Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh


dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan
tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir,
hanya terdapat sembilan penelitian RCT (Randomized Controlled Trials)
mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833
kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO. Penyakit ini paling sering muncul di
negara – negara yang berkembang dan menyebabkan morbiditas serta mortalitas.
Kondisi sosial ekonomi yang rendah serta tingkat pendidikan yang rendah di
negara – negara berkembang membuat para orang tua tidak melakukan imunisasi
lengkap pada anak – anak ( Ingole,2016).
Tetanus yang juga dikenal sebagai lockjaw (kejang mulut), merupakan
infeksi termediasi-eksotoksin akut yang disebabkan oleh basilus anaerobik
pembentuk spora, Clostridium tetani. Tetanus bersifat fatal pada hampir 60%
orang yang tidak terimunisasi, biasanya dalam 10 hari setelah serangan.
Komplikasinya antara lain atelektasis, pneumonia, emboli pulmoner, ulser gastrik
akut, kontraktur fleksi dan aritmia kardiak. Jika gejala berkembang dalam waktu 3
hari setelah paparan, prognosisnya buruk. Setelah masuk ke tubuh, Clostridium
tetani menyebabkan infeksi lokal dan nekrosis jaringan. Clostridium tetani
memproduksi toksin yang menyebar menuju jaringan sistem saraf pusat. (Tim
Indeks, 2011)
Insiden tetanus 500.00 – 1.000.000 kasus per tahun di seluruh dunia
( Astawa, 2015). Dari 83 pasien, 21 % pasien yang terdiagnosa tetanus
meninggal, 38 dari 83 kasus mengalami distres pernafasan dan 20 kasus
mengalami spasme laring ( Fortes, 2015 ). Untuk di ICU RSUS gedung B siloam
hospital village kasus tetanus tahun 2020 sebanyak 4 pasien, dan bulan Januari
1
sampai April 2021 sebanyak 1 pasien tetanus.
Diagnosa awal serta managemen perawatan intensif yang tepat diperlukan
untuk mengurangi kejadian yang fatal. Tetanus adalah gangguan neurologis yang
ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh
tetanuspasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkanoleh Clostridium
tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk didalamnya tetanus
neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal (Aru W.
Sudoyo,2011). Tujuan dari pengobatan tetanus adalah mengeliminasi sumber
toksin dan menetralkan toksin yang ada dalam pembuluh darah, mencegah
spasme, memonitor kejang, dan memberikan bantuan sistem pernafasan. Bantuan
pernafasan yang tepat adalah dengan bantuan ventilator yang terdapat diruang
intensive, hal ini sesuai dengan protokol penatalaksanaan yang dikemukakan
Bleck (2014) bahwa pada 1 jam pertama pasien tetanus harus dilakukan intubasi
untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas. Selain penanganan awal yang
tepat, perawatan yang tepat selama pasien di ICU juga penting karena terdapat
banyak komplikasi – komplikasi yang terjadi pada tetanus yaitu masalah
pernafasan akibat sesak pita suara ( laryngospasm) dan kejang otot yang
mengendalikan pernafasan, pneumonia ( infeksi paru – paru ), kerusakan otak
akibat kekurangan oksigen, patah tulang belakang akibat kejang otot dan kejang,
infeksi sekunder karena tinggal di rumah sakit yang berkepanjangan ( Healthline
tetanus, 2017 ).
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk membahas tentang
asuhan keperawatan pada pasien tetanus.

2
B. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Perawat mampu menerapkan asuhan keperawatan pasien tetanus dengan benar
dan sesuai standar
b. Tujuan Khusus
1) Mengetahui definisi tetanus
2) Mengetahui tanda dan gejala tetanus
3) Mengetahui dan memahami patofisologi tetanus
4) Mengetahui dan memahami klasifikasi tetanus
5) Mengetahui manifestasi klinis tetanus
6) Mengetahui jenis pemeriksaan diagnostik tetanus
7) Mengetahui komplikasi tetanus
8) Mengetahui pentalakasaan medis pada tetanus
9) Mengetahui dan memahami konsep Asuhan keperawatan pada tetanus
10) Mengetahui dan memahami diagnosa keperawatan pada tetanus
11) Mengetahui dan memahami rencana keperawatan pada tetanus
12) Mengetahui dan memahami pelaksanaan keperawatan pada tetanus
13) Mengetahui dan memahami evaluasi Keperawatan pada tetanus.

C. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup dalam penulisan Makalah ini mencakup :

a. Definisi Tetanus serta pelaksanaan medis pada Tetanus

b. Pasien yang dirawat diruang ICU dengan diagnosa Tetanus

c. Bagaimana pemberian Asuhan keperawatan pada Tetanus

D. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah studi kepustakaan yang
didapat dari buku, internet, jurnal dan studi dokumentasi medical record , sebagai sumber dari

3
bahan karya tulis ini

E. Sistematika Penulisan
a. Halaman awal terdapat : Halaman judul,kata pengantar, daftar isi, daftar gambar,
dan daftar tabel

b. BAB I : Pendahuluan,tujuan, ruang lingkup,metode penulisan, dan sistematika


penulisan

c. BAB II : Tinjauan teoritis secara medis dan keperawatan

d. BAB III : Tinjauan kasus

e. BAB IV : Pembahasan teori dan kasus

f. BAB V : Kesimpulan dan saran

g. Daftar Pustaka

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh racun tetanus (tetanospasmin)
yang diproduksi oleh clostiridium tetani, bakteri gram positif yang resistensinya tinggi
terhadap suhu dan kelembaban yang menyebabkan kekakuan dan spasme otot. (Hassel,
2013). Clostiridium tetani biasanya masuk melalui jaringan yang terdapat luka dan
setelah satu periode inkubasi, clostiridum tetani berubah menjadi basil yang
mengeluarkan toxin tetanus. Toxin masuk ke saraf perrifer dan masuk ke sistem saraf
pusat (Ingole, 2016)

B. Anatomi
1. Jaringan Saraf
Jaringan saraf terdiri atas neuroglia, sel Schwan (sel penyokong) dan neuron
(sel saraf). Neuroglia atau sel glia memberikan dukungan struktural pada neuron
yang jumlahnya sangat banyak dengan rasio sel glia : neuron adalah 5 :1. Sel glia
mengontrol konsentrasi ion di lingkungan ekstraselular dan berkontribusi pada
transport nutrien, gas, dan sampah metabolic antara neuron dan sistem vaskular
(Black, 2014). Terdapat empat jenis sel glia (neuroglia) yaitu:
a. Oligodendroglia merupakan sel glia yang bertanggungjawab menghasilkan
myelin dalam susunan saraf pusat. Sel ini mempunyai lapisan dengan substansi
lemak mengelilingi penonjolan atau sepanjang sel saraf sehingga terbentuk
selubung myelin, myelin pada susunan saraf tepi dibentuk oleh sel Schwann.

5
Gambar 1. Oligodendrocyte

b. Ependima berperan dalam produksi cairan serebrospinal, ependima adalah


epitel dari plexus coroidens ventrikel otak.
c. Mikroglia mempunyai sifat fagositosis yang menyingkirkan debris – debris
yang dapat berasal dari sel – sel otak yang mati, bakteri dan lain- lain. Sel jenis
ini ditemukan di seluruh sistem saraf pusat dan dianggap berperan dalam proses
melawan infeksi.
d. Astroglia berfungsi sebagai “sel pemberi makan” bagi neuron yang halus.
Sinaps merupakan suatu celah kecil antara neuron dan target, pesan berjalan di
sepanjang neuron mencapai sinaps dan harus dihantarkan ke neuron berikutnya.
Terdapat dua macam sinaps yaitu sinaps kimiawai dan sinaps elektrik. Substansi
kimiawi disebut neurotransmitter yang mengeksitasi, menghambat atau
memodifikasi sinyal kepada kedua neuron dengan berinteraksi pada reseptor
membrane. Neurotransmitter adalah zat kimia yang disintesis dalamneuron dan
disimpan dalamgelembung sinaptik pada ujung akson, neurotransmitter meripakan
cara komunikasi antar neuron. Diduga terdapat tiga puluh macam neurotransmitter
diantaranya adalah norepindeprhin, asetilkolin, dopamine, serotonin, Asam Gabba
Aminobutirat (GABA) dan glisin.
Sinaps adalah tempat – tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan
neuron lain atau dengan organ- organ efektor. Ruangan antar neuron ke neuron lain

6
disebut dengan celah sinaptik. Neuron yang manghantarkan impuls saraf menuju ke
sinaps disebut neuton parasinaptik. Neuron yang membawa impuls dari sinaps
disebut dengan neuron postsinaps (Sherwood, 2012).
Neuron adalah unit anatomis dari sel saraf yang mempunyai badan sel dan
badan sel tersebut memiliki satu atau beberapa tonjolan. Dendrit adalah tonjolan
yang menghantarkan informasi menuju badan sel, sedangkan axon dalah tonjolan
tunggal dan panjang yang menghantarkan informasi keluar dari badan sel
(Sherwood, 2012).
Terdapat 3 macam neuron yaitu :
1) neuron unipolar yang hanya memiliki satu serabut meninggalkan badan sel
tetapi kemudian bercabang membentuk akson dan dendrit. Neuron unipolar
menyampaikan sinyal sensorik umum.
2) Neuron multipolar memiliki banyak sinaps aferen dan akson yang membuat
banyak sinaps.
3) Neuron bipolar sering ditemukan pada jaras sistem sensoris khusus (mata,
hidung, telinga)

Gambar 2. Struktur Sel Saraf


Neurotransmitter adalah zat kimia yang disintesis dalam neuron dan disimpan
dalam gelembung sinaptik pada ujung akson, zat kimia ini dilepaskan dari ujung

7
akson terminal dan diabsorbsi untuk daur ulang. Neurotransmitter merupakan cara
komunikasi antar setiap neuron, setiap neuron melepaskan satu neurotransmitter.
Neurotransmitter tersebut diantaranya adalah norepineprin, asetilkolin, dopin,
serotonin, Asam Gamma – Aminobutirat (GABA) dan glisin (Sherwood, 2012).
2. Impuls Saraf
Impuls listrik timbul oleh pemisahan muatan akibat perbedaan kadar ion
intrasel dan ekstrasel yang dibatasi membran sel. Secara skematis perjalanan
impuls saraf dapat dilihat pada bagian berikut ini (Sherwood, 2012).

a) Na⁺ K⁺

Keadaan listrik pada membran istirahat (polarized). Extrasel lebih banyak ion
natrium, sebaliknya intrasel lebih banyak ion kalium, membran dalam keadaan relatif
impermeable terhadap kedua ion.

b) Stimulus

++++------------

Pada saat depolarisasi, potensial membran istirahat berubah dengan adanya


stimulus. Ion natrium masuk ke intrasel secara cepat dan terjadi pembentukan potensial

8
aksi pada tempat perangsangan. Impuls pada saat terjadi depolarisasi dialirkan ke
ujung saraf dan mencapai ujung akson (akson terminal). Saat potensial aksi mencapai
akson terminal akan dikeluarkan neurotransmitter yang melintasi sinaps dan dapat saja
merangsang saraf berikutnya.

c)

+++
+------------------------------
++++++-------------------------

Jika stimulus cukup kuat, potensial aksi akan dialirkan secara cepat ke
sepanjang membran sel.

d)

---------++++++++
++

Pada saat repolarisasi, potensial istirahat kembali terjadi, ion kalium keluar dari
dalam sel dan permeabilitas membrane kembali berubah. Terjadi pemulihan keadaan
negatif di dalam sel dan positif diluar sel.

3. Timbulnya Kontraksi Otot


Kontraksi otot rangka dimulai dengan potensial aksi dalam serabut-serabut otot,
potensial aksi ini menimbulkan arus listrik yang menyebar ke bagian dalam serabut
sehingga menyebabkan pelepasan ion – ion kalsium dari reticulum sarkoplasma,
selanjutnya ion kalsium menimbulkan peristiwa – peristiwa kimia proses kontraksi.

9
4. Perangsangan Serabut Otot Rangka Oleh Saraf
Dalam keadaan normal, serabut – serabut otot rangka dirangsang oleh serabut –
serabut saraf besar bermielin, serabut saraf ini melekat pada serabut – serabut otot
rangka dalam hubungan saraf otot (neuromuscular junction) yang terletak di
pertengahan otot. Ketika potensial aksi sampai pada neuromuscular junction,
terjadi depolarisasi dari membran sel saraf yang menyebabkan pelepasan
esetilkolin yang kemudian menyebabkan terjadinya pelepasan ion kalsium sehingga
terjadi ikatan aktin – myosin dan akhirnya terjadi kontraksi otot.

C. Etiologi
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif
anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi
bentuk spora ke dalam darah tubuh yang mengalami cedera (periode inkubasi)
(Brennen U. 2012). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi
klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren,
dipteri, botulisme) (Perlstein D. 2015) Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa
berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal,
tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan
kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki
yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan (Parry CM,
dkk. 2013).
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel
vegetatif. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh
melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada
tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klonis yang
ditimbulakan dari toksin tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari
neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol. Akibat dari

10
tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada voluntary
muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya
pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh
kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi (Martinko JM, dkk. 2012).

D. Patofisiologi
Clostiridum tetani merupakan suatu basilus gram positif yang bersifat obligat
anaerob dan tidak berkapsul masuk kedalam tubuh melalui luka. Spora berkembang
pada keadaan anaerob kemudian berproliferasi dan berkembang menjadi basilus
dewasa yang menghasilkan tetanolisin dan tetanospasmin. Toksin tetanus merupakan
zinc – dependent malproteinase yang targetnya adalah protein protein (sinaptobrevin/
vesicle associated membrane protein VAMP yang fungsinya untuk pelepasan
neurotransmitter dari ujung saraf melalui sinaps dengan membrane plasma saraf.
Gejala awal infeksi lokal tetanus adalah paralisis flaksid akibat gangguan pelepasan
asetilkolin di saraf otot. Toksin tetanus memasuki saraf perifer pada myoneural
junction (serabut saraf otot) dan menyebar secara retrograde di akson lower motor
neuron (LMN) dan akhirnya mencapai medulla spinalis. Di tempat ini toksin
ditransportasikan menyebrangi sinaps dan diambil oleh ujung saraf inhibitor GABA
yang mengontrol LMN. Setelah sampai ke saraf terminal, tetanus toksin akan memecah
VAMP sehingga menghambat pelepasan GABA dan glisin yang menyebabkan
hiperaktivitas dan peningkatan aktivitas oto sehingga terjadi rigiditas dan spasme
(Surya, 2016).

PATOFISIOLOGI

Terpapar kuman clostiridium tetani yang dapat masuk melalui luka (luka tusuk, luka lalu lintas, gigitan
hewan, luka tembak, gigi berlubang, lesi pada mata, infeksi telinga, dan perawatan tali pusat yang buruk).
Bakteri tersebut berproliferasi dalam keadaan anaerob.

11
Bakteri yang berproliferas menghasilkan tetanolisin dan tetatospasmin. Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel
– sel darah merah. Tetanospasmin yang bertanggung jawab dalam manifestasi klinis dari tetanus.

Eksotoksin masuk ke saraf perifer secara retrogad melalui myoneural junction (serabut – serabut saraf di otot)
melalui pembuluh darah dan aliran limfe.

Di sistem saraf pusat eksotoksin Mengenai Sistem saraf pusat


(tetanospasmin) memblokade zat inhibitor
(Gamma Amino Butyrict Acid (GABA)

 Keringat berlebihan
 Hipertermi
Kontraksi otot yang terus menerus
 Takikardia

Kejang dan spasme


Hipoksia berat karena terjadi penurunan
suplai oksigen ke otak

Kejang dan spasme otot Resiko Tinggi Kejang


Berulang Penurunan Kesadaran

Penurunan Kapasitas
Adaptif Intrakranial
Risiko cedera

12
Terpapar
Kejang dan spasme Bakteri
otot Clostiridium
Tetani

Respon
tubuh
Sistem Pernafasan Sistem Penurunan Penurunan
Pencernaan kendali otot Kesadaran

Proses
Pola napas tidak Gangguan inflamasi di
Eliminasi Urin Gangguan Hospitalisasi jaringan tubuh
efektif
Mobilitas Fisik

Intubasi / Risiko Infeksi Hipertermi


Trakeostomi Ansietas

Gangguan
Penurunan
Komunikasi
kemampuan batuk
Verbal

Ketidakmampuan Resiko Defisit Bersihan Jalan


menelan Nutrisi napas inefektif

Gangguan Menelan

(Sumber: surya, 2016)

13
E. Klasifikasi
Tabel 1. Severitas Tetanus Berdasarkan Klasifikasi Ablett

Grade 1 Trismus ringan, spastisitas menyeluruh, tidak


Ringan ada yang membahayakan respirasi, tidak ada
spasme, tidak ada disfagia.

Grade 2 Trismuas sedang, rigiditas, spame singkat,


Sedang disfagia ringan, keterlibatan respirasi sedang,
frekuensi pernafasan > 30 x/menit.

Grade 3 Trismus berat, rigiditas menyeluruh, spasme


Berat memanjang, disfagia berat, serangan apneu,
denyut nadi > 120 x/menit, frekuensi
pernafasan > 40 x/menit.

Grade 4 Grade 3 dengan ketidakstabilan otonom berat


Sangat berat

( sumber : Laksmi, 2014 “ Penatalaksanaan Pasien Tetanus “

F. Manifestasi Klinis
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala
pertama) rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang
waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara
1-7 hari. Minggu pertama: regiditas, spasme otot. Gangguan ototnomik
biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2
minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan bisa
memerlukan waktu 4 minggu. (Huda, 2016).
Pemeriksaan fisis diantaranya, yaitu :

14
1. Trismus adalah kekakuan otot mengunyah sehingga sukar
membuka mulut.
2. Risus sardonicus, terjadi sebagai kekakuan otot mimic, sehingga
tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup, dan sudut mulut
tertarik keluar kebawah.
3. Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti:
otot punggung, otot leher, otot badan, dan trunk muscle. Kekakuan
yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti
busur.
4. Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
5. Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang
awalnya hanya terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit,
digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat.
6. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan akibat
kejang yang terusmenerus atau oleh kekakuan otot laring yang
dapat menimbulkan anoksia dan kematian.

Gambar 1.Trismus

15
Gambar 2. Risus sardonicus

Gambar 3. Opisthotonus pada Tetanus

Secara umum tanda dan gejala yang akan muncul adalah :


1. Spasme dan kaku otot rahang (massester) menyebabkan kesukaran
membuka mulut (trismus).
2. Pembengkakan, rasa sakit dan kaku dari berbagai otot :
a. Otot leher
b. Otot dada
c. Merambat ke otot perut
d. Otot lengan dan paha
e. Otot punggung, seringnya epistotonus.
3. Tetanik seizures (nyeri, kontraksi otot yang kuat)
4. Iritabilitas

16
5. Demam
6. Gejala penyerta lainnya :
a. Keringat berlebihan
b. Sakit menelan
c. Spasme tangan dan kaki
d. Produksi air liur
e. BAB dan BAK tidak terkontrol
f. Terganggunya pernapasan karena otot laring terserang

G. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut WHO (2010) untuk penegakan diagnose tetanus, tidak ada
hasil laboratorium yang signifikan. WHO mendefinisikan tetanus pada
pasien dewasa setidaknya ada satu dari tanda – tanda berikut yaitu
trismus (ketidakmampuan untuk membuka mulut) atau risus sardonicus
(spasme dari otot wajah) atau nyeri hebat saat kontraksi otot. Meskipun
kondisi ini sebaiknya disertai riwayat injuri atau luka.
Menurut Huda (2016)
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Kultur luka (mungkin negative)
b. Test tetanus anti bodi
2. EKG: interval CT memanjang karena segment ST. Bentuk takikardi
ventrikuler (Torsaderde pointters)
3. Pada tetanus kadar serum 5-6 mg/al atau 1,2-1,5 mmol/L atau lebih
rendah kadar fosfat dalam serum meningkat.
4. Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto Rontgen pada jaringan
subkutan atau basas ganglia otak menunjukkan klasifikasi

H. Komplikasi

Menurut Healthline tetanus (2017), kejang otot yang parah akibat

17
tetanus juga dapat menyebabkan komplikasi kesehatan yang serius,
seperti:

1) Masalah pernafasan akibat sesak pita suara ( laryngospasm ) dan


kejang otot yang mengendalikan pernapasan.
2) Pneumonia (infeksi paru-paru)
3) Kerusakan otak akibat kekurangan oksigen
4) Irama jantung tidak normal
5) Patah tulang belakang akibat kejang otot dan kejang
6) Infeksi sekunder karena tinggal di rumah sakit yang
berkepanjangan

Tabel . Distribusi Komplikasi tetanus pada 184 pasien yang diteliti oleh
Fortes, 2015
Jenis Komplikasi Jumlah Persentase

Infeksi (n=127)
Pneumonia 80 63
Bacteremia 21 17
Infeksi saluran kemih 14 11
Sepsis yang tidak diketahui 46 36
penyebab

Cardiovascular disease (n=84)


Cardiac dysrhythmia 61 73
Hypertensive crisis 20 24
Cardiac arrest 20 24
Arterial hypotension 2 2
Thrombophlebitis 1 1
Gangguan Respirasi (n=79)
Laryngospasm 46 58
Apnea 30 38
Atelectasis 3 4
Gangguan metabolik (n=32)
Dehidrasi 29 91
Denutrisi 20 63
Gangguan elektrolit 19 59

18
Koma (n = 16) 16 9
Lainnya (n= 9) 9 5

I. Penatalaksanaan Medis
1. Netralisasi toksin dengan tetanus antitoksin (TAT)
a. Hiperimun Globulin (paling baik)
Dosis: 3.000-6.000 unit IM Waktu paruh: 24 hari, jadi dosis
ulang tidak diperlukan Tidak berefek pada toksin yang terikat
di jaringan saraf; tidak dapat menembus barier darah-otak.
b. Pemberian ATS (anti tetanus)
ATS profilaksis diberikan untuk (luka yang kemungkinan
terdapat clostridium: luka paku berkarat), luka yang besar, luka
yang terlambat dirawat, luka tembak, luka yang terdapat
diregio leher dan muka, dan luka-luka tusuk atau gigitan yang
dalam) yaitu sebanyak 1500 IU – 4500 IU. ATS terapi
sebanyak > 1000 IU, ATS ini tidak berfungsi membunuh
kuman tetanus tetapi untuk menetralisir eksotoksin yang
dikeluarkan clostridium tetani disekitar luka yang kemudian
menyebar melalui sirkulasi menuju otak. Untuk terapi,
pemberian ATS melelui 3 cara yaitu:
1) Di suntik disekitar luka 10.000 IU (1 ampul)
2) IV 200.000 IU (10 ampul lengan kanan dan 10 ampul
lengan kiri)
3) IM di region gluteal 10.000 IU
2. Perawatan luka
a. Bersihkan, kalau perlu didebridemen, buang benda asing,
biarkan terbuka (jaringan nekrosis atau pus membuat kondisis
baik C. Tetani untuk berkembang biak)

19
b. Penicillin G 100.000 U/kg BB/6 jam (atau 2.000.000 U/kg
BB/24 jam IV) selama 10 hari.
c. Alternatif Tetrasiklin 25-50 mg/kg BB/hari (max 2 gr) terbagi
dalam 3 atau 4 dosis. Metronidazol yang merupakan agent anti
mikribial. Kuman penyebab tetanus terus memproduksi
eksotoksin yang hanya dapat dihentikan dengan membasmi
kuman tersebut.
3. Mengatasi kejang dan spasme
1) Diazepam loading dose 5-20 mgIV dilanjutkan kontinyu
100-400 mg / 24 jam IV ada sumber yang menyebutkan
dapat diberikan sampai 2400 mg/24 jam
2) MGSO4 bolus 70 mg/kgBB minimal dalam 30 menit
dilanjutkan 1-4 gr/jam hati-hati bila ada gangguan fungsi
ginjal (periksa kagar Mg dalam serum berkala)
3) Obat pelumpuh otot diberikan pada pasien yang kejang
seluruh tubuh yang berat dan sering intermiten atau
kontinyu misal rocuronium bromide 0,5 – 0,6 mg/kg iv,
Vecuronium : 0.1– 0.3 mg/kg iv atau diberikan
pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05
mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3 jam
4. Mengendalikan disfungsi otonom
1) Pemberian ß inhibitor (Propranolol 4 X 10 mg labetolol
200-800 mg IV atau esmolol 300 mcg/kg/menit IV)
2) Pemberian agonis alfa 2 (klonidin 300 mcg/8 jam IV)
3) Kombinasi opioid dengan sedative ( morpin 10mg/12 jam
IV atau fentanyl 300ug/24jam dengan midazolam atau
diazepam)
5. Terapi Suportif
a. Hindari rangsang suara, cahaya, manipulasi yang merangsang

20
b. Perawatan umum, oksigen
c. Bebas jalan napas dari lendir, bila perlu trakeostomi
d. Diet TKTP yang tidak merangsang, bila perlu nutrisi
parenteral, hindari dehidrasi. Selama pasase usus baik, nutrisi
interal merupakan pilihan selain berfungsi untuk mencegah
atropi saluran cerna.
e. Kebersihan mulut, kulit, hindari obstipasi, retensi urin.

Tabel 6. Protokol Managemen Tetanus Generalisata

Diagnosis dan Stabilisasi : 1 jam pertama

a) Jaga kepatenan jalan napas dan ventilasi, lakukan intubasi


dengan diikuti pemberian benzodiazepine dan blokade
neuromuskular (misalnya: vecuronium 0.1 mg/KgBB).
b) Cek lab level antitoksin, elektrolit, ureum, kreatinin, kreatin
kinase.
c) Kaji tempat masuk kuman (mis: luka), masa inkubasi, onset
dan status imunisasi
d) Berikan benzotropine 1-2 mg IV atau diphenhydramine 50
Mg IV untuk mengurangi reaksi distonis.
e) Berikan benzodiazepine IV (diazepam 5 Mg atau lorazepam
2 Mg) untuk mengontrol spasme dan kekauan
f) Transfer pasien ke ruang perawatan intensif

Managemen Awal : 24 jam pertama

a) Berikan human TIG 500 unit IM atau bila tidak ada berikan
ATS.
b) Berikan vaksin TT atau vaksin DPT (0.5 ml)
c) Berikan metronidazole 500 mg IV, kemudian dilanjutkan

21
dengan metronidazole 500mg setiap 6 jam selama 7 sampai
dengan 10 hari. Juga dapat diberikan penisilin untuk pasien
yang tidak alerg terhadap penisilin.
d) Lakukan trakeostomi segera setelah intubasi endotrakeal.
e) Debridemen luka sesuai indikasi
f) Pasang NGT ukuran kecil, pasien yang diberikan nutrisi
parenteral harus mendapatkan H₂ blockade atau proteksi
gaster.
g) Berikan benzodiazepine untuk mengurangi spasme (mis
vecuronium 6 – 8 mg/jam)

Fase Intermediate : 2 – 3 minggu

a) Berikan labetalol (0.25 – 1 mg/menit) atau morfin (0.5 –


1 mg/KgBB/jam drip) untuk mengurangi hiperaktivitas
saraf simpatis. Jangan berikandiuretik karena akan
menyebabkan hipovolume dan ketidaksseimbangan
autonomik.
b) Jika terjadi hipotensi, berikan resusitasi cairan saline.
Berikan juga dopamine atau norepindeprin sesuai
indikasi.
c) Bila terjadi bradikardi, dapat gunakan pacemaker.
Pemberian atropine atau isoproterenol dapat berguna
selama penggunaan pacemaker.

2 – 6 minggu

a) Setelah tidak ada lagi spasme, lakukan fisioterapi


b) Sebelum pulang, berikan kasin tetanus – dipteri atau vaksin
dipteri – pertusis tetanus.

22
c) Jadwalkan pemberian toksoid dosis ketiga setelah 4 minggu

Sumber : Bleck TP, Brauner JS, 2014

J. Konsep Asuhan Keperawatan


1) Anamnese
Pada pasien tetanus umumnya dimulai dengan kaku otot, disusul
dengan kesukaran membuka mulut (trismus) karena spasme otot –
otot mastikatoris.
2) Riwayat penyakit sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting di ketahui karena untuk
mengetahui predisposisi penyebab sumber luka. Disini harus di
tanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan, sembuh, atau bertambah buruk.
3) Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah di alami klien yang


memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi
keluhan sekarang meliputi pernah kah klien mengalami tubuh
terluka dan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan
kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor; karena terjatuh
di tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka
yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar dan patah tulang
terbuka. Adakah porte d’entree lainnya seperti luka gores yang
ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi berlubang di koreng
dengan benda yang kotor.
4) Pengkajian psiko-sosio-spiritual

Pengkajian mekanisme koping yang di gunakan klien juga penting


untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang di

23
deritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan mesyarakat
seerta respon atau pengaruh dalam kehidupan sehari hari baik dalam
keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada
klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidak mampuan untuk melakukan aktifitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini
memberi dampak pada ststus ekonomi klien, karena biaya
perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit.
5) Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien,
pemeriksaaan fisik sangat berguna untuk mendukung dari
pengkajian anamesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan
persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada
pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan di hubungkan dengan
keluhan keluhan dari klien.
Pada klien tetanus biasanya di dapatkan peningkatan suhu tubuh
lebih dari normal 38-40 0C. Keadaan ini biasanya dihubungkan
dengan proses implamasi dan toksin tetanus yang sudah
mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi
terjadi berhubungan penurunan perfusi jaringan otak.Apabila
disertai peninhkatan frekuensi pernafasan sering berhubungan
dengan peningkatan laju metabilisme umum.TD biasanya normal.
a) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan
yang sering didapatkan pada klien tetanus yang disertai adanya
ketidak efektifan bersihan jalan nafas. Palpasi thorak didapatkan
taktil premitus seimbang kanan dan kiri.Auskultasi bunyi nafas

24
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi
sekret dan kemampuan batuk yang menurun.
b) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan syok
hipovelemik yang sering terjadi pada klien tetanus.TD biasnya
normal, peningkatan heart rate, adanya anemis karena hancurnya
eritrosit.
c) B3 (Brain)
Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap di
bandingkan pengkajian pada sistem lainnya
 Tingkat kesadaran (GCS)
Kesadaran klien biasanya kompos mentis.Pada keadaan lanjut
tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada
tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa.Apabila klien sudah
mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk
menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk
monitoring pemberian asuhan.
 Fungsi serebri
Status mental: obsevasi penampilan klien dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktifitas
motorik yang pada klien tetanus tahap lanjut biasanya status
mental klien mengalami perubahan.
 Pemeriksaan saraf kranial
- Saraf I Olfaktorius (Respon dan interpretasi bau) Biasanya
pada klien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
tidak ada kelainan.
- Saraf II Optikus (Ketajaman visual dan lapang pandang) Tes
ketajaman pengelihatan pada kondisi normal

25
- Saraf III Okulomotor ,IV Troklearis,VI Abdusent. Dengan
alasan yang tidak di ketahui, klien tetanus mengeluh
mengalami fotophobia atau sensitif yang berlebihan terhadap
cahaya. Respons kejang umum akibat stimulus rangsang
cahaya perlu di perhatikan perawat untuk memberikan
intervensi menurunkan stimulus cahaya tersebut.
- Saraf V Trigeminalis (Sensasi pada wajah, kulit kepala,
kornea, dan membran mukosa oral, serta nasal pergerakan
rahang untuk mengunyah) . Refleks masester menigkat.
Mulut mencucu seperti mulut ikan (ini adalah gejala khas
pada tetanus).
- Saraf VII Fasialis (rasa pada 2/3 anterior lidah). Persepsi
pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
- Saraf VIII Vestibulokoklear (pendengaran dan
keseimbangan). Tidak di temukan adanya tuli konduktif dan
tuli persepsi
- Saraf IX Glossofaringeus dan XV vagus. Kemampuan
menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut (trismus).
- Saraf XI Assesorius Spinal (pergerakan otot trapezius dan
sternokkleidomastoideus). Di dapatkan kaku kuduk.
Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
- Saraf XII Hipoglossus (pergerakan lidah saat bicara,artikulasi
suara,dan menelan). Lidah simetris, tidak ada deviasi pada
satu sisi dan tidak ada pasikulasi. Indra pengecapan normal.
 Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan kordinasi
pada tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.
 Pemeriksaan reflek

26
Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada tendon,
ligamentum, atau periusteum derajat reflek pada respon normal.
 Gerakan involunter (gerakan yang tidak disadari)
Tidak ditemukan adanya tremor, Tic dan distonia.Pada keadaan
tertentu klien mengalami kejang umum, terutama pada anak
yang tetanus disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi.Kejang
berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
 Sistem sensori
Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya di dapatkan
perasaan raba normal, perasaan nyeri normal.Perasaan suhu
normal.Tidak ada perasaan abnormal di permukaan
tubuh.Perasaan proprioseftif normal dan perasaan diskriminatif
normal.
d) B 4 (Bleder)
Penurunan volume pengeluaran urine berhubungan dengan
penurunan perpusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.Adanya
retensi urin karena kejang umum.Pada klien yang sering kejang
sebaiknya pengeluaran urine dengan menggunakan kateter.
e) B 5 (Bowel )
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung.Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun
karena anoreksia dan adanya kejang, kaku dinding perut (perut
papan) merupakan tanda khas dari tetanus.Adanya spasme otot
menyebabkan kesulitan BAB.
f) B 6 (Bone)
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan
menurunkan aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien
mengalami patah tulang terbuka yang memungkinkan por de entrée
kuman Clostridium tetani , sehingga memerlukan perawatan luka

27
yang optimal. Adanya kejang memberikan resiko pada praktur
pertibra pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen.

K. Diagnosa Keperawatan
1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologi
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan
otot
3) Gangguan menelan berhubungan dengan gangguan saraf kranial
4) Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan
menelan makanan
5) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan
sirkulasi serebral
6) Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan disfungsi
neuromuscular
7) Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
dibuktikan dengan pemasangan tracheostomi
8) Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi psikomotor
9) Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
10)

28
L. Rencana keperawatan, pelaksaanan dan evaluasi
N Diagnosa Tujuan Intervensi Implentasi Evaluasi
O. Keperawatan
1. Bersihan jalan Setelah dilakukan Latihan batuk efektif :  Mengidentifikasi  Klien dapat
nafas inefektif tindakan 1. Observasi kemampuan batuk efektif
berhubungan keperawatan  Identifikasi batuk
dengan disfungsi selama 3x24 jam kemampuan  Memonitor  Produksi
neuromuscular batuk efektif batuk adanya retensi sputum kental
ditandai dengan meningkat  Monitor adanya sputum
batuk efektif dengan kriteria retensi sputum  Mengatur posisi  Posisi pasien

menurun. hasil : 2. Terapeutik semi semi fowler

 Produksi  Atur posisi semi fowler/fowler


sputum fowler/fowler  Membuang  Klien dapat

menurun  Buang secret secret pada membuang

 Suara nafas pada tempat tempat sputum skret

ronchi soutum  Menjelaskan  Klien dapat

menurun 3. Edukasi tujuan dan mengerti tujuan

 Pola nafas  Jelaskan tujuan prosedur batuk dan prosedur

membaik dan prosedur efektif batuk efektif

batuk efektif
 Klien dapat
 Anjurkan tehnk
melakukan
tarik nafas dalam  Menganjurkan
tehnik tarik nafas tehnik nafas
melalui hidung
dalam selama 4 dalam
selam 4 detik,
ditahan 2 detik detik, ditahan 2

kemudian detik kemudian

29
keluarkan dari keluarkan dari
mulut mulut  Klien dapat
 Anjurkan batuk  Menganjurkan batuk setelah
dengan kuat batuk dengan nafas dalam
langsung setelah kuat langsung
tarik nafas dalam setelah tarik
4. Kolaborasi nafas dalam
 Kolaborasi
 Klien
pemberian
mendapatkan
mukolitik atau  Berkolaborasi
dalam pemberian terapi mukolitik
ekspetoran
2. mukolitik atau
 Pola nafas
Pola nafas tidak ekspektoran
teratur
efektif Setelah
berhunungan dilakukan Manajemen jalan  Memonitor pola  Bunyi nafas

nafas nafas tambahan


dengan tindakan
1. Observasi  Memonitor bunyi berkurang
gangguan keparawatan
 Monitor pola nafas tambahan  Klien merasa
neurologi selama 3x24jam
nafas nyaman posisi
ditandai dengan penggunaan otot
 Monitor  Memberikan fowler
pola nafas bantu nafas
kembali efektif menurun dengan bunyi nafas posisi semi
kriteria hasil : tambahan fowler atau  Setelah
fowler dilakukan
 Penggunaan 2. Terapeutik
 Melakukan fisioterapi dada
otot nafas  Posisikan
fisioterapi dada mengurangi
menurun semi fowler
jika perlu secret
 Frekuensi atau fowler
 Setelah
nafas  Lakukan
diberikan
membaik fisioterapi
oksigen SPO2
 Pernafasan

30
3. cuping hidung dada jika perlu  Memberikan 100 %
menurun  Berikan oksigen jika  Pasien dapat
Gangguan oksigen jika diperlukan melakukan
mobilitas fisik Setelah dilakukan perlu aktivitas fisik
berhubungan tindakan
 Mengidentifikasi dengan dibantu
dengan keperawatan
Dukungan mobilisasi toleransi fisik  Frekuansi
penurunan selama 3x24 jam
1. Observasi melakukan jantung dan
kekuatan otot Komunikasi  Identifikasi pergerakan tekanan darah
ditandai dengan verbal meningkat toleransi fisik dalam batas
kekuatan otot dengan kriteria
melakukan  Memonitor normal
menurun, hasil : frekuensi jantung
pergerakan
rentang gerak  Aktivitas yang  Monitor dan tekanan  Keadaan
menurun tepat strategi darah sebelum
frekuensi kondisi klien
untuk memulai
jantung dan selama
meningkatkan mobilisasi
tekanan darah mobilisasi
aktivitas dan  Memonitor
sebelum stabil
istirahat kondisi umum  Klien
memulai dapat
meningkat selama
mobilisasi melakukan
 Tehnik melakukan
 Monitor pergerakan
pernafasan mobilisasi
kondisi umum duduk ditempat
yang efektif  Memfasilitasi
selama tidur
aktivitas fisik melakukan
melakukan  Keluarga
yang pergerakan
mobilisasi kooperatif
direkomendasi
2. Terapeutik dalam
kan meningkat
 Fasilitasi memberikan
melakukan  Melibatkan bantuan kepada
pergerakan keluarga untuk pasien
 Libatkan membantu pasien  Klien dapat
keluarga untuk meningkatkan mobilisasi

31
membantu pergerakan duduk diatas
pasien kursi roda
meningkatkan  Memfasilitasi  Klien mengerti
pergerakan aktivitas tujuan dan
 Fasilitasi mobilisasi prosedur
aktivitas dengan alat bantu mobilisasi
mobilisasi  Menjelaskan  Klien dapat
dengan alat tujuan dan duduk dikursi
bantu prosedur roda dengan
3. Edukasi mobilisasi bantuan
 Jelaskan keluarga dan
tujuan dan  Menganjurkan perawat.
prosedur mobilisasi

mobilisasi sedehana yang

 Anjurkan harus dilakukan

mobilisasi misalkan duduk

sederhana ditempat tidur,

yang harus disisi tempat

dilakukan tidur, berpindah


4.
missal duduk dari tempat tidur

ditempat tidur, ke kursi roda


 Kecepatan
Gangguan duduk disisi tekanan,
komunikasi tempat tidur, kualitas volume
verbal Setelah dilakukan pindah dari dan diksi bicara
berhubungan tindakan tempat tidur klien dapat
dengan keperawatan ke kursi roda  Memonitor dimengerti
penurunan selama 3x24 jam kecepatan  Klien dapat
sirkulasi serebral kemampuan Promosi komunikasi : tekanan, kualitas berbicara
mengunyah

32
spinal ditandai meningkat, defisit bicara volume dan diksi secara jelas
dengan bicara frekuensi tersedak 1. Observasi bicara
tidak jelas menurun  Monitor
kecepatan
tekanan,  Memonitor  Klien dapat

kualitas proses kognitif, menggunakan

volume dan anatomis dan metode

diksi bicara fisiologis yang komunikasi

 Monitor berhubungan menggunakan

proses dengan bicara isyarat tangan

kognitif,  Menggunakan dan mata

anatomis dan metode berkedip

fisiologis yang kominukasi  Klien dapat

berhubungan alternatif ( missal menyampaikan

dengan bicara menulis, mata pesan dan

2. Terapeutik berkedip, isyarat diulangi

 Gunakan tangan ) kembali oleh

metode perawat

komunikasi  Mengulangi apa  Klien merasa

alternatif yang terbantu dengan

( missal, disampaikan modifikasi

menulis, Mata klien lingkungan

berkedip,  Klien dapat

isyarat tangan) berbicara


 Memodifikasi perlaha
 Ulangi apa
lingkungan untuk  Klien dan
yang
meminimalkan keluarga dapat
disampaikan
bantuan mengikuti
klien
proses kognitif

33
 Berikan  Menganjurkan
dukungan bicara perlahan
fisiologi
5.  Modifikasi
 Menganjurkan
lingkungan
klien dan  Kolaborasi
untuk
keluarga proses dengan petugas
meminimalkan
kognitif gizi dalam
bantuan
Risiko defisit menetukan
nutrisi Setelah dilakukan 3. Edukasi
nutrisi klien
tindakan  Anjurkan
berhubungan  Klien terpasang
keperawatan bicar perlahan
dengan selang
 Anjurkan
ketidakmampuan selama 3x24 jam nasogastric
kekuatan otot pasien dan  Mengidentifikasi
menelan
pengunyah kelurga proses status nutrisi
makanan  Berat badan
kognitif
ditandai dengan meningkat klien sesuai
kekuatan otot dengan kriteria dengan standar
Status nutrisi :
pengunyah hasil :  Klien dilakukan
1. Observasi
menurun  Kekuatan otot oral hygiene
 Identifikasi  Mengidentifikasi
menelan dengan
status nutrisi perlunya
meningkat betadine kumur
 Identifikasi penggunaan
 Porsi makan  Klien bisa
perlunya selang
meningkat makan peroral
penggunaan nasogastric
 Frekuensi
selang  Memonitor berat
makan
nasogastric badan
meningkat
 Monitor berat
badan
 Melakukan oral  Kolaborasi
2. Terapeutik
hygiene sebelum dalam
 Lakukan oral

34
hygiene makan menentukan
sebelum makan program diet
 Hentikan  Klien duduk
pemberian saat makan
makan melalui
 Menghentikan
selang  Klien mendapat
pemberian
nasogastrik, jika diet sesuai
makan melalui
asupan oral program
selang nasogratic
dapat ditoleransi
jika asupan oral  Klien mendapat
 Fasilitasi
dapat ditoleransi terapi sesuai
penentuan
 Memfasilitasi indikasi
program diet
penentuan
3. Edukasi
program diet
Anjurkan posisi
 Klien diet
duduk, jika  Menganjurkan
sesuai yang
mampu posisi duduk jika
6. dianjurkan
Ajarkan diet mampu  Klien dapat
yang diproram  Mengajarkan diet menelan
4. Kolaborasi yang diprogram makanan
 Kolaborasi
 Posisi klien
pemberian
duduk saat
Gangguan medikasi
makan
menelan sebelum  Berkolaborasi
berhubungan Setelah dilakukan makan pemberian  Klien dilakukan
dengan tindakan medikasi oral hygiene
gangguan saraf keperawatan sebelum makan sebelum makan
kranial ditandai selama 3x24 jam  Klien dapat
dengan kemampuan  Mengidentifikasi makan dengan
mengunyah diet yang

35
kemampuan meningkat, dianjurkan bantuan
mengunyah frekuensi tersedak  Memonitor minimal
menurun, menurun kemampuan  Klien dapat
frekuensi Dukungan perawatan menelan mengetahui
tersedak diri : makan/minum  Mengantur posisi letak makanan
meningkat 1. Observasi yang nyaman
 Identifikasi untuk
diet yang makan/minum
dianjurkan  Melakukan oral
 Monitor hygiene sebelum
kemampuan makan
menelan
2. Terapeutik  Memberikan
 Atur posisi yang bantuan saat
nyaman untuk makan/minum
makan/minum sesuai tingkat
 Lakukan oral kemampuan  Klien tidak ada
hygiene  Menjelaskan tanda dan
7. gejala infeksi
sebelum makan posisi makan
 Berikan bantuan klien pada klien
saat  Klien hanya
yang mengalami
makan/minum/ dibesuk oleh
ganguan
minum sesuai keluarga inti
penglihatan
tingkat searah jarum jam  Perawatan kulit
kemampuan
Risiko infeksi pada area
Setelah dilakukan 3. Edukasi edema
berhubungan
tindakan  Jelaskan posisi
dengan efek dilakukan
keperawatan 3x24 makanan klien
prosedur invasif secara rutin
pada klien yang

36
dibuktikan jam risiko infeksi mengalami  Sebelum dan
dengan tidak terjadi, gangguan sesudah cuci
pemasangan dengan kriteria penglihatan  Memonitor tanda tangan saat
tracheostomi, hasil ; dengan dan gejala infeksi melakukan
ditandai dengan  Nyeri menggunakan tindakan
 Membatasi
resiko infeksi menurun serah jarum jam keperawatan
jumlah
tidak terjadi  Tanda- tanda pada klien
pengunjung
infeksi Pencegahan infeksi :
 Klien mengerti
menurun/ 1. Observasi  Memberikan
tanda dan
tidak terjadi  Monitor tanda perawatan kulit
gejala infeksi
 Kebersihan dan gejala pada area edema
cuci tangan infeksi lokal
 Klien dapat
2. Terapeutik  Mencuci tangan
meningkat menghabiskan
 Batasi jumlah sebelum dan
makanan yang
pengunjung sesudah kontak
disediakan
 Berikan dengan pasien
 Klien dapat
perawatan
memeriksa
kulit pada area  Menjelaskan
kondisi luka
edema tanda dan gejala operasi
 Cuci tangan infeksi
8. sebelum dan
sesudah  Kebutuhan

kontak dengan  Menganjurkan klien dapat

pasien meningkatkan diketahui

3. Edukasi asupan nutrisi  Klien

 Jelaskan tanda  Mengajarkan mengalami

dan gejala cara memeriksa perubahan

infeksi kondisi luka status

 Ajarkan cara keselamatan

37
Risiko cedera cuci tangan operasi
berhubungan Setelah dilakukan dengan benar  Klien terhindar
dengan tindakan  Anjurkan dari bahaya
perubahan keperawatan 3x24 meningkatkan
 Lingkungan
fungsi jam kejadian asupan nutrisi
sekitar klien
psikomotor, cedera tidak  Ajarkan cara
lebih aman
dibuktikan terjadi, memeriksa
 Mengidentifikasi
dengan kejadian ketegangan otot kondisi luka  Klien terpasang
kebutuhan
cedera tidak menurun, dengan operasi pagar
keselamatan
terjadi kriteria hasil : pengaman
 Memonitor
 Luka/ lecet tempat tidur
perubahan status
menurun
Manajemen keselamatan klien  Klien dan
 Ketegangan
otot menurun keselamatan keluarga

 Gangguan lingkungan mengerti risiko

mobilitas 1. Observasi : bahaya


 Menghilangkan
menurun  Identifikasi lingkungan
bahaya
kebutuhan
keselamatan
keselamatan
lingkungan
(misalkan
 Memodifikasi
kondisi
lingkungan untuk
fisik,fungsi
menghindarkan
kognitif, dan
bahaya
riwayat
 Menyediakan alat
perilaku)
bantu keamanan
 Monitor
perubahan
status
keselamatan

38
lingkungan  Mengajarkan
2. Terapeutik individu dan
 Hilangkan keluarga
bahaya kelompok
keselamatan risikotinggi
lingkungan bahaya
 Modifikasi lingkungan
lingkungan

9. untuk
meminimalkan
bahaya dan
risiko
 Sediakan alat
bantu keamanan
lingkungan
(misalkan
pegangan
tangan)
Hipertemia
 Gunakan
berhubungan
perangkat
dengan proses Setelah dilakukan
tindakan pelindung
penyakit
( misalkan
ditandai dengan keperawatan 3x24
pengekangan
suhu tubuh jam, hipertemi
teratasi, dengan pelindung
memburuk,
kriteria hasil : 3. Edukasi
kejang
 Menggigil  Ajarkan
memburuk  Mengidentifikasi
 Penyebab klien
menurun individu,
penyebab
demam karena
 Suhu tubuh keluarga dan
hipertermi

39
menurun kelompok risiko proses penyakit
 Kejang tinggi bahaya  Memonitor
menurun lingkungan haluan urine  Produksi urine
klien kuning
Manajemen  Menyediakan jernih
hipertemia lingkungan yang
 Klien
1. Observasi dingin
dihindarkan
 Identifikasi
dari lingkungan
penyebab
panas
hipertermi  Melonggarkan
 Monitor suhu atau melepaskan  Klien tidak
tubuh pakaian diberikan
 Monitor haluan selimut dan
urine pakaian
2. Terapeutik  Melakukan
dilonggarkan
 Sediakan pendinginan
lingkungan eksternal  Klien diberikan

yang dingin ( kompres air kompres hangat

 Longgarkan hangat/basah) saat demam

atau lepaskan  Menganjurkan


 Klien
pakaian klien tirah baring
mobilisasi tirah
 Lakukan
baring
pendinginan
eksternal
(kompres
dingin/hangat)
3. Edukasi
 Anjurkan tirah
baring

40
Sumber : SDKI (2017), SLKI (2018), SIKI (2019)

M. Discharge Planning
1) Ajarkan dan motivasi pasien untuk merawat luka
2) Edukasi pasien untuk menjaga agar tidak terjadi luka baru
3) Apabila terjadi perlukaan segera ke pelayanan kesehatan
4) Jaga pasien dari benda – benda tajam atau pun benda – benda
yang dapat melukai pasien.
5) Bila terjadi kejang berulang pada pasien, jauhkan pasien dari
benda – benda berbahaya dan cegah agar lidah pasien tidak
tergigit dengan memberi handuk untuk digigit.

BAB III
TINJAUN KASUS

A. Pengkajian

1. Identitas
Nama : Tn. M

Jenis Kelamin : Laki – laki

Tempat/tanggal lahir : Tangerang, 20 januari 1963

Umur : 58 tahun

Alamat : Kp. Candu RT 001/007 Curug Kab.


Tangerang

41
No. RM : 01009710

Pekerjaan : Wiraswasta

Agama : Islam

Kebangsaan : Indonesia

Berat badan : 70 kg

Tinggi badan : 170 cm

Tanggal MRS : 03 April 2021

Tanggal pengkajian : 11 april 2021

Diagnosa Medis : Tetanus, post operasi debridement hari


ke a/i vulnus puntum dan abses
planter pedis, post tracheostomy hari ke,
DM

2. Riwayat Kesehatan Sekarang


Pasien masuk tanggal 3 April 2021 pukul 13.12 WIB dari IGD dengan
keluhan mulut sulit dibuka sejak 3 hari SMRS menjalar ke perut dan di
dada semakin memberat sejak 1 hari SMRS, tampak trismus. pada saat
diruang icu pasien terpasang tracheostomi dan CVC di subcalvicula
dextra, pasien mengeluh dapat membuka mulut sedikit, kaku pada perut
berkurang.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga klien mengatakan bahwa 1 minggu yang lalu pasien tertusuk
paku berkarat pada bagian tumit saat membangun rumah, luka semakin
bengkak dan memerah pada bagian tumit. Info dari keluarga tidak ada
yang menderita tetanus, keluarga mengatakan luka pasien setelah
dibawa ke puskesmas, pasien tidak kontrol kembali, hanya dirawat
dirumah saja.

42
4. Pemariksaan Fisik
a. Keadaan umum : Pasien tampak kaku
b. Kesadaran : Komposmentis dengan nilai GCS :
E4M6VTrackeostomi
c. Tanda – tanda vital :
NIBP : 160/110 mmHg
Heart Rate : 128 x/menit
Temperature : 36,4 0C
Respiratory Rate : 28 x/menit
d. Kardiovasculer
Capillary refill < 3 detik, akral hangat, pulsasi kuat, nadi teraba cepat,
tidak ada bunyi tambahan pada jantung tunggal, S1-Lup dan S2-Dup.
Gambaran diawali dengan Sinus Tachycardi 128 x/menit. Tekanan
darah160/110 mmHg. Pasien terpasang CVC subclavia dextra, nilai CVP
10 mmHg.
e. Respirasi
Inspeksi : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri. Frekuensi
pernafasan 28 x/menit, pasien terpasang tracheostomy
tersambung T mask 6 Lpm

Perkusi : Suara paru sonor

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada trauma thorax, vocal
fremitus sama dikedua lapang paru.

Auskultasi : Suara nafas ronchi di kedua lapang paru

f. Sistem Neurologi
Pasien datang dengan GCS E 4M6V5, ada kontak, pupil 2/2 reaksi cahaya
+/+, terdapat kejang rangsang, terdapat trismus 1 jari, kemampuan
menelan berkurang, kaku kuduk +.
g. Sistem Muskuloskeletal

43
Tampak kaku pada kedua esktremitas, terdapat kaku kuduk, trismus 1 jari
dan perut seperti papan.

Kekuatan otot
5 5
2 2

h. Aktivitas dan Latihan


Dibantu sepenuhnya dalam pemenuhan ADL, mobilisasi dibantu penuh,
pasien tampak tampak kaku jika diberi rangsang dengan aktivitas.
i. Istirahat dan Tidur
Pasien cenderung tertidur dengan posisi head up 450
j. Sistem perkemihan
Terpasang catheter ukuran 18Fr, produksi urine awal 0,5 cc/kgbb/jam
k. Sistem Gastrointestinal
Abdomen teraba kaku, perut seperti papan, tidak ada nyeri tekan pada 4
kuadran abdomen, terdengar thympani pada semua kuadran abdomen,
bising usus terdengar sebanyak 10 x/menit.
l. Psikososial Spiritual
Pasien kooperatif dalam mendukung tindakan keperawatan

m. Sistem integument
Terdapat luka post operasi pada pedis sinistra, keadaan luka tidak ada
rembes

5. Pemeriksaan Penunjang
a) Hasil radiologi pada tanggal 04 April 2021
 Rontgen Thorax : Tidak tampak opasitas maupun konsolidasi
pada kedua paru
Cor dalam batas normal
b) Laboratorium

44
Jenis pemeriksaan Tanggal Nilai Normal
03 – 04- 12 – 04 -
2021 2021
Hematology
Full Blood Count
Hemoglobin 14.60 12.00 13.20 - 17.30 g/dL
Hematokrit 44.60 21.70 40.00 - 52.00 %
Erythrocyte (RBC) 5.12 2.40 4.40 – 5.90 10^6/uL
White Blood Cell 13.79 7.53 3.80 – 10.60
(WBC) 10^3/uL
Differential Count
Basofil 0 1 0–1%
Eosinofil 0 2 1–3%
Band Neutrophil 2 3 2–6%
Segment 80 72 50 – 70 %
Neutrophil
Lymphocyte 12 16 25- 40 %
Monocyte 6 6 2–8%
Platelet Count 583.00 501.00 150.00 – 440.00
10^3/uL
ESR 3 0 – 15 mm/haours
MCV.
MCH.MCHC
MCV 87.10 90.40 80.00 – 100.00 fL
MCH 28.50 50.00 26.00 – 34.00 pg
MCHC 32.70 55.30 32.00 – 36.00 g/dL
PT-APTT
Protombin Time
Control 10.80 9.3 – 12.7 seconds
Patient 11.30 9.4 – 11.3 seconds

45
INR 1.10
APTT
Control 23.50 21.3 – 28.9 seconds
Patient 22.80 23.40 – 31.50
seconds
Biochemistry
Ureum 58.00 <50.00 mg/dL
Creatinine 1.17 0.5 – 1.3 mg/dL
eGFR 68.3 >=60 normal kidney
fuction
Blood Random 247.0 <200 mg/dL
Glucose
Electrolyte
(Na,K,Cl)
Sodium 141 137 137 – 145 mmol/L
Potasium 5.6 3.3 3.6 – 5.0 mmol/L
Chlorida 98 95 98 – 107 mmol/L
SGOT – SGPT
SGOT (AST) 79 0 – 40 U/L
SGPT (ALT) 57 0 – 41 U/L
PCR Negatif

 Kultur Pus ( 04 – 04 – 2021)


- Isolate 1 : Sthaphylococcus aureus

c) Terapi obat

Tanggal Nama obat Rute Dosis

46
07/04/21 Dobutamin Drip 3
micro/kgbb/menit
07/04/21 Morphin Drip 1 mg/jam
07/04/21 Midazolam Drip 0,5 mg/jam
07/04/21 Metronidazole Drip 3 x 500 mg
07/04/21 Ceftriaxone IV 2 x 2 gram
07/04/21 Metoclopamide IV 3 x 10 mg
07/04/21 Omeprazole IV 2 x 40 mg
08/04/21 Lovenox SC 1 x 0,6 ml
08/04/21 Amlodipine PO 1 x 10 mg
08/ 04/21 Lactulac PO 3 x 1C
08/04/21 Paracetamol PO 3 x 1 gram
08/04/2021 Apidra Drip 2 unit/jam
07/04/21 RL Drip 500 ml/ 8jam
Nacl 0,9 % Drip 500 ml/8jam
08/04/21 RL Drip 500 ml/12 jam
10/04/21 Nacl 0,9 % Drip 500 ml / 12 jam

B. ANALISA DATA

Analisa Data Masalah


DS : Pasien tidak dapat dikaji Bersihan jalan nafas tidak efektif
DO : Pasien terpasang tracheostomy
tersambung T mask 6 Lpm RR :
28 x/menit , SPO2 : 99 %, ronchi
+/+ , terdapat slem kental
berwarna putih, reflek batuk tidak
adekuat

47
DS : Pasien tidak dapat dikaji Gangguan mobilitas fisik
DO : Terdapat kaku kuduk, trismus
1 jari
Kekuatan otot
5 5
2 2

DS : Pasien tidak dapat dikaji Risiko Infeksi


DO : Terdapat luka operasi dipedis
sinistra, tertutup verban,keadaan
luka kering terpasang
tracheostomy, rembesan tidak
ada, terpasang CVC, daerah
insersi baik.
Ketidakstabilan gula darah
DS : Pasien tidak dapat dikaji
DO : Hasil Gula darah 191 mg/dl
Terapi Apidra 0,5 unit/jam

Defisit pengetahuan
DS : keluarga pasien mengatakan
pasien tidak kontrol ulang luka
selama dirumah
DO : terdapat luka pada pedis sinistra

48
C. Diagnosa Keperawatan

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi


neuromuscular
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan
otot
3. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
(tracheostomi)
4. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan disfungsi
pankreas

5. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi

D. Rencana Keperawatan

No Tujuan Intervensi
.
Dx
1. Bersihan jalan nafas tidak Observasi:
efektif, setelah dilakukan  Monitor tanda – tanda vital tiap
tindakan keperawatan selama 3 1 jam
x 8 jam dengan kriteria hasil :  Auskultasi suara nafas, catat
batuk efektif, produksi slem adanya suara nafas tambahan
berkurang, pada pemerikasaan  Identifikasi kemampuan batuk
auskultasi memiliki suara nafas  Monitor adanya retensi sputum
jemih, tanda – tanda vital
dalam batas normal Terapeutik :
 Elevasi kepala klien semi

49
fowler/fowler, bantu klien
mengubah posisi agar dapat
bernafas dengan mudah
 Suction sesuai kebutuhan
Kolaborasi :
 Kolaborasi dalam pemberian
terapi O2 T mask 6 Lpm
Edukasi :
 Ajarkan klien nafas dalam dan
batuk efektif
2. Kekuatan otot meningkat, Observasi :
setelah dilakukan tindakan  Monitor tanda – tanda vital tiap
keperawatan selama 3 x 8 jam 1 jam
dengan kriteria hasil :  Identifikasi toleransi fisik
pergerakan ekstremitas melakukan ambulasi
meningkat, kekuatan otot Kolaborasi :
meningkat, tanda – tanda vital  Fasilitasi melakukan mobilisasi
dalam batas normal fisik
 Kolaborasi dengan petugas
fisioterapi untuk mobilisasi
Edukasi :
 Ajarkan ambulasi sederhana,
duduk dikursi roda dan
berjalan.

3. Risiko infeksi, setelah Obsevasi :


dilakukan perawatan selama 3  Monitor tanda – tanda vital tiap
x 8 jam diharapkan tanda – 1 jam

50
tanda vital dalam batas normal,  Monitor tanda dan gejala
tanda – tanda infeksi tidak infeksi lokal, seperti demam,
terjadi, keadaan luka operasi kemerahan, bengkak pada luka
baik operasi
Terapeutik :
 Berikan perawatan kulit pada
area luka operasi
 Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan klien
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian
antibiotik
 Kolaborasi pemeriksaan lab
secara berkala.
Edukasi :
 Cuci tangan sebelum dan
sesudah tindaka
 Edukasi untuk pasien makan
yang banyak.
4. Ketidakstabilan kadar gula Observasi :
darah berhubungan dengan  Monitor kadar gula darah
disfungsi pankreas Terapeutik :
 Monitor tanda dan gejala
hiperglikemia
 Berikan asupan nutrisi
yang sesuai dengan program
diet
Kolaborasi :

51
5. Defisit pengetahuan  Pemberian insulin jika perlu
berhubungan dengan kurang  Identifikasi kesiapan dan
terpapar informasi kemampuan menerima informas
 Sediakan materi dan media
pendidikan kesehatan
 Jelaskan faktor resiko yang
dapat memperngaruhi kesehatan
 Ajarkan perilaku hidup sehat
dan bersih

E. Implementasi

Tanggal Jam No. Implemantasi


DX
12-04- 14.00 1,2,3 Melakukan pengkajian fisik
2021 Hasil : composmentis, GCS E4M6VTrack TD :
130/84 mmHg, HR : 90 x/menit Suhu : 36,8
0
C RR : 24 x/menit, SPO2 : 100%, terpasang
tracheostomi dengan T-mask 6 Lpm,
terdengar suara ronchi dikedua paru kanan
dan kiri, mobilitas tirah baring dengan posisi
head up 45 0
, terdapat trismus 1 jari, perut
papan, diit per NGT dengan nutrisi diit DM
1250 kalori, terpasang CVC disubcalvia
dextra, terpasang catheter, produksi urine
kuning jernih.
15.00 1,2,3 Mengobservasi tanda – tanda vital
Hasil : TD : 134/ 82 mmHg HR : 98 x/menit
RR: 23 x/menit Suhu : 36,5 0C

52
15.00 2 Mengkaji kekuatan ekstremitas dan tonus otot
Hasil : terdapat trismus 1 jari, kaku kuduk,
dan perut papan
Kekuatan otot , klien dapat sedikit
mengangkat tangan dan kaki
5 5
2 2
15.30 1 Mengajarkan klien nafas dalam dan batuk
efektif
Hasil : klien mampu melakukan nafas dalam
dan batuk efektif
16.00 1 Memberikan terapi sesuai IMR
Hasil : metronidazole 500 mg (drip),nebulizer
( bisolvon 2 ml : nacl 0,9%)
16.00 3 Mengkaji tanda – tanda infeksi
Melakukan perawatan luka, mengganti
balutan tracheostomi
Hasil : keadaan luka baik tertutup verban
dibagian pedis sinistra dan luka tracheostomi,
rembesan tidak ada
16.30 1 Memberikan sucion
Hasil : klien dapat batuk efektif saat dilakukan
suction, produksi slem kental, banyak dan
berwarna putih
17.00 4 Melakukan cek gula darah hasil 191 mg/dl
Memberikan terapi insulin 0,5 unit/jam
Memotivasi pasien untuk makan sesuai
program
18.00 5

53
Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang
perilaku hidup sehat dan perawatan luka
setelah pasien pindah ke ruangan atau
kerumah

20.00 1,2,3,4 DX : Bersihan jalan nafas tidak efektif,


gangguan mobilitas fisik, resti infeksi,
ketidakstabilan gula darah, defisit
pengetahuan

S : pasien tidak dapat dikaji


O : kesadaran composmentis, GCS E4M6VTrack,
TD : 128/77 HR : 88 x/menit , Suhu : 36,7 0C,
RR : 22 x/menit, terpasang tracheostomy
tersambung T mask 6 Lpm SPO2 : 100 %,
terdapat trismus 1 jari, terpasang NGT, residu
tidak ada, diet DM 1250 kalori , terpasang
CVC disubclavia dextra tersambung RL 500
ml/8 jam, dobutamin 5 micro/kgBB, morphine
1 mg/jam, midazolam 0,5 mg/jam, suara nafas
ronchi dikedua lapang paru, terpasang
catheter, produksi kuning jernih, terdapat luka
operasi di pedis sinistra. Luka tekan tidak ada
A : 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
2. Gangguan mobilitas fisik
3. Risiko infeksi
4. ketidaksatabilan gula darah
5. Defisit pengetahuan

54
P:
1. Monitor tanda – tanda vital
2. Kolaborasi dalam pemberian terapi 02
3. Ajarkan klien nafas dalam dan batuk
efektif
4. Bantu pengeluaran sputum, bila perlu
suction
5. Kaji kekuatan otot
6. Fasilitasi kebutuhan mobilitas fisik
7. Kaji kemampuan klien untuk
melakukan aktivitas
8. Lakukan perawatan kulit dengan
mengganti balutan luka oleh WCN tgl
12-04-2021
9. Monitor gula darah
10. Edukasi pasien tentang perawatan luka
13-04- 14.00 1,2,3 Melakukan pengkajian fisik
2021 Hasil : composmentis, GCS E4M6VTrack TD :
130/84 mmHg, HR : 90 x/menit Suhu : 36,8
0
C RR : 24 x/menit, SPO2 : 100% dengan T-
mask 6 Lpm, terdengar suara ronchi dikedua
paru kanan dan kiri, mobilitas tirah baring
dengan posisi head up 45 0
, diit per NGT
dengan nutrisi diit DM 1250 kalori, terpasang
CVC disubcalvia dextra, terpasang catheter,
produksi urine kuning jernih.
15.00 1,2,3 Mengobservasi tanda – tanda vital
Hasil : TD : 143/ 86 mmHg HR : 89 x/menit

55
RR: 24 x/menit Suhu : 370C
15.00 3 Mengkaji kekuatan ekstremitas dan tonus otot
Hasil : terdapat trismus 1 jari, kaku kuduk,
dan perut papan berkurang
Kekuatan otot , klien dapat sedikit
mengangkat tangan dan kaki
5 5
2 2
15.30 1 Mengajarkan klien nafas dalam dan batuk
efektif
Hasil : klien mampu melakukan nafas dalam
dan batuk efektif
16.00 1,3 Memberikan terapi sesuai IMR
Hasil : metronidazole 500 mg (drip),nebulizer
( bisolvon 2 ml : nacl 0,9%)
16.30 3 Mengkaji tanda – tanda infeksi
Melakukan perawatan luka, mengganti
balutan tracheostomi
Hasil : keadaan luka baik tertutup verban
dibagian pedis sinistra dan luka tracheostomi,
rembesan tidak ada
17.00 4
Melakukan cek gula darah hasil : 184 mg/dl
Memberikan terapi insulin 0,5 unit/jam
Memberikan diet DM 1250 kalori
18.00 5
Edukasi pasien untuk perawatan luka dan
tracheostomi
Hasil : Pasien mengerti tentang perawatan
luka

56
16.30 1 Memberikan suction
Hasil : klien dapat batuk efektif saat dilakukan
suction, produksi slem kental,banyak dan
berwarna putih
18.00 2 Memfasilitasi klien untuk memenuhi
mobilitas fisik
Hasil : klien bisa berdiri disamping tempat
tidur dibantu sepenuhnya
20.00 1,2,3 DX : Bersihan jalan nafas tidak efektif,
gangguan mobilitas fisik, risiko infeksi,
ketidakstabilan gula darah, defisit
pengetahuan

S : pasien tidak dapat dikaji


O : kesadaran composmentis, GCS E4M6VTrack,
TD : 143/87 HR : 100 x/menit , Suhu : 36,7
0
C, RR : 24 x/menit, terpasang tracheostomy
tersambung T mask 6 Lpm SPO2 : 100 %,
terdapat trismus 1,5 jari, terpasang NGT,
residu tidak ada, diet DM 1250 kalori ,
terpasang CVC disubclavia dextra tersambung
RL 500 ml/8 jam, dobutamin 5 micro/kgBB,
morphine 1 mg/jam, midazolame 0,5 mg/jam,
apidra 0,5 unit/jam, suara nafas ronchi
dikedua lapang paru, terpasang catheter,
produksi kuning jernih, terdapat luka operasi
di pedis sinistra. Luka tekan tidak ada
A : 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
2. Gangguan mobilitas fisik

57
3. Risiko infeksi
4. Ketidakstabilan gula darah
5. Defisit pengetahuan
P:
1. Monitor tanda – tanda vital
2. Kolaborasi dalam pemberian terapi 02
3. Ajarkan klien nafas dalam dan batuk
efektif
4. Bantu pengeluaran sputum, bila perlu
suction
5. Kaji kekuatan otot
6. Fasilitasi kebutuhan mobilitas fisik
7. Kaji kemampuan klien untuk
melakukan aktivitas
8. Lakukan perawatan kulit, dengan
mengganti balutan luka operasi pada
pedis sinitra dan tracheostomy dengan
perawat
9. Monitor hasil gula darah
10. Edukasi pasien dan keluarga tentang
perawtan luka dan tracheostomi
14-04- 07.30 1 Melakukan pengkajian fisik
2021 Hasil : composmentis, GCS E4M6VTrack TD :
122/71 mmHg, HR : 83 x/menit Suhu : 36,8
0
C RR : 22 x/menit, SPO2 : 100% dengan T-
mask 6 Lpm, terdengar suara ronchi dikedua
paru kanan dan kiri, mobilitas tirah baring
dengan posisi head up 45 0
, diit per NGT

58
dengan nutrisi diit DM 1250 kalori, terpasang
CVC disubcalvia dextra,nilai CVP 8 mmHg,
terpasang catheter, produksi urine kuning
jernih.
08.00 1,2,3 Mengobservasi tanda – tanda vital
Hasil : TD : 127/ 74 mmHg HR : 90 x/menit
RR: 24 x/menit Suhu : 37,10C
08.30 3 Mengkaji kekuatan ekstremitas dan tonus otot
Hasil : terdapat trismus 1,5 jari, kaku kuduk
berkurang,
Kekuatan otot , klien dapat sedikit
mengangkat tangan dan kaki
5 5
3 3
09.00 1 Mengajarkan klien nafas dalam dan batuk
efektif
Hasil : klien mampu melakukan nafas dalam
dan batuk efektif saat
10.00 3 Mengkaji tanda – tanda infeksi
Melakukan perawatan luka, mengganti
balutan luka operasi dipedis sinistra dengan
WCN
Hasil : keadaan luka baik tertutup verban
dibagian pedis sinistra, rembesan tidak ada
11.00 4
Melakukan cek gula darah 74 mg/dl
Memberikan diet DM 1250 kalori
12.00 2 Memfasilitasi klien untuk memenuhi
mobilitas fisik

59
Hasil : klien bisa duduk dikursi roda dibantu
sepenuhnya

13.00 DX : Bersihan jalan nafas tidak efektif,


gangguan mobilitas fisik, risiko infeksi,
ketidakstabilan gula darah

S : pasien tidak dapat dikaji


O : kesadaran composmentis, GCS E4M6VTrack,
TD : 133/87 HR : 101 x/menit , Suhu : 36,7
0
C, RR : 25 x/menit, terpasang tracheostomy
tersambung T mask 6 Lpm SPO2 : 100 %,
terdapat trismus 1,5 jari, terpasang NGT,
residu tidak ada, diet DM 1250 kalori ,
terpasang CVC disubclavia dextra tersambung
Nacl 0,9 % 500 ml/8 jam, morphine 1
mg/jam, midazolame 0,5 mg/jam, suara nafas
ronchi dikedua lapang paru, terpasang
catheter, produksi kuning jernih, terdapat luka
operasi di pedis sinistra. Luka tekan tidak ada
A : 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif
2. Gangguan mobilitas fisik
3. Risiko infeksi
P:
1. Monitor tanda – tanda vital
2. Kolaborasi dalam pemberian terapi 02
3. Ajarkan klien nafas dalam dan batuk
efektif
4. Bantu pengeluaran sputum, bila perlu

60
suction
5. Kaji kekuatan otot
6. Fasilitasi kebutuhan mobilitas fisik
7. Kaji kemampuan klien untuk
melakukan aktivitas
8. Lakukan perawatan kulit, dengan
mengganti balutan luka dengan
perawat atau WCN

BAB IV

PEMBAHASAN

A. PENGKAJIAN

Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada pasien TN. M,


maka dapat diberikan penjelasan mengenai persamaan dan perbedaan
antara teori dan kasus pada pengkajian di dapatkan bahwa terdapat
trismus 1 jari, perut papan dan kekakuan otot ekstremitas, menurut

61
Huda (2016), gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari
setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu tetapi kekakuan tetap
bertahan lebih lama. Pemulihan bisa memerlukan waktu 4 minggu,
setelah masa inkubasi.

Didapatkan suara nafas ronchi kedua lapang baru, penggunaan otot


bantuan nafas, klien terpasang tracheostomi. Menurut healthline tetanus
(2017), kejang otot yang parah akibat tetanus juga dapat menyebabkan
komplikasi kesehatan yang serius, seperti: Masalah pernafasan akibat
sesak pita suara ( laryngospasm ) dan kejang otot yang mengendalikan
pernapasan, pneumonia (infeksi paru-paru)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada pasien tn. M, maka


daapt diberikan penjelasan mengenai persamaan dan perbedaan antara
teori dan kasus pada diagnosa keperawatan menurut teori adalah Pola
nafas tidak efektif, gangguan mobilitas fisik,ganguan menelan, risiko
defisit nutrisi, gangguan komunikasi verbal , bersihan jalan nafas
inefektif , risiko infeksi, risiko, hipertermia. Sedangkan diagnosa yang
di dapatkan pada pasien Tn. M adalah bersihan jalan nafas tidak efektif,
gangguan mobilisasi fisik, risiki infeksi, ketidakstabilan gula darah,
defisit pengetahuan.

TD : 130/84 mmHg, HR : 90 x/menit Suhu : 36,8 0C RR : 24


x/menit, SPO2 : 100% dengan T-mask 6 Lpm, terdengar suara ronchi
dikedua paru kanan dan kiri, menurut SDKI ( 2017) bersihan jalan nafas
tidak efektif merupakan ketidak mampuan membersihkan sekreta atau
obstruksi jalan nafas untuk mempertahankan jalan nafas tetap paten
ditandai dengan batuk tidak efektif, sputum berlebih, suara nafas rochi.

62
Hal ini yang mendasari penulis menegakkan diagnosa bersihan jalan
nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuscular

Mobilitas tirah baring dengan posisi head up 45 0


, terdapat
trismus 1 jari, perut papan, kekutan tonus otot menurun 5 5
menurut SDKI (2017) gangguan mobilitas 2 2

fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri, ditandai dengan kekuatan otot menurun,
entang gerak (ROM) menurun. Hal ini yang mendasari penulis
menegakan diagnosa gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan
penurunan kekuatan otot.

TD : 130/84 mmHg, HR : 90 x/menit Suhu : 36,8 0C RR : 24


x/menit, SPO2 : 100%, terpasang tracheostomi dengan T-mask 6 Lpm,
terpasang CVC disubcalvia dextra, terdapat luka operasi debridement
dipedis sinistra, menurut SDKI (2017), risiko infeksi berhubungan
dengan efek prosedur invasive bisa berisiko mengalami peningkatam
terserang organisme patogenik. Hal ini yang mendasari penulis
menegakkan diagnosa risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur
invasif.

Hasil gula darah 191 mg/dl, pasien mendapat terapi apidra 0,5
unit/jam, menurut SDKI (2017), ketidakstabilan gula darah adalah
variasi kadar glukosa darah naik/turun dari rentang normal. Hal ini
yang mendasari penulis menegakkan diagnosa ketidakstabilan gula
darah berhubungan dengan disfungsi pankreas.

Pasien dan keluarga mengatakan kurang paham tentang


perawatan luka, menurut SDKI (2017), edukasi kesehatan adalah
mengajarkan pengelolaan factor resiko penyakit dan perilaku hidup

63
bersih serta sehat. Hal ini yang mendasari penulis menegakan diagnosa
defisit pengetahuan

C. RENCANA KEPERAWATAN

Rencana keperawatan dibuat menurut SLKI ( 2018) yang telah


ditetapkan oleh Rumah Sakit Umum Lippo Village gedung B sesuai
dengan masalah keperawatan yang diambil. Rencana keperawatan
dibuat sesuai dengan analisa data yang diperoleh.

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Intervensi dibuat menurut SLKI (2019) dan SIKI ( 2018) yang


telah ditetapkan oleh Rumah Sakit Lippo Village gedung B sesuai
dengan masalah keperawatan yang diambil. Implementasi dilakukan
sesuai dengan intervensi yang dibuat.

E. EVALUASI

Evaluasi pada Tn. M menunjukkan perbaikan mulai dari


mampu melakukan batuk efektif , suara nafas tambahan berkurang,
mobilisasi mulai dengan duduk diatas kursi roda dibantu, kondisi luka
operasi dan tracheostomi tidak ada tanda – tanda infeksi, pasien
mengerti tentang perawatan luka, gula darah dalam 94 mg/dl dengan
apidra 3x5 unit. Namun, asuhan keperawatan harus tetap dilakukan
untuk mencegah pasien jatuh kedalam kondisi kronis.

64
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot


(spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan
disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin
(tetanoplasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muscular
(neuro muscular jungtion) dan saraf autonom.

Toksin tetanus merupakan zinc – dependent malproteinase yang


targetnya adalah protein protein (sinaptobrevin/ vesicle associated
membrane protein VAMP yang fungsinya untuk pelepasan
neurotransmitter dari ujung saraf melalui sinaps dengan membrane
plasma saraf. Gejala awal infeksi lokal tetanus adalah paralisis flaksid
akibat gangguan pelepasan asetilkolin di saraf otot. Toksin tetanus
memasuki saraf perifer pada myoneural junction (serabut saraf otot) dan
menyebar secara retrograde di akson lower motor neuron (LMN) dan
akhirnya mencapai medulla spinalis. Di tempat ini toksin
ditransportasikan menyebrangi sinaps dan diambil oleh ujung saraf
inhibitor GABA yang mengontrol LMN. Setelah sampai ke saraf
terminal, tetanus toksin akan memecah VAMP sehingga menghambat

65
pelepasan GABA dan glisin yang menyebabkan hiperaktivitas dan
peningkatan aktivitas oto sehingga terjadi rigiditas dan spasme.
Klasifikasi tetanus bervariatif mulai dari derajat ringan sampai berat,
dan dibutuhkan penangan yang cepat agar kondisi tidak menjadi lebih
buruk, penatalaksaan awal bisa diberikan Netralisasi toksin dengan
tetanus antitoksin (TAT), seperti pemberian suntik ATS anti tetanus,
perawatan luka, mengatasi kejang dan spasme, terapi suportif.
Asuhan keperawatan pada Tn M dengan diagnosa medis Tetanus
dilakukan mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan yang muncul
pada kasus Tetanus, intervensi yang akan dilakukan, implementasi dan
evaluasi.

Tahap pengkajian pada Tn M ditemukan data adanya pasien sulit


membuka mulut, terdapat trismus 1 jari, perut tegang, terpasang
tracheostomi dan terdapat ronchi kedua lapang paru, terpasang CVC,
diagnosa yang muncul pada Tn M yaitu bersihan jalan nafas tidak
efektif, gangguan mobilisasi fisik, risiko infeksi, ketidakstabilan gula
darah. Tahap intervensi keperawatan terdiri dari observasi, terapeutik
dan edukasi dengan mengacu pada kriteria hasil yang diharapkan.
Implementasi yang dilakukan antara lain mengidentifikasi pola nafas,
mengidentifikasi batuk efektif, mengidentfikasi tanda dan gejal infeksi,
melakukan perawatan luka, memfasilitasi klien untuk melakukan
ambulasi, melibatkan keluarga dalam mobilisasi klien, memposisikan
pasien semi fowler atau fowler , memonitor hasil gula darah. Evaluasi
dilakukan setelah semua tindakan keperawatan dilakukan selama 3 x 24
jam sedangkan pada intervensi keperawatan penulis merencanakan
tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam.

Dari hasil evaluasi selama 3 x 24 jam dilakukan tindakan keperawatan,


diagnosa keperawatan yang sebagian teratasi adalah mobilitas fisik,

66
bersihan jalan nafas, dan diagnosa yang teratasi adalah risiko infeksi,
ketidakstabilan gula darah, defisit pengetahuan.

B. SARAN

Dengan dibuatnya makalah tetanus ini, diharapkan nantinya akan


memberikan manfaat bagi para pembaca terutama pemahaman yang
berhubungan dengan bagaimana melakukan sebuah proses asuhan
keperawatan terutama pada pasien yang mengalami tetanus.

Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh


dari sempurna, oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifat
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan
makalah ini, dengan demikian penulisan makalah ini bisa bermanfaat
bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkannya.

67
DAFTAR PUSTAKA

Astawa, N. (2015). Tetanus Generalisata dengan Jaringan Nekrotik Digiti III


Pedis Sinistra : Sebuah Laporan Kasus.Udayana

Black, J., Hawks, J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 3.

Fortes, D. (2015). Complication of Tetanus: Report of 402 Cases at the fann


University Hospital Center of Dakar in Senegal. Diambil tanggal 16 Mei dari
http://dx.doi.org/10.4172/2329-891X.1000182

Harum, A. (2014). Dental Caries as a Risk Factor of Tetanus

Hassel, B. (2013). Tetanus: Pathophysiologi, Treatment, and the the possibility


of Using Botulinum Toxin against Tetanus- Induced Rigidity and Rigidity and
Spasms.

Huda, A. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis. Jokjakarta: Medi Action

Ingole, K. V., Mundhada, S. G., Powar, R. M., (2016). Tetanus in Developing


Countries: A Review and Case Series.

Laksmi, N. K. (2014). Penatalaksanaan Tetanus. CDK-222/Vol.41 no 11.

Mori, M., Iida, H., Miki, K., Tsugane, E., Sasaki, M., Nagayama, R., Noguchi,
T., Manabe, H., Ohta, F. & Iimura, Y. (2012). Postoperative tetanus after

68
laparoscopic obturator hernia repair for strangulated ileus: report of a case.
Surg Today 42, 470–474. R. R. Hallit and others 156
Wahyuningemas, 2015, Penatalaksanaan Tetanus [9qgo56oj4mln] (doku.pub),
diambil tanggal 17 mei 2021

69

Anda mungkin juga menyukai