SI
Oleh :
Irfan Ariefianto, S.Si*
*
Sekolah Pasca sarjana UPI , Prodi IPA-Kimia
A. Mode Operasional GC
Komponen-komponen yang ada dalam cuplikan akan terpisah satu sama lain di
dalam kolom akibat perbedaan distribusi di antara fasa diam dan fasa gerak. Semakin
lama komponen tersebut berada dalam fasa gerak, maka komponen tersebut akan terelusi
lebih dulu. Waktu yang dibutuhkan oleh setiap komponen untuk berada pada masing-
masing fasa sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pemisahan komponen dari
suatu campuran dengan metode kromatografi gas. Parameter yang sangat menentukan
adalah pengaturan suhu injektor dan kolom. Perbedaan suhu sekitar 0,5 0C saja dapat
menyebabkan perbedaan yang cukup berarti1.
Suhu kolom dapat mempengaruhi posisi kesetimbangan distribusi analit di antara
fasa diam dan fasa gerak, dimana kesetimbangan distribusi akan lebih cepat tercapai
seiring dengan meningkatnya suhu. Dengan demikian, pada suhu rendah, analit yang
memiliki titik didih rendah akan lebih lama berada dalam fasa gerak dibandingkan analit
yang memiliki titik didih lebih tinggi. Akibatnya, analit bertitik didih rendah akan terelusi
lebih dulu.
Faktor suhu, terutama suhu di dalam kolom, tentu saja menjadi salah satu faktor
yang harus diperhatikan dalam sebuah analisa kuantitatif menggunakan kromatografi gas.
Oleh karena itu, dalam pengoperasian kromatografi gas dikenal dua mode operasional,
yaitu :
1. mode operasi isotermal
Pada pengukuran dengan menggunakan mode operasi isothermal, suhu kolom
dijaga tetap selama pengukuran berlangsung. Pengukuran dengan cara ini dapat
dilakukan apabila analit yang ingin dipisahkan memiliki titik didih yang tidak
berdekatan.
2. mode operasional suhu terprogram (Programming suhu)
pada pengukuran dengan cara ini, suhu kolom divariasikan selama pengukuran
berlangsung. Peningkatan suhu kolom pada analisa menggunakan kromatografi
gas dikenal sebagai gradien suhu1. Gradien suhu adalah perubahan suhu per
satuan waktu, bukanlah peningkatan suhu per panjang kolom. Pengukuran dengan
mode operasi ini memungkinkan analit yang memiliki titik didih yang berdekatan
untuk saling memisah dengan baik, sehingga diperoleh peak yang tidak saling
bertumpukan. Gambar 1 dibawah ini menunjukan perbandingan kromatogram
yang dihasilkan oleh mode operasi isothermal dan mode operasi pemograman
suhu1.
Gambar 1.a dan 1.b adalah kromatogram yang dihasilkan oleh mode operasi
isothermal dan suhu terprogram untuk sample yang mengandung 7 komponen, yaitu :
1. pentana
2. heksana
3. heptana
4. 1-oktena
5. dekana
6. 1-dodekana
7. tetradekana
Kromatogram yang dihasilkan dari pengukuran dengan mode isothermal
menunjukan bahwa analit tidak terpisah dengan sempurna karena beberapa puncak saling
bertumpukan, yakni puncak 1 sampai dengan 4. Hal tersebut terjadi karena analit yang
menghasilkan puncak 1-4 memiliki titik didih yang berdekatan sehingga terelusi secara
hampir bersamaan.
Dengan mode operasi isotermal ini tak mungkin memisahkan campuran
komponen dengan titik didih/sifat kimia fisika yang sangat bervariasi. Pada suhu rendah,
komponen-komponen bertitik didih rendah mungkin dapat terpisah dengan baik, tetapi
yang bertitik didih tinggi akan teretensi dengan kuat pada kolom. Pada suhu tinggi,
komponen-komponen dengan titik didih tinggi mungkin terpisah dengan baik dengan
waktu retensi yang tidak terlalu besar, tetapi komponen-komponen bertitik didih rendah
tidak akan terpisah dan terelusi pada awal pemisahan7.
Lain halnya dengan kromatogram yang dihasilkan dari pengukuran dengan mode
operasi suhu terprogram dengan kenaikan suhu 6 0C. Peningkatan suhu menyebabkan
perbedaan waktu retensi yang lebih baik dari analit-analit dengan titik didih yang
berdekatan, akibatnya pemisahan terjadi dengan baik seperti ditunjukan oleh puncak 1
sampai dengan 4 pada kromatogram. Peningkatan suhu secara bertahap memungkinkan
kecepatan masing-masing analit untuk mencapai kesetimbangan distribusi berbeda-beda.
Analit yang bertitik didih rendah akan lebih cepat mencapai kesetimbangan distribusi
daripada analit yang bertitik didih lebih tinggi.
(a) (b)
Gambar 3. Pendekatan pada analisa kuantitatif
(a) Pendekatan luas area : A = w1/2.tinggi
(b) pendekatan tinggi puncak
Jenis alkohol Luas area (cm3) Faktor respon detektor Luas area terkoreksi (cm3)
n-butil 2,74 0,603 1,652
i-butil 7,61 0,530 4,033
e-butil 3,19 0,667 2,128
t-butil 1,66 0,681 1,130
Total area 8,943
Sebagai contoh, pada pemisahan campuran Caryophyllen (c), kamfer (k) dan
mentol (m) dimana masing-masing komponen memeiliki spesifikasi sebagai berikut :
= 140°C --- C=C (ikatan rangkap)
(k) = 160°C --- C=O (keton)
(m) = 110°C --- OH (alkohol tersier)
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa suhu maksimum sampel 160°C dengan
kepolaran Caryophyllen > kamfer > dan mentol. Jika yang digunakan kolom polar
(carbowax) maka senyawa polar akan lebih lama tertahan dlm kolom sehingga urutan
elusi menjadi mentol-kamfer-Caryophyllen. Tetapi jika kolom non polar digunakan
(SE-30) maka Caryophyllen akan terelusi lebih dulu, diikuti oleh kamfer, dan
mentol8.
Ketebalan lapisan fasa diam juga berpengaruh terhadap pemilihan kolom.
Lapisan Fasa diam yang tipis memberikan retensi yang rendah sehingga sangat cocok
digunakan bagi analit bertitik didih tinggi. Sebaliknya, lapisan fasa diam yang tebal
memberikan retensi yang tinggi sehingga sangat cocok digunakan bagi analit bertitik
didih rendah.
Dari tabel 4 diatas, gas nitrogen dapat digunakan sebagai fasa gerak untuk
semua jenis detektor. Hal tersebut dikarenakan oleh sifat gas nitrogen yang sangat
inert dan murah. Lain halnya dengan hidrogen, yang bersifat inert tetapi mudah
terbakar sehingga tidak cocok digunakan pada detektor FID, ECD, dan FPD.
d. Pemilihan detektor
Terdapat beberapa jenis detektor yang dapat mendeteksi komponen yang
terelusi dari kolom. Pemilihan detektor bagi kondisi optimum kromatografi gas
didasarkan pada faktor selektifitas, limit deteksi, dan daerah linier1.
Selektifitas detektor menunjukan kemampuan detektor untuk membedakan
analit yang akan ditetapkan terhadap komponen lain yang terdapat dalam sampel
Setiap detektor memiliki selektifitas yang berbeda terhadap setiap senyawa. Sebagai
contoh, detektor FID dan ECD memiliki perbedaan selektifitas dimana FID
merupakan detektor universal, tetapi. ECD bersifat selektif karena hanya mampu
mendeteksi senyawa yang mengandung atom dengan afinitas elektron yang tinggi,
Setiap detektor juga memiliki limit deteksi dan daerah linier yang berbeda-
beda. Limit deteksi menunjukan jumlah analit yang memberikan respon sinyal
pengukuran terendah dalam suatu derajat kepercayaan statistik, yang dapat
diterjemahkan sebagai indikasi terdapatnya analit dalam larutan9. Dapat juga
didefinisikan sebagai kepekatan terendah dari analat dalam contoh yang masih dapat
memberikan respon sinyal signifikan tanpa dipengaruhi noise alat. Semakin rendah
limit deteksi suatu detektor, maka detektor tersebut semakin peka, yang berakibat
pada kemampuan yang tinggi dari detektor untuk mendeteksi jumlah sampel yang
sangat sedikit.
Daerah linear menyatakan kemampuan detektor untuk memberikan hasil yang
proporsional terhadap kepekatan analit. Daerah linear diperoleh dengan memplot nilai
hasil uji terhadap kepekatan analit. Makin lebar interval jangkuan kerja linear maka
detektor makin praktis untuk digunakan. Tabel 5 dibawah ini dapat dijadikan
pertimbangan bagi pemilihan detektor untuk kondisi pemisahan oleh kromatografi
gas.
DAFTAR PUSTAKA
[3] Pungor, Erno. (1995). ”A Practical Guide for Instrumental Analysis”. Florida : CRC
Presss.
[4] Dept. of Chemistry University of Adelaide. (Tanpa tahun). “Detector Response
Ratio”. [On Line]. :Tersedia : http://www.chemistry.adelaide.edu.au/external/
soc-rel/content/det-resp.htm. [4 Maret 2011].
[5] De Lux Putra, Effendi. (2004). “Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dalam Bidang
Farmasi”. [On Line]. Tersedia : repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/
3616/1/farmasi-effendy2.pdf. [4 Maret 2011]
[6] Wade, Jr. F.G. (1997). ”Separating and Identifying Mixtures by Chromatography”.
[On Line] : tersedia : http://www.cerlabs.com/experiments/10875407099.pdf. [4
Maret 2011]
[8] Musfirah, Ida. (tanpa tahun). ”Kromatografi Gas”. [On Line]. Tersedia :
http://kimorunpad.110mb.com/kfa/KROMATOGRAFI%20GAS.ppt. [4 Maret
2011]
[9] Arifin, Zaenal. (2011). “Verifikasi Metode Analisis secara HPLC”. [On Line].
Tersedia : http://zonazaenal.wordpress.com/2011/01/02/verifikasi-metode-
analisis -secara-hplc. (4 Maret 2011)