Anda di halaman 1dari 27

Pengertian Norma Penghitungan Khusus Untuk Menghitung Penghasilan

Neto Dari Wajib Pajak Tertentu


Untuk menghitung besarnya pajak penghasilan bagi Wajib Pajak tertentu, maka
pemerintah menetapkan Norma Penghitungan Khusus.
Pajak penghasilan bagi Wajib Pajak tertentu tersebut diatur secara khusus dalam
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan,
sehingga pajak penghasilan yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima
oleh Wajib Pajak Tertentu tersebut sering juga disebut dengan PPh Pasal 15.

Wajib Pajak Tertentu yang menghitung Penghasilan Netonya berdasarkan Norma


Penghitungan Khusus, maka pajak penghasilan yang dikenakan terhadap
penghasilannya tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau
ayat (3) serta Tarif Pajak pasal 17 dan Pasal 31 E Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Akan tetapi Perhitungan Pajak
Penghasilannya dihitung berdasarkan tarif pajak penghasilan yang terdapat dalam
peraturan yang mengatur besarnya Norma Penghitungan Khusus bagi Wajib Pajak
Tertentu tersebut.
Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak Tertentu, antara
lain :
Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran
Dalam Negeri.
Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri adalah Wajib Pajak perusahaan
pelayaran dalam negeri yang melakukan usaha pengangkutan orang dan/atau
barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau
dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.

Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran


dan Penerbangan Luar Negeri.
Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri adalah Wajib Pajak
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri yang melakukan usaha
pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke
pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di
luar negeri.
Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan
Penerbangan Dalam Negeri.
Wajib Pajak Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri adalah perusahaan penerbangan
yang bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh penghasilan
berdasarkan perjanjian charter;
Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Asuransi
Luar Negeri.
Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Asuransi Luar Negeri
diterapkan atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi yang diterima
oleh Perusahaan Asuransi Luar Negeri oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.
Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan pengeboran
minyak, gas dan panas bumi.
Wajib Pajak Perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi dikenakan Pajak
Penghasilan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus atas Penghasilan bruto dari
jenis-jenis penghasilan yang tercantum dalam kontrak pengeboran minyak dan gas
bumi yang bersangkutan.
Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Dagang
Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan di Indonesia.
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap semua nilai pengganti atau imbalan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor
perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau
badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan yang


melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah atau BOT (build,
operate, and transfer).
Bangun Guna Serah atau BOT ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian
kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang
menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor
untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan
mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah
setelah masa guna serah berakhir.
Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan
praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha
tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma
Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib
Pajak tertentu tersebut.

.
Pajak Penghasilan Pasal 15 (PPh Pasal 15)
Untuk industri usaha tertentu, perhitungan tertentu diperlukan untuk menghitung
laba bersih mereka, yang juga akan membantu menentukan penghasilan kena
pajak mereka (Penghasilan Kena Pajak). Perhitungan ini disebut Norma
Penghitungan Khusus.
Industri bisnis ini, sebagaimana diatur dalam Pajak Penghasilan Pasal 15 (PPh
Pasal 15) menurut UU Nomor 36 tahun 2008 adalah: perusahaan pelayaran;
penerbangan internasional / penerbangan; perusahaan asuransi asing; perusahaan
pengeboran minyak; dan perusahaan yang berinvestasi dalam bentuk bangun-gunaserah 'build-operate-transfer', yang biasanya terkait dengan proyek-proyek yang
disediakan untuk infrastruktur, seperti pembangunan jalan tol, kereta bawah tanah,
dan lain-lain.

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 15 (PPh Pasal 15)


Ada berbagai jenis tarif tergantung pada industri bisnis seperti yang disebutkan di
atas, dan mereka adalah sebagai berikut:
Perusahaan pelayaran
o Laba bersih = 6% x Omzet Bruto
o Pajak penghasilan = 1,8% x Omzet Bruto
Perusahaan pelayaran dalam negeri
o Laba bersih = 4% x Omzet Bruto
o Pajak penghasilan = 1,2% x Omzet Bruto
Pelayaran asing dan / atau perusahaan maskapai penerbangan
o Laba bersih = 6% x Omzet Bruto

o Pajak penghasilan = 2.64% x Omzet Bruto


Wajib pajak internasional (WPLN) yang memiliki kantor perdagangan
perwakilan di Indonesia, namun tidak memiliki perjanjian bilateral di
bawah perjanjian pajak Indonesia (P3B)
o Laba bersih = 1% x Nilai Ekspor Bruto
o Penyelesaian pajak penghasilan = 0.44% x Nilai Ekspor Bruto
Pihak yang melakukan kemitraan dalam bentuk perjanjian bangunguna-serah/'build-operate-transfer' (BOT)
o Pajak penghasilan = 5% x bruto nilai tertinggi nilai pasar dengan Nilai
Jual Obyek Pajak (NJOP).

Ingin membuat laporan pajak bulanan lebih cepat dan


otomatis?
Gunakan OnlinePajak, aplikasi pajak online yang mudah dan hemat waktu.
Hitung, setor dan lapor PPN, PPh 23 dan PPh 21 (beta) dilakukan dalam satu
aplikasi terpadu!

Coba Sekarang, Gratis!

Pembayaran dan Penyampaian Laporan Pajak Penghasilan Pasal 15 (PPh


Pasal 15)
Laporan harus diserahkan pada tanggal 20, di bulan dimana pembayaran pajak
juga dilakukan. Namun, tanggal jatuh tempo pembayaran pajak itu sendiri
bervariasi.
Perusahaan pelayaran

o Dibayar paling lambat pada tanggal 10, di bulan setelah faktur dibuat.
Perusahaan pelayaran dalam negeri; dan pengiriman asing dan / atau
perusahaan penerbangan
o Dibayar pemungut cukai paling lambat pada tanggal 10, di bulan
setelah faktur dibuat; atau
o Dibayar oleh wajib pajak paling lambat pada tanggal 15, di bulan
setelah faktur dibuat.
Wajib pajak internasional (WPLN) yang memiliki kantor perdagangan
perwakilan di Indonesia, namun tidak memiliki perjanjian bilateral di
bawah perjanjian pajak Indonesia (P3B)
o Dibayar oleh wajib pajak paling lambat pada tanggal 15, di bulan
setelah wajib pajak telah menerima pendapatan.
Pihak yang melakukan kemitraan dalam bentuk perjanjian bangunguna-serah/'build-operate-transfer' (BOT)
o Dibayar oleh wajib pajak paling lambat pada tanggal 15, di bulan
setelah masa BOT berakhir.
OnlinePajak, aplikasi pajak dengan fitur-fitur PPN, PPh 21 (beta) dan PPh 23
memberikan langkah-demi-langkah prosedur untuk menghitung, membayar dan
mengajukan pajak perusahaan Anda secara online, termasuk Pajak Penghasilan
Pasal 15 (PPh Pasal 15). Untuk informasi lebih lanjut dan update yang berkaitan
dengan OnlinePajak, silakan berlangganan newsletter kami secara gratis dan
mendaftar pada aplikasi kami.

Contoh Menghitung PPh 21 Natura/ Kenikmatan

Contoh Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Atas Penerimaan Dalam


Bentuk Natura Dan Kenikmatan Yang Diberikan Oleh Wajib Pajak Yang
Pengenaan Pajak Penghasilannya Bersifat Final Atau Berdasarkan Norma
Penghitungan Khusus (Deemed Profit)
Dasar hukum yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan pasal 21
(PPh 21) atas penerimaan dalam bentuk Natura dan Kenikmatan yang diberikan
oleh Wajib Pajak yang pengenaan pajak penghasilannya bersifat final atau
berdasarkan norma penghitungan khusus (Deemed Profit) adalah, pertama,
Peraturan Menteri Keuangan PMK-162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian
Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribad. Kedua, Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran, Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Atau Pajak Penghasilan
Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa Dan Kegiatan Orang Pribadi.
Satu contoh menghitung Pajak Penghasilan pasal 21 (PPh 21) atas
Penerimaan Dalam Bentuk Natura Dan Kenikmatan Yang Diberikan Oleh Wajib
Pajak Yang Pengenaan Pajak Penghasilannya Bersifat Final Atau Berdasarkan
Norma Penghitungan Khusus (Deemed Profit) yang dapat diberikan, misalnya
Jupri adalah warga negara RI yang bekerja pada suatu perwakilan dagang asing
yang pengenaan pajaknya menggunakan norma penghitungan khusus (deemed
profit). Pada bulan Agustus 20xx, Jupri memperoleh gaji sebesar Rp2.500.000,00
sebulan beserta beras 50 kg dan gula 10 kg. Jupri berstatus menikah dengan 1
orang anak. Nilai uang dari beras dan gula dihitung berdasarkan harga pasar yaitu :

Harga beras Rp 10.000,00 per kg. Harga gula Rp 8.000,00 per kg. PPh 21 Jupri
dapat dihitung seperti dalam pembahasan penghitungan PPh Pasal 21 berikut.

Gaji sebulan
Beras : 50 x Rp 10.000,00

Rp 2.500.000,00
Rp

500.000,00

Gula : 10 x Rp 8.000,00

Rp

80.000,00(+)

Penghasilan bruto sebulan

Rp 3.080.000,00

Pengurang
Biaya Jabatan5% x Rp3.080.000,00

Rp

154.000,00(-)

Penghasilan neto sebulan

Rp 2.926.000,00

Penghasilan neto setahun 12 x Rp2.926.000,00


PTKP
- untuk WP sendiri

Rp24.300.000,00

- tambahan karena menikah

Rp 2.025.000,00

- tambahan untuk 1 orang anak

Rp 2.025.000,00(+)

Rp28.350.000,00(-)

Rp35.112.000,00

Penghasilan Kena Pajak

Rp 6.762.000,00

PPh Pasal 21 setahun adalah 5% x Rp6.762.000,00 = Rp 338.100,00


PPh Pasal 21 bulan Agustus : Rp338.100,00 : 12 = Rp 28.175,00

Asuransi Dwiguna adalah proteksi yang memberikan jumlah uang pertanggungan


saat tertanggung meninggal dalam periode tertentu, sekaligus memberikan seluruh
uang pertanggungan jika ia masih hidup pada masa akhir pertanggungan.[1] Karena
memberikan dua manfaat inilah, asuransi ini disebut dwiguna.[1] Produk ini
berguna bagi calon pemegang polis yang ingin tertanggung terlindung dari dampak
keuangan karena kematian dini.[1]
Pada Asuransi Dwiguna, nasabah akan mendapatkan sejumlah uang tertentu di
periode-periode yang telah disepakati dan uang pertanggungan yang akan turun ke
ahli waris jika nasabah meninggal dunia.[2] Contoh, Pak Ali membeli Asuransi
untuk 50 tahun dengan uang pertanggungan Rp 100 juta dan sepakat akan
mendapatkan Rp 10 juta pada tahun ke-10 dan Rp 20 juta pada tahun ke-20.[2] Jadi
Pak Budi akan mendapatkan total Rp 30 juta pada tahun ke-20, dan misalkan dia
meninggal pada tahun ke-25 maka keluarganya akan mendapatkan Rp. 100 juta.[2]
Jika dilihat dari manfaatnya, Asuransi Jiwa Dwiguna memiliki premi lebih mahal
dari jenis asuransi yang kita bahas sebelumnya.[2] Namun premi tersebut adalah
jumlah yang wajar jika melihat proteksi dan manfaat yang diberikan
Hi all,
Saya sedang membaca UU PPh dan mendapati frasa "asuransi dwiguna" pada pasal
4 ayat (3) huruf e:
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa;
Apakah asuransi dwiguna itu? Berikut penjelasannya:
Pada asuransi dwiguna, jumlah uang pertanggungan akan dibayarkan pada tanggal
akhir kontrak yang telah ditetapkan.
Contoh Asuransi Dwiguna Berjangka (Kombinasi Term & Endowment)
- Usia Tertanggung 30 tahun
- Masa Kontrak 10 tahun
- Rate Premi (misal) : 85 permill/tahun dari Uang Pertanggungan

- Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta


- Premi yang harus dibayar : 85/1000 * 100.000.000 = Rp. 8.500.000,- Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak pertama (50%)
Ketentuan:
1. Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan
Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100
juta kepada yang ditunjuk.
2. Bila tertanggung hidup sampai akhir kontrak, maka tertanggung akan menerima
uang pertanggungan sebesar 100 juta.

Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak dikenakan
Pajak penghasilan,
diatur dalam Psl 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008, yaitu :
a.1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, atau badan pendidikan, atau badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
Sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan ojek pajak,
sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan
kepemilikan atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Zakat yang diterima oleh badan amil zakat, atau lembaga amil zakat, yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang
diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak
sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan zakat adalah zakat
sebagaimana dimaksud Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dengan pihak yang menerima dapat
terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan utamanya
diproduksi oleh PT B. Apabila PT B, memberikan sumbangan bahan baku kepada
PT , maka sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A, merupakan objek
pajak.

Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak, apabila
diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. dan badan
keagamaan, atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan ,
sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan
kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan..
Ditambahkan disini, yang dimaksud dengan :
- Badan keagamaan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata
mengurus tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan dibidang
keagamaan, yang tidak mencari keuntungan ;
- Badan pendidikan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata
menyelenggarakan :
a. Pemeliharaan kesehatan dan /atau;
b. Pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo), dan/atau
c. Pemeliharaan anak yatim piatu, anak atau orang terlantar, anak dan/atau orang
cacat, dan/atau ;
d. santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan
sejenisnya, dan/atau
e. pemberian bea siswa ;
f. kegiatan sosialnya.
Sepanjang badan sosial tersebut tidak mencari keuntungan.
- Pengusaha kecil termasuk koperasi adalah pengusaha yang pada saat akan
menerima hibah, jumlah nilai aktivanya tidak termasuk tanah dan/atau bangunan
tidak lebih Rp 600.000.000.-(enam ratus juta rupiah).
Dikemukakan lebih lanjut bahwa harta hibahan yang diterima badan-badan tsb
diatas, dan pengusaha kecil termasuk koperasi, tidak termasuk sebagai objek pajak,
sepanjang antara pemberi hibah dengan penerima hibah tersebut, tidak ada
hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan. Harta hibahan
dimaksud dibukukan, oleh penerima hibah sesuai dengan nilai sisa buku harta
hibahan.
Selanjutnya dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 11/PJ/1995, Tgl 1

Pebruari 1995, Penetapan Dasar Nilai Bagi yang Menerima Pengalihan Harta yang
diperoleh dari Bantuan, Sumbangan, Hibahan, dan Warisan, yang memenuhi syarat
bukan sebagai objek pajak, dari WP tidak menyelenggarakan pembukuan,
dikemukakan bahwa :
- Apabila nilai atau perolehan harta, bagi yang mengalihkan harta tersebut,
diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan tersebut, adalah
sama dengan nilai atau harga perolehan harta tsb, bagi yg mengalihkan.
- Apabila tidak diketahui, namun tahun perolehannya diketahui, maka nilai
perolehan bagi yang menerima pengalihan harta tersebut adalah ;
a. apabila tanah dan/atau bangunan tersebut diperoleh yang mengalihkan dalam
tahun 1986, atau sebelumnya, sama dengan besarnya NJOP, yang tercantum dalam
SPPT PBB tahun pajak 1986, atau ;
b. apabila diperoleh sesudah tahun 1986, sama besarnya dengan NJOP yang
tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak diperolehnya harta tersebut, bagi yang
mengalihkan, atau ;
c. jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan surat keterangan dari Kepala KPPBB
- Apabila nilai atau harga perolehan dan tahun perolehan bagi yg mengalihkan,
harta berupa tanah dan/atau bangunan tidakdiketahui, maka nilai perolehan bagi
yang menerima harta tersebut adalah sama besarnya, dengan NJOP yang tercantum
dalam SPPT PBB tahun pajak yang paling awal yang tertulis atas nama yang
mengalihkan harta tersebut, atau jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan surat
keterangan dari kepala KPPBB.
- Untuk harta selain tanah dan/atau bangunan, apabila nilai atau harga perolehan
tidak diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan harta
tersebut, adalah sama besarnya dengan 60% dari harga wajar harta tersebut pada
saat terjadinya pengalihan.

b. Warisan ;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan, sebagaimana dimaksud
dalam Psl 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal.;

Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan
merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena
harta tersebut, diterima sebagai pengganti saham atau tanda penyertaan modal,
maka berdasarkan ketentuan ini, harta yg diterima tsb bukan merupakan objek
pajak.
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak atau Pemerintah,
kecuali diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara
final atau wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed
profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan, berkenaan dengan
pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk
natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan,
seperti penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan, dan lain sebagainya, bukan
merupakan objek pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut, bukan wp,
atau wp yang dikenakan PPh Final, dan wp yang dikenakan berdasarkan norma
perhitungan/khusus/deemed profit, maka imbalan dalam bentuk
natura/kenikmatan, tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau yang
memperolehnya.
Misalnya seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan
diplomatic asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati
rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatic tersebut, atau kenikmatan lainnya,
kenikmatan kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut,
sebab perwakilan diplomatic yang bersangkutan bukan merupakan wajib pajak.
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa.
Penggantian santunan atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari
perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan

merupakan objek pajak . Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Psl 9 ayat (1)
huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi
untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam perhitungan penghasilan
kena pajak.
f. deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas,
sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN dan BUMD, dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat :
1) deviden berasal dari cadangan laba yang ditahain ; dan
2) bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD, yang menerima deviden
kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25% (dua
puluh lima persen), dari jumlah modal yang disetor.
Berdasarkan ketentuan ini, deviden yang dananya berasal dari laba setelah
dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wp dalam
negeri, koperasi, dan BUMN/BUMD, dari penyertaannya pada badan usaha
lainnya, yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan
sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen), dan penerima deviden tersebut
memperoleh penghasilan dari usahan riil di luar penghasilan yang berasal dari
penyertaan tersebut, tidak termasuk objek pajak. Yang dimaksud dengan BUMN/
dan BUMD dalam ayat ini, antara lain adalah perseroan (Persero), bank pemerintah
bank pembangunan daerah.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima deviden atau bagian laba adalah wajib
pajak selain badan-badan tersebut diatas, seperti orang pribadi baik dalam negeri,
maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan orgnisasi sejenis,
dan sebagainya, maka penghasilan berupa deviden atau bagian laba tersebut tetap
merupakan objek pajak.

g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja, maupun
pegawai.
Pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan ketentuan ini, hanya berlaku bagi
dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri

Keuangan. Yang dikecualikan dari objek pajak adalah iuran yang diterima dari
peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja.
Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana
milik dari peserta dana pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka
pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para
peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tsb dikecualikan sebagai objek pajak.
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan
Keputusan Menkeu.;
Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai objek pajak
berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya
telah mendapat pengesahan Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari objek pajak
dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang
tertentu berdasar kan Keputusan Menteri Keuangan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 651/KMK.04/1994, Tgl 29
Desember 1994, Tentang Bidang Penanaman Modal tertentu yang memberikan
penghasilan kepada dana pensiun yang tidak termasuk sebagai objek PPh adalah
sebagai berikut ;
bunga dan diskonto dari deposito, sertifikat, dan tabungan, pada bank di
Indonesia, serta sertifikat Bank Indonesia.
bunga dan obligasi yang diperdagangkan di pasar modal Indonesia;
deviden dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat di bursa efek di
Indonesia.
Selanjutnya dalam SE- Direktur Jenderal Pajak No. SE- 16/PJ.4/1995, Tgl 23
Maret
1995, dinyatakan sebagai berikut :
Penghasilan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan
yang bukan merupakan objek pajak PPh adalah :
iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun oleh pegawai.
penghasilan dana pensiun dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Penghasilan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri


Keuangan dari penanaman modal yang tidak termasuk objek pajak sebagaimana
dimaksud Keputusan Menkeu seperti disebut diatas, dananya harus bersumber dari
dana yang terkumpul dari iuran pensiun yang diterima atau diperoleh dana pensiun,
atau yang dibayar pemberi kerja termasuk pengembangannya.
Apabila ada yang berasal dari pihak ketiga, atau uang pribadi pengurus dana
pensiun, maka penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun menjadi
objek pajak. Jika dana pensiun yang dimaksud, menerima atau memperoleh bunga
atau diskonto, yang berasal dari deposito, dan tabungan, atau SBI, bunga dan/atau
deviden dari obligasi dan/atau saham yang diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia, maka penghasilan tersebut, merupakan objek pajak dan harus dipotong
PPh Psl 23 UU Pajak penghasilan oleh pemberi hasil.
Dengan demikian penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun
dimaksud dapat dikelompokan menjadi :
Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak ;
Penghasilan lainnya yang merupakan objek pajak
Dana pensiun yang memperoleh penghasilan seperti itu, wajib membuat pencatatan
yang terpisah dalam pembukuannya, antara penghasilan yang bukan objek pajak
dengan penghasilan yang menjadi objek pajak. Kalau tidak demikian halnya, maka
perhitungan biaya yang boleh dikurangkan/dibebankan dari penghasilan bruto,
akan ditetapkan secara perbandingan

i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer,
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma,
dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif ;
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam
ketentuan ini, yang merupakan himpunan para anggotanya dikenakan pajak
sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu bagian
laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi menjadi objek
pajak.

j. dihapus;
(bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5
(lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha)
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura, berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yg didirikan dan menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
1) merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan ; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Perusahaan modal ventura (ventura capital), adalah suatu perusahaan yang
kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha ) dalam
bentuk penyertaan modal untuk jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini,
bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha, tidak
termasuk objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut
merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, deviden yang diterima atau diperoleh
perusahaan modal ventura bukan merupakan objek pajak. Agar kegiatan
perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi
yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan
ekspor non migas, usaha atau kegiatan perusahaan pasangan usaha tersebut diatur
oleh Menteri Keuangan.

Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam


bentuk penyertaan modal, maka penyertaan modal tersebut diarahkan pada
perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.
Sehubungan dengan perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha dari
perusahaan modal ventura, Menteri Keuangan, telah menerbitkan Keputusan

Menteri Keuangan No. 250/KMK.04/1995, Tgl 2 Juni 1995, Tentang perusahaan


kecil dan menengah pasangan usaha dari perusahaan modal ventura dan perlakuan
perpajakan atas penyertaan modal perusahaan modal ventura, yg berisikan antara
lain:
1. Perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha perusahaan modal ventura,
adalah perusahaan yang penjualan bersihnya setahun tidak melebihi Rp
5.000.000.000. (lima miryar rupiah).
2. Penyertaaan modal perusahaan modal ventura pada setiap perusahaan pasangan
usaha, dilakukan selama perusahaan pasangan usaha tersebut belum menjual
saham di bursa efek dan/atau untuk jangka waktu tidak melebihi 10 tahun.
3. Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh, perusahaan modal
ventura dari penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha, yang memenuhi
persyaratan tersebut diatas, bukan merupakan objek Pajak Penghasilan.
4. Apabila perusahaan pasangan usaha menjual sahamnya di bursa efek,
perusahaan modal ventura harus menjual sahamnya pada perusahaan pasangan
usaha selambat-lambatnya 36 (tiga puluh enam) bulan, sejak perusahaan pasangan
usaha tsb diizinkan oleh BAPEPAM menjual sahamnya di bursa efek.
5. Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal
ventura pada perusahaan pasangan usaha, setelah lewat jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada angka (2) atau angka (4), merupakan objek pajak, kecuali apabila
bagian laba tersebut memenuhi ketentuan Psl 4 ayat (3) huruf f UU- PPh.
6. Perusahaan modal ventura wajib membukukan secara terpisah penghasilan yang
merupakan objek pajak, dan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.
l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan,
yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali
dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia
melaluipendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan
prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas
perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau
diperoleh, sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk
pembangunan gedung dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud.
Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam
jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau
badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta
penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa
saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya.
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) kepada wajib pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus
kepada wajib pajak atau anggots masyarakat yang tidak mampu atau sedang
mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.

REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 343/KMK.05/2010
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 234/KMK.05/2008 TENTANG PENETAPAN PUSAT PENGELOLAAN
KOMPLEK KEMAYORAN JAKARTA PADA SEKRETARIAT NEGARA
SEBAGAI
INSTANSI PEMERINTAH YANG MENERAPKAN PENGELOLAAN
KEUANGAN
BADAN LAYANAN UMUM
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :a. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
234/KMK.5/2008 sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 372/KMK.05/2009,
telah ditetapkan ketentuan mengenai penetapan Pusat
Pengelolaan Komplek Kemayoran Jakarta pada Sekretariat
Negara sebagai Instansi Pemerintah yang menerapkan
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum secara
Bertahap yang berlaku sampai dengan tanggal 22 Agustus
2010;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (6) Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum, status BLU secara
Bertahap yang diberikan kepada Instansi Pemerintah yang
menerapkan pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum (PK-BLU) berlaku paling lama 3 (tiga) tahun;
c. bahwa Menteri Sekretaris Negara melalui Surat Nomor: B886/M.Sesneg/07/2010 tanggal 21 Juli 2010 telah
mengajukan permohonan agar Pusat Pengelolaan Komplek
Kemayoran Jakarta pada Sekretariat Negara dapat
ditingkatkan statusnya dari Instansi Pemerintah yang
menerapkan PK-BLU secara Bertahap menjadi Instansi
Pemerintah yang menerapkan PK-BLU secara Penuh;
d. bahwa berdasarkan hasil penilaian dari Tim Penilai yang
dituangkan dalam Berita Acara Nomor: BA-06/TimPenilai/2010 tanggal 5 Agustus 2010, Pusat Pengelolaan
Komplek Kemayoran belum memenuhi persyaratan untuk
ditetapkan sebagai Instansi Pemerintah yang menerapkan

PK-BLU secara Penuh;


e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu
menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang
Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 234/KMK.05/2008 tentang Penetapan Pusat
Pengelolaan Komplek Kemayoran pada Sekretariat Negara

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN

NOMOR 343/KMK.05/2010
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 234/KMK.05/2008 TENTANG PENETAPAN PUSAT PENGELOLAAN
KOMPLEK KEMAYORAN JAKARTA PADA SEKRETARIAT NEGARA
SEBAGAI
INSTANSI PEMERINTAH YANG MENERAPKAN PENGELOLAAN
KEUANGAN
BADAN LAYANAN UMUM
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :a. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
234/KMK.5/2008 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 372/KMK.05/2009, telah ditetapkan
ketentuan mengenai penetapan Pusat Pengelolaan Komplek
Kemayoran Jakarta pada Sekretariat Negara sebagai Instansi
Pemerintah yang menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum secara Bertahap yang berlaku sampai dengan
tanggal 22 Agustus 2010;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (6) Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum, status BLU secara Bertahap yang

diberikan kepada Instansi Pemerintah yang menerapkan pola


Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) berlaku
paling lama 3 (tiga) tahun;
c. bahwa Menteri Sekretaris Negara melalui Surat Nomor: B886/M.Sesneg/07/2010 tanggal 21 Juli 2010 telah mengajukan
permohonan agar Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran Jakarta
pada Sekretariat Negara dapat ditingkatkan statusnya dari Instansi
Pemerintah yang menerapkan PK-BLU secara Bertahap menjadi
Instansi Pemerintah yang menerapkan PK-BLU secara Penuh;
d. bahwa berdasarkan hasil penilaian dari Tim Penilai yang
dituangkan dalam Berita Acara Nomor: BA-06/Tim-Penilai/2010
tanggal 5 Agustus 2010, Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran
belum memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai Instansi
Pemerintah yang menerapkan PK-BLU secara Penuh;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Keputusan
Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 234/KMK.05/2008 tentang Penetapan
Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran pada Sekretariat Negara
sebagai Instansi Pemerintah yang Menerapkan Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum;
Mengingat :1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4502);

4. Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2008 tentang Pembubaran


Badan Pengelola Komplek Kemayoran dan Direksi Pelaksana
Pengendalian Pembangunan Komplek Kemayoran;
5. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.05/2007 tentang
Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan dan
Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah Untuk Menerapkan
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum;
7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 234/KMK.05/2008 tentang
Penetapan Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran Jakarta pada
Sekretariat Negara sebagai Instansi Pemerintah yang Menerapkan
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana telah
diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
372/KMK.05/2009;
MEMUTUSKAN:
Menetapka :KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN
n
KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
234/KMK.05/2008 TENTANG PENETAPAN PUSAT
PENGELOLAAN KOMPLEK KEMAYORAN JAKARTA PADA
SEKRETARIAT NEGARA SEBAGAI INSTANSI PEMERINTAH
YANG MENERAPKAN PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN
LAYANAN UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
234/KMK.05/2008 tentang Penetapan Pusat Pengelolaan Komplek
Kemayoran Jakarta pada Sekretariat Negara sebagai Instansi
Pemerintah yang Menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum sebagaimana telah dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 372/KMK.05/2009, diubah sebagai berikut:
1.

Ketentuan Diktum KELIMA angka 3 diubah, sehingga Diktum


KELIMA berbunyi sebagai berikut :

KELIMA :Dalam menerapkan PK-BLU sebagaimana dimaksud


dalam Diktum PERTAMA, kepada Pusat Pengelolaan
Komplek Kemayoran Jakarta pada Sekretariat Negara,
diberlakukan ketentuan sebagai berikut :
1.Aset yang dikelola adalah aset yang status
kepemilikan dan penguasaannya tidak bermasalah
(free and clear).
2.Neraca pada saat ditetapkan Keputusan Menteri
Keuangan ini adalah neraca sementara.
3.Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran Jakarta pada
Sekretariat Negara wajib menyajikan neraca yang
telah diaudit oleh auditor independen, berisikan aset
yang status kepemilikan dan penguasaannya tidak
bermasalah (free and clear), kewajiban dan ekuitas
paling lambat pada tanggal 22 Agustus 2011.
4.Neraca yang telah diaudit merupakan bahan
penetapan aset yang dikelola BLU oleh Menteri
Sekretari Negara setelah mendapat persetujuan
Menteri Keuangan.
Ketentuan Diktum KEENAM diubah, sehingga berbunyi sebagai
2.
berikut:
KEENAM:Status BLU secara Bertahap sebagaimana dimaksud
dalam Diktum PERTAMA berlaku sampai dengan
tanggal 22 Agustus 2011.
Pasal II
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 22 Agustus 2010.
Salinan Keputusan Menteri Keuangan ini disampaikan kepada :
1.
2.
3.
4.
5.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;


Menteri Sekretaris Negara;
Sekretaris Jenderal, Kementerian Keuangan;
Direktur Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan;
Direktur Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan;

6. Sekretaris Menteri Sekretaris Negara;


Direktur Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
7. Umum, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian
Keuangan;
8. Kepala Biro Hukum, Sekretariat Jenderal, Kementerian Keuangan;
Kepala Kantor Wilayah XI Direktorat Jenderal Perbendaharaan,
9.
Kementerian Keuangan;
10
Direktur Utama Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran;
.
Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Jakarta I,
11.
Kementerian Keuangan.

Anda mungkin juga menyukai