Anda di halaman 1dari 7

FONOLOGI BAHASA JAWA

PENGGUNAAN RAGAM BAHASA JAWA DIALEK TEGAL PADA BUNYI


KONSONAN

Oleh:
SALSA AULIA NURKHIKMAH
NIM 2601421093

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Penggunaan Ragam Bahasa Jawa Dialek Tegal pada Bunyi Konsonan

A. Ragam Bahasa Jawa Dialek Tegal

Kota Tegal adalah salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Tegal
berada di pesisir Jawa bagian utara daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat,
sehingga menjadikan bahasa Jawa dialek Tegal berbeda dengan bahasa Jawa dialek
standar daerah lainnya. Wilayah pengguna dialek Tegal meliputi Kabupaten Brebes, Kota
Tegal, Kabupaten Tegal, Bagian barat Kabupaten Pemalang. Bahasa Jawa dialek Tegal
memiliki ciri khas pada pengucapan frasanya, yakni apa yang diucapkan sama dengan
yang tertulis. Contoh penggunaan dialek Tegal seperti pada kata ‘padha’, dalam dialek Tegal
tetap diucapkan 'pada', seperti pengucapan bahasa Indonesia, tidak seperti bahasa Jawa
wetanan (Yogyakarta, Surakarta, dan sekitarnya) yang mengucapkan p ā dh ā. saka, (dari)
dalam dialek Tegal diucapkan 'saka', tidak seperti bahasa Jawa wetanan (Yogyakarta,
Surakarta, dan sekitarnya) yang mengucapkan s ā k ā. Contoh lain seperti, kata [pặ+dha]
‘padha’ [a], [sə+ga] ‘sega’ [a], [a+pa] ‘apa’ [a], [tu+wa] ‘tuwa’ [a]; contoh dialek Jawa
standar: [pa+dha] ‘ padha’ [ā], [sə+ga] ‘sega’ [ā], [a+pa] ‘apa’ [ā], [tu+wa] ‘tuwa’[ā].

B. Fonem Konsonan pada Bahasa Jawa Dialek Tegal


Bunyi disebut konsonan, karena ada hambatan arus udara pada sebagian alat bicara,
sehingga ada artikulasi. Konsonan dalam bahasa Jawa dialek Tegal diklasifikasikan sebagai
berikut.
1) Konsonan hambat letup, adalah konsonan yang terjadi dengan penuh arus udara kemudian
hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba. Menurut hambatannya (artikulasinya) konsonan
ini dibagi menjadi:
a) Konsonan hambat letup bilabial (bibir), terjadi bila penghambat artikulator aktifnya
adalah bibir bawah dan artikualtor pasifnya adalah bibir atas, seperti bunyi [p, b].
Contoh: [pipa] ‘pipa’
b) Konsonan Hambat Letup Apiko-dental, terjadi apabila penghambat articulator
pasifnya ialah gigi atas. Bunyi yang dihasilkan ialah [t, d]. Contoh: [tawa] ‘menawar’,
[papat]‘empat’
c) Konsonan Hambat Letup Apiko-palatal, terjadi apabila articulator aktifnya adalah
ujung lidah dan artikulator pasifnya adalah langit-langit keras. Bunyi yang terjadi
adalah: [th, dh]. Contoh: [t]ukul ]‘tumbuh’
d) Konsonan Hambat Letup medio-palatal, terjadi bila articulator pasifnya adalah langit-
langit keras. Bunyi yang dihasilkan adalah [c, j]. Contoh: [cara]‘cara’,[j]ala]‘jaring’
e) Konsonan Hambat Letup Dorso-velar, terjadi apabila articulator pasifnya adalah
langit-langit lunak. Bunyi yang dihasilkan [k, g]. Contoh: [kula] ‘saya’, saka ‘dari’,
[g]ula] ‘gula’
f) Konsonan Hamzah, terjadi dengan menekan rapat yang satu dengan yang lain pada
seluruh panjangnya pita suara. Dengan merapatnya sepasang pita suara maka glottis
dalam keadaan tertutup rapat. Secara tiba-tiba kedua selaput pita suara itu dipisahkan,
terjadilah letupan udara keluar . Contoh: sa’at [sa?at],
g) Konsonan Nasal, dibentuk dengan menghambat rapat (menutup) jalan udara dari paru-
paru melalui ringga hidung, jadi strukturnya rapat. Bersama dengan itu langit-langit lunak
beserta anak tekaknya diturunkan, sehingga udara keluar melalui rongga hidung. Menurut
tempat hambatanya (artikulatornya) konsonan ini dibedakan menjadi :
1) Konsonan Nasal Bilabial Terjadi bila penghambat artikulator aktifnya adalah bibir
atas. Nasal yang terjadi adalah [m]. Contoh :[mat‚G] ‘masak’, [ulam] ‘ikan’
2) Konsonan Nasal apikoalveolar Konsonan ini terjadi apabila penghambat articulator
pasifnya adalah gusi. Bunyi yang terjadi adalah [n]. Contoh: [nanas] ‘nanas’
3) Konsonan Nasaal mediopalatal Konsonan ini terjadi bila penghambat articulator
aktifnya adalah tengah lidah dan articulator pasifnya adalah langit-langit keras. Nasal
yang terjadi ialah [¥]. Contoh: [¥ata] ‘nyata’, [lu¥u] ‘licin’
4) Konsonan Nasal Dorsovelar Konsonan ini terjadi bila penghambat articulator aktifnya
adalah pangkal lidah dan articulator pasifnya adalah langit-langit lunak. Nasal yang
terjadi adalh [G]. Contoh: [Gono] ‘begitu’, [saGu] ‘bekal’.
5) Konsonan sampingan (Laterals) Konsonan sampingan dibentuk dengan menutup arus
udara di tengah rongga mulut sehingga udara keluar mulut melalui kedua samping
atau sebuah samping saja. Jadi strukturnya renggang lebar. Tempat artikulasinya
ujung lidah dengan gusi. Bunyi yang dihasilkan disebut sampingan apiko-alveolar.
Bunyi itu ialah [l]. Contoh: [sambel] ‘ sambal’
6) Konsonan geseran atau Frikatif, dibentuk dengan menyempitkan jalannya arus udara
yang dihembuskan dari paruparu, sehingga jalannya udara terhalang dan keluar
dengan bergeser. Jadi strukturnya tidak rapat seperti pada konsonan letup tetapi
renggang. Menurut tempat hambatannya (artikulasinya) konsonan ini dibedakan
menjadi:
a) Konsonan geser labiodentals [f, v], contoh: [folio] ‘folio’
b) Konsoan geser laminialveolar [s, z], contoh: [saGu] ‘bekal’
c) Konsonan geser laringal [h], contoh: [hawa], ‘hawa’
d) Konsonan getar atau trill [r], contoh: [rada] ‘agak’.
C. Perubahan Fonem Pada Bahasa Jawa Dialek Tegal

Fonologi merupakan gabungan dari kata fon ‘bunyi’ dan logi yang berarti ilmu,
fonologi berarti bagian dari kajian linguistik yang mengkaji, membahas, membicarakan dan
menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat ucap manusia. Dalam praktik
bertutur, fonem tidak berdiri sendiri melainkan saling berkaitan. Oleh karena itu secara
fonetis maupun fonemis akibat dari saling berkaitan maka bunyi itu bisa saja berubah. Jika
perubahannya tidak mempengaruhi identitas fonemnya berubah maka perubahan itu bersifat
fonetis, tapi jika perubahan tersebut mempengaruhi identitas fonemnya berubah maka fonem
itu bersifat fonemis. Proses perubahan fonem dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu adanya
koartikulasi, perubahan morfologi, akibat lingkungan, distribusi, dan perkembangan sejarah.
Proses perubahan tersebut terbagi menhadi beberapa bentuk lain diantaranya:

1. Akibat adanya koartikulasi


Proses ini terjadi karena saat artikulasi primer memproduksi bunyi pertama berlangsung,
alat-alat ucap sudah mengambil ancang-ancang untuk memproduksi bunyi selanjutnya.

a. Labialisasi, Proses pembulatan bentuk bibir ketika artikulasi primer berlangsung. Contoh:
bunyi [t] bunyi terdengar [tw]. Proses ini terjadi saat ada pembulatan bentuk bibir saat
artikulasi primer berlangsung. Dalam bahasa Indonesia kata Tua saat dituturkan dalam
bahasa Jawa dialek Tegal menjadi [ʈuwa]. [ʈ] adalah bunyi alpikoalveolar, tapi pada kata
[ʈ] disusul dengan [u] yang merupakan vokal bundar, maka [ʈ] denganpembulatan bibir
maka seolah muncul bunyi [ʈw]. Jadi kata dilafalkan menjadi [ʈuwa].
b. Glotalisasi yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara glotis ditutup sesudah bunyi
utama diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan. Misal: bunyi [a] pada kata terdengar
menjadi [aʔkan].
Bunyi sertaan yang muncul saat glotis tertutup sesudah bunyi utama sehingga terdengar
bunyi [ʔ]. Seperti pada kata <duri>, <kutu> , saat dituturkan dalam bahasa Jawa dialek
Tegal ngapak akan terdengan bunyi glottal [ʔ] bunyi [i] pada [ɾiʔ], bunyi [a] pada
[ʈumaʔ], dan bunyi [æ] pada [kowæʔ]. Bunyi glottal cukup banyak ditemukan diantaranya
pada bunyi [uɭaʔ], [dawaʔ], [bojoʔ], [iϲuʔ], [kaæʔ], [sapaʔ], [apaʔ], [təkaʔ], [oraʔ].
c. Nasalisasi bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara memberikan kesampatan arus udara
melalui rongga hidung sebelum atau sesudah bunyi utama diucapkan, sehingga terdengar
bunyi sertaan [m], terjadi pada konsonan hambat bersuara yaitu [b], [d], dan [g] sehingga
menjadi [mb], [nd], dan [kg].
[mb] <bengi> = [m] [mbəŋi] = <mbengi> ‘ malam’
[nd] <deleng> = [n] [nϲələŋ] = <ndeleng> ‘melihat’
[nj] <jagong> = [n] [nϯagoŋ] = <njagong> ‘duduk’
[nj] <jaba> = [n] [nϯaba] = <njaba> ‘luar’
2. Akibat distribusi
Netralisasi yaitu proses hilangnya kontras antara dua buah fonem yang berbeda. Misalnya
bunyi [p] pada kata dilafalkan menjadi bunyi [p] dan juga sebagai [b].
Situasi ini terjadi karena hilangnya kontras antara dua buah fonem yang berbeda. Bunyi [ʈ]
pada kata <babat> dapat dilafalkan sebagai bunyi [ʈ] dan [ɗ], sehingga bisa dilafalkan [babaʈ]
dan [babaϲ].
3. Akibat perkembangan sejarah
Hal ini diakibatkan oleh pemakaian sejumlah unsur leksikal di dalam masyarakat dan
budaya.
a. Kontraksi (penyingkatan) merupakan proses menghilangkan sebuah bunyi atau lebih pada
sebuah unsur leksikal.
1) Aferesis Yaitu proses penghilangan satu fonem atau lebih pada awal kata. Pada kata
<hati> jika dituturkan dalam bahasa jawa dialek Tegal ngapak akan terdengar [aʈi]
pada pelafalan ini terjadi penyingkatan dari kata dituturkan menjadi bunyi [h] hilang
[aʈi]. Proses penyingkatan ini juga terjadi pada bunyi [uϲan] dan [umah].
2) Apokop adalah proses penghilangan satu fonem atau lebih. Pada kata <ular> dalam
bahasa jawa dialek Tegal ngapak dituturkan menjadi [ʊɭaʔ] disini bunyi [r] hilang dan
pelafalannya seperti muncul bunyi glotal.
b. Monoftongisasi yaitu proses ini terjadi akibat adanya perubahan dua vokal atau gugus
vokal menjadi sebuah vokal. Pada kata<danau> dilafalkan dalam bahasa jawa dialek Tegal
ngapak akan terdengar menajdi [dano]. Dalam perubahan bunyi tersebut terdapat perubahan
bunyi dari dua buah vokal [au] menjadi satu vokal yaitu bunyi [o] maka menjadi [dano].

c. Anaftiksis, proses penambahan bunyi vokal diantara dua konsonan dalam sebuah kata atau
penambahan sebuah konsonan pada sebuah kata tertentu. Sedangkan paragog merupakan
proses penambahan bunyi pada posisi akhir kata. Pada kata <siku> jika dilafalkan dalam
bahasa jawa menjadi [sikuʈ]. Dalam bunyi tersebut terjadi penambahan bunyi konsonan di
akhir kata dari [siku] dalam bahasa jawa ngapak menjadi [sikuʈ] yaitu terjadi penambahan
bunyi [ʈ].

D. Penggunaan Fonem Konsonan pada Bahasa Jawa Dialek Tegal

Perubahan pada bunyi konsonan terjadi atas beberapa hal. Pelemahan atau lenition
atau weakening terjadi pada bunyi konsonan. Pelemahan bunyi bergerak dari bunyi yang kuat
ke arah bunyi yang lemah. Perubahan atau pergerakan bunyi seperti itu disebut sebagai
sonority hierarchy (MacMahon, 1994:16). Tanda ‘>’ menunjuk pada makna ‘ lebih kuat dari’
a. Pelemahan
Perubahan bunyi *b > w, *b >p, *q>h. Bunyi melemah (pelemahan/lenisi) dari bersuara
menjadi takbersuara. Contoh ‘abu’ [awu]; ‘balik’ [walik]; ‘batu’ [watu]; ‘benih’ [wnh]
Secara teratur bunyi *b menjadi [w] dalam bahasa Jawa di posisi awal dan tengah kata.
Demikian juga bunyi *q mengalami pewarisan dengan perubahan ke dalam bunyi [h] di
akhir kata.
b. Penghilangan
Perubahan dengan penghilangan bunyi dianggap sebagai kasus pelemahan yang ekstrem.
Gejala ini biasanya terjadi di posisi akhir kata. Dalam bahasa Jawa dialek Tegal
ditemukan gejala penghilangan yang teratur pada bunyi q > Ø dan *h > Ø. Contoh:
‘hujan’ [udan]; ‘hidup’ [urip]; ‘hijau’ [ijo]; ‘hitung’ [tu]
c. Perubahan Berdasarkan Tempat
(1) Aferesis: perubahan bunyi berupa penghilangan pada awal kata.
Contoh: ‘hati’ [ati]; ‘hutan’ [alas]
(2) Sinkop: perubahan bunyi berupa penghilangan sebuah bunyi di tengah kata.
Contoh: ‘tahun’ [taųn]
(3) Apokop: perubahan bunyi berupa penghilangan bunyi di akhir kata.
Contoh: ‘benih’ [winih]; ‘ular’ [ul]
(4) Paragog: penambahan bunyi di akhir kata.
Contoh; ‘beberapa’ [pira-pira]; ‘burung’ [manuk]
(5) Epentesis: perubahan bunyi penambahan bunyi di tengah kata.
Contoh: ‘berenang’ [lai]
(6) Protesis: penambahan bunyi di awal kata.
Contoh ‘jauh’ [adh]
(7) Metatesis: perubahan melaui pertukaran tempat dua buah bunyi.
Contoh: ‘baik’ [api?]
E. Simpulan

Konsonan dalam bahasa Jawa dialek Tegal diklasifikasikan sebagai berikut:


Konsonan hambat letup, konsonan hambat letup bilabial (bibir), konsonan hambat letup
apiko-dental, konsonan hambat letup apiko-palatal, konsonan hambat letup medio-palatal,
konsonan hambat letup dorso-velar, konsonan hamzah, konsonan nasal, konsonan geseran
atau frikatif.
Perubahan Fonem Pada Bahasa Jawa Dialek Tegal diakibatkan adanya koartikulasi
labialisasi, glotalisasi, nasalisasi. Adanya distribusi netralisasi, dan adanya perkembangan
jaman yang ditandai dengan kontraksi (penyingkatan), Monoftongisasi, dan anaftiksis.
Sedangkan penggunaan fonem konsonan pada bahasa Jawa dialek Tegal mengalami
perubahan seperti pelemahan bunyi *b > w, *b >p, *q>h. pengilangan bunyi q > Ø dan *h >
Ø, dan perubahan berdasarkan waktu yang meliputi apheresis, sinkop, apokop, paragog,
epentesis, protesis, metatesis.

Referensi

Herawati Deni, M. Hermintoyo, Mujid Farihul Amin. 2012. Afiks Pembentuk Verba Bahasa
Jawa Dialek Tegal Kajian Deskriptif Struktural. Jurnal Ilmu Budaya, Vol, 1, No, 1
(2012) Hal 1-7, http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jtekim
Isaura, Deni. 2011. Variasi Fonologis Bahasa Jawa di Kabupaten Pemalang. Skripsi.
Universitas Negeri Semarang
Nurhidayat, Imam. 2014. Persebaran Dialek Bahasa Jawa. Universitas Presiden.
https://www.academia.edu/21784488/PERSEBARAN_DIALEK_BAHASA_JAWA
Purwaningrum, Prapti Wigati. 2018. Perubahan pada Bahasa Jawa ngapak di Kabupaten
Kebumen (Sebuah Kajian Fonologi). Vol. 10, No 2 Sepember 2018. P-ISSN 2086-
6151 E-ISSN 2579-3438 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/wanastra
Susilawati, Dyah. 2019. Pewarisan Bunyi Proto-Austronesia dalam Bahasa Jawa di Jawa
Tengah. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebahasan Semarang, 6-7 November
2019. Balai Bahasa Jawa Tengah

Anda mungkin juga menyukai