Anda di halaman 1dari 5

Nama Kelompok :

1. Nurlela
2. Manda aprilia
3. Saiful rizal

BAB 1

PENDAHULUAN

Secara etimologi kata fonologi berasal dari gabungan kata fon yang berarti 'bunyi', dan
logi yang berarti 'ilmu'. Sebagai sebuah ilmu, fobologi lazim di artikan sebagai bagian dari kajian
linguistik yang mempelajari, membahas, membicarakan, dan menganalisis bunyi bunyi bahasa
yang di produksi oleh alat alat ucap manusia. Untuk jelasnya ikuti uraian berikut.

Bila kita mendengar suara orang berbicara entah berpidato atau bercakap cakap, maka akan kita
dengar runtunan bunyi bunyi bahasa yang terus menerus, kadang kadang terdengar suara menaik
dan menurun, kadang kadang terdengar hentian sejenak dan hentian agak lama, kadang kadang
terdengar pula suara panjang dan suara biasa, dan sebagainya. Runtunan bunyi bahasa ini dapat
di analisis atau di segmentasikan berdasarkan tingkat tingkat kesatuannya. Umpamanya,
runtunan bunyi dalam bahasa indonesia berikut ( untuk sementara dan memudahkan disini di
gunakan transkripsi ortografis, bukan transkripsi fonetis dan dengan mengabaikan unsur unsur
suprasegmentalnya).

(1). [Monyetitumelompatkeatastrukpisang]

Pada tahap pertama runtunan bunyi di atas dapat disegmentasikan menjadi (1a) dan (1b).

(1a). [Monyetitu]

(1b). [Melompatkeatastrukpisang]

Pada tahap kedua segmen (1a) dapat di segmentasikan menjadi (1a1) dan (1a2); sedangkan
segmen (1b) dapat di segmentasikan menjadi (1b1) dan (1b2).

(1a1). [Monyet]
(1a2). [Itu]

(1b1). [Melompat]

(1b2). [Keatastrukpisang]

Pada tahap ketiga segmen (1b2) dapat di segmentasikan lagi menjadi (1b2.1) dan (1b2.2):

(1b2.1) [keatas]

(1b2.2) [trukpisang]

Selanjutnya pada tahap keempat, segmen (1b2.1) dapat di segmentasikan lagi menjadi (1b2.1.1)
dan (1b2.1.2) da segmen (1b2.2) dapat di segmentasikan menjadi (1b2.2.1) dan (1b2.2.2) :

(1b2.1.1). [Ke]

(1b2.1.2). [Atas]

(1b2.2.1). [Truk]

(1b2.2.2). [Pisang]

Bagan berikut barangkali bisa lebih menjelaskan tahap tahap segmentasi terhadap ujaran
[monyetitumelompatkeatastrukpisang]

1 Monyetitu melompatketrukpisang
it
2 monyet u melompat keatastrukpisang
3     keatas trukpisang
k tru
4     e atas k pisang
Kemudian segmen segmen
runtunan bunyi itu dapat di segmentasikan lagi sehingga kita sampai pada satuan satuan runtunan
bunyi yang di sebut silabel atau suku kata. Sebagai contoh kalau kita ambil runtunan bunyi yang
menjadi segmen (1a1) yaitu.

[Monyet] akan kita dapatkan silabel [mo] dan [nyet]. Contoh lain, runtunan bunyi yang menjadi
segmen (1b1) [melompat]. Akan kita dapatkan segmen [me], (lom), [pat].

Silabel atau suku kata merupakan satuan runtunan bunyi yang di tandai dengan satu satuan
bunyi yang paling nyaring, yang dapat di sertai atau tidak oleh bunyi lain, di depannya, di
belakangnya, atau sekaligus di depan dan dibelakang. Adanya puncak kenyaringan atau sonoritas
inilah yang menandai silabel itu. Puncak kenyaringan itu biasanya sebuah bunyi vokal, yakni
bunyi yang di hasilkan tanpa adanya hambatan atau gangguan di rongga mulut. Misalnya pada
silabel [mo] ada bunyi vokal [o], pada silabel [nyet] ada bunyi vokal [e], dan pada silabel [pat]
ada bunyi vokal [a].

Kemudian, runtunan bunyi pada silabel-silabel ini dapat di segmentasikan lagi. Misalnya,
silabel [mo] dapat di segmentasikan menjadi bunyi [m] dan bunyi [o], dan pada silabel [nyet]
dapat di segmentasikan lagi menjadi bunyi [ny], bunyi [e], dan bunyi [t].

Perhatikan bagan berikut :

monyet melompat
Mo nyet Me lom pat
M O ny e t m E l o m p a t

Bunyi bunyi bahasa inilah beserta runtunan dan segala aturannya yang menjadi objek kajian
cabang linguistik yang di sebut fonologi. Jadi, objek kajian fonologi adalah bunyi bunyi bahasa
yang di hasilkan oleh alat ucap atau alat bicara manusia.

Menurut status atau hierarki satuan bunyi terkecil yang menjadi objek kajiannya, fonologi di bagi
atas dua bagian, yaitu fonetik dan fonemik. Secara umum fonetik bisa di jelaskan sebagai cabang
fonologi yang mengkaji bunyi bunyi bahasa tanpa memperhatikan statusnya, apakah bunyi bunyi
bahasa itu dapat membedakan makna (kata) atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang kajian
fonologi yang mengkaji bunyi bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsinya sebagai pembeda
makna (kata). Untuk jelasnya jika di simak baik baik bunyi [i] pada kata [tani] dan kata [batik]
adalah tidak sama; bunyi [u] pada kata [susu] dan [dapur] juga tidak sama. Inilah yang menjadi
objek kajian fonetik. Sebaliknya bunyi [b] dan [p] pada kata [kapur] menyebabkan kedua kata itu
memiliki makna yang tidak sama. Ketidaksamaan ini adalah karena berbedanya bunyi [b] dan
bunyi [p] itu meskipun bunyi bunyi yang ada di sekitarnya memiliki ciri yang sama. Inilah
contoh dari objek kajian fonemik. Satuan terkecil yang menjadi objek kajian fonetik disebut fon
(bunyi bahasa); sedangkan satuan bunyi terkecil yang menjadi objek kajian fonemik di sebut
fonem.

Namun, sebelum pembicaraan berlanjut perlu di ketahui ada pakar yang menggunakan istilah
fonologi untuk fonemik. Jadi, mereka membagi bidang fonologi bukan menjadi fonetik dan
fonemik, melainkan fonetik dan fonologi. Malah aliran fonologi praha dan aliran fonologi
transformasi tidak mengenal istilah fonemik. (Lapolewa, 1988:3 )
BAB ll

FONOLOGI, LINGUISTIK, DAN DISIPLIN LAIN

Kalau kita lihat kembali segmentasi terhadap tuturan (1)


[monyetitumelompatketrukpisang] yang di bicarakan pada bab 1, akan kita lihat bahwa fonologi
merupakan urutan paling bawah atau paling dasar dalam hierarki kajian linguistik. Mengapa?
Karena objek kajiannya ialah bunyi-bunyi bahasa sebagai hasil akhir dari serangkaian tahap
segmentasi terhadap suatu ujaran.

Yang dikaji fonologi ialah bunyi-bunyi bahasa sebagai satuan terkecil dari ujaran beserta
dengan “gabungan” antarbunyi yang membentuk silabel atau suku kata. Serta juga dengan unsur-
unsur suprasegmentalnya, seperti tekanan, nada, hentian dan durasi.

Satu tingkat diatas satuan silabe ialah satuan morfem yang menjadi objek kajian
linguistik morfologi. Bedanya silabel dengan morfem adalah kalau silabel tidak memiliki makna,
maka morfem mempunyai makna. Secara kuantitatif sebuah morfem, bisa sama atau lebih besar
daripada sebuah silabel. Umpamanya sufiks {-i} yang secara gramatikal memiliki makna sama
“besar” dengan sebuah silabel, tetapi morfem {monyet} lebih besar daripada silabel mana pun.

Morfologi yang lazim diartikan sebagai kajian mengenai proses-proses pembentukan kata
dalam kajiannyajuga masih memerlukan bantuan kajian fonologi. Misalnya dalam kasus yang
disebut morfofonemik akan dibicarakan adanya perubahan bunyi, penambahan bunyi, pergeseran
bunyi, dan sebagainya sebagai akibat dari adanya proses pertemuan morfem dengan morfem,
terutama antara morfem afiks dengan morfem dasar atau morfem akar.

Dalam beberapa bahasa tertentu unsur suprasegmental –yang juga menjadi objek kajian
fonologi- seperti nada,tekanan, dan durasi, akan memberi “warna” makna pula terhadap wujud
sebuah morfem atau kata. Jadi,kajian fonologi masih terlibat dalam kajian morfologi.

Diatas satuan morfem ada satuan ujar yang disebut kata, frase, klausa, dan (kalau
ujarannya dalam bentuk wacana) kalimat, yang menjadi objek kajian linguistik bidang sintaksis.
Dalam kajian sintaksis ini fonologi juga masih banyak terlibat karena sering kali makna sebuah
ujaran (kalimat) tergantung pada unsur-unsur suprasegmentalnya. Misalnya ujaran “guru baru
datang” akan bermakna “guru itu terlambat” apabila diberi jeda antara kata guru dan kata
baru;tetapi akan bermakna ‘guru itu baru diangkat’ apabila diberi jeda antara kata baru dan kata
datang.

Begitu juga, sebuah ujaran (kalimat) yang sama akan berbeda modus dan maknanya
apabila diberi intonasi final yang berbeda. Kalau diberi intonasi deklaratif kalimat itu menjadi
sebuah kalimat deklaratif, kalau diberi intonasi interogatif kalimat itu akan berubah menjadi
kalimat interogatif; dan kalau diberi intonasi interjektif akan menjadi sebuah kalimat interjektif.

Diluar kajian struktur internal bahasa, yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis, ada
bidang kajian linguistik yang lain, yaitu semantik, leksikografi, sosiolinguistik, psikolinguistik
dan dialektologi. Kajian semantik yang meliputi semua tataran bahasa juga banyak melibatkan
kajian fonologi. Perbedaan bunyi pada sebuah “pasangan minimal” dapat membedakan makna
kata kedua itu. Kajian leksikografi memanfaatkan kajian fonologi dalam memanfaatkan
penulisan entri (lema) dengan tulisan fonetik agar entri itu dapat diucapkan dengan tepat dan
benar. Hal ini sangat penting bagi bahasa yang sistem ejaannya sangat tidak konsisten seperti
bahasa inggris. Kita lihat huruf <u> dalam bahasa inggris digunakan untuk melambangkan
berbagai bunyi. Pada kata put huruf <u> melambangkan bunyi [a], dan pada kata hurf huruf <u>
melambangkan bunyi [∂]

Kajian sosiolinguistk juga memanfaatkan hasil kajian fonologi, dalam hal variasi-variasi
bunyi dapat menunjukan status sosial dari seseorang atau sekelompok orang didalam masyarakat.
Penggunaan bunyi [ε] dan [ah] pada kata apa di jakarta dapat menunjukan dari etnis mana
penutur bahasa itu.

Kajian psikolinguistik juga banyak meminta bantuan kajian fonologi. Sewaktu


membicarakan perkembangan pemerolehan bunyi-bunyi bahasa oleh kanak-kanak tentu
memerlukan bantuan fonologi. Misalnya, mengapa bunyi-bunyi bilabial lebih dahulu diperoleh
oleh seorang kanak-kanak daripada bunyi dental atau palatal. Begitu juga mengapa bunyi lateral
dan bunyi tril pada kanak-kanak usia tertentu sering dipertukarkan; dan sebagainya.

Kajian dialektologi yang berusaha memetakan dialek-dialek dari suatu bahasa juga sangat
membutuhkan hasil kajian fonologi. Mengapa? Karena penentuan dialek-dialek dari satu bahasa
didasarkan pada perbedaan-perbedaan bunyi dari bentuk-bentuk kata yang sama. Misalnya,
dalam dialek jakarta (Betawi) ada sub dialek yang mengucapkan kata <apa> menjadi [apε],[ap∂],
dan [apah]

Hasil kajian fonologi juga diperlukan dalam bidang klinis yaitu dalam membantu mereka
yang mendapatkan hambatan dalam berbicara maupun mendengar. Yang sangat diperlukan disini
adalah hasil kajian fonetiknya.

Di luar kajian linguistik masih banyak bidang kegiatan lain yang memerlukan bantuan
fonologi. Misalnya, seni suara, seni musik, seni sastra (terutama dalam pembacaan puisi), dan
juga dalam seni berbicara (berpidato)

Anda mungkin juga menyukai