Anda di halaman 1dari 32

Resume Materi Toksikologi Kimia

Oleh:

Raihan Ahmad Arandi

(1908511026)

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2021
ANALISIS KOLESTEROL PADA DAGING DENGAN METODE GC DAN
HPLC
( KELOMPOK 1)
A. TEORI DASAR DAN PRINSIP
1. Prinsip dan teknik GC (Gas Chromatography
Kromatografi gas adalah teknik analisis yang digunakan untuk
identifikasi produk (dalam kondisi yang sangat terkontrol) dan harus
langsung digabungkan ke spektrometer massa ketika informasi
diperlukan, seperti identifikasi positif puncak pada kromatogram.
Prinsip dasar kromatografi gas adalah semakin besar afinitas
senyawa untuk fase diam, semakin banyak senyawa yang akan
ditahan oleh kolom dan akan semakin lama sebelum dielusi dan
dideteksi.
2. Prinsip dann teknik HPLC (High-Performance Liquid
Chromatography
Kromatografi cair kinerja tinggi (atau kromatografi cair tekanan tinggi,
HPLC) adalah bentuk khusus dari kromatografi kolom yang umumnya
digunakan dalam biokimia dan analisis untuk memisahkan,
mengidentifikasi, dan mengukur senyawa aktif. HPLC terutama
menggunakan kolom yang menampung fase diam, pompa yang
menggerakkan fase gerak melalui kolom, dan detektor yang
menunjukkan waktu retensi molekul. Prinsip kerja dari HPLC : Teknik
kromatografi yang didasarkan pada perbedaan distribusi molekul-
molekul komponen di antara dua fasa (fasa gerak dan fasa diam)
yang berbeda kepolarannya, digunakan untuk keperluan pemisahan,
pengidentifikasian, maupun analisis kuantitaif yang didasarkan pada
pengukuran luas puncak analit dalam kromatogram yang
dibandingkan dengan luas area standar. Waktu di mana analit
tertentu terelusi (keluar dari ujung kolom) disebut waktu retensi.

B. SAMPEL YANG DI ANALISIS


➢ Sampel telur ayam broiler
➢ Daging bologna dan daging salami yang dari 3 merk yg berbeda.
Daging bologna dan salami merupakan daging olahan khas dari Italy
yang sering digunakan dalam pembuatan sosis.
C. Metode Analisis dengan HPLC dan GC
1. Metode HPLC

Kolom: silika (25 cm x i.d. 4,6 cm, ukuran partikel 8 µm)


Laju alir: 2 mL/menit
Suhu : 50 ºC
Detektor: ELSD (Sedex 55) dengan tekanan gas N2 sebesar 2,2 bar,
Gain 7
Volume injeksi: 20 µL
Dalam uji secara kuantitatif, sampel diinjeksikan secara terpisah dari
injeksi standar dengan menggunakan kondisi HPLC di atas, kemudian
luas respons dicatat. Kurva standar yang merupakan hubungan linear
antara area dan konsentrasi kolesterol standar dibuat. Selanjutnya luas
puncak kolesterol dari kromatogram sampel dibaca dan dihubungkan
dengan kurva standar untuk memperoleh konsentrasi kolesterol standar
dari kurva (µg/mL). Linearitas ditentukan dengan menginjeksikan
larutan sampel telur (3 g sampel) yang ditambahkan standar kolesterol
pada 6 konsentrasi yang berbeda (300, 750, 1500, 3000, 7500, dan
15000 µg/mL). Pengujian dilakukan 3 kali pada setiap konsentrasi
kolesterol standar. Linearitas diukur dengan nilai R2 dari kurva
hubungan antara luas puncak kolesterol (sebagai sumbu y) dan
konsentrasinya (µg/g) (sebagai sumbu x). Sedangkan uji kualitatif
dilakukan dengan cara mengukur dan membandingkan waktu retensi
antara komponen kolesterol (sampel) dengan standar yang digunakan.
Apabila hasil yang diperoleh memiliki kesamaan komponen, maka dapat
dikatakan bahwa sampel mengandung kolesterol.

2. Metode Kromatografi Gas (GC


Kromatografi gas dengan detektor ionisasi nyala, model CGS-14A,
digunakan dalam analisis, bersama dengan pemroses data Clarity Lite.
Kolom kapiler Varian, model CPSil 5 CB (100% dimethylpolysiloxane)
dengan panjang 30 m, diameter internal 0,25 mm, dan ketebalan film
0,25 m digunakan. Analisis dilakukan dengan isoterm suhu untuk oven
kolom 280°C selama 5 menit, yang didefinisikan dalam tes dengan
larutan kolesterol standar dan 5 α -cholestane. Suhu analisis injektor
dan detektor adalah 280°C. Gas pembawa yang digunakan adalah
hidrogen pada laju aliran konstan 1,0 mL.min−1, dengan masing-masing
hidrogen dan laju aliran gas nyala udara sintetis 30 mL. min−1 dan 300
mL. min−1 . Analisis dilakukan dengan menyuntikkan 2 L dalam rasio
mode split 1/33. Pada analisis kualitatif ada atau tidaknya kolesterol pad
sampel dilakukan dengan membandingnya waktu retensi ( 𝑡𝑟 ) yang
didapat dengan standar, sedangkan kuantitatif dapat dilihat dari luas
puncak yang didapat untuk mengetahui jumlah atau kadar dari
kolesterol pada sampel.

D. HASIL
1. HASIL DARI METODE HPLC
Berdasarkan hasil kualitatif, uji presisi instrumen HPLC
dengan menggunakan larutan kolesterol standar 50 µg/mL dapat
dilihat pada tabel disamping. Dari tabel tersebut dapat diketahui
bahwa presisi luas puncak maupun waktu retensi dari puncak
kolesterol masing-masing sebesar 2,23 dan 0,59%. Waktu retensi
puncak kolesterol ratarata 1,52 menit. Batas keberterimaan presisi
instrumen adalah 2,0%, maka hasil presisi waktu retensi dapat
diterima, sedangkan presisi luas puncak sedikit lebih tinggi daripada
batas tersebut. Uji spesifisitas dilakukan dengan membandingkan
puncak kolesterol yang diperoleh dari hasil injeksi larutan standar
kolesterol, injeksi larutan hasil persiapan sampel telur saja, dan
injeksi larutan hasil persiapan sampel telur yang diberi tambahan
standar kolesterol.
Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 1-3. Dalam gambar, kolesterol
terdeteksi pada waktu retensi 1,51−1,53 menit. Dalam Gambar 2.
terlihat bahwa sampel telur mempunyai puncak kolesterol yang sama
dengan standar kolesterol dalam Gambar 1. Tinggi puncak kolesterol
tersebut meningkat apabila ke dalam sampel yang sama
ditambahkan standar kolesterol (Gambar 3). Dengan demikian,
kolesterol dapat terdeteksi dalam matriks sampel telur dengan baik.
Sedangkan hasil uji kuantitatif dilakukan dengan metode
linearitas. Pengujian linearitas motede analisis kolesterol
menggunakan instrumen HPLC – ELSD dan matriks sampel telur
menunjukkan linearitas yang baik, yaitu peningkatan respons
instrumen yang proporsional dengan peningkatan konsentrasi
kolesterol dalam sampel telur. Ini berarti semakin tinggi konsentrasi
kolesterol standar yang ditambahkan semakin tinggi dan luas puncak
kolesterol yang diperoleh. Konsentrasi kolesterol standar yang
ditambahkan pada pengukuran linearitas ini 50-3000 µg/g sampel.
Hasil pengukuran linearitas metode dapat dilihat pada Gambar 4.
Kurva liniearitas metode yang diperoleh mempunyai nilai R² sebesar
0,997. Nilai ini masuk dalam batas keberterimaan R²≥ 0,990. Dengan
mengetahui nilai R² tersebut, disimpulkan bahwa metode analisis
kolesterol menggunakan HPLC-ELSD ini memiliki linearitas yang
baik.

Hasil uji linearitas metode yang dilakukan menggunakan


HPLC-ELSD ini menunjukkan nilai R² yang lebih baik apabila
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh oleh Osman dan Chin
(2006) menggunakan HPLC-UV/Vis. Penelitian mereka
membandingkan metode ekstraksi Bohac yang mempunyai nilai R²
0,993, metode Beyer & Jensen dengan nilai R² 0,990, dan metode
Queensland Health Science Institute mencapai nilai R² 0,941. Ketiga
metode diuji menggunakan instrumen HPLCUV/VIS detector
sebanyak 8 kali ulangan. Fakta ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Avalli dan Contarini (2005), yang menyatakan bahwa
HPLC-ELSD dapat menghasilkan respons yang linear untuk
mengukur fosfolipid di dalam produk susu.
2. Hasil Analisis pada kromatografi gas (GC)

Hasil uji kualitatif menunjukkan nilai rata-rata waktu retensi,


standar deviasi (S) dan persen koefisien variasi (%CV) dari analit
dalam larutan standar yang disiapkan. Koefisien variasi yang
diperoleh pada analisis ini yaitu kurang dari 0,5% yang
menunjukkan pengulangan instrumen yang baik berkaitan
dengan waktu retensi analit (tr ). Akurasi respon GC , laju rata-
rata area puncak standar internal dihitung dari kurva analitis untuk
larutan. Nilai yang diperoleh untuk koefisien variasi dalam studi
area analit dalam lima konsentrasi berada di bawah 3%.

Sedangkan untuk hasil uji kuantitatif, Batas deteksi dan


kuantifikasi ditentukan dengan perhitungan statistik, diperoleh
dari data kurva regresi linier, yang memberikan nilai rata-rata
koefisien korelasi untuk GC yaitu sebesar 0,9996. Batas deteksi
dan kuantifikasi kolesterol yang diperoleh di GC masing-masing
adalah 0,001 dan 0,003 mg. g-1.
E. PEMBAHASAN
Berkenaan dengan studi akurasi respon GC, nilai yang diperoleh
untuk koefisien variasi dalam studi area analit dalam lima konsentrasi
berada di bawah 3%. Untuk HPLC, koefisien variasi yang diperoleh untuk
rata-rata luas puncak kolesterol adalah 2,19%. Nilai hingga 15% untuk
koefisien variasi dapat diterima untuk studi ini. Batas deteksi dan
kuantifikasi kolesterol yang diperoleh di GC masing-masing adalah 0,001
dan 0,003 mg.g-1. Batas deteksi di HPLC adalah 0,005 mg.g-1 dan limit
kuantifikasinya adalah 0,016. Rerata hasil studi recovery pada GC adalah
97,10 ± 0,13, sedangkan untuk HPLC adalah 93,33 ± 0,22. Hasil ini
berada dalam batas yang diizinkan dan serupa dengan yang ada di
sejumlah penelitian. Secara umum, jumlah kolesterol dalam salami lebih
tinggi daripada di bologna, yang disebabkan oleh resep yang berbeda
dari daging olahan ini.
Hasil sampel yang diperoleh dengan metode kromatografi gas dan
yang ditentukan dengan HPLC adalah setara, dengan tidak ada
perbedaan yang signifikan. Meskipun efektif, metode kromatografi itu
mahal. Membandingkan instrumen kromatografi yang digunakan
menunjukkan bahwa proses kromatografi dengan GC kira-kira tiga kali
lebih cepat dibandingkan dengan HPLC. Berkenaan dengan biaya fase
gerak, bahwa untuk HPLC memerlukan persiapan yang memadai untuk
menggunakan instrument (filter, degassing, dan tenaga kerja).
Sedangkan aanalisis GC membutuhkan waktu penanganan yang lebih
lama di pihak analis dari pada yang diperlukan dalam analisis
menggunakan metode HPLC. Namun GC memeliki keuntngan yaitu
kemampuannya untuk mengukur kolesterol dan oksidanya, yang
mengarah pada penggunaannya saat menentukan kolesterol dalam
makanan, karena suhunya yang relatif rendah (30̊ C), yang mencegah
oksidasi kolesterol.
F. KESIMPULAN
Metode GC pada analisis kolesterol masih dapat dilakukan karena
kolesterol merupakan senyawa yang mudah menguap, sehingga proses
pemisahan dengan GC lebih cepat dibandingkan dengan HPLC. Nilai
yang diperoleh untuk koefisien variasi dalam studi area analit dalam lima
konsentrasi berada di bawah 3%. Dan juga Rerata hasil studi recovery
pada GC adalah 97,10 ± 0,13, sedangkan untuk HPLC adalah 93,33 ±
0,22, serta jumlah kolesterol dalam salami lebih tinggi daripada di
bologna.
DAFTAR PUSTAKA

Gisely Luzia Stroher, Angela Claudia Rodrigues, Lucia Felicidade Dias,


Mayka Reghiany Pedrao, Luana Nascimento de Paula, Jesui
Vergilio Visentainer, Nilson Evelazio de Souza. 2012.
Comparative Analysis and Validation Methodologies of GC and
HPLC for Analysis of Cholesterol in Meat Products. American
Journal of Analytical Chemistry.
ANALISIS SENYAWA ALDEHIDA DALAM AIR DENGAN METODE GC-
MS
(KELOMPOK 2)

➢ TEORI DASAR DAN PRINSIP


Gas Chromathography-Mass Spectrometer merupakan
gabungan metode analisis antara GC dan MS. Gas chromathography
(GC) adalah metode pemisahan yang digunakan untuk menganalisis
senyawa yang mudah menguap atau senyawa yang mudah diuapkan.
Senyawa yang mudah terdegradasi oleh panas tidak dapat dianalisis
dengan mentode ni. Sedangkan Mass Spectrometer (MS) adalah suatu
metode analisis instrumental yang dipakai untuk identifikasi dan
penentuan struktur komponen dan massa relatif hasil.
Prinsip dari metode GC-MS, yaitu sampel yang diinjeksikan ke
dalam Kromatografi Gas akan diubah menjadi fasa uap dan dialirkan
melewati kolom kapiler dengan bantuan gas pembawa. Teknik analisis
pada metode GC-MS dibagi menjadi dua, yaitu Teknik Multiple Ion
Monitoring (MIM) atau scan, dan Teknik Selected Ion Monitoring (SIM).
Dalam teknik MIM, masing-masing kromatogram menghasilkan
spektrum massa suatu senyawa yang dianalisis dan dapat
dibandingkan dengan data massa spektrum standar yang ada pada
data pustaka. Analisis dengan teknik MIM memerlukan senyawa yang
memiliki kadar relatif besar karena molekul senyawa yang
terfragmentasi memerlukan adanya sisa ion molekul yang utuh.
Sedangkan pada teknik SIM biasanya digunakan untuk analisis sampel
dengan kadar kecil dan bermanfaat untuk pengukuran kuantitatif suatu
komponen sampel yang mengandung banyak campuran senyawa.
Pada teknik SIM, akan diperoleh 3 puncak fragmen ion molekul (m/z)
yang mempunyai kelimpahan tinggi.
➢ SAMPEL YANG DIANALISIS
▪ Larutan standar 4-bromofluorobenzene
▪ Metanol
▪ Formaldehida
▪ Asetaldehida
▪ Propionaldehida
▪ N-butiraldehida
▪ Aquades
▪ PFBOA hidroklorat
▪ Natrium klorida
▪ Sodium tiosulfat
➢ METODE ANALISIS DENGAN GC - MS
Metode analisis dengan GC-MS dibedakan menjadi 2 macam, yaitu
analisis kualitatif dan analisis kuantitatif dimana informasi yang
diperoleh secara kualitatif berupa indeks retensi analit dan secara
kuantitatif adalah proporsionalitas antara luas puncak dan jumlah
senyawa.
1.Persiapan Reagen dan Larutan Sampel
▪ Larutan stok standar aldehida: dibuat dengan pengenceran
bertahap standar aldehida (Kanto Kagaku, 10000 mg/l campuran
standar formaldehida, asetaldehida, propionaldehida, dan n-
butiraldehida) dengan metanol.
▪ Larutan standar internal (50 mg/l): dibuat dengan mengencerkan
larutan standar 4-bromofluorobenzena (Kanto Kagaku, 1000 mg/l)
dengan metanol
2.Persiapan Larutan Standar dan Larutan Sampel
▪ Larutan standar disiapkan dengan mengencerkan 1µ larutan stok
standar dengan 10 ml air kosong dalam botol head space kedalam
larutan ditambahkan 1µ larutan standar internal 4-
bromofluorobenzena 0,6 ml larutan berair PFBOA (1 mg/ml) dan 3
g natrium klorida. Botol vial kemudian segera ditutup dengan
septum berlapis polytetraflouroerhylene dan tutup aluminium.
Reaksi umum aldehida dengan reagen turunan PFBOA.
▪ Larutan sampel : tepat 10 ml sampel air diukur dengan cara yang
sama seperti larutan standar.
❖ Cara Kerja dengan GC - MS
▪ Sampel yang berupa cairan diinjeksikan ke dalam injektor kemudian
diuapkan. Sampel yang berbentuk uap dibawa oleh gas pembawa
menuju kolom untuk proses pemisahan. Setelah terpisah, masing-
masing komponen akan melalui ruang pengion dan dibombardir oleh
elektron sehingga terjadi ionisasi.
▪ Kurva kalibrasi dibuat dari area puncak yang terintegrasi. Dengan
pengecualian formaldehida, area puncak total dari semua isomer
digunakan.

➢ HASIL
▪ Hasil Kualitatif
Hasil kualitatif pada metode GC-MS dapat dilihat berdasarkan waktu
retensi dimana waktu retensi paling lama dihasilkan oleh komponen
PFBOA n-butyraldoxime, yaitu 12.31. sedangkan waktu retensi
tercepat, yaitu pada komponen PBFOA formaldoxime sebesar 6.47

▪ Hasil Kuantitatif
1. Konsentrasi Aldhehida dalam Air Keran
Konsentrasi aldehida dalam air keran: formaldehida, 0,7-3,3 g/l;
asetalde hidrat. ND-1.1 µg/l; propionaldehyde dan n-butyral
dehyde, di bawah batas deteksi. Kromatogram aldehida dalam air
keran diberikan pada Gambar. 7. Kromatogram GC/MS dari
turunan PFBOA yang diperoleh dengan ekstraksi pelarut diketahui
menampilkan puncak besar yang sesuai dengan PFBOA, yang
tumpang tindih dengan puncak asetaldoksim. Sebaliknya, pada
kromato gram pada Gambar 7 setiap puncak tajam dan terdefinisi
dengan jelas.
2. Konsentrasi Aldhehida dalam Air Keran
Konsentrasi aldehida dalam air mineral komersial. Formaldehida
terdeteksi pada tingkat ND-59 ug/l, asetaldehida, ND-260 ug/l,
propionaldehida, ND-0,9 ug/l, dan n-butiraldehida, ND-0,3 ug/l.
Nilai pengamatan maksimum untuk formaldehida (59 g/l)
mendekati batas Jepang yaitu 80 ug/l. Beberapa air mineral
memiliki konsentrasi asetaldehida lebih dari 100 kali lebih tinggi
dari tingkat di air keran. telah disarankan bahwa kontaminasi
formaldehida air mineral adalah hasil dari penggunaan botol PET.
Dideteksi asetaldehida dalam 19 dari 24 sampel air mineral yang
terkandung dalam botol PET, tetapi konsentrasi aldehida dalam air
mineral yang dikemas dalam wadah kaca dan kertas berada di
bawah tingkat yang dapat dideteksi. Dari 19 sampel yang memiliki
kadar asetaldehida yang terdeteksi, 13 sampel melebihi 100 ug/l.
Namun, lima sampel (3 produk Prancis, 2 produk Jepang) yang
dikemas dalam wadah PET memiliki konsentrasi asetaldehida yang
tidak terdeteksi.
➢ PEMBAHASAN
Dalam analisis aldehida dengan menggunakan GC-MS pada
metode NCI akan menghasilkan fragmentasi sederhana dan
menghasilkan lebih banyak puncak yang berasal dari struktur
karakteristik, memungkinkan konfirmasi setiap aldehida dari spektrum
yang diperoleh setelah derivatisasi dengan PFBOA. Secara khusus,
metode NCI adalah metode yang berguna untuk konfirmasi identitas
majemuk karena mengungkapkan spektrum massa karakteristik. Selain
itu, NCI lebih selektif mendeteksi metode kemudian EI karena
menyediakan ion terkait molekuler, ion fragmen tertentu, dan
memungkinkan pemantauan beberapa ion fragmen. Metode SIM HS-
GC/MS (NCI) menunjukkan 5-Sensitivitas 20 kali lebih tinggi dari HS-
GC/MS (EI)metode SIM, dan kurva kalibrasi menunjukkan linearitas .
Batas deteksi yang ditunjukkan pada Tabel 3 adalah didefinisikan
menurut "Metode untuk penentuan tetra-melalui octa-
chlorodibenzofurans dan coplanar polychlorobiphenyls dalam air dan
limbah industri air (JIS K0312)”. Standar deviasi ditentukan diperoleh
dari 0,5 g/l larutan standar dari masing-masing senyawa pound
➢ KESIMPULAN
• Gas Chromatography Mass Spectrometry merupakan gabungan dua
buah alat yaitu kromatografi gas dan spektrometri massa. Dimana
Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah berbagai
komponen campuran dalam sampel dengan prinsip kerja dari
kromatografi gas adalah terkait dengan titik didih senyawa yang
dianalisis serta perbedaan interaksi analit dengan fase diam dan
fase gerak. Senyawa dengan titik didih yang tinggi memiliki waktu
retensi yang lama. Senyawa yang lebih terikat dalam fase cair pada
permukaan fase diam juga memiliki waktu retensi yang lebih lama.
Sedangkan spektrometri massa berfungsi untuk mendeteksi masing-
masing molekul komponen yang telah dipisahkan pada sistem
kromatografi gas dan dengan prinsip kerja spektrometri massa
adalah menembak bahan yang sedang dianalisis dengan berkas
elektron dan secara kuantitatif mencatat hasilnya sebagai suatu
spektrum 9 fragmen ion positif. Fragmen-fragmen tersebut
berkelompok sesuai dengan massanya.
• Aldehid dalam air keran memiliki baku mutu sekitar 90 µg/L menurut
WHO. Adapun aldehid jika berada dalam tubuh dalam jumlah yang
berlebih dapat menimbulkan beberapa masalah kesehatan seperti
contohnya formalin (metanal) yang mengandung gugus fungsi
aldehid jika terpapar dalam jangka pendek (akut) akan
menyebabkan saluran pernapasan teritiasi serta pada kulit akan
menyebabkan gatal, iritasi dan kulit terbakar,. Dan jika terpapar
dalam jangka panjang (kronis) dapat merusak saluran pencernaan,
serta peradangan di mulut, kerongkongan, lambung dan usus
maupun kerusakan hati, limpa, pankreas dan ginjal juga dapat
meningkatkan resiko terkena kanker. Dan dalam kasus parah dapat
menyebabkan koma hingga kematian
DAFTAR PUSTAKA
A. Keszler, K. Heberger, M. Gude. 1998. Quantitative Analysis of Aliphatic
Aldehydes by Headspace SPME Sampling and Ion-Trap GC-MS.
Chromatographia. Vol.48, No. ½.
Giacomo Baccolo, Beatriz Quintanilla-Casas, Stefania Vichi, Dillen
Augustijn, Rasmus Bro. 2021. From untargeted chemical profiling
to peak tables e A fully automated AI driven approach to
untargeted GC-MS. Trends in Analytical Chemistry.
Naeko Sugaya, Tomoo Nakagawa, Katsumi Sakurai, Masatoshi Morita, and
Sukeo Onoderac. 2001. Analysis of Aldehydes in Water by Head
Space-GC/MS. Journal of Health Science. Volume 47(1) 21-27

PENERAPAN ANALISIS TOKSIKOLOGI DENGAN IMMUNOASSAY


(KELOMPOK 3)

➢ DASAR BIOKIMIA TOKSISITAS SIANIDA


A. Teori Dasar Immunoassay
Metode imunofluoresensi kompetitif digunakan untuk menganalisis
MOR secara kualitatif dan kuantitatif dalam urin manusia. Untuk
metode imunofluoresensi kompetitif, fluorescein isothiocyanate
(FITC) digunakan sebagai pewarna fluoresen untuk memberi label
antibodi. MOR dalam larutan sampel dan hapten yang dilapisi pada
pelat mikropori bersaing satu sama lain untuk berikatan dengan
antibodi MOR berlabel FITC. .
B. Prinsip Kerja Immunoassay
Metode immunoassay digunakan untuk menganalisis morfin baik
secara kualitatif dan kuantitatif didalam urin manusia. Di dalam
metode immunoassay, digunakan imunofluoresensi kompetitif
dengan bahan berupa sampel (dari urin) dan hapten morfin dilapisi
plat mikropori terlebih dahulu. Proses pelabelan (labelling) antibodi
oleh Fluorescein isocyanate (FITC). FITC merupakan salah satu
jenis pewarna fluoresens. Hasil proses labellimg ini adalah
terbentuknya antibodi morfin dengan label FITC. Setelah morfin
membentuk antibodi morfin berlabel FITC (Mor-FITC). Antara
sampel morfin dengan hapten akan saling berkompetisi untuk dapat
berikatan dengan Mor-FITC. Konsentrasi morfin dalam urin dapat
ditentukan dengan cara pengukuran intensitas pengikatan antara
sampel dengan Mor-FITC (adapun proses pengikatan berdasarkan
kepolaran) oleh plat mikro yang tereksitasi pada 488 nm dan terekam
pada 525 nm.
C. Sampel yang Digunakan
a.) Darah yang diperoleh dari tusukan jari sukarelawan
b.) Supernatan sel in vitro manusia
c.) Urine manusia
D. Metode Deteksi Darah Manusia
a.) Uji ELISA non-kompetitif
- Plat ELISA Immulon 4HBX dilapisi semalaman dengan 100
larutan IgG manusia dalam PBS pada suhu 4
- Plat ditambahkan dengan 250 larutan susu non lemak kering
(DNFM) 3 % dalam PBS kemudian dicuci tiga kali dengan Buffer
pencuci.
- Lalu plat diikubasi selama 1 jam pada 37
- Reaksi dihentikan dengan penambahan 50 asam ortofosfat 1
M dan diukur nilai absorbansinya pada Panjang gelombang 450
nm
- Setelah dicuci tiga kali seperti sebelumnya, Plat ditambahkan 100
tetrametil benzidine dan diinkubasi Kembali selama 15 menit
pada 25 pada kondisi gelap
- Plat ditambahkan dengan IgG-HRP anti-manusia yang telah
diencerkan dalam 100 buffer pencuci kemudian diinkubasi
selama 45 menit pada suhu 25
b.) Uji ELISA Kompetitif
Pengujian dilakukan seperti di atas sampai penambahan antibodi
IgG anti-manusia. Pada langkah ini IgG manusia atau sampel
darah (baik yang berasal dari darah utuh atau noda darah) juga
ditambahkan untuk bertindak sebagai pesaing dan prosedur kerja
selanjutnya sama seperti pada Uji ELISA IgG non-kompetitif.
E. Metode Pemntauan Respon Imun
a.) Wavelength Interrogated Optical Sensing (WIOS)
WIOS menggunakan medan cepat untuk menyelidiki perubahan
indeks bias pada permukaan kisi gelombang pada adsorpsi
biomolekul. Penyetelan panjang gelombang resonansi
memungkinkan pemantauan waktu nyata dari pengikatan
molekul yang tidak berlabel pada permukaan kisi gelombang .
Permukaan chip difungsikan dengan lapisan dekstran
photopolymerizable , yang memungkinkan pengikatan kovalen
biomolekul dan pada saat yang sama mencegah adsorpsi non-
spesifik biomolekul.
b.) Immunoassays
Sitokin IL-8, IL-6 dan MCP-1 dideteksi dengan format sandwich
immunoassay, menggunakan antibodi spesifik. Sampel
supernatan sel diletakkan di atas gelombang selama 30 menit
dalam mode stop-flow (beberapa suntikan). Larutan standar
sitokin disiapkan dalam media sel untuk kalibrasi. Setelah dibilas
dengan PBS, antibodi pendeteksi poliklonal disuntikkan ke
dalam sel aliran selama 30 menit. Setelah dibilas dengan PBS,
IgG spesifik kelinci (α-rIgG) disuntikkan dalam sel aliran selama
30 menit sebagai antibodi sekunder, untuk memperkuat sinyal
respons. Variasi sinyal WIOS sebelum dan sesudah inkubasi
dengan -rIgG dilaporkan untuk sampel yang berbeda.
Permukaan aktif diregenerasi setelah immunoassay, dengan 5
menit paparan 3M MgCl2, 0,75M HEPES yang mengandung 25%
etilena glikol (pH 3), sehingga memungkinkan pengukuran
berurutan dengan satu chip.
Enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA) digunakan untuk
pengukuran referensi untuk IL-8, menggunakan 6 g/ml antibodi
penangkap dan 2 g/ml antibodi deteksi terbiotinilasi. Sinyal
dikembangkan menggunakan 3,3’5,5’- Tetramethylbenzidin
(TMB), menghentikan reaksi dengan 2M H2SO4, dan
menganalisis kerapatan optik pada pembaca pelat Tecan pada
450 nm.
c.) Cell culture tests
Sel epitel bronkial manusia dikultur dalam RPMI 1640, dilengkapi
dengan L-glutamin, penisilin/streptomisin, dan 10% FCS (PAA
Laboratories, Pasching, Austria), dalam pelat 6-sumur,
menggunakan 5 ·105 sel per sumur. Sel A549 diinduksi dengan
0, 20 atau 300 ng/ml rhTNF-α (Immunotools, Jerman),
mensimulasikan reaksi fase akut [2]. Sampel larutan supernatan
dikumpulkan setelah 6, 21 dan 48 jam untuk analisis.
F. Metode Penentuan Morfin
1. Sintesis larutan morfin hapten

2. Proses Immunoassay Fluorosensi


- Proses dioperasikan pada 96-well microtiter immunoassay plate.
Larutan morfin hapten dimasukkan perlahan dengan dilapiskan
pada permukaan orifice dan diinkubasi pada suhu 4 oC selama 12
jam.
- Fluorescein isothiocyanate (FITC) berlabel antibody monoklanal
anti-MOR dicampur dengan larutan sampel, kemudian diinkubasi
pada suhu 37oC selama 2 jam.
- Plate dibaca oleh pembaca plate mikro pendeteksi otomatis yang
dieksitasi pada 488 nm dan direkam pada 525 nm.
- Intensitas fluorosensi yang diukur sebanding dengan adanya
morfin dalam sampel.
G. Hasil dan Pembahasan
ELISA kompetitif yang dioptimalkan memiliki rentang kerja
10– 0,1 mg/mL, batas deteksi untuk IgG 0,1 mg/mL (P <0,01) dan 50
% penghambatan (IC50) 1,0 mg/mL. Kurva standar yang dapat
direproduksi diperoleh untuk IgG manusia dengan variabilitas intra
dan inter-assay kurang dari 10% koefisien variasi di seluruh rentang
kerja. Dalam semua kasus di mana noda darah yang diketahui
berasal dari manusia, hasil positif yang jelas diperoleh dengan
ELISA IgG anti-manusia.
Spesifisitas pengujian ditentukan dengan menguji bagaimana
pengujian dilakukan dengan IgG manusia, domba, kambing, kelinci,
babi, dan sapi yang bertindak sebagai pesaing untuk antibodi IgG
anti-manusia. Hanya darah manusia yang menyebabkan
penghambatan pengikatan antibodi pada antigen pelat. Tidak ada
penghambatan sinyal oleh seluruh darah dari kuda atau domba.
Cairan tubuh lainnya (air mani, keringat, air liur dan air mata)
juga diuji keberadaan Ig. Tingkat pengikatan berkurang
dibandingkan dengan IgG dalam darah. Dalam rentang kerja
pengujian, % penghambatan maksimum yang terdeteksi (di bagian
atas rentang kerja, pengenceran 1/100) adalah 40% untuk sampel
semen. Sampel lainnya memberikan kurang dari 10%
penghambatan pengikatan dalam rentang kerja. tingkat serum IgG
yang lebih tinggi berarti bahwa% penghambatan oleh sampel darah
jauh lebih besar. Jaringan lain (air mani, keringat, air liur dan air
mata) hanya menyebabkan penghambatan bila tidak diencerkan.
Karena sampel secara rutin diencerkan dengan 1/100 atau lebih,
setiap sampel yang melaporkan % penghambatan >40% harus
dianggap berasal dari darah manusia.
ELISA kompetitif mampu mendeteksi keberadaan darah
manusia dari noda pada berbagai permukaan. Selain itu, pengujian
memberikan hasil positif dengan noda baru dan lama, termasuk
noda darah hingga usia 1 tahun, yang menunjukkan bahwa target
tidak terdegradasi secara signifikan dari waktu ke waktu, setidaknya
dalam rentang waktu yang diuji.
Semua noda darah yang diuji menyebabkan penghambatan
sinyal yang signifikan, dibandingkan dengan reagen kontrol.
Pengujian memberikan identifikasi positif dari noda darah yang
berusia 6 atau 12 bulan. Dalam serangkaian uji coba, pengujian
berhasil mengidentifikasi noda darah yang berasal dari manusia,
melaporkan hasil negatif ketika noda berasal dari bukan manusia.
ELISA IgG anti-manusia yang disajikan dalam penelitian ini
memiliki sensitivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan uji
presipitin untuk identifikasi darah manusia. Batas deteksi anti
manusia IgG kompetitif ELISA adalah 0,1 mg IgG / mL Namun, tidak
ada efek dosis tinggi yang diamati dalam penelitian ini seperti yang
terlihat dengan konsentrasi darah yang tinggi dalam metode
berbasis hemoglobin lainnya
Banyak zat umum dapat membentuk noda merah/coklat yang
dapat ditafsirkan sebagai noda darah dugaan di TKP. ELISA berhasil
memberikan hasil negatif ketika diuji dengan noda seperti kopi, teh
dan kecap. Ada keterbatasan metode yang dirancang yang harus
diperhitungkan. Penelitian ini tidak dapat dilakukan di TKP.
Penelitian ini memiliki waktu pengujian keseluruhan kurang dari 1
jam, tetapi harus dilakukan di laboratorium di mana peralatan yang
diperlukan, seperti pembaca pelat.
Pada tahap pertama, sandwich immunoassay untuk deteksi
IL-8 dipantau secara real time dengan instrumen WIOS untuk
menganalisis media kultur sel yang dibubuhi dengan konsentrasi IL-
8 antara 0 dan 10 ng/ml. Regenerasi permukaan memungkinkan
desorbsi semua spesies yang teradsorpsi, sambil mempertahankan
sejumlah besar antibodi penangkap aktif pada permukaan chip.
Hingga sepuluh siklus regenerasi dilakukan pada chip, dengan ~10%
kehilangan sinyal respons setelah setiap langkah regenerasi. Sinyal
respons untuk konsentrasi IL-8 yang berbeda dalam media kultur sel
yang diukur dengan WIOS memungkinkan pembentukan kurva
kalibrasi kurva kalibrasi untuk IL-8.
Pada tahap kedua, imunoreagen untuk deteksi IL-6 dan MCP-
1 diimplementasikan ke dalam immunoassay WIOS, memungkinkan
deteksi simultan dari tiga sitokin. Deteksi simultan dari tiga sitokin,
IL-8, IL-6 dan MCP-1, dicapai dengan menggunakan chip yang terdiri
dari zona berbeda yang berfungsi secara independen dengan
antibodi penangkap yang sesuai. Campuran dari tiga antibodi
deteksi digunakan untuk langkah deteksi. Tidak ada reaktivitas
silang yang diamati antara spesies yang berbeda. dan sinyal respons
untuk campuran yang mengandung tiga sitokin sebanding dengan
setiap sinyal yang diperoleh secara independen. Dengan demikian,
konsentrasi tiga sitokin dapat dideteksi dalam satu pengukuran,
hanya menggunakan satu sampel.
Pada tahap ketiga platform deteksi diuji untuk untuk analisis
IL-8 dalam sampel sel supernatant sel yang diinduksi dengan TNF-
α. Sel A549 diekspos pada konsentrasi yang berbeda dari faktor
induksi TNF-α, dan pelepasan IL-8 oleh sel diukur dalam media
kultur sel setelah 6, 21, dan 48 jam induksi. Respons sinyal yang
dihasilkan dari immunoassay memungkinkan pembedaan antara sel
yang diinduksi dan tidak diinduksi, menunjukkan sinyal sesuai
dengan jumlah IL-8 yang berbeda dalam medium. Perbandingan
dengan analisis ELISA menunjukkan korelasi yang baik antara
kedua teknik untuk konsentrasi IL-8 rendah (di bawah 10 ng/ml). Efek
nanopartikel pada respon imun seluler dapat dinilai dengan cara
yang sama, dengan memantau kultur sel yang terpapar nanopartikel.
• Verifikasi MOR dan Hapten dengan Spektrometri Infra Merah.
Dilakukan dengan membandingkan spektrum serapan
inframerah dari BSA da MOR-BSA pada serapan 2800-3400
cm dan 1500-1700 cm memiliki serapan serupa yang
merupakan karakteristik dari asam amino dalam protein, hal ini
membuktikan bahwa MOR-BSA memiliki gugus fungsi yang
terkandung di dalam BSA. Hasil sintesisi diverifikasi kemabali
dengan MALDI-TOF-MS diketahui bahwa MOR-BSA berhasil
diseintesis, dengan berat molekul yang lebih besar dari BSA
yaitu MOR-BSA adalah 68467,3 dan BSA adalah 66304,5.
• Optimasi Immunoassay Fluoresensi.
Dalam percobaan ini diperoleh hasil bahwa semakin banyak
MOR yang dicanpur ke dalam larutan antibodi FTIC MOR,
semkain sedikit antibodi FITC MOR yang dapat bergabung
dengan hepten MOR yang dilapisi pelat, dan semkain rendah
intensitas fluoresensi yang ditampilkan.
• Konsentrasi Pelapisan MOR Hapten.
Intensitas fluoresensi yang sesuai segera meningkat secara
progresif setelah konsentrasi hapten MOR yang dilapisi
meningkat dan mencapai dataran tinggi pada konsentrasi yang
lebih dari 100 mikrogram/mL.
• Waktu inkubasi dan Suhu Lapisan Hapten MOR dan Reaksi
Antigen
Suhu yang rendah akan meningkatkan fraksi pengikatan
hapten MOR yang dilapisi pada pelat mikro dengan antibodi
dan reaksi pengikata MOR sebagai antigen dalam sampel.
Sehingga diperoleh pada 0,5 jam sampai 4 jam pada suhu
37oC, Intensitas fluoresensi dai reaksi antigen-antibodi
meningkat sampai 2 jam pada 37oC, kemudian kekuatannya
mulai perlahan melemah. Sehingga waktu inkubasi optimal
adalah pada 2 jam.
• Pengaruh pH buffer
Kondisi pH optimum adalah berada pada pH netral, hal ini
diperoleh dengan pengujian menggunakan nilai pH yang
berbeda dari pH 4 hingga pH 10.
• Kekuatan Ionik
Dengan berkisar antara range 0,5 – 4 dari konsentrasi garam
buffer PBS bahwa intensitas fluoresensi meningkat dengan
tajam begitu bula seiring meningkatnya konsentrasi dari garam.
• Kurva dan Kalibrasi Kompetitif
Dari kurva titrasi, IC50 nilai (konsentrasi bahan kimia yang
digunakan untuk mengurangi fluoresensi hingga 50%) sebesar
0,497 μg/mL. Kurva kalibrasi dianalisis untuk infleksi kurva
kompetitif fluoresensi, dan penentuan MOR dilakukan dengan
memplotkan kurva intensitas fluoresensi relatif berdasarkan
konsentrasi MOR. Kurva memiliki respon linier mulai dari 0.2–
2.5μg/mL. dengan regresi linier sebesar −0.3326x +0.9329,
dimana intensitas fluoresensi relatif (F-F0) dan x adalah
konsentrasi MOR. Koefisien derajat korelasi (R2) adalah
0,9949 sehingga diperoleh batas deteksi menjadi 1 ng/mL.
• Spesifitas Immunoassay
Spesifitas immonoassay dilakukan dengan membandingkan
analog struktur molekul dari 6-asetilmorfin, 3-asetilmorfin,
heroin, kodein, kokain, ketamin, dan efedrin dengan parameter
CR. CR digunakan sebagai parameter untuk mengevaluasi
selektivitas immunoassay dan biasanya dihitung berdasarkan
IC50. Obat – obat ini akan dilarutkan di dalam etanol. Hasil yang
diperoleh adalah 6-asetilmorfin memiliki tingkat CR tertinggi
dengan MOR diikuti oleh 3-asetilmorfin. Hal ini dikarenakan
selektivitas antibodi menunjukkan nilai CR dibawah 10% dan
antibodi terikat pada MOR dengan afinitas yang besar.
• Analisis Sampel Forensik
Konsentrasi MOR dalam urin manusia akan menurun dari
waktu ke waktu. Konsentrasi MOR yang diperoleh dalam urin
dalam penyalahgunaan MOR berkisar 1-100 μg/mL dengan
kondisi normal. Hasil deteksi MOR sampel urin dengan
menggunakan 2 metode yang berbeda hampir sama dimana
nilai deviasi relatifnya lebih rendah dari 10%.
H. Kesimpulan
Immunoassays dapat digunakan untuk mendeteksi IL-8, IL-6 dan
MCP-1. Dapat juga digunakan untuk mendeteksi MOR dalam urin
manusia secara akurat. Karena adanya berbagai metabolit obat
dalam urin manusia. Selain itu digunakan juga untuk mengkonfirmasi
spesifisitas pengujian dengan darah utuh. Untuk mendapatkan hasil
analisis yang paling akurat, berbagai faktor yang mempengaruhi
interaksi imunokimia spesifik, seperti waktu reaksi, suhu reaksi, pH
lingkungan, dan kekuatan ionic
Kelebihan : Immunoassay sebagai alat skrining yang cepat dan
efisien untuk morfin dalam urin manusia, membatasi jumlah biaya
yang mahal pada sel in vivo dan berdampak baik pada keselamatan
kesehatan kerja. ELISA dapat dianggap sebagai metode yang andal,
murah, dan sederhana untuk deteksi kualitatif dan kuantitatif darah
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
C. Ian P. Hurley, Robert Cook, Christopher W. Laughton, Neil A. Pickles, H. Elyse
Ireland, John H.H. Williams. 2009. Detection of human blood by
immunoassay for applications in forensic analysis. Forensic Science
International. Vol 190: 91–97
D. Jie Cao, Xiao-Ying Chen, and Wu-Rong Zhao. 2019. Research Article:
Determination of Morphine in Human Urine by the Novel Competitive
Fluorescence Immunoassay. Journal of Analytical Methods in Chemistry.
Volume 2019
E. S. Paschea, M. Giazzona, B. Wengera, G. Franca, R. Ischera, G. J. Oostinghb, G.
Voirin. 2009. Monitoring of cellular immune responses with an optical
biosensor: a new tool to assess nanoparticle toxicity. Procedia Chemistry
1
HPLC - ICP - MS

(KELOMPOK 4)

➢ PRINSIP KERJA DAN DASAR TEORI


HPLC adalah kepanjangan High-performance liquid
chromatography atau kadang disebut High-pressure liquid
chromatography (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi/KCKT) adalah
sebuah teknik analisis untuk identifikasi zat/senyawa dan memisahkan
serta mengukur jumlahnya dalam suatu larutan campuran.

Prinsip kerja dari ICP–MS adalah sampel diintroduksikan ke dalam


suatu pusat tabung plasma argon, yang mengkabut, secara cepat
tersolvasi dan teruapkan. Selama transit melewati inti plasma proses
disosiasi dan ionisasi terjadi. Ion-ion terekstrak dari tabung pusat
plasma menuju suatu pompa vakum antarfase, kemudian
ditransmisikan ke dalam spektrometer massa. Didalam spektrometer
dan massa ion-ion terpisahkan berdasarkan massa mereka terhadap
rasio muatan

➢ METODE
A. Alat

• HPLC seri Agilent 1100


• ICP-MS seri Agilent 7500ce
• Kolom Kromatografi Utama (4.6 mm × 150 mm)
• Kolom Pelindung (4.6 mm × 10 nm)
• Nebulizer Babington
• Scott Spray Chamber
• Autoanalyzer Hitachi 911
B. Perlakuan Sampel
Sampel urin dikumpulkan dalam wadah polietilen dan dibawa ke
laboratorium pada suhu kamar. Sebelum pengumpulan, dibersihkan
dengan 5% (v/v) HNO3 (Merck) dalam kualitas ultra murni. Sampel
disimpan dalam lemari es pada suhu 4 0C. Dua jam sebelum
persiapan sampel, sampel urin dibawa ke suhu kamar.
C. Preparasi Sampel dan Kalibrasi
Lima ratus mikroliter sampel urin diencerkan 1:10 (v/v) dengan
4,5 mL air de-ionisasi dalam tabung polipropilen, dan 500 IJ/L larutan
ini ditambahkan ke botol autosampler polipropilena 1 mL dengan
tutup polietilen dan PTFE septum (Teknologi Agilent). Empat larutan
stok kalibrasi dengan I mg/L disiapkan untuk semua spesies As
dalam 1% (v/v) HNO3, kecuali untuk larutan As(III), yang dibuat dalam
0,1% (v/v) HCI. Seratus mikroliter dan 1 mL masing-masing larutan
stok diencerkan dengan air deionisasi hingga 10 mL dalam tabung
polipropilen untuk mendapatkan larutan kalibrasi campuran dengan
10 dan 100 IJg/L masing-masing senyawa As. Larutan campuran ini
digunakan untuk menyiapkan larutan kalibrasi akhir dengan
konsentrasi masing-masing 0,1, 0,25, 0,5, 2, dan 10 l~g/L.
Konsentrasi spesies arsenik dalam larutan kalibrasi campuran ini
diverifikasi dengan perbandingan dengan konsentrasi dalam larutan
spesies tunggal. Transformasi spesies (misalnya, AS(III) menjadi
AS(V)] tidak diamati selama preparasi sampel dan kalibrasi Rincian
lebih lanjut tentang persiapan dan penyimpanan sampel untuk
spesiasi As juga telah dibahas oleh Feldmann et al.(16) , yang
melaporkan bahwa spesies arsenik stabil dalam urin bila disimpan
pada suhu rendah (-20° hingga 4°) hingga 2 bulan)
➢ PEMBAHASAN
Metode analisis HPLC ICP MS ini memiliki kemampuan yang
sensitive , cepat , dan akurat untuk analisis kandungan As dalam
sampel urin. Untuk mendapatkan resolusi yang baik , nilai limit deteksi
yang rendah , serta waktu retensi yang rendah dapat dilakukan dengan
menggunakan campuran reagen sebagai fase geraknya. Diketahui
bahwa AS(III), DMA(V), dan As-B memiliki resolusi terbaik pada kondisi
pH 11. Durasi waktu yang dibutuhkan kromatografi hanya 10 menit ,
dimana biasanya kromatografi ini bekerja lebih dari 20 menit. Waktu
retensi untuk As-B, DMA, As(III), MMA, dan As(V) adalah 1,8 ; 2,1 ; 2,4
; 5,5 dan 8,8 menit secara berturut turut. Batas kuantifikasi (LOQs) yang
dihitung untuk urin yang tidak diencerkan adalah sebesar 0,1 μg/L
untuk masing-masing dari lima spesies arsenik yang ditentukan oleh
HPLC-ICP-MS.
Kekuatan deteksi dari metode HPLC-ICP-MS ini cukup baik
untuk menentukan konsentrasi semua jenis As untuk lingkungan
kesehatan. Ini merupakan suatu peningkatan dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya yang menganalisis hal serupa di mana limit
deteksi hanya sebesar 1, 10, 2, dan 2 μg/L As(III), As(V), DMA(V), dan
MMA(V), secara berturut turut.
LOQs didefinisikan sebagai konsentrasi analit yang sesuai
dengan 10 kali standar deviasi dari 5 pengukuran sampel. Sampel yang
diuji adalah urin dengan konsentrasi arsenik terendah, karena blanko
yang sebenarnya tidak tersedia. Kekuatan deteksi metode HPLC-ICP-
MS ini cukup untuk menentukan konsentrasi latar belakang semua
spesies AS untuk kesehatan lingkungan. Sampel urin yang digunakan
dalam percobaan ini memiliki konsentrasi sebesar 191 μg/L. Nilai yang
diperoleh sedikit lebih besar dibandingkan dengan nilai target untuk
total As yaitu sebesar 184 μg/L. Dengan hasil yang diperoleh tersebut
dapat diketahui rata – rata total As dari hari ke hari selama percobaan
berlangsung (20 hari) berada pada kisaran 6,3 – 8,7%. Konsentrasi
yang tinggi tersebut diasumsikan bahwa spesimen memakan ikan atau
makanan laut tanpa sadar
Dari hasil penelitian, nilai rata-rata dari semua ditentukan
Sebagai jumlah spesies hanya 85% dari rata-rata nilai total AS, yang
menunjukkan bahwa sekitar 15% AS dalam sampel urin sebenarnya
bisa menjadi spesies lain
➢ KESIMPULAN
Setelah lebih dari 20 tahun penelitian dan pengembangan metode,
spesiasi beberapa senyawa As dalam urin telah menjadi aplikasi rutin.
Untuk laboratorium medis dengan hasil sampel yang tinggi, HPLC-ICP-
MS adalah metode pilihan karena batas deteksi yang rendah, presisi
dan akurasi yang baik, dan jumlah spesies As yang dapat ditentukan
tinggi. Namun, sejak hari ini, tidak sepenuhnya jelas berapa banyak
senyawa As organik yang terdapat dalam urin manusia, dan diperlukan
lebih banyak informasi tentang rentang konsentrasi spesies As organik,
serta metabolisme dan toksisitasnya.
DAFTAR PUSTAKA

Heitland, Peter and Koster, Helmut. D. 2008. Fast Determination of Arsenic


Species and Total Arsenic in Urine by HPLC-ICP-MS:
Concentration Ranges for Unexposed German Inhabitants and
Clinical Case Studies. Journal of Analytical Toxicology. Vol 32
: 308 - 314

Munoz, L., Meneses, M., Pismante, P., et al. 2014. METHODOLOGICAL


VALIDATION FOR THE DETERMINATION OF TOXIC
ARSENIC SPECIES IN HUMAN URINE USING HPLC WITH
ICP-MS. J. Chil. Chem. Soc.. Vol 59: 2432 - 2436

Nguyen, M.H., Tran, Q. T., et al. 2018. Speciation Analysis of Arsenic


Compounds by HPLC-ICP-MS: Application for Human Serum
and Urine. Journal of Analytical Methods in Chemistry. 55 (3):
94 - 98

Anda mungkin juga menyukai