Anda di halaman 1dari 14

FONOLOGI

BUNYI VOKAL

Vokal bila diucapkan udara tidak mengalami hambatan apa-apa.


Menurut posisi lidah : vokal dibagi atas : vokal tinggi, tengah dan rendah.
Vokal tinggi [i u], Vokal tengah [e o], Vokal rendah [a].
Menurut posisi bibir vokal dibagi atas : Vokal bulat [ u o], Vokal tak bulat [ i e a].
Menurut letaknya dalam rongga mulut, vokal dibagi atas: Vokal depan [ i e], Vokal tengah
[a], Vokal belakang [u o].
Bunyi [i] ketika diucapkan terletak di rongga mulut bagian depan. Maka disebut vokal depan. Lalu,
bagaimana posisi lidah ? Tentu kita tidak dapat melihatnya dan agak sulit merasakannya. Akan tetapi,
kalau diucapkan melalui spektogram, akan tampak posisi lidah dalam keadaan tinggi maka bunyi [i]
disebut juga vokal tinggi. Jadi, bunyi [i] adalah depan dan tinggi. Selanjutnya, bagaimana kalau
mengucapkan bunyi [e]? Ketika diucapkan [e] posisi lidah ketinggian, agak menurun sampai ke tengah.
Maka bunyi [e] disebut vokal tengah. Kemudian, letaknya dimana ? Letaknya masih di bagian mulut
depan, tetapi masuk ke dalam, tidak sejajar lagi dengan bunyi [i]. Maka vokal [e] disebut juga vokal
tengah. Jadi, naik dari segi tinggi rendahnya maupun dari sisi letaknya vokal [e] tetap masuk vokal
tengah.
Lalu bagaimana dengan bunyi [ a ]. Ketika mengucapkan [ a ], posisi lidah dalam keadaan rata atau
rendah. Maka vokal [a] disebut vokal rendah. Lalu, di mana letaknya ?Letak sudah bergeser ke
tengah, tidak lagi di ruang depan. Karena itu, vokal [ a ] tidak sejajar dengan vokal [ e ]. Lalu
bagaimana kita mengucapkan bunyi [ u ] ? Ketika mengucapkan bunyi [ u ], posisi lidah dalam
keadaan meninggi seperti halnya dengan mengucapkan bunyi [ i ]. Maka vokal [ u ] disebut juga
vokal tinggi. Lalu letaknya ketika mengucapkan bunyi [ u ], bagian lidah yang berperan adalah
bagian belakang dengan langit-langit lembut. Maka vokal [ u ] disebut juga vokal belakang.
Bagaimana halnya dengan bunyi [ o ]? Ketika mengucapkan bunyi [ o ] posisi lidah dalam keadaan
menurun dari ketinggian tadi. Maka vokal [ o ] disebut vokal tengah. Untuk letaknya masih tetap di
bagian belakang, tetapi tidak sejajar dengan bunyi [u]. Bunyi [o] agak ke depan. Mengapa begitu ?
Ya, coba rasakan sja ketika diucapkan. Fonetik selalu berdasarkan pengucapan bunyi-bunyi bahasa.
BUNYI DIFTONG
Istilah DIFTONG atau sering juga disebut vokal rangkap. Konsep diftong berkaitan dengan
dua buah vokal dan yang merupakan satu bunyi dalam satu silabel. Namun, posisi lidah ketika
diucapkan bergeser ke atas atau ke bawah. Misalnya, kata [ kerbau ]. Kata [u] pada [au] suara
tidak mencapai puncak (pick). Karena tidak sampai dipuncak maka kadang-kadang diganti
menjadi [o] bersama dengan [a], menjadi [kerbo]. Secara fonetis, [u] di situ berbunyi [w]. Itu
sebabnya kata kerbau secara fonetis ditulis menjadi [kerbaw]. Mengapa ditulis dengan [w],
karena bunyinya seperti [w]. Jika demikian, [u] disitu hanya sebagai simbol grafemik (ejaan).
Berbeda halnya dengan bahasa daerah, misalnya bahasa daerah Muna, bunyi [u] pada kata
karambau sangat jelas suara sampai dipuncak. Oleh karena itu, bunyi [u] pada kata karambau
tetap vokal, bukan diftong. Dan dalam bahasa Muna tidak dikelan diftong. Itulah sedikit
gambaran perbedaan dari tiap bahasa. Diftong dalam bahasa Indonesia belum tentu diftong
juga dalam bahasa Muna.
Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui bahwa diftong dalam bahasa Indonesia hingga
saat ini ada tiga macam, yakni [au, ai, oi] pada kata-kata :
Harimau,
Kerbau,
Kalau,
Sampai
Pantai
Pandai
Sepoi.
Tampak seperti [au] pada kata mau; [ai] pada kata tandai, tetapi sebenarnya bukan diftong
karena [u] pada kata mau dan [i] pada kata tandai ketika diucapkan suara sempai dipuncak.
BUNYI KONSONAN

Bunyi konsonan adalah bunyi yang diproduksi dengan cara, setelah arus ujar keluar dari
glotis, lalu mendapat hambatan pada alat-alat ucap tertentu di dalam rongga mulut atau
rongga hidung. Bunyi konsonan dapat diklasifikasikan berdasarkan:
1. Tempat artikulasi
2. Cara artikulasi
3. Bergetar tidaknya pita suara
4. Struktur.
Namun yang ke empat striktur jarang diperhatikan.
1. Tempat artikulasi, yaitu tempat terjadinya bunyi konsonan, atau tempat
bertemunya artikulator aktif dan artikulator pasif. Tempat artikulasi disebut juga
titik artikulasi.
2. Cara artikulasi yaitu bagaimana tindakan atau perlakuan terhadap arus udara
yang baru ke luar dari glotis dalam menghasilkan bunyi konsonan itu.
3. Bergetar tidaknya pita suara, yaitu jika pita suara dalam proses pembunyian itu
turut bergetar atau tidak. Bila pita suara itu turut bergetar maka disebut bunyi
bersuara. Jika pita suara tidak turut bergetar, maka bunyi itu disebut bunyi tak
bersuara.
4. Striktur, yaitu hubungan posisi antara artikulator aktif dan artikulator pasif.
UNSUR SUPRASEGMENTAL

Arus ujar merupakan suatu runtutan bunyi yang sambung-bersambung, terus menerus,
diselang-seling dengan jeda singkat atau agak singkat disertai dengan keras lembut bunyi,
tinggi rendah bunyi, panjang pendek bunyi, dan sebagainya. Dalam arus ujar itu ada bunyi
segmental yang dapat disegmentasikan dan unsur suprasegmental yang tidak dapat
disegmentasikan. Jadi, unsur suprasegmental ini "bekerja" atau berlangsung sewaktu bunyi
segmental diproduksikan. Unsur suprasegmental yang disebut juga ciri-ciri prosodi dapat
diklasifikasikan sebagaimana berikut:
1. Tekanan

Tekanan menyangkut masalah keras lemahnya bunyi. Suatu bunyi segmental yang
diucapkan dengan arus udara yang kuat sehingga menyebabkan amplitudonya melebar,
pasti dibarengi dengan tekanan keras. Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang diucapkan
dengan arus udara yang tidak kuat, sehingga amplitudonya menyempit pasti dibarengi
dengan tekanan lunak. Tekanan ini mungkin terjadi secara sporadis; mungkin juga telah
berpola, bersifat distingtif, artinya dapat membedakan makna tapi mungkin juga tidak
distingtif. Dalam bahasa Indonesia tekanan tidak "berperan" pada tingkat fonemis,
melainkan berperan pada tingkat sintaksis, karena dapat membedakan makna kalimat.
Sebagai contoh kalimat kalau kalimat "Dia menangkap ayam itu", kalau tekanan diberikan
pada kata dia, maka berarti yang menangkap ayam itu adalah dia, dan bulan orang lain.
Kalau tekanan diberikan pada kata menangkap, maka berarti yang dilakukan adalah
menangkap, bukan menyembelih atau perbuatan lain. Kalau tekanan diberikan pada kata
ayam, maka berarti yang ditangkap adalah ayam, bukan kambing atau hewan lain. Lalu,
kalau tekanan diberikan pada kata itu, maka berarti yang ditangkap adalah ayam itu bukan
ayam ini.
2. Nada

Nada atau pitch berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu
bunyi segmental diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai
dengan nada yang tinggi. Sebaliknya, kalau diucapkan dengan frekuensi getaran yang
rendah, tentu akan disertai juga dengan nada rendah. Sama halnya dengan tekanan,
dalam bahasa Indonesia nada juga tidak "bekerja" pada tingkat fonemis, melainkan
"bekerja" pada tingkat sintaksis, karena dapat membedakan makna kalimat. Variasi nada
yang menyertai unsur segmental dalam kalimat disebut intonasi.
3. Jeda atau persendian

Jeda atau persendian berkenaan dengan hentian bubuk dalam arus ujaran.
Disebut jeda karena adanya hentian itu, dan disebut persendian karena di tempat
perhentian itulah terjadi persambungan antara dua segmen ujaran. Biasanya dibedakan
adanya sendi dalam (internal juncture) dan sendi luar (open juncture). Sendi dalam
menunjukkan batas antara satu silabel dengan silabel yang lain. Sendi dalam ini yang
menjadi batas silabel biasanya ditandai dengan tanda (+). Contoh:
[Am + bil]
[Lak + sa + na]
[Ke + le + la + war]
Sendi luar menunjukkan batas yang lebih besar dari silabel.
Dalam hal ini biasanya dibedakan adanya :
a. Jeda antarkata dalam frase, ditandai dengan garis miring tunggal (/)
b. Jeda antarfrase dalam klausa, ditandai dengan garis miring ganda (//)
c. Jeda antarkalimat dalam wacana/paragraf, ditandai dengan garis silang ganda (#).Tekanan dan
jeda dalam bahasa Indonesia sangat penting karena tekanan dan jeda itu dapat mengubah
makna kalimat. Contoh:
# buku // sejarah / baru #
# buku / sejarah // baru #
Kalimat pertama bermakna 'buku mengenai sejarah baru' sedangkan kalimat kedua bermakna
'buku
baru mengenai sejarah'.
4. Durasi

Durasi berkaitan dengan masalah panjang pendeknya atau lama singkatnya suatu
bunyi diucapkan. Tanda untuk bunyi panjang adalah titik dua di sebelah kanan bunyi yang
diucapkan(...:); Atau tanda garis kecil di atas bunyi segmentalnya diucapkan (-). Dalam
bahasa Indonesia durasi ini tidak bersifat fonemis, tidak dapat membedakan makna kata;
tetapi dalam beberapa bahasa lain seperti bahasa Arab, unsur durasi bersifat fonemis.

Anda mungkin juga menyukai