Pada point 2, PPh Pasal 23 Final atas bunga simpanan koperasi
dihapuskan. Ketentuan mengenai bunga koperasi nampaknya akan masuk pada point 1
di mana dikenakan PPh Pasal 23 tidak final sebesar 15% dari penghasilan bruto tanpa
ada pembatasan jumlah bunga yang selama ini kita kenal.

Kalau kita cermati pada point 3, sebenarnya tak ada perubahan dari jenis
penghasilannya. Yang berubah adalah tarifnya!.Selama ini PPh Pasal 23 ini dikenakan
tarif 15% ini dari Perkiraan Penghasilan Neto.Besarnya perkiraan penghasilan neto ini
ditetapkan oleh Keputusan/Peraturan Direktur Jenderal Pajak.Tahun 2009 nanti kita
nampaknya harus mengucapkan selamat tinggal pada kata “perkiraan penghasilan neto”
ini. Ya, mulai tahun 2009 nanti tarif PPh Pasal 23 hanya satu saja yaitu 2% dari
penghasilan bruto. Lumayan kan, kita tak perlu lagi pusing dengan jenis-jenis jasa dan
tarifnya yang banyak itu  . Kita tinggal menunggu jenis “jasa lain” yang akan
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan yang selama ini penentuan jenis “jasa lain”
ini menjadi hak Direktur Jenderal Pajak.

Tarif Lebih Tinggi Bagi Wajib Pajak Tak Ber-NPWP

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1a) Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru, Wajib


Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek
pemotongan PPh Pasal 23 dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
maka besarnya tarif pemotongan PPh Pasal 23 adalah lebih tinggi  100%  (seratus 
persen) daripada tarif PPh Pasal 23 umumnya. Saya menafsirkan ketentuan ini sebagai
berikut. Jika bagi Wajib Pajak yang berNPWP dikenakan tarif 15%, maka bagi yang tidak
berNWP akan dikenakan tarif 30%. Begitu juga jika Wajib Pajak berNPWP dikenakan
tarif 2% maka bagi yang tidak berNPWP menjadi 4%.

2.6 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24

A. Pengertian PPh Pasal 24

Pada dasarnya PPh Pasal 24 mengatur tentang besarnya kredit pajak yang dapat
diperhitungkan atas pemotongan pajak/ pajak yang dibayar/ pajak yang terutang di luar
negeri.  Hal ini sesuai dengan ayat 1 dan 2 Pasal 24 UU PPh  :

10
1.      Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak
yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.

2.      Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi
penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dengan


perubahan terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan, Pasal 24 ayat (1), PPh pasal 24 adalah pajak yang
dibayarkan atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima
atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang
berdasarkan Undang-Undang ini dalam tahun pajak yang sama.

Pajak penghasilan pasal 24 atau kredit pajak luar negeri, merupakan perhitungan berapa
besar jumlah pajak yang sudah dibayar atas penghasilan  diluar negeri dan pajak
tersebut dapat dikreditkan atau dikurangkan dari  penghasilan yang ada didalam negeri
sehingga menghindari pengenaan pajak berganda.

B.     Subjek dan Objek PPh Pasal 24

Yang menjadi Subjek PPh Pasal 24 adalah: Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak
atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar
negeri. Objek PPh pasal 24 adalah penghasilan yang berasal dari luar negeri

C.       Penentuan Sumber Penghasilan PPh Pasal 24

Dalam menghitung batas jumlah pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri yang boleh dikreditkan, perlu diperhatikan penentuan sumber penghasilan
sebagai berikut:

1.      Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham
dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau
sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.

2.      Penghasilan berupa bunga, royalti dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta
bergerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti atau
sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada.

3.      Penghasilan berupa sewa sehubungan  dengan penggunaan harta tak gerak adalah
negara  tempat harta tersebut terletak.

4.      Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah
negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat
kedudukan atau berada.

11
5.      Penghasilan bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

6.      Penghasilan dan pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut
serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah
Negara tempat lokasi penambangan berada.

7.      Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta tetap itu
berada.

8.      Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha
tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap itu berada.

D.    Penggabungan Penghasilan yang berasal dari luar negeri

Penggabungan penghasilan dari luar negri dilakukan sebagai berikut:

1.      Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan
tersebut;

2.      Untuk penghasilan lainnya, seperti penghasilan bunga, sewa, dan lainnya dilakukan
dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut;

3.      Untuk penghasilan berupa deviden untuk mengurangi kemungkinan penghindaran


pajak, maka terhadap penanaman modal diluar negri selain pada badan usaha yang
menjual sahamnya dibursa efek, Menteri Keuangan berhak untuk menentukan saat
diperolehnya deviden.

Jadi, Pajak Penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung
berdasarkan seluruh penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik
penghasilan tersebut berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam
menghitung Pajak Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut digabungkan dalam
tahun pajak di peroleh atau diterimanya penghasilan, atau dalam tahun pajak.

2.7 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25

A.Pengertian PPh Pasal 25

Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode
tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan
penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Nah,
karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus
dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam satu
tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini harus
menunggu laporan keuangan selesai dibuat.

Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat
diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak

12
dilakukan sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme
pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan. Pembayaran angsuran
atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.

B. Cara Mengitung PPh Pasal 25

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada
umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun
sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan
penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi
sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir.  Selisih tersebutlah yang kita
bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini biasa
dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi
ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang
telah dilakukan.

Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut
SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit pajak Pajak
Penghasilan Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam
bagian tahun pajak.

Misal, SPT Tahunan 2007 menunjukkan data sebagai berikut :

Pajak Penghasilan terutang                                50.000.000

Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24                35.000.000

Maka, PPh Pasal 25 tahun 2008 yang harus dibayar tiap bulan adalah sebagai berikut :

Pajak Penghasilan terutang                                50.000.000

Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24                35.000.000

Selisih                                                            15.000.000

PPh Pasal 25 = 15.000.000 : 12 =                          1.250.000

PPh Pasal 25 Untuk Bulan-bulan Sebelum Bulan Batas Waktu Penyampaian SPT

Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT
Tahunan adalah sama besarnya dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun
pajak yang lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun kalender (Januari-Desember),
maka yang dimaksud dengan bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT
Tahunan adalah bulan Januari dan Pebruari. Dengan demikian PPh Pasal 25 bulan
Januari dan Pebruari 2008 adalah sama dengan PPh Pasal 25 bulan Desember 2007.

PPh Pasal 25 Jika Dalam Tahun Berjalan Telah Diterbitkan SKP Untuk Tahun
Pajak Yang Lalu

13
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun
pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP
tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP

PPh Pasal 25 Dalam Hal-hal Tertentu

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran


pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, antara lain apabila :

1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;


2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
3. ST tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas
waktu yang ditentukan;
4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan
Pajak Penghasilan;
5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum
pembetulan.
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

Keputusan Dirjen Pajak yang mengatur penghitungan besarnya angsuran pajak dalam
tahun berjalan dalam hal-hal tertentu adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak  
Nomor Kep-537/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

PPh Pasal 25 Untuk Wajib Pajak Tertentu

Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, BUMN, BUMD,
dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Keputusan Menteri Keuangan Yang Mengatur Hal Ini Adalah Keputusan Menteri


Keuangan Republik Indonesia Nomor 522/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 Jo
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.03/2002 tanggal 8 Maret 2002 Tentang 
Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan
Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan
Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah Dan Wajib Pajak
Lainnya Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

14
2.8 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26

1.      Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah penerapan dari azas sumber yang dianut dalam
ketentuan Pajak Penghasilan di Indonesia.Berdasarkan azas sumber, penghasilan yang
bersumber dari Indonesia yang dinikmati oleh orang atau badan di luar Indonesia, bisa
dikenakan pajak di Indonesia.Bentuk pemajakannya adalah dengan sistem witholding
tax yang bersifat final yang diatur dalam Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan
1984.

Dalam ketentuan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, terdapat empat


jenis PPh Pasal 26 yaitu PPh Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 26 ayat (2a) dan
Pasal 26 ayat (4). Masing-masing jenis PPh Pasal 26 ini memiliki ruang lingkupnya
sendiri.

PPh Pasal 26 ayat (1) adalah PPh Pasal 26 pada umumnya yaitu pemotongan PPh
terhadap Wajib Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia. Bentuk penghasilan yang dipotong pada umumnya sama dengan objek
pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Bedanya, penerima penghasilan PPh Pasal
26 adalah Wajib Pajak luar negeri. Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan PPh Pasal 26
ayat (1) ini sedangkan tulisan tentang PPh Pasal 26 ayat (2), ayat (2a) dan ayat (4)
sudah saya buat di tautan berikut ini :

·         PPh Pasal 26 Premi Asuransi (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))

·         PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Saham (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))

·         PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Harta (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))

·         PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Saham Antara (berdasarkan Pasal 26 ayat (2a)),
dan

·         PPh Pasal 26 Penghasilan Kena Pajak BUT (berdasarkan Pasal 26 ayat (4))

Istilah PPh Pasal 26 dalam tulisan ini dimaksudkan sebenarnya pada ketentuan Pasal 26
ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu jenis PPh Pasal 26 yang pertama
selain yang sudah saya tuliskan dalam tautan di atas.

1.      Pemotong PPh Pasal 26

Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983


sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
(Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
ayat (1)  adalah :

15
1.      Badan Pemerintah

Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan
Pemerintah ini.Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud
dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan
Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya.

2.      Subjek Pajak Badan dalam negeri

Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek
pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia.Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan
ketentuan hukum di Indonesia.Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan
bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan
keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.

Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984 adalah  sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara
atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

3.      Penyelenggara kegiatan

Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang
melakukan suatu event atau kegiatan.Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang
pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan,
seminar dan lain-lain.

4.      Bentuk Usaha Tetap (BUT)

BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia
sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia.Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban
BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.

5.      Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya

Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga
merupakan pemotong PPh Pasal 23.Contohnya adalah RepresentativeOffice (RO) dari
perusahaan-perusahaan asing.

1.      Pihak Yang Dipotong PPh Pasal 26

16
Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b
Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib
Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia tanpa
perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara
Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa dividen
dari PT Indosat.

Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir
sama dengan Wajib Pajak dalam negeri melalui sistem self assesmentpelaporan SPT
Tahunan.

1.      Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 26

Jenis-jenis penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 sebagaimana diatur dalam Pasal 26
ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah :

1.      dividen;

2.      bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;

3.      royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan hartai;

4.      imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;

5.      hadiah dan penghargaan;

6.      pensiun dan pembayaran berkala lainnya;

7.      premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau

8.      keuntungan karena pembebasan utang

1.      Tarif dan Dasar Pengenaan

Tarif PPh Pasal 26 (bersifat final) adalah tarif tunggal 20% dengan dasar pengenaan
pajak nya adalah jumlah bruto yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri.
Misalkan PT ABC di Indonesia membayarkan dividen kepada Tuan X di negara Y
sebesar Rp100 Juta, maka PPh Pasal 26 yang harus dipotong adalah 20% x Rp100 Juta
= Rp20 Juta.

17
Pengenaan PPh Pasal 26 juga tergantung kepada perjanjian perpajakan (P3B) dengan
negara lain. Biasanya dalam P3B ditentukan tarif yang lebih rendah untuk pemotongan
PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti dan/atau penghasilan lainnya.Apabila ada
P3B, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan P3B bukan ketentuan domestik
berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia.

2.9 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 29

Pengertian PPh Pasal 29 adalah :

Pajak Penghasilan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak
Badan sebagai akibat PPh Terutang dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan lebih besar dari pada kredit pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh
pihak lain dan yang telah disetor sendiri.

PPh Pasal 29 harus disetor menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat
sebelum SPT Tahunan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak.

Kode jenis setoran PPh Pasal 29 untuk wajib pajak badan adalah 411126-200

Kode jenid setoran PPh Pasal 29 untuk wajib pajak orang pribadi adalah 411125-200

Contoh :

PPh Terutang                                              : 100.000.000

Kredit Pajak :

PPh Pasal 22         :  10.000.000

PPh Pasal 25         :  20.000.000 +                30.000.000   -

PPh Pasal 29                                                 70.000.000

18
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau
badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang
dimaksud dengan penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji,
honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.

19
DAFTAR PUSTAKA

- http://ellorakarina.blogspot.com/2013/01/pengertian-pph-pasal-26.html

·         http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-pasal-26

·         http://amsyong.com/2013/09/siapa-subjek-dan-bukan-subjek-pph-pasal-2126/

·         http://blogpajak.com/pengertian-atau-definisi-pph-pasal-29/

·         Prof. Supramono, SE., MBA., DBA & Theresia Woro Damayanti SE, Perpajakan
Indonesia- Mekanisme dan Perhitungan , 2010, Yogyakarta :CV. Andi Offset

·         Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, 2005, Jakarta :  Yayasan Obor Indonesia

·         http://id.wikipedia.org/wiki/Penghasilan_tidak_kena_pajak

·         http://www.pajak.go.id/content/article/cara-penghitungan-pph-pasal-21-terbaru
·         https://sites.google.com/site/referensipajak/Contoh-cara-menghitung-pajak-
penghasilan-PPh-pasal-21-Pegawai-Tetap-berNPWP-TidakberNPWP-Dengan-Gaji-
Bulanan/Contoh-Cara-Menghitung-Pajak-Penghasilan-PPh-Pasal-21-Pegawai-Tetap-
Penerima-Uang-Pensiun-Manfaat-Pensiun-Tunjangan-Jaminan-Hari-Tua-Pesangon-
Diterima-Bertahap-Sekaligus

20

Anda mungkin juga menyukai