Anda di halaman 1dari 446

ISBN : 978-602-73039-3-5

PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN DASAR 2017

Tema: Inovasi Pembelajaran Menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar

Ende, 2 Desember 2017

Penyelenggara:
Program Studi PGSD Universitas Flores
Jln. Samratulangi-Kelurahan Paupire- Ende
Website: uniflor.ac.id, E-mail:pgsd@uniflor.ac.id
ISBN : 978-602-73039-3-5
Penerbit
Program Studi PGSD Universitas Flores
Alamat: Kampus II Universitas Flores
Jln. Samratulangi, Kelurahan Paupire, Ende, Flores, NTT
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN DASAR 2017

SENADA 2017

Tema: Inovasi Pembelajaran Menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar

Ende, 2 Desember 2017

Penyelenggara:
Program Studi PGSD Universitas Flores
Jln. Samratulangi, Kelurahan Paupire, Ende, Flores, NTT
Website: uniflor.ac.id, E-mail:pgsd@uniflor.ac.id

ii
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN DASAR 2017

Tema:
Inovasi Pembelajaran Menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar

Reviewers:

Prof. Dr. C.Asri Budiningsih, M.Pd


Prof.Stephanus Djawanai, Ph.D., MA
Dr. Laurentius Gadi Djou, Akt
Dr. Sofia Sa’o, M.Pd
Dr. Simon Sira Paji

Editorial:

Gregorius Sebo Bito, S.Pd., M.Pd


Ferdinandus E. Dole, S.Pd., M.Pd
Aurelius Fredimento, S.Fil., M.Th

ISBN: 978-602-73039-3-5
Diterbitkan Oleh :
Program Studi PGSD Universitas Flores

Alamat Redaksi:
Kampus II Universitas Flores
Jln. Samratulangi, Kelurahan Paupire, Ende, Flores, NTT

Makalah yang dipulikasikan dalam Prosiding ini telah dipresentasikan pada Seminar
Nasional Pendidikan Dasar yang diselenggarakan oleh Program Studi PGSD
Universitas Flores Ende pada tanggal 2 Desember 2017.
iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada TYME karena atas karunia-nyalah, Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan Dasar 2017 ini dapat diselesaikan tepat waktu. Prosiding ini merupakan kumpulan
makalah dari para mahasiswa, guru, dan dosen yang dipresentasikan pada Seminar Nasional
Pendidikan Dasar (SENADA) 2017.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi atas
penyelenggaraan Seminar Nasional Pendidikan Dasar 2017 (SENADA 2017) serta para pemakalah
yang makalahnya dimuat dalam buku prosiding ini. Tentu saja, terdapat banyak keterbatasan mulai
proses penerimaan makalah, penyuntingan sampai terbitnya buku prosiding ini. Oleh karena itu,
kritik dan saran membangun bagi penerbitan prosiding seminar yang akan datang akan selalu kami
nantikan.

Ende, 2 Desember 2017


Panitia SENADA 2017

iv
SAMBUTAN DEKAN FKIP UNIVERSITAS FLORES

Bapak/ibu peserta Seminar yang kami muliakan,


Pembaharuan atau perubahan model pembelajaran merupakan sesuatu yang penting dan wajib
dimiliki oleh semua guru/pendidik, karena pembelajaran akan lebih hidup dan bermakna apabila
seorang guru mampu melakukan pembaharuan atau inovasi baru yang dapat memberikan motivasi
kepada peserta didik agar lebih giat dan senang belajar. Pada hakikatnya sifat inovasi itu relative,
dalam arti inovasi yang kita bangun itu barangkali tidak asing bagi orang lain. Tapi perlu diingat;
bahwa bagi seorang guru/pendidik yang setiap hari berinteraksi dengan peserta didik, maka tidaklah
salah kalau terus- menerus melakukan inovasi dalam pembelajaran. Perubahan itu perlu dilakukan
oleh guru/pendidik dengan mencoba menemukan, menggali dan mencari berbagai terobosan baru,
dengan menggunakan metode dan system pembelajaran yang merupakan salah satu penunjang
munculnya inovasi baru yang mencerahkan.
Menjadi guru/pendidik yang menyenangkan adalah impian dari setiap pendidik, juga merupakan
idaman dari peserta didik. Karena dengan menjadi guru yang menyenangkan bagi peserta didik,
maka guru akan lebih mudah dalam menyampaikan suatu pembelajaran dan anak didik pun jadi lebih
senang dalam menerima pelajaran. Seorang guru pada umumnya merujuk pada profesionalisme
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta
didik. Guru yang profesional adalah guru yang mampu menguasai materi pembelajaran secara luas
dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi
yang ditetapkan dalam standar Nasional Pendidikan.
Di pihak lain guru harus mampu menyenangkan peserta didiknya, karena dengan suasana senang
kegiatan belajar akan berjalan lebih efektif. Dalam proses pembelajaran bermutu acuannyapada
kurikulum baik tingkat pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi, karena kurikulum adalah
suatu perencanaan untuk mendapatkan keluaran (out-comes) yang diharapkan dari sesuatu
pembelajaran sehingga tujuan (objectives) pendidikan tercapai. Jadi inovasi pembelajaran harus
dilakukan dengan proses perubahan dan pembaharuan oleh semua guru/pendidik demi meningkatnya
mutu pendidikan.
Ende, 2 Desember 2017

v
SAMBUTAN KETUA PANITIA

Ibu/Bapak, Saudara/I peserta seminar yang kami hormati dan kami banggakan. Salam Sejahtera bagi
kita semua.

Segala puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan berkah-Nya kepada kita semua sehingga kita mempunyai kesempatan
untuk bertemu dan berkumpul bersama dalam acara Seminar Nasional Pendidikan Dasar (SENADA)
dalam keadaan yang sehat. Untuk diketahui bersama bahwa SENADA kali ini merupakan lanjutan
dari SENADA I pada tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Program Studi PGSD Universitas Flores
Ende. Tema dalam SENADA II ini adalah “Inovasi Pembelajaran Menyenangkan di Tingkat
Pendidikan Dasar” dengan tujuan yang jelas yaitu sebagai ajang berbagi informasi mengenai
pembelajaran inovatif dan kreatif baik di tingkat SD maupun SMP; bagaimana merancang proses
pembelajaran yang efektif dan menyenangkan dan akhirnya dapat mengimplementasikannya.
Berkaitan dengan tema tersebut di atas, panitia menghadirkan empat narasumber sebagai
pemakalah utama, yaitu: Prof. Dr. C.Asri Budiningsih, M.Pd dari Universitas Negeri Yogyakarta
(UNY), T. Novi Poespita Candra, M.Si, Psikolog (UGM), Dr.Sofia Sa’o (Uniflor) dan Felix
Welu,S.Pd.,M.Pd (Uniflor). Keempat pemakalah ini akan menyampaikan isi makalahnya dalam sesi
utama. Selain makalah dari tiga pemakalah utama di atas, panitia juga menerima makalah dari
beberapa Instansi di Indonesia untuk dipublikasikan dan akan dipresentasekan dalam sesi paralel.
Dari makalah-makalah yang diterima oleh panitia terdapat pengirim makalah dari Universitas PGRI
Palembang, STKIP PGRI Lubuk Linggau, Universitas Teknologi Yogyakarta, Universitas Negeri
Yogyakarta, Universitas Haluoleo Kendari, SDK Ndona 2, Universitas Nahdlatul Ulama NTB, SDK
Ende 7, SDI Ende 16, STKIP Kusuma Negara Jakarta, Universitas Hamzanwadi Selong NTB, SDK
Sadha, SDI Malanuza, SMPN 5 Bajawa dan Wahana Visi Indonesia (WVI). Seminar ini juga dihadiri
oleh peserta pendengar yang terdiri dari Mahasiswa, Dosen, Guru dan Praktisi dunia pendidikan.
Sebagian besar peserta berasal dari instansi-instansi di Pulau Flores.
SENADA 2017 ini dapat terselenggara berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada
kesempatan ini ijinkan saya mengucapakan terima kasih kepada Ketua Umum Yapertif, Bapak
Rektor Universitas Flores, Dekan FKIP, para pemakalah dan peserta seminar atas partisipasinya,
serta pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Sebagai ketua panitia saya memberikan
penghargaan setinggi-tingginya kepada segenap panitia yang telah bekerja keras demi suksesnya
seminar ini. Kami menyadari bahwa penyelenggara seminar ini masih banyak kekurangan baik dalam
penyajian acara, pelayanan administrasi maupun keterbatasan fasilitas. Untuk itu kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya.
Akhir kata semoga peserta seminar mendapatkan manfaat yang besar dari kegiatan seminar
ini sehingga mampu mewujudkan atmosfer riset yang baik dan budaya riset yang kokoh,
berkelanjutan dan berkualitas sesuai dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Sekian dan terima kasih.
Ende, 2 Desember 2017

vi
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR iv

SAMBUTAN DEKAN v

SAMBUTAN KETUA PANITIA vi

DAFTAR ISI vii

MAKALAH UTAMA (MU)

MU-01 Peningkatan Kualitas Pembelajaran U1-U10


C. Asri Budiningsih

MU-02 Aplikasi Pembelajaran Realistik dalam K-13 untuk Siswa Sekolah Dasar U11-U19
Sofia Sa’o

MU-03 Menggali Sumber Belajar dari Lingkungan Sosial dalam Implementasi U20-U34
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar
Felix Welu

MU-04 Konsep Sekolah Menyenangkan : Pendekatan Holistik Pendidikan Karakter Di U35-U41


Sekolah Indonesia
T. Novi Poespita Candra
MAKALAH PENDAMPING (MP)

MP-01 Penerapan Model Pembelajaran Team Games Tournament Terhadap Hasil Belajar P1-P6
Mahasiswa PGSD pada Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik di Universitas
PGRI Palembang Tahun 2017
Deni Puji Hartona

MP-02 Perlindungan Anak di Lingkungan Keluarga dan Sekolah P7-P11


Maria Purnama Nduru

MP-03 11 Prinsip Efektif Pendidikan Karakter: Rancangan Kebijakan dan Program P12-P27
Model Pendidikan untuk Menanamkan dan Mengimplementasikan Nilai-Nilai
Karakter pada Jenjang Sekolah Dasar
Yohannes Kurniawan Barus

MP-04 Evaluasi Penggunaan Laboratorium IPA (Fisika) pada SMP/MTS di Kabupaten P28-P37
Ende
Melkyanus Kaleka, Adrianus Nasar& Aloisius Harso

MP-05 Membangun Komunikasi Matematika yang Menyenangkan Melalui Pembelajaran P38-P46


Kontekstual
Maria Emanuela Ewo
vii
MP-06 Aktivitas Siswa dalam Mata Pelajaran IPA menggunakan Strategi Pembelajaran P47-P51
Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT)
Soraya Fatmawati1 & Oktavia Hardiyantari

MP-07 Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kompetensi Profesional Guru Terhadap P52-P61
Prestasi Belajar Siswa SMA Muhammadiyah Ende Tahun 2016
Kristianus J. Tute, Lely Suryani & Ariswan Usman Aje

MP-08 Penggunaan Model Think Pair Share (TPS) dalam Meningkatkan Hasil Belajar P62-P67
IPA pada Peserta Didik Kelas VII SMP Negeri Mautenda
Siti Arafat

MP-09 Penggunaan Model Example Non Example Berbantuan Media Gambar untuk P68-P74
Meningkatkan Pemahaman Konsep Pesawat Sederhana pada Siswa Kelas V SDI
Ende 7
Nining Sariyyah & Christina Dhedhu

MP-10 Peningkatan Kompetensi Guru dalam Menggunakan Media Pembelajaran IPA P75-P80
Biologi Melalui Supervisi Akademik di SMPN 5 Bajawa
Nuwa Markus

MP-11 Pengaruh Self Regulated Learning dengan Media Internet Terhadap Prestasi P81-P85
Akademik Siswa Sekolah Dasar (Studi Kasus: SD Negeri 2 Sanden)
Dwi Ratnawati & Vivianti

MP-12 Penggunaan Kartu Huruf dalam Meningkatkan Kemampuan Membaca Permulaan P86-P91
Peserta Didik pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas I SDK Ndona 2
Virgilius Bate Lina & Maria Ana

MP-13 Pengembangan Kreatifitas Belajar Peserta Didik Kelas IV SDI Malanuza melalui P92-P96
Pembelajaran Berbasis Kontekstual dengan Spirit Meda Mazi.
Maria Katarina Ytu & Maria Yosefina Beo

MP-14 Penggunaan Metode Simulasi untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS yang P97-P106
Komprehensif pada Siswa SD/MI
Hadi Wijaya

MP-15 Penerapan Model Pembelajaran Picture and Picture dalam Meningkatkan Hasil P107-P113
Belajar Peserta Didik pada Pembelajaran IPA Kelas IV SDI Ende 15 Kabupaten
Ende
Yuliana Yenita Mete

MP-16 Analisis Kompetensi Guru dalam Penerapan Kurikulum 2013 P114-P118


Yasinta Yenita Dhiki, Maria Waldetrudis Lidi & Ningsih

MP-17 Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa pada Materi Daur Hidup Hewan P119-P124
Melalui Model Picture and Picture di Kelas IV SDI Ende 7
Maria Dima Mbere, Odilya M. N. Raji

viii
MP-18 Analisis Kesulitan Mahasiswa dalam Menyelesaikan Soal-Soal Pemecahan P125-P133
Masalah Materi Geometri
Febriani Rotua Manullang, Jumiati & Nur Andriani

MP-19 Peningkatan Kemampuan Menulis Cerita Melalui Penggunaan Media Gambar Seri P134-P139
pada Peserta Didik Kelas V SDI Ende 16 Kecamatan Ende Tengah Kabupaten
Ende
Aurora Sarmento & Virgilius Bate Lina

MP-20 Penerapan Pendekatan Ilmiah dalam Kurikulum 2013 P140-P148


Elias Beda

MP-21 Penggunaan Media Film Kartun untuk Meningkatkan Kemampuan Menyimak P149-P152
Siswa Kelas IV SDK Wololanu
Yohana Nono BS & Nining Sariyyah

MP-22 Menciptakan Joyfull Learning pada Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar P153-158
Chrisnaji Banindra Yudha

MP-23 Identifikasi Miskonsepsi Mahasiswa Pendidikan Matematika dengan P159-P166


Menggunakan Metode Cri (Certanty Of Response Index) pada Materi Ekologi
Mata Kuliah Biologi
Maria Waldetrudis Lidi, Maria Fatima Mei & Maria Trisna Sero Wondo

MP-24 Penerapan Pendekatan Contextual Teaching & Learning (CTL) pada P167-P173
Pembelajaran IPA Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik Kelas III SDI
Roja 2 Ende
Ainun Jariyah

MP-25 Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match untuk P174-P179
Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik kelas V pada Pembelajaran IPA di SDI
Barai 2 Kecamatan Ende Utara Kabupaten Ende
Adi Neneng Abdullah

MP-26 Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Berbasis Sience, Technology, P180-P190


Engineerning, And Mathematics (STEM)
Devita Cahyani Nugraheny

MP-27 Penerapan model Pembelajaran Carousel Feedback untuk Meningkatkan P191-P197


Motivasi dan Hasil Belajar Siswa (Studi Pembelajaran IPS Siswa Kelas V SDK
Paupire)
Chatarina Novianti

MP-28 Menciptakan Joyful Learning dalam Pembelajaran Bahasa Inggris dengan P198-P202
Penggunaan Lagu dan Musik
Nur Hasanah

MP-29 Sosok dan Perilaku Guru yang Dicintai dan Dirindukan P203-2012
Natsir B. Kotten
ix
MP-30 Mengembangkan Kecakapan Abad 21 di Tingkat Pendidikan Dasar dengan P213-P227
Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
Gregorius Sebo Bito, Maria Vendelina E. Wula

MP-31 Peningkatan Aktivitas Belajar Bahasa Inggris Melalui Model Pembelajaran P228-P233
Kooperatif Tipe Think Pair Share
Yuliani Sepe Wangge

MP-32 Proses Belajar Matematika Berbasis Permainan di Sekolah Dasar P234-P241


Dyah Anungrat Herzamzam

MP-33 Kerjasama Guru Dan Orang Tua dalam Mengatasi Kesulitan Belajar IPS pada P242-P246
Peserta Didik Kelas IV di SDI Magepanda Kecamatan Magepanda Kabupaten
Sikka
Berty Sadipun

MP-34 Pendidikan Berbasis pada kearifan Lokal:Sebuah Tinjauan Kritis dari Pergelaran P247-P256
Budaya Program Studi PGSD Universitas Flores Ende
Gregorius We’u

MP-35 Pengaruh Penggunaan Metode Eksperimen Terhadap Motivasi Belajar IPA P257-P262
Peserta Didik Kelas V SDI Onekore 5 Kecamatan Ende Tengah Kabupaten Ende
Berty Sadipun, Maria Finsensia Ansel & Stefania Uto Werang

MP-36 Suasana Lingkungan Belajar yang Kondusif di Sekolah Dasar P263-P270


Maria Finsensia Ansel

MP-37 Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning dalam P271-P276
Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik pada Mata Pelajaran IPA Kelas IV SDI
Ende 7 Kabupaten Ende
Afi A. Nurdin

MP-38 Kompetensi Pedagogik Guru Bahasa Indonesia Kelas IV Sekolah Dasar Katolik di P277-P292
Kecamatan Ende Tengah Kabupaten Ende
Stefanus Tebajak Henakin & Suharsimi

MP-39 Penanaman Nilai Budaya Lokal (Suku Lio) kepada Peserta Didik Sekolah Dasar P293-P297
Melalui Cerita Rakyat Ine Mbu pada Pembelajaran IPS dengan Menggunakan
Model Pembelajaran Bermain Peran
Siprianus See

MP-40 Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Suku Sasak Lombok Terhadap P298-P306


Penanaman Karakter Budaya
Muh. Yazid1 & Rifaatul Mahmudah

MP-41 Simulasi Kesadaran Berkonstitusi pada Mata Pelajaran Pendidikan P307-P313


Kewarganegaraan di tingkat Pendidikan Dasar sebagai Upaya Meningkatkan Mutu
Pendidikan
Desi Sommaliagustina

x
MP-42 Integrasi Multimedia Interaktif Dalam Pendekatan Realistic Mathematic P314-P326
Education Sebagai Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Fredy

MP-43 Integrasi Pembelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika Menggunakan P327-P333


Konteks dalam Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
Ferdinandus E. Dole & Gregorius Sebo Bito

MP-44 Spirit “Meda Mazi” Sebagai Pendekatan Pembelajaran Kontekstual (Contextual P334-P340
Teaching and Learning)
Petronela Yohana Dhosa, Theresia Pida, Maria Lobo Upe

MP-45 Peningkatan Keterampilan Sosial Peserta Didik Sekolah Dasar dalam P341-P347
Pembelajaran IPS Melalui Model Pembelajaran Kooperatif
Odilya M. N. Raji; Agnes Remi Rando.

MP-46 Relevansi Metode Pendampingan Pastoral Keluarga dalam Mengukuhkan Hakikat P348-P361
Sakramen Perkawinan
Benedikta Boleng

MP-47 Mewujudkan Partisipasi Anak dalam Pendidikan Karakter Kontekstual dengan P362-P370
Spirit Kulababong di Kabupaten Sikka
Debora Dapamerang

MP-48 Modifikasi Sarana Pembelajaran Pada Pendidikan Jasmani Kesehatan Dan P371-P375
Olahraga Di Sekolah Dasar
Aschari Senjahari Rawe

MP-49 Quantum Learning dalam Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Kelas IV di SDI P376-P384
Ekolea Kabupaten Ende
Maria Elfita Nas, Aurelius Fredimento

MP-50 Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams Achievement P385-P392
Division dengan Media Gambar untuk Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa
Indonesia Aspek Berbicara: (Studi Pada Siswa Kelas IV SDNI Wutik, Kecamatan
Koting, Kabupaten Sikka)
Geryani Suryo Moang Kala

xi
PROSIDING

Makalah Utama (MU)-1

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN

Oleh:

C. Asri Budiningsih

(Universitas Negeri Yogyakarta)

Pendahuluan

Pendidikan dipandang sebagai investasi yang strategis bagi pembangunan suatu


bangsa, bahkan menjadi salah satu indikator majunya suatu Negara. Oleh karena itu,
pendidikan menjadi prioritas dalam usaha memajukan bangsa dan negara khususnya di
Indonesia, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Secara jelas ditunjukkan
di dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV pasal
5 (1) bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu”. Berdasarkan bunyi undang-undang tersebut jelas bahwa
siapapun setiap warga Negara berhak mendapatkan pelayanan pendidikan tanpa pandang
bulu. PP RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan juga ditegaskan
bahwa pada hakekatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai
fungsi: (1) pemersatu bangsa, (2) penyamaan kesempatan, dan (3) pengembangan potensi
diri. Pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesai (NKRI), memberi kesempatan yang sama bagi setiap warga negara
untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan memungkinkan setiap warga negara untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses pendidikan harus mencakup: (1)
penumbuh-kembangan keimanan, ketakwaan, (2) pengembangan wawasan kebangsaan,
kenegaraan, demokrasi, dan kepribadian, (3) penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, (4) pengembangan, penghayatan, apresiasi, dan ekspresi seni, serta (5)
pembentukan manusia yang sehat jasmani. Maka pendidikan nasional yang bermutu
diarahkan untuk mengembangkan potensi seluruh peserta didik sebagai warga bangsa ini
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.
Pendidikan juga dipandang sebagai proses untuk menghasilkan perubahan pada diri
peserta didik sebagai suatu tataran mikro, perubahan lingkungan terdekat sebagai tataran
meso, dan perubahan pada skala yang lebih besar pada tataran makro (Yuliana Murniati,
2017). Oleh sebab itu, pendidikan seharusnya kontekstual dengan perkembangan kondisi
lingkungan dan masyarakat baik lokal, nasional,regional bahkan global. Pendidikan harus
mampu merespons fenomena yang berkembang di masyarakat.
Kondisi yang sedang menggejala saat ini adalah terutama perkembangan teknologi
yang begitu pesat, proses kerja yang jauh lebih efisien, kompetisi yang tinggi di dunia
kerja dengan munculnya lapangan pekerjaan baru yang akan menggeser
pekerjaan-pekerjaan tradisional. Sejumlah profesi disinyalir akan berubah wujud dan
kemungkinan hilang karena kuatnya perkembangan teknologi. Produk-produk teknologi
tidak lagi sekedar mampu membantu meringankan pekerjaan manusia, bahkan mampu
menggantikan peran manusia. Dunia pendidikan berhadapan dengan kekuatan teknologi,
suatu proses kerja yang jauh lebih efektif dan efisien bahkan lebih menarik yang melanda
di semua sektor pasar kerja. Jika kondisi demikian tidak diantisipasi maka akan terjadi
kesenjangan yang lebar antara dunia pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan
industri serta lapangan kerja.
Pendidikan harus berkualitas untuk menghasilkan lulusan yang mampu menghadapi
dinamika perkembangan masyarakat dan teknologi yang begitu pesat. Di satu sisi
teknologi mampu digunakan untuk membantu menyelesaikan berbagai masalah, di sisi
lain merupakan tantangan yang sangat besar bagi dunia pendidikan untuk
bertransformasi. Pendidikan harus dikelola untuk menghasilkan lulusan yang memiliki
kecakapan yang dibutuhkan di abad 21, yaitu mampu belajar dan berinovasi, berfikir
kritis dan mampu memecahkan masalah, memiliki kreativitas serta mampu
berkomunikasi dan berkolaborasi. Peserta didik harus menguasai literasi digital meliputi
literasi informasi, literasi media dan literasi teknologi. Peserta didik memiliki kecakapan
hidup yaitu fleksibilitas dan adaptabilitas, inisiatif dan mandiri, mampu berinteraksi
lintas sosial budaya, produktifitas dan akuntabilitas serta sikap kepemimpinan dan
tanggung jawab. Di samping hal-hal tersebut, peserta didik harus kuat karakter moralnya,
seperti cinta tanah air, memiliki nilai-nilai budi pekerti luhur, jujur, adil, empati,

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


2
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

penyayang, rasa hormat dan kesederhanaan, pengampun, rendah hati, dan lain-lain. Guna
mencapai semua tujuan tersebut diperlukan pendidikan dan pembelajaran yang
berkualitas.
Konsep Kualitas Pembelajaran

Konsep kualitas pendidikan merupakan salah satu unsur paradigma dalam


pengelolaan pendidikan di Indonesia. Paradigma tersebut mengandung atribut pokok,
yaitu relevan dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, pengguna lulusan,
perkembangan ipteks, memiliki suasana akademik (academic-atmosphere) dalam
penyelenggaraannya, adanya komitmen kelembagaan (institutional commitment) dari
para pimpinan dan staf terhadap pengelolaan organisasi/lembaga yang efektif dan
produktif, dan keberlanjutan (sustainability), serta efisiensi program secara selektif
berdasarkan kelayakan dan kecukupan. Dimensi-dimensi tersebut mempunyai
kedudukan dan fungsi yang sangat strategis untuk merancang dan mengembangkan usaha
penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi kualitas pada masa kini dan yang akan
datang.

Dari berbagai pengertian yang ada, kualitas pendidikan diartikan sebagai kemampuan
lembaga pendidikan/sekolah untuk menghasilkan "...better students’ learning capacity”
sangatlah tepat. Dalam pengertian itu terkandung pertanyaan seberapa jauh semua
komponen masukan instrumental ditata sedemikian rupa, sehingga secara sinergis
mampu menghasilkan proses, hasil, dan dampak belajar yang optimal. Yang termasuk
masukan instrumental yang berkaitan langsung dengan "better students’ learning
capacity" adalah pendidik, kurikulum dan bahan ajar, iklim pembelajaran, media belajar,
fasilitas belajar dan materi belajar. Sedangkan masukan potensial adalah peserta didik
dengan segala karakteristiknya seperti kesiapan belajar, motivasi, latar belakang sosial
budaya, bekal ajar awal, gaya belajar, serta kebutuhan dan harapannya.

Dari sisi pengajar/guru, kualitas dapat dilihat dari seberapa optimal guru mampu
memfasilitasi proses belajar peserta didik. Sementara itu dari sudut kurikulum dan bahan
belajar kualitas dapat dilihat dari seberapa luwes dan relevan kurikulum dan bahan
belajar mampu menyediakan aneka stimuli dan fasilitas belajar secara berdiversifikasi.
Dari aspek iklim pembelajaran, kualitas dapat dilihat dari seberapa besar suasana belajar
mendukung terciptanya kegiatan pembelajaran yang menarik, menantang,

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


3
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

menyenangkan dan bermakna bagi pembentukan kompetensi lulusan. Dari sisi


media/sumber-belajar belajar, kualitas dapat dilihat dari seberapa efektif
media/sumber-sumber belajar digunakan oleh guru untuk meningkatkan intensitas belajar
peserta didik. Dari sudut fasilitas belajar, kualitas dapat dilihat dari seberapa kontributif
fasilitas fisik terhadap terciptanya situasi belajar yang aman dan nyaman. Sedangkan dari
aspek materi, kualitas dapat dilihat dari kesesuaiannya dengan tujuan dan kompetensi
yang harus dikuasai peserta didik.

Oleh karena itu, kualitas pembelajaran secara operasional dapat diartikan sebagai
intensitas keterkaitan sistemik dan sinergis pengajar/guru, peserta didik, kurikulum dan
bahan belajar, media, fasilitas, dan sistem pembelajaran dalam menghasilkan proses dan
hasil belajar yang optimal sesuai dengan tuntutan kurikuler, kebutuhan masyarakat dan
perkembangan ipteks.

Kriteria Kualitas Pembelajaran

Secara konseptual kualitas perlu diperlakukan sebagai dimensi kriteria yang berfungsi
sebagai tolok ukur dalam kegiatan pengembangan kompetensi, baik yang berkaitan
dengan usaha penyelenggaraan lembaga pendidikan/sekolah maupun kegiatan
pembelajaran di kelas. Hal ini diperlukan karena beberapa alasan berikut;

1. Lembaga pendidikan/sekolah akan berkembang secara konsisten dan mampu


bersaing di era teknologi, informasi dan globalisasi dengan meletakan aspek kualitas
secara sadar dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran.

2. Kualitas perlu diperhatikan dan dikaji secara terus menerus, karena substansi kualitas
pada dasarnya terus berkembang secara interaktif dengan tuntutan dan kebutuhan
masyarakat serta perkembangan teknologi.

3. Aspek kualitas perlu mendapat perhatian karena terkait bukan saja pada kegiatan
sivitas akademika dalam lingkungan sekolah, tetapi juga pengguna lain di luar
sekolah sebagai "Stake-holders”, serta pengembangan potensi diri peserta didik
sebagai manusia.

4. Suatu bangsa akan mampu bersaing dalam percaturan internasional jika bangsa
tersebut memiliki keunggulan (Excellence) yang diakui oleh bangsa-bangsa lain.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


4
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

5. Kesejahteraan masyarakat dan/atau bangsa akan terwujud jika pendidikan dibangun


atas dasar keadilan sebagai bentuk tanggung jawab sosial masyarakat bangsa yang
bersangkutan.

Secara kasat mata indikator kualitas pembelajaran dapat dilihat antara lain dari
perilaku pembelajaran pendidik/guru, perilaku dan dampak belajar peserta didik, iklim
pembelajaran (learning climate), materi pembelajaran, media pembelajaran, dan sistem
pembelajaran.

1. Perilaku pembelajaran guru dapat dilihat dari kinerjanya; a) Membangun persepsi dan
sikap positif peserta didik terhadap belajar. b) Menguasai disiplin ilmu berkaitan
dengan keluasan dan kedalaman jangkauan substansi dan metodologi dasar keilmuan,
serta mampu memilih, menata, mengemas dan merepresentasikan materi sesuai
kebutuhan peserta didik. c) Agar dapat memberikan layanan pendidikan yang
berorientasi pada kebutuhan peserta didik, guru perlu memahami keunikan setiap
individu peserta didik dengan segenap kelebihan, kekurangan, dan kebutuhannya.
Memahami lingkungan keluarga, sosial-budaya dan kemajemukan masyarakat tempat
peserta didik berkembang. d) Menguasai pengelolaan pembelajaran yang mendidik
berorientasi pada peserta didik tercermin dalam kegiatan merencanakan,
melaksanakan, serta mengevaluasi dan memanfaatkan hasil evaluasi pembelajaran
secara dinamis untuk membentuk kompetensi peserta didik yang dikehendaki. e)
Mengembangkan kepribadian dan keprofesionalan sebagai kemampuan untuk dapat
mengetahui, mengukur, dan mengembang-mutakhirkan kemampuannya secara
mandiri.

2. Perilaku dan dampak belajar peserta didik dapat dililiat dari kompetensinya untuk; a)
Memiliki persepsi dan sikap positif terhadap belajar, termasuk di dalamnya persepsi
dan sikap terhadap mata pelajaran, pengajar, media dan fasilitas belajar, serta iklim
belajar. b) Mau dan mampu mendapatkan dan mengintegrasikan pengetahuan dan
ketrampilan serta membangun sikapnya. c) Mau dan mampu memperluas serta
memperdalam pengetahuan dan ketrampilan serta memantapkan sikapnya. d) Mau dan
mampu menerapkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikapnya secara bermakna. e)
Mau dan mampu membangun kebiasaan berpikir, bersikap dan bekerja produktif. f)

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


5
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Mampu menguasai substansi bidang studinya. g) Mampu menguasai materi ajar mata
pelajaran dalam kurikulum sekolah/satuan pendidikan sesuai dengan bidang studinya.

3. lklim pembelajaran mencakup; a) Suasana kelas yang kondusif bagi tumbuh dan
berkembangnya kegiatan pembelajaran yang menarik, menantang, menyenangkan dan
bermakna bagi pembentukan kompetensi peserta didik. b) Perwujudan nilai dan
semangat ketauladanan, prakarsa, dan kreatifitas pendidik/guru. c) Suasana sekolah
dan tempat berpraktek yang kondusif bagi tumbuhnya penghargaan peserta didik
terhadap belajar dan kinerjanya.

4. Materi pembelajaran yang berkualitas tampak dari; a) Kesesuaiannya dengan tujuan


pembelajaran dan kompetensi yang harus dikuasai peserta didik serta kebutuhan dan
tuntutan masyarakat. b) Ada keseimbangan antara keluasan dan kedalaman materi
dengan waktu yang tersedia. c) Materi pembelajaran sistematis dan kontekstual. d)
Dapat mengakomodasikan partisipasi aktif peserta didik dalam belajar semaksimal
mungkin. e) Dapat menarik manfaat yang optimal dari perkembangan dan kemajuan
bidang ilmu, teknologi, dan seni. f). Materi pembelajaran memenuhi kriteria filosofis,
profesional, psiko-pedagogis, dan praktis.

5. Kualitas media pembelajaran/sumber belajar tampak dari; a) Dapat menciptakan


pengalaman belajar yang bermakna. b) Mampu memfasilitasi proses interaksi antara
peserta didik dan guru, antara sesama peserta didik, serta peserta didik dengan ahli
bidang ilmu yang relevan. c) Media pembelajaran dapat memperkaya pengalaman
belajar peserta didik. d) Melalui media pembelajaran, mampu mengubah suasana
belajar dari peserta didik pasif dan guru sebagai sumber ilmu satu-satunya, menjadi
peserta didik aktif berdiskusi dan mencari informasi melalui berbagai sumber belajar
yang ada.

6. Sistem pembelajaran di sekolah mampu menunjukkan kualitasnya jika; a) Sekolah


dapat menonjolkan ciri khas keunggulannya, memiliki penekanan dan kekhususan
lulusannya, responsif terhadap berbagai tantangan secara internal maupun eksternal. b)
Memiliki perencanaan yang matang dalam bentuk rencana strategis dan rencana
operasional sekolah, agar semua upaya dapat dilaksanakan secara sinergis oleh seluruh
komponen sistem pendidikan di sekolah tsb. c) Ada semangat perubahan yang
dicanangkan dalam visi dan misi sekolah yang mampu membangkitkan upaya kreatif

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


6
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

dan inovatif dari semua sivitas akademika melalui berbagai aktivitas pengembangan.
d) Dalam rangka menjaga keselarasan antar komponen sistem pendidikan di sekolah,
pengendalian dan penjaminan mutu perlu menjadi salah satu mekanismenya.

Strategi Pencapaian Kualitas

Untuk mencapai kualitas pembelajaran dapat dikembangkan antara lain menggunakan


strategi sebagai berikut; Di tingkat kelembagaan sekolah, 1) perlu dikembangkan
berbagai fasilitas kelembagaan dalam membangun sikap, semangat, dan budaya
perubahan. 2) Peningkatan kemampuan pembelajaran para guru dapat dilakukan melalui
berbagai kegiatan profesional secara periodik dan berkelanjutan, misalnya sekali dalam
setiap semester yang dilaksanakan oleh masing-masing sekolah sebelum awal setiap
semester dimulai. 3) Peningkatan kemampuan pembimbingan profesional guru bagi para
guru pamong melalui berbagai kegiatan profesional di sekolah secara periodik, misalnya
MGMP, KKG, bekerja sama dengan dinas pendidikan setempat. 4) Peningkatan kualitas
dengan menggiatkan kegiatan kolaborasi dengan PT, sekolah lainnya. Kolaborasi ini
berlaku pula dengan asosiasi profesi lain yang relevan, misalny PGRI.

Dari pihak individu pengajar/guru secara operasional hal yang terkait pada kinerja
profesional guru adalah; 1) Melakukan perbaikan pembelajaran secara terus menerus
berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas (PTK) atau catatan pengalaman kelas
dan/atau catatan perbaikan. 2) Mencoba menerapkan berbagai model pembelajaran yang
relevan untuk pembelajaran. 3) Para guru perlu dirangsang untuk membangun sikap
positif terhadap belajar, yang bermuara pada peningkatan kualitas proses dan hasil belajar
peserta didik. Untuk itu perlu dikembangkan berbagai diskursus akademis antar guru
dalam menggali, mengkaji dan memanfaatkan berbagai temuan penelitian dan hasil
kajian konseptual untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Dengan cara itu guru
secara perseorangan dan kelompok akan selalu didorong dan ditantang untuk selalu
berusaha tampil beda dan unggul (striving for excellence). 4) Komunitas guru yang penuh
dengan diskursus akademis dan profesional dengan nuansa kesejawatan yang berorientasi
pada peningkatan kinerja yang unggul tersebut akan memiliki dampak ganda. Di satu sisi
komitmen dan kompetensi pendidik/guru akan selalu terjaga dan terpelihara, di sisi lain
para siswa akan mendapatkan tauladan nyata yang menjadikannya sebagai cermin

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


7
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

keunggulan (mirror of excellence). Diskursus akademis dan pedagogis peserta didik dan
guru di sekolah akan memberikan peserta didik pengalaman langsung atau hands-on
experience yang bermanfaat dalam menjalankan tugasnya secara profesional.

Strategi-strategi di atas perlu ditata dan dilaksanakan secara sistematik dan sistemik,
oleh karena itu, strategi apapun yang digunakan diperlukan kegiatan sebagai berikut; 1)
Penggunaan empat langkah bersiklus yang mencakup kegiatan merencanakan,
mengerjakan, memeriksa dan mengambil langkah-langkah untuk memacu proses
pembelajaran. 2) Penggunaan data empirik dan kerangka konseptual untuk membangun
pengetahuan, mengambil keputusan, dan menentukan efektivitas perubahan tingkah laku.
3) Prediksi dan perbaikan penampilan selanjutnya secara artikulatif. 4) Penggunaan
pendekatan bersiklus dan terrencana. Dengan kata lain dapat dilakukan sebagai alur
kegiatan adalah:

1. Merencanakan perbaikan proses (PLAN).

2. Mengerjakan perbaikan (DO).

3. Memeriksa proses dan hasil perbaikan (CHECK)

4. Menganbil langkah-langkah memacu proses perbaikan (ACT)

Implementasi Total Quality Management (TQM) di bidang pendidikan sangat


mengedepankan kualitas dan efisiensi. Pimpinan lembaga pendidikan (sekolah) dapat
membagi struktur organisasi menjadi tiga bagian fungsional, yaitu Quality control (QC),
Quality assurance (QA), dan Quality management (TQM). Ketiga bagian ini memiliki
tanggung jawab yang berbeda sesuai dengan posisi dan jabatan masing-masing dalam
lembaga pendidikan/sekolah yang bersangkutan. Quality control adalah bagian penting
pertama yang dapat difungsikan sebagai lini terdepan yang langsung berinteraksi dengan
peserta didik. Tanggung jawab kontrol kualitas ini dapat diserahkan fungsinya kepada
semua tenaga pengajar (guru). Quality assurance memiliki posisi yang dapat difungsikan
untuk bertanggung jawab atas apa yang dikerjakan oleh pelaku quality control. Mereka
adalah para pemimpin madya yang ada di setiap sekolah. Mereka dapat keluar masuk dan
berinteraksi dengan para pelaku di tingkat quality control guna meningkatkan kualitas
layanan. Quality management memiliki tingkatan managerial paling tinggi. Oleh sebab

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


8
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

itu yang bertanggung jawab terhadap manajemen kualitas ini adalah para pimpinan di
tingkat Dinas kabupaten/kota yang langsung berkaitan dengan peningkatan mutu
pendidikan.

Hal penting untuk mendukung pencapaian kualitas pembelajaran adalah:

1. Adanya visi, misi, tujuan dan rencana operasional yang fleksibel sebagai rujukan
dalam pengembangan program-program pendidikan

2. Pemanfaatan sumber daya profesional secara optimal.

3. Penerapan sistem ganjaran berdasarkan kinerja (merit system).

Sumber bacaan
Ditjen Dikti. 2003. Higher Education Long-Term Strategy 2003-2010. Jakarta:Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi
Dit P2TK-KPT. 2005. Pendidikan Profesi. Jakarta: Dit P2TK-KPT Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi.
Tim PKP. 2011. Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Jakarta: Dit P2TK-KPT Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi.
Johanis Ohoitimur. 2017. Era Disrupsi: Ancaman bagi perkembangan ilmu pengetahuan
dan peluang bagi lembaga PT. Medan: Studi APTIK
Joyce,B. dan M. Weil. 1972. Models of Teaching. New York: Prentice-Hall.
Juliana Murniati. 2017. Era Disrupsi: tantangan dan peluang bagi PT anggota APTIK.
Medan: Studi APTIK
Marzano, R.J. 1992. A Different Kind of Classroom: Teaching with Dimensions of
Learning. Alexandria, VA: Association of Supervision and Curriculum
Development.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 19 tahun 2005
Raka Joni, T. 2006. Program Hibah Kompetisi PGSD 2006 Revitalisasi Pendidikan
Profesional Guru Menuju Relevansi. Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.
Raka Joni, T. Kelompok peduli pendidikan guru UM. 2007. Prospek Pendidikan
Profesional Guru Di bawah naungan UU No 14 tahun 2005. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Sarlito Wirawan S. 2002. Optimalisasi Kecerdasan Ganda dalam Era Informasi dan
Globalisasi. Yogyakarta: PPS UNY
Suparno, P. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


9
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tim Khusus PGSD, 2007. Revitalisasi Pendidikan Profesional Guru:Naskah Akademik.


Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


10
PROSIDING

Makalah Utama (MU)-2

APLIKASI PEMBELAJARANREALISTIK DALAM K-13 UNTUK SISWA SEKOLAH


DASAR

Sofia Sa’o
Universitas Flores Ende
E-mail: saosofia@yahoo.co.id

Abstrak.

Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah, pemerintah menuntut agar setiap sekolah


menjalankan pembelajaran dengan menggunakan K-13. Model pembelajaran diarahkan agar
menggunakan model Saintifik. Hal ini dengan harapan agar dapat meningkatkan mutu pendidikan
anak bangsa setara dengan pendidikan yang berada pada negara-negara lain di dunia.Model
saintifik dapat diterapkan melalui pendekatan realistik yang membawa pelajaran disekolah
kepada dunia nyata siswa.Materi pelajaran dipandang sebagai kegiatan manusia sehari-hari
sehingga masalah-masalah dalam kehidupan merupakan bagian yang esensial untuk
dipelajari.Sekolah sebagai Pembina generasi muda penerus bangsa harus benar-benar
menanamkan modal dasar pendidikan yang mencakup 3 aspek kehidupan manusia yaitu afektif,
kognitif dan psikomotor.Keberhasilan 3 aspek tersebut tidak serta merta diaraih oleh siswa jika
tidak dibina dan dibiasakan dari siswa sekolah dasar.Penanaman nilai-nilai kearifan untuk
mencapai sumber daya manusia yang utuh, dibutuhkan ketelatenan, keuletan dan kebiasaan yang
mendukung terbentuknya manusia berintelektual dan berkarakter.

PENDAHULUAN

Berdasarkan data hasil belajarpada setiap mata pelajaran UN (Ujian Nasional) dari
siswa SD untuk 5 tahun terakhir di Kabupaten Ende, masih sangat rendah (Dinas P & K
Kabupaten Ende, 5017). Hal ini dikarenakan pembelajaran di sekolah yang belum realistik untuk
siswa SD. Pembelajaran yang mungkin terlampau abstrak dan umum untuk tingkat pengetahuan
siswa usia Sekolah Dasar. Hal lain ditambah dengan pembelajaran yang masih didominasi oleh
guru sehingga keterlibatan siswa sangat kurang. Siswa mungkin hanya pendengar yang setia,
terjadinya aktifitas siswa jika diminta untuk menyelesaikan soal-soal latihan dan soal
lainnya.Faktor ini tidak dipungkiri lagi, karena walaupun pergantian kurikulum sering dilakukan
pemerintah, tetapi para pelaku dalam hal ini adalah guru yang telah terbiasa mentalnya akan sulit
untuk mengubah diri mengikuti perkembangan baru dan tuntutan kurikulum. Guru merasa sangat
benar dengan kebiasaan yang sering dilakukannya di kelas, ditambah dengan model pembelajaran
yang digunakan dirasakan baik oleh guru tersebut, maka ia pasti tidak akan serta merta mengikuti
pola baru yang diusulkan oleh kurikulum. Atau mungkin bahkan guru malas mengikuti
perkembangan model baru yang disiapkan pemerintah.Sehingga tidak heran banyak keluhan guru
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

yang terjadi pada saat pemerintah mewajibkan pelaksanaan pembelajaran sesuai pedoman
Kurikulum 2013.

Banyak sekolah yang menolak pemberlakuan sistem kurikulum 2013. Ada guru yang
mengatakan bahwa sistem kurikulum ini belum cocok dengan kondisi siswa di daerah kita ini
(Ende) karena siswa akan berbuat semaunya, sesukanya, siswa akan gaduh, kelas akan ramai
namun tidak ada aktifitas belajar, ada juga yang menyatakan siswa hanya bisa bermain, dan tidak
akan belajar. Proses penilaian terlalu sulit untuk setiap siswa dengan berbagai aspek
penilaian.Keluhan-keluhan seperti inilah yang membuat prestasi sekolah tidak maju.Dengan
demikian timbul pertanyaan dari peneliti, Apakah yang dibuat guru dengan tuntutan kurikulum
seperti itu?Apakah yang dibuat guru dengan kondisi siswa seperti itu?Apakah guru hanya sebagai
pengamat/pendengar saja?Bukankan dalam K-13 tergambarkan dengan jelas bahwa Langkah
pembelajaran dari pembukaan hingga penutup proses pembelajaran Guru, menyampaikan salam
pembuka, Apersepsi, pengantar materi, motivasi awal. Selanjutnya Siswa: Mengamati,
menanya, menalar, mencoba, Bekerja dengan penuh kreatif baik dalam kelompok maupun secara
individu siswa.Saat siswa bekerja guru bertindak sebagai motifator, vasilitator dan sekaligus
sebagai pengamat/pemberi nilai kegiatan pembelajaran.Kemudian Guru: memberikan Simpulan,
motivasi akhir, pengayaan dan Salam penutup.Sebelum proses pembelajaran guru harus
menyiapkan perangkat pembelajaran seperti Program Tahunan (prota), Program Semester
(promes), silabus, RPP, LKS, Kisi-kisi soal, dan pedoman penilaian.

Usaha peningkatan hasil pembelajaran yang dilakukan pemerintah terus


dijalankan.Salah satunya dengan memperlakukan semua sekolah menjalankan pembelajaran
menggunakan Kurikulum 2013 (K-13). Model pembelajaran Kurikulum 2013menuntut guru
untuk melaksanakan pembelajaran menggunakanmodelSaintifikdengan bentuk tematik,

Di Kabupaten Ende, yang melaksanakan K-13 untuk SMA baru 10 sekolah, dengan tingkat
kelas adalah kelas I dan II, sedangkan kelas III belum ada, Untuk SMP di Kabupaten Ende baru
20 sekolah, sedangkan untuk SD tahun ini sudah semua sekolah diwajibkan menggunakan K-13.
Untuk seluruh sekolah belum bisa dilaksanakan, karena berbagai alasan di atas.Sekolah-sekolah
yang melaksanakan K-13 baru untuk beberapa kelas ataupun tingkatan kelas dengan nama uji
coba. Sedangkan kita tahu, bahwa Pemerintah tetap mewajibkan pemberlakuan pelaksanaan K-13
untuk setiap sekolah secara nasional.Memang setiap tahun sejak penerapan K-13 ada beberapa
revisi yang terjadi, seperti Revisi tahun 2015, revisi tahun 2016 dan revisi tahun 2017. Semua itu
terjadi hanya semata-mata untuk menyesuaikan sistem pendidikan dengan karakter bangsa
Indonesia. Revisi dilaksanakan untuk mempermudah guru menerapkan sistem Kurikulum, bukan
untuk membandingkan K-13 dengan Kurikulum sebelumnya atau bahkan bukan untuk

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


12
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

meniadakan K-13 dan beralih ke kurikulum lain. K-13 ini sistemnya sudah mendunia, jadi
pemerintah berharap bahwa masyarakat pendidik di Indonesiapun akan melaksanakan sistem
yang sama dalam dunia pendidikan seperti Negara-negara lain .

K-13 memandang pendidikan sebagai persaingan dunia dan tantangan masa depan
yaitu:

Globalisasi dan Masalah lingkungan hidup, Kemajuan teknologi informasi, Ekonomi


berbasis pengetahuan, Kebangkitan industri kreatif dan budaya dan Mutu, investasi dan
transformasi pada sektor pendidikan.Disamping itu juga ada kompetensi masa depan
yaitu:Kemampuan berkomunikasi, Kemampuan berpikir jernih dan kritis, Kemampuan
mempertimbangkan segi moral dan menjadi warga negara yang bertanggungjawab, Kemampuan
hidup dalam masyarakat yang mengglobal, Memiliki kesiapan untuk bekerja, Memiliki
kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya dan Memiliki rasa tanggungjawab terhadap
lingkungan

Persiapan Indonesia dari tantangan masa depan, persaingan dunia dan kompetensi masa
depan, maka Indonesia mencanangkan untuk 100 tahun Indonesia merdeka. tahun 2045, sebagai
masyarakat generasi Emas, Masyarakat yang tidak takut bersaing, dan tidak ketinggalan dalam
segala hal. Insan Indonesia yang: Produktif, Kreatif, Inovatif, Afektif melalui penguatan Sikap,
Keterampilan, dan Pengetahuan yang terintegrasi.

PEMBAHASAN

Kurikulum 2013

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum 2013 mengembangkan dua faktor yakni
tantangan internal dan tantangan eksternal.Tantangan internal dikaitkan dengan 8 standar
Nasional Pendidikan dan usia produktif masyarakat Indonesia yang menuntut Sumber Daya
Manusia (SDM) yang berkompetensi dan berketerampilan.Tantangan eksternal, terkait dengan
arus globalisasi dan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan
industri kreatif, budaya, dan perkembangan pendidikan di tingkat internasional serta pergeseran
kekuatan ekonomi dunia.Secara umum, kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan
manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang
beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


13
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Kurikulum 2013 dikembangkan dengan landasan filosofis yang memberikan dasar bagi
pengembangan seluruh potensi siswa menjadi manusia Indonesia berkualitas yang tercantum
dalam tujuan pendidikan nasional.Kurikulum 2013 kita akan menghasilkan insan Indonesia yang:
produktif, kreatif, inovatif, afektif; melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang
terintegrasi. Dalam hal ini, pengembangan kurikulum difokuskan pada pembetukan kompetensi
dan karakter peserta didik, berupa paduan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat
didemostrasikan peserta didik sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya
secara kontekstual. Kurikulum

2013 memungkinkan para guru menilai hasil belajar peserta didik dalam proses

pencapaian sasaran belajar, yang mencerminkan penguasaan dan pemahaman

terhadap apa yang dipelajari. Oleh karena itu, peserta didik perlu mengetahui

kriteria penguasaan kompetensi dan karakter yang akan dijadikan sebagai standar

penilaian hasil belajar.

Pelaksanaan Pembelajaran sesuai K-13

1. Sumber

a. Konsep kurikulum: Seimbang antara hardskill dan softskill, dari Standar Kompetensi
Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian.

b. Buku yang dipakai : -berbasis kegiatan (Activity base) Tematik terpadu.

2.Proses Pembelajaran.

Kurikulum 2013 mengamanatkan pembelajaran menggunakan Model


saintifik.Terdapatlima kegiatan utama di dalam proses pembelajaran yaitu:

a. Mengamati

Mengamati dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan mencari informasi, melihat,
mendengar, membaca, dan atau menyimak.

b. Menanya

Menanya untuk membangun pengetahuan peserta didik secara faktual, konseptual, dan
prosedural, hingga berpikir metakognitif, dapat dilakukan

melalui kegiatan kerja kelompok, dan diskusi kelas.

c. Mencoba

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


14
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Mengumpulkan informasi, untuk meningkatkan keingintahuan siswa dalam mengembangkan


kreatifitas, dapat dilakukan melalui membaca, mengamati aktivitas, kejadian atau objek
tertentu, memperoleh informasi, mengolah data, dan menyajikan hasilnya dalam bentuk
tulisan, lisan, atau gambar.

d. Mengasosiasi

Mengasosiasi dapat dilakukan melalui kegiatan menganalisis data, mengelompokan, membuat


kategori, menyimpulkan, dan memprediksi/mengestimasi.

e. Mengkomunikasikan

Mengomunikasikan adalah sarana untuk menyampaikan hasil konseptualisasi dalam bentuk


lisan, tulisan, gambar/sketsa, diagram, atau grafik, dapat

dilakukan melalui presentasi, membuat laporan, dan/ atau unjuk kerja.

3. Proses penilaian

Proses penilaian yang mendukung kreativitas siswa melalui: tugas yang tidak hanya memiliki
satu jawaban benar, mentolerir jawaban yang mendekati, menekankan pada proses bukan
hanya hasil saja, mengaitkan pengetahuan dengan kejadian,

Untuk mencapai model pembelajaran yang diamanatkan K-13 tersebut, guru harus pandai
menggunakan pendekatan pembelajaran yang sesuai sehingga amanat tersebut bisa berjalan
sesuai harapan.Pembelajaran harus mengakrabkan siswa dengan lingkungan sekitarnya.Masalah
yang digunakan harus kontekstual sebagai titik awal dalam pembelajaran.Salah satu pendekatan
pembelajaran yang menekankan hal tersebut adalah pembelajaran realistik.

Pendekatan Pembelajaran Realistik

Pendekatan pembelajaran realistik mulanya hanya digunakan untuk pembelajaran


matematika, yang dikenal dengan Pembelajaran matematika realistik atau Realistic Mathematics
Education (RME)yaitu sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan
Freudenthal di Belanda.Namun Dalamproses pembelajaran, sesuai dengan karakteristik
pembelajaran realisti, maka penulis mencoba untuk menggunakan pendekatan realistikpada
semua mata pelajaran di tingkat sekolah Dasar sesuai dengan pelaksanaan K-13.

Langkah-langkah pendekatan pembelajaran realistik adalah


1) Memberikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
2) Mendorong siswa menyelesaikan masalah , baik individu maupun kelompok.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


15
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

3)Memberikan masalah yang lain pada siswa, tetapi dalam konteks yang sama setelah diperoleh
beberapa langkah dalam menyelesaikan masalah tersebut.
4)Mempertimbangkan cara dan langkah yang ditempuh menyelesaikan masalah
5) Menugaskan siswa untuk menyelesaikan permasalahan lainyang berkaitan.
Arah pembelajaran realistik
a) Siswa membangun sendiri pengetahuannya, maka siswa tidak lupa akan apa yang sedang
dipelajarinya.
b)Suasana pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas kehidupan, sehingga siswa
tidak bosan untuk belajar
c) Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka, karena siswa ada nilainya.
d) Memupuk kerjasama dalam kelompok.
e) Melatih keberanian siswa karena siswa harus menjelaskan jawabannya.
f) Melatih kebiasaan berpikir siswadan mengemukakan pendapat dengan kreatif.
g) Mendidik budi pekerti.
Pembelajaran realistik sejalan dengan tuntutan K-13 yang mensyaratkan para siswa aktif
dan kreatif. Proses pembelajaran realistik membawa siswa pada dunia nyata dalam kehidupan
mereka sehari-hari untuk dijadikan topik masalah pembelajaran dan menemukan solusi
penyelesaiannya dengan cara-cara yang kreatif dan inovatif. Pendekatan Pembelajaran Realistik
adalah pembelajaran yang menggunakan masalah kontekstual sebagai titik awal proses
pembelajaran sesuai dengan prinsip dan karakter Relisitik.Pembelajaran realistik dapat berlaku
untuk semua mata pelajaran di sekolah.Sedangkan masalah kontekstual yang dimaksudkan
adalah masalah-masalah nyata atau konkrit yang berada disekitar lingkungan siswa dan dapat
diamati, dialami dan dibayangkan langsung oleh siswa. Dengan demikian pembelajaran akan
lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran yang lainnya. Berikut digambarkan
siklus pembelajaran realistik.

Real Worlds

Reflection on learning learning application

Abstraction and Formalization


Gambar 1Modifikasi konseptual realistik (de Lange,
1987)

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


16
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Berdasarkan gambar dapat dijelaskan bahwa: Pada awal pembelajaran siswa diminta
untuk memikirkan masalah-masalah sederhana dari dunia nyata keseharian siswa. Kaitkan
masalah–masalah yang memungkinkan siswa melakukan kegiatan yang mengarah kepada
pembentukankonsep. (misalnya konsep 1) setelah konsep 1 diperoleh mungkin diteruskan kepada
konsep 2, yang dibangun dengan konsep 1. Pencapaian konsep 1 dan seterusnya dimungkinkan
untuk dilakukan dengan berbagai cara berbeda oleh siswa melalui kegiatan informal materi
pelajaran. Selanjutnya kegiatan diarahkan agar siswa dapat membangun konsep utama yang
menjadi tujuan pembelajaran. Kesimpulan dapar diarahkan agar hasil proses pembelajaran
menjadi bahan refleksi dalam kehidupan sehari-hari siswa, sehingga pembelaran dapat
bermakna. Dari uraian di disimpulkan bahwa pembelajaran realistik dicirikan oleh beberapa hal
antara lain:

1. Materi pelajaran dipandang sebagai kegiatan manusia sehari-hari sehingga masalah-masalah


dalam kehidupan merupakan bagian yang esensial.
2. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep materi pelajaran dibawah
bimbingan guru sesuai tema yang diangkat.
3. Proses pembelajaran berlangsung secara interaktif dari contoh nyata masuk kepada
pemodelan absrtaksi (contoh sesuatu yang lebih abstrak yaitu menulis sebuah pantun/puisi
sesuai aturan, menuliskan suatu persamaan dalam matematika 2x + 4 = 10, atau
menyebutkan bunyi hukum Neuwton, dan sebagainya).
4. Kesimpulan pembelajaran dapat diterapkan siswa dalam kehidupannya.
5. Aktifitas yang dilakukan siswa meliputi; memahami masalah-masalah kontektual yang
sesuai topik materi, memecahkan masalah dan menyimpulkan suatu konsep atau prosedur.

Pembelajaran realistikpada ilmu sosial tidak dimulai dengan membaca, atau


mendengarkan cerita dan pada ilmu eksakta tidak dimuali dengan definisi, teorema atau
rumus-rumus, seperti kebiasaan yang terjadi di sekolah – sekolah kebanyakan.Namun semua
konsep pembelajaranakan ditemukan sendiri oleh siswa dari proses pemecahan masalah nyata/
kontekstual secara perlahan siswa mencoba untuk mengembangkan pengetahuan kearah yang
lebih formal. Menurut De Lange (Muzzakir,2010) Pembelajaran realistik adalah : “proses
pengembangan konsep-konsep dan ide–ide pembelajaran dimulai dari dunia nyata (termasuk
pengalaman dan pengetahuan siswa) masuk dalam pembelajaran untuk dipahami dan dilakukan
siswa dalam kelasyang mungkin akan menghasilkan cara-cara yang berbeda antara siswa yang
satu dengan siswa yang lainnya dan akhirnya dikembalikan ke alam nyata kehidupan siswa.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


17
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Kegiatan pembelajaran berdasarkan K-13 dengan pendekatan realistik.

Dalam kurikulum 2013 penekanan pembelajaran diarahkan menggunakan model


pembelajaran saintifik dengan 4 langkah pembelajaran seperti yang sudah dijelaskan di atas, dan
juga langkah-langkah pembelajaran realistik sesuai paparan di atas, maka penulis
mengkolaborasikan keduanya menjadi 5 langkah pembelajaran dapat dilaksanakan di kelas yaitu:

1. Mengamati
Kegiatan yang dilakukan adalah siswa diberikan kesempatan untuk menyajikan iyang
diperolehnya atau yang dialaminya sesuai dengan tema pembelajaran berupa
masalah-masalah atau persoalan-persoalan yang terjadi baik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat yang diperolehnya melalui melihat, mendengar, membaca, dan atau menyimak.

2. Menanya
Berdasarkan informasi-informasi yang sudah dikumpulkan kemudian guru
mengklasifikasikan/mengelompokan informasi-informasi yang mirip/hampir sama untuk
diberikan sebagai bahan diskusi kepada masing-masing kelompok diskusi kelas dengan
bahan diskusi setiap kelompok berbeda.

3. Mencoba
Hasil diskusi kelompok dari pemecahan masalah dapat dipresentasikan/disajikan dalam
bentuk tulisan, lisan ataupun berbentuk gambar yang lebih kreatif untuk memupuk
keberanian siswa tampil di kelas.

4. Mengorganisasikan
Hasil presentasi dianalisis oleh guru bersama siswa untuk dibuatkan konsep-konsep
sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dan dapat disimpulkan

5. Menerapkan
Kesimpulan hasil pembelajaran dapat diarahkan agar menjadi bahan refleksi dalam
kehidupan siswa sehingga pembelajaran yang dilaksanakan di kelas menjadi bermakna dan
berguna untuk kehidupan siswa.

PENUTUP

Pendekatan pembelajaran realistik sangat sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013 yang
mengamanatkan bahwa pembelajaran di sekolah diharapkan mengaktifkan siswa untuk belajar
sehingga apa yang dipelajari lebih diingat oleh siswa karena siswa belajar berdasarkan
pengalaman hidupnya sehari-hari dan dapat dikembangkan untuk mengerti dan memahami tujuan
pembelajaran di sekolah.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


18
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

REFERENSI

Chandra, T. Tavip, dkk.2016. Modul Pelatihan Kurikulum 2013 Tahun 2016 Mata Pelajaran
Fisika. Jakarta: Kemdikbud
Dinas PPO Kabupaten Ende. 2017. Data Kelulusan siswa Sekolah tahun 2012-2016. Ende, 2017
Direktorat PSMA.2014. Model Pembelajaran; Pendekatan Saintifik dalam Mata Pelajaran
(Bahasa Inggris, Biologi, dll). Jakarta: Kemdikbud
De Lange, J. 1987. Mathematics Insight and Meaning. Ultrecht: OW & OC
Fadlun, Syarifah. 2002. Pembelajaran Matematika Realistik Pokok Bahasan Pecahan di SD
Muhammadiyah 4 Surabaya. Tesis, PPS UNESA Surabaya
Gravemeijer, K.P.E. 1994. Depeloping Realistic Mathematics Education. Utrecht: CD-b Press.
Kemdikbud. 2016.Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016
tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemdikbud
Kemdikbud. 2016.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian
Pendidikan. Jakarta: Kemdikbud Kemdikbud.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti
dan Kompetensi Dasar. Jakarta: Kemdikbud Lasmanawati, Ati, dkk. (2016).
Modul Pelatihan Kurikulum 2013 Tahun 2016 Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Kemdikbud
Siswanto, dkk. 2016. Modul Pelatihan Kurikulum 2013 Tahun 2016 Mata Pelajaran Kimia.
Jakarta: Kemdikbud.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


19
PROSIDING

Makalah Utama (MU)-3

MENGGALI SUMBER BELAJAR DARI LINGKUNGAN SOSIAL DALAM


IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DI SEKOLAH
DASAR

Felix Welu

Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Flores

Abstrak

Lingkungan sosial merupakan sumber belajar yang sangat kaya bagi pembelajaran ilmu
pengetahuan sosial. Apa bila dalam pembelajaran tradisonal guru lebih banayak mengandalkan
sumber tertulis berupa buku teks dan di ceramahkan kembali di kelas maka pemanfaatan sumber
dari luar kelas (lingkungan sosial) melalui berbagai strategi akan dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran pengetahuan sosial. Tulisan ini berisi pemikiran mengenai strategi investigasi
sosial (social investigation ) dalam pembelajaran IlmuPengetahuan Sosial sebagai bagian dari
implementasi kurikulum IPS melalui pendekatan naturalistik inquiri yang menekankan pada
aktivitas pesertadidik sebagai peneliti dan pusat kegiatan dalam mengumpulkan informasi dari
lingkungan sosial. Strategi ini bukan hanya berangkat dari upaya pemberdayaan guru yang
selama ini terbelenggu dalam struktur pembelajaran tradisional melainkan juga dari masalah
sosisal yanga dihadapi oleh para siswa dan menempatkan mereka sebagai bagian dari masalah
serta pemecahan masalah sosisal itu sendiri.
Kata Kunci: Lingkungan Sosial

PENDAHULUAN

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) lingkungan diartikan sebgai bulatan
yang melingkungi (melingkari). Pengertian lainnya yaitu sekalian yang terlingkung di suatu
daerah. Dalam kamus Bahasa Inggris peristilahan lingkungan ini cukup beragam diantaranya ada
istilah circle, area, surroundings, sphere, domain, range, dan environment, yang artinya kurang
lebih berkaitan dengan keadaan atau segala sesuatu yang ada di sekitar atau sekeliling. Dalam
literatur lain disebutkan bahwa lingkungan itu merupakan kesatuan ruang dengan semua benda
dan keadaan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya serta makhluk hidup
lainnya. Lingkungan itu terdiri dari unsur-unsur biotik (makhluk hidup), abiotik(benda mati) dan
budaya manusia. (https://variedzzz.wordpress.com/2017/05/11/lingkungan-sebagai-media-pe../)

Pada hakikatnya anak belajar sambil bermain, oleh karena itu pembelajaran pada anak
didik di jenjang sekolah dasar masih perlu ada unsure bermain walaupun bobotnya tidak sebesar
pendidikan bagi anak usia dini. Aktivitas bermain merupakan bagian dari proses pembelajaran
oleh karena itu, sesuai dengan karakteristik pesertadidik didik yang bersifat aktif dalam
melakukan berbagi eksplorasi terhadap lingkungannya, maka pembelajaran masih diarahkan pada

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pengembangan dan penyempurnaan potensi kemampuan yang dimiliki peserta didik.


(http://dhoeache.blogspot.com/2017/11/manfaat-lingkungan-sebagai-media.html)

Lingkungan sosial merupakan sumber belajar yang sangat kaya bagi pembelajaran ilmu
pengetahuan sosial. Apa bila dalam pembelajaran tradisonal guru lebih banayak mengandalkan
sumber tertulis berupa buku teks dan di ceramahkan kembali di kelas maka pemanfaatan sumber
dari luar kelas (lingkungan sosial) melalui berbagai strategi akan dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran pengetahuan sosial. Tulisan ini berisi pemikiran mengenai strategi investigasi
sosial (social investigation ) dalam pembelajaran IlmuPengetahuanSosial sebagai bagian dari
implementasi kurikulum IPS melalui pendekatan naturalistik inquiri yang menekankan pada
aktivitas pesertadidik sebagai peneliti dan pusat kegiatan dalam mengumpulkan informasi dari
lingkungan sosial. Strategi ini bukan hanya berangkat dari upaya pemberdayaan guru yang
selama ini terbelenggu dalam struktur pembelajaran tradisional melainkan juga dari masalah
sosisal yanga dihadapi oleh para siswa dan menempatkan mereka sebagai bagian dari masalah
serta pemecahan masalah sosisal itu sendiri (Supriatna, 2002:159)

IMPLEMENTASI KURIKULUM IPS SD DAN MENGGALI SUMBER BELAJAR

Secara tradisional, implementasi kurikulum dapatdi definisikan sebagai proses


penyampaian materi kurikulum dari guru kepada pesertadidik. Implementasi juga berarti proses
pembelajaran. Dengan definisi tersebut, guru di pandang sebagai pengadopsi (adopter),
pengenbangan dan pencipta kurikulum sehinggaterjadinya proses pembelajaran dengan cara
menggali, mengolah dan menyampaikan materi kepada siswa yaang berasal dari berbagai
sumber. Implementasi bukan hanya berarti mengikut dan menerapkan dokumen kurikulum
melainkan juga pengembangan pengelaman belajar yang didasarkan atas pengetahuan yang digali
melalui proses interaksi dengan peserta didik. Jadi, implementasi (kurikulum 2013)
ilmupengetahuansosial, guru berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan para peserta didik
tidak hanya belajar dari dokumen kurikulum yang ada termaksud dari buku teks melainkan juga
dari sumber lain seperti lingkungan sosial- budaya tempat mereka berada. Tentu saja, menjadi
guru yang memiliki kompetensi yang menguasai bidang ilmunya, metode pembelajaran,
pemahaman peserta didik dan kemampuan meningkatkan profesinya juga sangat penting dalam
mengimplementasikan kurikulum berbasis kompetensi. Dengan kompetensi yang dimilikinya,
guru ilmupengetahuansosialdapat menfasilitasi para peserta didik dalamkegiatan belajardengan
cara menggali berbagai sumber dari lingkungan setempat termaksud mengangkat isu-isu sosial
komtemperor sehingga pada akhirnya para peserta didik tidak hanya memiliki ketrampilan dalam
melalukan analisis, menciptakan dan menggunakan berbagaisumber dari lingkungan setempat
melainkan juga mengambil keputusan terhadap beragam pilihan dan alternatif budaya setempat.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


21
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Salah satu kelemahan dalam pembelajaran pengetahuan sosial termaksud


ilmuPengetahuansosialdi sekolahdasaradalah pelajaran ini terlalu menekankan pada strategi
ceramah dan ekspositori atau transfer of knowledge yang menjadi guru sebagai pusat kegiatan
belajar mengajar. Guru sebagai pengembangan kurikulum di tingkat implementasi di ruang kelas
kurang peka terhadap perkembangan masyarakat sehingga materi pembelajaran sering kali lepas
dari konteks dan situasi nyata dalam lingkungan sosial pesertadidik. Peranan guru dalam
mengembangkan kurikulum sangat besar antara lain dapat dilakukan dengan memilih pendekatan
pembelajaran serta materi pembelajaran yang bersumber pada lingkungan sosial. Schubert, ,
1996: 245)

Salah satu cara untuk menjadikan pembelajaran ilmupengetahuansosialberkualitas adalah


memilih pendekatan pembelajaran, yaitu meningkatkan pendekatan pembelajaran tradisional ke
pendekatan moderen yang lebih menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar, sedengkan
guru hanya berperan sebagai fasilitator. Di antara pendekatan moderen tersebut adalah inquiri
dengan menggunakan strategi investigasi sosialterhadap sumber belajardari lingkungan sosial
siswa serta masalah-masalah sosial yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.

Masalah-masalah sosial – yang dihadapi oleh para siswa yang sangat jarang di bawah
oleh guru ke ruang kelas sebagai bahan pembelajaran atau wacana diskusi kelas, idak terbatas
jumlahnya. Masalah-masalah sosial tersebut sangat erat kaitannya dengan tuntutan kurikulum
pada pembelajaran ilmupengetahuansosialserta terkait pula dengan kehidupan sehari-hari.
Masalah-masalah sosial tersebut dapat dilihat dari beberapa paragraf di bawah ini dapat di
temukan dalam dokumen kurikulum (ilmupengetahuansosial)

Pertama, menurunya semangat nasionalisme, meningkatnya semangat kedaerahan serta


etnosentrisme yanag di tandai dengan konflik yang bersifat SARA (suku,agam,ras, dan antar
golongan) berupa kekerasan dan pertikaian fisik, melemahnya kebanggaan sebagai bangsa dan
lemahnya ikatan atau kohesi sosial diantara masyarakat yang dialamibangsakitaselamaini.
Masalah yang mengancam bangsa yang sedang di landa krisis multidimensional ini yang
mungkin akan berujung ke arah gerakan disentegrasi yang
sedangterjadibelakanganinisepertigerakan Papua merdeka (OPM). Tuntutan kurikuler
pelajaran ilmupengetahuansosialserta sejarah tentang profil lulusan sosial sekolah yang
memiliki kompetensi dalam memahami kemajuanbudaya bangsa, pewirasan nilai-nilai luhur
budaya bangsa, nasionalisme atau rasa kebangsaan serta peran warga negara dalam
menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan demokrasi seperti mendapat “berkah” berupa
sejumlah masalah yang dapat memperkaya bahan pelajaran/kajian di dalam kelas sekaligus
pertanyaan besar mengenai tercapainya tuntutan kurikuler ilmu pengetahuan social

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


22
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

(Supriatna, 2002:246). Masalah ini terdapat dalam Kurikulum 2013 ilmu pengetahuan social
di kelas IV, V dan VI diantaranya mengenai keragaman Suku bangsa dan budaya Indonesia
dan permasalahan sosial, serta Indonesia pada era globalisasi dan dampak positif serta
negative terhadap kehidupan bangsa Indonesia.

Kedua, menurunnya kualitas lingkungan hidup yang terkait dengan perilaku manusia
serta norma yang tidak di patahi. Dalam skala kecil, masyarakat tidak toleran dengan
lingkungan sekitarnya dengan di tandai dengan membuang sampah tidak pada tempatnya dan
kaum kapitalis pemilik pabrik yang membuang linbah ke sungai merupakan contoh ketidak
pedulian sosial yang akan berakibat pada menurunnya kualitas hidup. Demikian juga dalam
skala makro, kebijakan negara diwakili oleh elit politik pengambil keputusan yang
mengeluarkan kebijakan eksploitasi sumber daya alam untuk mengejar devisa yang berakibat
pada kerusakan lingkungan, menarik untuk dikaji. Masalah tersebut terkait dengan perilaku
manusia yang mengutamakan kepentingan masa kini dan mengabaikan kepentingan bangsa
untuk masa depan. Masalah-masalah ini terkait antara lain dengan pelajaran
ilmupengetahuansosialdan geografi yang secara kurikuler mengingingkan para
pesertadidiknyadapat mengambil manfaat dari pengalaman masa lalu untuk kepentingan masa
kini dan mendatang, serta hidup hemat dan produktif serta mencintai lingkungan hidupnya
(Somantri, 2001:248). Dalam Kurikulum ilmu pengetahuan social SD, kelas IV mengenai
kenampakan alam dan pengaruhnya terhadap keragaman social budaya, Sumber daya alam
dan pemanfaatannya, dan Kelas V tentang Kenampakan alam di Indonesia (Persebaran flora
dan fauna di Indonesia) masalah ini terdapat pada materi perilaku menyimpang dan
pengendalian sosial.

Ketiga,konsumerisme terhadap produk industri untuk memenuhi kebutuhan skunder


merupakan masalah sosial. Konsumerisme memang merupakan perilaku yang dituntut dalam
masyarakat yang industrialis. Akan tetapi,apabila konsumerisme tidak diikuti dengan etos
kerja keras, produktif serta hemat maka masyarakat yang dilanda oleh budaya konsumerisme
seperti itu hanya akan menjadi korban dari kapitalisme atau globalisasi yang dikendalikan
kaum kapitalis yang menguasai jaringan informasi. Materi ini terdapat dalam rumusan
Kurikulum 2013 tentangAktivitasekonomi di masyarakatdanperkembanganteknologi di kelas
IV.

Para pesertadidik di sekolahsebagai generasi muda Indonesiatermasuk bagian dari


kelompok masyarakat yang konsumtif dan dengan demikian, merka merupakan bagian dari
masalah sosial. Gaya hidup mereka terbentuk melalui pesan-pesan budayayang diceritakan
oleh tokoh-tokoh pujaan yang mereka lihat melalui televisi, film holywood, majalah populer

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


23
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

dan internet serta media lainnya.Apapun yang dipakai,dikonsumsi dan dicetarikan oleh tokoh
idola di mass media, cepat atau lambat akan diikuti oleh mereka. Iklan produk-produk industri
di media masa,terutama televisi,telah membantu perilaku konsumtif masyarakat. Masalah
besar yang dihadapi bangsa Indonesia di area reformasi adalah meningkatkan produktifitas
serta kualitas sumber daya manusia yang masih rendah dibandingkan negara negara Asia
Tenggara. Pertanyaannya besar yang harus diinvestigasi oleh guru dan siswa dalam proses
belajar mengajar ilmupengetahuan sosial apakah bangsa Indonesia dapat bersaing dan bekerja
sama dan aktif diarea global kelak dalam kondisi masyarakatnya yang konsumtif serta sumber
daya manusianya yang rendah?

Pelajaran ilmu pengetahuan sosial harus mampumengkaji realitas sosial dan dihadapi
oleh para pesertadidik. Para peserta didik hendaknya diajak berpikir kritis dan difasilitasi
untuk menginventivigasi pertanyaan-pertanyaan seperti berikut: Mengapa sebagian bangsa
Indonesia lebih menggemari produk luar negri daripada produk lokal dengan jenis dan kualitas
yang sama? Mengapa kensenjagaan sosial di negara berkembang seperti Indonesia yang
menjunjung tinggi gotong royong sangat menonjol dibandingkan negara-negara industri yang
liberal dan kapitalis? Mengapa kebanayakan orang kaya gemar mempertontonkan
kekayaaannya di tengah-tengah sebagian besar masyarakat Indonesia? Mengapa Indonesia
yang masyarakatnya agraris menjadi salah satu negara importir terbesar barang-barang hasil
pertanian? Bagaiamana cara meningkatkan produktifitas serta kerja keras dan hemat
masyarakat Indonesia? Bagaimana cara menjadi konsumen, serta pertanyaan-pertanayaaan
kritis lainya yang menggugah pesertadidik untuk melakukan investigasi (Hasan, 1996:304).

Keempat,masalah kriminalitas dan korupsi merupakan masalah sosial.Seperti halnya


negara-negara berkembang lainnya.Tingkatan kriminalitas dan korupsi di Indonesia sangat
tinggi. Hal ini terkait dengan masalah kemiskinan,kesenjagaan sosial ekonomi, menurunnya
moral dalam masyarakat serta perubahan sistem politik dan ekonomi negara. Kriminalitas dan
korupsi bukan hanya terkait dengan kejahatan fisik melainkan juga kejahatan sosial dan
politik. Secara fisik orang dapat dikatakan kriminal apabila melakukan pencurian,
pembunuhan, pemerkosaan serta kejahatan fisik lainya. Demikian juga seseorang secara sosial
politik dapat dikatakan melakukan kejahatan kriminal apabila dengan kuasanya dia
mengeluarkan aturan yang menguntungkan diri dan kelompoknya serta merugikan kelompok
lainya.Dengan demikian seseorang yang serta menyalahgunakan kekuasaan dapat dikatakan
kriminal serta korup yang mungkin jumlah yang dikorupsinya jauh lebih besar dan bahkan
jauh lebih kriminal dibandingkan dengan kejahatan fisik.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


24
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Misalnya, pasar sebagai sebuah institusi dan sistem sosial semua mengenal pasar,
dapat diinvestigasi tidak hanya melalui pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial melainkan juga
pelajaran lain. Pelajaran ilmuPengetahuanSosialdapat mengkaji pasar dari sisi budaya dan
perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya, relasi sosial antara penjual dan pembeli,
perilaku konsumen, motivasi produsen, konflik yang ditimbulkan oleh kesenjangan antara
harapan dengan kenyataan dan lain-lain. Pelajaran sejarah terkait dengan konsep sejarah
pertumbuhan pasar, konsep merkantilisme, kapitalisme, revolusi industri, serta perkembangan
masyarakat yang terkait dengan upaya memenuhi kebutuhan barang konsumen sepanjang
masa. Pelajaran ekonomi dapat menginvestigasi lingkungan pasar dengan menengkankan
pada aspek kelangkaan, laba rugi, konsumen, produsen permintaan dan lain-lain yang terkait
dengan lingkungan pasar terdekat siswa serta konsep pasar yang abstrak. Sedangakan
pelajaran kewarganegaraan terkait dengan konsep prilaku konsumen yang baik, perilaku
penjual yang memperhatikan aturan norma hukum yang berlaku, etos kerja keras, semangat
entrepreneurship yang diperlukan untuk menguasai pasar pada masa yang akan datang dan
lain-lain. Pelajaran Ilmu PengetahuanSosial SD terkait dengan lokasi, jarak, distribusi dan
migrasi. Lingkungan sosial, jarak tempuh antara lokasi pasar dengan konsumen, mobilitas
manusia yang terkait dengan sumber ekonomi pasar, distribusi barang yang menempuh jarak
antara pusat produksi dengan daerah konsumen merupakan garapan
ilmuPengetahuanSosialSD di kelas IV dankelas V tentangAktivitasekonomi di masyarakat.

INVESTIGASI LINGKUNGAN SOSIAL

Pendekatan inqiuri dalam proses pembelajaran sos-antrop dan pengembangan


pengetahuan oleh para siswa dilakukan melalui investigasi sosial terhadap lingkungan
sosialnya sebagai sumber belajar. Dalam pendekatan yang dilakukan secarah emansipatoris
ini, siswa di pandang sebagai pserta belajar dan pengembangan pengetahuan (knowledge) dan
memiliki status yang equal atau mitra dengan guru. Model yang disebut Naturalistik Inquari
dari Lincold dan Guba ini dikembangkan dalam proses pembelajaran IPS dan sos-antrop
melalui alat pengumpulan data seperti pertanyaan/wawancara terhadap sumber belajar,
observasi terhadap realitas sosial dan lain-lain. Guru dapat mengembangkan model ini untuk
mengfalitas siswa sebagai subjek belajar dan bukan objek yang menerima pengetahuan dari
guru dalam pembelajaran IPS. Kegiatan investigasi sosial tidak hanya relevan dengan materi
mengenai penelitian sosial budaya di kelas 3 melainkan semua materi pada semua kelas.

Terdapat tiga langkah yang harusdi tempuh oleh guru dan pesertadidikdalam melakukan
investigasi sosial terhadap lingkungan masyarakat dengan segalah permasalahannya seperti

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


25
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

diuraikan di atas sebagai sumber belajar. Ketiga langkah prosuder investigasi sosial
ditawarkan oleh Helen McDonald (1996:135-162)) sebagai beriikut:

1) Merumuskan apa yang akan diinvestigasi


2) Proses atau pelaksanaan inverstigasi, dan
3) Menggunakan apa yang telah diinvestigasi untuk pemahaman siswa mengenai
lingkungan sosialnya.

1). Merumuskan apa yang akan diinvestigasi

Dalam merumuskan apa yangakan di investigasi, guru IPS harus melihat terlebih
dahulu garis-garis program pengajaran sesuai dengan kurikulum mata pelajaran yang
berlaku. Dengan demikian, walau kegiatan ini nampaknya lebih menekankan pada
pengembangan materi yang berasal dari lingkungan sosial pesertadidik, keterkaitan dengan
materi Kurikulum 2013 harus tetap diperhatikan. Tahap ini dapat dilakukan melalui
beberapa kegiatan seperti :

1. Menetapkan tema/topik pada seluruh pesertadidik


2. Mengkaitkan tema/topik dengan materi yang tercantum dalam GBPP
3. Mendorong pesertadidikagar tertarik dengan tema/topik yang akan dikaji
4. Mendorong pesertadidikuntuk memikirkan apa yangtelah mereka ketahui
mengenai tema/topik tersebut
5. Mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan kunci sebagai alat untuk melakukan
investigasi
6. Mengidentifikasi sumber-sumber tertulis yang diperlukan untuk menambah
pemahamn mengenai topik tersebut

Yang paling penting dalam kegiatan ini adalah guru mampu menempatkan topik yang
menarik pesertadidik agar mampu melakukan kegiatan sesuai dengan yang direncanakan.

Terdapat beberapa kegiatan awal yangharus dilakukan dalam melakukan investigasi sosial
yaitu :

1. Brainstorming. Dalam kegiatan ini guru IPS dapat meneliti atau menginvestigasi
mengenai materi apa yang telah diketahui oleh para pesertadidikdan materi apa
yang belum.
2. Diskusi kelompok. Kegiatan iniberisi dialog mengenai pertanyaan-pertanyaan apa
yang dapat diajukan dan jawaban-jawaban apa yang dapat diperoleh. Dalam
diskusi ini juga dapat dikaji mengenai kemugkinan sumber-sumber pendukung
yang dapat digunakan.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


26
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

3. Presentasi pengalaman pribadi dan refleksi individu. Setiap peserta didi kmemiliki
pengelaman pribadi yang menarik yang terkait dengan kehidupan sosialnya.

Guru dapat menfasilitas pengalam tersebut untuk diungkapkan dalam kegiatan


pembelajaran dikelas. Investigasi sosial dapat dilakukan antara lain berdasarkan pengalaman
atau refleksi individual setiap siswa.

Dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan, sebagai langkah awal melakukan


investigasi, hendak diperhatikan beberapa ciri sebagai berikut

1. Pertanyaan difokuskan pada topik yang menarik perhatian siswa terutama yang
berhubungan dengan isu-isu sosial kontenporer dan juga relevan dengan materi
IPS SD
2. Pertanyaan yang menuntut jawaban yang bersifat pandangan, bukan hanya
jawabn ya atau tidak
3. Pertanyaan yang di tujukan langsung pada narasumber yang berasal pada
lingkungan sosial pesertadidik
4. Pertanyaan yang dapat mendorong pesertadidikmengadakan penelitian atau
investigasi lebih lanjut
5. Pertanyaan disesuaikan dengan tingkat perkembangan individual serta
tingkatankelas.
6. Pertanyaan yang berkait dengan pemahaman kritis mengenai isu-isu
nilai,keadilan sosial, lingkungan, perkembangan demokrasi kesenjangan sosial
kaya dan miskin, dan lain-lain yang memerlukan pemikiran kritis pesertadidik

Dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan kunci untuk melakukan investigasi sosial


dapat merujuk pada pertanyaan menurut Taxonomi bloom, yaitu pertanyaan yang sifatnya
untuk menggali pengetahuan (knowledge quetion), pertanyaan pemahaman (comprehension
question),pertanyaan penerapan (application question), pertanyaan analisis (analysis
question), pertanyaan sistesa (systesis qustion), dan pertanyaan evaluasi (evaluation question).

Sadker and Sadker (1994:364) mengemukakan beberapa kata kunci yang digunakan
dalam mengembangkan pertanyan menurut taxonomi bloom. Pertanyaan yang sifatnya
pengthuan sering menggunakan kata tanya apa, siapa, kapan, dimana dan lain-lain. Misalnya,
kapan anda merasa terganggu oleh polusi suara di perkotaan. Pertanyaan comprehension
(pemahaman) sering menggunakan kata kunci : gambarkan, bandingkan dan jelaskan,
gunakan kata-kata anda sendiri dan lain. Misalnya, jelaskan mengapa terjadi urbanisasi di
daerah anda? Pertanyaan aplikasi sering menggunakan kata kunci seperti aplikasikan,

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


27
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

klasifikasi, gunakan, pilih, berikan contoh, yang mana dan lain-lain. Contoh, menurut definisi
kita mngenai kemiskinan, kelompok profesi mana yang termasuk miskin didaerah yang anda
teliti?

Pertanyaan analisis sering menggunakan kata kunci seperti, mengapa, tunjukan


bukti-bukti, buat kesimpulan, identifikasi penyebab, buat analisis dan lain-lain. Contok,
mengapa industrialiasi di kota cilegon, banten, telah menyebabkan terjadinya urbanisasi?
Pertanyaan sintesis sering menggunakan kata kunci seperti buatlah prediksi, kembangkanlah,
bagaimana cara memecahkan masalah ini, bagaimana mensintesakan ini, bagaimana
meningkatkan ini, dan lain-lain. Contoh pertanyaan sintesis adalah, bagaimana meningkatkan
kesadaran masyarakat daerah kumu di Anyer atau Serang tentang pentingnya memelihara
lingkungan hidup? Apa yang akan terjadi dengan indonesia jika pemerintah soeharto tidak
jatuh pada tahun 1998?. Pertanyaan evaluasi yang merupakan tingkat pikir tinggi menurut
Bloom, sering kali menggunakan kata-kata kunci seperti apakah anda setuju,berikan
pendapatmu,bagaimana penilaian anda,apakah akan lebih baik jika,buatlah
pertimbangan,buatlah keputusan dan lain-lain. Contoh, apakah anda setuju jika pornografi
dibiarkan terbuka dimasyarakat? Dilihat dari situasi yang terjadi pada masyarakat indonesia
dewasa ini, mana yang lebih baik, apakah hidup pada zaman pemerintahan rezim Soeharto
yang otoriter ataukah hidup pada zaman reformasi dibawah pemerintahan SBY
sampaipadamasakepemimpinanJokowisaatiniyang menjalankan keterbukaan?

Selain untuk menggali tingkat pikir menurut tahapan taxonomi Bloom, pertanyaan
dapat juga dikembangkan sebagai alat untuk memproduksi pengetahuan. Habermas, yang
dirujuk oleh kemmisdan fitzclarence, telah mengembangkan model “ways of knowing” atau
cara untuk mengetahui melalui pertanyaan yang sifatnya teknis (technical question),
pertanyaan praktis dan interpretatif (practical/interpreatative question) dan pertanyaan
emansipatory (emancipatory question).

Pertanyaan yang sifatnya teknis sering menggunakan kata tanya „bagaimana‟,


pertanyaan tersebut menuntut jawaban yang sifatnya eksplanasi tentang mengapa dan
bagaimana sesuatu terjadi dalam lingkungan sosial kita. Pertanyaan „bagaimana sesuatu
terjadi‟ merupakan pertanyaan yang sifatnya teknis dan dapat membantu kita memecahkan
persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, pertanyaan seperti itu dapat memproduksi
pengetahuan (knowledge) yang secara teknis berguna bagi siswa untuk memecahkan
persoalannya. Pertanyaan seperti bagaimana kelompok masyarakat pedesaan di banten atau
daerah kcil tertentu yang dijadikan fokus investigasi mengalami perubahan sosial budaya

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


28
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

sepanjang masa, dapat dijadikan sebagai salah satu pertanyaan teknis untuk memproduksi
pengetahuan.

Pertanyaan praktis dan interpretatif tidak hanya difokuskan pada apa, mengapa dan
bagaimana sesuatu terjadi melainkan juga bagaimana manusia menjelaskan dan melakukan
intrpretasi terhadap sesuatu sesuatu terjadi atau dunia sekitarnya. Pertanyaan-pertanyaan
interpretatif terkait dengan masalah interaksi. Pertanyaan-pertanyaan interpretatif terkait
dengan masalah interaksi antara manusia dengan bahasa yang di gunakan dalam interaksi
tersebut. Dengan memfokuskan pada bagaimana manusia menjelaskan dan melakukan
interpretasi terhadap dunia sekitarnya, pertanyaan-pertanyaan interpretif dapat meningkat
pemahaman atau reasoning (alasan) mengapa mereka melakukan sesuatu. Contoh, pertanyaan
seperti mengapa ada memilih profesi sebagai guru, dokter,petani dan lainnya padahal
pekerjaan sebagai guru, dokter atau petani tersebut adalah....? Mengapa anda tetap mimilih
tinggal didaerah ini tidak menjanjikan secara ekonomis bagi anda? Mengapa anda melarang
putra-putri anda untuk bekerja diluar daerah? Mengapa anda mengkomsumsi makanan ala
Amerika, mengapa anda merokok, mengapa anda memilih pakian yang mahal dan lain-lain,
adalah pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan kemampuan manusia untuk
menginterprestasi dunia atau lingkungan sekitarnya.

Pertanyaan emansipatoris difokuskan pada isu-isu mengenai pengaruh kuasa (power)


terhadap apa yang terjadi dan bagaiman orang-orang melakukan interpretasi dan penjelasan
mengenai apa yang terjadi dan kemudian bertanya mengapa sesuatu harus terjadi.

Dalam realitas dunia dewasa ini kuasa (power) melekat padfa setiap institusi,
pada sistem budaya, ideologi negara, ideologi politik, kapitalisme dan lain-lain. Misalnya
siswa selama ini dikuasai oleh sistem ujian yang memaksa mereka untuk menghafal dan
mengingat apa yang akan diuji. Sebagai individu yang otonom, siwa dipaksa oleh kuasa
(sistem evaluasi) untuk menghafal dan mengingat materi-materi yang diuji. Demikian juga,
penonton televisi- termasuk para siswa yang dikuasai oleh kekuatan media masa, terutama
televisi, serta rumah-rumah produksi (production house) pembuat sinetron dan film,
pengembangan budaya populer, yang dikendalikan oleh kapitilisme. Contoh lain, dalam
masalah jender, dunia ini dikuasai oleh laki-laki atau makskualintas, yang terlihat dari konsep
budaya cantik menurut versi laki-laki sehingga mendorong sebagian wanita untuk
mempercantik diri demi menenuhi kriteria cantik menurut versi itu. Pertanyaan emansipatoris
harus dapat meningkatkan pemahaman dan mendorong individu menjadi penentu bagi dirinya
sendiri. Secara umum, pertanyaan-pertanyaam tersebut didasarkan atas analisis yang kritis
mengenai relasi kuasa (power relation)dalam masyarakat Indonesia dewasa ini. Dengan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


29
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

menfokuskan pertanyaan emansipatoris pada bagaimana kuasa (power) mempengaruhi


kehidupan individu, guru IPS dan pesertadidik difasilitasi dengan kesempatan untuk
melakukan transformasi masyarakat yang terkait ekonomi,gender,kesempatan disegala
bidang, demokratisasi, ham dan lain-lain. Melalui pertanyaan-pertanyaan kritis diatas,
pesertadidik diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk melakaukan investigasi serta
menjadi pengembang ilmu sekaligus melakukan transformasi sosial pada masyarakat sosial
pada kelompok masyarakat atau lingkungan yang menjadi subjek kajiannya.

2). Pelaksanaan Investigasi Sosial

Tahap ini terkait dengan pelaksanaan investigasi social berupa pengumpulan


informasi, memproses dan mengevaluasi informasi berupa berbagai alat yang relevan dengan
tujuan ini. Dalam pengumpulan informasi atau data, siswa diposisikan sebagai peneliti sosial
yang akan melakukan inqiuri secara alami (naturalistic inquiri) melalui kegiatan wawancara
dan observasi terhadap informasi baik yang diundang kedalam kelas maupun melalui
penugasan siswa ke lokasi tempat sumber berada serta terhadap lingkungan sosial yang
menarik untuk dikaji.

Kegiatan wawancara dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan model


taxonomi bloom, pertanyaan teknis, interpretatif dan emansipatoris, seperti yang telah
diuraikan diatas pertanyaan dalam kegiatan ini juga dapat dilakukan secara tidak terstruktur
dengan memberikan kebebasan kepada narasumber yang diwawancarai untuk menyampaikan
pikiran dan pandangannya tentang dunia dan realitas sosial yang ada. Kegiatan wawancara,
sebagai percakapan yang memiliki tujuan,bertujuan untuk a) memperoleh kontruksi individu,
kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi serta aspek-aspek lain yang terkait b)
rekontruksi aspek-aspek tersebut sebagai pengalaman dimasa lalu (terkait dengan
sejarah);proyeksi tentang aspek-aspek tersebut akan terjadi dimasa yang akan datang;

Verifikasi informasi dari suatu nara sumber yang laindan lain-lain. Dalam kegiatan
wawancara tersebut tokoh yang dijadikan sumber dan diwawancara dapat meliputi:

a) Orang-orang kebanyakan(petani di kota atau desa,buruh,pedagang kaki lima,nelayan dan


kelompok marjinal lainnya seperti gelandangan dan pengemis.

b) Para demonstran/mahasiswa/pelajar/yang sering turun ke jalan atau ke lembaga


pemerintahan dan menyampaikan aspirasi politik mereka.

c) Tokoh yang memiliki pekerjaan tertentu seperti polisi lalu lintas,perawat rumah
sakit,guru,tukang parkir dan lain-lain.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


30
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

d) Tokoh yang pernah memiliki pengelaman menarik seperti korban penculikan pada masa
orde baru,narapidna,korban bencana alam,korban penggusuran perkotaan,dan lain-lain.

e) Para ahli yang memiliki keahlian tertentu yang menarik untuk dikaji dn diketahui oleh
pesertadidik.

f) Tokoh masyarakat seperti guru, kyai dan alim ulama, dihormati oleh masyarakat
disekitarnya,dan lain-lain.

Dalam kegiatan wawancaraini para siswa harus mampu memperolah “ isi kepada “
yang diwawancarai oleh karena itu, setiap interviewer, para pesertadidik yang sedang
melakukan investigasi sosial, hendaknya melakukan rujukan budaya atau cultural infrences
dari apa yang dipikirkan, dikatakan dan yang telah dan akan dilakukan nara sumberdalam
wawancara yang sifatnya naturalistik, pewawancara menetapkan diri sebagai pelajar, atau
orang yang mau belajar, bukan hanya sebagai peneliti. Cara ini akan mempermudakh para
siswa untuk diterimah oleh nara sumber yang akan diwawncarai. Keuntungan dari wawancara
seperti ini, menurut Lincoln and Guba, adalah mungkinkan interviewee bergerak maju dan
mundur dalam konteks waktu merekonstruksi pengelaman masa lalu, melakukan interprestasi
terhadap perilaku sekarang dan memprediksi terhadap apa yang akan terjadi pada masa yang
akan datang.

Dalam melakukan investigasi sosial dari lingkungan sosial yang sifatnya naturalistik,
terutama dalam sosiologi dan atropologi, digunakan pendekatan etic dan emic. Pendekatan
eticmenggunakan wawancara sebagai metode pengumpulan data yang paling penting. Dalam
kegiatan ini para pesertadidik yang melakukan investigasi harus dapat mengumpulkan
informasi apa adanya dari para narasumber serta menerima keaslian makna dari informasi
yang diberikan oleh intervieewee tersebut demikian juga,pendekatan terhadap sumber yang
sifatnya iductivtive ini,seperti halnya dalam proses pembelajaran dalam ilmu-ilmu
sosial,memungkinkan pesertadidiksebagai peneliti sosial memperoleh berbagai pandangan,
pikiran dan pendapat lingkungan sosial(narasumber)yang diteliti dan dipelajari.

Pendekatan emic menggunakan observarsi sebagai metode pengumpulan informasi yang


paling penting terhadap realita sosial yang diteliti dalam kegiatan ini,pesertadidik sebagai
peneliti harus dapat merekam beberapa inferensi budaya seperti :

a) Masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh para pesertadidik seperti


tawuran,penggunaan obat-obat terlarang,kriminalitas,kemacetan lalulintas dam lain-lain .
b) Dorongan atau hasrat seseorang melakukan tindakan,memiliki dan menganut keyakinan
tertentu.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


31
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

c) Melihat realitas sosial seperti yang dilihat dari subjek yang diteliti.
d) Menangkap fenomena sosial yang terlihat dari lapangan .
e) Merekam budaya secara alami serta lingkungan yang bersifat natural .
f) Memperoleh akses terhadap reaksi emosi subjek yang diteliti.
g) Memperoleh pemahaman mengenai realita sosial yang di observasi

Dalam kegiatan observasi ini,para pesertadidik harus dapat merekam data mengenai
aktivitas masyarakat serta simbol-simbol budaya yang digunakan seperti:

a) Benda fisik seperti bangunan dan artefak.


b) Situasi lalu lintas.
c) Pola interaksi sosial .
d) Kejadian tertentu seperti demonstrasi yang kerap terjadi di Jakarta dan daerah lainnya
bahkankita di Endebelakanganinisertadi indonesia pada saatini.

Pengumpulan informasi melalui pendekatan naturalistic inquiry ini juga dapat


dibantu melaui kegiatan-kegiatan bersama seperti survey dan kuesener, kunjungan
lapangan seperti karya wisata, mempelajari brosur yang dikeluarkan oleh lembaga
dagang seperti pasar swalayan (seperti Hero, Roxi, Matahari, Yogya-Griya, dll) atau
brosur iklan tawaran jasa bank dan lain-lain, pamphlet para demonstran atau event
organizer, buku telepon, iklanlayanan masyarakat dan lain-lan.

Kegiatan observasi pengumpulan informasi dapat juga dilakukan melalui media


televisi yang sekarang menjadi sebuah power atau kekuatan yang mampu
mengembangkan budaya populer. Berbagai tayangan televisi, baik yang sifatnya hiburan
maupun informasi merupakan sumber yang sangat berharga untuk kepentingan
investigasi sosial. Berita TV sekarang telah menjadi sebuah komoditi yang sangat
berharga dan oleh karena itu dapat merupakan sumber belajar untuk kepentingan
investigasi sosial. Berita mengenai msalah-masalah sosial seperti kriminalitas, kerusuhan
sosial, pelanggaran hak asasi manusia dan lain-lain sangat banyak ditayangkan oleh
televise lokal, nasional dan asing yang dapat ditangkap melalui antenna parabola. Belajar
mengenai masalah serta realitas social dapat dilakukan berbagai tayangan televisi. Guru
dapat memfasilitasi para siswa untuk menjadi pangamat dan peneliti melaui layar
televisi.

Dengan demikian, investigasi sosialtidakhanyamerupakansalahsatupendekatan


pembelajaran IPS SD sesuai dengan pembelajaran modern yang menghendaki adanya

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


32
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

peran aktif siswa melainkan juga sebagai bagian dari memproses interaksi sosial
guru-siswa seperti yang dituntun dalam implementasi kurikulum IPS. Memasukkan
nilai-nilai budaya local serta masalah-masalah sosialnya ke dalam materi pembelajaran
jauh lebih bermakna disbanding dengan hanya menyampaikan definisi, data dan fakta
(Supriatna, 2005:276).

KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan di atas bahwa guru Ilmu Pengetahuan Sosial dalam


pembelajaran di kelas sebaiknya jangan lagi hanya monoton dan berceramah saja namun
jadikan lingkungan sosial sebagai laboratorim dan sumber belajar yang sangat kaya bagi
pembelajaran ilmu pengetahuan sosial. Apabila dalam pembelajaran tradisonal guru lebih
banayak mengandalkan sumber tertulis berupa buku teks dan di ceramahkan kembali di kelas
maka pemanfaatan sumber dari luar kelas (lingkungan sosial) melalui berbagai strategi akan
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran pengetahuan sosial. Dalam pelaksanaan
pembelajaran IPS strategi investigasi sosial (social investigation ) dalam pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial sebagai bagian dari implementasi kurikulum IPS melalui pendekatan
naturalistik inquiri yang menekankan pada aktivitas pesertadidik sebagai peneliti dan pusat
kegiatan dalam mengumpulkan informasi dari lingkungan social karena dari masalah sosial
yang dihadapi oleh para siswa dan menempatkan mereka sebagai bagian dari masalah serta
pemecahan masalah sosisal itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Colin C. Marsh 1994, Teaching Studies of Society and Eenvironment, Deakin University,
Geelong, Victoria.
Evans and Saxe, 1996, Hand Book On Teaching Social Issues, Deakin University, Geelong,
victoria.
(https://variedzzz.wordpress.com/2017/05/11/lingkungan-sebagai-media-pembelajaran/)
(http://dhoeache.blogspot.com/2017/11/manfaat-lingkungan-sebagai-media.html
Irma Nani R. 2013, IlmuPengetahuanSosialKelas IV, Erlangga, Jakarta.
Jamaes M. 1994, Classroom Teacengkilss, D. C. Health And Companya, Lexington.
KTSP Tim Bina Guru, 2011, Ilmu Pengetahuan Sosial SD\MI Kelas V, Mas Media, Jakarta
Kemmis with Fitzclarence, 1996, Curriculum Theorizing Beyond Reproduction Theory, Deakin
University, Geelong, Victoria.
Lenski, Gerhard and Lenski, Jean 1987, Human Societies, An Introduction to Macro Sociology,
McGraw hill, New York.
Lincold, Yvonna S, and Guba, Egon g, 1985 ,Naturalistic Inquiry, SAGE Publications, London.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


33
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Mars. 1994, Teaching Studies Of Suociety and Vironment, McGraw Hill, New York
Mc. Donald, Helen 1996, Planning For Practice In Gilbert Rob, Studying Society and
Environment, a Handbook For Teachers.McGraw Hill, New York.
MJA, Irene, dkk, 2013, Buku Penilaian 5A Tematik Terpadu, Erlangga, Jakarta
Nana Supriatna, 2002, Menyiapkan Kompetensi Guru MenghadapiKurikulumBerbsisKompetensi
(KBK), Makalah, disampaikan dalam semiloka guru-guru SLTP dan SMU se-Jabar di
Yayasan Salib Suci, Bandung.
Nana Supriatna, 2005, Mengkonstruksi pembelaran Sejarah Lokal Tatar Sunda Untuk
Memahami Isu-isu Social Kontemporer, Makalah, disampaikan dalam semiloka
Pembelajaran Sejarah Lokal di :LembagaPenelitian UNPAD.
Numan Somantari, (2001) Menggagas Pembaharuan Pendidkan IPS, Rosda Karya Bandung
Perry, John A Andseidler, Murrai B., 1973, Patterns of Contemporary Society, Canfield Press,
San Fransisco.
Schubert, (1996) Curriculum, perspective, paradigm, and possibilities, McGraw hill, New york
S. Hasan, Hamid, 1996, Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, Depdiknas
S. Hasan. Hamid, 1996, Glorification of the past, atau kekayaan masalalu jelas terlihat dalam
tujuan kurikulum pendidikan sejarah di Indonesia, Depdiknas
S. L. La Sulo, (1985), Pengajaran Mikro, depdikbud, Jakarta.
Sanchez, Oscar Elias, 2000, Confronting Corruption : The Elements Of National Integrity
System, Transparency Internasional. McGraw hill, New York
Sadker, myra and sadker, David, 1994, Quetioning Skills In Cooper, McGraw Hill,New York

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


34
PROSIDING

Makalah Utama (MU)-4

KONSEP SEKOLAH MENYENANGKAN :


PENDEKATAN HOLISTIK PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH INDONESIA

T. Novi Poespita Candra, M.Si, Psikolog


Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada
Email : novicandra19@ugm.ac.id

Abstract

Dalam pendidikan abad 21, penumbuhan dan perkembangan karakter anak mestinya menjadi
hal yang ditekankan dalam pendidikan di sekolah, selain empat kompetensi belajar yang harus
dikuasai yaitu berpikir kritis, komunikasi, kreativitas dan kolaborasi. Untuk menyesuaikan
dengan perubahan maka Indonesia pun berbenah dengan mengubah kurikulumnya menjadi
kurikulum 2013 agar dapat memfasilitasi berkembangnya kompetensi belajar abad 21 pada
anak-anak, demikian juga adanya Gerakan Pendidikan Penguatan Karakter yang dilakukan oleh
Kementrian Pendidikan Nasional pada 2017 ini. Pertanyaannya : cukupkah pendidikan karakter
difasilitasi dengan Undang-Undang yang baru saja dikeluarkan tersebut? Jika tidak lalu konsep
seperti apa yang sesuai dengan konteks Indonesia dan bagaimana dengan implementasinya?
Artikel ini akan mengurai mengenai pendekatan holistik sekolah yang disebut konsep
sekolah menyenangkan di mana konsep ini menggarisbawahi bahwa penumbuhan karakter tidak
cukup didekati dengan pembiasaan perilaku di level kelas dan sekolah juga masyarakat, namun
mengolah 4 area perkembangan anak-anak yaitu olah raga, olah pikir, olah rasa dan olah laku
anak-anak melalui penciptaan budaya sekolah melalui 5 prinsip :1) penciptaan lingkungan
sekolah yang positif, aman dan etis, 2) pembelajaran dan assessment yang berpusat pada anak dan
mengutamakan pengalaman, 3) pembelajaran sosial emosional, 4) Pelibatan ekosistem sekolah.

Kata kunci : sekolah menyenangkan, holistik, pendidikan karakter, Indonesia

PENDAHULUAN
Dewey (2001) mengungkapkan Jika ingin mengubah masyarakat maka ubahlah melalui
sekolah, karena sebenarnya sekolah bukan hanya tempat anak-anak mendapat pengetahuan,
namun sekolah adalah tempat penumbuhan generasi baru yang lebih etis dan beradab yang
dibangun melalui proses pendidikannya. Oleh karenanya jika ingin mengubah sebuah masyarakat
yang sesuai dengan kebutuhan jamannya, maka mulailah dari sekolah.
Abad 21 ini adalah abad revolusi informasi teknologi dimana kehidupan semua lini saat ini
dipengaruhi sangat kuat oleh penggunaan teknologi internet. Mulai area bisnis dan ekonomi
dengan model e-commerce dan juga area lain misalnya pertahanan. Manusia akan diberi
kemudahan untuk melakukan aktivitas ekonomi dengan lebih cepat dan efisien (minim biaya.
Manusia juga sangat mudah mengakses informasi apa saja dengan sangat mudah dan cepat
melalui mobile phone yang dimilikinya. Sejak anak-anak mereka tinggal meng ‘klik’ google

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

untuk menuliskan keywords informasi yang dibutuhkan dan kemudian menemukannya dengan
mudah.
Kemudahan mengakses informasi yang berlimpah tersebut tentu saja memiliki efek positif di
satu sisi, namun juga mampu menimbulkan akibat negatif di sisi lain jika tidak tepat dalam
pengelolaan.
Berlimpahnya informasi yang mudh diakses menuntut manusia mampu menyaring dan
mengendalikan informasi apa yang dibutuhkan untuk alasan produktivitas dan dibutuhkan. Era
ini juga membutuhkan kemampuan berpikir kritis juga etis dalam menelaah informasi yang akan
digunakan atau disebar ke khalayak luas.
Tantangan lainnya, di era disruptive teknologi seperti ni, penemuan –penemuan canggih
begitu cepat berkembang di dunia. Penemuan ini akan sangat mampu kehidupan manusia menjadi
lebih baik seperti teknologi sensor wireless untuk kesehatan, juga teknologi nano di area medis.
Namun demikian, inovasi teknologi ini pun dapat dimanfaatkan secara tidak baik bagi sebagian
manusia yang tidak memiliki moral etis dan karaketr yang baik.
Oleh karenanya, meskipun penumbuhan karakter bukan hal baru dalam pendidikan, namun
justru di era teknologi informasi saat ini , isu penguatan karakter sejak anak-anak kembali
menjadi penekanan bagi isu pendidikan dunia. Banyak penelitian menuliskan bahwa penekanan
pendidikan dasar di era ini adalah pada pendidikan karaker manusianya, bukan lagi pada transfer
pengetahuan karena fungsi transfer pengetahuan telah dapat digantikan oleh teknologi.
Meskipun Pemerintah Indonesia telah merespon perubahan ini dengan mengeluarkan
Peraturan Presiden no mengenai Penguatan Karakter di tahun 2017 ini , namun dari segi konsep
terlihat bahwa penekanan perubahan perilaku yang dilakukan masih di seputar olah rasa dan olah
laku (Dewantara, 1956), kurang dalam penekanan olah pikir seperti yang dikembangkan oleh
Daniel Goldman.

PENUMBUHAN KARAKTER DENGAN KONSEP SEKOLAH MENYENANGKAN


Banyak istilah yang dipakai untuk menggambarkan karakter. Misal kepribadian, emosi dan
sosial, mindset, perilaku baik dan beberapa definisi lain dari berbagai studi. Namun secara umum
karakter adalah sebuah set car pikir, sikap dan perilaku yang telah menjadi belief system dalam
diri seseorang yang telah menjadi bagian dari seseorang dan nampak dalam pemikiran, sikap dan
perilaku (Santrock, 2014). Dalam psikologi Perkembangan, perkembangan karakter berjalan
seiring dengan perkembangan moral dan perkembangan aspek dan kompetensi yang lain
(Santrock, 2014). Para ahli sepakat bahwa penumbuhan karakter menjadi sebuah beliefs pada
manusia, melewati sebuah proses yang panjang dan bukan perjalanan yang instan.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


36
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Beberapa model dalam mengembangkan karakter di sekolah dari beberapa penelitian adalah
melalui pendekatan holistik sekolah, melalui progarm dan pelatihan, melalui program dan
pembiasaan, melalui pelibatan peer dan banyak hal lain.
Tahun 2014 penulis melakukan penelitian menggunakan FGD (Focus Group Discussion )
berbasis aktivitas pada 90 guru, 90 anak-anak SD kelas 4 dn 5, juga 90 orangtua di wilayah
Yogyakarta untu menanyakan bagaimana model sekolah yang menurut mereka bagus untuk
kesehatan mental anak-anak dan mampu membangun karakter maka dari data yang kita dapat
secara grounded, model yang dikemukakan oleh partisipant mendekati dengan model holistik
sekolah, yaitu bahwa penumbuhan karakter anak-anak mampu dikembangkan melalui penciptaan
ekosistem yang mempengaruhi kehidupan anak-anak dari mycro, messo dan malro
(Brofenbrenner, 2006 )
Pada model tersebut, penumbuhan karakter diciptakan melalui empat area yaitu : 1)
penciptaan lingkungan sekolah yang positif, aman dan etis, 2) pembelajaran dan asesmen yang
menantang dan berdasar pengalaman, 3) pembelajaran emosi dan sosial, dan 4) pelibatan
ekosistem sekolah (Candra & Minas, 2014).
Penciptaan lingkungan sekolah yang positif, aman dan etis.
Sebuah lingkungan yang bersih, hijau, dan terang sangat membantu suasana nyaman dan
aman bagi anak-anak untuk berada di sekolah. Selain lingkungan fisik yang sehat, lay out
ruang kelas yang dinamis dan aksesible buat semua anak sangat sesuai dengan anak- anak
untuk dapat mengubah-ubah proses belajar mengajar sesuai kebutuhan pembelajaran dan
kondisi anak-anak. Begitu juga lay out kelas berzona yaitu zona kreativitas, zona harapan
yang berisi harapan anak, guru dan orangtua, juga zona kebersihan, zona kebaikan dan zona
emosi, memberikan kesempatan anak-anak mengeksplorasi karakter dirinya. Siapa dirinya,
apa yang dia harapkan, apa cita-citanya, apa kekuatannya dibanding anak-anak lain juga
dapat mereka lihat dari pajangan karya belajar yang dipasang di kelas. Bahkan perubahan
layout di kelas juga sangat mempengaruhi bagaimana anak-anak berperilaku di kelas. Layout
tempat duduk model lama dimana anak-anak duduk berbaris dari depan ke belakang
menimbulkan potensi perilaku misbehaviour pada anak dan juga agresivitas karena
aksesibilitas pada sumber belajar yang tidak adil antara anak yang duduk di depan dan
belakang. Oleh karenanya perubahan layout tempat duduk menjadi berkelompok, atau tipe
U, atau lesehan memberi kesempatan guru melakukan manajemen perilaku anak yang sangat
erat kaitannya dengan perkembangan karakter anak. Sebuah lingkungan kelas dan sekolah
yang etis juga mensyaratkan adanya kesepakatan kelas, dan kode etik perilaku yang
disepakti bersama sebagai media pembelajaran anak-anak untuk memahami dan berlatih
sejak kecil bahwa senuah area tinggal selalu memiliki etika dan konsekuensinya. Hal inilah

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


37
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

yang masih jarang ditemukan di kebanyakan sekolah Indonesia sebagai landasan dasar
anak-anak berlatih prilaku etis. Dengan lingkungan yang positif , nyaman dan aman, maka
anak- anak akan bahagia. Dan anak-anak yang bahagia akan mudah menemukan dirinya dan
mengelola emosi dan perilakunya menjadi lebih baik ( Cahill dan Freeman, 2007). Dan hal
ini pulalah yang belum dimunculkan dalam konsep pendidikan karakter yang dilunching
kementrian pendidikan dan kebudayaan Indonesia.
Pembelajaran dan assessment yang menantang dan terhubung dengan dunia nyata.
Kurikulum 2013 telah memfasilirasi berubahnya model pembelajaran dari pembelajaran
model lama yaitu ceramah dan fokus pada materi, bertranformasi menjadi pembelajaran
menggunakan pendekatan scientif approach yang memungkinkan anak-anak mengalami
dan mempraktekkan apa yang dipelajarinya menggunakan metode project based learning
atau problem based learning ditambah dengan inquiry learning yang bermanfaat untuk
melakukan refleksi dan berpikir kritis,
Dengan metode pembelajaran ini, anak-anak menjadi memiliki kesempatan
mengembangkan karakter karakter baik yang terintegrasikan melalui metode metode
pembelajaran seperti problem based an project based learning. Konsekuensinya dengan
perubahan paradigma belajar dan metode pembelajaran di kelas maka asesmen yang
digunakannya pun semestinya berubah dari summative assemment (asesment berdasar
hasil ) ke formative assessment (asesmen berdasar proses) yang memuat bukan hanya
penilain akademik namun juga karakter dan kompetensi anak-anak saat mengerjakan
project nya. Dalam konsep sekolah menyenangkan, agar anak-anak Indonesia memiliki
identitas kebangsaan yang tinggi juga
Pembelajaran sosial emosional anak-anak
Menurut Goldman, di sekolah, murid seharusnya juga belajar tentang dirinya sebagai
seorang pribadi dan anggota masyarakat melalui pola pikir yang akan mampu
menumbuhkan empati dan rasa menghargai diri dan orang lain. Dalam pendekatan
Daniel Goldman, seorang anak akan belajar empat hal yaitu: kesadaran diri, manajemen
diri (termasuk regulasi emosinya), kemudian kesadaran sosial dan terakhir kemampuan
membuat keputusan yang bertanggung jawab. Pembelajaran emosi dan sosial ini
sayangnya belum sama sekali menjadi perhatian di pendidikan Indonesia dan juga belum
ada dalam desain kurikulum Indonesia karena paradigma pendidikannya masih
berorientasi pada akademik. Dalam konsep sekolah menyenangkan, 70 persen fokus ada
pada pengembangan karakter dan kompetensi anak-anaknya, baru sisanya 30 persen pada
transfer pengetahuan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh De Ro ´iste
& Kelly, C, dkk tahun 2012 yang mengemukakan bahwa usia pendidikan dini dan dasar

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


38
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

yaitu 3-12 tahun adalah masa yang paling krusial dalam memberikan kesempatan
anak-anak secara partisipatif mengeksplorasi dirinya, emosinya, kepribadiannya,
karakternya dan juga mengenal lingkungannya. Hal inilah yang secara jelas membuat
perubahan model sekolah era dulu dan era saat ini
Keterlibatan orangtua dan masyarakat sebagai ekosistem.
Salah satu nilai–nilai dasar yang dimunculkan peserta penelitian untuk
menggambarkan sekolah Indonesia yang mampu mengembangkan karakter baik adalah
adanya dua nilai dasar yaitu: kekeluargaan dan gotong royong. Kekeluargaan adalah
sebuah nilai yang mempercayai bahwa hubungan yang dibentuk di sekolah antara guru
dan murid adalah seperti juga antara orangtua dan anak. Demikian juga orangtua murid
dan masyarakat sekitar sekolah, adalah ekosistem yang tak terpisahkan dari sekolah
karena mereka adalah bagian dari keluarga. Oleh karenanya jika ada hal yang harus
diselesaikan atau dibangun pada anak-anak maka gotong royong antara seluruh anggota
keluarga sangatlah dibutuhkan. Penumbuhan dan perkembangan karakter anak-anak
tidak akan tumbuh optimal jika apa yang ditemukan di sekolah berbeda dengan apa yang
dirasakan di keluarganya dan di masyarakat karena ketiga pilar tersebut (sekolah, rumah,
masyarakat) diharapkan menjadi teladan yang baik bagi penumbuhan karakter mereka.

Keempat prinsip dalam penciptaan lingkungan sekolah yang etis dalam rangka penumbuhan
karakter idealnya dilakukan sebagai satu kesatuhan dan keutuhan menggunakan seluruh aspek
perkembangan anak-anak yaitu olah raga (fisik), olah pikir (kognitif), olah rasa (afektif) dan olah
laku (psikolomotorik).

KESEMPATAN DAN TANTANGAN DALAM IMPLEMENTASI KONSEP SEKOLAH


MENYENANGKAN
Karena konsep ini adalah konsep penumbuhan karakter melalui pendekatan holistik sekolah,
maka perubahan akan sangat mungkin dilakukan di level sekolah. Selama kepala sekolah
memiliki komitmen dan paradigma pendidikan abad 21 yang mengutamakan karakter dan
kompetensi anak, maka perubahan dapat dilakukan di level sekolah. Tantangan utama yang biasa
muncul adalah mindset atau paradigma mengenai pendidikan abad 21 yang belum sebetulnya
utuh. Tantangan yang kedua adalah kurangnya ketrampilan guru akan praktek-praktek baik
(Jalal, dkk, 2009) termasuk dalam menjalankan empat prinsip di atas. Hal ini dikarenakan fokus
pengembangan guru hanya pada metode pengajaran dan administrasi pengajaran, namun sangat
minim pelatihan mengenai manajemen perilaku anak, pemahaman psikologi anak-anak, serta
membangun interaksi keterikatan yang kuat antara guru, anak, orangtua dan ekosistem sekolah

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


39
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

lainnya. Hal berikutnya yang menjadi tantangan adalah manajemen pendanaan sekolah yang
selama ini lebih banyak difokuskan pada infrastruktur dan proses pembelajaran akademik.
Namun demikian, kesempatan dan harapan sama besarnya dengan tantangan yang ada.
Pemerintah Indonesia mencatat tingginya jumlah guru muda dan anak muda yang tertarik
menjadi guru, dan inilah kesempatan Indonesia memiliki guru masa depan yang memiliki literasi
tinggi pada penggunaan teknologi, lebih inovatif dan memiliki semangat belajar tinggi untuk
diberi pengkayaan mengenai perkembangan anak-anak, budaya juga penumbuhan karakter
menggunakan pendekatan holistik sekolah.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Saat ini sekitar 30 sekolah dasar di daerah Yogyakarta dan kota sekitarnya telah berhasil
menjadi sekolah model dengan perubahan model akar rumput di bawah binaan Gerakan Sekolah
Menyenangkan Indonesia (GSM). Dan lebih dari 100 sekolah di seluruh Indonesia telah
bergabung menjadi sekolah jejaring yang mampu mengikuti dan melakukan perubahan di
sekolahnya tanpa mengikuti workshop. Perubahan yang dilakukan tidak didanai satu persenpun
oleh donatur. Semua adalah upaya swadaya dan otonomi masing masing sekolah untuk
melakukan perubahan.
Selain perubahan yang signifikan pada budaya sekolah sesuai empat prinsipnya, anak-anak
di sekolah model GSM menunjukkan perilaku perilaku positif dengan nilai-nilai karakter baik
seperti sopan, mandiri, percaya diri, berintegrasi dan menghargai orang lain.
Hal ini menunjukkan bahwa konsep sekolah menyenangkan ini sangat bisa dilaksanakan di
sekolah sekolah Indonesia, khususnya pendidikan dasar dan menengah yang lebih fokus pada
upaya penguatan karakter anak-anak.

REFERENSI

Aingel de Roiste, et al. (2012) ‘Is school participation good for children?’ Associations with
health and wellbeing.” Health Education, vol 112, lss 2, pp 88-104.

Bronfenbrenner, U., and Moris, O.A. (2006). The biological model of human development The
biological model of human development

Cahill. H.and Freeman, E. (2007). Creating school environments that promote social and
emotional wellbeing. In M. K. a. S. Carrington (Ed.), Schools and diversity, 2nd edition.

Candra, N & Minas, H. (2014). Listening to the voices of children, parents and teachers about
school life:towards promoting children wellbeing at school. Paper presented at the
International Social and Education Conference, Beijing, China.

Dewantara. (1965). Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa. Yogyakarta.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


40
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Dewey, J. (2001). Education and social change. New York: Mc Grew.Hill.Dushkin.

Jalal, F., Chang,C.M., Stevenson, R., Ragatz, B.A., & Negara, D.S. (2009). Teacher Certification
in Indonesia: a strategy for teacher quality improvement. Indonesia: Ministry of
Education and Culture of Indonesia.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No 87/2017.


http://setkab.go.id/wp-content/uploads/2017/09/Perpres_Nomor_87_Tahun_2017.pdf

Santrock, J.W., 2014. Topical Approach to Life Span Development. Seventh Edition. Mc Graw
Hill Education. University of Texas at Dallas.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


41
PROSIDING

MP-1
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TEAM GAMES TOURNAMENT TERHADAP
HASIL BELAJAR MAHASISWA PGSD PADA MATA KULIAH PERKEMBANGAN
PESERTA DIDIK DI UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG TAHUN 2017

¹Deni Puji Hartono, ²Endang Sriwulan Estin


¹Pendidikan Geografi Universitas PGRI Palembang ² SD Negeri 4 Metro Utara, Lampung
Email: 1denipujihartono@ymail.com, 2 --

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Penerapan Model Pembelajaran Team Games
Tournament Terhadap Hasil Belajar Mahasiswa PGSD Pada Mata Kuliah Perkembangan Peserta
Didik di Universitas PGRI Palembang Tahun 2017. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan
kelas dengan subjek penelitian adalah mahasiswa kelas 3a program studi PGSD yang terdiri dari
17 mahasiswa. Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus tindakan. Dari hasil penelitian dan
pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan
hasil belajar mahasiswa dari hasil pretest di awal pertemuan di mana pada data hasil pretest
mahasiswa yang mendapat nilai ≥ 70 atau sesuai dengan KKM adalah 23,6 % setelah
dilaksanakan tindakan siklus I meningkat menjadi 55% dan pada siklus II mahasiswa yang
mendapat nilai ≥ 70 menjadi 72,5%. Melihat hal ini dapat disimpulkan bahwa penerapan metode
TGT dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa PGSD Pada Mata Kuliah Perkembangan
Peserta Didik di Universitas PGRI Palembang Tahun 2017.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, calon seorang guru merupakan salah satu
komponen yang mempunyai peran sangat penting. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu
pendidikan adalah dengan cara perbaikan proses belajar mengajar atau pembelajaran. Berbagai
konsep dan wawasan baru tentang pembelajaran di Universitas telah muncul dan berkembang
seiring pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Dosen harus dapat mendidik calon
guru/mahasiswa menjadi pendidik yang baik dan benar, seperti hal nya di Universitas PGRI
Palembang pada program studi PGSD harus dapat mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai
dengan perkembangan zaman.
Dari observasi dan dokumentasi daftar nilai mata kuliah perkembangan peserta didik
kelas 3a PGSD di Universitas PGRI Palembang yang telah dilakukan pada 26 September 2017.
Pada semester ganjil Tahun Pelajaran 2017 diperoleh data hasil belajar Perkembanga Peserta
Didik dalam Tabel 1 sebagai berikut:

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tabel 1.
Nilai Hasil Belajar Perkembanga Peserta Didik 3a PGSD di Universitas PGRI Palembang
No Nilai Kriteria Jumlah Siswa Persentase
1 ≥ 70 Tuntas 4 23,6 %
2 < 70 Tidak Tuntas 13 76,4 %
Jumlah 17 100 %
Sumber: Hasil nilai quis mata kuliah PPD

Dari hasil pengamatan di kelas, pada pembelajaran kelas 3a Universitas PGRI Palembang
terdapat beberapa kelemahan yang mempengaruhi hasil belajar Mahasiswa, maka ditemukan
beberapa kelemahan diantaranya:
1. Partisipasi mahasiswa rendah dalam proses pembelajaran, mahasiswa lebih banyak diam saat
dosen mengajukan pertanyaan.
2. Dominasi mahasiswa tertentu dalam proses pembelajaran, terlihat dari mahasiswa yang
berperan aktif hanya mahasiswa yang pintar.
3. Sebagian besar mahasiswa kurang tergerak untuk belajar.
4. Dosen lebih aktif, dan sangat vokal dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu adanya solusi yang tepat untuk perbaikan
dalam proses pembelajaran kelas 3a PGSD di Universitas PGRI Palembang yaitu dengan
penerapan model-model pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar. salah satu nya
menggunakan model pembelajaran Teams Game Tournament. Seperti menurut pendapat Asniar
(2009) model pembelajaran TGT memberikan hasil positif dalam peningkatan hasil belajar siswa.
Teams-Game-Tournament (TGT) merupakan salah satu tipe model pembelajaran
cooperative. TGT adalah pembelajaran cooperative yang melibatkan kelompok, di dalamnya
terdapat diskusi kelompok dan diakhiri suatu game/tournament. Dalam TGT, mahasiswa dibagi
menjadi beberapa team belajar yang terdiri atas empat sampai enam orang yang berbeda-beda
tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya.

Gambar 1. Penempatan Pada Meja Tournament. (Sumber: Slavin 2005: 168)

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


2
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Dari beberapa permasalahan yang ada maka penulis tertarik untuk mengambil judul
”Penerapan Model Pembelajaran Team Games Tournament Terhadap Hasil Belajar Mahasiswa
PGSD Pada Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik di Universitas PGRI Palembang Tahun
2017”.
Perumusan Masalah
Apakah Penerapan Model Pembelajaran Team Games Tournament Dapat Meningkatkan
Hasil Belajar Mahasiswa PGSD Pada Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik di Universitas
PGRI Palembang Tahun 2017?
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui Penerapan Model Pembelajaran Team Games Tournament Agar
Dapat Meningkatkan Hasil Belajar Mahasiswa PGSD Pada Mata Kuliah Perkembangan Peserta
Didik di Universitas PGRI Palembang Tahun 2017.

B. METODE
Metode dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Classroom Action
Research (PTK) Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar melalui model
pembelajaran tipe TGT.
Perencanaan

Refleksi SIKLUS I Pelaksanaan

Pengamatan

Perencanaan

Refleksi SIKLUS II Pelaksanaan

Pengamatan

Hasil
Gambar 2. Penelitian Tindakan Kelas Menurut Hopkins.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, hasil belajar merupakan nilai yang diperoleh mahasiswa pada akhir
proses pembelajaran. Dari hasil penelitian diperoleh skor hasil belajar Perkembangan Peserta

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


3
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Didik mahasiswa dalam proses pembelajaran dengan menerapkan Model Pembelejaran TGT
pada siklus I dan II dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.
Data Hasil Belajar Siklus I dan Siklus II
Banyak Mahasiswa Presentase
No Katagori Nilai
Siklus I Siklus II Siklus I Siklus II
1 Tuntas belajar ≥ 70 8 15 47% 88,2%
2 Tidak tuntas belajar < 70 9 2 53% 11,8%
17 17 100% 100%

Tabel di atas menunjukkan hasil belajar pada siklus I mahasiswa yang belum tuntas
belajar sebanyak 9 siswa atau 53%. Sedangkan mahasiswa yang tuntas mencapai nilai KKM ≥ 70
sebanyak 8 mahasiswa atau 47%, ini berarti belum mencapai indikator yang peneliti tetapkan
yaitu 85% mahasiswa mendapat nilai ≥ 70.
Belum tercapainya indikator ini disebabkan karena masih banyak mahasiswa belum
terlihat aktif dalam kelompoknya sehingga proses pembelajarannya masih bersifat individual dan
pasif. Padahal dengan dibentuknya kelompok secara heterogen, diharapkan mahasiswa dapat
saling bekerja sama dan saling membantu dalam memahami materi dan menyelesaikan masalah
yang diberikan oleh guru. Selain itu, masih banyak mahasiswa yang takut, malu dan kurang
percaya diri untuk bertanya dan mempresentasikan hasil kelompok di depan kelas.
Sehingga pada siklus I ini belajar mahasiswa belum efektif maka berpengaruh terhadap
hasil belajar mahasiswa, untuk meningkatkannya dosen selalu memberi pengarahan, bimbingan
dan motivasi kepada mahasiswa dengan memberikan penghargaan berupa nilai tambahan/ hadiah
serta meningkatkan rasa percaya diri mahasiswa dalam mempresentasikan hasil tugas kelompok.
Dengan usaha-usaha yang telah dilakukan terlihat bahwa pada siklus II hasil belajar
mahasiswa meningkat dari 55% pada siklus I dan menjadi 72,25% pada siklus II, mahasiswa yang
tuntas belajar mengalami peningkatan sebesar 17,25%. Peningkatan ini terjadi karena dalam
proses pembelajaran masing-masing mahasiswa sudah terlibat aktif dalam kelompok nya
sehingga tidak lagi bersifat individual dan pasif. Dengan mahasiswa terlibat aktif dalam
kelompok akan memberikan peluang untuk saling belajar dan mengajarkan satu sama lain.
Sehingga mahasiswa yang lebih dahulu menguasai materi dapat membantu mahasiswa lain dalam
mencapai penguasaan materi.
Sehingga dengan tercapainya penguasaan materi oleh semua mahasiswa dapat
meningkatan hasil belajar mahasiswa. Serta penerapan pembelajaran kooperatif tipe TGT ini
akan memberikan pengaruh terhadap proses belajar karena pembelajaran kooperatif tipe TGT

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


4
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

memberikan keterampilan mahasiswa untuk bertanya, mengemukakan pendapat, menerima saran


dan masukan dari orang lain, mengacu pada nilai-nilai kebersamaan dalam kelompok dan
kerjasama menjalin kekompakan dalam memahami suatu materi sehingga terjadi ketergantungan
yang positif dalam kelompok belajar dan dengan sendirinya dapat meningkatkan hasil belajar
mahasiswa.
Selain kelebihan tersebut, penerapan pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam penelitian
ini terdapat kelemahan yaitu pada saat berdiskusi suasana kelas menjadi gaduh atau ribut,
masing-masing anggota kelompok mengalami kesulitan pada saat memahami materi pelajaran
secara kelompok, karena selama ini pemahaman tentang materi pelajaran didapat mahasiswa dari
penjelasan yang diberikan oleh dosen. Kendala lain dalam penelitian ini adalah penggunaan
waktu selama proses pembelajaran lebih banyak digunakan untuk berdiskusi sehingga dalam
pembelajaran soal latihan secara bersama-sama kurang maksimal.
Tetapi dengan mengetahui kelemahan tersebut, peneliti selalu melakukan
perbaikan-perbaikan agar pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe
TGT dapat berjalan dengan optimal. Sehingga data hasil penelitian siklus I dan siklus II pada
proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT terjadi
peningkatan hasil belajar. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan ramadhani (2014) bahwa
model kooperatif tipe team game tournament dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas
belajar siswa. Selanjutnya hasil penelitian dari Kusumaningsih (2014) mengungkapkan bahwa
model pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengikuti
pembelajaran konvensional.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dan pembahasan yang telah dikemukakan,
maka dapat diambil kesimpulan bahawa Penerapan Model pembelajaran TGT dapat menigkatkan
hasil belajar Mahasiswa pada mata kuliah Perkembangan Peserta Didik di Universitas PGRI
Palembang. Mahasiswa yang dinyatakan tuntas dengan KKM > 70 pada siklus I sebesar 47% dan
pada siklus II meningkat menjadi 88,2%.

DAFTAR PUSTAKA
Asniar. 2009. Penerapan Model Kooperatif Tipe Team Game Tournament (TGT) Pada Materi
Kelarutan Dan Hasil Kali Kelarutan Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas XI SMA Negeri
3 Ketapang. Pontianak: FKIP Untan.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


5
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Kusumaningsih, Kiki Dwi. 2014. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams-Games
Tournament (TGT) Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Biologi Pada Konsep Sistem
Pencernaan Manusia. Faktor exacta 2 (1): 83-98.
Ramadhani, Dwi Windiana dan Amir, Hermansyah and Rohiat, salastri (2014) Penerapan Model
Kooperatif Tipe Team Game Tournament (TGT) Dengan Pendekatan Saintifik Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa di Kelas X7 MAN 1 Model Kota Bengkulu.
Bengkulu: Universitas Bengkulu.
Slavin, R.E. 2005. Cooperative Learning, Teori, Riset dan Praktik (penerjemah Nurulita Yusron).
Bandung: Penerbit Nusa Media.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


6
PROSIDING

MP-2
PERLINDUNGAN ANAK DI LINGKUNGAN KELUARGA DAN SEKOLAH

Maria Purnama Nduru


Universitas Flores
Mariapurnama99@yahoo.co.id

Abstrak
Perkembangan anak yang optimal menjadi harapan orangtua, keluarga, sekolah, masyarakat, dan
negara. Perkembangan tersebut dapat tercapai apabila kebutuhan dan dan hak anak terpenuhi,
salah satunya adalah mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama anak adalah tempat pertama bagi anak untuk
mendapatkan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan anak. Demikian pula halnya dengan
lingkungan sekolah sebagai lingkungan kedua anak. Karenanya, setiap pendidik dan tenaga
kependidikan perlu terus menerus berupaya guna memastikan terciptanya lingkungan sekolah
yang kondusif bagi perlindungan dan pemenuhan kebutuhan anak.
Kata kunci: perlindungan anak, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah

PENDAHULUAN
Permasalahan anak akhir-akhir ini semakin banyak diberitakan lewat berbagai media
televisi maupun media cetak. Permasalahan yang paling sering diberitakan adalah mengenai
kekerasan baik secara fisik maupun psikis. Kekerasan yang dialami oleh anak bisa terjadi dimana
saja dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Hal ini haruslah menjadi perhatian setiap orang dewasa
yang ada bersama anak.

Perhatian terhadap perkembangan anak menjadi penting agar anak bisa tumbuh dan
berkembang semaksimal mungkin secara optimal. Negara Indonesia mengatur berbagai aturan
yang melindungi anak-anak seperti dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B (2)
menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Hal ini, secara operasional
diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak, menyatakan “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib
mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan
lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau
masyarakat.” Perlindungan terhadap anak juga sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Hak
Anak.

Ketentuan Pasal 29 ayat (1) Konvensi Hak Anak menekankan, bahwa pendidikan
bertujuan untuk pengembangan kepribadian, bakat, kemampuan mental dan fisik anak hingga
mencapai potensi sepenuhnya; pengembangan sikap menghormati hak asasi manusia;

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pengembangan sikap menghormati kepada orang tua, identitas budaya, bahasa, dan nilai-nilai;
penyiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam suatu masyarakat dalam
semangat saling pengertian, damai, toleransi, kesetaraan gender, dan persahabatan antar semua
bangsa, suku, agama, termasuk anak dari penduduk asli; dan pengembangan rasa hormat pada
lingkungan alam. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa pendidikan anak mencakup semua
aspek psikis anak yang perlu dikembangkan dan menjadi kepribadian anak.

Pengembangan kepribadian anak dimulai dari lingkungan yang paling pertama dan utama
yaitu lingkungan keluarga. Dalam keluarga anak belajar berbagai pengetahuan, sikap dan
keterampilan dari orangtua, saudara, kakek, nenek, om, tanta dan sanak keluarga lainnya.
Semakin besar anak, lingkungan bermain dan belajar juga semakin luas. Ketika anak masuk
sekolah, lingkungan sekolah mulai mempengaruhinya. Anak mulai belajar dari teman sekolah,
guru- guru, pegawai, dan kepala sekolah. Lingkungan m asyarakat, media juga berperan dalam
perkembangan anak.

Lingkungan tempat belajar anak hendaklah lingkungan yang membuat anak merasa
aman, nyaman dan menyenangkan sehingga anak bisa berkembang seoptimal mungkin sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki setiap anak. Lingkungan yang kondusif dan menyenangkan
dapat dirasakan anak dengan terpenuhinya hak dan kebutuhan anak.

PEMBAHASAN

A. Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Diskriminasi


Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 1). Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hak anak adalah bagian dari hak
asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat,
negara, pemerintah, dan pemerintah daerah. Hak-hak anak menurut Konvensi PBB terdiri dari
empat kategori yaitu hak kelangsungan hidup; hak perlindungan; hak tumbuh kembang; dan hak
berpartisipasi. Perlindungan dan pemenuhan kebutuhan anak dilakukan oleh orangtua, keluarga,
sekolah dan masyarakat.
Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
(Undang-Undang Perlndungan Anak Pasal 15a).

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


8
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

B. Lingkungan Keluarga yang Menyenangkan


Lingkungan adalah jumlah semua benda hidup dan mati serta seluruh kondisi yang ada di
dalam ruang yang kita tempati (Imam Supardi, 2003:2). Keluarga menurut Syamsul Kurniawan
(2013:64) merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama dalam menanamkan norma dan
mengembangkan kebiasaan dan perilaku yang dianggap penting bagi kehidupan pribadi,
keluarga, dan masyarakat. Lingkungan keluarga adalah jumlah semua benda hidup dan mati serta
seluruh kondisi yang ada di dalam ruang yang ditempati pertama kali dan utama dalam
menanamkan norma dan mengembangkan kebiasaan dan perilaku yang dianggap penting bagi
kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.

Lingkungan keluarga menurut Ngalim Purwanto (2004:141) juga disebut lingkungan


pertama, sedangkan lingkungan Sekolah disebut lingkungan kedua dan lingkungan masyarakat
disebut lingkungan ketiga. Tanggung-jawab orangtua dalam mengasuh anak-anaknya agar
tercipta lingkungan keluarga yang menyenangkan menurut Sugijokanto (2014:2-6) antara lain
berdoa bersama, bekerja sama dalam satu tim, bersikap konsisten, dengarkan anak, kebiasaan
rutin, saling berkorban, berkomunikasi untuk menyelesaikan masalah, melibatkan anak dalam
pekerjaan orangtua dan makan bersama.

Keluarga merupakan tempat anak mendapatkan pemenuhan segala kebutuhan dan


haknya. Fungsi keluarga menurut Syarbini (2014:23) yaitu:

1. Fungsi Edukasi (fungsi yang berkaitan dengan pendidikan anak khususnya dan pendidikan
anggota keluarga pada umumnya)
2. Fungsi Proteksi (fungsi yang berkaitan dengan tempat perlindungan yang memberikan rasa
aman, tenteram lahir dan bathin sejak anak-anak berada dalam kandungan ibunya sampai
menjadi dewasa dan lanjut usia)
3. Fungsi Afeksi (fungsi yang berkaitan dengan ikatan emosional yang kuat antara para
anggotanya)
4. Fungsi Sosialisasi (fungsi yang berkaitan dengan kehidupan sosial anak )
5. Fungsi Reproduksi (fungsi yang berkaitan dengan penerusan generasi orangtuanya)
6. Fungsi Religi (fungsi yang berkaitan dengan kehidupan beragama)
7. Fungsi Ekonomi (fungsi yang berkaitan dengan peningkatan taraf hidup yang tercermin pada
pemenuhan alat hidup)
8. Fungsi Rekreasi (fungsi yang berkaitan dengan lingkungan yang nyaman, menyenangkan,
hangat, dan penuh gairah bagi setiap anggota keluarga untuk dapat menghilangkan rasa
keletihan)

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


9
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

9. Fungsi Biologis (fungsi yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan akan keterlindungan
fisik)
10. Fungsi Transformasi (fungsi yang berkaitan dengan tempat pewarisan tradisi dan budaya
kepada generasi setelahnya)
Keluarga hendaknya menjadi tempat anak bermain dan belajar berbagai hal dalam
suasana yang menyenangkan. Masalah yang terjadi dalam lingkungan keluarga yang g terjadi
dan akhir-akhir ini sering diberitakan adalah masalah kekerasan. Soetarso dalam Huraerah
(2012:67) menjelaskan beberapa karakteristik kekerasan dalam keluarga antara lain:

1. Penyalahgunaan kekuatan oleh yang paling kuat terhadap yang lemah.


2. Tingkatan kekerasan dari yang ringan sampai sangat berat atau fatal
3. Kekerasan dilakukan berkali-kali
4. Kekerasan berlangsung dalam konteks penyalahgunaan dan eksploitasi psikologis
5. Kekerasan berdampak negatif terhadap semua anggota keluarga atau rumah tangga, baik
yang terlibat dalam kekerasan maupun yang tidak.
Faktor-faktor keluarga yang mempengaruhi perkembangan anak menurut Slameto
(2013:60) antara lain cara orangtua mendidik anak, relasi antara anggota keluarga, suasana
rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga. Pasal 26 Undang-Undang Perlindungan Anak
menegaskan kewajiban dan tanggung jawab orangtua untuk mengasuh, memelihara, mendidik
dan melindungi anak; menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya; mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan memberikan pendidikan
karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

Lingkungan keluarga yang menyenangkan dapat tercipta bila cara orangtua mendidik
anak membuat anak merasa dicintai dan merasa senang, relasi antara anggota keluarga berjalan
dengan menyenangkan, suasana rumah tangga menyenangkan dan penuh kasih sayang tanpa
ada kekerasan serta keadaan ekonomi keluarga yang mapan.

C. Lingkungan Sekolah yang Menyenangkan


Lingkungan kedua setelah lingkungan keluarga adalah lingkungan sekolah. Sekolah
adalah lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan,
pengajaran, dan latihan dalam membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik
yang menyangkut aspek moral, spiritual, intelektual, emosional maupun sosial.

Faktor sekolah yang mempengaruhi perkembangan anak menurut Slameto (2013: 64)
antara lain: Metode Mengajar (metode mengajar guru yang baik ataupun yang kurang baik),
Kurikulum (bahan pelajaran, pengaturan waktu sekolah dan standar pelajaran), Relasi Guru
dengan Siswa (guru dan siswa mempunyai relasi yang baik maupun yang tidak baik), Relasi

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


10
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Siswa dengan Siswa (relasi antar siswa baik yang baik maupun yang tidak), Disiplin Sekolah
(mencakup kedisiplinan guru dalam mengajar dan melaksanakan tata tertib), Pelajaran dan Waktu
Sekolah, Standar Pelajaran, Keadaan Gedung, Metode Belajar, dan Tugas Rumah, fasilitas
Sekolah (alat pelajaran yang lengkap dan tepat akan memperlancar penerimaan bahan pelajaran
oleh siswa).
Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 9 ayat 1a dan Pasal 54 menegaskan bahwa
setiap anak berhak dan wajib mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari tindak
kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik,
tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Perlindungan tersebut dilakukan
oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat. Oleh karena itu,
lingkungan sekolah hendaklah menjadi lingkungan yang menyenangkan dimana anak merasa
aman dan nyaman dalam beraktivitas di sekolah.

SIMPULAN DAN SARAN

Lingkungan keluarga dan sekolah hendaklah menjadi lingkungan yang dapat melindungi
anak dari kekerasan dan diskriminasi. Lingkungan keluarga yang menyenangkan dapat tercipta
bila cara orangtua mendidik anak membuat anak merasa dicintai dan merasa senang, relasi antara
anggota keluarga berjalan dengan menyenangkan, suasana rumah tangga menyenangkan dan
penuh kasih sayang tanpa ada kekerasan serta keadaan ekonomi keluarga yang mapan.
Lingkungan sekolah yang menyenangkan adalah lingkungan sekolah yang dapat memenuhi
semua kebutuhan anak dan melindungi anak dari kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan
kejahatan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Cowie,Helen & Jennifer,Dawn, 2009. Penanganan Kekerasan di Sekolah. Jakarta: PT Indeks


Huraerah,Abu, 2012. Kekerasan Terhadap Anak. Bandung: Nuansa Cendekia
Kurniawan, Syamsul, 2013. Pendidikan Karakter, Konsepsi & implementasinya secara terpadu
di lingkungan keluarga, sekolah, perguruan tinggi & masyarakat. Yogyakarta:
AR-RUZZ MEDIA
Purwanto, M.Ngalim, 2004. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya
Slameto, 2013. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta
Sugijokanto,Suzie, 2014. Cegah kekerasan pada anak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Supardi, Imam, 2003. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Bandung: PT Alumni
Syarbini, Amirulloh, 2014. Model Pendidikan Karakter dalam Keluarga. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo
Undang-Undang Perlindungan Anak. 2014. Bandung: Fokus Media

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


11
PROSIDING

MP-3
11 PRINSIP EFEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER: RANCANGAN KEBIJAKAN DAN
PROGRAM MODEL PENDIDIKAN UNTUK MENANAMKAN DAN
MENGIMPLEMENTASIKAN NILAI-NILAI KARAKTER PADA JENJANG SEKOLAH
DASAR

Yohannes Kurniawan Barus


annezbarus@yahoo.com
STKIP PGRI Lubuklinggau

Abstrak
Dekadensi moral sedang menjangkit bangsa Indonesia ini. Banyak ditemukan perilaku-perilaku
anti karakter atau perilaku-perilaku siswa secara khusus dan masyarakat secara umum yang
bertentangan dengan aturan moral dan norma yang berlaku di masyarakat. Oleh karenanya,
pendidikan karakter memang sangat urgen bagi bangsa Indonesia, terutama untuk
mempersiapkan generasi muda sebagai para calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang..
Masalahnya, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal belum sepenuhnya dengan baik
mengembangkan pendidikan karakter yang dapat menginternalisasikan karakter kepada
siswanya. Masalah lainnya, kerjasama berbagai pihak baik sekolah, orang tua dan guru dalam
mengembangkan pendidikan karakter belum optimal. Makalah ini memaparkan tentang
kebijakan rancangan program model pendidikan untuk menanamkan dan mengimplementasikan
nilai-nilai karakter pada jenjang Sekolah Dasar.
Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Model Pendidikan Karakter

PENDAHULUAN
Pendidikan karakter merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah memudarnya
jati diri bangsa lewat pembentukan karakter bangsa itu sendiri. Hal tersebut semakin dibuktikan
dengan berbagai sosialisasi yang dilaksanakan oleh pemerintah diberbagai lingkungan.
Pendidikan karakter sendiri harus dikenalkan diberbagai lingkungan terutama di lingkungan
Pendidikan Dasar karena merupakan pondasi awal pendidikan.
Pendidikan karakter muncul sebagai jawaban dari maraknya tindakan-tindakan yang
tidak mencerminkan karakter bangsa Indonesia atau perilaku-perilaku siswa yang bertentangan
dengan aturan moral dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Pendidikan karakter telah
lama menjadi perhatian pemerintah.
Munculnya gagasan tentang pendidikan karakter pada akhir-akhir ini cukup menarik
perhatian berbagai kalangan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri pendidikan karakter memang
sangat urgen bagi bangsa Indonesia, terutama untuk mempersiapkan generasi muda sebagai para
calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang. Melalui pendidikan karakter diharapkan
mampu mencetak para generasi abad 21 yang tidak hanya “pintar” logikanya, akan tetapi juga

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

mewarisi karakter bangsa yang luhur. Untuk itulah revitalisasi pendidikan karakter menjadi
sebuah program yang sangat penting.
Seperti kita ketahui bersama saat ini tampak begitu jelas dekadensi moral yang sedang
menjangkit bangsa ini. Hasil survey terakhir terhadap pergaulan bebas pada remaja kita amat
mengkhawatirkan. Kesadaran masyarakat akan budaya kebersihan semakin menurun. Kepedulian
masyarakat terhadap lingkungan semakin memprihatinkan. Masih banyak masyarakat yang
memanfaatkan sungai sebagai layaknya TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah hingga
mengakibatkan bencana banjir. Budaya antre dan sopan-santun semakin pudar ditelan oleh arus
zaman globalisasi. Materialistik, konsumerisme, hedonisme, sekulerisme dan individualistic kini
secara perlahan tapi pasti telah menginternalisasi dalam masyarakat. Pelanggaran lalu lintas dan
tata tertib menjadi budaya baru yang seolah mengokohkan sebuah anekdot bahwa “hukum dan
tata tertib memang dibuat untuk dilanggar”. Di sisi lain kasus-kasus kekerasan, plagiarisme,
illegal logging dan korupsi pun kian menjamur. Inilah beberapa fakta yang dapat menjadi
pertimbangan dan renungan bangsa ini betapa pentingyamoral and character building bagi
terwujudnya bangsa Indonesia yang unggul dan beradab.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
pasal 1 (satu) antara lain disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Selain di dalam Undang-undang, karakter positif juga banyak
ditulis dalam visi dan misi lembaga pendidikan. Pada umumnya, lembaga pendidikan menyusun
visi yang tidak hanya bermuatan untuk menjadikan lulusannya cerdas tetapi juga berakhlak mulia.
Pembinaan karakter harus terus menerus dilakukan secara holistik dari semua lingkungan
pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan karakter pada usia dini di
keluarga bertujuan untuk pembentukan, pada usia remaja di sekolah bertujuan untuk
pengembangan sedangkan pada usia dewasa di bangku kuliah bertujuan untuk pemantapan.
Tugas-tugas pendidik adalah menyediakan lingkungan belajar yang baik untuk membentuk,
mengembangkan dan memantapkan karakter peserta didiknya.
Ada beberapa alasan perlunya pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya generasi
muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) Memberikan
nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama,
(3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak
memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan, (4)
masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian,

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


13
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk
pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat, (6)
Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai.
Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen
pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi guru yang baik, dan (8)
Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan
mengacu pada performansi akademik yang meningkat.
Lembaga pendidikan, khususnya sekolah dipandang sebagai tempat yang strategis untuk
membentuk karakter. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dalam segala ucapan, sikap dan
perilakunya mencerminkan karakter yang baik dan kuat. Pendidikan karakter disekolah diarahkan
pada terciptanya iklim yang kondusif agar proses pendidikan tersebut memungkinkan semua
unsur sekolah dapat secara langsung maupun tidak langsung memberikan dan berpatisipasi secara
aktif sesuai dengan fungsi dan perannya.
Mengingat pentingnya dalam membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang kuat,
maka dirasa tepat adanya pendidikan karakter. Disamping itu, pembentukan karakter juga
merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Dan untuk melaksanakannya
dibutuhkan kepedulian dari berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, keluarga, maupun
sekolah. Kondisi ini akan terbangun jika semua pihak memiliki kesadaran bersama dalam
membangun pendidikan karakter.
Menyadari kelemahan pelaksanaan kebijakan pendidikan di Indonesia, maka perlu
dibangun strategi pelaksanaan kebijakan pendidikan karakter yang diharapkan menjadi model
implementasi kebijakan pendidikan karakter yang tepat. Makalah ini memaparkan tentang
kebijakan rancangan program model pendidikan untuk menanamkan dan mengimplementasikan
nilai-nilai karakter pada jenjang Sekolah Dasar.

KAJIAN TEORI
Pengertian Pendidikan Karakter
Character Education Partnership, sebuah program nasional pendidikan karakter di
Amerika mendefinisikan pendidikan karakter sebagai berikut:
character education is an educational movement that supports the social, emotional
and ethical development of students. It is the proactive effort by schools, districts, and states
to instill in students important core, ethical and performance values such as caring, honesty,
diligence, fairness, fortitude, responsibility, and respect for self and others. Character
education provides long-term solutions to moral, ethical, and academic issues that are of
growing concern in our society and our schools. Character education teaches students how
to be their best selves and how to do their best work.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


14
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Pernyataan diatas dapat diartikan pendidikan karakter adalah gerakan pendidikan yang
mendukung perkembangan sosial, emosional dan etika siswa. Hal tersebut adalah upaya proaktif
oleh sekolah, kabupaten, dan negara untuk menanamkan dalam diri siswa utamanya nilai-nilai
etika dan kinerja seperti peduli, kejujuran, ketekunan, keadilan, ketabahan, tanggung jawab, dan
menghormati diri sendiri dan orang lain. pendidikan karakter memberikan solusi jangka panjang
untuk masalah moral, etika, dan akademik yang dari kekhawatiran dalam masyarakat kami dan
sekolah kami. pendidikan karakter mengajarkan siswa bagaimana menjadi diri yang terbaik dan
bagaimana untuk melakukan pekerjaan terbaik mereka.
Secara terminologis, makna akarakter dikemukakan oleh Thomas Lickona.Menurutnya
karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.”
Selanjutnya ia menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral
knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991:51). Menurut Lickona,
karaktermulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan
komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata
lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan
motivasi (motivations), serta perilaku(behaviors) dan keterampilan (skills).
Pemahaman tentang pendidikan karakter tetap menjadi fenomena yang sulit untuk
didefinisikan, karena mencakup pendekatan yang sangat luas dengan target tujuan, strategis
pedagogis, dan orientasi filosofis (Althof dan Berkowits, 2006:498). Althof dan Berkowits
(2006:499) mengidentifikasi perbedaan pendidikan moral dan pendidikan karakter. Pendidikan
moral fokus pengajarannya pada pengembangan penalaran rasa keadilan dan moralitas terhadap
keperdulian antar individu. Pendidikan karakter fokus pengajarannya pada pengembangan
karakter dari dalam (rohani) dan pengembangan karakter dari luar (jasmani) individu.
Menurut Sardiman dkk, (2010:2) pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang 9 meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang
Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil. Menurut Zamroni, pendidikan karakter merupakan proses untuk
mengembangkan pada diri setiap peserta didik kesadaran sebagai warga bangsa yang
bermartabat, merdeka, dan berdaulat serta berkemauan untuk menjaga dan mempertahankan
kemerdekaan dan kedaulatan tersebut (Darmiyati Zuchdi, 2011: 159). Berdasarkan beberapa
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang
dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami
nilai-nilai perilaku manusia yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma dalam kehidupan sehari-hari.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


15
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tujuan Pendidikan Karakter


Pada dasarnya pendidikan karakter lebih mengutamakan pertumbuhan moral individu
yang ada dalam lembaga pendidikan. Menurut Doni Koesoma A. (2007 : 134) disebutkan bahwa
tujuan pendidikan karakter adalah pendidikan karakter semestinya diletakkan dalam kerangka
dinamis dialektis, berupa tanggapan individu terhadap sosial dan kultural yang melingkupinya,
untuk dapat menempatkan dirinya menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada di dalam
dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin menjadi manusiawi. Semakin
menjadi manusiawi berarti juga semakin menjadi makhluk yang mampu berelasi secara sehat
dengan lingkungan di luar dirinya tanpa kehilangan otonomi dan kebebasannya sehingga dapat
bertanggung jawab.Tujuan pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter
dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang (Masnur Muslich, 2011: 81).
Tujuan pendidikan karakter adalah:
1. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan
warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
2. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan
nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
3. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi
penerus bangsa;
4. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif,
berwawasan kebangsaan; dan
5. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman,
jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan
penuh kekuatan (dignity) (Kemendiknas. 2010. b:7).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan
karakter adalah untuk menanamkan nilainilai dan pembaruan tata kehidupan sehingga dapat
membentuk karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, serta
dapat ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-Nilai dalam Pendidikan Karakter
Menurut Kemendiknas (2010.c : 9) nilai-nilai materi pendidikan karakter mencakup
aspek-aspek berikut:
1. Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


16
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

2. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
dan peraturan.
5. Kerja Keras: Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif: Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri: Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis: Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air: Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan
orang lain.
13. Bersahabat/Komuniktif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul,
dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai: Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa
senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain
dan masyarakat yang membutuhkan.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


17
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

18. Tanggung-jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

PEMBAHASAN
Rancangan Kebijakan dan Program Model Pendidikan Untuk Menanamkan dan
Mengimplementasikan Nilai-Nilai Karakter Pada Jenjang Sekolah Dasar
Pendidikan karakter dilakukan dengan pembiasaan untuk berperilaku positif dan
menjauhi perilaku negatif. The Character Education Partnership menyusun 11 prinsip
pendidikan karakter yang efektif yaitu: (1) mempromosikan nilai-nilai kode etik berdasarkan
karakter positif; (2) mendefinisikan karakter secara komprehensip untuk berpikir, berperasaan
dan berperilaku; (3) menggunakan pendekatan yang efektif, komprehensif, intensif dan proaktif;
(4) menciptakan komunitas sekolah yang penuh kepedulian; (5) menyediakan kesempatan kepada
siswa untuk melakukan dan mengembangkan tindakan bermoral; (6) menyusun kurikulum yang
menantang dan bermakna untuk membantu agar semua siswa dapat mencapai kesuksesan; (7)
membangkitkan motivasi instrinsik siswa untuk belajar dan menjadi orang yang baik di
lingkungannya; (8) menganjurkan semua guru sebagai komunitas yang profesional dan bermoral
dalam proses pembelajaran; (9) merangsang tumbuhnya kepemimpinan yang transformasional
untuk mengembangkan pendidikan karakter sepanjang hayat; (10) melibatkan anggota keluarga
dan masyarakat sebagai mitra dalam pendidikan karakter; (11) mengevaluasi karakter warga
sekolah untuk memperoleh informasi dan merangcang usaha-usaha pendidikan karakter
selanjutnya (Lickona, Schaps, & Lewis: 2003).
Penerapan 11 prinsip pendidikan karakter menjadi bagian dari program sekolah, bukan
menjadi tanggung jawab salah satu mata pelajaran, satu guru atau satu kegiatan saja. Pelaksanaan
pendidikan karakter diintegrasikan melalui peraturan dan tata tertib sekolah, proses belajar
mengajar di kelas dan kegiatan ekstrakurikuler. Pendidik wajib memberi teladan
perilaku/karakter yang baik pada peserta didiknya. The Character Education, Guidance,
Lifeskills dari (www.livewiremedia.com) mengidentifikasi manusia yang berkarakter baik adalah
manusia yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Trustworthiness: dapat dipercaya; 2) Respect:
menghormati, sopan-santun 3) Responsibility: memiliki tanggung jawab pada tugas yang
diberikan 4) Fairness: bersikap adil dan bijaksana dalam mengambil keputusan 5) Caring:
menunjukan kepedulian kepada sesama, suka menolong 6) Citizenship: menunjukkan sikap
kebangsaan, cinta pada negara/lembaga, loyal, disiplin menaati peraturan 7) Honesty: memiliki
sikap jujur, terbuka dan apa adanya 8) Courage: memiliki sikap berani atau suka tantangan 9)

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


18
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Diligence: memiliki sikap tekun, ulet, pantang menyerah dan kerja keras 10) Integrity: memiliki
integritas atau kata dan tindakan selalu konsisten.
Adapun kesebelas prinsip implementasi tersebut dapat diwujudkan dengan cara-cara
sebagai berikut :
1. The School Community Promotes Core Ethical And Performance Values As The
Foundation Of Good Character (Mempromosikan Nilai-Nilai Kode Etik Berdasarkan
Karakter Positif).
Sekolah dengan pengembangan karakter yang efektif harus mempromosikan
karakter yang baik sesuai kesepakatan tentang nilai-nilai etika dan kinerja inti yang
mereka ingin tanamkan pada siswa mereka. Dalam hal ini sekolah harus proaktif dalam
mempromosikan tentang nilai-nilai karakter yang ingin mereka berikan kepada siswanya.
Hal ini bertujuan agar semua warga sekolah mengetahui apa saja nilai-nilai karakter yang
ingin dikembangkan oleh sekolah tersebut. Sekolah yang efektif dalam mengembangkan
karakter juga akan nampak dalam visi dan misi mereka yang akan memasukkan karakter
dalam tujuan sekolah mereka.
Indikator yang dapat diterapkan adalah :
a. Pemangku kepentingan dalam komunitas sekolah memilih atau menentukan
nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan di sekolah.
b. Membuat panduan aktivitas setiap aspek kehidupan di sekolah.
c. Komunitas sekolah mengartikulasikan tujuan karakter terkait dan harapanmelalui
laporan terlihat dari nilai-nilai etika dan kinerja intinya.
2. The School Defines “Character” Comprehensively To Include Thinking, Feeling, And
Doing (Mendefinisikan Karakter Secara Komprehensip Untuk Berpikir, Berperasaan
Dan Berperilaku).
Karakter yang baik melibatkan pemahaman, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai
etika dan perilaku. Pendekatan holistik untuk pengembangan karakter karena itu
berusaha untuk mengembangkan disposisi kognitif, emosional, dan perilaku yang
dibutuhkan untuk melakukan hal yang benar dan melakukan pekerjaan yang baik. Siswa
tumbuh untuk memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya,
mengamati model perilaku, dan menyelesaikan masalah yang melibatkan nilai-nilai.
Siswa belajar untuk peduli tentang nilai-nilai inti dengan mengembangkan keterampilan
empati, membentuk hubungan peduli, mengembangkan kebiasaan kerja yang baik,
mengambil tanggung jawab yang berarti, membantu untuk menciptakan masyarakat,
mendengar cerita-cerita inspirasional, dan merefleksikan pengalaman hidup. Dan mereka
belajar untuk bertindak atas nilai-nilai inti dengan berusaha untuk melakukan yang

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


19
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

terbaik dan menjadi yang terbaik dalam semua bidang kehidupan sekolah. Sebagai
anak-anak tumbuh dalam karakter, mereka mengembangkan pemahaman yang semakin
beretika dan nilai-nilai kinerja, komitmen lebih dalam untuk hidup sesuai dengan
nilai-nilai, dan kapasitas yang lebih kuat dan kecenderungan untuk berperilaku sesuai
dengan moral dan etika. Untuk itu sekolah harus dengan jelas mendefinikan nilai-nilai
karakter yang sekolah ingin kembangkan dan membuat bagaimana implementasi
karakter tersebut dapat diterapkan oleh siswa dalam kegiatan-kegiatan terutama di
sekolah.
Indikator yang dapat diterapkan antara lain :
a. Sekolah membantu siswa memperoleh pemahaman yang sesuai dengan tahapan
perkembangan nilai-nilai inti dalam perilaku sehari-hari dan memahami alasan
mengapa beberapaperilaku (misalnya, melakukan yang terbaik dan menghormati
orang lain mewakili karakter yang baik.
b. Sekolah membantu siswa merefleksikan nilai-nilai inti, menghargai setiap potensi
siswa.
c. Sekolah membantu siswa mempraktikkan nilai-nilai inti sehingga menjadi
kebiasaanpola perilaku.
3. The School Uses A Comprehensive, Intentional, And Proactive Approach To
Character Development(Sekolah menggunakan cara yang komprehensif, disengaja, dan
pendekatan yang proaktif untuk pengembangan karakter).
Sekolah yang berkomitmen untuk pengembangan karakter melihat diri mereka
sendiri melalui lensa karakter untuk menilai bagaimana hampir segala sesuatu yang
terjadi di sekolah mempengaruhi karakter siswa. Sebuah pendekatan yang komprehensif
menggunakan semua aspek sebagai peluang untuk pengembangan karakter. Ini termasuk
kurikulum dan ekstrakurikuler kegiatan akademis formal, serta apa yang kadang-kadang
disebut kurikulum tersembunyi maupun informal (misalnya, bagaimana prosedur sekolah
mencerminkan nilai-nilai inti, bagaimana orang dewasa karakter yang baik Model,
bagaimana proses pembelajaran menghormati siswa, bagaimana keragaman siswa
ditujukan , dan bagaimana kebijakan disiplin mendorong refleksi dan pertumbuhan
mahasiswa).
Dengan pendekatan yang disengaja dan proaktif, staf sekolah melakukan lebih
dari bereaksi terhadap "saat mendidik" untuk mengintegrasikan pelajaran karakter.
Mereka mengambil langkah-langkah yang disengaja untuk menciptakan peluang bagi
pengembangan karakter

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


20
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Indikator yang dapat diterapkan antara lain :


1. Sekolah dengan sadar dan proaktif dalam menangani karakter di semua tingkatan
kelas.
2. Pendidikan karakter terintegrasi ke dalam konten akademik dan instruksi.
3. Pendidikan karakter merupakan prioritas dalam kegiatan atau perilaku guru di kelas
mereka.
4. Pendidikan karakter ditanamkan sepanjang hari sekolah di kelas, olahraga,
pertemuan, dankegiatan ko-kurikuler.
4. The School Creates A Caring Community (Menciptakan Komunitas Sekolah Yang
Penuh Kepedulian).
Sebuah yang berkomitmen mengembangkan karakter berusaha untuk menjadi
komunitas yang baik agar karakter dapat tercipta dengan baik. Hal ini dilakukan dengan
menciptakan sebuah komunitas yang membantu semua anggotanya membentuk
hubungan hormat dan tanggung jawab untuk satu sama lain. Ini melibatkan
mengembangkan hubungan peduli antara siswa dan staf, di kalangan siswa (di dalam dan
di tingkat kelas), antara staf, dan antara staf dankeluarga. Hubungan peduli mendorong
kedua keinginan untuk belajar dan keinginan untuk menjadi orang baik. Semua
anak-anak dan remaja memiliki kebutuhan untuk keselamatan, milik, dan pengalaman
kontribusi, dan mereka lebih mungkin untuk menginternalisasi nilai-nilai dan harapan
dari kelompok yang memenuhi kebutuhan tersebut. Demikian juga, jika anggota staf dan
orang tua mengalami saling menghormati, keadilan, dan kerjasama dalam hubungan
mereka satu sama lain, mereka lebih mungkin untuk mengembangkan kapasitas untuk
mempromosikan nilai-nilai tersebut pada siswa. Dalam sebuah komunitas sekolah yang
peduli, kehidupan sehari-hari ruang kelas dan semua bagian lain dari lingkungan sekolah
yang dijiwai dengan iklim perhatian dan rasa hormat untuk yang lain.
Indikator yang dapat diterapkan antara lain :
1. Sekolah membuat tinggi untuk membantu siswa membentuk kepribadian peduli satu
samalain.
2. Sekolah mengambil langkah untuk mencegah teradinya kekejaman dan kekerasan
dilingkungan sekolah atau bullying.
5. The School Provides Students With Opportunities For Moral Action(Menyediakan
Kesempatan Kepada Siswa Untuk Melakukan Dan Mengembangkan Tindakan
Bermoral).
Dalam etika seperti dalam domain intelektual, siswa secara konstruktif belajar
terbaik dengan melakukan. Untuk mengembangkan aspek kognitif, emosional, dan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


21
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

perilaku dari karakter mereka, siswa perlu banyak dan beragam peluang untuk bergulat
dengan tantangan kehidupan nyata (misalnya, bagaimana merencanakan dan
melaksanakan tanggung jawab yang penting, bekerja sebagai bagian dari tim,
bernegosiasi untuk damai solusi, mengenali dan mengatasi dilema etika, dan
mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan sekolah dan masyarakat). Melalui
pengalaman berulang dan refleksi, siswa mengembangkan apresiasi dan komitmen untuk
bertindak atas nilai-nilai etika dan kinerja mereka. Saat memberikan pelayanan kepada
orang lain, sekolah mengikuti pedoman untuk layanan yang efektif belajar termasuk
mahasiswa suara dan pilihan, integrasi layanan ke dalam kurikulum, dan refleksi. Selain
KKN, tindakan moral dapat mencakup resolusi konflik, anti-bully, integritas akademik,
dan sportivitas.
Indikator yang dapat diterapkan antara lain :
1. Sekolah menetapkan harapan yang jelas bagi siswa untuk terlibat dalam tindakan
yang mengembangkan danmenunjukkan karakter yang baik.
2. Sekolah menyediakan peluang bagi siswa yang bervariasi untuk terlibat dalam
tindakan positif,tindakan yang bertanggung jawab di sekolah, dan siswa terlibat
dalam kesempatan ini dan mencerminkanpada mereka.
3. Sekolah meberikan kesempatan kepada siswa untuk membuat kontribusi kepada
masyarakat yang lebih besar.
6. The School Offers A Meaningful And Challenging Academic Curriculum That
Respects All Learners, Develops Their Character, And Helps Them To Succeed
(Menyusun Kurikulum Yang Menantang Dan Bermakna Untuk Membantu Agar Semua
Siswa Dapat Mencapai Kesuksesan)
Karena siswa datang ke sekolah dengan beragam keterampilan, minat, latar
belakang, dan kebutuhan belajar, program akademik yang membantu semua siswa
berhasil akan menjadi salah satu di mana isi dan pedagogi melibatkan semua peserta
didik dan memenuhi kebutuhan masing-masing. Ini berarti menyusun kurikulum yang
secara inheren menarik dan bermakna bagi siswa dan mengajar dengan cara yang
menghormati dan peduli untuk siswa sebagai individu. Guru yang baik memiliki
ketekunan, tanggung jawab, dan peduli karena mereka membedakan instruksi,
menggunakan berbagai strategi pengajaran dan pembelajaran aktif, dan mencari
cara-cara yang karakter berpotensi dikembangkan di dalam dan melalui proses belajar
mengajar sehari-hari. Ketika guru membawa kedepan dimensi karakter kelas mereka,
mereka meningkatkan relevansi materi pelajarandan keterampilan area konten untuk
kepentingan alami siswa dan pertanyaan, dan dalam proses, meningkatkan keterlibatan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


22
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

siswa dan prestasi. Ketika guru menyoroti model keunggulan dan etika dan
mempromosikan keterampilan sosial-emosional, seperti kesadaran diri dan manajemen
diri, dan pembuatan keputusan etis, siswa dapat mengakses kurikulum dengan fokus yang
lebih besar. Ketika guru mempromosikan nilai-nilai moral dan kinerja seperti integritas
akademik, keingintahuan intelektual, berpikir kritis, dan ketekunan, siswa lebih mampu
melakukan pekerjaan terbaik mereka dan mendapatkan lebih besar otonomi, kompetensi,
dan rasa percaya diri.
Indikator yang dapat diterapkan antara lain :
1. Kurikulum akademik memberikan tantangan dan sesuai untuk semua murid.
2. Staf sekolah mengidentifikasi, memahami, dan mengakomodasi beragam
kepentingan,budaya, dan kebutuhan belajar semua siswa.
7. The School Fosters Students’ Self-Motivation (Membangkitkan Motivasi Instrinsik
Siswa Untuk Belajar Dan Menjadi Orang Yang Baik Di Lingkungannya).
Karakter berarti melakukan hal yang benar dan melakukan pekerjaan yang
terbaik. Alasan etika yang mendasari aturan berikut, misalnya, adalah menghormati
hak-hak orang lain Sekolah hendaknya mendorong siswa untuk berbuat baik kepada
orang lain dn keinginan untuk menjadi orang yang baik. Sekolah hendaknya mampu
menumbuhkan motivasi kepada dan tempat untuk melakukan hal-hal baik.
Indikator yang dapat diterapkan antara lain :
1. Pendekatan yang dilakukan sekolah agar siswa menggunakan semua aspek
manajemen perilaku termasuk aturan dan penegakan aturan sebagai kesempatan
untuk mendorong pengembangan karakter siswa, terutama pemahaman dan
komitmen terhadap nilai-nilai karakter.
8. The School Staff Is An Ethical Learning Community That Shares Responsibility For
Character Education And Adheres To The Same Core Values That Guide The
Students (Menganjurkan Semua Guru Sebagai Komunitas Yang Profesional Dan
Bermoral Dalam Proses Pembelajaran).
Semua guru staf sekolah, kepala sekolahdan semua warga sekolah perlu
dilibatkan dalam mempelajari, mendiskusikan, upaya melaksanakan pendidikan karakter
di sekolah. Dalam proses pembelajaran dikelas penanaman nilai-nilai karakter harus
diberikan oleh guru, hal ini berati guru mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam mata
pelajaran yang diajarkan dikelas.
Indikator yang dapat diterapkan antara lain :
1. Staf sekolah memnberikan contoh penerapan nilai-nilai karalter dalam interaksi
mereka dengan siswa dan satu sama lain, dan siswa dan orang tua.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


23
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

2. Sekolah termasuk semua staf turut serta dalam perencanaan, mengaplikasin


nilai-nilai karakter di sekolah dan di masyarakat.
3. Sekolah mengadakan refleksi terhadap nilai-nilai karakter yang diterpakan.
9. The School Fosters Shared Leadership And Longrange Support Of The Character
Education Initiative (Merangsang Tumbuhnya Kepemimpinan Yang Transformasional
Untuk Mengembangkan Pendidikan Karakter Sepanjang Hayat).
Sekolah yang terlibat dalam pendidikan karakter yang efektif memiliki
pemimpin yang tegas. Banyak sekolah dan kabupaten membentuk komite pendidikan
karakter sering terdiri dari staf, siswa, orang tua, dan anggota masyarakat yang
mengambil tanggung jawab untuk perencanaan, pelaksanaan, dan dukungan. Seiring
waktu, tubuh pemerintahan reguler sekolah atau kabupaten dapat mengambil fungsi dari
komite atau, sebagai tujuan pendidikan karaktermenjadi terkenal dan sepenuhnya
bersama, struktur organisasi formal mungkin tidak lagi diperlukan. Kepemimpinan juga
mengambil langkah untuk menyediakan dukungan jangka panjang (misalnya,
pengembangan staf yang memadai, waktu untuk merencanakan) dari inisiatif pendidikan
karakter, termasuk, idealnya, dukungan di tingkat kabupaten dan negara. Selain itu, di
sekolah, siswa mengambil peran sesuai dengan tahapan perkembangan dalam memimpin
upaya pendidikan karakter melalui, misalnya, pertemuan kelas, organisasi siswa, rekan
mediasi, lintas usia bimbingan, klub layanan, gugus tugas, dan inisiatif siswa yang
dipimpin.
Indikator yang dapat diterapkan antara lain :
1. Kepala sekolah, staf gan guru haruslah memiliki karakter baik sehingga dapat
memberikan contoh yang baik kepad siswa.
2. Mendorong keterlibatan seluruh warga sekolah dalam kegiatan yang terkait
pengembangan karakter.
3. Siswa secara eksplisit terlibat dalam menciptakan dan memelihara rasa kebersamaan
dan peran kepemimpinan lain yang berkontribusi terhadap upaya pendidikan
karakter.
10. The School Engages Families And Community Members As Partners In The
Character-Building Effort(Melibatkan Anggota Keluarga Dan Masyarakat Sebagai
Mitra Dalam Pendidikan Karakter).
Sekolah yang melibatkan keluarga dan memasukkan mereka dalam upaya
pembangunan karakter sangat meningkatkan peluang mereka untuk sukses dengan siswa.
Sekolah berkomunikasi dengan keluarga melalui pertemuan-pertemuan rutin dan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


24
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

kegiatan yang menyangkut pendidikan karakter. Untuk membangun kepercayaan yang


lebih besar antara rumah atau keluarga dan sekolah, orang tua diwakili pada karakter
komite pendidikan atau melalui apa pun struktur pengambilan keputusan ada.
Sekolah-sekolah ini juga membuat upaya khusus untuk menjangkau kelompok dari orang
tua yang mungkin tidak merasa menjadi bagian dari komunitas sekolah. Akhirnya,
sekolah dan keluarga meningkatkan efektivitas kemitraan mereka dengan merekrut
bantuan dari masyarakat luas (yaitu, bisnis, organisasi pemuda, lembaga keagamaan,
pemerintah, dan Media) dalam mempromosikan pengembangan karakter.
Indikator yang dapat diterapkan antara lain :
1. Sekolah dan keluarga terlibat dalam inisiatif pendidikan karakter.
2. Sekolah berkomunikasi dengan orang tua dan wali,memberikan saran dan kegiatan
yang membantu mereka memperkuat nilai-nilai karakter baik secara formal dan
informal pada efektivitas upaya pendidikan karakter di sekolah.
3. Sekolah merekrut bantuan dari masyarakat luas.
11. The School Regularly Assesses Its Culture And Climate, The Functioning Of Its Staff
As Character Educators, And The Extent To Which Its Students Manifest Good
Character (Mengevaluasi Karakter Warga Sekolah Untuk Memperoleh Informasi Dan
Merangcang Usaha- Usaha Pendidikan Karakter Selanjutnya).
Pendidikan karakter yang efektif meliputi penilaian berkelanjutan kemajuan dan
hasil menggunakan langkah-langkah kualitatif dan kuantitatif. Sekolah menggunakan
berbagai data assessment (misalnya, skor tes akademik, kelompok fokus, hasil survei)
yang mencakup persepsi siswa, guru, dan orang tua. Sekolah melaporkan data ini dan
menggunakannya untuk menentukan langkah selanjutnya. Sekolah mengelola kuesioner
kepada para pemangku kepentingan di awal inisiatif pendidikan karakter dan lagi nanti
untuk menilai kemajuan.
Tiga hal yang menjadi perhatian utama dalam mengevaluasi karakter. Pertama,
sekolah menilai budaya dan iklim sekolah dalam terang nilai-nilai inti dengan
menanyakan stakeholder pertanyaan tentang sejauh mana anggota komunitas sekolah
menunjukkan nilai-nilai inti dan dengan demikian berfungsi sebagai komunitas belajar
etika. Misalnya, sekolah mungkin mengelola survei iklim di mana mereka meminta siswa
apakah mereka setuju dengan pernyataan seperti, "Siswa di sekolah ini (kelas)
menghormati dan peduli satu sama lain." Kedua, sekolah menilai pertumbuhan staf
sebagai pendidik karakter dengan memeriksa sejauh mana mereka menjdi model
nilai-nilai inti dan mengintegrasikan nilai-nilai ini ke dalam pengajaran mereka dan
interaksi lain dengan siswa. Sekolah meminta guru untuk merenungkan praktik

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


25
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pendidikan karakter mereka, siswa survei tentang persepsi mereka tentang guru mereka
sebagai model peran, dan memiliki prosedur administrasi untuk memantau perilaku guru
yang diinginkan. Ketiga, sekolah menilai karakter siswa dengan memeriksa sejauh mana
siswa pemahaman nyata dari, komitmen untuk, dan tindakan atas nilai-nilai etika inti.
Sekolah dapat, misalnya, mengumpulkan data tentang berbagai perilaku karakter yang
terkait (misalnya, kehadiran, suspensi, vandalisme, jam pelayanan, insiden obat, dan
kecurangan). sekolah yang efektif mengumpulkan data tentang hasil yang diinginkan
dalam sikap dan perilaku siswa dan melaporkan kepada orang tua pada pertumbuhan
siswa dalam karakter seperti mereka melaporkan kemajuan akademik (misalnya, pada
rapor, selama konferensi orang tua / guru).
Indikator yang dapat diterapkan antara lain :
1. Sekolah menetapkan tujuan dan teratur menilai (baik secara kuantitatif dan kualitatif)
budaya, iklim, dan berfungsi sebagai komunitas belajar etika.
2. Anggota staf dan warga sekolah merenungkan dan melaporkan upaya mereka untuk
menerapkan pendidikan karakter, serta pada pertumbuhan mereka sebagai pendidik
karakter.
3. Sekolah menilai kemajuan siswa dalam mengembangkan pemahaman tentang
dankomitmen untuk karakter yang baik dan sejauh mana siswa bertindak atas
nilai-nilai karakter.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan dapat disimpulkan rancangan model
pendidikan untuk mengimplementasikan pendidikan karakter di Sekolah Dasar terdiri dari 11
langkah efektif untuk mengembakan dan menanamkan nilai-nilai karakter di Sekolah Dasar,
sebelas langkah tersebut adalah :
1. Mempromosikan nilai-nilai kode etik berdasarkan karakter positif.
2. Mendefinisikan karakter secara komprehensip untuk berpikir, berperasaan dan berperilaku.
3. Menggunakan pendekatan yang efektif, komprehensif, intensif dan proaktif.
4. Menciptakan komunitas sekolah yang penuh kepedulian.
5. Menyediakan kesempatan kepada siswa untuk melakukan dan mengembangkan tindakan
bermoral.
6. Menyusun kurikulum yang menantang dan bermakna untuk membantu agar semua siswa
dapat mencapai kesuksesan.
7. Membangkitkan motivasi instrinsik siswa untuk belajar dan menjadi orang yang baik di
lingkungannya.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


26
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

8. Menganjurkan semua guru sebagai komunitas yang profesional dan bermoral dalam proses
pembelajaran.
9. Merangsang tumbuhnya kepemimpinan yang transformasional untuk mengembangkan
pendidikan karakter sepanjang hayat;
10. Melibatkan anggota keluarga dan masyarakat sebagai mitra dalam pendidikan karakter.
11. Mengevaluasi karakter warga sekolah untuk memperoleh informasi dan merangcang usaha-
usaha pendidikan karakter selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA
A.M, Sardiman. (2010). Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta: Rajawali pers.
Berkowitz, M.W., Battisich, V.A., Bier, M.C. (2008). What Works in Character Education: What
Is Known and What Needs to Be Known. Handbook of Moral and Character Education.
New York:Tailor and Francis.
Doni Koesoema A.(2007). Pendidikan Karakter. Jakarta : PT Grasindo.
Kemdiknas. (2010b). Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.
Jakarta:Kemdiknas.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and
Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam books.
Lickona, T., Schaps, E., & Lewis, C. (2003). CEP’s Eleven Principles of Effective Character
Education. Washington, DC: Character Education Partnership.
Masnur Muslih. (2011). Pendidikan Karakter; Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional.
Jakarta: PT Bumi Aksara.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


27
PROSIDING

MP-4
EVALUASI PENGGUNAAN LABORATORIUM IPA (FISIKA) PADA SMP/MTS DI
KABUPATEN ENDE
Melkyanus Kaleka1), Adrianus Nasar2), Aloisius Harso3)
1,2,3
Program Studi Pend. Fisika FKIP Universitas Flores
1
eka.umbu@yahoo.co.id, 2adrianusnasar@rocketmail.com, 3harsoaloisius@yahoo.co.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelengkapan fasilitas laboratorium fisika sesuai
peraturan mentri pendidikan nasional no. 24 Tahun 2007 dan juga mengetahui penggunaan
fasilitas laboratorium fisika dalam kegiatan pembelajaran pada Sekolah Menengah Pertama atau
Madrasah Tsanawiyah di Kabupaten Ende sesuai kompetensi dasar yang tertuang dalam
peraturan mentri pendidikan nasional no. 22 Tahun 2006. Penelitin ini merupakan penelitian
evaluasi, dengan model evaluasi yang digunakan adalah model kesenjangan (discrepancy model).
Objek penelitian adalah SMP/MTs yang pada 5 kecamatan di kabupaten Ende yang berjumlah 20
sekolah. Teknik pengumpulan data dengan teknik observasi, dokumentasi, koesioner dan
wawancara. Teknik analisis data dengan analisis statistik deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kelengkapan fasilitas laboratorium fisika yang ada pada SMP/MTs di
Kabupaten Ende termasuk dalam kategori sesuai dengan PERMENDIKNAS no. 24 Tahun 2007,
dan penggunaan fasilitas laboratorium fisika dalam kegiatan pembelajaran pada SMP/MTs di
Kabupaten Ende sesuai kompetensi dasar yang tertuang dalam PERMENDIKNAS no. 22 Tahun
2006 termasuk pada kategori cukup.
Kata kunci: Evaluasi, laboratorium IPA

PENDAHULUAN

Lingkungan belajar dan kesiapan belajar sangatlah berpengaruh terhadap prestasi belajar
siswa (Anisa, dkk. 2013). Laboratorium IPA berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses
pembelajaran yang tidak mudah digantikan dengan ruang kelas. Laboraotium IPA merupakan
tempat pembelajaran dalam upaya meniru ahli IPA mengungkap rahasia alam dalam bentuk
proses pembelajaran. Sehingga pihak sekolah, baik kepala sekolah dan juga guru mata pelajaran
IPA atau pengelola laboratorium, harus mampu mengelola dan memanfaatkan laboratoium IPA
secara efektif dan efisien, sehingga dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar IPA bagi
siswa (Wita Sutrisno, 2007: 5). Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak guru masih
jarang melaksanakan pembelajaran di laboratorium dengan memanfaatkan alat-alat laboratorium
sebagai sarana untuk mencapai tujuan, hal ini didukung oleh pendapat Ade Kusnandar dalam
Retna Sundari (2008) yang mengemukakan mengapa guru jarang menggunakan media yaitu: (1)
repot, (2) media itu canggih dan mahal, (3) tidak bisa menggunakan atau terbatasnya kemampuan,
(4) pembelajaran menjadi santai dan kurang serius, (5) terbatasnya sarana alat/media
pembelajaran tersebut di sekolah, (6) kebiasaan menikmati bicara.

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Hasil studi yang dilakukan oleh Mamat Supriatna (2008) terhadap 18 laboratorium IPA
SMA Negeri binaan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga
Kependidikan (P4TK) IPA yang tersebar pada 7 provinsi di Indonesia, antara lain ditemukan
bahawa: (1) 33,33% dari SMA Negeri binaan memiliki sarana dan prasarana laboratorium yang
memadai, (2) kualitas pengelolaan laboratorium di SMA Negeri binaan masih tergolong rendah,
(3) pengelolaan laboratorium pada umumnya masih dilakukan oleh guru bidang studi dan
beberapa SMA Negeri binaan tidak memiliki laboran.

Dari hasil survei awal pada beberapa SMP/MTs yang ada di Kabupaten Ende, terdapat
sekolah yang belum memiliki laboratorium walaupun alat-alat laboratorium sudah dimiliki.
Dengan demikian guru merasa enggan untuk memanfaatkan alat-alat laboratorium tersebut untuk
membuat pratikum dalam kegiatan pembelajaran, karena kondisi alat masih terbungkus rapi dan
belum dibongkar sejak awal pembelian. Ada juga beberapa sekolah yang memiliki alat-alat yang
sangat minim, sehingga guru IPA jarang melakukan eksperimen dalam proses pembelajaran IPA.
Seharusnya seorang guru IPA harus memiliki keterampilan menggunakan, mengelola alat dan
bahan laboratorium guna mendukung proses keberhasilan pembelajaran IPA (E. Peniati, 2013).

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007
tentang standar sarana dan prasarana, disebutkan bahwa komponen fasilitas laboratorium IPA di
SMP/MTs meliputi (1) bangunan/ruang laboratorium, (2) perabot, (3) peralatan pendidikan, (4)
media pendidikan, (5) perlengkapan lain. Berdasarkan PERMENDIKNAS tersebut, pemerintah
mewajibkan bagi seluruh SMP/MTs baik swasta maupun negeri agar memenuhi kriteria minimal
yang telah distandarkan tersebut.

Pelaksanaan praktikum dalam proses pembelajaran IPA di SMP/MTs mengacu pada


standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah diatur dalam PERMENDIKNAS No. 22
tahun 2006. Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA di SMP/MTs merupakan
standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh peserta didik dan menjadi acuan dalam
pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada
pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan
sendiri yang difasilitasi oleh guru. Berdasarkan penjelasan di atas, maka seorang guru IPA harus
mampu menganalisa KD mana yang nantinya perlu atau wajib untuk dilakukan percobaan atau
praktikum dalam kegiatan pembelajaran.

Kabupaten Ende di Propinsi NTT memiliki SMP/MTs berjumlah 94 sekolah yang tersebar
pada 22 kecamatan. Jumlah sekolah yang juga terus bertambah setiap tahun, tentunya harus
didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana laboratorium IPA serta kemampuan guru
IPA dalam memanfaatkan serta menggunakan sarana dan prasaranan laboratorium yang ada.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


29
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Untuk itu perlu dilakukan evaluasi untuk mengetahui ketersedian sarana dan prasaranan
laboratorium IPA yang ada pada SMP/MTs di Kabupaten Ende, serta pemanfaatan atau
penggunaan labaratorium IPA dalam kegiatan pembelajaran.

Tujuan utama yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui; 1)
Kelengkapan fasilitas laboratorium IPA (fisika) yang ada pada SMP/MTs di Kabupaten Ende
sesuai PERMENDIKNAS no. 24 Tahun 2007. 2) Penggunaan fasilitas laboratorium IPA (fisika)
dalam kegiatan pembelajaran pada SMP/MTs di Kabupaten Ende sesuai kompetensi dasar yang
tertuang dalam PERMENDIKNAS no. 22 Tahun 2006. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh
dari penelitian ini adalah; sebagai masukan bagi guru mata pelajaran IPA (fisika) dalam kegiatan
pembelajaran di sekolah, sebagai masukan bagi sekolah untuk memperhatikan kelengkapan
fasilitas laboratorium IPA (fisika) serta pemanfaatannya dalam proses pembelajaran, dan sebagai
bahan informasi bagi Dinas P&K Kab. Ende dalam merencanakan program kegiatan yang
mendukung proses pembelajaran di SMP/MTs Kab. Ende.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk penelitian evaluasi dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.


Penelitian evaluasi ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang ketersedian sarana dan
prasarana laboratorium IPA (fisika) serta penggunaan laboratorium IPA (fisika) dalam kegiatan
pembelajaran. Informasi yang terkumpul dapat dijadikan sebagai dasar dan landasan untuk
membuat rekomendasi dalam mendukung kebijakan atau keputusan tentang penggunaan
laboaratorium IPA (fisika). Model evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu model
kesenjangan (discrepancy model), yaitu menekankan pada pandangan adanya kesenjangan
didalam pelaksanaan program.

Penelitian ini bertempat di Kabupaten Ende, lebih khusus SMP/MTs yang berada pada
seputar kota Ende, yang tersebar pada 5 kecamatan. Penelitan direncanakan pada bulan Januari –
April tahun 2016. Objek penelitian adalah SMP/MTs yang pada 5 kecamatan di kabupaten Ende
yang berjumlah 20 sekolah. Dari SMP/MTs yang telah ditetapkan, subjek penelitiannya yaitu
pada seluruh guru-guru IPA dan masing-masing sepuluh orang siswa/i kelas VIII dan kelas IX
dari setiap sekolah. Untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan tujuan penelitian,
maka digunakan teknik observasi, dokumentasi, kuesioner, dan wawancara. Observasi;
digunakan untuk mengetahui keberadaan, jumlah dan juga kondisi sarana dan prasarana
laboratorium IPA (fisika). Dokumentasi digunakan untuk mengetahui kelengkapan atministrasi
terkait sarana dan prasarana laboratorium IPA (fisika). Angket digunakan untuk mengetahui
keterlaksanaan pemanfaatan fasilitas laboratorium dalam proses pembelajaran. Koesiner

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


30
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

diberikan pada guru dan siswa. Sedangkan, wawancara digunakan sebagai data pendukung dalam
penelitian. Wawancara dilakukan kepada kepala sekolah dan guru IPA (fisika)

Berdasarkan teknik pengumpulan data di atas, maka intrumen pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi, angket atau pertanyaan-pertanyaan, dan
pedoman wawancara.

a. Lembar observasi
Untuk mengetahui mengetahui keberadaan, jumlah dan juga kondisi sarana dan prasarana
laboratorium IPA, maka lembar observasi yang digunakan mengacu pada standar sarana dan
prasaranan yang tertuang dalam PERMENDIKNAS no. 24 tahun 2007.

b. Lembar angket
Untuk mengetahui keterlaksanaan pemanfaatan fasilitas laboratorium dalam proses
pembelajaran, pertanyaan disusun berdasarkan kompetensi dasar yang tertuang dalam
PERMENDIKNAS no. 22 tahun 2006.

c. Pedoman wawancara
Wawancara dilakukan pada Kepala Sekolah untuk mendapatkan informasi tentang proses
pengadaan sarana dan prasaran Laboratorium IPA, serta upaya yang dilakukann sekolah
dalam pengembangan laboratorium IPA. Wawancara bersifat terbuka, dengan maksud untuk
menggali informasi sebagai data pendukung penelitian.

Untuk menentukan kesesuaian kelengkapan fasilitas laboratorium serta penggunaan


fasilitas laboratorium, maka digunakan kategori berdasarkan pendapat Chabib Thoha dalam
Retna Sundari (2008: 202) dan kemudian dikelompokkan kedalam kategori pada Tabel 1 sebagai
berikut:

Tabel 1
Rentang skor dan Kategori
Rentang skor Kategori
X  Mi + 1,5 SD Sangat Sesuai
Mi + (0,5 SD)  X  Mi + (1,5 SD) Sesuai
Mi – (0,5 SD)  X  Mi + (0,5 SD) Cukup
Mi – (1,5 SD)  X  Mi – (0,5 SD) Kurang
X  Mi – (1,5 SD) Sangat Kurang

Mi = ½ (skor tertinggi ideal + skor terendah ideal); SD = 1/6 (skor tertinggi ideal -
skor terendah ideal); X = Rerata Skor
Berdasarkan kategori penilaian yang diperoleh, maka dapat ditarik kesimpulan kesesuaian
sarana dan prasarana laboratorium IPA (fisika) berdasarkan PERMENDIKANS no. 24 tahun

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


31
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

2007 serta penggunaan fasilitas laboratorium IPA (fisika) dalam proses pembelajaran sesuai
kompetensi dasar yang tertuang dalam PERMENDIKNAS No. 22 Tahun 2006.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Kelengkapan Fasilitas Laboratorium IPA (fisika)


Berdasarkan hasil observasi pada 20 SMP/MTs di lima kecamatan yang ada di
Kabupaten Ende, rerata menunjukan bahwa kelengkapan atau ketersediaan fasilitas
laboratorium IPA (fisika) masuk dalam kategori sesuai dengan PERMENDIKNAS no. 24
Tahun 2007. Data kategori hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah.

Tabel 2
Kategori Hasil Analisis Kelengkapan Fasilitas Laboratorium
IPA (Fisika) Pada SMP/MTs di Kab. Ende

No Nama Sekolah Skor Kategori


1 SMPN 1 Ndona 22 K
2 SMP Try Dharma 19 K
3 SMPN 2 Ende Selatan 16 SK
4 SMPK Christo Regi 19 K
5 SMPN 1 Nangapanda 34 S
6 SMPK Maria Goreti 34 S
7 SMPN 1 Ende Selatan 38 SS
8 SMPN 1 Ende 36 SS
9 SMP Mutmainah 32 S
10 SMPN 5 Nangapanda 30 S
11 SMP Inemete 33 S
12 SMP Adhyaksa 8 SK
13 SMPN 2 Ende 42 SS
14 SMPK St Ursula 39 SS
15 SMP Kristen 19 K
16 SMP Rewarangga 29 S
17 SMP Kelimutu 44 SS
18 SMPK Ndao Ende 39 SS
19 SMP Muhammadiyah Ende 23 C
20 MTs Negeri Ende 27 C
JUMLAH 583
RERATA 29,15 S

Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh dari hasil observasi, maka dapat dibuat
rentang skor untuk memposisikan setiap sekolah pada kategori tertentu. Penentuan
rentangan skor sesuai dengan persamaan pada tabel 1. Hasil analisis dapat dilihat pada
Tabel 3 di bawah.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


32
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tabel 3
Rentangan Skor dan Kategori Kelengkapan Fasilitas Laboratorium
Rentangan Skor Kategori
X  35 Sangat Sesuai (SS)
29  x < 35 Sesuai (S)
23  C < 29 Cukup (C)
17  C < 23 Kurang (K)
X < 17 Sangat Kurang (SK)

Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat enam (6) sekolah masuk dalam kategori
sangat sesuai (SS) atau dengan presentasi 30 %, dan terdapat enam (6) sekolah dalam
kategori sesuai (S) dengan presentasi 30 % dari seluruh total sampel. Besar presentasi
secara keseluruhan dapat dilihat pada grafik 1 di bawah.

Grafik 1 Presentasi Kategori Hasil Analisis Kesesuaian Kelengkapan


Fasilitas Laboratorium IPA (Fisika) Pada SMP/MTs di Kab. Ende

2. Penggunaan Fasilitas Laboratorium IPA (fisika) Dalam Kegiatan Pembelajaran


Penggunaan fasilitas laboratorium IPA (fisika) dalam kegiatan pembelajaran yaitu
berkaitan dengan segala bentuk praktikum atau eksperimen di laboratorium IPA (fisika)
sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tertuang dalam
PERMENDIKNAS no. 22 tahun 2006. Dalam penelitian ini, data mengenai kegiatan
praktikum dikumpulkan dengan teknik kuisioner. Kuisioner diberikan kepada guru dan
siswa kelas VII dan kelas VIII. Rerata skor hasil pengisian angket dapat dilihat pada tabel
4 di bawah.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


33
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tabel 4
Hasil Analisis Penggunaan Fasilitas Laboratoeium IPA (Fisika)
dalam Kegiatan Pembelajaran
Guru Siswa Rerata Kate-
Gori
No Nama Sekolah VII VIII VII VIII
1 SMPN 1 Ndona 11,50 11 10 5 9,38 K
2 SMP Try Dharma 4 3 4 6 4,25 SK
3 SMPN 2 Ende Selatan 14 11 18,25 6,8 12,51 C
4 SMPK Christo Regi 18 16 4 9 11,75 C
5 SMPN 1 Nangapanda 17 16 14 6,8 13,45 S
6 SMPK Maria Goreti 12 18 8 15 13,25 S
7 SMPN 1 Ende Selatan 10 12 13 4 9,75 K
8 SMPN 1 Ende 12 13 14,50 16 13,88 S
9 SMP Mutmainah 19 20 16 14 17,25 SS
10 SMPN 5 Nangapanda 17 18 15 9,5 14,88 S
11 SMP Inemete 10 3 9 6 7,00 SK
12 SMP Adhyaksa 8 10 13 8,3 9,83 K
13 SMPN 2 Ende 15,75 13 10,80 10 12,39 C
14 SMPK St Ursula 9,5 3 9,20 3 6,18 SK
15 SMP Kristen 14 12 11,33 12 12,33 C
16 SMP Rewarangga 8 16 11 17 13,00 S
17 SMP Kelimutu 18 18 18 18 18,00 SS
18 SMPK Ndao Ende 9,5 7,33 10,75 7,33 8,73 K
SMP Muhammadiyah 12,00 C
11
19 Ende 12 11 14
20 MTs Negeri Ende 11 7,5 14 6 9,63 K
JUMLAH 250,25 238,83 237,83 190,73 229,41
RERATA 12,51 11,94 11,89 9,54 11,47 C

Rerata skor yang diperoleh dari pengisian seluruh angket diperoleh skor
maksimum 20 dan skor terendah 3. Berdasarkan data skor tersebut maka dapat hitung
rentangan skor dan kategori penilaian seperti pada tabel di 5 bawah.

Tabel 5
Rentangan Skor dan Kategori Penilaian Hasil Angket Penggunaan
Fasilitas Laboratorium IPA (Fisika) dalamKegiatan Pembelajaran
Persamaan Rentang skor Rentangan Skor Kategori
X  Mi + 1,5 SD X > 15,75 Sangat Sesuai
Mi + (0,5 SD) ≤ X < Mi + (1,5 SD) 12,92 ≤ X < 15,75 Sesuai
Mi – (0,5 SD) ≤ X < Mi + (0,5 SD) 10,08 ≤ X < 12,92 Cukup
Mi – (1,5 SD) ≤ X < Mi – (0,5 SD) 7,25 ≤ X < 10,08 Kurang
X < Mi – (1,5 SD) X < 7,25 Sangat Kurang

Dari hasil analisis sesuai tercantum pada tabel 4 menunjukkan bahwa, rerata
penggunaan fasilitas laboratorium IPA (fisika) dalam kegiatan pembelajaran berada pada

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


34
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

kategori Cukup (C) dengan rerata skor yang diperoleh yaitu 11,47. Terdapat dua sekolah
memiliki kategori Sangat Sesuai (SS), akan tetapi terdapat 3 sekolah masuk pada kategori
Sangat Kurang (SK). Selengkapnya mengenai data presentasi jumlah sekolah sesuai
kategori dapat dilihat pada grafik 2 di bawah.

Grafik 2 Presentasi Kategori Hasil Analisis Kesesuai Penggunaan Fasilitas


Laboratorium IPA (Fisika) Pada SMP/MTs di Kab. Ende

Secara umum ketersediaan fasilitas laboratorium IPA (fisika) pada 20 SMP/MTs


yang ada di lima (5) kecamatan di kabupaten Ende, termasuk dalam kategori sesuai.
Secara rinci berdasarkan hasil analisis data, masih terdapat 5 sekolah yang belum
memiliki bangunan/ruang laboratorium, satu diantaranya sedang dalam tahap
membangun dan diperkirakan selesai tahun 2017. Untuk komponen pada poin 3 – 7
rata-rata dalam kategori sesuai, sedangkan poin dua (2) yaitu perabot masuk pada
kategori cukup. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kegiatan pembelajaran yang
berhubungan dengan praktikum. Ketiadaan ruang laboratorium menyebabkan guru
merasa enggan untuk melakukan praktikum di dalam ruangan kelas, walaupun alat-alat
pratikum tersedia. Hal dikarenakan guru harus memindahkan peralatan-peralatan
laboratorium ke dalam ruang kelas, dan saat selesai pembelajaran harus dikembalikan
lagi. Senada dengan pendapat Ade Kusnandar dalam Retna Sundari (2008), guru tidak
melakukan pratikum karena repot untuk menyiapkan perlengkapan praktikum. Ditambah
lagi harus memindahkan berbagai perlengkapan praktikum pada ruang kelas yang
berbeda. Dengan demikian banyak guru yang lebih memilih menggunakan metode
demonstrasi dalam proses pembelajaran, dan bahkan hanya menerapkan metode diskusi
dan juga ceramah. Pembelajaran yang memerlukan peralatan khusus tidak mudah
dihadirkan di ruang kelas. Ruang kelas bukanlah tempat untuk melaksanakan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


35
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

eksperimen, karena fasilitas yang ada pada ruang kelas sangat berbeda dengan ruang
laboratorium.

Berdasarkan hasil analisis, rerata penggunaan fasilitas laboratorium IPA (fisika)


dalam kegiatan pembelajaran berada pada kategori Cukup (C). Walaupun rerata
ketersediaan fasilitas laboratorium masuk pada kategori sesuai, akan tetapi belum
memberikan pengaruh positif terhadap pemanfaatan fasilitas laboratorium tersebut.
Penelitian ini adalah penelitian evalusi, sehingga tidak dikaji korelasi antara ketersediaan
fasilitas laboratorium dengan penggunaan atau pemanfaatan fasilitas laboratorium.

Dalam mempersiapkan pembelajaran dengan metode eksperimen atau praktikum,


seorang guru IPA harus memiliki kompetensi dalam mengelola laboratorium yang
meliputi kemampuan, sikap, dan keterampilan yang berkaitan dengan proses
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap kegiatan
laboratorium IPA. Pemanfaat fasilitas laboratorium yang baik harus didukung dengan
manajemen laboratorium yang efektif.

Melalui kegiatan eksperimen di laboratorium, maka tiga aspek kemampuan siswa


dapat dinilai, antara lain: 1) aspek kognitif, dilakukan melalui tes lisan maupun tulisan, 2)
aspek afektif misalnya disiplin kerja, kreativitas, ketekunan, kejujuran, kerja sama dan
kepemimpinan, 3) aspek psikomotor bertujuan untuk mengukur sejauh mana siswa
memahami konsep-konsep dan menerapkannya dalam teknik eksperimen, khususnya
dalam penggunaan alat dan bahan, pengumpulan data, klasifikasi data, generalisasi data,
meramalkan dan meyimpulkan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ada beberapa simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini, yaitu;

1. Kelengkapan fasilitas laboratorium IPA (fisika) yang ada pada SMP/MTs di Kabupaten Ende
termasuk dalam kategori sesuai dengan PERMENDIKNAS no. 24 Tahun 2007.
2. Penggunaan fasilitas laboratorium IPA (fisika) dalam kegiatan pembelajaran pada SMP/MTs
di Kabupaten Ende sesuai kompetensi dasar yang tertuang dalam PERMENDIKNAS no. 22
Tahun 2006 termasuk pada kategori cukup.
Saran

1. Pemerintah daerah (Dinas PPO) Kabupaten Ende perlu melakukan evaluasi terhadap seluruh
SMP/MTs, untuk mengetahui kelengkapan fasilitas laboratorium yang ada di sekolah.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


36
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

2. Diperlukan pelatihan bagi guru-guru IPA untuk mengembangkan kemampuannya dalam


merangcang model-model eksperimen IPA sederhana dengan keterbatasan fasilitas
laboratorium yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

Anisa Widyaningtyas, Sukarmin, Yohanes Radiyono (2013, April). Peran Lingkungan Belajar
dan Kesiapan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Fisika Siswa Kelas X Sekolah Menengah
Atas Negeri 1 Pati. Jurnal Pendidikan Fisika ISSN: 2338-0691Vol. 1 No. 1 halaman 136.

E. Peniati, Parmin, E. Purwantoyo, (2013, Oktober). Model Analisis Evaluasi Diri untuk
Mengembangkan Kemampuan Mahasiswa Calon Guru IPA dalam Merancang
Pengembangan Laboratorium di Sekolah. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia. Vol. 2 hal
107-119. http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpii

Mamat Supriatna. (2008). Studi Penelusuran Pengelolaan Laboratorium Sains SMA Sebagai
Analisis Kebutuhan untuk Program Diklat Pengelola Laboratorium: Studi Deskriptif
Analitik terhadap Laboratorium Sains SMA di Sekolah Binaan PPPPTK IPA. Diambil
tanggal 12 Maret 2016, http://www.p4kipa.org/jurnal/index.html?

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menegah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah
Aliyah (SMA/MA).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24, Tahun 2007, tentang
Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah
Menegah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA).

Retna Sundari, (2008). Evaluasi Pemanfaatan Laboratorium dalam Pembelajaran Biologi di


Madrasah Aliyah Neheri Sekabupaten Sleman. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan,
Nomor 2, Tahun XII, 2008.

Wita Sutrisno. (2007). Pemeliharaan fasilitas laboratorium fisika untuk diklat teknisi

laboratorium. Bandung: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga


Kependidikan IPA.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


37
PROSIDING

MP-5
MEMBANGUN KOMUNIKASI MATEMATIKA YANG MENYENANGKAN
MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Maria Emanuela Ewo


Prodi PGSD Universitas Flores
Email: ewoemanuela@gmail.com

Abstrak
Pembelajaran pada hakekatnya merupakan suatu proses interaksi antara siswa dengan
lingkungannya yangbertujuan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap sehingga
menunjang perubahan perilaku positif siswa dalam kehidupan sehari-hari yang ditunjukan
melalui komunikasi.Komunikasi merupakan aspek penting dalam kegiatan matematika di
kelas.Kemampuan komunikasi matematis dapat diketahuinya melalui peristiwa dialog atau saling
hubungan yang terjadi di lingkungan kelas yang berisi materi matematika untuk dipelajari siswa,
misalnya berupa konsep, rumus, atau strategi penyelesaian suatu masalah yang dikemas dalam
kegiatan diskusi dimana siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, menggambarkan,
mendengar, menanyakan dan bekerjasama berdasarkan kondisi alami dan dikaitkan dengan
konteks pengalaman kehidupan nyatasiswa sendiri sehingga dapat membawa siswa pada
pemahaman yang mendalam tentang matematika yang tentunya bermanfaat bagi kepentingan
siswa pada pembelajaran lanjutan dan dalam kehidupan siswa sehari-hari.
Kata Kunci: Komunikasi matematis, pembelajaran kontekstual

PENDAHULUAN

Pembelajaran pada hakekatnya merupakan suatu proses interaksi antara siswa dengan
lingkungannya.Interaksi yang digagas oleh guru diharapkan supaya terjadi perubahan perilaku
dimana terjadi proses memperoleh pengetahuan, penguasaan keterampilan, pembentukan sikap
dan kepercayaan diri siswa, sehinggadi dalam pembelajaran tugas utama guru adalah
mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi siswa kearah
yang lebih baik (Hamruni, 2012). Perubahan perilaku siswa ditunjukan melalui aktivitas
sehari-hari terutama dalam berkomunikasi.

Telah banyak upaya terkait dengan inovasi pendidikan yang dilakukan baik melalui kajian
teoritis maupun empiris akan tetapi belum berhasil mengubah praktek pembelajaran. Praktek
pembelajaran yang masih memegang teguh bahwa guru merupakan satu-satunya sumber
informasi sehingga siswa didorong hanya untuk mencatat apa yang disampaikan atau menghafal
seperangkat fakta atau konsep.Pembelajaran seperti ini mengakibatkan struktur kognitif siswa
tidak berkembang optimal (Alamsyah danTurmudi, 2016).Persoalan akan semakin sulit ketika
siswabelum mampu menghubungkan apa yang dipelajari dan bagaimana pengetahuan itu akan
digunakan. Apalagi siswa diberikan soal-soal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari,
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

siswa akan mengalami kesulitan mengkomunikasikan ide-ide ke dalam kalimat matematika


(Aguspinal, 2011). Selanjutnya apabila pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi,
terbukti akan berhasil hanya dalam kemampuan mengingat jangka pendek dan gagal membekali
siswa memecahkan masalah dalam kehidupan jangka panjang.

Berdasarkan asumsi-asumsi tentang kondisi pembelajaran yang masih konvensional


tersebut maka timbulah pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih baik apabila lingkungan yang
diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna apabilasiswa mengalami langsung apa yang
dipelajarinya bukan memperoleh atau mengetahui dari guru. Pemikiran-pemikiran ini mendorong
siswa membangun pengetahuan dari apa yang dialami, dirasakan sehinggaproses pembelajaran
berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalamiserta guru melakukan
tugasnya sebagai fasilitator.

Salah satu inovasi pendidikan yang mendorong siswa untuk membangun pengetahuan
melalui pengalamanan langsung dan alamiah seperti yang diuraikan di atas adalah melalui
pembelajaran kontekstual(Contextual Teaching and Learning).Pembelajaran kontektual
(Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan
siswa sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Suprijono (2011: 79).Artinya pembelajaran
yang digunakan guru untuk menyampaikan materi pelajaran melalui proses memberikan bantuan
kepada siswa dalam memahami makna bahan pelajaran yang dipelajari dengan cara
menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sendiri dalam lingkungan sosial dan
budaya masyarakat.Di sini pembelajaran kontekstual lebih mengutamakan pemanfaatan
lingkungan belajar siswa, kemudian tugas guru adalahmengelola kelas sebagai sebuah tim yang
bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Dengan demikian dalam
pembelajaran kontekstual diharapkan siswa dapat membangun komunikasi secara baik terutama
komunikasi matematika.

Komunikasi terjadi karena adanya interaksi antara pemberi dengan penerima


pesan.Komunikasi merupakan aspek penting dalam kegiatan matematika yang terjadi di sekolah
sehingga dalam tujuan pembelajaran matematika kemampuankomunikasi menjadi salah satu
unsur penting yang harus diperoleh atau dicapai siswa.Kemampuan komunikasi matematika atau
kemampuan komunikasi matematis dapat diartikan sebagai suatu kemampuan siswa dalam
menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui peristiwa dialog atau saling hubungan yang
terjadi di lingkungan kelas. Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang dipelajari

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


39
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

siswa, misalnya berupa konsep, rumus, atau strategi penyelesaian suatu masalah.Pengalihan
pesan yang dilakukan dapat terjadi secara lisan maupun tertulis.

Pembelajaran matematika berlangsung baik apabila terjadi komunikasi yang baik


pula.Selanjutnya kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi antar siswa dilakukan,
dimana siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, menggambarkan, mendengar,
menanyakan dan bekerjasama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam
tentang matematika (Within, 1992).Diharapkan komunikasi matematika yang terjadi pada
pembelajaran kontekstual dapat menyenangkan karena komunikasi yang dibangun berdasarkan
kondisi alami siswa sendiri,yang tentunya bermanfaat bagi kepentingan siswa pada pembelajaran
lanjutan dan dalam kehidupan siswa sehari-hari.

PEMBAHASAN

1. Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar


Matematika adalah obyek yang abstrak (Hudoyo, 2003) kemudian siswa sekolah
dasar (berusia 7 - 12 tahun) menurut Piaget berada pada tahap operasional konkrit
(Hergenhahn & Olso, 2015; 320, Budiningsih, 2015; 38).Karena obyek yang abstrak
ini,menyebabkan kegiatan belajar matematika sulit untuk dicerna karena siswa Sekolah
Dasar (SD) belum mampu berpikir formal. Siswa SD masih terikat dengan objek yang
ditangkap melalui panca indera, sehingga membutuhkan media atau alat bantu dalam
pembelajaran matematika supaya siswa lebih cepat memahaminya.Media atau alat bantu
pembelajaran dapat berupa model, pendekatan, strategi, metode atau media pembelajaran itu
sendiri yang berfungsi untuk menjembatani antara materi matematika dengan kemampuan
kognisi dan mental siswa penerima atau penikmat materi pelajaran matematika.

Kemampuan yang tampak dalam fase operasional konkret adalah kemampuan


dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, tetapi hanya dengan
objek yang bersifat konkret, kemudianbelajar matematika merupakan belajar tentang
konsep-konsep dan struktur abstrak yang terdapat dalam matematika serta mencari hubungan
antara konsep-konsep dan struktur matematika. Oleh karena itu belajar matematika akan
melalui proses bertahap dari yang konkret ke yang abstrak, dari konsep yang sederhana ke
konsep yang lebih kompleks. Akhirnya secara sederhana dapat dikatakan bahwa setiap
konsep matematika dapat dipahami dengan baik jika pertama-tama disajikan dalam bentuk
konkrit.

Secara umum disadari bahwa persoalan pembelajaran matematika di kelas dapat


bersumber dari berbagai pihak seperti siswa, guru, kurikulum, materi ajar matematika, sarana

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


40
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

dan prasarana, strategi atau model pembelajaran, dan dukungan orang tua atau masyarakat.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Anderson, et.al, (2005) bahwa persoalan pembelajaran
matematika bersumber dari isi matematika (Mathematical Content)/materi, keyakinan guru,
perencanaan yang dibuat, kondisi pelaksanaan di kelas, dan performa siswa.

Berkaitan dengan kondisi pelaksanaan di kelas, pembelajaran matematika perlu


ada keterkaitan antara pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan konsep yang akan
diajarkan sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Di sini siswa tidak hanya belajar
untuk mengetahui sesuatu (learning to know about), tetapi belajar melakukan (learning to
do), belajar menjiwai (learning to be), dan belajar bagaimana seharusnya belajar (learning to
learn), serta bagaimana bersosialisasi dengan sesama teman (learning to live
together).Dengan demikian pembelajaran matematika SD dapat menjadi dasar dalam
mempelajari materi-materi lanjutan di tingkat satuan pendidikan yang lebih tinggi bahkan
yang lebih penting adalah berguna dalam kehidupan siswa sehari-hari.

2. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL)

Salah satu upaya supaya matematika yang objeknya abstrak dapat dipahami siswa
usia sekolah dasar adalah melalui pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual
merupakan pembelajaran yang menggambarkan tentang kegiatan belajar yang dikaitkan
dengan konteks pengalaman kehidupan nyata. Yang dimaksud dengan konteks
adalahkerangka kerja yang guru rancangdalam membantu siswa sehingga apa yang dipelajari
bermakna. Selanjutnya belajar merupakan kegiatan “mengalami” dimana siswa berproses
secara aktif tentang hal yang dipelajari dan berupaya melakukan eksplorasi, menemukan, dan
menciptakan hal baru dari apa yang dipelajari. Di sini belajar menekankan pada proses
pendemonstrasian pengetahuan yang dimiliki dalam konteks dan pemanfaatannya, dengan
melakukan proses kolaboratif dan kooperatif melalui belajar kelompok, komunikasi
interpersonal, serta belajar menekankan pada terwujudnya kemampuan memanfaatkan
pengetahuan dalam situasi atau konteks baru (Suprijono, 2011: 84).

Tujuan pembelajaran kontekstual adalah supaya pembelajaran lebih produktif dan


bermakna, sehingga pembelajaran kontekstual memiliki beberapa komponen (Sagala; 2003)
untuk mencapai tujuan tersebutantara lain:

a. Kontruktivisme (Constructivisme)

Kontruktivismesebagai landasan filosofi pembelajaran kontekstual.Pembelajaran


konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif dan
produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


41
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

bermakna.Pengetahuan harus dikonstruksi terlebih dahulu dan memberikan makna melalui


pengalaman nyata, baru kemudian serangkaian fakta, konsep dan kaidah siap
dipraktekkan.Oleh karena itu siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalahuntuk menemukan
sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan mengembangkan ide-ide yang ada pada dirinya.

b. Bertanya (Questioning)

Bertanya dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai upaya guru dalam mendorong
siswa untuk mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, dan
sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berfikir siswa.

c. Menemukan ( Inquiry)

Komponen menemukan (inquiry) ini merupakan kegiatan inti dari pembelajaran


kontekstual.Kegiatan ini diawali dari pengamatan terhadap fenomena kemudian dilanjutkan dengan
kegiatan-kegiatan bermakna supaya menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh
siswa. Artinya pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa tidak dari hasil
mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya.

d. Masyarakat belajar (learning community)


Komponen masyarakat belajar (learning community) ini menyarankan bahwa hasil belajar
sebaiknya diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar dapat diperoleh
melalui sharingantar teman atau antar kelompok yang terjadi baik di dalam maupun di luar
kelas. Oleh karena itu pembelajaran dikemas dalam diskusi kelompok dengan anggota yang
heterogen.

e. Pemodelan (modelling )

Komponen pemodelan dalam pembelajaran kontekstual ini menyarankan bahwa


pembelajaran keterampilan dan pengetahuan tertentu diikuti dengan model yang dapat
ditiru siswa.Pemodelan merupakan proses penampilan suatu contoh agar siswa meniru, berlatih,
dan menerapkan pada situasi lain, serta mengembangkannya. Model yang dimaksud
dapat berupa pemberian contoh, misalnya cara mengoperasikan sesuatu, menunjukkan
hasil karya, mempertontonkan suatu penampilan. Cara pembelajaran semacam ini akanlebih
cepat dipahami siswa dari pada hanya bercerita atau memberikan penjelasan kepada siswa tanpa
ditunjukkan modelnya atau contohnya.

f. Refleksi (reflection)

Komponen refleksi merupakanperenungan kembali atas pengetahuan yang baru dipelajari.


Dengan memikirkan apa yang baru saja dipelajari, menelaah, dan merespons semua

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


42
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

kejadian, aktivitas, atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran bahkan memberikan
masukan atau saran jika diperlukan, siswa akan menyadari bahwa pengetahuan yang
baru diperolehnya merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya. Kesadaran semacam ini penting ditanamkan kepada siswa agar
siswa bersikap terbuka terhadap pengetahuan-pengetahuan baru.

g. Penilaian autentik (authentic assessment )

Komponen penilaian autentik merupakan proses pengumpulan berbagai data yang dapat
memberikan gambaran atau informasi tentang perkembangan pengalaman belajar siswa. Dengan
demikianpenilaian autentik diarahkan pada proses mengamati, menganalisis, dan menafsirkan
data yang telah terkumpul ketika proses pembelajaran siswa berlangsung,

Pembelajaran kontekstual memiliki beberapa prinsip. Prinsip-prinsip tersebut antara


lain. Pertama; saling ketergantungan; kehidupan ini merupakan suatu sistem, untuk
itulingkungan belajar merupakan sistem yang mengitegrasikan berbagai komponen
pembelajaran dan komponen tersebut secara fungsionalsaling mempengaruhi. Kedua;
diferensiasi; yang merujuk pada aneka ragam entitas-entitas dari realitas kehidupan di sekitar
siswa sehingga mendorong berpikir kritis siswa untuk menemukan hubungan di antara
entitas-entitas tersebut. Ketiga; pengaturan diri; prinsip penting yang mendorong siswa
mengeluarkan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga ketika siswa menghubungkan
materi akademik dengan konteks keadaan pribadi mereka, siswa terlibat dalam kegiatan yang
mengandung prinsip pengaturan diri(Suprijono; 2011: 80-81).
Penerapan pembelajaran kontekstual di dalam kelas perlu memperhatikan beberapa
langkah sebagai sintaks pembelajaran sehingga menjadi perhatian guru dalam mengelolah
pembelajaran antara lain: 1) mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih
bermakna melalui cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksikan sendiri
pengetahuan dan keterampilan barunya, 2) melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry
untuk semua pokok bahasan, 3) mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya, 4)
menciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok), 5) menghadirkan
model sebagai contoh pembelajaran, 6) melakukan refleksi di akhir pertemuan, 7) melakukan
penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara ; Sagala (2009: 92) dan Riyanto (2010: 168-169).

3. Komunikasi matematis yang menyenangkan


Pembelajaran matematika yang diberikan kepada siswa mulai dari sekolah dasar
supaya membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan
kreatif, serta kemampuan bekerjasama.Selanjutnya matematika yang diberikan kepada siswa
sekolah dasar merupakan matematika sekolah yang kegiatannya berupa: penelusuran pola

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


43
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

dan hubungan, pemecahan masalah, kegiatan investigasi, dan komunikasi (Marsigit, dkk,
2015:125). Kegiatan matematika memiliki beberapa komponen yang saling berkaitan antara
satu dengan yang lainnya. Komponen-kompenen tersebut antara lain: bahasa, pernyataan,
pertanyaan, reasoning yang digunakaan untuk menjelaskan pernyataan, dan ide matematika
itu sendiri (Jackson, 1992; 753). Selain itu ilmu tentang polajuga dipandang sebagai
komponen matematika secara luas (Romberg, 1992: 754).Di sinilah dapat dikatakan bahwa
matematika merupakan ilmu yang bernilai guna dimana matematika sebagai alat komunikasi
yang singkat, padat, dan memiliki keberbedaan nilai tunggal.

Komunikasi yang terjadi pada matematika merupakan komunikasi tentang


aktifitas matematis siswa yang juga merupakan permasalahan tersendiri dalam pembelajaran
matematika.Komunikasi matematika sangat penting untuk memungkinkan siswa
mengekspresikan, menafsirkan, dan memahami gagasan serta berpartisipasi aktif dalam
kegiatan-kegiatan pembelajaran matematika di kelas. Kegiatan komunikasi yang dilakukan
dikelas terjadi antara siswa dengan siswa atau antara siswa dengan guru. Kebanyakan guru
dalam melakukan komunikasi kelas melalui pola uni-directional, kontributif, reflektif dan
instruktif (Brendefur dan Frykholm: 2000).

Adapun yang menjadi indikator kemampuan siswa dalam komunikasi matematis


pada pembelajaran matematika dapat dilihat dari: 1) kemampuan mengekspresikan ide-ide
matematika melalui lisan, tertulis, mendemonstrasikan, dan menggambarkan secara visual, 2)
kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematika baik
secara lisan maupun dalam bentuk visual lainnya, 3) kemampuan menggunakan
istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide,
menggambarkan hubungan-hubungan dan model-model situasi (NCTM, 1989: 214).
Kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi antar siswa dilakukan, dimana siswa
diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan
dan bekerjasama, sehingga membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang
matematika (Within, 1992).

Apabila siswa diberikan kesempatan untuk bekerja dikelompok dalam


mengumpulkan dan menyajikan data, saling mendengarkan ide yang satu dan yang lain,
mendiskusikannya bersama kemudian menyusun kesimpulan yang menjadi pendapat
kelompok maka siswamenunjukkan kemajuan yang positif dalam belajar mereka.Di sinilah
siswa belajar dengansebagian besar dari berkomunikasi dan mengkontruksi sendiri
pengetahuan.Pentingnya kemampuan komunikasi matematika siswa Sekolah Dasar
merupakan bagian dari kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi.Dengan demikian

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


44
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

melalui komunikasi matematis yang dikuasai siswa secara baik dapat menunjukan
keberhasilan melakukan pembelajaran matematika di kelas.

SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perlunya menjembatani antara
sifat matematika yang abstrak dengan kemampuan kognitif siswa sekolah dasar yang
perkembangannya berada pada tahap operasional konkret di dalam kegiatan pembelajaran.Upaya
yang dilakukan adalah melalui pembelajaran kontekstual karena pembelajaran kontekstual
merupakan pembelajaran yang menggambarkan tentang kegiatan belajar yang dikaitkan dengan
konteks pengalaman kehidupan nyata dengan tujuan agar pembelajaran lebih produktif dan
bermakna.

Pembelajaran bermakna apabila terjadi komunikasi dengan baik antara guru dengan
siswa, siswa dengan siswa, bahkan antara siswa dengan sarana pendukung yang
lainnya.Komunikasi matematika dapat memungkinkan siswa mengekspresikan, menafsirkan, dan
memahami gagasan serta berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran matematika
di kelas.Upaya yang dilakukan adalah siswa diberikan kesempatan untuk bekerja dikelompok
dalam mengumpulkan dan menyajikan data, saling mendengarkan ide yang satu dan yang lain,
mendiskusikannya bersama kemudian menyusun kesimpulan yang menjadi pendapat kelompok
maka siswa menunjukkan kemajuan yang positif dalam belajar mereka.Pentingnya kemampuan
komunikasi matematika siswa Sekolah Dasar merupakan bagian dari kemampuan berpikir
matematis tingkat tinggi yang juga merupakan tujuan dari belajar matematika di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
Aguspinal. (2011). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Komunikasi Matematis Siswa
SMA melalui Pendekatan Open-ended dengan StrategiGroup-to-Group. Bandung: UPI.

Alamsyah, T.P., & Turmudi. (2016). Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif serta Self-Esteem
Matematis siswa melalui model Advance Organizer. Jurnal Pendidikan Matematika.
Vol.I, No. 2.
Anderson, Judy., White, Paul., Sulivan, Peter. (2005). Using a Schematic Model to Represent
Influences on, and Relationships Between,Teachers' Problem-Solving Beliefs and
Practices. Mathematics Education Research Journal. Vol. 17, No. 2, 9-38.
Budiningsih, C.A. (2015). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta. Rineka Cipta.
Brendefur, J., & Frykholm, J. (2000).Promoting mathematical communication in the classroom:
two preservice teachers’ conceptions and practices.Journal of Mathematics Teacher
Education, 3, 125-153.
Hamruni.(2012). Strategi pembelajaran.Yogyakarta.Islam Madani.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


45
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Hergenhahn, B.R. & Olso, M.H. (2015).Theories of Learning (Teori Belajar). Jakarta.
Prenadamedia Group.
Hudojo, H. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.
Jackson, P. W. (1992). Handbook of researchon curriculum.A Project of America Educational
Research Association.
Marsigit, Rizkianto, I., Murdiyani, N.M. (2015). Filsafat Matematika. UNY Press.Yogyakarta.
NCTM.(1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics.Reston, VA :
NCTM.
NCTM.(2000). Principles and Standards for School Mathematics.The National Council of
Teachers of Mathematics, Inc.
Riyanto, Yatim. (2010). Paradigma Baru Pembelajaran, Sebagai Referensi bagi Pendidik dalam
Impelementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas. Jakarta: Kencana.
Romberg, T.A. (1992). Problematic Features of the School Mathematics Curriculum, in J. Philip
(Ed.).Handbook of Reseasrch on Curriculum (pp.749 - 788). New York: A Project of
American Educational Research Association.
Sagala, Syaiful. (2009). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung. Alfabeta.
Suprijono, Agus. (2011). Cooperatif Learning, Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar.
Within.(1992). Mathematics Task of Victoria.Centre; Proffesional Development and Problem
Solving.In J Wakefield and L. Velardi (Ed).Celebrating Mathematics Learning.
Melbourne: The Mathematical Association.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


46
PROSIDING

MP-6
AKTIVITAS SISWA DALAM MATA PELAJARAN IPA
MENGGUNAKAN STRATEGI PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT)

Soraya Fatmawati1, Oktavia Hardiyantari2


1,
Universitas Teknologi Yogyakarta 2 Universitas Teknologi Yogyakarta
1
soraya.fatmawati@staff.uty.ac.id, 2oktavia.hardiyantari@staff.uty.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi aktivitas siswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran
pada Mata Pelajaran IPA menggunakan strategi pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament
(TGT). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif. Subjek penelitian adalah siswa kelas IV
SD Muhammadiyah I Kadisoro Pandak Bantul Yogyakarta. Objek penelitian ini adalah pelaksanaan
proses pembelajaran pada Mata Pelajaran IPA pada pertemuan ke-4 dan ke-6. Instrumen yang digunakan
adalah lembar observasi dan dokumentasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan
menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1)
pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada Mata Pelajaran IPA di SD Muhammadiyah I Kadisoro Pandak
Bantul pada pertemuan ke-4 dan ke-6 telah memenuhi semua langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran
sesuai dengan strategi pembelajaran kooperatif tipe teams games tournament; 2) siswa merasa senang
melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan strategi pembelajaran kooperatif tipe teams games
tournament 3) siswa lebih mudah memahami materi pelajaran IPA khususnya pada Bab jenis-jenis hewan
berdasarkan jenis makanannya dan hubungan ketergantungan antar makhluk hidup dengan
lingkungannya menggunakan strategi pembelajaran kooperatif tipe teams games tournament.

Kata kunci: Teams Games Tournament (TGT)

PENDAHULUAN
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan konsep pembelajaran alam yang mempunyai
hubungan luas terkait dengan kehidupan manusia. IPA telah berkembang di negara-negara maju
dengan terbukti telah menghasilkan banyak penemuan-penemuan baru yang terkait dengan
kehidupan sehari-hari manusia. IPA merupakan mata pelajaran yang penting di sekolah yang
membekali siswa dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk
melanjutkan pendidikan serta untuk menyesuaikan diri dengan perubahan disekelilingnya.
Pembelajaran IPA sejak dini akan menghasilkan generasi dewasa yang terbuka dengan ilmu
pengetahuan yang dapat menghadapi tantangan hidup dalam dunia yang makin kompetitif. IPA
yang menyenangkan di kelas dimana didalamnya berisi kegiatan-kegiatan yang menyenangkan
mengakibatkan siswa menjadi aktif dan tentunya berimbas pada hasil belajar yang akan
meningkat. Keaktifan siswa dalam kelas dapat diupayakan dengan menerapkan berbagai macam
strategi pembelajaran yang cocok. Salah satu strategi pembelajaran yang mampu meningkatkan
keaktifan siswa adalah strategi pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Strategi
pembelajaran kooperatif atau biasa disebut sebagai strategi pembelajaran berkelompok
memiliki banyak tipe, diantaranya: Jigsaw, STAD (student teams achievement division),

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

investigasi berkelompok, teams games tournament (TGT) dan lain sebagainya. Masing-masing
tipe strategi ini memiliki keunggulan, karakteristik dan langkah yang berbeda-beda.
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan di SD Muhammadiyah I Kadisoro Pandak
Bantul Yogyakarta khususnya pembelajaran IPA yang ada di kelas IV, ditemukan beberapa
permasalahan diantaranya kondisi kelas sebagian siswanya pasif sebagai akibat dari kurang
maksimalnya penggunaan strategi pembelajaran yang digunakan. Selain kurang maksimalnya
penggunaan strategi pembelajaran, aktivitas siswa pada saat pembelajaran kurang terpantau
dengan maksimal sehingga suasana pembelajaran menjadi kurang kondusif. Keaktifan siswa
dalam kelas lebih banyak didominasi oleh siswa-siswa yang memang sudah aktif dari awal.
Dari berbagai permasalahan yang muncul tersebut, peneliti mencoba menerapkan
strategi pembelajaran kooperatif khususnya tipe strategi teams games tournament. Alasan
memilih menerapkan strategi ini karena melihat karakteristik dari siswa SD yaitu masih suka
dengan permainan. Hal tersebut sesuai dengan salah satu tahapan dalam pembelajaran
kooperatif tipe TGT yaitu adanya permainan (game). Strategi pembelajaran kooperatif menurut
Majid adalah strategi pembelajaran yang mengutamakan kerja sama untuk mencapai tujuan
pembelajaran (2013: 174). Salah satu tipe strategi pembelajaran yang biasa digunakan adalah
strategi pembelajaran team games tournament (TGT). Teams Games Tournament adalah salah
satu ttipe kooperatif dengan menggunakan turnamen akademik untuk mengaktifkan siswa.
Berdasarkan hasil penelitian dari Wyk (2011) TGT lebih efektif daripada ceramah, hal tersebut
terlihat dari prestasi hasil belajar yang lebih baik daripada menggunakan metode ceramah.
Selain itu, strategi pembelajaran TGT merupakan strategi yang melibatkan aktivitas seluruh
siswa tanpa ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung
unsur permainan serta reinforcement (Hamdani, 2010: 35). Komponen utama dalam metode
TGT adalah presentasi kelas, belajar tim (kelompok), game, tournamen, rekognisi tim atau
penghargaan tim (Slavin, 2008: 166-167).

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif. Subjek adalah siswa kelas
IV SD Muhammadiyah I Kadisoro Pandak Bantul Yogyakarta. Objek ini adalah pelaksanaan
proses pembelajaran pada Mata Pelajaran IPA khususnya pada pertemuan ke 4 dan ke 6.
Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi dan dokumentasi. Lembar observasi
digunakan untuk mengobservasi aktivitas siswa selama pembelajaran IPA dilaksanakan.
Observasi yang dilakukan adalah observasi partisipasi pasif (Sugiyono, 2013: 64) yaitu peneliti
datang langsung ke lokasi pelaksanaan pembelajaran namun, tidak telibat di dalamnya. Hal ini
dilakukan agar dapat mengamati situasi yang terjadi di lapangan secara alami untuk

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


48
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

mengungkap informasi yang diharapkan sesuai tujuan dengan menggunakan daftar pedoman
observasi. Selain itu peneliti juga menggunakan dokumentasi sebagai instrumen penelitian.
Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara mengobservasi aktivitas siswa selama
pembelajaran IPA dengan menggunakan instrumen lembar observasi. Selain itu peneliti juga
mengabadikan aktivitas siswa selama pembelajaran. Analisis data dilakukan secara deskriptif
kualitatif dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu lembar
observasi dan dokumentasi.

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada pembelajaran IPA di kelas
IV SD Muhammadiyah I Kadisoro Pandak Bantul Yogyakarta telah memenuhi 5 tahapan dalam
TGT (Slavin, 2008: 166-167) yaitu tahap presentasi kelas (class presentation), belajar dalam
kelompok (team), permainan (games), pertandingan (tournament), dan perhargaan kelompok
(team recognition). TGT yaitu salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menempatkan
siswa dalam kelompok belajar yang beranggotakan 4 sampai 6 orang siswa yang memiliki
kemampuan, jenis kelamin dan suku atau ras yang berbeda. Dengan adanya heterogenitas
anggota kelompok, diharapkan dapat memotivasi siswa untuk saling membantu antar siswa
yang berkemampuan lebih dengan siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai materi
pelajaran. Guru menyajikan materi dan siswa bekerja dalam kelompok mereka.
Langkah-langkah dalam strategi pembelajaran ini adalah sebagai berikut: diawal
pertemuan guru menyampaikan tujuan pembelajaran, memotivasi siswa agar terlibat pada
aktivitas pembelajaran, menyampaikan kepada siswa bahwa aktivitas pembelajaran pada hari
tersebut adalah turnamen permainan (games tournament) tentang jenis-jenis hewan berdasarkan
jenis makanannya dan hubungan ketergantungan makhluk hidup dengan lingkungannya.
Kemudian guru membagi siswa menjadi 6 kelompok yang masing-masing terdiri dari 4 siswa.
Guru memberi kesempatan siswa untuk membaca buku, LKS (Lembar Kerja Siswa) ataupun
bahan pembelajaran lain serta berdiskusi dengan timnya mengenai materi. Setiap tim
bertanggung jawab terhadap anggota timnya, sehingga semua anggota tim dapat memahami
materi sebagai persiapan untuk mengahadapi turnamen. Guru mempersiapkan turnamen dengan
menata kartu permainan yang dilengkapi nomor, skor, pertanyaan dan jawaban mengenai materi
pada meja turnamen serta lembar perolehan kartu turnamen.
Tahap permainan (game) dimulai dengan cara tiap kelompok/tim mendapat kesempatan
untuk memilih kartu bernomor yang tersedia pada meja turnamen dan mencoba menjawab
pertanyaan yang muncul. Tim yang bisa menjawab dengan benar mendapat skor. Skor ini yang
nantinya dikumpulkan tim untuk menentukan skor akhir tim. Pemilihan kartu bernomor akan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


49
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

digilir pada tiap-tiap tim secara bergantian searah jarum jam, sampai habis jatah nomornya.
Kemudian pada tahap pelaksanaan turnamen dimulai setelah siswa berkumpul pada
kelompoknya, salah satu perwakilan kelompok maju ke depan untuk mengambil kotak. Dalam
kotak terdapat kartu soal turnamen, kartu lembar jawab, dan lembar perolehan kartu soal
turnamen. Setiap anggota tim memperoleh penomoran 1, 2, 3 dan 4 yang ditentukan oleh guru.
Penomoran ini kemudian digunakan untuk menentukan anggota tim tersebut bermain pada
turnamen ke berapa. Kartu soal diacak dan setiap siswa mendapat giliran untuk mengambil
kartu soal tersebut. Yang memperoleh nomor 1 maka mendapat kesempatan untuk memulai
permainan, dilanjutkan dengan yang memperoleh nomor 2 dan seterusnya untuk bermain.
Setelah mendapat kartu soal maka siswa tersebut membaca soal tersebut dan menjawabnya.
Teman yang lain memeriksa apakah jawabannya benar atau salah dengan melihat kartu jawaban
yang nomornya sesuai. Apabila jawabanya benar maka soal dipegang sendiri tetapi kalau
jawabanya salah maka kartu soal tadi di kembalikan untuk diacak lagi. Turnamen dilakukan
sampai kartu soal habis. Tiap anggota tim menuliskan berapa jumlah menjawab benar pada
lembar yang tersedia. Setelah turnamen selesai kotak dikembalikan kepada guru.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan dikelas, pada pertemuan ke 4 diketahui
siswa yang hadir dalam satu kelas itu lengkap ada 24 siswa, dengan rincian 14 siswa perempuan
dan 10 siswa laki-laki. Materi yang dibahas dan digunakan sebagai turnamen permainan adalah
jenis hewan berdasarkan jenis-jenis makanannya. Sementara pada pertemuan ke 6 adalah
hubungan ketergantungan makhluk hidup dengan lingkungannya. Pada pertemuan ke 4 dimana
penggunaan strategi ini baru pertama kali, ditemukan beberapa permasalahan diantaranya masih
banyak siswa yang bingung tentang aktivitas apa yang seharusnya dia lakukan. Sehingga guru
masih banyak fokus pada menerangkan kembali apa yang seharusnya siswa lakukan.
Permasalahan kedua adalah, sebagai akibat dari kebingungan terhadap apa yang seharusnya
dilakukan membuat sebagian siswa gaduh dan tidak fokus pada turnamen yang sedang
dilaksanakan. Hal tersebut berakibat pada saat diakhir pembelajaran, ketika guru merefleksi
kegiatan pada pertemuan ke 4 tersebut masih ditemukan beberapa siswa yang belum paham
sepenuhnya terhadap materi jenis hewan berdasarkan jenis makanannya. Sehingga guru
mengulangi kembali materi tersebut.
Pada pertemuan ke 6, materi yang digunakan sebagai permainan turnamen adalah
hubungan ketergantungan makhluk hidup dengan lingkungannya. Pada pertemuan ini, siswa
sudah lebih mudah beradaptasi dengan strategi pembelajaran tersebut, sehingga jalannya
permainan turnamen jauh lebih kondusif daripada pertemuan ke 4. Siswa juga lebih antusias dan
senang terhadap materi maupun permainan, karena telah mengetahui bagaimana jalannya
permainan tersebut. Sebagian siswa yang pada pertemuan sebelumnya masih malu dan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


50
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

cenderung pasif, perlahan menjadi bersemangat dan aktif ikut dalam permainan. Pada kegiatan
akhir pembelajaran atau refleksi pembelajaran, guru mencoba memberikan umpan balik berupa
pertanyaan seputar materi hubungan ketergantungan makhluk hidup dengan lingkungannya dan
hasilnya siswa mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan terhadap aktivitas siswa pada mata
pelajaran IPA menggunakan strategi pembelajaran kooperatif tipe teams games tournament
(TGT) dapat diperoleh beberapa simpulan yaitu (1) pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada
Mata Pelajaran IPA di SD Muhammadiyah I Kadisoro Pandak Bantul pada pertemuan ke-4 dan
ke-6 telah memenuhi semua langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan strategi
pembelajaran kooperatif tipe teams games tournament. (2) siswa merasa senang melaksanakan
pembelajaran dengan menggunakan strategi pembelajaran kooperatif tipe teams games
tournament. (3) siswa lebih mudah memahami materi pelajaran IPA khususnya pada Bab
jenis-jenis hewan berdasarkan jenis makanannya dan hubungan ketergantungan antar makhluk
hidup dengan lingkungannya menggunakan strategi pembelajaran kooperatif tipe teams games
tournament.
Berdasarkan hasil simpulan yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan, dapat
diajukan beberapa saran yaitu bagi guru agar lebih menerapkan berbagai jenis strategi
pembelajaran yang ada. Bagi sekolah, agar mendorong dan memfasilitasi guru untuk
menerapkan berbagai strategi pembelajaran yang bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA
Majid, Abdul. 2013. Strategi Pembelajaran. Bandung:Rosdakarya.

Sugiyono. (2013). Memahami penelitian kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.

Wyk, M.M.V. (2011). The Effects of Teams-Games-Tournaments on Achievement, Retention,


and Attitudes of Economics Education Students. J. Soc Sci, 26(3)

Hamdani. (2010). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia

Slavin, R.E. (2008). Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Terjemahan Nurulita
Yusron. Bandung: Nusa Media

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


51
PROSIDING

MP-7
GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN KOMPETENSI PROFESIONAL
GURU TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA SMA MUHAMMADIYAH ENDE
TAHUN 2016
1
Kristianus J. Tute, Lely Suryani, 3Ariswan Usman Aje
2

1,2,3
Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh gaya kepemimpinan dan
kompetensi profesional guru terhadap prestasi belajar Siswa di SMA Muhammadiyah Ende NTT.
Populasi dalam penelitian ini berjumlah 110 orang yaitu Kepala sekolah semua guru-guru SMA
Muhammadiyah dan pegawai beserta siswa/i kelas XII IPA dan IPS menggunakan metode
proporsional secara acak. Sedangkan sampel dalam penelitian ini sebanyak 70 orang yang terdiri
dari 40 orang guru dan pegawai dan 30 siswa yang terdiri dari 15 peserta dari IPA dan 15 peserta
dari IPS dengan metode random sampling. Data dikumpulkan dengan kuesioner dan dianalisis
menggunakan korelasi partial dan regresi berganda. Hasil menunjukkan bahwa: (1) gaya
kepemimpinan kepala sekolah berpengaruh positif terhadap prestasi belajar siswa SMA
Muhammadiyah Ende dengan menunjukkan derajat koefisien korelasi yaitu 0.114 (11,4%), (2)
kompetensi profesional guru berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi belajar SMA
Muhammadiyah Ende yaitu antara variabel X1 dan X2 secara parsial dengan variabel Y dengan
nilai sebagai berikut X1 terhadap Y = 0.312 ( 31.2 % ). Sedangkan X2 terhadap Hasil analisis
koreasi Pearson menghasilkan derajat korelasi antara variabel X1 dan X2 secara parsial dengan
variabel Y dengan nilai sebagai berikut X1 terhadap Y = 0.312 ( 31.2 % ). Sedangkan X2 terhadap
Y = 0.312 ( 31.2 % ), (3) Gaya kepemimpinan kepala sekolah dan Kompetensi Profesional Guru
sama-sama berpengaruh secara positif terhadap prestasi belajar SMA Muhammadiyah Ende yaitu
sebesar31.2 %, artinya gaya kepemimpinan kepala sekolah akan berimplikasi terhadap
kompetensi profesional guru. Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan kepala sekolah dan kompetensi
guru terhadap prestasi belajar siswa di SMA Muhammadiyah Ende.

Kata kunci: Gaya kepemimpinan Kepala Sekolah, Kompetensi Profesional Guru dan
Prestasi Belajar Siswa

PENDAHULUAN

Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization


(UNESCO), Saat ini Indonesia berada di posisi 108 di dunia dengan skor 0,603. Secara umum
kualitas pendidikan di tanah air berada di bawah Palestina, Samoa dan Mongolia. Hanya
sebanyak 44% penduduk menuntaskan pendidikan menengah. Sementara 11% murid gagal
menuntaskan pendidikan alias keluar dari sekolah.

Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya
para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Pendidikan
seharusnya memperhatikan kebutuhan anak, bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat
anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan
memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya
berfikir anak tidak bisa diarahkan.

Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan yang sejalan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka berbagai upaya terus dilakukan antara lain meningkatkan
kualitas dan kesejahteraan para pendidik, menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran serta
menyempurnakan kurikulum yang disesuaikan dengan kemajuan IPTEK. Mutu pendidikan di
Indonesia berkaitan erat dengan prestasi belajar. Menurut Winkle (1997) “prestasi belajar adalah
suatu bukti hasil belajar atau kemampuan seorang siswa dalam melakukan kegiatan belajar sesuai
dengan bobot yang dicapainya”.
Pendidikan merupakan salah satu usaha meningkatkan kualitas hidup menusia bukan
hanya melalui kegiatan yang sederhana, melainkan kegiatan yang dinamis. Mempertimbangkan
adanya dinamika penyelenggaraan pendidikan maka pendidikan memerlukan manajemen yang
baik agar tujuan pendidikan tercapai dengan efektif dan efisien. Manajemen pada tingkat sekolah
sendiri disebut dengan MBS yaitu manajemen Berbasis Sekolah. Sekolah memiliki otonomi dan
kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolah, sehingga sekolah lebih mandiri. Mandiri
dalam melaksanakan pengelolaan sekolah, pengembangan program-program sekolah yang sesuai
dengan keadaan sekolah, juga dalam pengambilan keputusan diputuskan bersama-sama.
Sehingga warga sekolah mempunyai rasa memiliki tanggung jawab dan dedikasi warga sekolah
terhadap sekolah nya (Sunarto, 2011).
Diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam bidang pendidikan karena
MBS merupakan bentuk alternatif dalam program desentralisasi bidang pendidikan yang ditandai
dengan adanya otonomi yang luas di tingkat sekolah, agar manajemen sekolah dapat meningkat
sesuai dengan kondisi sekolah tersebut. Untuk itu, sekolah dituntut secara mandiri menggali,
mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan dan mempetanggungjawabkan
pemberdayaan sumber-sumber yang dimiliki, baik kepada masyarakat maupun pemerintah,
dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan mutu pendidikan (Dacholfany dan Yuzana
2009).

Berkenaan dengan kepemimpinan di sekolah, kepala sekolah adalah pemimpin yang


paling tinggi dalam manajemen sekolah. Wahjosumidjo (2005 :83) mendefinisikan Kepala
Sekolah sebagai tugas fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


53
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat dimana terjadi interaksi antara guru yang
memberi pelajaran dan murid sebagai penerima pelajaran. Berdasarkan hasil penelitian Carudin
(2011:230), kepemimpinan kepala sekolah sangat menentukan mutu, tanpa kepemimpinan yang
baik proses peningkatan mutu tidak dapat dilakukan dan diwujudkan. Keutamaan pengaruh
(influence) kepemimpinan kepala sekolah bukanlah semata-mata berbentuk instruksi, melainkan
lebih merupakan motivasi atau pemicu (trigger) yang dapat memberi inspirasi terhadap para guru
dan karyawan, sehingga inisiatif dan kreatifitasnya berkembang secara optimal untuk
meningkatkan kinerjanya.

Kepala sekolah merupakan salah satu faktor terpenting penentu maju mundurnya proses
pendidikan di sekolah. Bagaimana cara atau gaya kepemimpinan kepala sekolah, akan dapat
mempengaruhi kemajuan sekolah tersebut. Gaya kepemimpinan adalah pola perilaku konsisten
yang diterapkan pemimpin melalui orang lain yaitu melalui perilaku yang diperlihatkan
pemimpin pada saat mempengaruhi orang lain, seperti dipersepsikan orang lain. Gaya bukanlah
soal bagaimana pendapat pimpinan atau kepala sekolah tentang perilaku mereka sendiri dalam
memimpin tetapi bagaimana persepsi orang lain terutama bawahannya atau guru tentang perilaku
pimpinannya (Dharma dan Husaini, 2009).

Selain kepala sekolah, Guru juga turut memberikan pengaruh terhadap pendidikan di
sekolah. Oleh karena itu sebagai tenaga pendidik, guru harus dituntut agar dapat melaksanakan
tugasnya dengan lebih maksimal. Semua orang pasti bisa menjadi tenaga pengajar, baik itu untuk
dirinya sendiri, teman, bahkan keluarga. Akan tetapi, tidak semua orang bisa untuk menjadi
seorang guru yang baik. Sebab, untuk menjadi seorang guru bukanlah hal yang mudah untuk
dilakukan tanpa melalui proses dan pengalaman, maupun pendidikan yang harus dijalani. Untuk
menjadi seorang guru yang baik maka guru tersebut haruslah mempunyai kompetensi profesional
guru.
Kompetensi profesional guru menurut Uno adalah seperangkat kemampuan yang harus
dimilik oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajar dengan berhasil. Rusman
(2012:70), mengemukakan bahwa “kompetensi guru, yaitu merupakan kemampuan seorang guru
dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak”. Dengan
demikian, seorang guru dapat dikatakan sebagai seseorang yang berkompetensi adalah seorang
guru yang mampu untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil pelajaran sesuai
dengan bidang kajian masing-masing. Sementara itu, apabila kita telaah berdasarkan ketetapan
dan keputusan dalam UU RI No. 14 Tahun 2005 pasal 7 ayat 1 (d) tentang Guru dan Dosen,
menjelaskan bahwa seorang guru harus memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan
bidang tugas, dimana berdasarkan pasal 10 ayat 1,

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


54
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

menjelaskan bahwa kompetensi guru sebagaimana dimaksud meliputi kompetensi pedagogik,


kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Diharapkan dengan
memiliki kometensi profesional, maka dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

Prestasi belajar merupakan salah satu indokator yang penting didalam menentukan
keberhasilan suatu lembaga pendidikan. Prestasi dapat digunakan untuk menyusun dan
menetapkan suatu keputusan dan langkah-langkah kebijakan baik yang menyangkut siswa,
pendidikan maupun institusi yang mengelola program pendidikan. Prestasi belajar adalah sebuah
istilah yang terdiri dari dua kata, yakni prestasi dan belajar yang mempunyai arti yang berbeda.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dari
yang telah dilakukan, dikerjakan dan selesaikan).

Definisi belajar menurut Morgan, dalam buku indtroduction to psychology (1978)


mengemukakan bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetapkan tingkah laku
yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman. Jadi prestasi belajar merupakan
hasil yang dicapai dari perubahan yang dialami oleh siswa, sebagi suatu hasil.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk menuangkan hasil pemikiran
dalam bentuk penelitian, dan pembuktian secara empiris tentang Pengaruh Kepemimpinan
Kepala Sekolah Dan Kompetensi Guru Terhadap Prestasi Belajar Siswa di SMA Negeri
Muhammadiyah Ende tahun Pelajaran 2015/2016.

METODE PENELITIAN

Metode yang di lakukan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
metode survey dengan pendekatan kuantitatif dan teknik analisis menggunakan korelasi partial
dan regresi berganda. Adapun populasi dalam penelitian sebanyak 110 yaitu Kepala sekolah
semua guru-guru SMA Muhammadiyah dan pegawai beserta siswa/i kelas XII IPA dan IPS,
Sampel dalam penelitian ini sebanyak 70 orang yang terdiri dari 40 orang guru dan pegawai dan
30 siswa yang terdiri dari 15 peserta dari IPA dan 15 peserta dari IPS dengan metode proporsional
secara acak (Proportional Random Sampling).
Sedangkan, teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah
kuesioner, wawancara, dan observasi. Adapun jenis kuesioner yang digunakan adalah kuesioner
langsung dan tertutup dengan menggunakan skala likert. Untuk variabel yang digunakan dalam
penelitian ini sendiri, dapat dibagi menjadi kepemimpinan kepala sekolah, kompetensi guru, dan
prestasi belajar siswa.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


55
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Untuk mengukur hasil perolehan data yang didapat dari kuesioner sendiri digunakan alat
analisis, yakni SPSS. Idris (2012:1), mengemukakan bahwa SPSS atau Statistical Product and
Service Solution merupakan program aplikasi yang digunakan untuk melakukan perhitungan
statistik menggunakan komputer. Sementara, untuk pengujian data dalam penelitian digunakan
uji validitas dan reabilitas.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Dari hasil uji regresi berganda ( multiple regression ) terhadap variabel X1 yaitu gaya
kepemimpinan dan X2 kompetensi profesional guru terhadap variabel Y prestasi belajar
menunjukan hasil sebagai berikut
Tabel. 1.
Deskriptive Statistik Variabel

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


Gaya_Kepemimpinan 70 45.00 50.00 48.7286 1.14108
Kompetensi_ProfesionalGu
70 48.00 50.00 49.7286 .61199
ru
Prestasi_Belajar 70 60.00 85.00 78.7857 3.33577
Valid N (listwise) 70

Dari tabel deskriptive statistik diatas terdiri dari tiga variabel yaitu variabel independent X1 (
gaya Kepemimpinan , X2 ( Kompetensi Profesional Guru ) dan Y ( variabel Dependent) prestasi
belajar.
Dari tabel 1 dalam penelitian ini menjelaskan dua variabel independent yaitu gaya
kepemimpinan dan kompetensi Profesional guru serta variabel terikat masing- masing
menunjukan nilai mean 48.7286 dan standar devisiasi 1.14108 dengan sampel 70. Variabel kedua
adalah kompetensi profesional guru dengan nilai mean 49.7286 dan standar devisiasi sebesar
0.61199 dan variabel terikat adalah prestasi belajar dengan nilai mean 78.7857 dan standar
devisiasi 3.33577. Standar devisiasi untuk membandingkan standar eror, jika standar devisiasi <
standar eror maka nilai prediktif maka nilai variabel bebas tidak baik untuk memprediksi variabel
terikat. Nilai mean yang ideal jika dibandingkan dengan skor total variabel menghasilkan
informasi yang tinggi rendahnya hasil penelitian untuk masing – masing variabel.
Dari nilai standar devisiasi masing –masing variabel memperlihatkan ketepatan variabel
independent memprediksi variabel dependent cukup baik karena skor ideal untuk X1 50, X2 50
dan variabel dependent 75 untuk prestasi belajar maka nilai mean dari data hasil penelitian

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


56
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

menunjukan rata – rata gaya kepemimpinan kepala sekolah, kompetensi profesional guru dan
prestasi belajar siswa ada di level sedang.
Tabel 2
Korelasi antar Variabel

Kompetensi_
Gaya_Kepemimpina ProfesionalG
Control Variables n uru
Prestasi_Belaja Gaya_Kepemimpinan Correlation 1.000 .312
r
Significance
. .009
(2-tailed)
df 0 67
Kompetensi_Profesion Correlation .312 1.000
alGuru Significance
.009 .
(2-tailed)
df 67 0

Tabel 2 korelasi antar variabel menghasilkan nilai korelasi variabel penelitian. Korelasi gaya
kepemimpinan kepala sekolah dengan prestasi belajar siswa sebesar 0.312 (31.2 %) . Sedangkan
kompetensi profesional guru dengan prestasi belajar sebesar 0.312 ( 31.2 %). Semua korelasi
tersebut bersifat signifikan karena nilai sig, < 0,05 yaitu 0.001 < 0.05.

Tabel 3
Model Summary Regresi Ganda
Std. Error of the
Model R R Square Adjusted R Square Estimate
1 .337a .114 .087 3.22953
a. Predictors: (Constant), Kompetensi_ProfesionalGuru, Gaya_Kepemimpinan

Tabel model regresi berganda summary menghasilkan regresi ganda variabel bebas secara
simultan terhadap variabel dependen. Dengan nilai ketepatan R variabel bebas memprediksi
variabel terikat. Dalam skala 0 sampai dengan 1, Nilai R dan hasil dalam penelitian ini sebesar
0.337(33.7%) termasuk dalam kategori sedang. R square dengan nilai determinasi variabel bebas
secara simultan mempengaruhi variabel dependent sebesar 0.114( 11,4%). Artinya sebesar 11,4%
prestasi belajar siswa dipengaruhi secara bersama – sama oleh variabel independent X1 gaya
kepemimpinan dan X2 kompetensi profesional guru sisanya 88,6 % dipengaruhi oleh variabel
lain.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


57
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tabel 4
Anova Regresi Ganda
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 13.006 2 6.503 1.016 .367a
Residual 428.766 67 6.399
Total 441.771 69
a. Predictors: (Constant), Kompetensi_ProfesionalGuru, Gaya_Kepemimpinan
b. Dependent Variable: Prestasi_Belajar

Dari tebel analisis regresi ganda menghasilkan nilai F hitung 1.016 dengan derajat kebebasan
sebesar 67 untuk menguji apakah dari kedua variabel bebas secara simultan berpengaruh atau
tidak ( variabel X1 dan X2 ). Dari tabel diatas menunjukan adanya pengaruh variabel bebas secara
bersama terhadap variabel terikat
Tabel 5
Coeffficients Regresi Ganda

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 37.675 29.548 1.275 .207

Gaya_Kepemimpinan .240 .357 .085 .673 .503


Kompetensi_Profesio
.593 .597 .126 .994 .324
nalGuru
a. Dependent Variable: Prestasi_Belajar

Koefisien korelasi regresi ganda varibael independent terpisah terhadap variabel dependent
. jika dilihat dari nilai t hitung dan sig. Yang dihsilkan dari analisis diatas dapat disimpulkan
bahwa t hitung gaya kepemimpinan sebesar 0.673 > 0.05 berpengaruh terhadap prestasi belajar
siswa. Sedangkan t hitung pada kompetensi profesional guru sebesar 0.994>dari 0.05 secara
keseluruhan kompetensi guru sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar.
Dari variabel kompetensi profesional guru sangat berpengaruh karena lebih dominan
dengan Nilai B. 0.593, beta 0.126 dan t yang di hasilkan lebih besar.
Secara keseluruhan pada uji model regresi univariat dapat disimpulkan sebagai berikut
seperti yang tertera pada tabel.
1. Pada model korelasi Spearman, variabel bebas (X1) gaya kepemimpinan kepala sekolah
menunjukan korelasi yang sangat signifikan dengan (X2) kompetensi profesional guru

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


58
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

maupun variabel terikat (Y) prestasi belajar. Korelasi X1 dan X2 sama – sama
berpengaruh dengan presentasi sebesar 0.312( 31.2%) dengan kategori signifikan
sebesar 0.001<0.05
2. Model regresi ganda variabel X1 dan X2 menunjukan angka koefisien korelasi secara
bersama – sama terhadap Y sebesar 0.337 ( 33.7%) dengan nilai F 1.016 dan nilai sig.
0.207 lebih besar dari 0.05.
3. Secara partial variabel X1 mempengaruhi Y nilai beta sebesar 0.085 sedangkan variabel
X2 sebesar 0.126

Dari hasil penelitian secara keseluruhan kita dapat melihat pengaruh X1 dan X2 terhadap Y
sebagai berikut :
1. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Kepala sekolah SMA Muhammadiyah Ende dan
Kompetensi profesional guru secara bersama- sama terhadap prestasi belajar.

Secara bersama – sama variabel X1 gaya kepemimpinan Kepala sekolah dan X2


Kompetensi Profesional guru menunjukan derajat koefisien korelasi yaitu 0.114 ( 11,4 %
terhadap variabel Y prestasi belajar.
Dalam hal ini menunjukan prestasi belajar siswa di sekolah dipengaruhi oleh gaya
kepemimpinan dan kompetensi guru secara bersama-sama sebesar 11,4 % sedangkan sisanya
88.6% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak dijadikan dalam fokus penelitian ini.

2. Pengaruh gaya kepemimpinan kepala sekolah (X1) dan Kompetensi Profesional


Guru (X2) secara terpisah terhadap prestasi belajar.

Hasil analisis koreasi Pearson menghasilkan derajat korelasi antara variabel X1 dan X2
secara parsial dengan variabel Y dengan nilai sebagai berikut X1 terhadap Y = 0.312 ( 31.2 % ).
Sedangkan X2 terhadap Hasil analisis koreasi Pearson menghasilkan derajat korelasi antara
variabel X1 dan X2 secara parsial dengan variabel Y dengan nilai sebagai berikut X1 terhadap Y
= 0.312 ( 31.2 % ). Sedangkan X2 terhadap Y = 0.312 ( 31.2 % ). Kedua garis korelasi tersebut
sama- sama signifikan yaitu 0.009 < 0.05.
3. Korelasi gaya kepemimpinan kepala sekolah terhadap kompetensi profesional
Guru.

Kepemimpinan kepala sekolah sama- sama berkorelasi terhadap kompetensi profesional


guru sebesar 31.2 % artinya gaya kepemimpinan kepala sekolah akan berimplikasi terhadap
kompetensi profesional guru. Jika gaya kepemimpinan buruk maka akan berpengaruh terhadap

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


59
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

kompetensi profesional guru jadi dalam pola gaya kepemimpinan baik maka kompetensi
profesional guru baik serta prestasi belajar siswa baik.

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Simpulan
1. Variabel Independen ( X1 ) gaya kepemimpinan kepala sekolah berpengaruh positif
terhadap variabel dependent prestasi belajar siswa ( Y) SMA Muhammadiyah Ende
2. Variabel Independen ( X2 ) kompetensi profesional guru berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel dependent prestasi belajar ( Y ) SMA Muhammadiyah
Ende
3. Gaya kepemimpinan kepala sekolah ( X1 ) dan Kompetensi Profesional Guru ( X2 )
sama- sama berpengaruh secara positif terhadap prestasi belajar SMA
Muhammadiyah Ende.
B. Saran
1. Bagi kepala sekolah SMA Muhammadiyah Ende agar memberikan pembinaan secara
intensif dalam meningkatkan kompetensi profesional guru.
2. Memberikan pembinaan bagi guru- guru untuk meningkatkan kompetensi
profesional guru dengan sering melakukan perbaikan dalam pembelajaran yaitu
melakukan penelitian tindakan kelas, menyediakan sumber belajar serta media
pembelajaran serta pedoman bagi gurun untuk meningkatkan kemampuan secara
mandiri dalam melaksanakan tugas- tugas dalam pembelajaran
3. Bagi pengawas fungsional sekolah agar lebih optimal dalam pembinaan untuk
meningkatkan kualitas profesional guru.
4. Kepala sekolah SMA Muhammadiyah Ende harus mengelolah sekolah secara
profesional sesuai dengan tuntutan masyarakat dan tuntutan perubahan masa kini.
5. Bagi stakeholder dan praktisi pendidikan mempunyai komitmen yang tinggi untuk
mewujudkan prestasi belajar siswa sesuai iptek terkini.

DAFTAR PUSTAKA

H. A. R. Tilaar., Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002),p. 89


Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan Problema, Solusi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2007), p. 18
Hasbullah ( 1999). Menjadi guru profesional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Jhon C. Maxwell (1995). Mengembangkan kepemimpinan di dalam diri anda. Jakarta :
Bina Rupa Aksara

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


60
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Kosasih (2010). Prestasi belajar dan kompetensi guru. Surabaya : Usaha Nasional
Makawimbang J. (2012). Kepemimpinan pendidikan yang bermutu. Bandung : Alfabeta.
Masaong Kadim ( 2012 ). Supervisi Pembelajaran dan Pengembangan Kapasitas Guru.
Bandung: Penerbit Alfabeta
Sugiono, (2008). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif,Kuantitatif dan
R&D (cetakan ke lima ) Bandung : Penerbit Alfabeta
Suryabrata Sumadi,(2004). Metodologi Penelitian (cetakan keenambelas september)
Jakarta : Penerbit PT. RajaGrafindo Perkasa
Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Asokadikta
dan Durat Bahagia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, (Jakarta:
Visimedia, 2008), p. 65

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


61
PROSIDING

MP-8
PENGGUNAAN MODEL THINK PAIR SHARE (TPS) DALAM
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA PADA PESERTA
DIDIK KELAS VII SMP NEGERI MAUTENDA

Siti Arafat

Universitas Flores
e-mail: Arafat.siti@gmail.com

Abstrak
Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah penerapan
model Think Pair Share pada mata pelajaran IPA di kelas VII SMP Negeri Mautenda? 2)
Bagaimanakah hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran IPA setelah diterapkan
model pembelajaran Think Pair Share kelas VII SMP Negeri Mautenda?
Penelitian ini merupakan jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK) model Kemmis
dan Taggart dan menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian ini dilaksanakan
SMP Negeri Mautenda. Subyek penelitian ini adalah peserta didik kelas VII yang
berjumlah 20 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan observasi, wawancara, dokumentasi, dan test.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model Think Pair
Share dapat melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran dan hasil belajar
IPA peserta didik mengalami peningkatan setelah melakukan pembelajaran dengan
menggunakan model Think pair Share. Hal ini dapat ditunjukan dari tes akhir dengan
memberikan evaluasi siklus I 63,57 dan test akhir siklus II 89,29. Dengan demikian
disarankan perlu menggunakan model Think Pair Share sehingga guru dapat
menggunakannya dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan aktivitas belajar
peserta didik.

Kata kunci: kata, model think pair share (TPS), hasil belajar

PENDAHULUAN

Dewasa ini pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan di sekolah-sekolah


khususnya dalam pembelajaran IPS belum bisa dikatakan sebagai pembelajaran yang
berkualitas seperti yang dikemukakan di atas. Hal ini disebabkan olehkondisi
pembelajaran yang masih bersifat konvensional. Dalam pembelajaran ini hanya terjadi
komunikasi satu arah dimana guru yang mendominasi pembelajaran tersebut. Peserta
didik lebih cenderung menerima apa saja yang disampaikan guru dan enggan dalam
mengemukakan pertanyaan atau pendapat. Ini menyebabkan peserta didik tidak
menyukai pembelajaran IPS, yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab
rendahnya hasil belajar peserta didik. Kooperatif atau sering disebut dengan belajar

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

secara berkelompok ini memiliki berbagai macam tipe, namun yang ingin diterapkan
dalam penelitian ini adalah Tipe Students Teams Achievement Division (STAD) yang
dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik. Model pembelajaran
yang di maksudkan adalah pembelajaran kooperatif tipe STAD, kondisi ini juga terjadi
di SDI Ende 16. Dengan demikian hendaknya peneliti dapat memilih dan menerapkan
metode yang tepat dalam pengajaran IPS yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil
belajar peserta didik. Sehingga dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe Students Teams Achievement Division (STAD) ini diharapkan dalam proses
pembelajaran peserta didik tidak merasa jenuh.

Dalam pembelajaran IPS peserta didik dapat dibawa langsung dalam lingkungan
alam dan masyarakat. Dengan lingkungan alam sekitar peserta didik akan akrab dengan
kondisi setempat sehingga megetahui makna serta manfaat mata pelajaran IPS secara
nyata. Disamping itu, dengan mempelajari social masyarakat, peserta didik akan
langsung dapat mengamati dan mempelajari norma-norma/peraturan serta
kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku dalam masyarakat tersebut sehingga peserta
didik mendapat pengalaman langsung adanya hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi antara kehidupan pribadi dan masyarakat. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa IPS adalah bidang studi yang mempelajari dan menelaah serta
menganalisis gejala dan masalah sosial dimasyarakat ditinjau dari berbagai aspek
kehidupan secara terpadu (Trianto, 2009:17).

Menurut Slavin (Rusman, 2011), model STAD merupakan variasi pembelajaran


kooperatif yang paling banyak diteliti.Model ini juga sangat mudah diadaptasi, telah
digunakan dalam Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, teknik dan banyak subjek
lainnya, dan pada tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Model pembelajaran
kooperatif tipe STAD, dimana Peserta Didik diberi kesempatan untuk berkomunikasi
dan berinteraksi dengan temannya yang lain untuk mencapai tujuan pembelajaran,
sementara guru bertindak sebagai motivator dan fasilitator aktifitas Peserta Didik, yang
artinya dalam pembelajaran ini kegiatan aktif dengan pengetahuan dibangun sendiri
oleh Peserta Didik dan mereka bertanggung jawab atas keberhasilan belajarnya (Isjoni,
2007:6).

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


63
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Keberhasilan suatu program pengajaran membutuhkan pendekatan maupun model


pembelajaran tertentu sesuai dengan karakteristik pendidikan itu sendiri, agar dapat
membantu Peserta Didik memahami konsep yang diberikan. Kebanyakan Peserta Didik
dalam mempelajari IPS secara pasif dan bersikap sebagai konsumen, keadaan ini
sebenarnya merupakan akibat cara mengajar guru yang kurang menarik dan tidak
memiliki model-model pembelajaran yang sesuai dengan materi. Oleh sebab itu,
kemampuan seorang guru meliputi juga kemampuan untuk memiliki suatu model
pembelajaran. Untuk dapat melakukan kegiatan belajar mengajar maka guru harus
memahami model mengajar secara teoritis, untuk selanjutnya dapat memilih
model-model tertentu sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai Peserta Didik.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis merasa tertarik untuk mengangkat judul
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Peserta Didik Kelas IV di SDI Ende 16.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang terdiri atas tahapan
perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Subyek penelitian merupakan siswa
kelas IV SDI Ende 16. Teknik pengambilan data menggunakan metode observasi,
metode tes, metode wawancara dan metode wawancara. Hasil analisis data berupa hasil
belajar dilakukan dengan secara deskriptif (Arikunto, 2009). Analisis tersebut dilakukan
dengan menghitung ketuntasan individual.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini dipaparkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada peserta
didik kelas IV SDI Hobakua. Sebelum melakukan tindakan, peneliti mengobservasi
pada peserta didik kelas IV dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Observasi
tersebut dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan peserta didik dalam menyerap
materi Keragaman Suku Bangsa dan Budaya, sehingga peneliti memberikan soal
pre-test atau tes awal dengan bentuk soal isian. Hasil pretest juga akan dijadikan rujukan
dalam penentuan skor perkembangan individu. Berdasarkan pretest diperoleh
persentase ketuntasan sebesar 20%. Hasil ini belum mencapai target yang diinginkan
yakni 90%.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


64
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Siklus I diawali dengan tahapan perencanaan dimana guru menyiapkan perangkat


pembelajaran yang menerapkan model STAD, media pembelajaran dan instrument
penelitian. Tahapan selanjutnya adalah tahap tindakan dimana guru menerapkan model
STAD. Pada inti pembelajaran disesuaikan dengan langkah-langkah kooperatif tipe
STAD yakni kelas di bagi dalam 5 kelompok,Tiap kelompok peserta didik terdiri atas 4
orang. Tiap kelompok diberi LKS yang berisi permasalahan seputar materi Keragaman
Suku Bangsa dan Budaya yang harus dipecahkan. Tiap kelompok di dorong untuk
berdiskusi dan selama proses pembelajaran secara kelompok guru berperan sebagai
fasilitator dan motivator. Pembelajaran secara berkelompok ternyata membuat peserta
didik lebih bersemangat, mereka terlihat serius dalam bekerja sama. Namun disisi lain
masih ditemui adanya peserta didik yang kurang bersemangat dan hanya
menggantungkan diri kepada temannya. Hasil kerja kelompok akan diplenokan di
depan kelas yang diwakili oleh satu perwakilan kelompok.

Sebelum guru menjelaskan lebih lanjut dari inti materi pembelajaran, guru
mengkonstruksi melalui pertanyaan untuk mencari tahu materi yang dipelajari.
Berdasarkan jawaban-jawaban yang diberikan peserta didik, guru menyamakan
persepsi peserta didik tentang Keragaman Suku Bangsa dan Budaya sekaligus
memberikan beberapa soal latihan untuk diselesaikan secara bersama. Pada saat proses
pembelajaran guru juga memberikan penilaian terhadap aktivitas peserta didik yang
mencakup aspek mengenai proses mencari tahu jawaban yang tepat, kemampuan
menebak atau berhipotesis, partisipasi kelompok dan hasil dari kesimpulan kerja
kelompok. Di akhir pembelajaran guru memberikan soal post-test untuk mengukur
tingkat pemahaman dan kemampuan peserta didik dalam menyerap materi yang
dipelajari. Soal diberikan dalam bentuk isian yang diselesaikkan perindividu. Hasil test
diperbandingkan dengan post test untuk mengetahui skor perkembangan individu. Hasil
tes juga akan menjadi bagian dalam refleksi.

Perolehan ketuntasan pada siklus I sebesar 57%. Hasil ini masih belum mencapai
target sehingga masih perlu dilakukan siklus II. Refleksi lainnya yakni masih banyak
terdapat kekurangan dalam pelaksanaan pembelajaran. Alokasi waktu yang telah
ditetapkan pada perencanaan belum sesuai dengan pelaksanaan. Waktu pembelajaran
habis sebelum guru menyimpulkan pembelajaran. Agar prestasi belajar peserta didik

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


65
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

meningkat, maka pada siklus II guru harus memperhatikan beberapa hal berikut ialah
dalam menjelaskan materi lebih pada contoh-contoh konkret, memberikan motivasi,
perhatian dan bimbingan kepada peserta didik yang lamban serta bersama-sama dengan
peserta didik menyelesaikan soal-soal latihan.

Berdasarkan perbaikan-perbaikan pada siklus I, maka diperoleh data hasil post-test


siklus II, yakni 4 orang peserta didik mampu menyelesaikan soal post-test dengan baik
sehingga nilai yang didapat adalah 100. Sedangkan ketuntasan hasil belajar mencapai
93,3 % dengan nilai rata-rata 80,3. Hal ini menunjukan bahwa penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD materi Keragaman Suku Bangsa dan Budaya siklus
II sudah berhasil, karena nilai rata-ratadan ketuntasan belajar sudah berada di atas KKM
yang ditentukan. Peningkatan hasil belajar tersebut karena selama proses berdiskusi
seluruh peserta didik sangat antusias dan aktif, sudah berani mengungkapkan pendapat
dan mampu menanggapi hasil kerja kelompok lainnya. Hal ini sesuai dengan manfaat
pembelajaran kooperatif yakni Alma, dkk. (2009:81) menjelaskan bahwa Cooperative
Learning adalah model pembelajaran dimana peserta didik belajar dan bekerja dalam
kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang, dengan struktur
kelompok heterogen. Strategi belajarnya khusus dirancang untuk memberi dorongan
kepada peserta didik agar bekerja sama selama proses pembelajaran. Cooperative
Learning ini dapat meningkatkan belajar peserta didik lebih baik dan meningkatkan
sikap tolong menolong dalam perilaku sosial. Peserta didik dimotivasi berani
mengemukakan pendapat, menghargai pendapat teman dan saling tukar pendapat
(sharing ideas).

SIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan selama dua siklus dan
berdasarkan seluruh pembahasan serta analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
memiliki kriteria yang sangat memuaskan. Meningkatkan hasil belajar peserta didik
yang ditandai dengan peningkatan ketuntasan belajar peserta didik dalam setiap siklus
yaitu siklus .dan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik yang ditunjukan dengan
rata-rata jawaban peserta didik yang menyatakan bahwa peserta didik tertarik dan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


66
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

berminat dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD sehingga mereka menjadi
semangat untuk belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Alma Buchari, dkk. 2009. Guru 93ocial93ional. Bandung: Alfabeta

Isjoni H. 2009. Pembelajaran Kooperatif meningkatkan kecerdasan komunikasi antar


peserta didik. Pekan Baru : PT Pustaka Pelajar.

Rusman. 2011. Model – Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru.


Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Trianto. 2009. Mendesain model pembelajaran inovatif-progresif. Kencana prenada


media group.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


67
PROSIDING

MP-9
PENGGUNAAN MODEL EXAMPLE NON EXAMPLE BERBANTUAN MEDIA
GAMBAR UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP PESAWAT
SEDERHANA PADA SISWA KELAS V SDI ENDE 7

1
Nining Sariyyah, 2Christina Dhedhu
1
Prodi PGSD Uniflor, 2SDI Ende 7
e-mail: Sariyyah.nining@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan kesulita belajar siswa kelas V SDI Ende
7 dalam memahami konsep pesawat sederhana pada pembelajaran IPA. Untuk itu,
diterapkanlah model example non example berbantuan media gambar untuk meningkatkan
pemahaman siswa. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang menggunakan
pendekatan kualitatif. Data diperoleh dengan teknik tes, observasi dan catatan lapangan
kemudian dianalisis melalui tahapan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan pemahaman konsep siswa setelah diterapkan
model example non example berbantuan media gambar.

Kata kunci:, model example non example, media gambar, pemahaman konsep

PENDAHULUAN

Idealnya setiap guru memiliki harapan besar agar siswa memiliki hasil belajar yang baik.
Salah satu output hasil belajar adalah, siswa dapat memahami konsep yang ditanamkan dan
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Defenisi pemahaman konsep menurut Bloom
(Hamdani dkk, 2012) adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu
mengungkapkan suatu materi yang disajikan ke dalam bentuk yang lebih dapat dipahami,
mampu memberikan interpretasi dan mampu mengaplikasikannya.

Salah satu pemahaman konsep yang harus dikuasai oleh siswa dalam pembelajaran IPA di
sekolah dasar adalah tentang pesawat sederhana. Pesawat sederhana merupakan kajian materi
IPA yang membahas tentang peralatan-peralatan sederhana yang membantu kerja manusia.
Berdasarkan jenisnya, peralatan tersebut meliputi pengungkit, katrol, bidang miring dan roda
berporos. Fakta yang ditemukan pada siswa kelas V SDI Ende 7 adalah siswa masih sulit untuk
mengidentifikasi pesawat sederhana berdasarkan jenisnya tersebut kesulitan siswa tersebut
terutama dalam menggolongkan pengungkit jenis I, pengungkit jenis II dan pengungkit jenis III.
Keadaan ini menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa.

Berdasarkan hasil refleksi guru, siswa kurang memahami konsep pesawat sederhana
karena strategi pembelajaran yang digunakan guru cenderung abstrak. Guru kurang melibatkan
penggunaan media pembelajaran yang dapat membantu siswa memvisualisasi konsep tersebut.

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Penggunaan model pembelajaran yang lebih variatif juga jarang diterapkan guru sehingga siswa
kurang fokus dan berminat menerima pembelajaan.

Permasalahan-peermasalahan yang dialami oleh siswa di kelas V SDI Ende 7 dapat diatasi
dengan mengubah strategi pembelajaran. Antara lain dengan melibatkan penggunaan media dan
model belajar yang variatif dan lebih kontekstual, seperti model example non example
berbantuan media gambar. Pemilihan strategi tersebut berdasarkan manfaat model example non
example berbantuan media gambar yakni untuk membelajarkan siswa terhadap permasalahan
yang ada di sekitarnya melalui analisis contoh-contoh di dalam gambar (Komalasari dalam
Ariani, 2014). Penggunaan model example non example berbantuan media gambar memberikan
ruang bagi siswa untuk bekerjasama dengan siswa lain di dalam kelompok kecil untuk
menganalisa gambar-gambar yang relevan dengan materi pesawat sederhana. Melalui kegiatan
analisis gambar tersebut, konsep pesawat sederhana dapat divisualisasikan sehingga membuat
siswa dapat lebih memahami konsep yang dipelajari.

Penelitian tentang model example non example berbantuan media gambar telah banyak
dilakukan. Seperti pada penelitian Yensy (2012) yang menerapkan model pembelajaran
example non example dengan menggunakan alat peraga untuk meningkatkan hasil belajar
siswa di kelas VIII SMPN 1 Argamakmur. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan
pemahaman konsep dari siklus I sebesar 51,72%, siklus II sebesar 79,31%, dan siklus III sebesar
96,57%. Penelitian mengenai model serupa juga pernah dilakukan Wijaya dkk (2013) dimana
terdapat pengaruh model example non example terhadap hasil belajar IPS kelas V sekolah dasar
Negeri 12 Pontianak Selatan.

Dukungan penelitian terdahulu serta landasan teori yang dipaparkan di atas, semakin
memperkuat pandangan peneliti untuk melalukan penelitian serupa di kelas V SDI Ende 7.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman konsep siswa kelas V
SDI Ende 7 tentang pesawat sederhana setelah diterapkan model example non example
berbantuan media gambar.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas
(classroom action research) dengan subyek penelitian sebanyak 28 orang siswa kelas V SDI
Ende 7. Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan alur pokok (siklus) sebagai berikut: planning
(perencanaan), acting&observing (tindakan dan pengamatan), reflecting (perefleksian), dan
revise plan (perbaikan rencana).

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


69
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara tes untuk mengetahui pemahaman
konsep siswa. Instrument tes pemahaman konsep dirancang dalam bentuk isian sesuai kisi-kisi
dalam Tabel 1.

Tabel 1 Kisi-kisi instrument tes pemahaman konsep pesawat sederhana

Indikator Jumlah Soal Nomor Soal

Mengidentifikasi benda-benda yang 5 1, 3, 12, 13, 17,


tergolong pengungkit golongan I, II dan III

Mengidentifikasi benda yang tergolong 5 4, 6, 16, 11, 20


bidang miring

Mengidentifikasi benda yang tergolong 5 5, 7, 14, 15, 10


katrol

Mengidentifikasi benda yang tergolong 5 2, 8, 9, 18, 19


roda berporos

Total Soal 20

Hasil tes dianalisis dengan menghitung persentase pemahaman konsep siswa berdasarkan
keempat indicator di atas. setiap siswa dan persentase ketuntasan secara klasikal. Apabila secara
klasikal siswa perolehan persentase telah mencapai 85%, maka penelitian tidak dilanjutkan ke
siklus berikut. Selain tes, teknik catatan lapangan dan dokumentasi juga dilakukan untuk
mendapatkan data tambahan tentang jalannya proses pembelajaran untuk membantu peneliti
melakukan refleksi. Refleksi dilakukan untuk mengetahui kekurangan dan kelemahan proses
pembelajaran.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambaran awal penelitian bahwa siswa kelas V SDI Ende 7 belum memahami secara baik
mengenai konsep pesawat sederhana. Untuk membantu peneliti mendeskripsikan data,
dilakukan pre test atau test awal sebelum eksekusi siklus pertama. Hasil pre test secara
terperinci dapat dilihat pada Tabel 2.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


70
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tabel 2 Data pre test siswa tentang pemahaman konsep pesawat sederhana
No Indikator Tuntas Tidak
(%) Tuntas (%)
1 Mengidentifikasi benda-benda 2 98
yang tergolong pengungkit
golongan I, II dan III
2 Mengidentifikasi benda yang 10 90
tergolong bidang miring
3 Mengidentifikasi benda yang 25 75
tergolong katrol
4 Mengidentifikasi benda yang 12 88
tergolong roda berporos
Persentase Rata-rata 10 90

Hasil pretest memberikan deskripsi awal bahwa 90% siswa belum memahami konsep
pesawat sederhana. Berdasarkan indikatornya, ketuntasan terendah berada pada indicator 1
yakni tentang pengungkit dengan perolehan sebesar 2%. Sedangkan ketuntasan tertinggi
sebesar 25% pada indicator 3 dengan submateri katrol. Sedangkan indicator 2 dan indicator
empat masing-masing memperoleh ketuntasan sebesar 10% dan 12%. Secara klasikal, rata-rata
pemahaman konsep siswa sebesar 10%. Angka ini masih sangat jauh dari target yang diinginkan
yakni 85%.

Tindakan siklus I dilaksanakan setelah pre test. Awal pembelajaran guru mengapersepsi
siswa dengan menanyakan benda apa sajakah yang dapat dipakai untuk membuka tutupan
kaleng biscuit?. Berdasarkan feedback dari siswa, guru menjelaskan mengapa lebih mudah
membuka tutupan kaleng dengan benda tersebut dibandingkan memakai tangan. Guru
menyampaikan tujuan pembelajaran.

Pada kegiatan inti guru mendeskripsikan tentang manfaat pesawat sederhana dan
menunjukkan beberapa gambar pesawat sederhana. Melalui gambar tersebut guru menjelaskan
jenis pesawat sederhana yang termasuk pengungkit golongan I, II dan III, jenis bidang miring,
jenis katrol dan roda berporos. Kemudian membagi siswa ke dalam kelompok. Tiap kelompok
diberi berbagai jenis gambar benda kemudian meminta siswa menganalisa gambar tersebut
berdasarkan jenis pengungkit, katrol, bidang miring dan roda berporos. Berdasarkan catatan
lapangan,tahapan ini cukup menyita banyak waktu. Namun antusiasme siswa sangat tinggi dan
terlihat aktif mengamati gambar. Keterlibatan guru juga masih cukup banyak dalam
membimbing dan mengarahkan siswa dalam tahapan ini.

Tahapan selanjutnya adalah presentasi. Tahapan ini tidak dapat dilakukan karena waktu
yang tidak mencukupi lagi. Sehingga kegiatan presentasi dilanjutkan pada pertemuan dua.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


71
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Setelah presentasi, guru memberikan test akhir untuk mengukur pemahaman konsep siswa.
Adapun hasil tes dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3 Data Hasil Tes Pemahaman Konsep Siklus I


No Indikator Tuntas (%)
Pre Siklus I
Test
1 Mengidentifikasi benda-benda yang 2 64
tergolong pengungkit golongan I, II dan III
2 Mengidentifikasi benda yang tergolong 10 70
bidang miring
3 Mengidentifikasi benda yang tergolong 25 78
katrol
4 Mengidentifikasi benda yang tergolong roda 12 74
berporos
Persentase Rata-rata 10 72
Berdasarkan data pada Tabel 3 menunjukkan danya peningkatan pemahaman konsep siswa
dari sebelum tindakan sebesar 10% menjadi 72% pada siklus I. Pada indicator 1 perolehan
ketuntasan siswa meningkat menjadi 64%. Walaupun terjadi peningkatan, angka tersebut masih
lebih rendah dari indicator-indikator lain. Hal ini dikarenakan siswa masih bingung
membedakan pengungkit jenis I, II dan III berdasarkan posisi beban, titik tumpu dan kuasa.
Sementara untuk bidang miring, katrol dan roda berporos cukup dapat diidentifikasi dengan
baik.

Secara keseluruhan perolehan ketuntasan belum mencapai target penelitian yakni 85%.
Sehingga perlu dilakukan siklus II dengan memperhatikan kelemahan-kelemahan pada siklus I.
Adapun hal-hal yang perlu direvisi dalam siklus II antara lain:

1. Siswa masih bingung dalam menentukan pengungkit jenis I, II dan III. Sehingga guru perlu
melengkapi gambar, misalnya dengan memberikan nomor pada posisi beban, titik tumpu
dan kuasa sehingga memudahkan siswa dalam menganalisis gambar

2. Perlu adanya tambahan alokasi waktu karena pertemuan pertama siklus I tidak sesuai
perencanaan.

Siklus kedua dilaksanakan setelah mempersiapkan seluruh perencanaan yang dibutuhkan.


Pembelajaran di siklus II berjalan lebih efektif mengikuti rancangan RPP. Setelah gambar
diperbaiki, siswa lebih mudah untuk menganalisis sehingga kegiatan diskusi berlangsung lebih
cepat dari perkiraan waktu. Adapun hasil tes pemahaman konsep pada siklus II dapat dilihat
pada Tabel 4.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


72
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tabel 4 Data Perbandingan Hasil Tes Pemahaman Konsep Siklus I dan Siklus II

No Indikator Tuntas (%)


Pre Siklus I Siklus II
Test
1 Mengidentifikasi benda-benda yang 2 64 83
tergolong pengungkit golongan I, II dan
III
2 Mengidentifikasi benda yang tergolong 10 70 100
bidang miring
3 Mengidentifikasi benda yang tergolong 25 78 86
katrol
4 Mengidentifikasi benda yang tergolong 12 74 93
roda berporos
Persentase Rata-rata 10 72 91

Berdasarkan Tabel 4 ditemukan adanya peningkatan pemahaman konsep dari siklus I


sebesar 72% menjadi 91% pada siklus II. Dengan demikian perolehan ketuntasan pada siklus II
telah memenuhi target penelitian ini yakni 85%. Hal ini membuktikan bahwa model example
non example berbantuan media gambar dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa
mengenai pesawat sederhana.

Menurut John Holt dalam Silberman (Wjaya dkk,2013), belajar akan semakin baik jika
siswa dapat mengungkapkan contoh-contoh dan atau lawan kebalikannya, melihat
hubungannya dan mengungkapkan dengan informasi sendiri. Sesuai pandangan tersebut, model
example non example berbantuan media gambar memberikan ruang bagi siswa untuk
menganalisis gambar yang merupakan contoh dan bukan contoh dari konsep yang dipelajari.
Kesempatan ini membuat siswa berpikir kritis dan menggali sendiri pengetahuan yang didapat
sehingga membantu siswa dalam memahami konsep yang dipelajari.

Penggunaan gambar juga mengubah suasana belajar yang abstrak menjadi lebih visual. Hal
ini dikarenakan kelebihan media gambar yakni lebih realistis menunjukkan masalah
dibandingkan dengan media verbal semata. Selain itu penggunaan gambar dalam model
example non example lebih praktis. Dengan adanya media gambar semua benda atau obyek
tidak harus dibawa ke dalam kelas (Sadiman dkk, 2012:29).

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan model example non
example berbantuan media gambar dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa mengenai

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


73
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pesawat sederhana. Penggunaan model ini cukup menyita waktu, disarankan bagi guru untuk
memperhatikan penggunaan alokasi waktu sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.

DAFTAR PUSTAKA
Ariani, I. 2014. Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Model Pembelajaran Examples
non Examples dengan Media Visual pada Siswa Kelas 5 SD Negeri Sidorejo Lor 01
Semester II Tahun Pelajaran 2013/2014. Skripsi. Tersedia: repository.uksw.edu
Hamdani dkk. 2012.Pengaruh Model Pembelajaran Generatif dengan menggunakan Alat Peraga
Terhadap Terhadap Pemahaman Konsep Cahaya Kelas VIII di SMP Negeri 7 Kota
Bengkulu. Jurnal Exacta, Vol.X, No. 1 Juni 2012. Tersedia:
http://www.googlscholar.co.id
Sadiman dkk. 2012. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya.
Jakarta: RajaGrafindo Persada
Wijaya dkk. 2013. Pengaruh Model Example Non Example terhadap Hasil Belajar IPS Kelas V
Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran.Vol.2, No. 2. Tersedia:
Jurnal.untan.ac.id
Yensy, N.A. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Examples on Examples
dengan Menggunakan Alat Peraga untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa di Kelas
VIII SMPN 1 Argamakmur. Exacta, 10 (1). Tersedia: repository.unib.ac.id

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


74
PROSIDING

MP-10
PENINGKATAN KOMPETENSI GURU DALAM MENGGUNAKAN MEDIA
PEMBELAJARAN IPA BIOLOGI MELALUI SUPERVISI AKADEMIK DI SMPN 5
BAJAWA

Nuwa Markus
SMPN 5 Bajawa
Email: nuwamarkus@gmail.com

Abstrak

Manajemen berbasis sekolah meliputi tiga tahapan kegiatan inti yakni perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi. Ketiga unsur ini terpatri atau termaktub dalam proses belajar
mengajar di sekolah, yang memberi peluang terhadap guru untuk melakukan perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran. Dalam proses pembelajaran tiga unsur tersebut
tergambar dalam kegiatan utama yang harus dilaksanakan oleh guru yaitu: membuat
program tahunan, membuat program semester, membuat silabus, membuat rencana
pelaksanaan pembelajaran dan membuat program evaluasi. Dari kelima unsur kegiatan guru
diatas, silabus dan RPP merupakan persiapan minimal untuk melakukan proses
pembelajaran di kelas. Berdasarkan analisis hasil supervisi akademik terhadap guru IPA
Biologi SMPN 5 Bajawa Tahun Pelajaran 2015/2016 terdapat masalah rendahnya
kompetensi guru dalam menggunakan media pembelajaran dalam proses pembelajaran di
dalam kelas yang berdampak pada rendahnya mutu hasil belajar siswa. Untuk meneliti
rendahnya kompetensi guru dalam hal tersebut dilakukanlah penelitian tindakan sekolah
untuk melihat sejauh mana supervisi akademik kepala sekolah dapat meningkatkan
kompetensi guru dalam meyusun silabus dan RPP dengan menggunakan media
pembelajaran dalam proses pembelajaran dalam kelas.

Kata Kunci: Manajemen Berbasis Sekolah, Kompetensi Guru, Media Pembelajaran


PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan suatu proses merubah manusia menjadi lebih baik, lebih mahir
dan lebih trampil. Untuk mencapai tujuan pendidikan dibutuhkan strategi dan proses
pembelajaran dalam kelas yang baik pula, dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut
memiliki kemampuan untuk menyusun perangkat program pembelajaran . Penyusunan program
pembelajaran berfungsi memberikan arah pelaksanaan pembelajaran sehingga menjadi lebih
efektif dan efisien. Salah satu program pembelajaran yang sangat penting dibuat oleh guru
adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dan yang merupakan bagian penting dalam
penyusunan RPP adalah persiapan dan penggunaan media pembelajaran secara memadai,
karena dengan menyiapkan dan menggunaan media pembelajaran yang baik dapat membantu
siswa untuk lebih mudah memahami dan mengerti materi yang diajarkan oleh guru

Dalam proses pembelajaran mata pelajaran IPA Biologi di dalam kelas,sangat


diharapkan dari seorang guru IPA Biologi memiliki kompetensi pengelolaan pembelajaran
yang bisa memanfaatkan media pembelajaran secara optimal agar siswa bisa memahami atau
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

mengerti kompetensi Dasar yang diajarkan. Namun dalam kenyataannya guru IPA Biologi di
SMPN 5 Bajawa tidak menyiapkan media pembelajaran secara baik bahkan ada yang sudah
disiapkan tetapi tidak dimanfaatkanya. Untuk itu sangat diharapkan lewat kegiatan supervisi
akademik yang dilaksanakan secara berencana oleh kepala sekolah kiranya dapat memperbaiki
kemampuan guru bidang studi IPA Biologi dalam menyiapkan media pembelajaran yang dapat
menunjang tercapainya proses pembelajaran yang lebih efektif.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Sekolah dimana subyek dalam Penelitian
Tindakan Sekolah ini adalah guru mata pelajaran IPA Biologi. Lokasi pelaksanaan penelitian
adalah SMPN 5 Bajawa. Penelitian dilaksanakan selama satu bulan September 2016 sampai
dengan Oktober 2016. Penelitian ini dilaksanakan sendiri oleh penulis sebagai Kepala Sekolah
bersama Kepala Urusan Kurikulum dan guru mata pelajaran IPA Biologi. Penelitian ini
berlangsung selama 2 Siklus. Masing-masing siklus terdiri dari tahapan perencanaan,
pelaksanaan, observasi dan refleksi. Hasil dari penilaian akan dikelompokan dalam kategori
sebagai berikut

A Baik Sekali 76% - 100%


B Baik 56% - 75%
C Cukup 26% - 55%
D Kurang 0% - 25%

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Kondisi Awal

Fakta yang didapat guru biologi belum memahami secara optimal dan komprehensif
menyediakan, membuat dan memanfaatkan media pembelajaran secara efektif dalam proses
pembelajaran, masih sebatas menggunakan gambar-gambar, foto-foto alat/bahan yang telah
tercetak didalam buku teks pelajaran. Di sisi lain, guru dituntut secara profesional dan
pedagogik untuk meningkatkan kemampuan/kreativitas dalam menyediakan, membuat dan
memanfaatkan media pembelajaran.

Sehubungan dengan hasil observasi dan wawancara pada saat guru IPA Biologi
mengumpulkan silabus dan RPP, dapat disimpulkan bahwa kenyataan guru IPA Biologi
mengumpulkannya namun silabus dan RPP yang disusun merupakan hasil jiplakan (copi paste)
tanpa pemahaman yang komprehensif terhadap prosedur yang termuat dalam tahapan dan
proses pembuatan silabus dan RPP. Sehingga sekalipun dalam RPP dicantumkan media
pembelajaran tetapi tidak disiapkan oleh guru bidang studi IPA Biologi.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


76
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

B. Sajian Data dan Pembahasan

Penelitian Tindakan Sekolah ini dilaksanakan dalam dua siklus. Adapun hasil penilaian
pada siklus I dan II tertera pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1
Sajian Data Siklus I
No Uraian Kegiatan Siklus I Siklus II
1 Menjelaskan tujuan dan kompetensi dasar 3 3
2 Menyampaikan cakupan materi dan uraian 2 3
kegiatan sesuai dengan silabus
3 Menjelaskan isi kegiatan kepada siswa/langkah 2 4
kegiatan
4 Menggunakan ekspresi dalam berkomunikasi 1 3
dengan siswa
5 Menggunakan respon siswa dalam 1 3
menyelenggarakan kegiatan
6 Menggunakan media dan alat pembelajaraan 1 3
yang sesuai dengan tujuan
7 Menyelenggarakan kegiatan dengan urutan 2 4
logis
8 Menggunakan berbagai metode dalam 1 3
menjelaskan isi kegiatan
9 Membimbing siswa dalam mengikuti kegiatan 2 4
secara individual maupun kelompok
10 Memberikan banyak kesempatan kepada siswa 1 4
untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang
dilaksanakan
11 Memberikan penguatan kepada siswa 1 3
12 Melaksanakan penilaian selama kegiatan 2 4
berlangsung
13 Menutup kegiatan dengan tepat 3 4
14 Memberikan tugas/PR 1 3
Jumlah Nilai Riil 23 48
Jumlah Nilai Ideal 56 56
Persentase 41% 86%
Klasifikasi Cukup Sangat Baik
Sumber data: Hasil penelitian yang diolah

Pada tahap awal guru IPA Biologi diminta mengumpulkan silabus dan RPP. Setelah
diteliti keseluruhan tahapan dalam RPP ternyata guru tidak menyiapkan alat peraga/media
pembelajaran. Guru mengandalkan gambar-gambar dan foto-foto yang termuat dalam buku teks
pelajaran IPA Biologi. Berdasarkan data tersebut penulis meminta untuk menyusun perbaikan
RPP dengan menyiapkan media serta memanfaatkannya dalam proses pembelajaran dan
menetapkan jadwal supervisi bagi guru.

Pada tahap pelaksanaan supervisi akademik di kelas guru IPA Biologi menyiapkan alat
peraga yang sesuai dengan materi pembelajaran berdasarkan RPP. Setelah dilaksanakan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


77
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

supervisi ternyata guru tidak menyiapkan dan menggunakan media pembelajaran tersebut pada
keseluruhan tahapan proses pembelajaran. Pada tahap pengembangan atau penerapan, yang kini
dikenal dengan eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi, guru IPA Biologi diharapkan
menunjukan/memperlihatkan media namun dalam kenyataannya tidak ada media yang
disiapkan oleh guru. Efektifitas pemanfaatan media pembelajaran dalam proses pembelajaran
belum optimal membantu siswa memahami materi pembelajaran. Alhasil ketika diberikan
pertanyaan lisan/oral tentang materi ajar ternyata siswa belum menjawab secara benar, tuntas
dan baik..

Setelah dilaksanakan supervisi ditemukan guru telah menyiapkan RPP secara baik
dengan menyiapkan media/alat, bahan pembelajaran, namun dalam pelaksanaan di dalam kelas
guru belum optimal memanfasatkan media membantu proses pemahaman siswa terhasdap
materi ajar. Hal itu terbukti ketika diberikan pertanyaan lisan oleh guru, daya serap siswa belum
mencapai tingkat yang diharapkan.

Guru IPA biologi telah paham prosedur dan proses penyusunan RPP, juga dapat
membuat, menyiapkan media/ alat dan bahan pembelajaran membantu siswa memahami materi
pembelajaran. Setelah dilaksanakan supervisi akademik siklus 1 ditemukan bahwa guru IPA
Biologi belum memahami secara optimal manfaat/kegunaan media pembelajaran dalam proses
pembelajaran. Untuk itu dirancang siklus 2 untuk mengoptimalkan dan meningkatkan
kemampuan/kretifitas guru IPA Biologi dalam menyiapkan dan memanfaatkan media
pembelajaran dalam kelas.

Pada siklus 2 ini peneliti melanjutkan dengan menganalisis/menguji keaslian silabus dan
RPP yang disusun oleh guru dan kesesuain dengan penerapan media pembelajaran dalam
proses pembelajaran dalam kelas. Tehnik yang digunakan adalah dengan melakukan supervisi
akademik dalam kelas.

Setelah tahapan siklus 2 dilaksanakan terjadi perubahan yang cukup signifikan yakni
setelah tahapan supervisi di dalam kelas didapatkan data bahwa prosentase perolehan nilai hasil
supervisi guru IPA Biologi mengalami peningkatan. Tahapan siklus 1 = 41 % sedangkan siklus
2 = 86 % dengan demikian mengalami peningkatan sebesar 45 %. Dari hasil analisa penguatan
supervisi akademik siklus 2 dapat menunjukankan bahwa guru IPA Biologi SMPN 5 Bajawa
telah menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran secara baik serta menyiapkan dan
memanfaatkan media pembelajaran dalam proses pembelajaran secara optimal sehingga dapat
meningkatkan mutu pembelajaran dan prestasi belajar siswa dalam kelas.

KESIMPULAN DAN SARAN

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


78
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan sebelumnya, dapat


disimpulkan sebagai berikut :

1. Supervisi akademik terprogram dan berkelanjutan terbukti secara ilmiah dapat


meningkatkan kompetensi dan kreatifitas guru dalam menyusun silabus dan RPP di
SMPN 5 Bajawa. Hal ini terbukti dengan meningkatnya kompetensi kreatifitas guru
IPA Biologi dalam menyusun dan melengkapi RPP dengan membuat, menyiapkan dan
memanfaatkannya secara optimal media pembelajaran dalam proses pembelajaran
dalam kelas yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu hasil
belajar siswa
2. Menyiapkan dan membuat media pembelajaran yang tercover dalam RPP sangat
membantu siswa secara langsung memahami materi pembelajaran secara komprehensif
juga membantu guru lebih kreatif dalam mengelola skenario pembelajaran.
3. Kompetensi dan kreatifitas guru dalam mengelola model pembelajaran sangat berkaitan
langsung dengan kompetensi manajerial kepala sekolah juga kompetensi supervisi
kepala sekolah untuk mendampingi dan mengayomi guru dalam meningkatkan mutu
pembelajaran di kelas dengan langkah riil yakni : supervisi administrasi pembelajaran
guru dan supervisi akademik dalam kelas.

Saran

1. Untuk kepala sekolah supervisi akademik individual sangat cocok diterapkan untuk
meningkatkan kompetensi/kreativitas kepala sekolah dalam proses pendampingan bagi
guru-guru untuk menyiapkan media pembelajaran secara efektif

2. Untuk para guru sangat diharapkan kegiatan pelatihan dan pendampingan bagi guru
terus dilaksanakan melalui wadah MGMP dan pelatihan sejenisnya untuk
pengembangan mutu profesional guru.

3. Pendampingan para pengawas sangat perlu dalam peningkatan kompetensi/kreatifitas


guru

DAFTAR PUSTAKA
Cepi Triatna. 2008. Guru Sebagai Mentor. Bandung: CV Citra Praya
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-2.
Jakarta: Balai Pustaka.
E.Mulyasa.2009. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Enjah Takari R. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT Genesindo

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


79
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Kementrian Pendidikan Nasional. 2011. Penelitian Tindakan Sekolah. Jakarta: Pusat


Pengembangan Tenaga Kependidikan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pendidikan dan Penjamin Mutu Pendidikan
Kementrian Pendidikan Nasional.2011. Supervisi Akademik. Jakarta: Pusat Pengembangan
Tenaga Kependidikan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan
Penjamin Mutu Pendidikan
Pupuh Fathurrohman dan M,Sobry Sutikno. 2007. Strategi Belajar mengajar. Bandung: PT
Refika Aditama.
Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pendidikan dan Penjamin Mutu Pendidikan Kementrian Pendidikan Nasional, Penelitian
Tindakan Sekolah, Jakarta,2011.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


80
PROSIDING

MP-11
PENGARUH SELF REGULATED LEARNING DENGAN MEDIA INTERNET
TERHADAP PRESTASI AKADEMIK SISWA SEKOLAH DASAR
(Studi Kasus: SD Negeri 2 Sanden)

1
Dwi Ratnawati, 2Vivianti
1,2
Universitas Teknologi Yogyakarta
1
dwiratnawati@staff.uty.ac.id, 2vivianti@staff.uty.ac.id

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Self Regulated Learning
dengan media Internet terhadap prestasi akademik siswa sekolah dasar. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode survey. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi,
kuesioner, wawancara dan observasi. Analisis menunjukkan adanya korelasi positif antara Self
Regulated Learningdengan media internet terhadap prestasi akademik sekolah dasar. Populasi
dalam penelitian ini adalah siswa Kelas 4 – 6 SD N 2 Sanden. Total sampel penelitian ini adalah
62 siswa yang dipilih dengan tekhnik cluster random sampling. Data dalam penelitian ini
dikumpulkan dengan menggunakan skala Self Regulated Learning.

Kata Kunci: Pengalaman Belajar, Online, Prestasi Siswa.

PENDAHULUAN

Perkembangan kurikulum di Indonesia mengharuskan siswa untuk belajar mandiri. Hal


ini dikaitkan dengan penggunaan kurikulum 13. Komponen utama dalam proses pendidikan
yaitu, pendidik, peserta didik, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan, dan kurikulum
sebagai materi ajar untuk peserta didik. Komponen-komponen ini memegang peranan yang
sangat penting dalam suatu proses pendidikan sehingga dapat menghasilkan peserta didik yang
berguna bagi bangsa dan negara. Hal ini merupakan tujuan penting para siswa untuk mengikuti
suatu proses belajar di sekolahnya.SD Negeri 2 Sanden merupakan salah satu SD di kecamatan
Sanden Bantul yang sudah menggunakan kurikulum 2013. Pelaksanaan pembelajaran di SD N 2
Sanden menerapkan pembelajaran secara mandiri.
Perkembangan internet yang semakin pesat memudahkan siswa untuk belajar mandiri.
Banyaknya materi yang bisa di dapat dari internet mempermudah siswa mencari materi, soal
ataupun belajar secara simulasi menggunakan internet. Self Regulated Learning merupakan salah
satu keadaan dimana siswa mengontol dan mengatur bagi dirinya sendiri.
Prestasi akademik berperan terhadap beberapa aspek kehidupan seperti dengan kecemasan, S
elf esteem, dan optimisme (vs pesimisme) (ElAnzi, F.O., 2005).
Lens, Lacante, Vanasteenkiste, & Herrera (2005) mengatakan siswa yang berprestasi
akademik tinggi juga cenderung memiliki motivasi daya saing yang kuat dibanding dengan siswa
yang berprestasi rendah.

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema


”InovasiPembelajaranmenyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar"pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSDUniversitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh belajar mandiri dengan internet
terhadap prestasi akademik siswa. Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui seberapa besar
prestasi akademik siswa dalam belajar mandiri (Self Regulated Learning).
PEMBAHASAN
A. Kajian Pustaka
1. Self Regulated Learning
Dalam bahasa Indonesia self regulated learning sering disamaartikan dengan
kemandirian belajar, regulasi-diri pembelajaran, dan pengelolaan diri dalam belajar.
Pintrich dalam Boekaerts et al. (2000) mendefinisikan self regulated learning (SRL)
sebagai proses konstruktif ketika siswa menetapkan tujuan belajar sekaligus mencoba
memantau, mengatur, dan mengendalikan pengamatan motivasi, serta perilakunya yang
dibatasi oleh tujuan belajar dan kondisi lingkungan. Zimmerman dalam Schunk, dkk
(2012) menyatakan bahwa self-regulation adalah proses dimana siswa mengaktifkan dan
mempertahankan kognisi, perilaku, dan pengaruh yang sistematis berorientasi pada
pencapaian tujuan mereka. Self regulated learning adalah kemampuan seseorang untuk
mengelola secara efektif pengalaman belajarnya sendiri dalam berbagai cara sehingga
mendapat hasil belajar yang optimal (Wolters, 1998).
Menurut Pintrich dan Zusho dalam Nicol dan Macfarlane-Dick (2006) self
regulated learning merupakan proses konstruktif aktif dimana siswa menetapkan tujuan
belajarnya dan kemudian berusaha untuk memonitor, mengatur, dan mengontrol kognisi,
motivasi, dan tingkah lakunya agar sesuai dengan tujuannya dan kondisi kontekstual dari
lingkungannya. Self regulated learning sangat penting dimiliki oleh individu dalam
proses pembelajaran. Seseorang yang memiliki self regulated learning, akan cenderung
lebih memiliki prestasi yang baik. Hal ini diperkuat ketika siswa memiliki self regulated
learning, mereka menetapkan tujuan akademik yang lebih tinggi untuk diri mereka
sendiri, belajar lebih efektif dan berprestasi di kelas (Ormord, 2004).
Bandura dalam Alwisol(2009) berpendapat bahwa dinamika proses beroperasinya
self regulated learning antara lain terjadi dalam subproses yang berisi ‘self-observation’,
‘self judgement’, dan ‘self reaction’. Ketiganya memiliki hubungan yang sifatnya
resiprositas seiring dengan konteks persoalan yang mereka hadapi.
Zimmerman (1989) menekankan untuk dapat dianggap self regulated, proses
belajar siswa harus menggunakan strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan
akademis. Strategi dalam self regulated learning mengarah pada tindakan dan proses
yang diarahkan pada perolehan informasi atau keterampilan yang melibatkan
pengorganisasian (agency), tujuan (purpose) dan persepsi instrumental

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor.Ende, 2 Desember 2017


82
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

seseorang. Agencyadalah kemampuan individu untuk memulai dan mengarahkan


suatu tindakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Purposeadalah tujuan yang
diharapkan untuk tercapai dari pelaksanaa setiap tindakan yang dapat membantu
meraih tujuan.
Karakteristik perilaku siswa yang memiliki ketrampilan self regulated
learning antara lain sebagai berikut (Montalvo, 2004):
a. Terbiasa dengan dan tahu bagaimana menggunakan strategi kognitif
(pengulangan, elaborasi dan organisasi) yang membantu mereka
untukmemperhatikan, mentransformasi, mengorganisasi, mengelaborasi,
dan menguasai informasi.
b. Mengetahui bagaimana merencanakan, mengorganisasikan, dan
mengarahkan proses mental untuk mencapai tujuan personal
(metakognisi).
c. Memperlihatkan seperangkat keyakinan motivasional dan emosi yang
adaptif, seperti tingginya keyakinan diri secara akademik, memiliki tujuan
belajar, mengembangkan emosi positif terhadap tugas (senang, puas,
antusias), memiliki kemampuan untuk mengontrol dan memodifikasinya,
serta menyesuaikan diri dengan tuntutan tugas dan situasi belajar khusus.
d. Mampu merencanakan, mengontrol waktu, dan memiliki usaha terhadap
penyelesaian tugas, tahu bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang
menyenangkan, seperti mencari tempat belajar yang sesuai atau mencari
bantuan dari guru dan teman jika menemui kesulitan.
e. Menunjukkan usaha yang besar untuk berpartisipasi dalam mengontrol dan
mengatur tugas-tugas akademik, iklim, dan struktur kelas.
f. Mampu melakukan strategi disiplin, yang bertujuan menghindari
gangguan internal dan eksternal, menjaga konsentrasi, usaha, dan motivasi
selama menyelesaikan tugas.
2. Internet
Internet merupakan singkatan dari International Networking atau Interconnection
Networking yang berarti sebuah jaringan komputer global yang menghubungkan jutaan
komputer di seluruh dunia (melalui jaringan komunikasi satelit global dan kabel telepon
lokal) sehingga setiap komputer yang terkoneksi di dalamnya dapat berkomunikasi atau
bertukar data tanpa dibatasi jarak, waktu dan tempat. Di sisi lain internet merupakan
sebuah ruang informasi dan komunikasi budaya yang menembus batas-batas negara,

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor.Ende, 2 Desember 2017


83
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

mempercepat penyebaran, pertukaran ilmu dan gagasan di kalangan ilmuwan dan


cendekiawan di seluruh penjuru dunia (Severindan Tankard, 2008)
Menurut Supriyanto (2008) internet merupakan singkatan dari Interconnection
Networking. Internet ialah merupakan hubungan antara berbagai jenis computer dan
jaringan di dunia yang berbeda system operasi maupun aplikasinya dimana hubungan
tersebut memanfaatkan kemajuan komunikasi (telepon dan satelit) yang menggunakan
protocol standard dalam berkomunikasi yaitu protocol TCP/IP (Transmission
Control/Internet Protocol). Model koneksi internet itu sendiri dapat dilakukan pada
computer pribadi maupun jaringan LAN/WAN. LAN (Local Area Network) merupakan
suatu jaringan yang terbentuk dengan menghubungkan beberapa komputer yang
berdekatan yang berada pada suatu ruang atau gedung yang terkoneksi ke internet
gateway (Adi, 2008).
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Teknik
sampling menggunakan cluster random sampling dan terpilih 62 siswa dari 3 kelas sebagai
sampel penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, kuesioner,
wawancara dan observasi. Sampel diberikan kuesioner dan diminta untuk mengisi. Alat ukur
yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala self regulated sampling yang disesuaikan
dengan penggunaan media internet. Siswa diminta mengisi kuesioner berdasarkan pengalaman
mereka terkait self regulated learning dengan media internet selama satu semester terakhir. Nilai
prestasi akademik siswa didapatkan dari dokumentasi nilai semester terakhir.
C. Hasil dan Pembahasan
Data penelitian meliputi data self regulated learning dengan media internet dan data nilai
prestasi akademik siswa. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 62 siswa kelas 4, 5 dan
6 SD N 2 Sanden. Berdasarkan hasil kategorisasi data self regulated learning dengan media
internet, diperoleh informasi bahwa dari 62 subjek penelitian terdapat 12 (19,35%) subjek
penelitian yang berada pada kategori rendah, 28 (45,16%) subjek penelitian berada pada kategori
sedang dan 22 (35,48%) subjek penelitian berada pada kategori tinggi.
Hasil analisis dukungan sosial keluarga dengan self regulated learning menunjukkan bahwa
koefisien korelasi antara self regulated learningdengan media internet terhadap prestasi akademik
siswa adalah r = 0,452 dengan taraf signifikansi p = 0,002 (p < 0,01) yang berarti semakin tinggi
self regulated learningdengan media internet maka prestasi akademik siswa semakin tinggi, dan
semakin rendah self regulated learningdengan media internet maka prestasi akademik siswa
semakin rendah.
SIMPULAN DAN SARAN

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor.Ende, 2 Desember 2017


84
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan bahwa semakin tinggi self
regulated learningdengan media internet maka prestasi akademik siswa semakin tinggi, dan
semakin rendah self regulated learningdengan media internet maka prestasi akademik siswa
semakin rendah.Dengan demikian, peneliti menyarankan penggunaan media internet sebagai
sarana belajar mandiri siswa. Penggunaan media internet ini sebaiknya didampingi oleh guru
ataupun orang tua mengingat adanya kemungkinan siswa untuk melihat konten internet yang
tidak semestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Nugroho, 2008. KonsepPengembangan System Basis Data, Informatika; Bandung.
Alwisol. 2009. PsikologiKepribadianEdisiRevisi. Malang: UMM Press.
Bokaerts et al. 2000. Handbook OfSelf Regulated. New York: Academic Press.
Montalvo, F, T, dan Torres, M. C. G. 2004. Self regulated learning : current & future
directions. Electronics Journals of Research in Educational Psychology. 2(1).1-34.
ISSN : 1698-2095.
Nicol, David. J dan Macfarlane-Dick, Debra. 2006. Formative Assessment and Self-Regulated
Learning: A Model and Seven Principles of Good Feedback Practice. Studies in Higher
Education. Vol. 31 No. 2, 199-218
Ormrod, J. E. 2004. Human Learning. (4th Ed.). Ohio: Pearson.
Schunk, Dale H., Pintrich, Paul R.,dkk. 2012. Motivasidalam Pendidikan: TeoriPenelitian,
danAplikasi. Jakarta: PT Indeks.
Supriyanto, Aji. 2008. PengantarteknologiInformasi. Jakarta: SalembaInfotek.
Severin, W.J & Tankard, J.W. 2008. TeoriKomunikasi-Sejarah, Metode, danTerapan di Dalam
Media Massa. edisi ke-5 Cetakan ke-3. KencanaPrenada Media Group: Jakarta.
Wolters, C.A. (1998). Self Regulated Learning and College Student Regulation of
Motivational. Journal of Educational Psychology , Vol. 80, No. 3, 284-290.
Zimmerman, B. J. 1989. A social cognitive view of self-regulated academic learning.
Journal of Educational Psychology, Vol. 81, No. 3: 329-339.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor.Ende, 2 Desember 2017


85
PROSIDING

MP-12
PENGGUNAAN KARTU HURUF DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN
MEMBACA PERMULAAN PESERTA DIDIK MATA PELAJARAN BAHASA
INDONESIA KELAS I SDK NDONA 2

1
Virgilius Bate Lina, 2Maria Ana,
1,
FKIP Universitas Flores 2 SDK Ndona 2,
1
usbate@gmail.com, 2mariaana02@gmail.com

Abstrak

Masalah daalam penelitian ini adalah Apakah dengan menggunakan kartu huruf dapat
meningkatkan kemampuan membaca permulaan peserta didik pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia di kelas 1 SDK Ndona 2. Tujuan penelitian yakni untuk mengetahui adanya
peningkatan kemampuan membaca permulaan peserta didik kelas I SDK Ndona 2 setelah
menggunakan kartu huruf.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan jenis penelitian PTK yang dilakukan dalam
2 siklus, sedangkan instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti
sendiri dengan menggunakan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dokumentasi dan
tes. Subyek penelitian ini adalah peserta didik kelas I SDK Ndona 2 Kecamatan Ndona
Kabupaten Ende.
Hasil penelitian penggunaan kartu huruf memberikan dampak yang positif dalam
meningkatan kemampuan membaca permulaan peserta didik. Hal ini dibuktikan dengan
peningkatan kemampuan membaca peserta didik dari pra siklus (22,72%) dengan kategori sangat
buruk, siklus I (54,54%) dengan kategori cukup lalu siklus II (100%) dengan kategori sangat baik.
Peserta didik juga terlibat aktif dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar dan dinilai sangat
baik. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kualitas aktivitas peserta didik dari 60% ke 92,5%
pada siklus II atau mengalami peningkatan sebesar 32,5% dari siklus I ke siklus II. Untuk itu,
guru perlu menggunakan kartu huruf dalam kegiatan belajar mengajar terutama dalam
meningkatkan kemampuan membaca peserta didik.

Kata kunci: Kartu Huruf, Kemampuan Membaca Permulaan,

PENDAHULUAN
Pendidikan adalah proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan
bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat, dan di mana seseorang, dihadapkan
pada pengaruh lingkungan, sehingga dapat memperoleh atau mengalami perkembangan
kemampuan sosial dan kemampuan individu. Pendapat tersebut memandang pendidikan bukan
hanya sebagai pemberian informasi pengetahuan dan pembentukan keterampilan melainkan lebih
luas meliputi usaha untuk mewujudkan keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu untuk
mencapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan (Mikarsa dkk 2009: 1.3). Pada dasarnya
pendidikan bertujuan bagi suatu bangsa ataumasyarakat yang bersifat universal, tetapi fungsi dan
cara mencapainya sangat beragam, bahkan diantara kelompok atau kelas sosial dalam masyarakat
sendiri bisa berbeda.

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema


”InovasiPembelajaranmenyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar"pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSDUniversitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Sistem pendidikan nasional secara tegas dinyatakan bahwa fungsi pendidikan nasional
adalah mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia
Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Lebih luas lagi
pendidikan nasional berfungsi untuk memerangi segala kekurangan, keterbelakangan, kebodohan
dan memantapkan ketahanan nasional serta meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan
berdasarkan kebudayaan bangsa (Mikarsa dkk, 2009 : 1. 19).
Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi
sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup
berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera dan bahagia. Untuk
memajukan kehidupan manusia maka pendidikan menjadi sarana utama yang perlu dikelola
secara sistematis.
Semakin tinggi cita-cita manusia semakin menuntut pada peningkatan mutu pendidikan
sebagai sarana mencapai cita-cita. Akan tetapi semakin tinggi cita-cita maka semakin kompleks
jiwa manusia, karena didorong tuntutan hidup yang meningkat pula. Pendidikan bagi bangsa yang
sedang membangun seperti bangsa Indonesia saat ini merupakan kebutuhan mutlak yang harus
dikembangkan sejalan dengan tuntutan pembangunan. Pendidikan yang dikelola dengan tertib,
teratur, efektif dan efesien akan mampu mempercepat jalannya proses pembudayaan bangsa yang
berdasarkan pokok kepada penciptaan kesejahteraan dan pencerdasan kehidupan bangsa. Secara
umum dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses dimana seseorang
mengembangkan kemampuan sikap, dan tingkah laku dalam masyarakat. Dengan adanya belajar
terjadilah perkembangan jasmani dan mental siswa.
Kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi. Jika anak
pada usia sekolah permulaan tidak segera memiliki kemampuan membaca, maka ia akan
mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada kelas-kelas
berikutnya. Oleh karena itu anak harus belajar membaca agar ia dapat membaca untuk
belajar (Lerner dalam Mulyono Abdulrrahman, 2003: 200).
Menurut Mulyadi (2009 : 7) Kemampuan membaca permulaan yang dimiliki oleh siswa SD
pada dasarnya belum mencapai tingkat yang optimal sehingga kegiatan membaca permulaan
masih jauh mencapai tingkat yang sempurna. Oleh karena itu, guru perlu menerapkan beberapa
teknik atau cara dalam meningkatkan kemampuan membaca pada anak SD. Salah satu cara yang
digunakan ialah dengan menggunakan kartu huruf. Ketidakmampuan membaca di kalangan siswa
merupakan salah satu kendala di dalam proses penyerapan informasi dan pengetahuan. Realita ini
merupakan tantangan bagi guru yang mengajar di kelas rendah. Banyak guru yang belum optimal
dalam kompetensi siswa yang mengakibatkan siswa belum memiliki kemampuan yang memadai.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor.Ende, 2 Desember 2017


87
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Kenyataan di atas juga dialami oleh peserta didik kelas I SDK Ndona yang memiliki kemampuan
membaca masih jauh sempurna. Belum sempurnanya kemampuan membaca di kelas I sekolah dasar ini
akan menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi peserta didik di kelas selanjutnya.
Mengingat hampir semua mata pelajaran membutuhkan keterampilan membaca. Kurangnya bimbingan
dari orang tua di rumah juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peserta didik belum mampu
membaca dengan baik.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian ini berfokus pada upaya
meningkatan kemampuan membaca permulaan peserta didik dengan menggunakan kartu huruf di
kelas I SDK Ndona Kecamatan Ndona Kabupaten Ende. Pendekatan yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Mulyana (Hikmat, 2011:37) berdasarkan
sifat realitas, pendekatan atau metode penelitian kualitatif mengandung persepsi subjektif bahwa
realitas (komunikasi) bersifat ganda, rumit, semu, dinamis (mudah berubah), dikonstruksikan,
dan holistik; kebenaran realitas bersifat relatif.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Wawancara
Wawancara atau interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara
(interview) untuk memperoleh informasi dari orang yang diwawancarai (interview). Wawancara
juga merupakan salah satu metode pengumpulan data yang umum digunakan untuk mendapatkan
data berupa keterangan lisan dari suatu narasumber atau responden tertentu (Yuliawati, dkk.
2012:61 – 62).
b. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah proses pengambilan data dalam penelitian di mana
peneliti atau pengamat melihat situasi penelitian.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan penelusuran dan perolehan data yang diperlukan melalui data yang
telah tersedia. Data yang terkumpul biasanya berupa data statistik, agenda kegiatan, produk
keputusan atau kebijakan, sejarah, dan hal lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Kelebihan
teknik dokumentasi adalah karena data tersedia, siap pakai serta hemat biaya dan tenaga.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Kartu huruf merupakan kartu yang membuat abjad a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, l, m, n, o, p, q, r,
s, t, u, v, x, y dan z masing-masing secara terpisah. Dengan menggunakan kartu huruf dalam
proses pembelajaran dapat memudahkan siswa dalam proses membaca, baik dalam melafalkan
suku kata dan kata. Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara dengan selaku guru kelas

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor.Ende, 2 Desember 2017


88
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

mengatakan bahwa rincian penggunaan kartu huruf dalam proses pembelajaran yaitu sebagai
berikut :
1. Memperkenalkann huruf – huruf terutama huruf vokal
2. Menyebutkan huruf vokal
3. Menunjukkan kartu huruf vokal
4. Membaca huruf yang ditunjukan.
Kemampuan membaca merupakan modal utama dalam menggali pengetahuan, dimana
peserta didik mengembangkan kemampuan berpikir dengan cara membaca. Berdasarkan hasil
penelitian dan wawancara dengan Ibu guru kelas I (kepsek) mengatakan bahwa kemampuan
membaca permulaan peserta didik kelas I SDK Ndona 2 masih sebatas membaca huruf, suku kata
dan kata.
Selain itu beliau mengatakan bahwa letak kesulitan siswa dalam membaca kata yaitu :
1. Kurangnya perhatian siswa dalam mengikuti kegiatan belajar
2. Kurangnya pengenalan huruf atau pengusaan huruf
Lebih lanjut juga dikatakan bahwa dukungan dari orang tua sangat kurang sehingga peserta
didik sulit mengembangkan kemampuannya dalam hal membaca.
Dalam menggunaan kartu huruf di kelas 1 SDK Ndona 2 dapat menjadi kekuatan dalam
perkembangan membaca. siswa ibu wali kelas dalam wawancaranya mengatakan bahwa dalam
memberikan motivasi kepada peserta didik kelas 1 agar dapat meningkatkan kemampuan
membaca permulaan dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Memberikan bimbingan terus menerus pada waktu istirahat kepada siswa yang belum
mampu membaca secara individu.
2. Guru selalu memajangkan hasil pekerjaan peserta didik kelas 1 agar mendorong peserta
didik untuk lebih giat belajar membaca.
3. Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik yang kurang mampu membaca kata
untuk belajar bersama dengan peserta didik yang sudah mampu dan lancar membaca.
Berdasarkan pengamatan dan permasalahan di atas, maka peneliti memutuskan melakukan
proses pembelajaran dengan menngunakan kartu huruf. Selanjutnya peneliti menyusun rencana
pelaksanaan pembelajaran dengan materi yang akan diajarkan kepada peserta didik. Pada proses
pembelajaran siklus I berlangsung observer melakukan pengamatan pada aktivitas belajar peserta
didik dari tiga aspek yaitu aspek keaktifan, perhatian dan aspek kedisiplinan. Sehingga pada
aktifitas peserta didik pada siklus I masuk dalam kategori buruk. Dan dari data ini menunjukkan
bahwa kategori pada aktivitas belajar peserta didik yang tertinggi dari ketiga aspek yakni pada
aspek ketekunan dan keaktifan dengan rata-rata mencapai 60%

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor.Ende, 2 Desember 2017


89
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Pada siklus II, pengamatan yang dilakukan oleh observer, dengan melihat dari ketiga aspek
yakni aspek keaktifan, perhatian, dan kedisiplinan mencapai 92,5%. Hal ini menunjukkan bahwa
dari ketiga aspek pada siklus 1 ke siklus II meningkat 32,5% . Hasil temuan peneliti yang
diperoleh dari observasi dan wawancara setelah proses pembelajaran siklus II dengan
menggunakan kartu huruf dan hasilnya sangat memuaskan dan masuk dalam kategori sangat baik.

Data Hasil Pre Test, Siklus I, dan Siklus II


No Data Pre Test Siklus I Siklus II
1 Rata-Rata 49,09 63,63 88,18
2 Ketuntasan 22,72% 54,54% 100%
3 Ketidaktuntasan 77,27% 45,45% 0%

100
100
88.18
90
77.27
80
70 63.63
60 54.54 Rata-Rata
49.09
45.45
50 Ketuntasan
40 Ketidaktuntasan
30 22.72
20
10 0
0
Pre Test Siklus I Siklus II

SIMPULA DAN SARAN


Berdasarkan hasil Penelitian Tindakan Kelas yang dilaksanakan di SDK Ndona 2 khususnya
kelas I, maka dapat disimpulkan bahwa: Penggunaan kartu huruf dapat meningkatkan
kemampuan membaca permulaan peserta didik. Hal ini ditandai dengan hasil pree test peserta
didik mencapai rata-rata keseluruhan 50 sedangkan yang mencapai ketuntasan hanya 22,72%
atau 5 orang peserta didik yang mencapai ketuntasan. Pada kegiatan pembelajaran siklus I dan
diahiri dengan pemberian post test ketuntasan mencapai 54,54% yaitu 12 orang yang tuntas.
Dengan rata-rata keseluruhan mencapai 66 dan pada siklus II , pemberian post test kepada peserta
didik ketuntasan mencapai 100% dengan nilai rata-rata keseluruhannya mencapai 81,77.
Saran peneliti dalam menggunakan kartu huruf guru hendaknya memperhatikan dengan
sungguh hal-hal penting yang berkaitan dengan aspek membaca dalam kaitannya untuk menilai
keterampilan membaca peserta didik. Guru juga perlu memperhatikan tingkat perhatian yang

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor.Ende, 2 Desember 2017


90
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

diberikan pada saat peserta didik menyusun huruf-huruf menjadi kata, hal ini penting karena
peserta didik membutuhkan perhatian daru guru.

DAFTAR PUSTAKA
Amalia,S, dkk. 2008. Pembelajaran IPA di SD. Jakarta: Universitas Terbuka
Arikunto, Suharsimi. 2010. Penelitian Tindakan untuk Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas.
Yogyakarta: Aditya Media.
Arikuntoro, S. 2009. Dasar-DasarEvaluasiPendidikan. Jakarta: PT. BumiAksara
Darmiyati, dkk. 2001. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas Rendah.Yogyakarta: PAS
Farida Rahim. 2008. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara
Hidayat,R, dkk. 1990. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas Rendah. Jakarta: Rosdakarya
Hikmat, Mahi M. 2011. Metode Penelitian dalam Perspektif Ilmu Komunikasi dan Sastra.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Makawimbang, H Jerry. 2011. Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor.Ende, 2 Desember 2017


91
PROSIDING

MP-13
PENGEMBANGAN KREATIFITAS BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS IV SDI
MALANUZA MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKSTUAL
DENGAN SPIRIT MEDA MAZI.
Maria Katarina Ytu 1, Maria Yosefina Beo2
1
SDI Malanuza,2 SDI Malanuza
1
katarina@mail.com, 2yosefina@gmail.com

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini untu k mengetahui pengembangan kreatifitas peserta didik di SDI
Malanuza, Kecamatan Golewa,Kabupaten Ngada. Saat ini sudah memulai aktivitas pembelajaran
di sekolah-sekolah dengan menerapkan model pembelajaran berbasis kontekstual dengan spirit
meda mazi . Dalam penelitian ini penulis menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yang
dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart. Tahap-tahap penelitian sebagai berikut;
perencanaan (plan), pelaksanaan (Act), observasi (observe) dan refleksi (reflect). Hasil penelitian
menunjukan perkembangan yang sangat pesat dalam kaitan dengan kreatifitas peserta didik di SD
Malanuza dengan menggunakan pembelajaran berbasis kontekstual dengan spirit meda mazi.

Kata kunci: Kreatifitas belajar, kontekstual,spirit meda mazi.

PENDAHULUAN

Pembelajaran, merujuk pada proses belajar yang menempatkan peserta didik sebagai center
stage performance. Pembelajaran lebih menekankan bahwa peserta didik sebagai makluk
berkesadaran memahami arti penting interaksi dirinya dengan lingkungan yang menghasilkan
pengalaman adalah kebutuhan. Kebutuhan baginya mengembangkan seluruh potensi
kemanusiaan yang dimilikinya.
Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Belajar menunjuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subjek yang menerima
pelajaran (sasaran didik), sedangkan mengajar menunjuk pada apa yang harus dilakukan oleh
guru sebagai pengajar.
Dua konsep tersebut menjadi terpadu dalam satu kegiatan manakala terjadi interaksi
guru_peserta didik, peserta didik dengan peserta didik pada saat pengajaran itu berlangsung.
Inilah makna belajar dan mengajar sebagai suatu proses. Interaksi guru dan peserta didik sebagai
makna utama proses pengajaran memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pengajaran
yang efektif. Mengingat kedudukan peserta didik sebagai subjek dan sekaligus juga sebagai
objek dalam pengajaran maka inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan belajar peserta
didik dalam mencapai suatu tujuan pengajaran.

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema


”InovasiPembelajaranmenyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar"pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSDUniversitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Belajar bukan menghafal dan bukan pula mengingat . Belajar adalah suatu proses yang
ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil proses belajar
dapat ditunjukan dalam bebagai bentuk seperti berubah pengetahuannya, sikap dan tingkah
lakunya, keterampilannya , kecakapan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaanya
dan lain-lain aspek yang ada pada individu.
Oleh sebab itubelajar adalah prose yang aktif, belajar adalah proses mereaksi terhadap semua
situasi yang ada disekitar individu. Belajar adalah proses yang diarahkan kepada tujuan, proses
berbuat melalui bebagai pengalaman. Belajar adalah proses melihat ,mengamati, memahami,
sesuatu. Apabila kita berbicara tentang belajar maka kita berbicara bagaimana mengubah tingkah
laku seseorang.
Inilah hakikat belajar , sebagai inti proses pengajaran. Dengan kata lain bahwa dalam proses
pengajaran atau interaksi belajar mengajar yang menjadi persoalan utama ialah adanya proses
belajar pada peserta didik yakni proses berubahnya tingkah laku peserta didik melalui berbagai
pengalaman yang diperolehnya. Persoalan yang timbul ialah: “ Bagaimana cara guru
mengembangkan dan menciptakan serta mengatur situasi yang yang memungkinkan peserta
didik melakukan proses belajar sehingga bisa berubah tingkah laknya dalam prose pengajaran?”.
Sama halnya dengan belajar, mengajar pun pada hakikatnya adalah suatu proses, yakni
proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar peserta didik sehingga dapat
menumbuhkan dan mendorong peserta didik melakukan proses belajar. Pada tahap berikutnya
mengajar adalah proses memberikan bimbingan / bantuan kepada peserta didik dalam melakukan
proses belajar. Dalam konsep itu tersirat bahwa peran seorang guru adalah pemimpin belajar
(learning manager) dan fasilitator belajar. Belajar bukanlah menyampaikan pelajaran, melainkan
suatu proses membelajarkan peserta didik.
Keterpaduan proses belajar peserta didik dengan proses mengajar guru sehingga terjadi
interaksi belajar-mengajar (terjadinya proses pengajaran) tidak dating begitu saja dan tidak dapat
tumbuh tanpa pengaturan dan perencanaan yang seksama. Pengaturan sangat diperlukan
terutama dalam menentukan komponen dan variable yang harus ada dalam proses pengajaran
tersebut. Perencanaan dimaksud merumuskan dan menetapkan interelasi sejumlah komponen
dan variabel sehingga memungkinkan terselenggaranya pengajaran yang efektif.
Keberhasilan proses pembelajar pada peserta didik jika dapat mencapai Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM). Menurut Depdiknas (2007:19) KKM adalah batas minimal pencapaian
kompetensi pada setiap aspek penilaian mata pelajaran yang harus dikuasai peserta didik. KKM
ditentukan atas kesepakatan kelompok guru mata pelajaran berdasarkan hasil anailisis SWOT
satuan pendidikan yang bersangkutan.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor.Ende, 2 Desember 2017


93
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Dari hasil pengamatan dan dialog dengan guru-guru di SDI Malanuza ditemukan beberapa
faktor penyebab rendahnya kreatifitas belajar peserta didik di SDI Malanuza tersebut. Faktor
yang pertama adalah metode mengajar guru yang kurang melibatkan peserta didik. Guru masih
mendominasi pembelajaran sehingga interaksi hanya berlangsung satu arah. Kondisi ini
menyebabkan peserta didik cenderung pasif dan kurang inisiatif sehingga mereka lebih banyak
menunggu sajian guru daripada mencari dan menemukan sendiri pengetahuan dan keterampilan
yang mereka butuhkan. Peserta didik tidak terbiasa belajar secara mandiri untuk menemukan,
mengembangkan dan menyampaikan ide atau gagasan baik dalam berinteraksi dengan peserta
didik lain maupun guru.
Faktor kedua adalah pemanfaatan media pembelajaran yang belum optimal. Guru jarang
menggunakan media pembelajaran sehingga pembelajaran cenderung bersifat abstrak.
Kurangnya pemanfaatan media pembelajaran berdampak pada kurangnya konsentrasi dan
perhatian peserta didik dalam pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan penulis hampir
separuh peserta didik tidak memperhatikan penjelasan guru khususnya peserta didik laki-laki dan
sebagian peserta didik perempuan yang duduk dibelakang. Kurang konsestrasi dan perhatian
peserta didik sebagai dampak kurang optimalnya pemanfaatan media pembelajaran sehingga
dapat diasumsikan sebagai faktor yang menyebabkan rendahnya kreatifitas belajar peserta didik.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yaitu upaya perbaikan
pelaksanaan praktek pendidikan oleh seorang atau sekelompok pengajar dengan melakukan
tindakan-tindakan dalam pembelajaran berdasarkan refleksi mengenai hasil tindakan tersebut
(Eliot, dalam Wiraatmadja, 2005:20).
Penelitian ini dilakukan melalui proses kerja kolaborasi antar kepala sekolah, guru kelas dan
peneliti di lingkungan sekolah. Kegiatan ini juga dilakukan diskusi untuk mengetahui bagaimana
cara melakukan pengamatannya. Diskusi bersama antara peneliti dan guru dikembangkan dalam
setiap penyusunan perencanaan berikutnya, dan diskusi berdasarkan hasil siklus yang telah
dilakukan.
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan peneliti untuk memperoleh
data-data guna menjawab rumusan masalah penelitian. Untuk memperoleh data-data penelitian
tersebut maka disusun instrument penelitian berdasarkan kajian teori dan diskusi dengan expert.
Data-data dalam ini dikumpulkan oleh peneliti, dan guru kolaboran kelas. Data tersebut diperoleh
melalui wawancara, observasi, catatan lapangan dan dokumentasi.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor.Ende, 2 Desember 2017


94
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Kegiatan guru dan peserta didik dalam pembelajaran berbasis kontekstual dengan spirit
meda mazi menunjukkan adanya peningkatan. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari hasil
observasi kegiatan guru dan peserta didik dalam pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti
selama pelaksanaan siklus I dan siklus II sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel I Persentase pengembangan kreatifitas peserta didik melalui pembelajaran


berbasis kontekstual dengan spirit meda mazi pada Siklus I dan Siklus II
Siklus I Siklus II
Nilai
No Kategori Pre Post Pre Post
PD % % % %
test test test test
80 ≤n
1 Tuntas 15 57,70 17 65,38 21 80,77 24 92,31
≤100
0<n< Tidak
2 11 2,30 9 34,62 5 19,23 2 7,69
80 Tuntas

Hasil penelitian pengembangan kreatifitas peserta didik melalui pembelajaran berbasis


kontekstual dengan spirit meda mazi, mengalami peningkatan dari data awal, siklus I dan siklus II
yang diperoleh dari hasil pretes dan test akhir yang diberikan pada setiap akhir siklus terhadap 26
peserta didik dengan KKM 65. Pada data awal hasil tes menunjukkan 15 orang tuntas,dan 11.
Orang tidak tuntas dengan rata-rata dan daya serap klasikal sebesar 57,70. Pada siklus I, 15 orang
mencapai ketuntasan belajar dengan rata-rata 67,76 dan daya serap klasikal sebesar 57,6 % di
mana daya serap secara klasikal pada siklus I belum mencapai ketuntasan kalsikal ≥ 80 %. Pada
siklus II berdasarkan hasil tes yang dikerjakan pada akhir siklus II diketahui dari 26 peserta didik
tuntas 24 peserta didik dan 2 peserta didik tidak tuntas dengan rata-rata 49,32% dan daya serap
secara klasikal sebesar 92,30.%. Kriteria ketuntasan sudah terpenuhi karena ≥ 80% peserta didik
mencapai nilai KKM. Dari 2 peserta didik yang belum tuntas ini kemudian diberikan bimbingan
secara psikologis dan materi oleh guru agar dapat diketahui penyebab nilai peserta didik tidak
tuntas. Dari pengakuan 2 orang peserta didik penyebanya adalah masalah ekonomi rumah tangga
di mana kedua peserta didik tersebut tinggal bersama nenek yang sudah lanjut usia dan kedua
orang tua mereka di perantauan .
Karena lebih dari 80 % peserta didik telah mencapai ketuntasan belajar maka penggunaan
metode peta konsep telah dikatakan berhasil. Hasil belajar siswa mengalami peningkatan dari
siklus I ke siklus II. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa pengembangan kreatifitas
peserta didik melalui pembelajaran berbasis kontekstual dengan spirit meda mazi dapat terlaksana
dengan baik dan efektif.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor.Ende, 2 Desember 2017


95
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

SIMPULAN DAN SARAN


Pengajaran pada dasarnya adalah suatu proses, terjadinya interaksi guru dan peserta didik
melalui kegiatan terpadu dari dua bentuk kegiatan, yakni kegiatan belajar peserta didik dengan
kegiatan mengajar guru. Titik berat proses pengajaran, adalah kegiatan peserta didik belajar.
Belajar pada hakikatnya adalah prosesperubahan tingkah laku yang disadari.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulakan bhawa dengan penerapan pembelajaran
berbasis kontekstual dengan spirit meda mazi, dapat mengembangkan kreatifitas belajar peserta
didik kelas IV SDI Malanuza. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan presentase ketuntasan
klasikal belajar peserta didik yang dapat dilihat pada tiap siklusnya.
Keberhasilan peserta didik dalam mengikuti pelajaran banyak bergantung pada kebiasaan
belajar yang teratur dan berkesinambungan. Kebiasaan belajar teratur dimulai dari cara
mengikuti pelajaran , belajar mandiri di rumah, belajar kelompok, cara mempelajari buku dan
sikap dalam menghadapi proses pembelajaran yang sedang dijalani.
Cara-cara belajar di atas harus dimulai oleh diri sendiri dengan membiasakan diri dan
mendisiplin diri dalam belajar. Hindari belajar dalam tempo dan kadar belajar yang berat pada
saat mau ujian, sebab kurang membantu keberhasilan anda. Biasakan menggunakan motto”
Bukan belajar mau ujian tetapi mau ujian karena belajar”.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.. 2007. Penelitian
Tindakan Kelas. Jakarta : Bumi Aksara.
Arends, R.I. 2008. Learning To Teach: Belajar untuk Mengajar (Edisi Ketujuh Buku Satu).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta.
Craft, Anna. 2003. Membangun Kreativitas Anak. Jakarta : Inisiasi Press.
Jawwad, Ahmad Abdul. 2002. Mengembangkan Inovasi dan Kreativitas Berpikir. Bandung :
Syaamil Cipta Media.
Kurnia, Anwar, 2007. Ilmu Pengetahuan Sosial Terpadu 1. Jakarta : Ghalia Indinesia Priting.
Yudistira.
Munandar, Utami. 1999. Pengembangan Kretivitas Anak Berbakat. Jakarta : Rineka Cipta.
Poerwodarminto, 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor.Ende, 2 Desember 2017


96
PROSIDING

MP-14
PENGGUNAAN METODE SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR
IPS YANG KOMPREHENSIF PADA SISWA SD/MI

Hadi Wijaya
Program Studi PGSD, Universitas Nahdlatul Ulama NTB
Email: hadiwijaya.ntb@gmail.com

Abstrak

Makalah ini memaparkan bagian lain dari hasil penelitian tindakan kelas (PTK) yang telah
dilaksanakan guna meningkatkan Hasil Belajar IPS yang Komprehensif melalui penerapan
Metode Simulasi di kelas V MI Darul Ulum Mertak Tombok Lombok Tengah. PTK yang
dilaksanakan dalam tiga siklus ini menunjukkan bahwa penggunaan metode simulasi dapat
meningkatkan hasil belajar IPS di kelas V MI Darul Ulum Mertak Tombok Lombok Tengah pada
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Untuk itu, guru lain yang mengalami permasalahan
sejenis dapat menggunakan metode simulasi sebagai alternatif untuk meningkatkan hasil belajar
IPS yang komprehensif.

Kata kunci: metode simulasi, hasil pembelajaran, Ilmu Pengetahuan Sosial

PENDAHULUAN

Pasal 3 Ayat 3 UU Sisdiknas 2003 dijelaskan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional
yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sebagai respon terhadap makna, fungsi dan tujuan pendidikan sesuai dengan UU di atas,
maka diperlukan pendidikan yang manusiawi, yaitu pendidikan yang ujungnya adalah sebagai
proses pembudayaan yang di dalamnya terbangun karakter kemanusiaan yang terampil dalam
kehidupan bermasyarakat seperti saling menghargai antar-sesama manusia sebagai makhluk
Tuhan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Zamroni (2007: 185-186) sebagai berikut:
Humanisasi pendidikan untuk mewujudkan pendidikan yang manusiawi merupakan suatu upaya
menjadikan pendidikan sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, tujuan pendidikan tiada
lain adalah untuk mengembangkan jasmani, mensucikan rohani dan menumbuhkan akal.
Sehubungan dengan itu, maka hasil pendidikan mencakup 2 level: individu dan kelompok. Pada
level individu, hasil pendidikan adalah terwujudnya individu yang memiliki akal yang cerdas,
jasmani yang sehat dan kuat, serta rohani yang suci, sehingga menjadi warga negara yang baik
dan keberadaannya akan bermanfaat tidak saja bagi diri pribadi tetapi juga bagi lingkungan,

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

masyarakat bangsa dan negara. Pada level kelompok, maka hasil pendidikan adalah ummatan
washaton, khaira ummah.
Berdasarkan pernyataan tersebut bahwa keberhasilan suatu pendidikan tidak hanya diukur
dari pencapaian kognitif saja, tetapi yang lebih penting juga adalah segi afektif dan psikomotorik
seperti Sikap saling menghormati, tanggung jawab dalam interaksi sosial baik di sekolah maupun
di luar sekolah seharusnya juga perlu mendapatkan perhatian. Hal ini sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menjelaskan bahwa
kompetensi lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ini berarti bahwa
pembelajaran dan penilaian harus mengembangkan kompetensi peserta didik yang berhubungan
dengan ranah afektif (sikap), kognitif (pengetahuan), dan psikomotor (keterampilan).
Belum optimalnya proses pembelajaran seperti yang diharapkan di atas, diduga menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan upaya pembaharuan dan peningkatan kualitas pendidikan
belum banyak membuahkan hasil.Pendidikan saat ini sudah mengalami pergeseran makna yaitu
menuju pada konsep pengajaran yang lebih cenderung mengagungkan ‘angka’ atau score.
Masnur Muslich (2011: 17) mengatakan bahwa “pendidikan saat ini terlalu banyak memberikan
porsi pada aspek pengetahuan, dan kurang dapat mengembangkan nilai, sikap, dan karakter.
Dalam proses pembelajarannya pun nilai-nilai diajarkan sebagai sesuatu yang terpisah dan
sebatas hanya untuk dipahami tidak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.”
Menurut Cohen (2006: 201), “goal of education need to be reframe to prioritize not only
academic learning but also social, emotional and ethnical competencies”. Maksud dari kalimat
tersebut adalah bahwa tujuan pendidikan tidak hanya diprioritaskan pada kemampuan akademik
saja, akan tetapi pengembangan kompetensi sosial, emosional dan etnik sangat penting. Hal ini
sangat berguna untuk membantu siswa dalam pembelajaran. Cohen juga menambahkan bahwa
“itcan help children reach the goal their parents and teachers have for them: learning to ‘read’
themselves and other, learning to solve social, emotional and ethnical problem”. Maksudnya
bahwa pendidikan dapat membantu siswa untuk mencapai tujuan seperti apa yang diharapkan
oleh kedua orang tua dan guru-guru mereka; antara lain pembelajaran mengenai memahami diri
mereka dan orang lain, serta pembelajaran untuk memecahakan masalah sosial, emosional dan
etnis. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan tidak hanya diukur
dari pencapaian kognitif saja, tetapi yang lebih penting juga adalah segi afektif dan psikomotorik.
Pembelajaran mengenai nilai, moral dan karakter dalam interaksi sosial baik di sekolah maupun
di luar sekolah seharusnya mendapatkan perhatian yang sama. Oleh karenanya, aspek afektif dan
psikomotorik seperti nilai-nilai moral meliputi sikap hormat dan tanggung jawab sangat perlu
diajarkan di sekolah. Lickona (1991: 43) menjelaskan “The natural moral law defining the public
school’s moral agenda can be expressed in terms of two great values: respect and

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


98
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

responsibility”. Hukum moral alamiah mendefinisikan bahwa agenda penting sekolah publik
adalah mengekspresikan dua nilai moral utama yaitu sikap hormat dan tanggung jawab.
Dalam kurikulum pendidikan Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah
satu mata pelajaran pada pendidikan tingkat sekolah dasar (SD/MI). IPS memiliki tujuan
menjadikan siswa agar terampil secara sosial yang diwujudkan dalam berinteraksi dalam
kehidupan sosial. Ini bisa tercapai apabila disertai dengan proses pembelajaran yang tepat dan
sesuai dengan realitas sosial dengan memberikan atau mengajarkan aspekafektif dan
psikomotorik seperti nilai moralyang diwujudkan dalam sikap saling menghormati dan tanggung
jawab secara terintegrasi dalam proses pembelajaran. IPS pada dasarnya bertujuan tidak hanya
sekedar peserta didik bisa paham atau bahkan hafal terhadap materi pelajaran akan tetapi yang
lebih penting lagi adalah bisa mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik di sekolah
maupun di rumah dan dalam masyarakat. IPS memiliki empat dimensi yang merupakan program
pendidikan yang komprehensif. Sapriya (2009: 48) menyatakan bahwa “program pendidikan IPS
yang komprehensif adalah program yang mencakup empat dimensi meliputi: 1) dimensi
pengetahuan (knowledge); 2) dimensi keterampilan (skills); 3) dimensi nilai dan sikap (values and
attitudes); 4) dimensi tindakan (action)”.
Relevan dengan pernyataan di atas, dalam Permendiknas nomor 22 tahun 2006 dinyatakan
bahwa mata pelajaran IPS, yang dimulai dari SD/MI, mengkaji seperangkat peristiwa, fakta,
konsep dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Melalui mata pelajaran IPS, peserta
didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung
jawab, serta menjadi warga dunia yang cinta damai. Tujuan mata pelajaran IPS SD/MI
sebagaimana yang tertuang dalam Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yaitu agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut: 1)mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat dan lingkungannya, 2) memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis
dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan
sosial, 3) memilikikomitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, dan 4)
memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang
majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.”
Dengan demikian, pembelajaran IPS pada tingkat sekolah dasar (SD/MI) memiliki
tanggung jawab untuk menjadikan peserta didik untuk memiliki kompetensi yang komprehensif
seperti empat dimensi yang disebutkan dan sesuai dengan tujuan IPS yang tertera dan
Permendiknas tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan proses pembelajaran yang
mampu meningkatkan nilai-nilai karakter seperti sikap hormat dan tanggung jawab sehingga
terwujudnya perilaku positif dalam diri siswa baik di sekolah maupun di masyarakat.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


99
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah dan guru Kelas V MI Darul Ulum
Mertak Tombok Lombok Tengah pada tanggal 10 September 2015 diperoleh informasi bahwa:
(1) Hasil belajar kognitif siswa masih tergolong rendah, hal ini dilihat dari jumlah siswa
sebanyak 30% belum mencapai KKM. KKM yang ditetapkan sekolah adalah 65 dan harus
dicapai oleh sedikitnya 75% dari jumlah siswa. (2) Pembelajaran IPS lebih berorientasi pada
terselesaikannya materi sehingga kurang mengembangkan ranah efektif dan psikomotor peserta
didik, (3) guru masih menggunakan metode pembelajarankonvensionalyang menekankan pada
pemberian informasi, tanya jawab, dan latihan (drill) sehingga pembelajaran lebih berpusat pada
guru (teacher oriented), sangat verbalistik, kurang mengembangkan dan menyentuh kesadaran
intelegensi emosional anak yang justru diperlukan untuk menggerakkan kata hati (hati nurani)
untuk berbuat sesuatu yang baik, (4) metode simulasi belum diterapkan, (5) masih banyak peserta
didik yang dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekolah belum sepenuhnya menunjukkan
karakter positif mereka baik dengan teman, guru maupun lingkungan. Salah satu contohnya
adalah ketika berkomunikasi dengan para guru, siswa juga cenderung menggunankan bahasa
yang kurang hormat, (6) dalam proses pembelajaran di kelas masih banyak perilaku yang
menunjukkan sikap kurang hormat baik terhadap guru maupun temannya, seperti pergi keluar
kelas tanpa permisi, bersiul, memukul-mukul meja, tidak memperhatikan penjelasan guru, saling
lempar kertas antar teman, dan masih banyak perilaku yang lainnya; (7) siswa belum sepenuhnya
memiliki sikap tanggung jawab ditunjukkan ketika melaksanakan tugas piket masih banyak siswa
yang datang terlambat dan masih banyak siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR).
Berdasarkan temuan tersebut, permasalahan utama dalam pembelajaran IPS adalah proses
pembelajaran dan metode yang digunakan untuk bisa meningkatkan hasil belajar IPS siswa yang
komprehensif. Untuk mengatasi hal dengan demikian itu, maka metode pembelajaran
mempunyai peran penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, metode
pembelajaran IPS perlu dikembangkandalam upaya untuk membantu siswa meningkatkan hasil
belajar IPS yang komprehensif sehingga hail dari pembelajaran mampu diaplikasikan oleh siswa
baik di ruang kelas, di lingkungan sekolah, di lingkungan keluarga, maupun di lingkungan
masyarakat secara lebih luas sebagai refleksi dari realitas sosial yang sebenarnya.
Salah satu metode pembalajaran yang bisa digunakan dalam upaya untuk meningkatkan
hasil belajar IPS yang komprehensif adalah metode simulasi. Metode simulasi merupakan salah
satu metode pembelajaran untuk menirukan atau memperagakan peristiwa-peristiwa sosial yang
sesuai dengan materi pelajaran. Tujuan dari simulasi dalam pembelajaran adalah untuk
membantu siswa mengkaji dan menganalisa situasi atau proses sosial dalam dunia nyata dan juga
melibatkan siswa dalam memerankan secara langsung karakter dan bisa berinteraksi satu sama
lain. Hal ini dinyatakan oleh Kindsvatter R., Wilen W., & Ishler M., (1996:271) sebagai berikut:

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


100
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

“Simulation is designed to help students study and analyze a real-world social situation or
process while being active participants within it. As students are involved in simulations, they
role play by acting out character and interacting with each other”.
Dengan demikian, pembelajaran IPS akan menjadi lebih menarik, realistis dan
menyenangkan apabila menggunakan metode simulasi. Metode simulasi yang diintegrasikan
dalam pembelajaran IPS dan disesuaikan dengan materi pelajaran yang ada diharapkan bisa
menjadi solusi untuk mengatasi masalah itu, sehingga bisa mewujudkan apa yang menjadi tujuan
pembelajaran yaitu menjadikan siswa memiliki keterampilan yang komprehensif baik dari aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research), yang
bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar IPS yang komprehensif meliputi aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di MI Darul Ulum Mertak
Tombok Lombok Tengah. Peneliti memilih MI Darul Ulum Mertak Tombok Lombok Tengah
karena berdasarkan survey awal diketahui bahwahasil belajar kognitif, sikap hormat dan
tanggung jawab siswa kelas V masih rendah. Waktu penelitian ini berlangsung pada semester
genap dari bulan April sampai dengan bulan Mei 2013. Waktu tersebut dipilih karena
keterbatasan waktu penelitian dan sesuai dengan materi penelitian pada semester tersebut. Subjek
dalam penelitian ini adalah siswa kelas V MI Darul Ulum Mertak Tombok Lombok Tengah yang
berjumlah 29 orang, yang terdiri dari 17 orang siswa pria dan 12 Siswa perempuan. Pemilihan
subjek ini didasarkan atas pertimbangan dari hasil observasi pratindakan bahwa siswa kelas V
memiliki kemampuan belajar yang masih tergolong rendah dan karakter siswa meliputi sikap
hormat dan tanggung jawab siswa dalam pembelajaran IPS masih tergolong kurang baik. Dalam
penelitian ini guru IPS kelas V bertindak sebagai kolaborator dalam penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga siklus. Masing –masing siklus terdiri dari
perencanaan, tindakan dan pengamatan serta refleksi. Pengumpulan data dilakukan menggunakan
teknik observasi, wawancara, tes, kuisioner dan dokumentasi. Pada penelitian ini diperoleh data
kualitatif maupun kuantitatif.Data kualitatif dianalisis dari catatan lapangan dan transkrip
wawancara.Data penelitian kuantitatif dianalisis secara deskriptif dengan penyajian tabel
persentase. Data dalam bentuk persentase dideskripsikan dan diambil kesimpulan tentang
masing-masing komponen dan indikator berdsasarkan kriteria yang ditentukan.Penentuan kriteria
mengacu pada rumus yang dikembangkan oleh Saifudin Azwar (2010: 163). Rentang skor untuk
masing-masing kategori dihitung sebagai berikut:

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


101
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

No Rentang skor Kategori


1 X>252 Sangat Baik
2 210<X≤252 Baik
3 168 <X≤ 210 Cukup
4 126<X≤168 Kurang
5 X ≤ 126 Sangat Kurang

Pelaksanaan pembelajaran dengan metode simulasi diukur dengan 21 butir pernyataan


dengan pilihan jawaban menggunakan skala likert dimana penskoran adalah 5,4,3,2,1. Skor
terendah yang mungkin diperoleh oleh tiap responden adalah 21, Sedangkan skor tertinggi adalah
105. Rentang minimum dan maksimum datanya adalah 102. Dengan demikian standard
deviasinya (α) bernilai 14 dan mean idealnya (µ) bernilai 63. Hasil belajar yang diperoleh melalui
tes evaluasi akhir siklus dicari rerata skor pada pra siklus, siklus awal dan siklus selanjutnya,
kemudian rerata tersebut dibandingkan untuk mengetahui ada atau tidaknya peningkatan dalam
hasil belajar kognitif (perbandingan sebelum dan sesudah diberi tindakan). Untuk melihat telah
tercapainya kriteria keberhasilan tindakan, skor setiap siswa dibandingkan dengan batasan
ketuntasan yang telah ditetapkan sekolah. Peningkatan daya serap antara pra siklus, siklus
pertama dengan siklus kedua dan seterusnya dinyatakan dalam persen. Ketuntasan belajar siswa
terpenuhi, jika secara statistik persentase siswa yang memenuhi kriteria ketuntasan minimal
memenuhi kriteria ketuntasan klasikal. Persentase siswa dikatakan memenuhi kriteria ketuntasan
klasikal jika minimal 75% jumlah siswa mencapai hasil belajar
Analisis hasil belajar afektif dan psikomotorik meliputi sikap hormat dan tanggung jawab
siswa dalam pelaksanaan pembelajaran dengan metode simulasi diukur menggunakan lembar
pengamatan dan angket dengan 16 butir pernyataan dengan pilihan jawaban menggunakan skala
likert dimana penskoran adalah 5,4,3,2,1. Skor terendah yang mungkin diperoleh tiap responden
adalah 16, sedangkan skor tertinggi adalah 80.Rentang minimum dan maksimum datanya adalah
102. Dengan demikian standard deviasinya (α) bernilai 10,67 dan mean idealnya (µ) bernilai 48.

Kriteria keberhasilan ini dibagi menjadi dua yaitu, secara kualitaitif dan kuantitatif.
a. Kriteria keberhasilan secara Kualitatif
1. Proses pembelajaran dengan metode simulasi dikatakan berhasil jika guru telah
melaksanakan pembelajaran dengan baik sesuai dengan langkah-langkah metode
simulasi.
2. Terjadinya perubahan aspek sikap hormat siswa setelah pembelajaran dengan metode
simulasi. Indikator perubahan tersebut adalah terjadinya peningkatan perilaku siswa

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


102
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

sesuai tata karma, penggunaan bahasa yang sopan dan santun, siswa menghormati aturan
yang telah ditetapkan, siswa menghargai setiap perbedaan yang muncul.
3. Terjadinya perubahan pada aspek tanggung jawab siswa. Indikator perubahan tersebut
adalah meningkatnya kontribusi siswa terhadap pembelajaran di kelas, meningkatnya
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah secara damai, meningkatnya kesadaran
siswa dalam menghargai keanekaragaman dan membela hak asasi manusia,
meningkatnya kesadar siswa dalam melaksanakan hak dan kewajiban secara demokratis.
b. Kriteria keberhasilan secara kuantitatif, yaitu:
1. Kriteria keberhasilan untuk peningkatan hasil belajar kognitif disesuaikan dengan KKM
MI Darul Ulum Mertak Tombok Lombok Tengah. Siswa dikatakan tuntas untuk mata
pelajaran IPS jika telah mencapai kriteria ketuntasan minimail ≥ 65 dengan standar
ketuntasan kelas sebesar≥ 75%
2. Kriteria keberhasilan peningkatan hasil belajar afektif dan psikomotorik adalah jika
(75-100%) siswa telah mencapai kriteria penilaian dengan baik.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Lokasi penelitian adalah MI Darul Ulum Mertak Tombok Lombok Tengah terletak di Jl.
Ronodigdayan No. 60 Kelurahan Bausasran, Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta.Visi
Sekolah adalahterbentuknya siswa unggul berlandaskan Imtaq dan IPTEK. Misi sekolah meliputi
1) Menciptakan kegiatan belajar mengajar secara efektif dan efisien sehingga potensi siswa dapat
berkembang secara optimal, 2) Mengembangkan seluruh potensi warga sekolah untuk mencapai
tingkat keunggulan, 3) Meningkatkan kegiatan keagamaan secara kontinyu sehingga menjadi
manusia unggul yang berakhlakulkarimah, 4) Meningkatkan kedisiplinan dalam berbagai aspek
sehingga tercipta suana sekolah yang aman, nyaman, bersih, rapi dan tertib, 5) Memberikan
arahan pada anak sesuai kemampuan untuk menyiapkan pendidikan selanjutnya.

1. Kegiatan Pratindakan

Kegiatan pra tindakan dilakukan melalui pengamatan dan dialog dengan kepala sekolah
dan guru mata pelajaran IPS kelas V MI Darul Ulum Mertak Tombok Lombok Tengah untuk
memperoleh gambaran mengenai permasalahan yang dihadapi guru dalam proses pembelajaran
pada mata pelajar IPS di kelas. Berdasarkan hasil pengamatan dan dialog, beberapa permasalahan
yang ditemukan di antaranya adalah rendahnya nilai afektif dan psikomotorik siswa khususnya
pada sikap hormat dan tanggung jawab siswa dalam pembelajaran IPS. Permasalahan lain yang
ditemukan adalah rendahnya tingkat keberhasilan pembelajaran IPS dari aspek kognitif siswa, hal

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


103
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

ini diperoleh setelah peneliti menganalisishasil ulangan semester mata pelajaran IPS yang telah
dilaksanakan, diperoleh data bahwa skor rata-rata hasil semester tersebut masih jauh di bawah
kriteria ketuntasan minimal yang telah ditetapkan untuk mata pelajaran IPS Kelas V yaitu 65.
Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti dan guru menentukan bahwa sasaran tindakan dalam
penelitian ini adalah upaya peningkatan hasil belajar IPS yang komprehensif yakni aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik yang meliputi sikap hormat dan tanggung jawab. Upaya
tersebut memerlukan kerjasama antara peneliti dan guru mata pelajaran IPS.

2. Penyamaan Persepsi antara Guru dan Peneliti dalam Menerapkan Metode Simulasi
dalam Pembelajaran IPS
Dalam proses penyamaan persepsi, diadakan diskusi antara guru dengan peneliti
tentang permasalahan yang ada dan langkah-langkah yang harus dilakukan guru sebelum
menyusun rancangan pembelajaran IPS. Dari hasil diskusi, peneliti dan guru memutuskan untuk
menerapkan metode simulasi dalam pembelajaran IPS. Setelah guru memahami konsep
pelaksanaan metode simulasi dalam pembelajaran IPS, maka guru dengan peneliti secara
kolaboratif menyusun rencana pembelajaran IPS dengan metode simulasi. Rancangan hasil
penelitian merupakan hasil diskusi antara peneliti dengan guru kolaborator, hal tersebut
dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pembelajaran guru memahami strategi yang ada dalam
rancangan pembelajaran.
3. Perencanaan Pembelajaran Menggunakan Metode Simulasi
Untuk melaksanakan tindakan dalam pembelajaran diperlukan suatu perencanaan dan
rancangan yang dijadikan pedoman bagi guru. Dalam hal ini adalah rancangan pembelajaran
menggunakan metode simulasi untuk meningkatkan hasil belajar yang komprehensif. Rancangan
ini dibuat sebagai upaya untuk mengoptimalisasikan keterlibatan antara peneliti dan guru untuk
meningkatkan hasil belajar siswa, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Tahap
perencanaan dimulai dengan kegiatan peneliti menetapkan kelas yang menjadi subyek penelitian
yakni, kelas V MI Darul Ulum Mertak Tombok Lombok Tengah. Personel dalam penelitian ini
adalah peneliti yang berkolaborasi dengan bapak Heni Budiarti, S.Pd selaku guru mata pelajaran
IPS dan peneliti dibantu teman sejawat yakni Mukminah, M.Pd
Dalam proses pembuatan rancangan pembelajaran dengan menggunakan metode
simulasi, awalnya guru mengalami kesulitan dalam memahami langkah-langkah yang telah
didesain, tetapi dengan penjelasan yang disampaikan oleh peneliti, guru dapat memahami
langkah-langkah dan beberapa hal yang harus dilaksanakan dalam menerapkan metode simulasi.
4. Prosedur dan Hasil Penelitian Tindakan Kelas

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


104
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Penelitian ini dilaksanakan dengan cara mengikuti alur penelitian tindakan kelas Kemmis
dan Taggart. Langkah kerja dalam penelitian ini terdiri dari tahap persiapan (perencanaan),
pelaksanaan tindakan, observasi, analisis hasil tindakan dan refleksi. Secara garis besar data
penelitiannya adalah sebagai berikut: nilai evaluasi pratindakan, nilai evaluasi setelah tindakan,
skor aspek afektif dan psaikomotorik meliputi sikap hormat,dan tanggung jawab, kemampuan
mengajar guru dalam proses pembelajaran dengan menggunakan metode simulasi.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
Proses pembelajaran IPS menggunakan metode simulasi di kelas V MI Darul Ulum Mertak
Tombok Lombok Tengah dapat meningkatkan hasil belajar IPS yang komprehensif meliputi
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Peningkatan hasil belajar IPS siswa yang komprehensif
Pada Siklus I hingga Siklus III adalah sebagai berikut: Peningkatan ranah kognitif pada Siklus I,
II dan III secara berturut-turut adalah 62,06%; 75,86%;100%. Peningkatan aspek afektif Siklus I,
II dan III secara berturut-turut adalah 51,72%;68,96%;75,86%. Peningkatan pada aspek
psikomotorik adalah 41,38%;75,86%, dan 79,31%.
Saran
Berdasarkan simpulan hasil penelitian di atas, maka diberikan saran kepada pihak-pihak
terkait sebagai berikut: (1) Hasil belajar IPS yang komprehensif sudah meningkat. Oleh karena itu
perlu dipertahankan untuk peningkatan kualitas siswa. (2) pelaksanaan pembelajaran
dilaksanakan secara komprehensif dan berkelanjutan, karena aspek afektif dan psikomotorik
merupakan aspek penting yang harus dicapai dalam pembelajaran. (3) Guru diharapkan
meningkatkan kemampuan dalam menguatkan dan mengembangkan sikap, moral dan karakter
yang dianggap penting sehingga peserta didik memiliki kepribadian yang khas sebagaimana
nilai-nilai-nilai yang ingin dikembangkan. (4) Untuk melaksanakan metode simulasi memerlukan
persiapan yang matang, sehingga guru harus memilih atau menentukan topik yang sesuai dengan
karakteristik dari metode tersebut sehingga memperoleh hasil yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Anas Sudijono,(2009) Pengantar Statistik Pendidikan , Jakarta : Rajawali Pers, h. 194.


Barth, J.L. (1990). Methods of in social studies educational.University press of America.
London.
Berk, Laura E., (2003), Child Development, Boston : Pearson Education, Inc.
B.R. Hergenhahn.( 2010) . Theories Of Learning ( Teori Belajar) Kencana,Jakarta

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


105
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Cohan J. (2006) Social, Emotional, ethnical, and academic education: creating a climate for
learning, participation in democracy, and well-being. Harvard Education Review.
Volume Seventy Six., No. 02. 2006.
Darmiyati Zuchdi, dkk. (2010). Pengembangan Model Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam
Pembelajaran Bidang Studi di Sekolah Dasar. Jurnal Ilmiah Pendidikan Cakrawala
Pendidikan Edisi Khusus Dies Natalis UNY. Yogyakarta: Ikatan Sarjana pendidikan
Indonesia DIY bekerjasama dengan LPM Universitas Negeri Yogyakarta.
Hamzah, B. Uno. 2008. Model Pembelajaran : Menciptakan proses belajar mengajar yang
kreatif dasn efektif. Ed, 1 . Cet Ke 1. Bumi Aksara. Jakarta.
Kemmis dan Teggart. 1988. The Action Research Planner. Deakin Univercity
Kindsvatter R., Wilen W., & Ishler M., (1996). Dynamics of effective teaching, 3rd edition. White
Plains: Longman Publishers USA.
Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility. New York: Bantam Books.
Martorella, P.H. 1994. Social studies for elementary school children, developing
young citizen. New York: Merill.
Masnur Muslich. (2011). Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional.
Jakarta: Bumi Aksara.
M. Nu’man Sumantri.( 2011). Menggagas Pembaharuan Pendidkan IPS, Remaja Rosdakarya.
Bandung
Saifudin Azwar. (2011). Tes Prestasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sapriya. (2012). Pendidikan IPS, Konsep dan Pembelajaran, Remaja Rosdakarya : Bandung.
Zamroni. (2007). Pendidikan dan demokrasi dalam transisi (prakondisi menuju era globalisasi).
Jakarta: PSAP.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


106
PROSIDING

MP-15
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE DALAM
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK PADA PEMBELAJARAN IPA
KELAS IV SDI ENDE 15 KABUPATEN ENDE

Yuliana Yenita Mete


Program Studi PGSD Universitas Flores Ende
Abstrak

Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan model
pembelajaran picture and picture bagi peserta didik kelas IV pada pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam materi pokok Daur Hidup Hewan di SDI Ende 15 Kabupaten Ende. Dan untuk
mengetahui hasil belajar peserta didik kelas IV dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam
setelah menerapkan strategi pembelajaran picture and picture di SDI Ende 15 Kabupaten Ende.
Lokasi penelitian dilaksanakan di SDI Ende 15 Kabupaten Ende. Dengan subjek
penelitian peserta didik kelas IV yang berjumlah 15 orang. Jenis penelitian yang digunakan
adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan metode penelitian adalah pendekatan kuantitatif.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara,
dokumentasi dan test. Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh data bahwa hasil belajar
peserta didik dari siklus I sampai dengan siklus II mengalami peningkatan yang signifikan. Pada
siklus I, setelah diterapkannya strategi pembelajaran picture and picture dalam pembelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam materi daur hidup hewan hasil belajar intrinsik siklus I mencapai
33,33%. Pada siklus II mengalami peningkatan yaitu 100%.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran dengan
menerapkan strategi pembelajarn picture and picture Ilmu Pengetahuan Alam materi Daur Hidup
Hewan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik kelas IV SDI Ende 15 Kabupaten Ende.

Kata Kunci: Strategi Pembelajaran Picture And Picture, Hasil Belajar

PENDAHULUAN

Pendidikan dilakukan manusia sepanjang kehidupannya atau pendidikan dilakukan


sepanjang hayat, biasa dikenal dengan istilah long life education. Makna kata tersebut
mengharuskan manusia untuk menjalani pendidikan selama manusia tersebut melakukan segala
tugas aktivitasnya setiap hari. Pendidikan yang terbaik tersebut merupakan pendidikan yang
unggul dan bermutu. Dengan bermutunya pendidikan tersebut maka para pelaku pendidikan
tersebut mampu memberikan yang terbaik bagi pelanggan yang tidak lain adalah sesama manusia
yang merupakan penggunaan jasa pendidikan. Untuk mendapatkan pendidikan bermutu tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan ada proses dan langkah-langkah yang harus dilaksanakan
sehingga pelaksanaan pendidikan tersebut berhasil dan memiliki mutu yang baik.
Peningkatan mutu pendidikan merupakan sarana yang dipakai manusia dalam mencapai
cita-citanya. Hal ini menyebabkan kedudukan pendidikan yang dilembagakan dalam berbagai
bentuk atau model dalam masyarakat. Pendidikan bagi bangsa yang sedang berkembang seperti

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

bangsa Indonesia merupakan kebutuhan mutlak yang harus diselenggarakan sejalan dengan
tuntutan pembangunan secara tahap demi tahap. Pendidikan sebagai salah satu faktor yang sangat
penting dalam pembangunan nasional, pendidikan dijadikan andalan utama untuk meningkatkan
kualitas hidup sumber daya manusia indonesia, di mana Iman dan takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa menjadi sumber motivasi disegala bidang.
Pendidikan diharapkan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan
pembentukan keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan
keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup pribadi dan sosial
yang memuaskan. Dengan mewariskan dan menggunakan karya dan pengelaman masa lampau,
pendidikan menjadi pengawal, perantara, dan pemelihara dan peradaban. Pendidikan
memungkinkan peradaban masa lampau diakui eksistensinya dan bukan merupakan “harta karun”
yang tersia-siakan, (Makawimbang, 2011:1-2).
Untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional pemerintah telah menyelenggarakan
perbaikan-perbaikan peningkatan mutu pendidikan pada berbagi jenis dan jenjang. Namun fakta
di lapangan belum menunjukan hasil yang memuaskan.
Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan formal dewasa ini adalah masih rendahnya
daya serap peserta didik. Hal ini tam pak dari rerata hasil belajar peserta didik yang senantiasa
sangat memprihatinkan.
Dipihak lain secara empiris, berdasarkan hasil analisis penelitiaan terhadap rendahnya
hasil belajar peserta didik yang disebabkan dominannya proses pembelajaran konvensional dan
tidak menyentuh ranah dimensi peserta didik itu sendiri, yaitu bagaimana sebenarnya belajar itu
(belajar untuk belajar). Dalam arti yang lebih substansial, bahwa proses pembelajaran hingga
dewasa ini masih memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui
penemuan dalam proses berpikirnya. Keefektifan pembelajaran adalah hasil guna yang diperoleh
setelah pelaksanaan proses belajar mengajar. Efesisensi dan keefektifan mengajar dalam proses
interaksi belajar yang baik adalah segala daya upaya guru untuk membantu para peserta didik
agar bisa belajar dengan baik.
Guru yang efektif adalah guru yang menemukan cara selalu berusaha agar anak didiknya
terlibat secara tepat dalam suatu mata pelajaran dengan presentasi waktu belajar akademis yang
tinggi dan pelajaran berjalan tanpa menggunakan teknik yang memaksa, negatif atau hukuman.
Selain itu, guru yang efektif adalah orang-orang yang dapat menjalin hubungan simpatik dengan
para peserta didik. Menciptakan lingkungan kelas yang mengasuh, penuh perhatian, memiliki
rasa cinta belajar, menguasai sepenuhnya bidang studi mereka dan dapat memotivasi peserta
didik untuk bekerja tidak sekedar mencapai suatu prestasi namun juga menjadi anggota
masyarakat yang pengasih ( Trianto, 2007:5-20). Guru adalah pendidik profesional dengan tugas

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


108
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

utama mendidik, mengajar, membimbing, melatih, menilai dan mengevaluasi, peserta didik pada
pendidikan usia dini lewat jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Melalui pembelajaran IPA, peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga
dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan menerapkan konsep yang telah
dipelajarinya. IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga
IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep,
atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA
diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan dalam
sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan
sehari-hari (Trianto 2007:97-99).
Pengembangan pembelajaran IPA yang menarik, menyenangkan, layak sesuai konteks,
serta didukung oleh ketersediaan waktu, keahlian, sarana dan prasarana merupakan kegiatan yang
tidak mudah untuk dilaksanakan. Seorang guru dituntut memiliki kemampuan kreativitas yang
cukup agar pembelajaran dapat diselenggarakan secara efektif dan efisien.
Berdasarkan hasil observasi peneliti proses belajar mengajar IPA di kelas IV SDI Ende 15
diperoleh bahwa dalam pengelolaan IPA di kelas umumnya peserta didik bersifat pasif, kurang
munculnya pertanyaan-pertanyaan dari peserta didik, peserta didik kurang memperhatikan
penjelasan guru sehingga suasana kelas kurang kondusif, hal ini terlihat dengan adanya beberapa
peserta didik melakukan aktivitas lain seperti menoleh dan berbicara dengan temannya, berdiri
berjalan pada saat proses belajar berlangsung, proses pembelajaran hanya didominan oleh guru,
metode dan model pembelajaran yang digunakan oleh guru tidak sesuai sehingga peserta didik
merasa jenuh dan bosan.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam proses
belajar mengajar mata pelajaran IPA, dengan materi perubahan wujud benda, bagaimana guru
menerapkan metode pembelajaran yang sesuai dan menciptakan iklim pembelajaran yang
menyenangkan, sebaiknya peserta didik mampu memecahan masalah belajar yang dihadapi,
rendahnya hasil belajar IPA dipengaruhi oleh beberapa faktor , diantaranya adalah pemilihan dan
penerapan model pembelajaran yang tidak sesuai, terbatasnya fasilitas pembelajaran.
Melihat fenomena tersebut maka guru perlu menerapkan metode pembelajaran yang
sesuai, guna meningkatkan hasil belajar IPA disetiap jenjang pendidikan. Salah satu model-model
pembelajaran dari antara itu adalah model pembelajaran picture and picture. Model pembelajaran
Strategi pembelajaran picture and picture merupakan strategi pembelajaran yang menggunakan
gambar sebagai media pembelajaran di mana peserta didik aktif dalam proses pembelajaran yaitu
mengurutkan gambar secara logis.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


109
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan Penelitian Tindakan
Kelas dengan judul: Penerapan Model Pembelajaran picture and picture dalam Meningkatkan
Hasil Belajar IPA pada Peserta Didik Kelas IV di SDI Ende 15 Kabupaten Ende.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dengan
merujuk pada prosedur penelitian yang secara garis besar akan dijelaskan berikut ini. Dasar
rujukan prosedur penelitian ini diambil dari rincian prosedur penelitian yang dikembangkan oleh
Kemmis dan Mc Taggart

Gambar 1: Model Penelitian Tindakan Kelas Kemmis dan Taggart


(dalam Ekawarna, 2013)
Subyek penelitian adalah peserta didik kelas IV SDI Ende 15 pada Semester Ganjil
berjumlah 15 orang laki-laki 6 orang dan perempuan 9 orang. Untuk melengkapi data-data yang
diperlukan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik-teknik pengumpulan data sebagai
berikut: Observasi, Wawancara, Dokumentasi, dan Tes. Pada penelitian tindakan ini, peneliti
menganalisis data dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil evaluasi pada awal proses pembelajaran pra tindakan di kelas sebelum
menerapkan strategi pembelajaran picture and picture pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam kelas IV SDI Ende 15 adalah: peserta didik yang tuntas belajar sebanyak 2 orang
sedangkan peserta didik yang tidak tuntas 13 orang atau jika di porsentasekan 13,33% berbanding
86,67%. Nilai tertinggi yang di peroleh peserta didik 80 sedangkan nilai terendah 40 dan rata-rata
kelas yang di peroleh peserta didik adalah 57,33.

Berdasarkan data hasil pembelajaran berikut, peneliti menampilkan berupa grafik yang
menggambarkan hasil ketuntasan belajar pada tahap pre test adalah sebagai berikut:

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


110
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

86,67%
100,00%
80,00% 57.33
60,00%
40,00% 13,33% TUNTAS
20,00%
0,00% TIDAK TUNTAS
RATA-RATA KELAS

Gambar 1. Hasil Uji Pra Tindakan


Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti sebelum tindakan, disimpulkan bahwa
dalam proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam materi daur hidup hewan di Kelas IV SDI
Ende 15, didominasi oleh guru sehingga mengakibatkan peserta didik kurang aktif, kurang
antusias dalam mengikuti pembelajaran yang diterapkan oleh guru selama proses pembelajaran,
masalah lainnya adalah model pembelajaran yang digunakan kurang sesuai dengan materi yang
diajarkan.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang peneliti jumpai dalam observasi tersebut,


peneliti terdorong untuk membangun sebuah sistem pembelajaran alternatif yang bisa membuat
peserta didik aktif dan semangat dalam proses pembelajaran dengan sebuah rencana
pembelajaran yaitu dengan menerapkan model pembelajaran picture and picture yang akan
dilaksanakan dalam 2 (dua) siklus. Model pembelajaran picture and picture merupakan strategi
pembelajaran yang menggunakan gambar sebagai media pembelajaran dimana peserta didik aktif
dalam proses pembelajaran yaitu mengurutkan gambar secara logis.

Berdasarkan data hasil pembelajaran pada siklus I peneliti menampilkan berupa Grafik
sebagai berikut:

66,67% 67.33
80,00% TUNTAS
60,00% 33,33%
40,00%
20,00%
0,00% TIDAK TUNTAS

RATA-RATA
KELAS

Gambar 2. Hasil Uji Test Belajar Siklus I


Dari grafik di atas nampak bahwa hasil tes belajar peserta didik dari 15 orang yang
mengikuti proses pembelajaran ternyata 5 orang atau 33,33% yang tuntas atau mencapai KKM.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


111
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Sedangkan 10 orang atau 66,67% tidak tuntas atau belum mencapai KKM dengan nilai rata-rata
kelasnya baru mencapai 67,33.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti pada hasil belajar peserta didik
masih sangat rendah dan partisipasi peserta didik pada materi yang diajarkan relatif kurang.
Kondisi ini memang menjadi kondisi riil karena guru mata pelajaran kurang membuka ruang bagi
peserta didik untuk melihat dari proses pergumulan pribadi berkaitan dengan yang diberikan oleh
guru. Dari hasil evaluasi pada awal proses pembelajaran pre tindakan di kelas IV diperoleh dari
15 peserta didik, ada beberapa peserta didik mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal pre
test dan post test.

Berdasarkan data hasil pembelajaran pada siklus II peneliti menampilkan berupa Grafik
sebagai berikut:

100,00%
82.67
100,00%

0,00% TUNTAS
0,00%

Gambar 3. Hasil Belajar Siklus II


Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pada siklus II ini sudah berhasil karena sudah
memenuhi kriteria yang ditentukan. Pada siklus II, dapat dinyatakan bahwa proses pembelajaran
dinyatakan berhasil karena hasil analisis terhadap data hasil observasi siklus II mencapai 100%.
Dan dapat diketahui 15 orang peserta ddik yang mengikuti proses pembelajaran seluruhnya
dinyatakan tuntas belajar atau mencapai angka 100% dan melebihi 70% dari jumlah peserta didik
dengan rata-rata nilai hasil belajar 100 atau diatas KKM 65.

Proses belajar dan mengajar yang efektif memerlukan media yang tepat. Strategi
pembelajaran ini mengandalkan gambar sebagai media dalam proses pembelajaran, sehingga
sebelum proses pembelajaran guru sudah menyiapkan gambar yang ditampilkan baik dalam
bentuk kartu dalam ukuran kecil maupun dalam bentuk poster. Strategi pembelajaran harus
dipilih dan dikembangkan untuk meningkatkan aktifitas peserta didik. Dengan aktifnya peserta
didik dalam kegiatan pembelajaran diharapkan hasil belajar dan potensi peserta didik dapat
meningkatkan pembelajaran yang lebih bermakna. Melalui penerapan strategi pembelajaran
picture and picture akan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengurutkan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


112
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

gambar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peserta didik tertarik dengan menerapkan strategi
pembelajaran yang digunakan peserta didik menjadi lebih aktif, bersemangat dan berantusias
dalam mengikuti pembelajaran, serta lebih mengerti dan paham tentang materi yang disampaikan.

Hasil belajar peserta didik di SDI Ende 15 dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam
tentang penerapan strategi pembelajaran picture and picture menunjukkan bahwa ada
peningkatan hasil belajar peserta didik dengan materi Daur Hidup Hewan yang diperoleh dari
data dari hasil pre test menunjukkan bahwa peserta didik yang tuntas adalah 2 orang dengan
presentase 13,33%, sedangkan 13 orang tidak tuntas dengan presentase 86,67%. Dari hasil
belajar peserta didik siklus I belum mencapai KKM, hasil yang diperoleh dari siklus I yaitu
jumlah 15 orang peserta didik 5 orang yang tuntas dengan presentase 33,33%, sedangkan 10
orang yang belum tuntas dengan presentase 66,67%. Pada siklus II ternyata 15 orang peserta didik
mengalami peningkatan dengan nilai porsentasenya 100.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab terdahulu maka dapat disimpulkan
bahwa Hasil belajar peserta didik di SDI Ende 15 dalam pembelajaran IPA dengan materi Daur
hidup hewan terjadi peningkatkan setelah diterapkan model pembelajaran picture and picture.
Guru dapat merancang skenario pembelajaran yang dapat memungkinkan peserta didik untuk
mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), Menciptakan suasana pembelajaran yang
menyenangkan agar siswa termotivasi untuk belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Daryanto. 2011. Penelitian Tindakan Kelas Dan Penelitian Tindakan Sekolah. Yogjakarta: Gava
Media
Ekawarna, 2013. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : GP Press Group
Huda, Miftahul, 2014. Model-Model Pengajaran Dan Pembelajaran,Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Latif, Abdul, 2009. Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan, Jakarta : Refika Aditama
Purwanto. 2013. Evaluasi Hasil Belajar. Indonesia: Pustaka Pelajar
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Toeri dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka
Punlisher

Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada


Media Group

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


113
PROSIDING

MP-16
ANALISIS KOMPETENSI GURU DALAM PENERAPAN KURIKULUM 2013
1)
Yasinta Yenita Dhiki 2) Maria Waldetrudis Lidi 3)
Ningsih
Dosen Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Flores, Ende. Email: dhikiyasinta@gmail.com

Abstrak
Kompetensi penting dimiliki oleh guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran guna
menunjang profesionalisme kinerjanya. Oleh karena itu guru perlu memiliki keempat
kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian dan
kompetensi sosial. Dalam hal ini, peneliti merasa perlu menganalisis keempat kompetensi guru
pada 12 Sekolah Dasar se-kabupaten Ende dengan menggunakan pendekatan kuatitatif.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober Tahun 2017.Teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah penyebaran kuesioner kepada informan yaitu pada guru dan siswa untuk
mengetahui keempat kompetensi guru. Berdasarkan hasil analisis jawaban responden terhadap
keempat kompetensi Guru disimpulkan bahwa guru dan siswa sama-sama memberikan penilaian
cukup baik pada tiga kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian dan
kompetensi sosial. Sedangkan pada kompetensi profesional penilaian siswa dikategorikan baik
dan penilaian guru dikategorikan cukup baik.

Kata Kunci: Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Profesional, Kompetensi Kepribadian Dan


Kompetensi Sosial

PENDAHULUAN
Kurikulum memiliki peranan yang penting dalam menciptakan pendidikan yang
berkualitas bagi masyarakat. Sebagaimana tertuang dalam UU Republik Indonesia No 20 tahun
2003, kurikulum berisikan tujuan, isi, dan segala perencanaan yang menentukan arah dan proses
pendidikan. Sebagai suatu rencana pembelajaran, kurikulum perlu diaplikasikan dalam proses
pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, kurikulum dan pembelajaran tidak dapat dipisahkan
karena merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan.
Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi dan karakter secara terpadu yang
merupakan penyempurnaan dari KTSP. Kurikulum ini dipandang sesuai dengan program
pendidikan yang berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Dalam penerapannya, kurikulum
membutuhkan praktisioner yang akan menjalankan rencana – rencana yang tertulis dalam
dokumen kurikulum tersebut. Untuk itu, guru adalah faktor penting dalam pengimplikasian
kurikulum karena guru yang berinteraksi langsung dengan siswa. Guru berperan dalam
pengembangan kurikulum itu sendiri yakni dalam proses pembelajaran di kelas. Oleh karena itu,
guru diharapkan mampu memfasilitasi siswa secara efektif agar siswa berperan aktif dalam
mengembangkan dirinya untuk mencapai berbagai kecakapan. Namun, sering kali seorang guru,
khususnya yang belum memiliki banyak pengalaman mengajar, memilih metode pengajaran

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

secara acak tanpa mengetahui teori yang mendasarinya dan tanpa mempertimbangkan
karakteristik siswa.
Hal ini tentunya berdampak pada kualitas pembelajaran dan mutu guru itu sendiri dan
juga mutu siswa. Oleh karena itu guru dituntut untuk memiliki kompetensi. Dalam Peraturan
Menteri Nasional RI Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Akademik dan
Kompetensi Guru menyebutkan bahwa guru harus menguasai empat kompetensi utama, yakni
kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sahat Renol HS (2015) menyimpulkan bahwa
kompetensi guru memiliki pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar siswa.
Berdasarkan data tersebut diatas, maka perlu adanya analisis terhadap kompetensi guru
SD di kabupaten Ende dalam penerapan kurikulum 2013. Ada pun tujuan penelitian ini yakni
untuk mengidentifikasi kompetensi guru SD di Kabupaten Ende dalam penerapan kurikulum
2013. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk 1) Dinas Pendidikan: dengan adanya informasi
tentang kompetensi guru, Pemerintah Kabupaten Ende dapat menentukan kebijakan dalam
pelaksanaan kurikulum; 2) Bagi Guru, hasil penelitian dijadikan informasi untuk guru-guru untuk
meningkatkan kompetensi profesionalitasnya bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia
sesuai tujuan pendidikan; 3) Bagi Peneliti, memberikan informasi tentang kesiapan guru dalam
kompetensi pedagogik, sehingga informasi tersebut menjadi dasar bagi penelitian lanjutan atau
pelatihan profesi bagi guru-guru di Kabupaten Ende.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif..
Data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata yang kemudian diubah dalam bentuk data
kuantitatif dengan penskoran. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan statistik deskriptif.
Penelitian ini dilaksanakan di 12 SD se-Kabupaten Ende, Propinsi Nusa Tenggara Timur pada
bulan Juni sampai Oktober Tahun 2017. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penyebaran kuesioner kepada informan yaitu pada guru dan siswa untuk
mengetahui kompetensi pedagogik guru. Kuesioner yang diberikan adalah kuesioner tertutup, di
mana pada kuesioner ini peneliti telah menyediakan alternatif jawaban dan responden
memberikan tanda check list pada jawab yang sesuai dengan responden.
Teknik analisis data menggunakan teknik analisis statistik deskriptif yaitu dengan
menggunakan skala likert. Untuk keperluan analisis secara kuantitatif maka jawaban-jawaban
diberi skor sebagai berikut.
1. Selalu dengan skor 4.
2. Sering dengan skor 3.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


115
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

3. Jarang dengan skor 2.


4. Tidak pernah dengan skor 1.
Angka-angka kemudian dianalisis dengan perhitungan presentase sebagai berikut.

Keterangan:
P= Presentase
f= Frekuensi
N=Jumlah populasi

Nilai persentase yang diperoleh selanjutnya dikategorikan dengan kriteria sebagai berikut.
Tabel. 1. Kriteria Persentase Respon Siswa

Persentase (%) Kategori


80- 100 Sangat baik
60-79 Baik
30- 59 Cukup baik
0-29 Kurang baik
Diadopsi dari Riduwan (2010)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil sebaran kuesioner tentang keempat kompetensi pada responden yaitu
pada guru dan peserta didik maka diperoleh hasil yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel
2 adalah rangkuman persepsional siswa tentang kompetensi pedagogik guru, sedangkan penilaian
diri oleh guru dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2 Persepsional Peserta didik

Persentase (%)
No Kompetensi Selalu Sering
Jarang Tidak pernah

Pedagogik 51.82 28.43 10.70 7.47


1
Kepribadian 55.43 26.88 10.17 6.02
2
Profesional 66.72 21.45 6.95 3.24
3
Sosial 58.68 25.74 10.66 3.21
4

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


116
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tabel 3 Penilaian diri Guru


Persentase(%)
Kompetensi
No Selalu Sering Jarang Tidak Pernah
Pedagogik 51.6 30.8 8.98 1.58
1
Kepribadian 70.8 18.3 3.58 0.25
2
Profesional 49.9 25.3 12.1 5.67
3
Sosial 20.6 30.7 22 19.35
4

Dari tabel di atas dapat dideskripsikan rata-rata hasil penskoran keempat kompetensi guru,
sebagai berikut:
Hasil pernilaian siswa menunjukkan bahwa kompetensi pedagogik guru yang menyatakan
selalu berjumlah 51.82, yang menyatakan sering 28.43, dan yang menyatakan jarang berjumlah
10.70, sedangkan siswa yang menyatakan tidak pernah 7.47. Dalam kompetensi kepribadian,yang
menyatakan selalu 55.43, siswa yang menyatakan sering 26.88, yang menyatakan jarang 10.17,
dan tidak pernah berjumlah 6.02. Hasil rerata penilaian siswa pada kompetensi profesional yang
menyatakan selalu berjumlah 66.72, penilaian siswa yang menyatakan sering 21.45, dan yang
menyatakan jarang berjumlah 6.95, sedangkan penilaian siswa yang menyatakan tidak pernah
berjumlah 3.24. Selanjutnya, pada kompetensi sosial, diperoleh penilaian selalu 58.68, yang
menyatakan sering 25.74, siswa yang menilai jarang berjumlah 10.66 dan siswa yang menyatakan
tidak pernah berjumlah 3.21.
Penilaian diri oleh guru pada kompetensi pedagogik yang menyatakan selalu berjumlah
51.6, guru yang menyatakan sering berjumlah 30.8, yang menyatakan jarang berjumlah 8.98,
sedangkan 1.58 menyatakan tidak pernah. Pada kompetensi kepribadian sebanyak 70.8
menyatakan selalu, yang menyatakan sering 18.3, sebanyak 3.58 menyatakan jarang dan 0.25
menyatakan tidak pernah. Dalam penilaian diri guru pada kompetensi profesional yang
menyatakan selalu sebanyak 49.9, 25.3 menyatakan sering, yang menyatakan jarang berjumlah
12.1, dan guru yang menyatakan tidak pernah sebanyak 5.67. Demikian juga pada kompetensi
sosial, guru yang menyatakan selalu sebanyak 20.6, yang menyatakan sering 30.7, sebanyak 22
menyatakan jarang dan 19.35 menyatakan tidak pernah.
Penilaian keempat kompetensi tersebut dianalisis berdasarkan rentangan penilaian yang
dimodifikasi dari Ridwan (2010) dimana diperoleh hasil penilaian siswa pada kompetensi
pedagogik dinilai cukup baik, kompetensi kepribadian dinilai cukup baik, kompetensi profesional
dinilai baik, dan kompetensi sosial dinilai cukup baik. Kemudian, untuk penilaian diri oleh guru

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


117
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pada kompetensi kompetensi pedagogik dinilai cukup baik, kompetensi kepribadian dinilai baik,
kompetensi profesional dinilai cukup baik, dan kompetensi sosial dinilai cukup baik.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, diketahui bahwa tidak ada perbedaan penilaian
terhadap kompetensi guru baik yang diberikan oleh siswa maupun guru itu sendiri. Sedikit
perbedaan hanya terlihat pada penilaian kompetensi profesional dimana penilaian siswa
dikategorikan baik, sedangkan penilaian diri oleh guru dikategorikan cukup baik.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan bab empat (4) dapat disimpulkan bahwa guru dan siswa
sama-sama memberikan penilaian cukup baik pada tiga kompetensi guru, yaitu kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Sedangkan pada kompetensi
profesional penilaian siswa dikategorikan baik dan penilaian guru dikategorikan cukup baik. Oleh
karena itu, guru SD perlu meningkatkan kompetensinya.
Saran
1) Guru perlu meningkatkan profesionalismenya khususnya pada kompetensi pedagogik.
2) Pemerintah perlu memberikan pelatihan kepada guru-guru yang berkaitan dengan
kompetensi guru.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. 2007. Jakarta.
Riduwan. 2010. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Alfabeta.Bandung

Sahat, R. H.S. 2015. “Pengaruh Kompetensi Guru dan Motivasi Belajar Siswa Terhadap Prestasi
Belajar Siswa Kelas Xi Ips Sma Negeri 17 Medan”. Prosiding Semiar Nasional
Pendidikan Ekonomi & Bisnis,Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Sabtu, 07 November 2015.
Sanjaya, W. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Suhandani dan Julia. 2014. “Identifikasi Kompetensi Guru Sebagai Cerminan Profesionalisme
Tenaga Pendidik Di Kabupaten Sumedang (Kajian Pada Kompetensi Pedagogik)”.
Jurnal Mimbar Sekolah Dasar Volume 1 No. 2, 2014m Hal 128-141.
Umami dan Roesminingsih. 2014. “Pengaruh Kompetensi Pedagogik dan Motivasi Kerja Guru
Terhadap Prestasi Belajar Siswa Dalam Ujian Nasional Di SMA Negeri Se Kota
Mojokerto”. Jurnal Inspirasi Manajemen Pendidikan, Vol. 3, No 3, 2014, Hal 81-88.
Ummah, K. 2013. “Analisis Kompetensi Guru Matematika Berdasarkan Persepsi Siswa”. Jurnal
Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sidoarjo, Vol 1, No.1, 2013, hal 51-60.
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.Jakarta: Fokus Media
Pengembangan Kurikulum 2013.Diakses di www.slidehared.net tanggal 20 Juni
2017.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


118
PROSIDING

MP-17
MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA PADA
MATERI DAUR HIDUP HEWAN MELALUI MODEL PICTURE
AND PICTURE DI KELAS IV SDI ENDE 7
1
Maria Dima Mbere, 2Odilya M. N. Raji
1
SDK Ende 7, 2PGSD Uniflor
Email : MberedimaMBERE@gmail.com

Abstrak

Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah peningkatan pemahaman konsep
peserta didik setelah model Picture and Picture dalam pembelajaran IPA materi daur hidup
hewan di SDI Ende 7 ENDE?. Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian
tindakan kelas dengan lokasi penelitian tersebut dilaksanakan di SDI Ende 7 dengan Subyek
dalam penelitian ini adalah peserta didik Kelas IV yang berjumlah 22 orang. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan tes,
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data dianalisis dengan menggunakan deskriptif
kualitatif. Berdasarkan analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini dapat di simpulkan
bahwa: pemahaman konsep peserta didik kelas IV SDK Ende 7 mengalami peningkatan
setelah diterapkan model picture and picture yang dilihat dari hasil analisis siklus I
memperoleh rata-rata 68,90 dengan persentase ketuntasan belajar 54,55%, dan di siklus II
mengalami peningkatan prestasi belajar dengan nilai rata-rata 74,72% dengan persentase
ketuntasan belajar adalah 100%.

Kata kunci:, model Picture and Picture, pemahaman konsep

PENDAHULUAN
Belajar yang dikemukakan Winkel (2009:15) merupakan aktivitas mental/psikis, yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan sejumlah perubahan
dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap.Tugas pendidik adalah
mengaktifkan peserta didik, baik secara fisik, mental, intelektual, emosional maupun sosialnya,
sehingga potensi dirinya dapat tumbuh dengan lebih baik. Pendidik harus menguasai berbagai
strategi, model dan media pembelajaran, teknik berkomunikasi yang bersifat multi arah dan
memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal sehingga peserta didik tidak merasa jenuh
(Arifin, 2009:41).
Fakta mengenai pentingnya aktivitas belajar sayangnya masih merupakan hal yang
belum disentuh dalam praktik pembelajaran IPA di SDK Ende 7. Dalam kegiatan belajar materi
daur hewan, guru hanya menekankan pada ceramah dan penugasan semata. Media yang dipakai
pun hanya terfokus pada papan tulis, spidol, dan buku pelajaran. Proses belajar yang abstrak ini
menyebabkan peserta didik terlihat pasif. Siswa juga kurang memahami konten pembelajaran
karena cenderung menghafal konsep daur hidup hewan tersebut.

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Dengan melihat kenyataan dilapangan seperti yang telah di kemukakan, maka salah satu
cara yang cukup efektif untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa dapat dilakukan dengan
cara mengubah paradigma pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran yang
menyenangkan. Tujuannya agar siswa tertarik dan termotivasi untuk aktif mengikuti kegiatan
pembelajaran dan akhirnya mendapatkan hasil belajar yang maksimal. Salah satu model
pembelajaran yang dikenal menyenangkan adalah model Picture and Picture.
Model Picture and Picture merupakan suatu metode belajar yang menggunakan gambar
yang dipasangkan atau diurutkan menjadi urutan logis (Hamdani, 2011: 89). Model Picture and
Picture mengandalkan gambar sebagai media dalam proses pembelajaran. Media gambar dapat
merangsang siswa agar lebih termotivasi dan tertarik dalam pembelajaran. Siswa dapat melihat
secara langsung gambar yang akan dideskripsikan, sehingga siswa memperoleh kemudahan
dalam mengidentifikasi alur suatu peristiwa.
Model picture and picture merupakan model yang sangat cocok diterapkan untuk
meningkatkan pemahaman konsep siswa pada materi daur hidup hewan. Konsep daur hidup
hewan melibatkan pemahaman urutan logis mengenai siklus hidup hewan, misalnya pada
kehidupan kupu-kupu yang terlebih dahulu melalui tahap telur, kemudian menetas menjadi ulat,
ulat akan berubah menjadi kepompong dan tahapan akhir kepompong berubah menjadi
kupu-kupu dewasa. Siklus hidup tersebut tidak dapat dibolak-balik sehingga dengan
menggunakan model picture and picture, siswa dapat lebih mudah mengurutkan secara logis
konsep daur hidup beberapa hewan dengan benar.
Model picture and picture merupakan suatu model yang sudah terbukti dapat
meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. hal ini ditunjukkan dalam penelitian Utami
(2013) dengan judul penelitian Penggunaan Model Pembelajaran Picture And Picture Untuk
Meningkatkan Keaktifan Belajar Siswa Pada Pembelajaran Matematika Di Kelas IIA SD Islam
Terpadu Arofah 1 Boyolali Tahun Ajaran 2012/2013. Hasil penelitian membuktikan Model
Pembelajaran Picture And Picture dapat meningkatkan Keaktifan Belajar Siswa Pada
Pembelajaran Matematika. Begitupun hasil penelitian penelitian Zulfa (2010) dan Khasanah
(2009) menemukan adanya pengaruh model picture and picture terhadap hasil belajar siswa.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) dimana peneliti ingin mengungkapkan masalah-masalah yang ada di dalam kelas di
antaranya adalah penggunaan model picture and picture dalam pembelajaran IPA. Subjek
penelitian ini adalah siswa kelas IV SDK Ende 7 yang berjumlah 22 orang. Adapun guru untuk
mendapatkan informasi tentang penggunaan model picture and picture di kelas IV SDK Ende 7.
Kabupaten Ende.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


120
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Metode Tes untuk
mengetahui pemahaman konsep siswa, dokumentasi dan catatan lapangan untuk merekam proses
pembelajaran dengan menerapkan model picture and picture. Hasil Tes dianalisis dengan dengan
cara menentukan persentae klasikal berdasarkan rumus:

Nilai ketuntasan belajar klsikal

Hasil pembelajaran pada penelitian ini dikatakan tuntas jika kriteria ketuntasan minimum
(KKM) secara klasikal mencapai 80% dan jumlah seluruh siswa di kelas telah mencapai nilai 70.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berikut ini disajikan data hasil tes pemahaman konsep siswa siklus I dan siklus II
Tabel 1 Data Hasil Tes Pemahaman Konsep Siswa Siklus I
No Ketuntasan Jumlah Persentase (%)
1. Tuntas 12 55
2. Tidak Tuntas 10 46

Tabel 2 Hasil Analisis Ketuntasan Belajar pada Pembelajaran Siklus II


No Ketuntasan Jumlah Persentase (%)
1. Tuntas 22 100
2. Tidak Tuntas 0 0
Rata-rata nilai 74,72

Pada Tabel 1 diperoleh hasil ketuntasan sebesar 55%. Angka ini belum menunjukkan
pencapaian target yang diinginkan. Sehingga perlu dilanjutkan siklus II. Sementara pada siklus II
diperoleh ketuntasan sebesar 100%. Bertitik tolak dari hasil yang diperoleh pada tindakan siklus
II ini berarti pemahaman konsep siswa mengalami peningkatan. Maka penelitian dihentikan pada
siklus II karena telah sesuai dengan target yang diinginkan. Dengan demikian, tujuan penelitian
ini untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa Kelas IV SDK Ende 7 Kabupaten Ende pada
materi daur hewan melalui model Picture and picture dapat dipenuhi.
B. Pembahasan
Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari 2 siklus. Setiap siklus terdiri dari satu kali
pertemuan yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur penelitian. Kuantitas pertemuan dalam
setiap siklus didasarkan pada kepadatan materi yang dibahas. Berdasarkan hasil refleksi awal,
guru menetapkan untuk menerapkan model picture and picture dalam pembelajaran IPA di Kelas

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


121
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

IV SDK Ende 7 Kabupaten Ende sebagai alternatif meningkatkan hasil belajar siswa di kelas
tersebut.
Berdasarkan hasil observasi dan catatan lapangan terhadap pelaksanaan pembelajaran
IPA pada siklus I menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menerapkan model picture and
picture belum sempurna dilaksanakan sesuai dengan rancangan perbaikan pembelajaran yang
telah disusun. Guru kurang memberi motivasi belajar kepada siswa, siswa kurang aktif pada saat
diskusi kelompok. Kekurangan guru yang lain adalah masih kurang efektifnya bimbingan
terhadap kegiatan diskusi siswa. Pada pertemuan I siklus I misalnya guru hanya membimbing
sebagian kelompok saja, sedangkan kelompok yang lain tidak mendapat bimbingan langsung dari
guru.
Kurang fokusnya siswa dalam kegiatan diskusi juga mempengaruhi aktivitas diskusi
dimana masih banyak siswa yang belum bisa menjelaskan urutan gambar secara logis.
Dampaknya terjadi pada ketuntasan tes pemahaman konsep siswa yang dicapai pada siklus I
masih belum maksimal sehingga perlu dilakukan usaha lanjutan pada siklus II. Dari Tabel 1,
diperoleh nilai siswa yang memenuhi ketuntasan belajar dengan nilai ≥ 70 hanya 12 orang atau
55% dengan rata-rata 68,90. Sedangkan 10 orang lainnya atau 46% belum memenuhi ketuntasan
belajar. Hal ini menujukkan bahwa indikator kinerja yang telah ditetapkan sekolah yaitu minimal
80% dari jumlah keseluruhan siswa memiliki nilai ≥ 70 belum terpenuhi sehingga perlu dilakukan
perbaikan pada siklus berikutnya.
Melihat kekurangan yang masih ada serta hasil belajar IPA siswa pada tindakan siklus I
belum memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal yang telah ditetapkan, maka penelitian
dilanjutkan pada tindakan siklus II. Hal-hal yang perlu diperbaiki pada tindakan siklus II guru
harus bersikap tegas dengan menegur atau memberi sanksi kepada siswa yang tidak
memperhatikan penjelasan guru dan tidak mau bekerja sama dengan teman kelompoknya ketika
melakukan kegiatan diskusi, guru juga harus selalu memberikan motivasi kepada siswa agar
berani mengajukan pendapatnya. Selain itu, guru juga harus mampu mengelola waktu secara
efisisen agar semua tahapan kegiatan dalam rencana perbaikan pembelajaran dapat terlaksana.
Berdasarkan hasil observasi dan catatan lapangan pada pelaksanaan tindakan untuk siklus
II yang menerapkan model picture and picture sudah lebih baik dari sebelumnya. Guru terus
berupaya memperbaiki kelemahan yang ditemui dalam pelaksanaan tindakan siklus I. Guru sudah
mampu mengontrol kegiatan siswa di kelas dengan cukup baik. Guru telah memperbaiki
kekurangan ini yang ditemui pada tindakan sebelumnya, dan siswa juga turut aktif dalam
pembelajaran di kelas. Sekalipun masih ada beberapa siswa yang masih ragu-ragu untuk
menjawab pertanyaan guru, namun dalam kegiatan diskusi kelompok telah menunjukkan hal-hal
yang cukup baik.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


122
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Secara umum, hasil analisis ketuntasan aktivitas guru pada proses pembelajaran siklus II
sudah mencapai 100%. Hasil ini menunjukkan bahwa indikator kinerja dari segi proses sudah
tercapai yaitu minimal 80% proses pelaksanaan tindakan dilaksanakan sesuai dengan rencana
perbaikan pembelajaran yang ditetapkan. Hal ini karena guru sudah cukup baik dalam memberi
motivasi dan apersepsi kepada siswa. Selanjutnya, guru sudah mampu mengikuti
langkah-langkah pembelajaran yang terdapat dalam rencana pelaksanaan pembelajaran.
Selain itu, guru mampu mengarahkan dan memotivasi siswa untuk bertanya. Guru juga
cukup baik dalam memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan kembali
pengetahuan yang telah diperolehnya setelah mengamati gambar. Sehingga aktifitas ini dapat
membantu meningkatkan hasil belajar siswa tentang materi yang diajarkan. Setiap pertemuan
pada siklus II menjadi lebih bermakna.
Sedangkan pada hasil tes pemahaman konsep siswa siklus II menunjukkan terjadinya
peningkatan, di mana 22 orang atau 100% siswa telah memenuhi ketuntasan belajar dengan nilai
≥ 70 dengan rata-rata 74,72. Peningkatan yang terjadi dari siklus I ke siklus II yaitu sebesar 46 %.
Hal ini menunjukkan bahwa siswa telah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Sedangkan hasil observasi terhadap pelaksanaan kegiatan pembelajaran bisa dikatakan sempurna,
yakni seluruh komponen dalam rencana perbaikan pembelajaran telah dilaksanakan dengan baik
sesuai yang diharapkan. Karena kedua indikator telah tercapai, ini berarti bahwa penerapan model
Picture and Picture dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SDK Ende 7 Ende.
SIMPULAN DAN SARAN
Setelah pelaksanaan siklus I dan siklus II, serta hasil analisis data dan pembahasan dalam
penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa melalui penerapan model Picture and Picture dapat
meningkatkan hasil belajar IPA pada materi daur hidup hewan di kelas IV SDK Ende 7 dengan
nilai ketuntasan pada siklus I yaitu 55% dengan rata-rata 68,90. Tindakan yang dilakukan pada
siklus II mencapai 100% dan ini menunjukkan peningkatan dengan rata-rata 74,72. Ini berarti
bahwa hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan sebesar 46% dan telah
mencapai KKM yaitu 70.
Saran berdasarkan hasil penelitian ini adalah guru dapat menerapkan model Picture and
Picture pada materi daur hidup hewan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan pemahaman
konsep siswa pada mata pelajaran IPA.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


123
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Khasanah, Uswatun. 2009, Pengaruh Pembelajaran Model Picture And Picture Terhadap Hasil
Belajar Materi Pertumbuhan Dan Perkembangan Pada Manusia Siswa Kelas VIII MTS
Sunan Kalijaga Bawang Batang. Jurnal. Tersedia: https://scholar.google.co.id/ (diakses: 22
Juli 2017)
Utami, Eni. 2013. Penggunaan Model Pembelajaran Picture And Picture Untuk Meningkatkan
Keaktifan Belajar Siswa Pada Pembelajaran Matematika Di Kelas IIA SD Islam Terpadu
Arofah 1 Boyolali Tahun Ajaran 2012/2013. Jurnal. Tersedia: https://scholar.google.co.id/
(diakses 22 Juli 2017)
Zulfa, Indana. 2010. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Picture and Picture Dalam
Meningkatkan Aktifitas Belajar Biologi Peserta Didik Kelas XI MAN 2 Pekalongan.
Jurnal. Tersedia: https://scholar.google.co.id/ (diakses 22 juli 2016)

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


124
PROSIDING

MP-18
ANALISIS KESULITAN MAHASISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL-SOAL
PEMECAHAN MASALAH MATERI GEOMETRI

1
Febriani Rotua Manullang, 2Jumiati, 3Nur Andriani
1
Universitas PGRI Palembang, 2Universitas PGRI Palembang, 3Universitas PGRI Palembang
1
febrianipgsd@yahoo.co.id, 2jumiatiandri@gmail.com, 3Andriani_Fahrizal@yahoo.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesulitan mahasiswa PGSD dalam menyelesaikan
soal-soal pemecahan masalah materi geometri melalui metode kualitatif-deskriptif dengan
menggunakan triangulasi data, yakni dokumentasi, wawancara, dan observasi. Dalam menguji
kemampuan pemahaman matematis, peneliti menggunakan soal tes essay yang terlebih dahulu
diuji tingkat validitas dan reliabilitasnya. Kemudian didapatkan hasil bahwa hanya 5 dari 8 soal
yang bisa digunakan dalam tes kemampuan pemecahan masalah soal-soal matematika mahasiswa
PGSD. Dalam penelitian ini, mahasiswa dibagi menjadi 3 tingkatan kategori kemampuan, yakni
tinggi, sedang, dan rendah. Hasil yang didapatkan ialah soal yang berkategorikan “sulit” tidak ada
mahasiswa yang dapat menjawabnya, sedangkan soal yang berkategorikan “sedang” mahasiswa
sudah bisa memahami dan menafsirkan maksud dari soal tersebut serta mahasiswa sudag bisa
mengetahui konsep dasarnya seperti langkah-langkah dalam menjawab soal dan rumus yang
digunakan. Peneliti mewawancarai dan memberikan sedikit pelatihan tentang soal-soal
pemecahan masalah, sehingga mahasiswa bisa menjawab soal-soal yang diberikan. Kesimpulan
yang didapat ialah sebanyak 25% mahasiswa memiliki kemampuan tinggi, 65% mahasiswa
memiliki kemampuan sedang, dan 10% mahasiswa memiliki kemampuan rendah. Pemberian
pelatihan soal-soal yang bersifat pemecahan masalah kepada mahasiswa akan membantu mereka
dalam memahami soal-soal geometri.

Kata kunci: Kesulitan Mahasiswa, Pemecahan Masalah, Geometri.

PENDAHULUAN
Perkembangan pendidikan di era teknologi informasi dan komunikasi ini sangatlah cepat,
teori-teori pembelajaran dan pemanfaatan teknologi dalam dunia pendidikan berkembang terus
sehingga menuntut pembaruan-pembaruan untuk mengantisipasi cepatnya laju perkembangan
tersebut. Kemampuan mengolah dan menganalisis permasalahan secara tepat, akurat dan rasional
sangat perlu untuk dapat mengikuti perubahan yang terjadi. Keberadaan matematika sebagai
sebuah ilmu yang yang rasional, sistematik, terpola dengan konsep-konsep dasar yang kuat sangat
membantu menyelesaikan permasalahan di dunia nyata (Yunus, 2013: 165). Geometri merupakan
salah satu materi matematika banyak digunakan dalam dunia nyata, karena itu konsep geometri
sangat penting ditanamkan dalam diri siswa, untuk kemudian siswa mampu
mengkomunikasikannya kembali meskipun dalam hal ini cukup sulit untuk dilakukan.

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Mata Kuliah Konsep Dasar Matematika SD merupakan salah satu mata kuliah yang
mengajarkan konsep matematika SD yang paling mendasar. Seorang guru SD haruslah mengerti
dan memiliki kemampuan memahami soal. Matematika SD, baik soal tingkat rendah (rutin)
maupun tingkat tinggi (non rutin). Kemampuan berpikir matematis seorang guru pun akan
mempengaruhi cara guru mengajarkan sebuah konsep matematika kepada siswa. Jika
kemampuan matematis guru kurang, maka guru tersebut akan mengajarkan soal rutin setiap ia
mengajar. Soal non rutin ini bukanlah soal yang hanya diberikan dengan mengubah angka dalam
contoh soal, namun lebih kepada soal yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk berpikir
lebih tinggi. Maka seyogyanyalah mahasiswa PGSD harus diberikan latihan berupa soal-soal non
rutin.
Peneliti melakukan observasi di kelas yang dimana peneliti menjadi pengajarnya, dan
peneliti mencoba memberikan soal-soal kepada mahasiswa untuk melihat kemampuan
mahasiswa dalam memecahkan soal-soal matematika. Salah satu materi dalam pelajaran
matematika yang memerlukan kemampuan pemahaman matematis tingkat tinggi ialah geometri,
yang dikhususkan pada luas dan volume bangun ruang. Kemampuan mahasiswa dalam
memecahkan permasalahan soal matematika harus dapat memahami konsep serta
penginterpretasian antar konsep akan menentukan apakah mahasiswa tersebut sudah baik ataukah
belum dalam memahami soal pemecahan matematika yang diberikan oleh dosen.
Kesumawati (Chotimah, 2014) menyatakan kemampuan pemecahan masalah matematis
adalah kemampuan megidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, ditanyakan, dan kecukupan
unsur yang diperlukan, mampu membuat atau menyusun model matematika, dapat memilih dan
mengembangkan strategi pemecahan, mampu menjelaskan dan memeriksa kebenaran jawaban
yang diperoleh.
Setelah beberapa kali melakukan pengamatan, peneliti menemukan mahasiswa masih
kesulitan dalam mengerjakan soal-soal latihan yang terlihat dari ketidakmampuan dalam
menafsirkan maksud soal. Hal ini juga didukung oleh ketidaksiapan mahasiswa dalam menerima
soal-soal pemecahan masalah dikarenakan setelah sekian lama berada di jenjang pendidikan
sebelum perguruan tinggi tidak pernah dilatih dalam mengerjakan soal-soal dalam memecahkan
masalah matematika dan Konsep-konsep matematika pada umumnya kurang dikuasai mahasiswa
dengan baik, mahasiswa belum mampu memadukan beberapa konsep yang telah dikuasai untuk
memahami konsep baru yang berkaitan dengan konsep yang telah dipelajari sebelumnya.
Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti mencoba mengetahui sejauh mana
kemampuan pemecahan masalah matematis dengan memberikan soal-soal pada materi luas dan
volume bangun ruang. Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang ingin diteliti ialah
bagaimana kemampuan pemecahan masalah mahasiswa PGSD Universitas PGRI Palembang

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


126
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

terhadap menyelesaikan soal-soal geometri. Fokus penelitian yang ingin dibahas ialah
kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa PGSD Universitas PGRI Palembang
pada materi luas dan volume bangun ruang. Adapun tujuan yang dalam penelitian ini ialah untuk
mendeskripsikan kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa PGSD Universitas
PGRI Palembang.

METODE PENELITIAN
Ditinjau dari kekompleksan aktivitasnya, kemampuan pemecahan masalah matematis
digolongkan menjadi berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi. Perbedaan jenis
kemampuan berpikir ini didasarkan pada jenis soal yang diberikan kepada siswa. Jika soal yang
diberikan berupa soal rutin, sederhana, dan hampir dapat dikerjakan oleh sebagian besar siswa
maka soal ini hanya mengukur kemampuan berpikir tingkat rendah siswa. Namun jika sebaliknya
jika soal yang diberikan bersifat non-rutin, lebih kompleks, dan memerlukan kemampuan
pemecahan masalah matematis lainnya maka soal ini dapat dikatakan mengukur kemampuan
matematis tingkat tinggi.
Menurut Kesumawati (Chotimah, 2014) indikator kemampuan pemecahan masalah
matematis adalah sebagai berikut:
1. Menunjukkan pemahaman masalah, meliputi kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur yang
diketahui, ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan.
2. Mampu membuat atau menyusun model matematika, meliputi kemampuan merumuskan
masalah situasi sehari-hari dalam matematika.
3. Memilih dan mengembangkan strategi pemecahan masalah, meliputi kemampuan
memunculkan berbagai kemungkinan atau alternatif cara penyelesaian rumus-rumus atau
pengetahuan mana yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah tersebut.
4. Mampu menjelaskan dan memeriksa kebenaran jawaban yang diperoleh, meliputi
kemampuan mengidentifikasi kesalahan-kesalahan perhitungan, kesalahan penggunaan
rumus, memeriksa kecocokan antara yang telah ditemukan dengan apa yang ditanyakan, dan
dapat menjelaskan kebenaran jawaban tersebut
Geometri merupakan bagian dari matematika yang menjelaskan tentang benda dua dan tiga
dimensi. Seseorang belajar bentuk-bentuk geometri berdasarkan teori Piaget. Mereka melihat
melalui sudut pandang secara subjektif. Pada konsep geometri oleh Van Hiele, terdapat 5 tahapan,
yakni tahap pra-pengenalan, visualisasi, deskripsi/analisis, abstrak/relasional, deduksi formal,
dan kaku/metamatematis. Dari tahapan tersebut, sesuai dengan usianya, maka tahapan
pra-pengenalan diajarkan ketika usia awal (TK), kemudian kemampuan anak akan naik setingkat

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


127
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

ke tahapan visual, dan ketika dewasa, mereka akan berada di tahapan relasional, deduksi formal
hingga matematis.
Menurut Polya (Mawaddah, 2015: 167) terdapat empat aspek kemampuan memecahkan masalah
sebagai berikut:
1. Memahami masalah
Pada aspek memahami masalah melibatkan pendalaman situasi masalah, melakukan
pemilahan fakta-fakta, menentukan hubungan diantara fakta-fakta dan membuat formulasi
pertanyaan masalah. Setiap masalah yang tertulis, bahkan yang paling mudah sekalipun harus
dibaca berulang kali dan informasi yang terdapat dalam masalah dipelajari dengan seksama.
2. Membuat rencana pemecahan masalah
Rencana solusi dibangun dengan mempertimbangkan struktur masalah dan pertanyaan yang
harus dijawab. Dalam proses pembelajaran pemecahan masalah, siswa dikondisikan untuk
memiliki pengalaman menerapkan berbagai macam strategi pemecahan masalah.
3. Melaksanakan rencana pemecahan masalah
Untuk mencari solusi yang tepat, rencana yang sudah dibuat harus dilaksanakan dengan
hati-hati. Diagram, tabel atau urutan dibangun secara seksama sehingga si pemecah masalah
tidak akan bingung. Jika muncul ketidakkonsistenan ketika melaksanakan rencana, proses
harus ditelaah ulang untuk mencari sumber kesulitan masalah.
4. Melihat (mengecek) kembali
Selama melakukan pengecekan, solusi masalah harus dipertimbangkan. Solusi harus tetap
cocok terhadap akar masalah meskipun kelihatan tidak beralasan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang
hasilnya akan didapatkan sebuah gambaran bagaimana kemampuan pemahaman matematis siswa
dalam materi luas dan volume bangun geometri. Sebagai subjek penelitian, diambil mahasiswa
Program Studi PGSD Universitas PGRI Palembang semester 1A Tahun Akademik 2017/2018
dengan jumlah siswa sebanyak 40 orang, terdiri dari 8 mahasiswa laki-laki dan 32 mahasiswa
perempuan. Lokasi penelitian di Universitas PGRI Palembang yang bertempat di Jalan Jend. A.
Yani lorong Gotong Royong 9/10 Ulu, Plaju, Kota Palembang. Namun dalam penelitian ini hanya
diambil 20 orang.
Instrumen yang digunakan oleh peneliti dalam mengukur kemampuan pemahaman
matematis mahasiswa ialah instrumen tes dengan menggunakan tertulis dalam bentuk tes essay.
Selain instrument tes, peneliti juga menggunakan instrument penunjang pengumpulan data
lainnya, yakni lembar wawancara yang digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai
kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa dan dokumentasi berupa tulisan hasil tes
kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa. Obyek wawancara berjumlah empat

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


128
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

orang, yakni 1 orang mahasiswa yang memiliki kemampuan pemahaman matematis rendah, 2
orang mahasiswa yang memiliki kemampuan pemahaman matematis sedang, dan 1 orang
mahasiswa yang memiliki kemampuan pemahaman matematis tinggi. Soal yang diberikan dalam
penelitian ini adalah berupa soal essay. Sebelum diberikan kepada siswa, dilakukan dulu uji
validitas dan reliabilitas. Selanjutnya soal kemampuan pemahaman matematis diuji tingkat
validitas dan reliabilitasnya. Selanjutnya soal kemampuan pemahaman matematis diuji tingkat
validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas menggunakan Korelasi Pearson dalam Ms. Excel 2010,
sedangkan uji reliabilitas menggunakan Cronbach Alpha. Hasilnya tersaji dalam tabel berikut.
Tabel 2 Hasil Uji Validitas Soal Kemampuan Pemahaman Matematis
Nomor Koefisien Korelasi
rtabel Keterangan
Butir Soal (rhitung)
1 0,469 Valid
2 0,345 Tidak Valid
3 0,484 Valid
4 0,490 0,468 Valid
5 0,246 Tidak Valid
6 0,483 Valid
7 0,330 Tidak Valid
8 0,491 Valid

Dari hasil uji validitas didapatkan hasil bahwa kelima soal yang diberikan dinyatakan
valid karena nilai r hitung lima dari delapan soal tersebut lebih besar dibanding dengan nilai r
tabel (taraf nyata 0,05 dan n = 20). Lalu dihitung juga reliabilitas soal yang telah valid di atas dan
didapatkan hasil bahwa r11 = 0,4170 hal ini dapat dinyatakan bahwa soal mempunyai tingkat
reliabilitas yang sedang sesuai dengan patokan nilai reliabilitas Guilfrod berikut.
r < 0,20 Tingkat reliabilitas sangat rendah
0,20 ≤ r < 0,40 Tingkat reliabilitas rendah
0,40 ≤ r < 0,70 Tingkat reliabilitas sedang
0,70 ≤ r < 0,90 Tingkat reliabilitas tinggi
0,90 ≤ r < 1,00 Tingkat reliabilitas sangat tinggi
Dengan demikian soal yang akan digunakan dalam penelitian ini berjumlah 5 soal. Pada
teknik analisis dan pengolahan data digunakan model yang dirancang oleh Miles dan Huberman
(dalam Sugiyono, 2008:91) yakni analisis dan pengumpulan data kualitatif memperlihatkan sifat
interaktif, seperti sebuah sistem dan menunjukkan suatu siklus. Pengumpulan data ditempatkan
sebagai bagian dari kegiatan analisis data.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


129
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Tahap Reduksi Data
Selanjutnya mahasiswa akan dibagi menjadi 3 kategori kemampuan, yaitu kategori tinggi,
sedang, dan rendah. Pembagian mahasiswa tersebut didasarkan dengan nilai yang diperoleh dari
hasil uji pemahaman matematis. Adapun kriteria dalam pengelompokkannya ialah sebagai
berikut:
Tabel 3: Kriteria Pengelompokkan Kemampuan Mahasiswa
Kelompok
Kriteria
Kemampuan
Tinggi Nilai matematika ≥ + 1 SD
Sedang Nilai matematika diantara – 1 SD
dan + 1 SD
Rendah Nilai matematika ≤ - 1 SD
(Sudijono, 2009: 176)
Kemudian dikelompokkan mahasiswa PGSD menjadi 3 kelompok yang bisa dilihat pada tabel 2
berikut:
Tabel 4 Pengelompokkan Mahasiswa berdasarkan Kemampuan

Kelompok
No Nama Skor Total Keterangan
Kemampuan
1 RWL 31,7 SEDANG
2 MDS 47 TINGGI Tinggi = Jika
3 IT 38 SEDANG skor ≥ 43,91
4 SRN 38,5 SEDANG
5 IS 47,1 TINGGI Sedang = Jika
6 RN 33,7 SEDANG Skor berada
7 H 36,8 SEDANG diantara 43,91
8 YI 49 TINGGI dan 27,08
9 ZN 48,7 TINGGI
10 ID 36,34 SEDANG Rendah = Jika
11 VA 31,24 SEDANG skor ≤ 27,08
12 PL 30,52 SEDANG Skor Maks = 68
13 A 49,5 TINGGI
14 YTA 33,21 SEDANG
15 MS 20,7 RENDAH
16 RR 37,9 SEDANG
17 MNK 20,8 RENDAH
18 NS 42,3 SEDANG
19 ND 41,2 SEDANG
20 Z 35,7 SEDANG

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


130
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

2. Tahap Display Data


Dalam tahap display data, diambil sampel 5 mahasiswa yang masing-masing terdiri dari 1
mahasiswa dengan kemampuan pemecahan masalah matematis kategori tinggi (DS), 2
mahasiswa dengan kemampuan pemecahan masalah matematis dengan sedang (HL dan FTT),
dan 1 mahasiswa dengan kemampuan pemecahan masalah matematis rendah (AD). Hasil yang
didapatkan ialah pada soal nomor 1, 3, 4, 6 dan 8 mahasiswa sudah bisa menafsirkan dan
memahami maksud soal serta mengetahui konsep serta syarat apa saja yang mesti dicari dan
rumus apa yang mesti dipakai walau ada mahasiswa yang salah dalam menyelesaikan soal dengan
tepat. Namun pada soal nomor 7, tidak ada satupun mahasiswa yang mampu dalam menjawab
soal tersebut dikarenakan tidak paham akan maksud soal. Namun setelah diwawancarai dan
diberikan sedikit scaffolding, mahasiswa akhirnya bisa menjawab soal-soal yang diberikan

3. Tahap Verifikasi dan Kesimpulan Data


Dalam pengisian jawaban soal secara tertulis, terlihat bahwa mahasiswa PGSD masih
mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi konsep dan syarat yang diperlukan untuk
menyelesaikan soal yang diberikan. Hal ini nampak pada jawaban mahasiswa yang tidak lengkap
dan bahkan soal nomor 4 sama sekali tidak ada yang mengerjakan dikarenakan mahasiswa masih
bingung dalam memahami maksud soal. Namun ketika diwawancarai, peneliti mencoba
menyelidiki maksud dari jawaban yang ditulis oleh mahasiswa. Mereka mempunyai penafsiran
maisng-masing yang berbeda dalam mengungkapkan
maksud soal. Peneliti kemudian mencoba untuk memberikan sentuhan scaffolding kepada
mahasiswa sehingga akhirnya mahasiswa pun mengerti dengan maksud soal dan bisa
mengerjakannya. Hal ini membuktikan bahwa masih banyak mahasiswa yang perlu untuk dilatih
dengan soal-soal non rutin yang akan meningkatkan kemampuan pemahaman matematis mereka.
Berdasarkan hasil analisis kemampuan pemahaman pemecahan masalah matematis
mahasiswa semester 1A PGSD Universitas PGRI Palembang terlihat bahwa pada soal nomor 1,
mahasiswa PGSD mendapatkan skor rata-rata yang didapat oleh 20 mahasiswa ialah 6,5 (skor
maksimal = 17) dengan standar deviasi 6,5. Diantara 20 mahasiswa, ada 9 mahasiswa yang tidak
mengisi soal nomor 1. Analisis yang didapatkan bahwa pada soal nomor 1 ini, mahasiswa masih
kesulitan dalam merepresentasikan dari konsep luas ke volume bangun ruang. Dan
dalam jawaban mahasiswa dengan kategori kemampuan tinggi tertulis volume bangun kubus = 6
x s x s = 6 x 8 x 8 = 384 cm3 . Ini merupakan konsep pemecahan masalah yang keliru dimana
rumus volume bangun ruang adalah S x S x S dengan jawaban 8 x 8 x 8 = 512 cm3.
Disamping itu, mahasiswa tidak ada satupun yang membuat model/gambar sebagai
petunjuk dalam penyelesaian soal. Hal ini cukup menyulitkan mereka mengingat geometri

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


131
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

memerlukan visualisasi dalam penyelesaiannya. Melihat dari besarnya nilai standar deviasi, maka
dapat disimpulkan bahwa terdapat rentang skor yang terlalu jauh antara skor terendah dan skor
tertinggi. Pada soal nomor 1, terlihat bahwa mahasiswa sudah memahami maksud soal, hal ini
ditunjukkan dengan skor rata-rata 12,58 (skor maksimal = 17) dan standar deviasi 3,3. Ini
menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman matematis mahasiswa pada soal nomor 1 sudah
baik. Hanya 1 orang mahasiswa yang menganggap bahwa jika luas balok sama dengan 2x (p x l) +
2 x (l x t) + 2 x (p x t) dan volume balok p x l x t. Mahasiswa tidak ada satupun yang membuat
model/gambar sebagai petunjuk dalam penyelesaian soal.
Hal ini cukup menyulitkan mereka mengingat geometri memerlukan visualisasi dalam
penyelesaiannya. Melihat dari kecilnya nilai standar deviasi, maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat rentang skor yang tidak jauh (dekat) antara skor terendah dan skor tertinggi. Pada soal
nomor 3, terlihat bahwa mahasiswa sudah memahami maksud soal, hal ini ditunjukkan dengan
skor rata-rata 15,5 (skor maksimal = 17) dan standar deviasi 1,2. Hal ini terlihat dari jawaban
mahasiswa bahwa mereka telah mampu menyelesaikan soal dengan baik sehingga dapat
diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa dalam menjawab soal
nomor 3 sudah baik. Hanya ada 1 orang mahasiswa yang tidak menyelesaikan jawaban dengan
sempurna. Mahasiswa tidak ada satupun yang membuat model/gambar sebagai petunjuk dalam
penyelesaian soal. Hal ini cukup menyulitkan mereka mengingat geometri memerlukan
visualisasi dalam penyelesaiannya.
Melihat dari kecilnya nilai standar deviasi, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
rentang skor yang tidak jauh (dekat) antara skor terendah dan skor tertinggi. Pada soal nomor 7,
terlihat bahwa mahasiswa kesulitan dalam memahami dan menginterpretasikan soal. Hal ini
dilihat dari skor rata-rata yang didapatkan oleh siswa yakni 2,67 (skor maksimal = 17) dan standar
deviasi 1,98. Hanya 6 orang mahasiswa yang mencoba menuliskan konsep-konsep yang diketahui
dari soal, namun tidak membuat penyelesaiannya.. Pada soal nomor 5, terlihat bahwa mahasiswa
sudah bisa merinci data-data dari soal, namun terkecoh pada penyelesaiannya. Hal ini dilihat dari
skor rata-rata yang didapatkan oleh siswa yakni sebesar 14,5 (skor maksimal = 17) dan standar
deviasi 3,5.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kemampuan matematis mahasiswa semester 1A program studi PGSD Universitas PGRI
palembang termasuk ke dalam kategori baik
2. Terdapat 25% semester 1 program studi PGSD Universitas PGRI palembang yang memiliki
kemampuan pemahaman matematis dengan kategori tinggi
3. Terdapat 65 % semester 1 program studi PGSD Universitas PGRI palembang yang memiliki
kemampuan pemahaman matematis dengan kategori sedang

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


132
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

4. Terdapat 10 % semester 1 program studi PGSD Universitas PGRI palembang yang memiliki
kemampuan pemahaman matematis dengan kategori rendah
5. Kemampuan pemecahan masalah matematis mahasiswa PGSD dirasakan masih perlu untuk
ditingkatkan mengingat mahasiswa tersebut merupakan calon guru SD di masa datang.

DAFTAR PUSTAKA
Chotimah, N.H. 2014. Pengaruh Model Pembelajaran Generatif (MPG) Terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematis Siswa di Kelas X pada SMA Negeri 8
Palembang.Skripsi.Universitas PGRI Palembang.
Mawaddah, S., Hana A. 2015. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Pada
Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Model Pembelajaran Generatif
(Generative Lerning) di SMP. EDU-MAT Jurnal Pendidikan Matematika. Vol. 3 No. 2
hlmn (166-175).
Sudijono, Anas. (2009). Pengantar Statistika Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Sugiyono. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Yunus, M.dkk. 2013. Pembelajaran TSTS Berbasis Kontruktivisme Berbantuan CD
Pembelajaran untuk Menumbuhkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa. Unnes
Journal of Mathematics Education Research. UJMER 2 (1).

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


133
PROSIDING

MP-19
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS CERITA MELALUI PENGGUNAAN
MEDIA GAMBAR SERI PADA PESERTA DIDIK KELAS V
SDI ENDE 16 KECAMATAN ENDE TENGAH KABUPATEN ENDE
1
Aurora Sarmento, 2Virgilius Bate Lina
1 SDI Ende 16 1, 2 FKIP Universitas Flores, ,
1sarmento@gmail.com , 2usbate@gmail.com

Abstrak

Rendahnya minat belajar peserta didik oleh karena kurangnya kemampuan peserta didik dalam
menulis sebuah cerita atau karangan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat menyebabkan
merosot atau menurunnya prestasi belajar peserta didik, ini bisa terjadi karena kurang tepatnya
media yang guru gunakan, Guru cenderung lebih otoriter yang menyebabkan peserta didik terlihat
pasif dan merasa jenuh dengan pembelajaran tersebut. Agar pembelajaran tersebut bisa tercapai
maka guru mata pelajaran Bahasa Indonesia harus menggunaan media yang tepat, oleh karena itu
peneliti menerapkan Media Gambar Seri yang mana bisa meningkatkan daya imajinasi peserta
didik untuk belajar menulis atau membuat cerita melalui gambar yang ada.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas, sedangkan
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian ini yang menjadi
populasi adalah semua peserta didik kelas V SDI Ende 16 dengan sampel penelitian sebanyak 30
peserta didik.
Penggunaan media gambar seri dengan materi menulis karangan,maka dikembangkan perangkat
pembelajaran RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), LKS (Lembar Kerja Siswa). Dan untuk
mengetahui keefektifan pengembangan perangkat pembelajaran digunakanlah lembar validasi
perangkat pembelajaran dan lembar observasi. Dari data yang diperoleh nilai rata-rata kelas 55,7
pada siklus I mengalami peningkatan menjadi 87,1 pada siklus II. Selain itu hasil tes yang
diperoleh peserta didik memuaskan.

Kata kunci: Media Gambar Seri, Kemampuan Menulis Cerita

PENDAHULUAN

Dalam situasi yang selalu berubah, idealnya pendidikan tidak hanya berorientasi pada masa
kini, tetapi juga merupakan proses mengantisipasi dan membicarakan masa depan. Pendidikan
hendaknya melihat jauh ke depan dan memikirkan apa yang akan dihadapi peserta didik di masa
yang akan datang. Menurut Buchori (dalam Khabibah, 2006:1), menyatakan bahwa pendidikan
yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan peserta didiknya untuk suatu
profesi atau jabatan, tetapi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi peserta didik
dalam pembelajaran setiap hari. Ada beberapa jenjang pendidikan yang harus ditempuh, salah
satunya adalah Sekolah Dasar (SD) yang secara sistematik merupakan bagian dari jenjang
pendidikan dasar.
Dilihat dari kedudukan dan perannya, SD merupakan pendidikan formal yang paling awal
dan strategis karena merupakan pendidikan awal yang merupakan dasar untuk pendidikan

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema Inovasi Pembelajaran
menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di Program Studi PGSD
Universitas Flores Ende.
.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

berikutnya, yakni SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Mulai dari Sekolah Dasar (SD) inilah
proses pencerdasan secara formal dimulai. Salah satu aspek penting dalam pembelajaran adalah
peran guru. Tujuan pendidikan tidak akan tercapai jika guru kurang mendapat perhatian, karena
guru adalah kunci dalam melaksanakan pembelajaran. Pembelajaran dilaksanakan secara baik
jika guru memiliki kompetensi dan komitmen untuk meningkatkan sumber daya generasi penerus
bangsa secara bertanggung jawab. Selain guru, peserta didik dituntut pula untuk memiliki
kompetensi yang baik pula. Apabila peserta didik kita sudah memiliki kompetensi yang baik
maka pengelolaan di dalam kelas akan baik pula. Pengelolaan pembelajaran yang baik meliputi
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran. Dalam perencanaan, guru akan
menentukan metode sebagai cara yang digunakan dalam pembelajaran. Pemilihan metode
pembelajaran perlu diperhatikan isi materi pembelajaran serta kondisi belajar peserta didik
sehingga peserta didik lebih mudah memahami. Sehingga dapat menimbulkan tanggapan positif
serta pembelajarannya lebih variatif, inovatif, dan konstrukitf.
Pada dasarnya hakikatnya pembelajaran bahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena
itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi
baik secara lisan maupun tertulis (Depdiknas, 2003: 5). Dalam hal menulis, menulis menjadi
salah satu keterampilan berbahasa yang harus mendapat perhatian utama dalam mempelajari
bahasa di sekolah, sesuai pengalaman yang ada keterampilan menulis cenderung belum di pahami
betul oleh siswa itu sendri, maka dari itu hendaklah seorang guru harus pintar mengambil media
atau metode yang tepat dalam menanganinya.
Peneliti merasa ini penting, maka makalah ini dibuat diberdasarkan apa yang penulis amati
di sekolah dasar. Pada kenyataan yang penulis amati para guru sering menggunakan media yang
sering membuat siswa jenuh dan bosan dalam menerima pelajaran yang sedang berlangsung,
tanpa diselingi dengan permainan ataupun suatu hal yang membuat siswa tertarik untuk aktif
dalam kegiatan pembelajaran yang sedang diajarknan. Rendahnya keaktifan para siswa
menyebabkan merosotnya hasil belajar siswa-siswi tersebut. Guru terlalu cenderung otoriter yang
artinya tidak membiarkan siswa untuk belajar dengan sesuatu yang baru. Sesuai yang diamati
pembelajaran bahasa Indonesialah yang sering mendapat banyak kesulitan, Peran aktif siswa
pada saat pembelajaran teramatlah penting, seperti siswa menentukan atau menemukan sendiri
sesuatu yang berguna, dari pada siswa hanya dibiarkan diam terpaku mendengarkan guru.
Tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan jawaban terhadap
permasalahan yang telah dirumuskan. Jadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui penggunaan media gambar pada mata pelajaran Bahasa Indonesia
materi menulis cerita di SDI Ende 16 Kecamatan Tengah Kabupaten Ende.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


135
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

2. Untuk mengetahui penggunaan media gambar seri dalam Peningkatkan Kemampuan


Menulis Cerita Peserta Didik Kelas V SDI Ende 16 Kecamatan Tengah Kabupaten
Ende.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Peserta Didik
Sebagai wawasan bagi peserta didik, sehingga peserta didik dapat lebih aktif dalam
proses pembelajaran Bahasa Indonesia sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar.
2. Bagi Guru
Diharapkan dalam kegiatan belajar mengajar hendaknya menggunakan metode dan
media yang tepat, yang sesuai dengan karakteristik peserta didik dan materi
pembelajaran.
3. Bagi Sekolah
Sebagai bahan informasi dan masukan bagi sekolah sebagi lembaga pendidikan formal
dan resmi dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian dibutuhkan sebuah metode untuk mempermudah peneliti dalam
mengadakan sebuah penelitian.Dengan penelitian yang benar, maka hasil penelitian dapat
dipertanggung jawabkan. Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan
metode penelitian.
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian merupakan kerangka data di dalam suatu penelitian. Kejelasan
rancangan dapat mempengaruhi validitas data dan tingkat kepercayaan hasil penelitian. Dalam
rancangan penelitian, seharusnya tampak bagaimana data atau informasi dilakukan atau
dikumpulkan, strategis yang digunakan dalam proses pembelajaran berupa Rancangan Penelitian
Tindakan Kelas (PTK).
Rancangan tindakan kelas adalah suatu bentuk rancangan yang dilaksanakan oleh guru untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu mengelola
kegiatan belajar mengajar.Tujuan Penelitian Tindakan Kelas secara umum adalah untuk
memperbaiki pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Peneliti menggunakan rancangan Penelitian
Tindakan Kelas karena bertujuan untuk meningkatkan/menekankan pada suatu keahlian dalam
bidang pendidikan sesuai dengan bidang profesi sebagai tenaga pendidik. Hal ini merupakan
persyaratan profesi mengingat tugas dan tanggung jawab guru begitu kompleks. Siklus aktivitas
dalam penelitian tindakan diawali dengan:
1. Perencanaan (planning)
2. Penerapan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


136
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

3. Tindakan (action)
4. Mengobservasi dan mengevaluasi proses dan hasil tindakan (observation and
evaluation)
5. Melakukan refleksi (reflection)
Data yang akan dianalisis adalah data yang dikumpulkan baik pada saat pra-tindakan, selama
tindakan maupun sesudah tindakan pembelajaran dilaksanakan. Analisis data terhadap hasil
penelitian dijelaskan sebagai berikut:
Analisis data hasil observasi aktivitas peserta didik dilakukan deskriptif menggunakan
teknik presentase dengan analisis tingkat keaktifan peserta didik dalam proses belajar mengajar
dengan menggunakan rumus :

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dalam meningkatkan keterampilan menulis peserta
didik dengan menggunakan media gambar seri yang dilakukan guru pada siklus I dan II adalah
memberikan beberapa pertanyaan untuk memotivasi peserta didik dalam mengikuti kegiatan
belajar mengajar, menyampaikan standar kompetensi, kompetensi dasar dan tujuan yang akan
dicapai.
Selain itu guru menjelaskan bagaimana menulis sesuatu berdasarkan gambar yang ada.
Kemudian peserta didik diberikan latihan dengan menggunakan media gambar seri yang ada.
Peserta didik saling bekerja sama dengan teman sebangku. Guru mengoreksi pekerjaan peserta
didik kemudian memberikan penjelasan kembali kepada aspek-aspek penilaian yang kurang.
Pada akhir pembelajaran, guru pun memberikan tes kepada peserta didik. Guru memberikan
kembali gambar seri yang lain dan peserta didik secara individu mengerjakan tes tersebut. Dalam
penelitian ini pelaksanaan siklus tindakan dibatasi sampai siklus kedua. Hal ini didasarkan atas
pemerolehan hasil belajar peserta didik yang sudah relatif baik. Berdasarkan dari data-data yang
dianalisis di atas, maka terlihat hasil yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti pelajaran
mengalami peningkatan hasil belajar.
Pendapat Purwanto dan Alim (1997 : 63 ) mengatakan bahwa “penggunaan media gambar
untuk melatih anak menemukan pokok pikiran yang akan menjadi karangan-karangan“
sedangkan Tarigan ( 1997 : 210 ) mengemukakan bahwa mengarang melalui media gambar seri
berarti melatih dan mempertajam daya imajinasi siswa.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


137
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Melalui dua siklus tindakan yaitu siklus pertama dan siklus kedua keterlibatan peserta didik
dalam proses pembelajaran baik secara klasikal maupun individual terus mengalami peningkatan.
Ini berdasarkan hasil pengamatan secara langsung oleh peneliti bekerjasama dengan guru kelas,
maka untuk itu penilaian setiap siklus dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut ini:
Table 1 Hasil Observasi Peserta Didik
Tindakan
Nilai yang diperoleh Siklus I Siklus II
76,7 98,2

Data di atas menunjukkan adanya peningkatan sebesar 21,5 poin pada aktivitas peserta didik
dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Selain itu tes yang diberikan guru dan dikerjakan
oleh peserta didik mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Nilai rata-rata yang diperoleh
selalu meningkat dari siklus I dan siklus II. Peningkatan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
Table 2 Hasil Observasi Peserta Didik
Tindakan Nilai Peningkatan
Rata-rata
Kondisi Awal 24
31,7
Siklus I 55,7

31,4
Siklus II 87,1

Berdasarkan tabel rata-rata dari tes peserta didik mengalami peningkatan. Dari kondisi awal
ke siklus I mengalami peningkatan rata-rata sebesar 31,7 poin. Sedangkan pada siklus I ke siklus
II mengalami peningkatan sebesar 31,4 poin. Selain itu jumlah peserta didik yang mencapai KKm
pun dari tiap siklus mengalami peningkatan. Sampai pada siklus II, semua peserta didik mencapai
KKM. Agar lebih jelas melihat peningkatan jumlah peserta didik yang mencapai KKM dari
kondisi awal, siklus I dan siklus II dapat dilihat pada grafik berikut ini :

Berdasarkan grafik di atas kita bisa melihat bahwa peningkatan yang ada sangat memuaskan.
Dari 3 orang pada kondisi awal yang mencapai KKM naik menjadi 11 orang pada siklus II.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


138
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Kemudian pada siklus II semua peserta didik mencapai KKM dan memperoleh hasil yang
memuaskan.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil Penelitian Tindakan Kelas yang telah dilakukan di SDI Ende 16 bahwa
dengan menggunakan media gambar seri dapat meningkatkan keterampilan menulis cerita. Guru
telah melaksanakan tugasnya dan tanggung jawabnya sebagai pendidik dalam meningkatkan
keterampilan menulis cerita dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
sehingga hasil tes menunjukkan adanya peningkatan yang cukup berarti.
Dari rata-rata 55,7 pada siklus I mengalami peningkatan menjadi 87,1 pada siklus II. Selain itu
hasil tes yang diperoleh peserta didik memuaskan.
Dari Pembahasan di atas dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut:
1. Guru sering memberikan tugas dan membimbing peserta didik dalam menulis cerita
2. Mengoreksi hasil pekerjaan peserta didik dalam menulis karangan mengenai kesesuaian
judul dengan isi, pilihan kata, kalimat dan bahasa
3. Peserta didik lebih memperhatikan apa yang diajarkan guru

DAFTAR PUSTAKA
Akhdiah.1992. Teori Belajar dan Pembelajaran Di Sekolah Dasar . Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.
Akhdiah.1992.. Teori Belajar dan Pembelajaran Di Sekolah Dasar . Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.
Buchiri, 2006. Inovasi Model Pembelajaran. Yogyakarta: Bina Pustaka.
Depdiknas.2003. Teori Belajar dan Pembelajaran Di Sekolah Dasar . Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.
Kusmayadi, Ismail, dan Pamungkas, Nandang . R, 2006. Terampil Berbahasa Indonesia.
Bandung : Grafindo Media Permata.
Nana Sudjana, 1991. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Purwanto dan Alim, 1997. Studi Deskriptif Media dan Gambar. Jakarta : Balai Pustaka
Sudarsono, 1996. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Remaja Rosda Karya.
Sukidi. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Remaja Rosda Karya.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


139
PROSIDING

MP-20
PENERAPAN PENDEKATAN ILMIAH DALAM KURIKULUM 2013

Elias Beda
Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas Flores

Abstrak
Bangsa Indonesia sedang berupaya memperbaiki kualitas pendidikan, baik pada
jenjang pendidikan dasar maupun pendidikan menengah. Oleh karena itu salah satu upaya
strategis yang dilakukan adalah mengubah kurikulum pendidikan dari kurikulum satuan
penddikan (KTSP) menjadi kurikulum milenum atau kurikulum 2013. Makalah ini merupakan
kajian pustaka tentang Pendekatan Ilmiah dalam Kurikulum 2013 guna mengadakan
penelitian dengan judul Penerapan Pendekatan Ilmiah Dalam Kurikulum 2013 Mata Pelajaran
Akuntansi Pada Siswa Kelas XI SMA Di Kota Ende.

Kata Kunci: Pendekatan Ilmiah, Kurikulum 2013

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia sedang berupaya memperbaiki kualitas pendidikan, baik pada


jenjang pendidikan dasar maupun pendidikan menengah. Oleh karena itu salah satu upaya
strategis yang dilakukan adalah mengubah kurikulum pendidikan dari kurikulum satuan
penddikan (KTSP) menjadi kurikulum milenum atau kurikulum 2013.
Permasalahan dasar yang mewarnai pendidikan di Indonesia saat adalah rendahnya
kualitas mutu lulusan. Rendahnya kompetetensi lulusan dalam memasuki dunia kerja inilah
yang menjadi alasan mendasar perlu reformasi pendidikan secara total. Oleh karena itu
perhatian serius pemerintah akan pentingnya kualitas pendidikan terus menjadi bahan
evaluasi.
Kualitas mutu lulusan ini sesungguhnya dipengaruhi oleh kualitas pembelajaran
para guru. Guru sebagai fasilitator pembelajaran dinilai belum mampu membentuk
kompetensi peserta didik. Hal ini dipengaruhi oleh prilaku mengajar guru yang dominan
menggunakan metode ceramah, kurang menggunakan media, sehingga tidak melibatkan
peserta didik dalam pembelajaran.
Arah dan kebijakan kurikulum sangat jelas; ditegaskan bahwa pembelajaran yang
baik adalah berpusat pada siswa. Dalam konteks ini jelas bahwa, guru harus memilih strategi
pembelajaran yang terfokus pada aspek keaktifan siswa. Siswa perlu dibiasakan untuk
mengalami sendiri apa yang seharusnya akan dipelajari. Konsep ini menempatkan guru
sebagai fasilitator yang bertugas membantu siswa dalam belajar. Pandangan ini sebenarnya
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

secara teoritis dipahami oleh guru, akan tetapi dalam pelaksanaan pembelajaran kurang
diperhatikan, sehingga menimbulkan kesenjangan yang berujung pada rendahnya kualitas
lulusan.
Kondisi empirik pada satuan pendidikan menunjukan bahwa pembelajaran masih
dilaksanakan dengan metode ceramah, tanya jawab dan metode lain. Disadari bahwa setiap
metode pembelajaran memiliki keunggulan dan kelemahan. Akan tetapi yang perlu dipahami
oleh guru adalah esensi dasar pembelajaran pada kurikulum 2013 adalah pendekatan ilmiah.
Pendekatan ilmiah adalah pendekatan dengan prosedural pembelajaran yang dimulai dari; (1)
observing (mengamati). Pada konteks ini siswa mengamati obyek yang akan dipelajari.
Kegiatan belajarnya adalah membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan
alat). (2) questioning (menanya). Kegiatan belajarnya adalah mengajukan pertanyaan tentang
informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan
informasi tambahan tentang apa yang diamati. (3) associating (menalar/mengolah informasi).
Dalam konteks ini semua informasi yang sudah dikumpulkan baik dari hasil mengamai,
membaca, atau percobaan dinarasikan. (4) experimenting (mencoba). Pada tahap ini siswa
dapat melakukan eksperimen, membaca referensi lain selain buku teks, dan atau mengamati
objek atau peristiwa, melakukan, wawancara dengan nara sumber. (5) Networking
(membentuk jejaring). Pada tahap ini siswa membacakan laporan hasil temuannya pada
kempok lain untuk ditanggapi.
Ada dua hal yang muncul sebagai permasalahan dalam riset ini ialah (1) kemampuan
guru dalam mendesain pembelajaran dengan pendekatan ilmiah, (2) kemampuan guru dalam
melaksanakan pembelajaran berbasis ilmiah. Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan.
Jika guru tidak mampu maka pendidikan tidak akan berhasil. Kebanyakan guru tidak
mengubah cara mengajarnya. Sebaliknya jika guru mampu mengaplikasikan pendekatan
ilmiah dalam pembelajaran bagaimana dengan siswa. Seharsnya siwa memilki kesungguhan
dan kreatifitas untuk mencari tahu apa yang dipelajarinya.
Kebanyakan peserta didik saat ini memiliki sikap malas, masa bodoh, tidak memiliki
motivasi belajar yang baik. Dengan kondisi seperti ini apapun metode, atapun pendekatan
ilmiah yang akan dikembangkan pada kurikulum 2013 masih perlu menjadi permasalahan
dalam pembelajaran. Pendekatan ilmiah ini akan berhasil hanya pada sekolah dan kelas-kelas
yang didominasi oleh siswa pandai.
Berdasarkan hasil penelitian Sutarto dalam Jurnal Cakrawala Pendidika Printed
ISSN 0216-1370 ONLINE SSN24428620 menyimpulkan bahwa pendidikan pengembangan
sikap saat ini belum menghasilkan karaktar bangsa yang diharapkan. Hasil temuan penelitian
menunjukan bahwa kemampuan guru dalam menyusun rencana dan melaksanakan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


141
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pembelajaran pendekatan saintifik belum memadai. Dampak pengiring pembelajaran saintifik


secara kuantitatif mampu mengembangkan sikap spiritual dan sikap social dengan tingkat
pencapaian masing-masing sebesar 88% dan 92%. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa,
walaupun kompetensi sikap secara spesifik tidak dirumuskan dalam dalam tujuan
instruksional, namun perlu dideskripsi target capaiannya dalan setiap tahapan pembelajaran
saintifik.
Hasil penelitian lain yang dilakukan Rosdalina dalam jurnal pendidikan LPPM
Universitas Pendidikan Issn 1412565X dengan judul “Peningkatan Kinerja Siswa Melalui
pendekatan Saintifik Pada Pembelajaran IPA Terpadu model Webbed” menyimpulkan bahwa
kinerja siswa melalui pendekatan saintifik dalam pembelajaran IPA terpadu model webbed
yang dilakukan di salah satu SMP Negeri di Kota Bandung dengan sampel 25 orang siswa
yang dipilih secara cluster random sampling. Temuan penelitian menunjukan kinerja rata-rata
siswa berturut turut dari pertemuan pertama, kedua dan ketiga adalah 66.52, 75.32 dan 82.68
dianalisis dengan paired t-test memperoleh nilai signifikansi 0,000. Data temuan kinerja siswa
tertinggi adalah mengajukan pertanyaan dan kinerja siswa terendah adalah merencanakan
percobaan. Makalah ini memaparkan kajian tentang pendekatan ilmiah dalam kurikulum
2013”
PEMBAHASAN
1. Kurikulum 2013
a. Pengertian
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 1 butir 19, (dalam Poerwati & Amri, 2013:21) menjelaskan kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum 2013 adalah usaha yang terpadu antara (1) rekonstruksi kompetensi
lulusan, dengan (2) kesesuaian dan kecukupan, keluasan dan kedalaman materi, (3) revolusi
pembelajaran dan (4) reformasi penilaian, (Aninomous, 2013:30)
Kurikulum 2013 dalam penerapannya mengutamakan pemahaman, skill, dan
pendidikan berkarakter siswa untuk lebih memahami materi ajar, dengan prosedural ilmiah,
(pengamatan, bertanya, mencari tahu, menalar, dan membuat laporan atas hasil
temuannya).Tujuan penyusunan kurikulum 2013 adalah mempersiapkan insan Indonesia
untuk memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang produktif, kreatif,
inovatif dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara dan peradaban dunia.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


142
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

b. Prinsip Pengembangan Kurikulum 2013


Prinsip pengembangan kurikulum 2013 sesuai dengan kondisi negara, kebutuhan
masyarakat dan berbagai perkembangan serta perubahan yang sedang berlangsung saat ini.
Prinsp dasar pengembangan kurikulum 2013 adalah berbasis karakter dan kompetensi
dengan memperhatikan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip yang dirumuskan oleh
Balitbang Kemendikbud, 2013, dalam (Mulyasa, 2013:81-82) sebagai berikut:
a. Pengembangan kurikulum dilakukakan mengacu pada standar nasional pendidikan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasinal.
b. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.
c. Mata pelajaran merupakan wahana untuk mewujudkan pencapaikan kompetensi.
d. Standar kompetensi lulusan dijabarkan dari tujuan pendidikan nasional dan
kebutuhan masyarakat, negara serta perkembangan global.
e. Standat isi dijabarkan dari standar kompetensi lulusan.
f. Standar proses dijabarkan dari standar isi.
g. Standar penilaian dijabarkan dari standar kompetensi lulusan, standar isi, dan
standar proses.
h. Standar kompetensi lulusan dijabarkan ke dalam kompetensi inti.
i. Kompetensi inti dijabarkan ke dalam kompetensi dasar yang di kontekstualisasikan
dalam suatu mata pelajaran.
j. Kurikulum satuan pendidikan dibagi menjadi kurikulum tingkat nasional, daerah,
dan satuan pendidikan, (1) Tingkat nasional dikembangkan oleh pemerintah, (2)
Tingkat daerah dikembangkan oleh pemerintah daerah,(3) Tingkat satuan
pendidikan dikembangkan oleh satuan pendidikan.
k. Proses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif, insiratif, menyenangkan,
menantang, memotifasi, peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberi
ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,
minat dan perkembangkan fisik serta psikologis peserta didik.
l. Penilain hasil belajar berbasis proses dan produk.
m. Proses belajar dengan pendekatan ilmiah (scientific approach).

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas maka fokus utama yang akan menjadi perhatian
dalam penelitian ini adalah prinsip pendekatan ilmiah (scientific approach). Alasan
mendasar peneliti memilih pendekatan ilmiah, karena didasari pada sebuah asumsi bahwa
kemampuan guru dalam mengelolah pembelajaran berbasis ilmiah harus dipahami secara

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


143
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

baik. Disamping itu kesadaran dan kesungguhan siswa dalam mengikuti pembelajaran
berbasis pendekatan ilmiah.
c. Prinsip Pembelajaran Dalam Kurikulum 2013

Perumbahan kurikulum dari kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) ke


kurikulum 2013 karena ada perbedaan prinsip dalan pembelajaran. Dari prinsip-prinsip itu
menurut penulis ada tiga (3) prinsip pembelajaran yang menjadi pengetahuan para guru.
Ketiga prinsip itu;
(1) Dari siswa diberitahu menuju siswa mencari tahu; pembelajaran mendorong siswa
menjadi pembelajar aktif, pada awal pembelajaran guru tidak berusaha untuk memberitahu
siswa karena itu materi pembelajaran tidak disajikan dalam bentuk final. Pada awal
pembelajaran guru membangkitkan rasa ingin tahu siswa terhadap suatu fenomena atau fakta
lalu mereka merumuskan ketidaktahuannya dalam bentuk pertanyaan. Jika biasanya
kegiatan pembelajaran dimulai dengan penyampaian informasi dari guru sebagai sumber
belajar, maka dalam pelaksanaan kurikulum 2013 kegiatan inti dimulai dengan siswa
mengamati fenomena atau fakta tertentu. Oleh karena itu guru selalu memulai dengan
menyajikan alat bantu pembelajaran untuk mengembangkan rasa ingin tahu siswa dan
dengan alat bantu itu guru membangkitkan rasa ingin tahu siwa dengan bertanya.
(2) Dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka
sumber; pembelajaran berbasis sistem lingkungan. Dalam kegiatan pembelajaran membuka
peluang kepada siswa sumber belajar seperti informasi dari buku siswa, internet, koran,
majalah, referensi dari perpustakaan yang telah disiapkan. Pada metode proyek pemecahan
masalah, atau inkuiri siswa dapat memanfaatkan sumber belajar di sekitar lingkungan
masyarakat. Tentu dengan pendekatan ini pembelajaran tidak cukup dengan pelaksanaan
tatap muka dalam kelas.
(3) Dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan
pendekatan ilmiah; pergeseran ini membuat guru tidak hanya menggunakan sumber belajar
tertulis sebagai satu-satunya sumber belajar siswa hanya dalam bentuk teks. Hasil belajar
dapat diperluas dalam bentuk teks, desain program, kemampuan berkomunikasi,
kemampuan mempraktikan sesuatu yang dapat dilihat dari lisannya, tulisannya, geraknya
atau karyanya.
Ketiga prinsip pembelajaran ini harus menjadi dasar perubahan kebiasan mengajar
guru pola lama. Salah satu kegagalan perubahan kurikulum baru adalah metode mengajar
guru sulit diubah. Dengan kondisi ini maka implentasi pembelajaran berbasis ilmiah tidak
dapat dilaksanakan secara baik.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


144
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

d. Keunikan Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan kurikulum KBK


dan KTSP. Cita-cita yang akan dicapai dari penerapan kurikulum 2013 adalah output
pendidikan memiliki keunggulan produktif, kreatif, inovatif dan berkarakter. Harapan ini
masih belum dapat dibuktikan, karena hasil dari sebuah produk kurikulum membutuhkan
waktu relatif lama untuk menilainya.
Ada dua keunikan yang menonjol dari kurikulum 2013. Pertama, kreatifitas guru.
Guru menjadi faktor penentu keberhasilan dalam pembelajaran. Dalam kurikulum 2013 guru
harus lebih kreatif. Alasan belum diterapkan kurikulum ini secara serentak karena dinilai
faktor guru tidak kreatif dalam mengelolah pembelajaran berbasis ilmiah. Pendasaran utama
dalam pelaksanaan kurikulum 2013 adalah mengubah pembelajaran klasikal menjadi
pembelajaran berbasis ilmiah. Jika guru belum kreatif dalam pembelajaran berbasis ilmiah
maka harapan untuk menjadikan generasi milenium masih akan menjadi kesenjangan.
Kedua, atifitas belajar siswa. Siswa memiliki sejumlah potensi untuk dikembangkan.
Potensi itu tidak dapat dikembangkan secara optimal ketika guru tidak mampu
memberdayakan aktifitas siswa dalam belajar. Membudayakan disiplin belajar siswa
merupahkan keunikan kurikulum 2013. Mengubah prilaku siswa untuk aktif dalam belajar
merupakan hal mudah tetapi sulit karena sangat tergantung pada motivasi internal pada
siswa. Oleh karena itu hal utama yang dilakukan adalah guru harus mengubah prilaku siswa
untuk memiliki sikap positip bahwa belajar pembentukan kompetensi menuju era persaingan
kompetitif dalam mempersiapkan diri memasuki dunia kerja yang syarat dengan tuntutan
kecakapan.
2. Pendekatan Ilmiah

a. Pengertian pendekatan dan ilmiah


Pendekatan adalah arah, rambu-rambu, mekanisme atau cara yang digunakan untuk
melakukan suatu tindakan. Jadi dalam konteks pendidikan pendekatan pembelajaran adalah
arah atau rambu-rambu yang digunakan guru dalam melaksanakan pembelajaran.
Rambu-rambu atau mekanisme itu menjadi pedoman bagi guru dalam pembelajaran.
Sedangkan ilmiah adalah hal-hal yang bersumber pada ilmu penetahuan, dengan
menggunakan cara-cara atau langkah-langkah bersifat keilmuan.
Berdasarkan pengertian terpisah di atas maka pendekatan ilmiah dapat diartikan
sebagai prosedural pembelajaran yang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkaah baku
dalam ilmu pengetahuan.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


145
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

b. Prosedur Pendekatan ilmiah

Sebagaimana makna di atas maka pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah


menempuh lima (5) tahapan. Kelima tahapan itu berdasarkan Badan Pengembang Sumber
daya manusia P dan K dan penjamin mutu pendidikan kementrian pendidikan dan
kebudayaan, 2013:7) adalah:

1. Langkah pertama observasi. Observasi adalah kegiatan pengamatan. Pada tahap


ini guru menyediakan obyek pengamatan sesuai materi ajar yang akan dibelajarkan
siswa dalam pertemuan tertentu. Obyek amatan itu dapat berupa fakta, konsep atau
sumber belajar, (tergantung bidang ilmu).

2. Langkah kedua menanya. Pada tahap ini siswa diberikan kesempatan untuk
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan obyek yang
diobservasi, karena belum dipahami, atau prosedur yang akan dilakukan pada
tahapan berikutnya.

3. Langkah ketiga menalar. Dalam konteks ini semua informasi yang sudah
dikumpulkan baik dari hasil mengamati, membaca, atau percobaan dinarasikan.

4. Langkah keempat mencoba. Pada tahap ini siswa dapat melakukan


eksperimen, membaca referensi lain selain buku teks, dan atau mengamati objek
atau peristiwa, melakukan, wawancara dengan nara sumber.

5. Langkah kelima membentuk jaringan (networking). Pada tahap ini siswa akan
melaporkan hasil temuannya.

3. Pelaksanaan Pembelajaran berbasis Pendekatan Ilmiah

Pada bagian ini penulis tidak mengulas tenatang konsep pembelajaran secara
umum, karena sudah disampaikan pada sub materi tentang pendekatan ilmiah. Oleh karena itu
penulis hanya mengambarkan konsep belajar berdasarkan arah K-13.
Belajar adalah kegiatan bertujuan untuk memperbaiki prilaku siswa baik aspek
sikap spriritual, soasial, pengetahuan dan keterampilan. Jadi belajar adalah tindakan yang
memiliki tujuan yang telah ditetapkan. Paradigma belajar lama sama dengan menguasai
sejumlah pengetahuan dengan cara membaca berulang-ulang. Pada paradigma baru belajar
adalah melakukan suatu tindakan secara langsung. Dari hasil itu siswa akan memiliki

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


146
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pengalalaman belajar, dan hasil dari pengalalaman itu sesunguhnya adalah pengetahuan.
Karena itu (Suherman,1994:157) mengatakan belajar adalah pengalaman menemukan sendiri
sedangkan, Sanjaya (2007:130) berpendapat bahwa belajar bukanlah menghafal sejumlah
fakta atau informasi tetapi belajar adalah berbuat; sehingga dapat memperoleh pengalaman
tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Keberhasil pembelajaran ditentukan oleh berbagai faktor, dan salah satu
diantaranya adalah faktor guru. Guru menjadi sorotan keberhasilan pembelajaran karena guru
yang menjadi pelaksana tunggal kegiatan pembelajaran.
Dalam pembelajaran K-13 guru dituntut untuk mampu melakukan kegiatan
pembelajaran dengan pendekatan ilmiah. Konsekwensinya adalah guru harus memahami
langkah-langkah pendekatan ilmiah. Disamping paham dengan prosedural pendekatan ilmiah
guru sedapat mungkin mendesain dalam RPP pada kegiatan inti.
Dalamn kegiatan ini pembelajaran siswa harus belajar berdasarksan tahapan
pendekatan ilmiah. Dengan demikian anak akan mencari dan menemukan sendiri apa yang
dipelajarinya. Pandangan bahwa belajar adalah pengalaman mencari sebagai pendapat
Suherman di atas maka sangat tepat jika pembelajaran di aplikasikan pendekatan ilmiah.
Proses pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah secara teoritis telah diuraikan pada sub
materi tentang pendekatan ilmiah.

PENUTUP

Demikian makalah singkat ini semoga bermanfaat bagi para pendidik dan calon
pendidik (mahasiswa) sehingga upaya perbaikan kualitas pembelajaran, yang berdampak pada
peningkatan mutu pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Aninomous, 2013,Implementasi Kurikulum 2013 Badan Pengembang Sumber daya manusia


Pendidikan & Kebudayaan dan Penjamin Mutu Pendidikan Kementrian Pendidikan Dan
Kebudayaan
Aninomous, 2013,Implementasi Kurikulum 2013 Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan
Materi Pelatihan K-13, 2013 Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan.

Moleong J.L 2002 Metodologi penelitian kualkitatif Bandung PN. PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyanto, 2013 Strategi Pembelajaran di Era Kurikulum 2013. Jakarta PN. Prestasi Pustaka.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


147
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Mulyasa, H.E., 2013 Pengembangan dan Implenetasi Kurikulum 2013. Bandung.PN. PT. Remaja
Rosdakarya.
Nawawi, 1993 Metodologi Penelitian terapan, Yogyakarta,Gajah Mada.
Poerwati Endah Loeloek & Amri Sofian, 2013 Jakarta PN. Prestasi Pustaka.
Risdalina, Jurnal Penelitian Pendidikan Vol 17, No 1 (2017) ISSN: p.1412-565X e.2541-4135.
Peningkatan Kinerja Siswa Melalui pendekatan Saintifik Pada Pembelajaran IPA
Terpadu model Webbed.. LPPM Universitas Pendidikan Indonesia.
Sutarto, Jurnal Cakrawala Pendidika Printed ISSN 0216-1370 ONLINE SSN24428620. Dampak
Pengiring Pembelajaran Pendekatan Saintifik Untuk Mengembangan Sikap Spiritual Dan
Sosial Siswa

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


148
PROSIDING

MP-21
PENGGUNAAN MEDIA FILM KARTUN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
MENYIMAK SISWA KELAS IV SDK WOLOLANU

1
Yohana Nono BS, 2Nining Sariyyah
1
Prodi PGSD Uniflor Ende, 2Prodi PGSD Uniflor Ende
Email: 1Yohana.nonobs@gmail.com, 2sariyyah.nining@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan menyimak siswa kelas IV SDK
Wololanu setelah diterapkan media film kartun. Penelitian ini merupakan jenis Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) model Kemmis dan Taggart dan menggunakan pendekatan kualitatif.
Data dikumpulkan dengan teknik tes, observasi, catatan lapangan dan dokumentasi. Hasil
penelitian ini menunjukkan media film kartun dapat meningkatkan kemampuan menyimak siswa.

Kata kunci: media Film kartun, kemampuan menyimak

PENDAHULUAN

Bahasa merupakan media komunikasi dalam proses interaksi manusia. Bahasa memiliki
peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial dan emosional peserta didik dan merupakan
penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua mata pelajaran. Hal ini sesuai dengan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006 yang menyatakan bahwa: Pembelajaran bahasa
diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain,
mengemukakan gagasan dan perasaan berpartisipasi dalam masyarakat dan menggunakan bahasa
imaginatif yang ada dalam dirinya (dalam Depdiknas, 2006).
Pembelajaran Bahasa Indonesia menekankan empat aspek keterampilan berbahasa, yakni
aspek menyimak, aspek berbicara, aspek menulis dan aspek membaca. Aspek menyimak dalam
pembelajaran di sekolah dasar bertujuan agar siswa mampu memahami pembicaraan orang lain,
baik secara langsung maupun melalui media. Menurut Dole (2014), keberhasilan kegiatan
menyimak salah satunya ditentukan oleh konsentrasi atau perhatian siswa. Konsentrasi dan
perhatian penuh membuat siswa dapat menerima informasi, pendapat ataupun gagasan dalam
kegiatan menyimak.
Konsentrasi dan perhatian merupakan hal penting dalam kegiatan menyimak, namun
adakalanya guru tidak mampu memfokuskan perhatian dan konsentrasi siswa. Permasalahan ini
ditemukan dalam kegiatan menyimak di kelas IV SDK Wonolalu. Setelah diwawancara, siswa
merasa kurang tertarik untuk menyimak karena guru hanya membacakan cerita yang sama di
dalam buku teks. Hal ini berpengaruh terhadap sikap siswa yang enggan dan cuek dalam kegiatan
menyimak.
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Untuk mengatasi permasalahan belajar di SDK Wonolalu, guru perlu mengubah proses
kegiatan menyimak. Salah satunya dengan mengganti media dan sumber cerita untuk kegiatan
menyimak. Solusi terhadap permasalahan tersebut adalah dengan menerapkan media film kartun.
Penggunaan film kartun dapat menarik perhatian siswa sekolah dasar yang pada umumnya
familiar dan gemar dengan hal tersebut.
Film kartun merupakan bagian dari media audio-visual, yakni sebuah media berbasis
teknologi yang interaktif dan memungkinkan terjadinya two way traffic dalam proses
pembelajaran (Haryoko, 2009). Dengan adanya film kartun, dapat mengubah suasana
pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan membuat perhatian siswa lebih terfokus dalam
kegiatan menyimak. Film kartun juga bermanfaat untuk mengembangkan keterampilan
mendengar dan mengevaluasi apa yang telah didengar (Arsyad, 2001:149). Manfaat media
tersebut sangat sesuai dengan defenisi pembelajaran menyimak yang menekankan pada
pemahaman bukan sekedar mendengar bunyi-bunyi bahasa melalui alat pendengaran (Mulyati,
2015).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas dimana peneliti berupaya
menangkap data tentang keterampilan menyimak siswa setelah diterapkan media film kartun.
Subyek penelitian adalah siswa kelas IV SDK Wonolalu. Data diambil dengan teknik tes yang
meliputi indicator: 1) mampu menangkap kata-kata yang dipakai, 2) mampu memahami dan
mengenal bentuk kalimat serta, 3) mampu menangkap isi dan maksud percakapan dengan teratur.
Selain itu juga digunakan teknik dokumentasi dan catatan lapangan untuk merekam proses
pembelajaran. Data-data tersebut dianalisis melalui tahapan reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan. Sedangkan target dalam penelitian ini yakni apabila ketuntasan klasikal
mencapai 80%, maka media film kartun berhasil meningkatkan keterampilan menyimak siswa
sehingga tidak perlu dilakukan penelitian pada siklus selanjutnya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini merupkan penelitian tindakan kelas yang menggunakan tahapan perencanaan,
tahap tindakan dan observasi serta tahapan refleksi. Proses awal penelitian dilakukan melalui
tahap perencanaan terlebih dahulu. Tahap perencanaan siklus I meliputi persiapan perangkat
pembelajaran, persiapan media film kartun serta persiapan instrument tes dan observasi. Film
kartun yang disiapkan merupakan film yang diunduh dari aplikasi youtube dengan panjang durasi
8 – 10 menit. Judul film kartun yang dipilih adalah Doraemon. Namun dalam tahap persiapan
juga ditemukan sebuah kendala yakni sekolah tidak memiliki peralatan audio-visual yang dapat
menayangkan film. Untuk mengatasi hal tersebut, peneliti akan menyiapkan beberapa laptop dan
akan mengkondisikan pembelajaran menyimak ke dalam kelompok kooperatif.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


150
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Setelah tahapan persiapan matang, penelitian siklus I dilanjutkan ke tahap tindakan. Proses
tindakan dilakukan sesuai langkah dalam RPP. Pada awal pembelajaran, guru memberikan
sekilas gambaran mengenai prosedur kegiatan menyimak yang akan dilakukan siswa. Kemudian
siswa dibagi ke dalam 4 kelompok dimana masing-masing kelompok beranggotakan 4-5 orang.
Tiap kelompok kemudian diberi instruksi untuk menyimak film kartun yang sudah disiapkan
dalam laptop. Setelah selesai, tiap kelompok diminta untuk mendiskusikan
pertanyaan-pertanyaan seputar film kartun yang telah disiapkan guru. Selanjutnya, guru secara
acak meminta beberapa kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi sambil ditanggapi
kelompok lain. Proses pembelajaran diakhiri dengan pemberian tes secara individu untuk
mengukur pemahaman siswa. Hasil tes menunjukkan 74% siswa telah mencapai ketuntasan
sesuai criteria ketuntasan minimum.
Selama proses tindakan, kegiatan pembelajaran diobservasi oleh dua orang observer. Hasil
observasi dan catatan lapangan observer menemukan beberapa hal positif antara lain
meningkatnya antusias dan fokus peserta didik dalam kegiatan menyimak. Siswa juga sangat
senang karena film yang ditampilkan adalah film kartun favoritnya yakni Doraemon. Selain
itu,juga ditemukan kelemahan seperti laptop yang kehabisan baterai sehingga satu kelompok
harus tertinggal beberapa menit oleh kelompok lain. Sedangkan kelompok yang terlebih dahulu
menyelesaikan kegiatan menyimak sibuk mengomentari kembali isi film kartun sehingga cukup
mengganggu konsentrasi kelompok lain yang masih menyimak.
Berdasarkan hasil pelaksanaan siklus I, dapat direfleksi antara lain pertama, ketuntasan
klasikal belum mencapai target penelitian sehingga perlu dilakukan kembali penelitian pada
siklus II. Kedua, peneliti perlu memeriksa kondisi laptop dalam keadaan baik sebelum diberikan
tindakan. Ketiga, saat proses menyimak dimulai guru harus memastikan setiap kelompok harus
memulainya bersamaan sehingga tidak ada kelompok yang tertinggal ataupun selesai lebih
dahulu.
Pada siklus II guru melakukan tahapan persiapan sesuai hasil refleksi siklus I. setelah
memastikan persiapan telah optimal, tahap tindakan kembali dilakukan. Agar menghindari siswa
yang kemungkinan telah menghafal jalan cerita kartun Doraemon pada siklus I, guru mengganti
seri lain dari film Doraemon sehingga berbeda dengan film kartun yang ditayangkan pada siklus I.
Guru juga memastikan agar setiap kelompok memulai serentak ketika mulai menyimak. Hal ini
dilakukan guru dengan memberikan aba-aba. Pada tahap akhir guru kembali memberikan tes
yang bentuk pertanyaannya seperti siklus I. Hasil menunjukkan adanya peningkatan persentase
dari 74% di siklus I menjadi 82% pada siklus II.
Keterampilan menyimak merupakan bagian penting dalam kemampuan berbahasa. Proses
menyimak membutuhkan konsentrasi dan focus untuk dapat memahami hal yang disimak. Film

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


151
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

kartun merupakan media yang tepat dalam membantu siswa meningkatkan keterampilan
menyimak. Menurut Ariyanti (2014), film kartun merupakan media hiburan yang dapat melatih
daya tangkap siswa. Film kartun yang sederhana membuat anak-anak lebih mudah mencerna dan
mengerti jalan cerita kartun tersebut. Dalam konteks penelitian ini, proses tersebut terekam dalam
ekspresi siswa ketika menyimak seperti siswa terlihat tertawa pada saat melihat adegan yang lucu.
Hal ini semakin didukunung oleh perolehan persentase ketuntasan dari 74% di siklus I menjadi
82% pada siklus II. Peningkatan ini membuktikan bahwa media film kartun dapat meningkatkan
keterampilan menyimak pada siswa kelas V SDK Wololanu.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian siklus I menunjukkan persentase rata-rata ketuntasan sebesar
74% pada siklus I dan 82% pada siklus II. Hasil ini menunjukkan telah terjadi peningkatan
keterampilan menyimak yang meliputi aspek mampu menangkap kata-kata yang dipakai, aspek
mampu memahami dan mengenal bentuk kalimat serta, aspek mampu menangkap isi dan maksud
percakapan dengan teratur yang telah terangkum dalam pertanyaakn tes. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa media film kartun dapat meningkatkan keterampilan menyimak siswa.
Masih terdapat banyak kelemahan yang ditemukan dalam penelitian ini. Disarankan untuk
mengatur dan menggunakan peralatan audio-visual yang baik apabila hendak menerapkan media
ini. Penelitian ini hanya dibatasi pada aspek menyimak, untuk penelitian selanjutnya disarankan
agar dapat diterapkan pula pada aspek menulis ataupun aspek berbicara.

DAFTAR PUSTAKA

Ariyanti. 2014. Dampak Postitif Menonton Film kartun. Artikel. Tersedia: ww.kesekolah.com
(diakses 10 November 2017)

Arsyad, Azhar. 2001. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Jakarta:


Departemen Pendidikan Nasional.

Dole, E. Ferdinandus. 2004. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di kelas tinggi sekolah
dasar. Solobaru: Qinant

Haryoko, Sapto. 2009. Efektivitas Pemanfaatan Media Audio-VisualSebagai ALternatif


Optimalisasi Model Pembelajaran. Jurnal Edukasi@elektro. Vol.5, No.1. Tersedia:
www.googlescholar.co.id

Mulyati, Yeti. 2015. Keterampilan Berbahasa Indonesia SD. Modul. Tersedia: repository.ut.ac.id

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


152
PROSIDING

MP-22
MENCIPTAKAN JOYFUL LEARNING PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI
SEKOLAH DASAR

Chrisnaji Banindra Yudha, M.Pd


STKIP Kusuma Negara Jakarta
Email: chrisnajy@gmail.com

Abstrak
Prinsip Pembejaran Joyful Learning (pembelajaran yang menyenangkan) menciptakan
lingkungan belajar yang menyenangkan, nyaman, dan mendorong peserta didik untuk belajar.
Dalam Pembelajaran yang menyenangkan diciptakan lingkungan belajar yang bersifat rekreasi
dan bersenang-senang yang berdampak pada perhatiannya atau konsentrasi yang tinggi. Pendidik
bersikap hangat dan memotivasi peserta didik dalam pembelajaran matematika khususnya.
Peserta didik pada tingkat sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret.

Kata Kunci: Joyful Learning, Matematika, Sekolah Dasar

PENDAHULUAN
Mata pelajaran Matematika membentuk pola pikir yang mempelajarinya. Peserta didik
khususnya, diantaranya berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dengan penuh kecermatan.
Proses pembentukan pola pikir peserta didik dapat diterima dengan baik apabila pembelajaran
matematika di sekolah dikemas secara sistematis. Kemampuan kreatifitas dan profesionalisme
pendidikdalam memberikan pembelajaran matematika diperlukan dalam hal ini. Masuk pada era
digital yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak kreatifitas yang dapat diterapkan
oleh seorang pendidik . Peneraan tersebut meliputi metode pembelajaran dan strategi
pembelajaran yang tepat dan menyengankan. Pada pelaksanaannya, penerapan metode atau
srategi tersebut disesuaikan dengan perkembangan berpikir anak terutama peserta didik pada
tingkat sekolah dasar. Dengan demikian, tugas pendidik dalam hal ini memberikan pembelajaran
matematika dengan metode atau strategi yang dapat membentuk pola pikir anak dan disesuaikan
dengan perkembangan berfikir anak serta bersifat menyenangkan.
Menurut Piaget, peserta didik sekolah dasar berada pada tahap operasional konkrit. Pada
tahap ini menggambarkan pemikiran peserta didik berdasarkan logika yang bersifat kekal.
Peserta didik yang berada pada tahap ini, mereka mampu membentuk dan mempergunakan
keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab
akibat. Oleh karena itu, melalui tahap ini peserta didik telah mampu untuk menerima dan
menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan dasar mata pelajaran matematika dalam rangka
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pengembangan pengetahuan pada jenjang pendidikan selanjutnya.


Mempelajari matematika dibutuhkan analisa yang mendalam dari pada ilmu yang lain.
Dalam kondisi ini peserta didik sering mengalami dan menemui kesulitan. Pendidik yang
menyampaikan mata pelajaran matematika terkadang beranggapan bahwa peserta didik dapat
memahami konsep dalam matematika seperti yang dipahami oleh pendidik tersebut. Pada
kenyataannya, peserta didik menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit untuk
dimengerti. Anggapan yang semacam ini akan terus menerus menjadi momok bagi setiap peserta
didik sampai generasi berikutnya. Oleh karena itu, peran pendidik sangat penting untuk
membangun keyakinan peserta didik terhadap matematika khususnya di Sekolah Dasar. Dengan
demikian untuk menyampaikan dan mempelajari mata pelajaran matematika diperlukan metode
pembelajaran yang tepat.
Joyful Learning merupakan metode pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran
yang menyenangkan meliputi metode belajar mengajar yang menyenangkan. Melalui
pembelajaran yang menyenangkan materi-materi pembelajaran dapat disampaikan pendidik
dengan mudah. Pembelajaran yang menyenangkan dapat didukung melalui keaktifan peserta
didik yang menjadi subjek pembelajaran. Peserta didik aktif dalam joyful learning karena
mereka tahu guna dan manfaat belajarnya. Selain keaktifan peserta didik , pendidik pun dituntut
untuk mampu berperan hangat, kooperatif, sosok orangtua, dan sebagai fasilitator. Dengan
demikian, melalui Joyful Learning peserta didik mampu belajar dan tahu apa fungsi belajar yang
dipelajarinya.
Makalah ini dapat digunakan untuk pendidik, dalam rangka menanamkan pembelajaran
yang menyenangkan pada peserta didiknya. Diharapkan peserta didik mampu untuk belajar
dengan menyenangkan dengan penuh perhatian yang tinggi.

PEMBAHASAN
a. Pengertian Joyfull Learning
Menurut E. Mulyasa (2006:191-194) joyfull learning merupakan suatu proses
pembelajaran yang didalamnya terdapat sebuah kohesi yang kuat antara pendidik dan peserta
didik, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan (not under presssuere).
Pembelajaran yang menyenangkan adalah suasana belajar mengajar yang menyenangkan
sehingga peserta didik memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu
curah perhatiannya tinggi (Depdiknas 2004: 3, 3-8).
Zuroidah (2005: 36), pembelajaran menyenangkan berarti sesuai pembelajaran yang
tidak membosankan. Jika peserta didik terlibat langsung sebagai subjek belajar maka mereka
selalu senang dalam belajar.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


154
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa, Pembelajaran dikatakan


menyenangkan apabila dalam pembelajaran tersebut terjadi interaksi yang rileks, tidak ada
ancaman atau bebas dari tekanan, keterlibatan peserta didik dan pendidik tercipta dengan hangat
dan bergembira akan tetapi memiliki tingkat perhatian yang tinggi.

b. Prinsip Joyful Learning


Prinsip pembelajaran yang menyenangkan sangatlah sederhana, yaitu peserta didik
senang dalam belajar dan belajar tahu untuk apa dia belajar. Untuk mendukung pembelajaran
yang menyenangkan, seyogyanya disiapkan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan
memanusiakan peserta didik .
Perhatian dan focus yang tinggi dalam pembelajaran dapat muncul pada kondisi kelas
yang nyaman. Menurut Asri C. Budiningsih (2005: 7), lingkungan belajar yang demokratis
memberi kebebasa kepada anak untuk melakukan pilihan-pilihan tindakan belajar dan akan
mendorong anak untuk terlibat secara fisik, emosional, dan mental dalam proses belajar sehingga
akan memunculkan kegiatan yang kreatif dan produktif.
Pada kondisi nyata dewasa ini, ada banyak pendidik yang memiliki aturan yang taat di
kelas. Taat yang dimaksud dalam hal ini adalah memberi kesan menakutkan peserta didik .
Prakarsa anak dalam belajar dimungkinkan akan berkurang dan bahkan hilang ketika peserta
didik dihadapkan pada kondisi tersebut. Anak akan kehilangan kebebasan dalam belajar dan
bertindak. Peserta didik akan mengembangkan pertahanan diri yang tinggi, hal ini merupakan
suatu keadaan manusiawi dimana terjadinya tekanan atau rasa takut pada peserta didik . Menurut
Asri C. Budiningsih (2005: 7), anak-anak demikian akan mengalami growth in learning dan akan
selalu meyembunyikan ketidaktahuannya.
Peserta didik dapat belajar pada lingkungannya. Lingkungan peserta didik adalah suatu
keadaan dimana timbul keceriaan, kegembiraan, keluesan dan penuh dengan cinta. Dari
lingkungan yang telah tercipta tersebut peserta didik mampu untuk memiliki kepercayaan diri,
perasaan akan pengakuan terhadap dirinya pun akan muncul. Munculnya kondisi tersebut karena
peserta didik diberikan kebebasan untuk mengekpresikan terhadap dirinya. Dengan demikian
prinsip Joyful Learning adalah menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan
mendorong anak untuk belajar.
c. Langkah Joyful Learning
Joyful Learning dalam pelaksanaannya menggunanakan proses pembelajaran yang
memberikan kesan gembira melalui games, kuis, aktifitas yang bersifat fisik. Joyful Learning
menggunakan pendekatan permainan dan rekreasi agar muncul kreatif, aktif dan menyenangkan.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


155
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

1) Tahap persiapan
a) Mengajak peserta didik keluar dari mental yang pasif
b) Menyingkirkan rintangan belajar
c) Merangsang minat dan rasa ingin tahu peserta didik
d) Member peserta didik perasaan yang positif mengenai dan hubugan bermakna dengan
topic pembelajaran.
e) Mendorong peserta didik untuk bergembira, aktif berfikir, menciptakan, tumbuh, dan
memiliki konsentrasi yang tinggi.
f) Mengajak peserta didik untuk bersedia masuk dalam komunitas belajar. Pada tahap ini
pendidik dapat memberikan dorongan kepada peserta didik melalui yel-yel, bernyayi
bersama, bertepuk riang bersama.
2) Tahap penyampaian
Dalam tahapan yang kedua atau tahap penyampaian, peserta didik diajak untuk belajar
pada hal-hal yang nyata dan sering peserta didik jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran matematika dimulai dari pengenalan masalah yang sesuai dengan
kontek dan situasi. Mengajukan permasalahan yang kontektual. Peserta didik secara
bertahap dibimbing untuk menguasi konsep/materi matematika yang sedang dipelajari.
Pendidik memotivasi peserta didik bahwa matematika merupakan pembelajaran yang
sangat mudah dan sesuai dengan kehidupan nyata.
3) Tahap pelatihan
Tahap pelatihan merupakan tahap yang inti. Apa yang dipikirkan dan dikatakan serta
dilakukan peserta didik lah yang menciptakan pembelajaran sebenarnya dan bukan apa yang
dikatakan serta yang dilakukan oleh pendidik . Peserta didik dimohon untuk mempraktikkan
secara berulang, keterampilan-keterampilan yang diperoleh selama pembelajaran
berlangsung. Peserta didik memperoleh umpan balik dari pendidik secara segera dan
melaksanakan beberapa keterampilan yang lainnya. Mintalah pendapat peserta didik ,
apakah yang mereka alami dan berikan kesempatan pada peserta didik untuk memberikan
idenya mngenai peningkatan prestasi yang akan diperolehnya selanjutnya.
Pembelajaran diseting seolah-oleh bermain. Hal ini dapat didukung melalui animasi,
gambar, atau games berbentuk kuis yang diharapkan peserta didik mampu untuk lebih
tertarik dan senang dalam pembelajaran. Peserta didik yang memiliki keterampilan, idea tau
gagasan yang paling baik, maka dapat diberikan kesempatan untuk memperoleh hadiah atau
sertifikat. Pada sela-sela pembelajaran agar muncul lingkungan yang bergembira, maka
pendidik dimohon untuk berkreasi seperti melawak, berpantun ria, atau kesan akarab
lainnya.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


156
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

4) Tahap penutupan
Pada tahap ini pendidik memberikan penguatan terhadap materi yang telah diperoleh
peserta didik . Hal tersebut bias dilaksanakan dengan menyimpulkan pembelajaran yang
telah diperoleh. Pada tahap ini pendidik dapat menutup pembelajaran dengan memutarkan
film (apabila ada sarananya), bernyayi bersama-sama atau beryel-yel bersama.

d. Joyful Learning dalam matapelajaran matematika


Dalam menerapkan Joyful Learning dalam mata pelajaran matematika terdapat
beberapa tahapan yaitu
1) Tahap dasar, pendidik meyapa peserta didik dengan ramah dan bersemangat serta
menciptakan suasana yang rileks. pendidik bersama peserta didik bernyayi bersama
dan pendidik memotivasi peserta didik bahwa matematika adalah pembelajaran
yang mudah.
2) Tahap pelaksanaan, pemberian masalah kontektual kepada peserta didik Peserta
didik menemukan sendiri suatu konsep, prinsip atau prosedur dengan melalui
penyelesian masalah kontektual. Masalah yang real atau masalah yang kontektual
untuk mengawali pembelajaran. selain itu, variasi strategi informal juga diperlukan.
dari Joyful Learning strategi tersebut, peserta didik dengan bimbingan pendidik
melaksanakan generalisasi dan formalisasi, sampai peserta didik menemukan
algoritma. Untuk memberikan kesan rileks, pendidik bias merubah tempat duduk
peserta didik secara fleksibel.
3) Tahap penemuan, peserta didik aktif mengkontruksi sendiri bahan-bahan
matematika berdasarkan fasilitas dengan lingkungan belajar yang disediakan
pendidik , secara aktif menyeleseikan soal dengan cara masing-masing. kegiatan
belajar bersifat interaktif, yang memungkinkan terjadi komunikasi dan negosiasi
antar peserta didik .
4) Tahap refleksi, Peserta didik menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban
yang diberikannya, memahami jawaban temannya (peserta didik lain), setuju
terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif
penyelesaian yang lain, dan pendidik melakukan refleksi terhadap setiap langkah
yang ditempuh atau terhadap hasil pembelajaran.
PENUTUP
Kesimpulan
1) Joyful Learning dapat diterapkan pada proses pembelajaran, khususnya matematika.
2) Ciptakan lingkungan belajar yang gembira dan penuh rekreasi.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


157
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

3) Pendidik dituntut untuk mampu berperan hangat, kooperatif, sosok orangtua, dan
sebagai fasilitator.
4) Dalam Joyfull Learning, keterlibatan peserta didik dan pendidik tercipta dengan hangat
dan bergembira akan tetapi memiliki tingkat perhatian yang tinggi.

Saran
Para pendidik dapat menerapkan Joyfull Learning di kelas. Penerapan ini untuk
meningkatkan keberhasilan dalam proses pembelajaran. Beberapa cara dapat diterapkan pendidik
seperti tahapan persiapan, penyampaian, pelatihan dan penutupan. Pendidik diharapkan mampu
menciptakan lingkungan belajar yang rileks, hangat, mendorong kepercayaan diri peserta didik ,
dan memanusiakan peserta didik . Pendidik sebaiknya mampu sebagai fasilitator dan rekan
belajar bagi peserta didik .

DAFTAR PUSTAKA

Asri Budiningsih. C., 2005. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara

E. Mulyasa. 2006. Menjadi Pendidik Professional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan


Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya

Depdiknas. 2004. Peningkatan kualitas pembelajaran. Jakarta: Depdiknas Ditjen

Zuroidah (2005: 36), meningkatkan kemampuan belajar. Jakarta: Bumi Aksara

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


158
PROSIDING

MP-23
IDENTIFIKASI MISKONSEPSI MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA
DENGAN MENGGUNAKAN METODE CRI (CERTANTY OF RESPONSE INDEX)
PADA MATERI EKOLOGI MATA KULIAH BIOLOGI

1
Maria Waldetrudis Lidi, 2Maria Fatima Mei, 3Maria Trisna Sero Wondo
1,2,3
Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Flores Ende
Email: waldetrudismaria1024@gmail.com , 2imei60970@gmail.com, 3trisnawondo@gmail.com
1

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi mahasiswa pendidikan


matematika Universitas Flores pada konsep-konsep ekologi. Jenis penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan satu variable yaitu miskonsepsi pada konsep-konsep ekologi.Analisis data
dilakukan dengan mengidentifikasi data ke dalam kategori miskonsepsi (M), paham konsep (PK),
paham konsep tapi kurang yakin (PKKY), dan tidak tahu konsep (TTK) kemudian dilihat
persentase untuk masing-masing kategori pada setiap indikator.Hasil penelitian ini adalah
sebagian besar mahasiswa matematika mengalami miskonsepsi pada konsep-konsep ekologi
dengan rata-rata persentasi mahasiswa yang mengalami miskonsepsi sebesar 51,95%, tidak tahu
konsep sebesar 38,28, paham konsep sebesar 10,34%, dan paham konsep tapi kurangyakinsebesar
9,49%. Sebagian besar konsep-konsep yang diujikan memberikan dampak kuat pada
miskonsepsi, diantaranya ekosistem dan komponennya, interaksi dalam ekosistem dan kaitannya
dengan keseimbangan lingkungan, aliran energi dan kaitannya dengan keseimbangan lingkungan
serta pemecahan masalah kerusakan lingkungan dengan pendekatan konsep-konsep ekologi.
Kata kunci: Miskonsepsi, CRI

PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan menjadi bermanfaat apabila dapat diterapkan dalam kehidupan untuk
menunjang kehidupan, meningkatkan taraf hidup dan membantu mengatasi berbagai
permasalahan yang dihadapi. Akan tetapi, hal ini masih menjadi tantangan mengingat ilmu
pengetahuan hanya dikuasai sebatas menghafal saja. Kesulitan dalam mengaplikasikan ilmu yang
diperoleh dalam kehidupan, ditemukan juga pada peserta didik pada tingkat perguruan tinggi.

Berdasarkan hasil observasi dan analisis angket yang dilakukan pada mahasiswa
pendidikan matematika Universitas Flores, diketahui bahwa pada umumnya mahasiswa kesulitan
untuk menghubungkan pengetahuan yang diperolehnya dengan penerapan dalam kehidupannya.
Pemecahan masalah umumnya difokuskan pada bidang matematika dengan sedikit bahkan tanpa
mengaitkan dengan bidang ilmu yang lain. Faktanya, masalah yang dialami oleh masyarakat tidak
hanya sebatas pada masalah hitungan semata. Masalah dalam kehidupan juga membutuhkan
disiplin ilmu sains lain dalam pemecahannya, seperti biologi, kimia dan fisika.

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Mata kuliah biologi dasar adalah mata kuliah jurusan yang wajib diprogramkan oleh
mahasiswa semester satu pada program studi pendidikan matematika. Manusia adalah makhluk
hidup dengan segala kompleksitas masalah yang mengiringinya, oleh karena itu sudah tentu
pembelajar matematika juga membutuhkan biologi dalam mempelajari kehidupan itu sendiri
termasuk dirinya sendiri sehingga dapat memecahkan masalah-masalah kehidupan yang
dihadapinya. Biologi dipandang sebagai ilmu yang mudah untuk dikuasai karena mengutamakan
hafalan untuk mempelajarinya sedangkan matematika sebaliknya.Hal tersebut
menyebabkankonsep-konsep biologi tidak dikuasai atau dikuasai tanpa dipahami atau
miskonsepsi.

Manusia membentuk pemahamannya atau gagasannya akibat interaksinya dengan alam


sebelum mereka mempelajarinya di sekolah, pemahaman ini disebut prakonsepsi (Ibrahim
(2012); Laksana (2016)). Prakonsepsi dapat sesuai dengan konsep ilmiah yang diakui ilmuwan
dapat juga tidak. Prakonsepsi yang tidak sesuai dengan kebenaran ilmiah inilah yang disebut
miskonsepsi atau salah konsep. Menurut Tayubi (2005) dan Murni (2013), miskonsepsi adalah
suatu konsepsi yang menyimpang dari konsepsi para ahli, melekat kuat pada diri orang tersebut
dan berdampak menyesatkan dalam mengakomodasi pengetahuan. Ditambahkan oleh Ibrahim
(2012), jika prakonsepsi yang tidak sesuai diperbaiki ke konsep yang benar, tetapi orang tersebut
kembali lagi pada prakonsepsi sebelumnya maka ini disebut miskonsepsi. Miskonsepsi
disebabkan oleh beberapa hal yakni siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar (Muna
(2015); Munawaroh, Falahi (2016)). Menurut Tayubi dan Murni (2013), miskonsepsi terjadi
ketika siswa salah menginterpretasi gejala alam/peristiwa yang dialaminya dalam interaksi
dengan lingkungannya.

Miskonsepsi berdampak negatif pada pembelajaran, seperti mengganggu perolehan konsep


yang benar, rendahnya hasil belajar, ketidakmampuan dalam memecahkan masalah-masalah
kontekstual, dan menghambat perolehan konsep baru. Lebih memprihatinkan, apabila
miskonsepsi tersebut terdapat pada calon guru karena jika kesalahan konsep ini tetap dibiarkan
maka akan menjadi mata rantai kesalahan konsep yang diwariskan secara turun temurun.
Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi diantaranya
adalah, peta konsep, tes diagnostik melalui tes tertulis dan memberi alasan terbuka, tes esai
tertulis, wawancara diagnosis, diskusi dalam kelas, hingga praktikum tanya jawab (Suparno, 2005
dalam Mustaqim, Zulfiani, Herlanti, 2014).

Selain metode di atas, terdapat metode lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kesalahan konsep yakni metode CRI (Certainty Of Response Index) yang dikembangkan oleh
Saleem, H dkk. Teknik ni digunakan untuk mengidentifikasi mahasiswa yang paham konsep,

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


160
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

tidak paham konsep dan yang mengalami miskonsepsi. CRI biasanya didasarkan pada suatu skala
dan diberikan bersamaan dengan setiap jawaban suatu soal. Tingkat kepastian jawaban tercermin
dalam skala CRI yang diberikan, CRI yang rendah menandakan ketidakyakinan konsep pada diri
responden dalam menjawab suatu pertanyaan, dalam hal ini jawaban biasanya ditentukan atas
dasar tebakan semata.Sebaliknya CRI yang tinggi mencerminkan keyakinan dan kepastian
konsep yang tinggi pada diri responden dalam menjawab pertanyaan, dalam hal ini unsure
tebakan sangat kecil. Seorang responden mengalami miskonsepsi atau tidak tahu konsep dapat
dibedakan secara sederhana dengan cara membandingkan benar tidaknya jawaban suatu soal
dengan tinggi rendahnya indeks kepastian jawaban (CRI) yang diberikannya untuk soal tersebut.
CRI biasanya didasarkan pada suatu skala yaitu skala enam (0-5) (Saleem, 1999: 297) seperti
pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1.SkalaRespon Certainty of Response Index (CRI)

CRI Kriteria

0 (Totally guessed answer jika menjawab soal 100% ditebak


1 (Almost guess) jika menjawab soal presentase unsure tebak antara 75%-99%
2 (Not sure) jika menjawab soal presentase unsure tebak antara 50%-74%
3 (Sure) jika menjawab soal presentase unsure tebak antara 25%-49%
4 (Almostcertain)jikamenjawabsoalpresentaseunsurtebakantara 1%-24%
(certain)jikamenjawabsoaltidakadaunsurtebakansamasekali (0%)
5

Berdasarkan tabel tersebut, skala CRI ada 6 (0-5) dimana 0 berarti tidak tahu konsep skema
sama sekali tentang konsep-konsep yang diperlukan untuk mejawab suatu pertanyaan (jawaban
secara total), sementara angka 5 menandakan kepercayaan diri yang penuh atas kebenaran
pengetahuan tentang prinsip-prinsip, hukum-hukum, aturan-aturan yang digunakan untuk
menjawab suatu pertanyaan (soal), tidak ada unsur tebakan sama sekali. Jika derajat keyakinan
rendah (nilai CRI 0-2) menyatakan bahwa respon menjawab dengan cara menebak, terlepas dari
jawaban benar atau salah.Hal ini menunjukkan bahwa responden tidak paham konsep.

Jika nilai CRI tinggi, dan jawaban benar maka menunjukan bahwa responden paham
konsep (jawabannya berhasil).Jika nilai CRI tinggi, jawaban salah maka menunjukkan
miskonkonsepsi. Jadi, seorang siswa mengalami miskonsepsi atau tidak paham konsep dapat
dibedakan dengan cara sederhana yaitu dengan membandingkan benar atau tidaknya jawaban
suatu soal dengan tinggi rendahnya indeks kepastian jawaban (CRI) yang diberikan untuk soal
tersebut. Adapun ketentuan CRI untuk membedakan tahu konsep, miskonsepsi, dan tidak paham
konsep.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


161
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tabel 2.CRI UntukMembedakanTahuKonsep, Miskonsepsi, danTidakPahamKonsep


Kriteria
Jawaban CRI Rendah ) CRI tinggi
Jawaban Benar Jawaban benar tapi CRI rendah Jawabanbenar CRI tinggi berarti
berarti tidak tahu konsep (lucky menguasi konsep dengan baik
guess)
Jawaban Salah Jawaban salah dan CRI rendah Jawabansalahtapi CRI tinggi berarti
berarti tidak tahu konsep terjadi miskonsepsi

Berdasarkan tabel 2 di atas menunjukkan empat kemungkinan kombinasi dari jawaban


(benar atau salah) dan CRI (tinggi atau rendah) untuk tiap responden secara individu.Untuk
seorang responden dan untuk suatu pertanyaan yang diberikan, jawaban benar dengan CRI rendah
menandakan tidak tahu konsep, dan jawaban benar dengan CRI tinggi menunjukkan penguasaan
konsep yang tinggi. Jawaban salah dengan CRI rendah menandakan tidak tahu konsep, sementara
jawaban salah dengan CRI tinggimenandakan terjadinya miskonsepsi.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dengan satu variable yaitu miskonsepsi pada
konsep-konsep ekologi.Penelitianinidilakukan di kelas A dankelas B mahasiswa semester 1
Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Flores tahun akademik 2017/2018 pada bulan
September 2017. Jumlah mahasiswa dari dua kelas tersebut adalah 44 orang.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes berupa tes pilihan
ganda dengan empat pilihan. Tes ini dijawab seperti tes pilihan ganda biasanya tetapi
ditambahkan dengan membubuhkan angka 0, 1, 2, 3, 4, atau 5 sesuai dengan tingkat kepercayaan
pada jawaban yang telah diberikan. Angka inilah yang disebut dengan CRI. Instrumen tes yang
disusun merupakan instrumen konsep-konsep ekologi. Data yang diambil adalah data yang
berasal dari instrumen tes.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik tes diagnostik. Data yang
diperoleh dalam penelitian ini kemudian diidentifikasikan ke dalam kategori Miskonsepsi (M),
Paham Konsep (PK), Paham Konsep tapi Kurang Yakin (PKKY), danTidak Tahu Konsep (TTK),
yang kemudian dilihat persentase untuk masing-masing kategori pada setiap indicator dengan
mengikuti langkah-langkahsebagai berikut:1) Melakukan penskoran dan tabulasi indeks CRI
untuk setiap mahasiswa, 2) Menentukan mahasiswa yang miskonsepsi, paham konsep, paham
konsep tapi kurang yakin, dan tidak tahu konsep, 3) Mentabulasi persentasi mahasiswa yang
miskonsepsi, paham konsep, paham konsep tapi kurang yakin, dan tidak tahu konsep pada setiap
nomor yang diujikan, 4) Membuat grafik yang melukiskan perbandingan persentasi pada keempat
kategori.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


162
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasilanalisis data diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa mengalami


miksonsepsi pada konsep ekologi. Hasil analisis menggunakan metode CRI diketahui bahwa
persentase kategori miskonsepsi lebih tinggi daripada kategori lainnya yakni 51.95 %.
Miskonsepsi terjadi akibat kekeliruan dalam menafsirkan gejala atau fenomena lama yang
mereka temukan dalan hidup kesehariannya, dapat berasal dari buku ajar, dan juga bersumber dari
guru. Persentase konsepsi mahasiswa secara ringkas dapat digambarkan dalam bentuk diagram
batang pada Gambar 1 berikut.

Miskonsepsi

Paham Konsep

250,00
200,00
150,00
100,00
50,00
0,00
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57

Gambar 1. Diagram batang hasil identifikasi konsepsi siswa

Diagram batang di atas menunjukkan persentase konsepsi mahasiswa pada konsep ekologi
dalam dua indikator yang diuji. Indikator1: Memecahkan masalah ketidakseimbangan lingkungan
yang terjadi saat ini melalui kajian pola interaksi antar komponen di dalam ekosistem; Indikator
2: Siswa dapat menjelaskan hubungan antar aliran energi dengan keseimbangan ekosistem.
Kedua indikator diuraikan dalam 59 item tes. Dari 59 butir soal yang ditanyakan, teridentifikasi
bahwa kategori miskonsepsi menempati urutan tertinggi kecuali pada item nomor 38 tentang
konsep rantai makanan, dimana kategori paham konsep kurang yakin (PKKY) menempati urutan
teratas.

Dari beberapa subkonsep dalam konsep ekologi dapat dideskripsikan miksonsepsi yang
terjadi pada mahasiswa pada bebereapa konsep berikut. Sebagai perwakilan hanya akan
dijelaskan beberapa butir soal berikut:

1) Indikator 1: Memecahkan masalah ketidakseimbangan lingkungan yang terjadi saat ini


melalui kajian pola interaksi antar komponen di dalam ekosistem. Indikator yang pertama

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


163
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

diperinci lagi dari nomor 1 sampai nomor 27.Untuk indikator yang pertama subkonsep yang
diidentifikasi miskonsepsinya adalah tentang subkonsep ekosistem beserta komponennya,
interaksi yang terjadi dalam ekosistem dan kaitan interaksi dengan keseimbangan
lingkungan.Persentase tingkatan pemahaman pada subkonsep-subkonsep ini didominasi oleh
kategori miskonsepsi dengan rata-rata persentase sebesar.52.44.%, diikuti dengan tidak tahu
konsep 39.14%, paham konsep 9.84, dan paling rendah paham konsep tapi kurang yakin dengan
rata-rata persentase 3.45%. berikut ini akan dibahas, beberapa item yang mewakili indikator
pertama.Butir soal 1,4,9,16,23,25. Pada item nomor 1, 4 dan 9, sebagian besar mahasiwa
miskonsepsi dalam mmberikan contoh ekosistem.Hal ini disebabkan responden miskonsepsi
dalam menentukan komponen-komponen penyusun ekosistem sehingga suatu tempat disebut
sebagi suatu ekosistem.Butir soal nomor 16, 23, siswa mengalami miksonsepsi dalam mengaitkan
antara interaksi dalam satu ekosistem dengan keseimbangan lingkungan, siswa beranggapan
bahwa keseimbngan eksosistem terjadi apabila produsen dengan berbagi varietas lebih dominan
dalam suatu eksositem, sedangkan konsumen dalam jumlah sedikit dan dentrivor dipunahkan.
Padahal keseimbangan eksosietem dapat terjadi apabila rantai makanan, jaring makanan, dan
jumlah spesies seimbang sesuai dengan perannya, baik itu produsen, konsumen maupun
dentrivor. Butirsoal 25, siswa mengalami miskonsepsi dalam menyelsaikan masalah yang
berkaitan dengankeseimbangan lingkungan, siswa beranggapan bahwa kehilangan salah satu
komponen dalam suatu ekosistem seperti produsen tetap dapat menjaga keseimbangan ekosistem
padahal sebaliknya, produsen adalah posisi sentral dalam suatu rantai makanan dalam ekosistem
karena sebagai pengasil makanan dan sumber oksigen.

2) Indikator 2: Siswa dapat menjelaskan hubungan antar aliran energi dengan


keseimbangan ekosistem. Indikator yang kedua diuraikan dari nomor 28 sampai nomor 59. Untuk
indikator kedua, subkonsep yang diidentifikasi miskonsepsinya adalah tentang subkonsep rantai
dan jaring makanan dalam ekosistem, aliran energi, dan kaitan aliran energi dengan
keseimbangan lingkungan. Persentase tingkatan pemahaman pada subkonsep-subkonsep ini
didominasi oleh kategori miskonsepsi dengan rata-rata persentase sebesar 51.53%, diikuti
dengan tidak tahu konsep 37.55%, paham konsep tapi kurang yakin 8,95%, dan paling rendah
paham konsep dengan rata-rata persentase 4.62%. Berikut ini akan diuraikan miskonsepsi
mahasiwa pada bberapa buitr soal yang mewakili indikator kedua.Butir soal 29, 36, 39, 41, 42 ,
59. Indikator ini memuat subkonsep energi, aliran energi dan kaitannya dengan keseimbangan
ekosistem. Butir soal 29, 36, dan 39, 41, mahasiswa mengalami miskonsepsi tentang pengertian
energi, mahasiswa beranggapan bahwa pengertian dari energi adalah makanan yang membuat
tubuh sehat dan beraktivitas, padahal definisi sebenarnya dari energi adalah kemampuan untuk
melakukan kerja atau usaha yang tentunya energi ini diperoleh dari sumber-sumber makanan.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


164
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Mahasiswa juga mengalami miskonsepsi pada konsep aliran energi dalam suatu jaring-jaring
makanan, mereka beranggapan kehilangan salah satu mata rantai tidak berdampak pada mata
rantai makanan lainnya, padahal kelangsungan suatu rantai makanan bergantung dari proses
makan di makan antara mata rantai pada tingkatan trofik yang berbeda. dan butir 41, terjasdi
miskonsepsi mengenai jumlah energi pada tingkatan trofik, sebagian besar mahasiwa
beranggapan bahwa pada semua tingkat trofik jumlh energi dan jumlah individu adlah sama dan
ada juga yang bemahami bahwa semakin naik tingkat trofiknya menujuk puncak piramid amaka
jumah energinya semkian besar, padahal semkain naik ke puncak piramida maka jumlah
energinya semakin sedikit.Butir soal 42 dan 59, siswa mengalami miskonsepsi pada
ketidakseimbangan lingkungan dan cara mengatasinya. Mahasiswa lebih menitikberatkan
pemecahan masalah ketidakseimbangan ekosistem dengan cara yang praktis tanpa mengetahui
dampak negatifnya pada keseimbngan eksositem, yang diutamakan adalah cepat dan praktis,
padahal masalah ketidakseimbangan lingkungan dapat diatasi dengan menempatkan setiap
spesies sesuai perannya masing-masing. Sebagai contoh Kabupaten Sumba di serang oleh hama
belalang dan mengakibatkan penduduk mengalami kerugian yang sangat parah, solusi yang
paling tepat untuk mengatasi permasalahan di atas adalah menyediakan predator asli untuk
memangsa hama tersebut, insektisida berdampak pada kerusakan tanah dan menyebabkan
munculnya sifat resisten dari hama tersebut.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan, maka peneliti menyimpulkan bahwa sebagian
besar mahasiswa matematika mengalami miskonsepsi pada konsep-konsep ekologi dengan
rata-rata persentase mahasiswa yang mengalami miskokonsespi sebesar51.95%, tidak tahu
konsep sebesar 38.28, Paham konsep sebesar10.34% dan Paham konsep tapi kurang yakin
sebesar9,49%. Sebagian besar Konsep-konsep yang diujikan memberikan dampak kuat pada
miskonsepsi, diantaranya ekosistem dan komponenya, interaksi dalam ekosistem dan kaitannya
dengan keseimbangan lingkungan, aliran energi dan kaitannya dengan keseimbangan lingkungan
serta pemecahan masalah kerusakan lingkungan dengan pendekatan konsep-konsep ekologi.

DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim, M. 2012. Miskonsepsi..

Laksana. 2016. “Miskonsepsi Dalam Materi IPA Sekolah Dasar”.Jurnal Pendidikan Indonesia
Vol 5, No 2, Halaman 843-852.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


165
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Munawaroh, F dan Falahi, M.D. 2016. “Identifikasi Miskonsepsi Siswa SDN Kemayoran I
Bangkalan Pada Konsep Cahaya Menggunakan CRI (Certainty Of Response Index)”. Jurnal
Pena Sains Vol 3, No 1, Hal 69-76.

Murni, D. 2013. “Identifikasi Miskonsepsi Mahasiswa Pada Konsep Substansi Genetika


Menggunakan Certainty of Response Index (CRI)”. Prosisding Semirata FMIPA Universitas
Lampung, 2013. hal 205-211.

Mustaqim, T.A, Zulfiani, Herlanti, Y. 2014. “Identifikasi Miskonsepsi Siswa dengan


Menggunkana metode Certainty of Response Index (CRI) Pada Konsep Fotosintesis dan
Respirasi Tumbuhan”. Edusains Vol VI No. 02 Tahun 2014 halaman 146-152.

Saleem,H et al. 1999. “Misconception and The Certainty of Response Index (CRI)”. Physics
Education 34 (5).

Tayubi, Y.R. 2005. “Identifikasi Miskonsepsi Pada Konsep-Konsep Fisika Menggunakan


Certainty of Response Index (CRI)”. Mimbar Pendidikan No.3/XXIV/2005 Halaman 4-9.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


166
PROSIDING

MP-24

PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING & LEARNING (CTL)


UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA PESERTA DIDIK KELAS III SDI
ROJA 2 ENDE

Ainun Jariyah
Program Studi Guru Sekolah Dasar Universitas Flores,
Email: ainunjariyah70@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini dilakukan karena ditemukan masalah pada mata pelajaran IPA kelas III SDI Roja 2
Ende yang menunjukkan hasil beajar IPA yang sangat rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui penerapan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) pada
pembelajaran IPA peserta didik kelas III SDI Roja 2, dan untuk mengetahui Hasil belajar peserta
didik kelas III SDI Roja 2 setelah diterapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL). Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas (PTK) yang terdiri dari dua
siklus. Subyek penelitian ini adalah peserta didik kelas III SDI ROJA 2 Ende pada tahun
pelajaran 2017/2018 yang berjumlah 21 orang dengan perincian 6 orang laki-laki dan 15 orang
perempuan. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan tes hasil belajar IPA untuk setiap
siklus. Aktivitas peserta didik Siklus I sebesar 51% (cukup baik) dan meningkat pada siklus II
menjadi 89% (sangat baik), sedangkan aktifitas guru dalam menerapkan pendekatan CTL pada
Siklus I sebesar 58% (cukup baik) dan meningkat pada Siklus II menjadi 93% (sangat baik). Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa penerapan pendekatan CTL dapat meningkatkan aktifitas dan
hasil belajar pada peserta didik kelas III SDI ROJA 2 Ende. Hal ini dapat dilihat dari
meningkatnya aktifitas dan hasil belajar peserta didik dari Siklus I dan II. Rata-rata hasil belajar
IPA untuk materi Gerak Benda pada akhir siklus I sebesar 64,28 dan belum memenuhi KKM
yang ditetapkan dari sekolah, namun jika dilihat dari presentase ketuntasan yang ditetapkan oleh
sekolah yaitu 100%, maka dapat dikatakan belum tuntas karena masih tercatat 57% peserta didik
yang belum tuntas dan pada Siklus II nilai rata-rata meningkat menjadi 92,86 dan sudah melebihi
KKM yang ditetapkan sekolah serta persentase ketuntasan juga tercapai 100%. Untuk
keberhasilan penerapan pendekatan CTL disarankan penting bagi guru untuk selalu menerapkan
pendekatan CTL dalam proses pembelajaran gerak benda.
Kata Kunci: Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL), Hasil Belajar

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan kegiatan yang sangat kompleks. Hampir seluruh dimensi kehidupan
manusia terlibat dalam proses pendidikan, baik secara langsung, maupun tidak langsung. Dalam
proses pendidikan, ada unsur politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, kesehatan, iklim,
psikologis, sosiologis, etika, estetika, dan sebagainya. Penanganan pendidikan dengan begitu
perlu mempertimbangkan dimensi-dimensi berikut, agar strategi yang ditempuh benar-benar
mengantarkan pada pencapaian tujuan yang selama ini diharap dan ditunggu-tunggu
kehadirannya.
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa mendatang adalah pendidikan


yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu
menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Pendidikan harus
menyentuh potensi nurani maupun potensi kompetensi peserta didik. Konsep pendidikan tersebut
terasa semakin penting ketika seseorang harus memasuki kehidupan di masyarakat dan dunia
kerja, karena yang bersangkutan harus mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah untuk
mengahadapi problema yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari saat ini maupun yang akan
datang (Trianto, 2012: 1).

Menurut Teori Pembelajaran Kontekstual, bahwa belajar hanya terjadi ketika murid (pelajar)
memproses informasi atau pengetahuan baru sehingga informasi atau pengetahuan tersebut
dipahami mereka dalam kerangka acuan (memori, pengalaman, dan respons mereka sendiri).
Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan suatu pendekatan dalam
pembelajaran dengan konsep pembelajaran disesuaikan dengan kondisi peserta didik. Dalam
pembelajaran peserta didik mengalami sendiri, sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator
dalam pembelajaran dengan pendekatan tersebut, diharapkan peserta didik dapat
mengungkapkan atau menuangkan gagasan, ide, serta pengalamannya.

Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL)
merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan
situasi dunia nyata dan memotivasi peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan dan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga Negara, dan tenaga

kerja (Trianto,2012:104).

Guru merupakan penanggung jawab kegiatan proses pembelajaran di dalam kelas, sebab
gurulah yang berlangsung memberikan kemungkinan bagi para peserta didik belajar dengan
efektif melalui pembelajaran yang dikelolanya. Dalam menciptakan interaksi yang baik
diperlukan profesionalisme dan tanggung jawab yang baik dari guru dalam usaha untuk
membangkitkan kesadaran pendidikan serta mengembangkan motivasi yang mengarahkan ke
hasil belajar peserta didik sebab segala motivasi belajar peserta didik sangat menentukan bagi
keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran. Selanjutnya tingkat motivasi belajar dan hasil
belajar peserta didik dalam suatu proses pembelajaran juga merupakan tolak ukur dari kualitas
pembelajaran itu sendiri.

Pembelajaran IPA/SAINS menitik beratkan pada kreativitas peserta didik dalam


membangun pengetahuan ilmiahnya. Peserta didik dilatih berpikir kritis melalui pengamatan
pemecahan masalah, pengujian hipotesis, penarikan kesimpulan dan prediksi guna menemukan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


168
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pengetahuannya sendiri. Peserta didik diharapkan menemukan suatu pengetahuan ilmiah yang
bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pengalaman pembelajaran melalui
kegiatan-kegiatan praktis yang dilakukan. Hal ini menuntut fasilitator pembelajaran lebih kreatif
dalam mengembangkan pembelajaran dan asesmen otentik.Berdasarkan pengertian IPA dan
bagaimana anak membangun pengetahuannya maka aktivitas belajar IPA di sekolah perlu
memperhatikan pembentukan pengetahuan dalam benak peserta didik. Perlu diingat bahwa
pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran seseorang, (guru) ke kepala orang
lain (peserta didik). Peserta didik sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan oleh
guru menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka.

Berdasarkan pengamatan peneliti ketika melaksanakan kegiatan pra penelitian pada bulan
Maret di SDI Roja 2, peneliti menemukan kendala yang dihadapi guru yang kurang menyadari
pentingnya ketersediaan media dalam proses pembelajaran motivasi, dan keaktifan peserta didik
sangat rendah. Hal ini menyebabkan hasil belajar peserta didik kurang memuaskan, belum bisa
menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan, belum dapat mengolah kelas
dengan baik, dan lebih banyak melakukan ceramah dari awal hingga akhir pelajaran dalam kelas
tanpa memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengamati secara langsung segala
sesuatu yang nyata bisa mereka temukan di luar kelas sehingga banyak peserta didik yang tidak
tertarik, terlihat dari ekspresi bosan, jenuh, malas tahu, bermain pada saat jam pelajaran
berlangsung dan bersifat tidak aktif.

Dari permasalahan yang ada, peneliti mencoba menerapkan pendekatan kontekstual


Teaching and Learning (CTL), dimana pengetahuan dikaitkan dengan pengalaman nyata peserta
didik dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga peserta didik dapat mengamati secara langsung,
melakukan percobaan sendiri yang mereka temukan dalam kehidupannya. Sebelum peneliti
melakukan tindakan pembelajaran, peneliti ingin mengetahui sejauh mana kemampuan peserta
didik dengan melakukan Pra Test/Tindakan. Dengan jumlah murid dalam kelas sebanyak 21
orang maka diketahui hasil dari pra tindakan peserta didik yang tuntas adalah 8 orang dengan
presentase 38% dan peserta didik yang tidak tuntas 13 orang atau 62% dengan rata-rata 54.28.

Berdasarkan hasil belajar yang diperoleh peserta didik yang dikemukakan di atas, maka
peneliti tertarik menerapan pendekatan Contextual Teaching & Learning (CTL) agar dapat
memperbaiki hasil belajar peserta didik kelas III SDI Roja 2. Tujuan Penelitian untuk mengetahui
penerapan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) pada pembelajaran IPA peserta
didik kelas III SDI Roja 2, dan untuk mengetahui hasil belajar peserta didik kelas III SDI Roja 2
setelah diterapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL).

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


169
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini berkenaan dengan


perbaikan atau peningkatan hasil belajar pada suatu kelas. Pengertian penelitian tindakan Kelas
menurut para ahli: Menurut Suhardjono, 2007: 58 (Asrori Mohammad H, 2014) penelitian
tindakan kelas adalah penelitian tindakan yang dilakukan di kelas dengan tujuan memperbaiki
atau meningkatkan mutu praktik pembelajaran. Rustam dan Mundilarto, 2004: 1 (dalam Asrori
Mohammas H, 2014) Penelitian tindakan kelas adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh
guru di kelasnya sendiri dengan jalan merancang, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan
secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru
sehingga hasil belajar peserta didik dapat meningkat

Dalam penelitian ini kehadiran peneliti di lapangan sangat diperlukan, karena itu peneliti
bertindak sebagai partisipan penuh. Sebagai partisipan penuh peneliti merupakan perencana,
pelaksanaan tindakan, observasi/pengamatan, dan refleksi, dan pada akhirnya peneliti menjadi
pelapor hasil penelitiannya (Moleong,2011:168) karena itu dalam penelitian ini peneliti bertindak
sebagai (1) perencana (2) pelaksanaan tindakan (3) pengumpul data (4) penganalisis data (5)
pelapor data. Dalam hal ini peneliti membuat RPP, tes hasil belajar, dokumentasi, kemudian
melaksanakan kegiatan pembelajaran dan membuat laporan penelitian. Subyek dalam penelitian
ini adalah siswa kelas V SDI Roja 2 Ende, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende dengan
jumlah peserta didik di kelas III sebanyak 21 orang, terdiri dari 6 siswa laki- laki dan 15 siswa
perempuan.

Sumber data yang diambil dalam penelitian ini adalah data yang bersangkuatan dengan
penerapan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk meningkatkan hasil
belajar IPA. Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data (1) keterlaksanaan
pembelajaran yakni data yang dipergunakan untuk memperoleh gambaran sejauh mana
pembelajaran telah selesai dengan rencana mulai dari awal pembelajaran hingga pembelajaran
berakhir, (2) ranah kognitif yaiu data yang dipergunakan untuk memperoleh gambaran sejauh
mana kemampuan kognitif siswa diukur dan telah mencapai KKM baik secara individu maupun
secara klasikal melalui tes.

Tes dilaksanakan setiap akhir siklus. Dari hasil tes tampak hasil perlakuan yang diberikan.
Instrumen penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi tes hasil belajar.
Selanjutnya, peneliti melakukan refeksi terhadap keseluruhan proses pembelajaran. Sedangkan,
prosedur atau tahap-tahap penelitian, menggunakan tahap-tahap penelitian tindakan kelas model
Kemmis dan Mc Taggart.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


170
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data tentang hasil belajar siswa, pelaksanaan siklus I yang dilaksanakan pada tanggal tanggal
25 Maret 2017 dan pelaksanaan kegiatan siklus II dilakukan pada tanggal 03 April 2017, Hasil
belajar siswa diperoleh melalui tes akhir. Hasil belajar pada siklus I dan siklus II telah
menunjukan bahwa adanya perkembangan yang dialami peserta didik baik itu dari sisi keaktifan,
perhatian yang diberikan serta perolehan disiplin yang ditunjukan serta mengalami peningkatan
hasil belajar pada kelas III pada pembelajarn IPA dengan menggunakan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL), Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) juga
merubah karakter peserta didik yang tidak ingin tahu tentang macam-macam gerak benda
menjadi termotivasi dan merasa penasaran apa saja macam-macam gerak benda tersebut. Peserta
didikpun menjadi percaya diri dengan temuan mereka sendiri dan sangat semangat dalam
melakukan percobaan tersebut.

Berdasarkan aktivitas guru dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching and


Learning (CTL), dari siklus I ke siklus II yaitu mengalami peningkatan dari 58% sampai dengan
89%, sedangkan peningkatan aktivitas peserta didik dari siklus I ke siklus II adalah 51% sampai
dengan 93%. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan aktivitas guru dan peserta didik
menjadikan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) sangat baik digunakan dalam
pembelajaran IPA khususnya kelas III materi Gerak Benda.

Sedangkan untuk hasil belajar dari hasil pembelajaran siklus I dan siklus II meningkat dengan
rata- rata kelas 64.28%. Berikut adalah rata-rata Pra Test, siklus I, dan siklus II pada tabel 4.11
(Terlampir). Dari tabel 4.11 diperoleh bahwa pada saat Pra Test nilai rata-rata peserta didik 54.28
dimana presentase 38% dan ada peserta didik yang mendapat ≥70 sebanyak 8 orang. Hal ini
menunjukan bahwa hasil yang dicapai peserta didik pada awal pembelajaran IPA materi gerak
benda masih sangat kurang sehingga untuk mencapai suatu keberhasilan peserta didik dalam
kegiatan pembelajaran perlu adanya perbaikan pembelajaran disiklus I dan II.

Pada siklus I rata-rata nilai peserta didik 64.28, sedangkan presentase ketuntasan mencapai
43% dimana peserta didik yang mencapai nilai ≥70 ada 9 orang. Pada siklus ke II rata-rata nilai
peserta didik mencapai 92.86 dengan presentase ketuntasan 100% dimana dari 21 orang
semuanya telah mendapat nilai yang sesuai dengan KKM yang ditentukan yaitu 70 atau dengan
kata lain semua peserta didik telah mencapai ketuntasan dalam pembelajaran.

Perolehan tersebut membuktikan bahwa dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching


and Learning (CTL) dalam pembelajaran IPA materi gerak benda peserta didik kelas III SDI

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


171
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

ROJA 2 dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Peningkatan hasil belajar siswa tersebut berhasil
membuktikan teori-teori dari para ahli.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dan hasil pelaksanaan tindakan, dan refleksi
atas penerapan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) maka dapat disimpulkan
bahwa pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran IPA pokok
bahasan gerak benda pada peserta didik kelas III SDI ROJA 2 Ende sudah diterapkan dengan
baik. pada siklus I nilai rata-rata sebesar 64.28 dengan presentase ketuntasan 59% dan pada siklus
II nilai rata-rata sebesar 92.86 dengan presentase ketuntasan 100%. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa penerapan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) berhasil
diterapkan dengan taraf sangat baik. Hasil belajar peserta didik setelah diterapkan pendekatan
Contextual Teaching and Learning (CTL) juga meningkat. Pada siklus I dari 21 orang peserta
didik 41% (9 orang) yang tuntas dan pada siklus II menjadi 100% tuntas.

Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas peneliti dapat mengajukan saran-saran sebagai berikut:

1. Bagi guru

1) Penerapan Pendekatan CTL berimplikasi positif terhadap hasil belajar dan aktifitas
belajar. Oleh karena itu disarankan kepada guru-guru dapat memperbaiki
pembelajaran dengan model pembelajaran yang sama pada mata pelajaran lain.
dapat memperbaiki pembelajaran dengan model pembelajaran yang sama pada
mata pelajaran lain.

2) Guru harus memberikan motivasi pada peserta didik agar mereka serius dalam
mengikuti kegiatan belajar mengajar khususnya pada pelajaran IPA dan
menyiapkan alat peraga secara lengkap dan diberikan dengan berbagai permainan.

2. Bagi lembaga

Lembaga diharapkan menyediakan media pembelajaran yang dirancang bagi peserta


didik dan guru atau memakai yang sesuai dengan materi/kurikulum perkembangan
zaman khususnya pada mata pelajaran IPA.

3. Bagi peneliti Lain

Diharapkan bagi para peneliti-peneliti lain, yang ingin melakukan penelitian dengan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


172
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

menggunakan metode yang sama, hendaknya meneliti dari segi aspek-aspek yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Asrori Mohammad H. (2014). Penelitian Tindakan Kelas.Bandung: CV Wacana Prima.

Hamiyah Nur,dkk. (2014). Strategi Belajar-Mengajar Di Kelas.Jakarta: Prestasi Pustaka

Johnson B. Elaine. (2014). Contextual Teaching and Learning.Bandung: Penerbit Kaifa

Moleong, J.L.2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sudjana Nana. (2009). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung PT Remaja
Rosdakarya

Trianto. (2012). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif – Progresif.J akarta: Kencana

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


173
PROSIDING

MP-25
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH
UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTADIDIK KELAS V
PADA PEMBELAJARAN IPA DI SDI BARAI 2 KECAMATAN ENDE
UTARA KABUPATEN ENDE

Adi Neneng Abdullah


Program Studi PGSD Universitas Flores
Email : Muhammad.Firzal@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Reserach) yang
bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar IPA dengan menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe Make a Match . Penelitian dilaksanakan dalam tahapan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) desain Kemmis dan Mc Taggart yang meliputi
tahapan perencanaan (Plan), tahap pelaksanaan (Act), tahap observasi (observe) dan
tahap refleksi (reflect).
Berdasarkan hasil observasi model pembelajaran make a match dapat meningkatkan
hasil belajar peserta didik kelas V SD Inpres Barai 2. Hal ini dapat dibuktikan dengan
peningkatan hasil belajar peserta didik dalam setiap siklus, dimana nilai rata-rata yang
diperoleh peserta didik dalam tes awal (pretest) yakni 52,08 dengan ketuntasan klasikal
20,83% meningkat pada siklus I dengan nilai rata-rata yang diperoleh adalah 68,91
dengan ketuntasan klasikal 62,5% dan meningkat di siklus II dengan nilai rata-rata
81,75 dengan ketuntasan klasikal 100%.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPA dengan menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dapat meningkatkan hasil belajar
peserta didik kelas V SD Inpres Barai 2.

Kata Kunci : Model Make a Match dan Hasil Belajar

PENDAHULUAN
Pendidikan adalah sesuatu yang universal dan berlangsung terus tak terputus dari
generasi ke generasi di manapun di dunia ini. Upaya memanusiakan manusia melalui pendidikan
itu di selenggarakan sesuai dengan pandangan hidup masyarakat tertentu. Lewat pendidikan, bisa
diukur maju mundurnya sebuah negara. Sebuah negara akan tumbuh pesat dan maju dalam
segenap bidang kehidupan jika ditopang oleh pendidikan yang berkualitas. Sebaliknya, kondisi
pendidikan yang kacau dan amburadul akan berimplikasi pada kondisi negara yang juga
karut-marut.
Indonesia merupakan contoh konkret sebuah negara yang masuk dalam kategori kedua,
yaitu negara dengan sistem pendidikan yang belum kukuh. Salah satu faktor yang menjadi
penyebab sulitnya Indonesia bangkit dari keterpurukan adalah sistem pendidikan Indonesia masih
amburadul dan belum mampu menghasilkan output yang berkualitas (Muhajir, 2011:17).

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema Inovasi Pembelajaran
menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di Program Studi PGSD
Universitas Flores Ende.
.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Dalam kegiatan pembelajaran, keterlibatan peserta didik turut mempengaruhi hasil


belajar. Peserta didik yang aktif bertanya, menjawab pertanyaan guru, berdiskusi, mengerjakan
tugas dan bekerja kelompok, kemungkinan hasil belajarnya akan lebih baik dari pada peserta
didik yang hanya duduk, dengar, catat, dan hafal, oleh sebab itu Peserta didik perlu diberi
kesempatan untuk melakukan kegiatan nyata yang melibatkan otak dan pikiran peserta didik.
Kegiatan ini berlaku untuk semua mata pelajaran. Proses pembelajaran mata pelajaran IPA, saat
ini belum mampu mengembangkan kemampuan anak untuk berpikir kritis dan sistematis.
Hal ini didukung dengan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti dimana peneliti
menemukan beberapa masalah diantaranya adalah pembelajaran yang dilaksanakan lebih
berpusat pada guru (teacher centered) sedangkan peserta didik kurang aktif dalam bertanya,
menjawab pertanyaan dan menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Selain itu, guru lebih
sering menggunakan metode ceramah, tanya-jawab, diskusi dan penugasan. Di samping itu juga,
kurangnya kreatifitas guru dalam memotivasi peserta didik dalam proses belajar mengajar.
Dengan demikian, agar tercapainya hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran IPA dengan
materi Bumi dan Alam Semesta, maka digunakanlah model pengajaran yaitu model pembelajaran
kooperatif tipe make a match.
Metode make a match atau mencari pasangan ini merupakan salah satu alternatif yang
dapat diterapkan kepada siswa. Penerapan metode ini dimulai dari teknik yaitu siswa disuruh
mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban/soal sebelum batas waktunya, siswa yang
dapat mencocokkan kartunya diberi poin. Model pembelajaran ini dapat membantu siswa dalam
proses pembelajaran, siswa dituntut aktif agar dapat menerima materi yang disampaikan dengan
baik dan lebih mudah dalam memahami materi tersebut. Model pembelajaran make a match
adalah pembelajaran menggunakan kartu-kartu. Kartu-kartu tersebut terdiri dari kartu yang berisi
soal dan kartu yang lainnya berisi jawaban dari soal-soal tersebut.
Pada dasarnya, model pembelajaran ini melibatkan materi ajar yang memungkinkan
siswa saling membantu dan mendukung ketika mereka belajar materi dan bekerja saling
tergantung (interdependen) untuk menyelesaikan tugas.Keterampilan sosial yang dibutuhkan
dalam usaha berkolaborasi harus dipandang penting dalam keberhasilan menyelesaikan tugas
kelompok. Keterampilan ini dapat diajarkan kepada siswa dan peran siswa dapat ditentukan untuk
memfasilitasi proses kelompok. Dalam hal ini guru berperan sebagai pemonitor dan fasilitator.
Model pembelajaran make amatch ini cocok diterapkan dalam segala jenis mata pelajaran dan
semua jenjang pendidikan.
Model pembelajaranKooperatif tipe make a match merupakan model pembelajaran
yang mengharuskan peserta didik mengolah pesan sehingga memperoleh pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai. Model pembelajaran Kooperatif tipe make a match merupakan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


175
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pengajaran yang terpusat pada peserta didik. Dalam model pembelajaran ini peserta didik menjadi
aktif belajar karena dalam model pembelajaran ini, peserta didik dituntut untuk mengembangkan
keterampilan intelektual, berpikir, kritis, dan mampu memecahkan masalah dalam kelompok
dalam bermain.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk Penelitian Tindakan Kelas yang berfokus pada Penerapan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match untuk Meningkatkan Hasil Belajar Peserta
Didik Kelas V SDInpres Barai 2 Kecamatan Ende Utara Kabupaten Ende karena ingin
mengungkapkan atau memperoleh gambaran secara mendalam tentang peningkatan hasil belajar
IPA dengan menggunakan model pembelajaran Kooperatif tipe Make A Match. Berdasarkan jenis
penelitian yang ada maka dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
deskriptif kualitatif. Alasan digunakan pendekatan kualitatif karena tujuan peneliti untuk
memperoleh gambaran tentang fokus masalah yang akan diteliti serta tersedianya sumber
informasi.
Prosedur penelitian ini menggunakan model siklus PTK yang dikemukakan Kemmis
dan Taggart, yang terdiri dari empat fase kegiatan, yaitu: merencanakan (planning), melakukan
tindakan (action), mengamati (observation) dan merefleksi (reflektif). Dalam penelitian ini yang
menjadi subjek penelitian adalah peserta didik kelas V SD Inpres Barai 2 yang berjumlah 24
orang terdiri dari 14 siswa dan 10 orang siswi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Model pembelajaran kooperatif tipe make a match. Sebagaimana dikutip dalam Hasan
Fauzi Maufur, Model make a match (mencari pasangan) pertama kali dikembangkan oleh Lorna
Curran (1995) dalam mencari variasi mode berpasangan. Salah satu keunggulan teknik ini adalah
siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang
menyenangkan.
Model pembelajaran Make a Match atau mencari pasangan merupakan salah satu
alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Penerapan model
pembelajaran ini dimulai dari teknik, yaitu siswa disuruh mencari pasangan kartu yang
merupakan jawaban atau soal yang dipegang. Siswa diharapkan mampu mencari pasangan
kartunya sebelum batas waktu yang ditentukan. Siswa yang dapat mencocokkan kartunya lebih
cepat akan diberi poin.
Adapun langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe
make a match adalah sebagai berikut (Isjoni :2009) :

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


176
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topic yang cocok untuk
review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.
2. Siswa dibagi menjadi 3 kelompok, kelompok 1 mendapat kartu soal dan kelompok 2
mendapat kartu jawaban sedangkan kelompok 3 berfungsi sebagai penilai.
3. Tiap peserta didik mendapatkan satu kartu yang berisi pertanyaan atau jawaban.
4. Setiap peserta didik mencari pasangan yang cocok dengan kartunya (Pasangan
pertanyaan-jawaban)
5. Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin oleh
penilai.
6. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari
sebelumnya
7. Setelah semua siswa mendapatkan pasangannya kemudian siswa yang berperan sebagai
penilai berganti peran menjadi pemegang kartu pertanyaan dan sebagian memegang kartu
jawaban. Sedangkan siswa pada kelompok 1 dan 2 sebelumnya berganti peran sebagai
penilai.
8. Kemudian lakukan kegiatan seperti langkah pada nomor 4 dan 5.
9. Kesimpulan dan penutup
Perlu diketahui bahwa tidak semua peserta didik baik yang berperan sebagai pemegang kartu
pertanyaan, pemegang kartu jawaban maupun penilai mengetahui dan memahami secara pasti
apakah betul kartu pertanyaan dan jawaban yang mereka pasangkan telah cocok atau tidak.
Demikian halnya dengan penilai, mereka juga belum mengetahui secara pasti apakah
penilaian mereka benar atas pasangan pertanyaan dan jawaban yang diberikan. Berdasarkan
situasi inilah guru memfasilitasi siswa untuk mengkonfirmasi hal-hal yang telah mereka
lakukan yaitu memasangkan pertanyaan dan jawaban dan melaksanakan penilaian.
Berdasarkan observasi selama pelaksanaan tindakan telah terjadi kemajuan pada siklus I
dan siklus II di mana pada pelaksanaan pembelajaran siklus I aktivitas guru dalam kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan metode make a match sudah cukup baik yaitu mencapai
59,61% meningkat pada kegiatan pembelajaran siklus II yaitu tingkat keberhasilannya mencapai
96,15%. Hal ini membuktikan bahwa penerapan metode make a match dalam pembelajaran IPA
dari hasil observasi aktivitas guru sudah baik. Selain itu, hasil observasi terhadap aktivitas
peserta didik pada siklus I dan siklus II juga mengalami kemajuan yaitu pada siklus I mencapai
50% dan pada siklus II mencapai 96,42% . Peningkatan aktivitas peserta didik tersebut
dikategorikan baik, maka observasi aktivitas peserta didik dihentikan pada siklus II.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


177
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tabel. 1. Perbandingan Hasil Observasi Aktivitas Guru dan Peserta Didik Siklus I dan II
No Uraian Siklus I Siklus II
1 Aktivitas Guru 59.61% 96.15%
2 Aktivitas Peserta Didik 50% 96.42%

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hasil observasi terhadap
aktivitas guru dan hasil observasi aktivitas peserta didik, penerapan metode make a match bagi
peserta didik kelas V terbukti telah mampu meningkatkan hasil belajar peserta didik.
Pada pelaksanaan tindakan siklus I dan II, hasil tes mengalami peningkatan dari siklus I
dan II. Dari hasil analisis nilai pada pre-test menunjukkan bahwa banyak peserta didik belum
mampu menyelesaikan tes awal/pretest tentang Bumi dan Alam Semesta yang diberikan. Hal ini
terbukti pada nilai rata-rata yakni 52,08 dengan ketuntasan 20,83%. Kemudian, pada siklus I,
memperoleh nilai rata-rata68,91 dengan ketuntasan 62,5%. Berdasarkan nilai tersebut dilakukan
pelaksanaan tindakan pada siklus II dengan tujuan memperbaiki hasil belajar peserta didik.
Pada siklus II hasil belajar peserta didik meningkat. Nilai yang diperoleh rata-rata 81,75
dimana setiap peserta didik telah mencapai apa yang diharapkan yaitu berdasarkan KKM dengan
ketuntasan belajar 100%. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel perbandingan hasil belajar peserta
didik pada pretest, siklus I dan siklus II dibawah:
Tabel 2. Perbandingan Hasil Belajar Peserta Didik pada Pree Test Siklus I dan II
Uraian Nilai Rata-Rata Ketuntasan Klasikal
Pretest 52,08 20.83%
Siklus I 68,91 62.5%
Siklus II 81,75 100%
Sumber: Data Hasil Belajar Pretest, Siklus I dan II
Berdasarkan table di atas dapat diketahui adanya peningkatan hasil belajar peserta didik
dari rata-rata yang diperoleh sebelumnya hanya 52,08 dengan ketuntasan klasikal 20.83%
meningkat pada siklus I menjadi 68,91 dengan ketuntasan klasikal 62.5% serta meningkat pada
siklus II menjadi 81,75 atau 100% pada siklus II. Hal ini menunjukan bahwa adanya peningkatan
hasil belajar peserta didik pada materi Bumi dan Alam Semesta.

KESIMPULAN DAN SARAN


Dengan menerapkan model pembelajaran make a matchdapat meningkatkan hasil
belajar peserta didik kelas V SD Inpres Barai 2. Hal ini dapat dibuktikan dengan peningkatan
hasil belajar peserta didik dalam setiap siklus, dimana nilai rata-rata yang diperoleh peserta didik
dalam tes awal (pretest) yakni 52,08 dengan ketuntasan 20,83% meningkat pada siklus I dengan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


178
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

nilai rata-ratayang diperoleh adalah 68,91 dengan ketuntasan 62,5% dan meningkat di post-test
siklus II dengan nilai rata-rata 81,75 dengan ketuntasan klasikal 100%. Dengan demikian dapat
dikatakan penerapan model pembelajaran make a match dapat meningkatkan hasil belajar peserta
didik kelas V SD Inpres Barai 2 Kecamatan Ende Utara Kabupaten Ende. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan bagi guru mata pelajaran sebagai salah satu tawaran model
pembelajaran yang efektif, sehingga hasil belajar peserta didik khususnya dalam mata pelajaran
IPA semakin hari semakin meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Anita Lie. 2008. Cooperative Learning. Jakarta: PT Grasindo.
Daryanto. 2011. Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian Tindakan Sekolah. Yogyakarta: Gava
Media
Hamzah B. Uno, Nina Lamatenggo, Satria Koni. 2012. Menjadi Peneliti PTK Yang Profesional.
Jakarta: Bumi Aksara.
Haryanto. 2004. Sains Untuk SD Kelas V. Jakarta: Erlangga.
Isjoni, Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi antar Peserta Didik
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009)
Maufur, Fauzi, Hasan. 2009 Sejuta Jurus Mengajar Mengasyikkan (Semarang: Sindur Press)
Maula, Minatul, dkk. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match
terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV SD. IKIP PGRI
Semarang.
Muhajir, As’aril. 2011. Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual. Jogjakarta: AR-Ruzz Media.
Nana Sudjana. 2011. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rusman. 2010. Model-model Pembelajaran. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset.
Umar, Tirtaraharja. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


179
PROSIDING

MP-26
PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN ALAM BERBASIS SIENCE,
TECHNOLOGY, ENGINEERNING, AND MATHEMATICS (STEM)

Devita Cahyani Nugraheny


STKIP Kusuma Negara
Email: devitacahyaninugraheny@gmail.com

Abstrak
Pendidikan STEM memberikan peluang bagi guru untuk memperlihatkan kepada peserta didik
betapa konsep, prinsip, dan teknik dari sains, teknologi, engineering, dan matematika digunakan
secara terintegrasi dalam pengembangan produk, proses, dan sistem yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik. pendidikan STEM sebagai pendekatan interdisiplin pada
pembelajaran, yang di dalamnya peserta didik menggunakan sains, teknologi, engineering, dan
matematika dalam konteks nyata yang mengkoneksikan antara sekolah, dunia kerja, dan dunia
global, sehingga mengembangkan literasi STEM yang memampukan peserta didik bersaing
dalam era ekonomi baru yang berbasis pengetahuan.

Kata kunci: Pendidikan IPA, STEM

PENDAHULUAN

Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) pada akhir tahun 2015 menyepakati


pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA sebagai bentuk integrasi ekonomi
kawasan ASEAN yang bertujuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi di masing-masing
negara. Realisasi perdagangan bebas dalam konteks MEA menimbulkan arus bebas dari satu
negara ke negara lain di ASEAN dalam barang, jasa, dan tenaga kerja. Upaya strategis diperlukan
untuk meningkatkan daya saing produk dan tenaga kerja Indonesia yang ditopang oleh kualitas
pendidikan, termasuk pendidikan ilmu pengetahuan alam (IPA)

Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini menjadi kunci penting
dalam menghadapi tantangan di masa depan.Berbagai tantangan yang muncul antara lain
berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup, pemerataan pembangunan, dan kemampuan untuk
mengembangkan sumber daya manusia. Pendidikan Sains/IPA sebagai bagian dari pendidikan
berperan penting untuk menyiapkan peserta didik yang memiliki literasi sains, yaitu yang mampu
berpikir kritis, kreatif, logis, dan berinisiatif dalam menanggapi isu di masyarakat yang
diakibatkan oleh dampak perkembangan IPA dan teknologi. Pendidikan IPA (sains) diharapkan
dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta
prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.

Literasi sains seseorang sangat terkait dengan literasi teknologi dan matematika. literasi
sains dapat pula didefinisikan sebagai kemampuan membaca dan menulis tentang sains dan

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

teknologi. Kemampuan seseorang dalam sains sangat dipengaruhi oleh cara berpikir sistematik,
logis dan rasional, yang sangat potensial dilatihkan dalam matematik. Kedua kemampuan ini
akan digunakan untuk melakukan analisis kritis terhadap suatu fenomena dalam sains,
menggunakannya pada saat seseorang melakukan pemecahan masalah terkait konteks sains.
Kemampuan berpikir logis dan rasional merupakan salahsatu aspek literasi matematik. Seorang
yang literat terhadap matematika, biasanya akan memiliki kemampuan untuk memikirkan
fenomena yang ditemukan dengan logis, sistematik, dan dilandasi dengan pemikiran-pemikiran
kritis.

Literasi sains, bahasa, dan matematika telah diakui secara internasional sebagai tolok
ukur tinggi-rendahnya kualitas pendidikan Hal ini direspon oleh The Program for
InternationalStudent Assessment (PISA)yang beranggotakan negara industry maju (the
Organization for Economic Cooperation and Development, OECD). Organisasi ini memiliki
pemahaman bahwa maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh tiga hal tersebut, sehingga
senantiasa melakukan penilaian terhadap ketiga literasi tersebut secara periodik setiap tiga tahun,
utamanya terhadap peserta didik berusia 15 tahun (level SMP). Selain negara-negara industri
maju, penilaian dilakukan juga di negara-negara yangmengajukan diri untuk dinilai,
termasukIndonesia. Penerapan sains sangat banyak ditemukan dalam produk-produk teknologi,
dan sebaliknya sains ditemukan dari munculnya produk-produk teknologi. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran sains dalam konteks teknologi dan rancang bangun
sangat potensial meningkatkan literasi sains. Peserta didik dapat memaknai lebih dalam arti
penting sains bagi perkembangan teknologi, dan sebaliknya.STEM (Sience, technology,
engineering andmathematics) education saat ini menjadi alternative pembelajaran sains yang
dapat membangun generasi muda menghadapi segala tantangan yang ada.

PEMBAHASAN

A. Literasi Sains

Sains berasal daribahasa Inggris science yang diambil dari bahasa Latin sciencia dan
berarti pengetahuan. Sains berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis,
sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta,
konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. PISA
Nasional 2006, mendefinisikan literasi sains sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan
sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam
rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang
dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Definisi literasi sains ini memandang literasi

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


181
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains, melainkan
lebih luas dari itu.

PISA 2000 mengemukakan bahwa literasi sains juga menuntut kemampuan


menggunakan proses penyelidikan sains, seperti mengidentifikasi bukti-bukti yang diperlukan
untuk menjawab pertanyaan ilmiah, mengenal permasalahan yang dapat dipecahkan melalui
penyelidikan ilmiah. Bagian yang tak dapat dipisahkan dari sains adalah teknologi.
Perkembangan teknologi dilandasi oleh sains sedangkan teknologi itu sendiri menunjang
perkembangan sains, terutama digunakan untuk aktivitas penemuan dalam upaya memperoleh
penjelasan tentang obyek dan fenomena alam.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat tarik suatu abstraksi bahwa literasi


sains dan teknologi adalah kemampuan menggunakan pengetahuan sains dan penerapannya,
mengidentifikasi permasalahan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti dalam rangka
memahami serta membuat keputusan tentang alam dan perubahan pada alam sebagai aktivitas
manusia dalam kehidupan seharihari. Adapun literasi sains dan teknologi yang diusulkan untuk
pendidikan dasar di Indonesia, dapat diartikan sebagai kemampuan menyelesaikan masalah
menggunakan konsep-konsep sains, mengenal produk teknologi beserta dampaknya, mampu
menggunakan dan memelihara produk teknologi, kreatif, dan dapat mengambil keputusan
berdasarkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Menurut National Science Teachers Association (NSTA) dan NRC seseorang yang
memiliki literasi sains dan teknologi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Menggunakan
konsep-konsep sains, keterampilan proses dan nilai apabila mengambil keputusan yang
bertanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari. (2) Mengetahui bagaimana masyarakat
mempengaruhi sains dan teknologi serta bagaimana sains dan teknologi mempengaruhi
masyarakat. (3) Mengetahui bahwa masyarakatmengontrol sains dan teknologi
melaluipengelolaan sumber daya alam. (4) Menyadari keterbatasan dan kegunaansains dan
teknologi untuk meningkatkankesejahteraan manusia. (5) Memenuhi sebagian besar
konsep-konsepsains, hipotesis dan teori sains dan mampumenggunakannya.(6) Menghargai sains
dan teknologi sebagaistimulus intelektual yang dimilikinya. (7) Mengetahui bahwa pengetahuan
ilmiahtergantung pada proses-proses inkuiri danteori-teori.(8) Membedakan fakta-fakta ilmiah
dan opinipribadi. (9) Mengakui asal-usul sains dan mengetahuibahwa pengetahuan ilmiah adalah
tentatif. (10) Mengetahui aplikasi teknologi danpengambilan keputusan menggunakanteknologi.
(11) Memiliki pengetahuan dan pengalamancukup untuk memberikan penghargaanpada
penelitian dan pengembanganteknologi.(12)Mengetahui sumber-sumber informasidari sains dan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


182
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

teknologi yang dipercayadan menggunakan sumber-sumbertersebut dalam pengambilan


keputusan.

Permasalahan utama dalampembelajaran sains yang sampai saat inibelum mendapat


pemecahan secara tuntasadalah adanya anggapan pada diri peserta didikbahwa pelajaran ini sulit
dipahami dandimengerti. Hal ini senada dengan hasil risetyang dilakukan oleh
Holbrookyangmenunjukkan bahwa pembelajaran sains tidakrelevan dalam pandangan peserta
didik dan tidakdisukai peserta didik. Faktor utama semua kenyataan tersebut sepertinya adalah
karena ketiadaan keterkaitan dalam pembelajaran sains.

Penekanan pemahaman konsep dasar danpengertian dasar ilmu pengetahuan


tersebuttidak dikaitkan dengan hal-hal yang berkaitandengan kehidupan sehari-hari, padahal
Yagerdan Lutz (Holbrook,1998) mengungkapkan lebih lanjut bahwasains relevan dengan proses
dan produksehari-hari yang digunakan dalammasyarakat. Salahsatu kendala belajar sainslainnya
adalah karena rendahnya kemampuanmembaca dan memaknai bacaan. Selain itu,Kemampuan
berpikir logis, rasional, sertasistematis peserta didik juga rendah untuk sebagianbesar anak
Indonesia. Hasil analisis lebih lanjut terhadapdata PISA untuk anak Indonesia inimenghasilkan
beberapa temuan diantaranya: (1) Capaian literasi peserta didik rendah,dengan rata-rata sekitar
32% untukkeseluruhan aspek, yang terdiri atas 29%untuk konten, 34% untuk proses, dan32%
untuk konteks. (2) Terdapat keragaman antarpropinsi yangrelatif rendah dari tingkat literasi
sainspeserta didik Indonesia. (3) Kemampuan memecahkan masalah anakIndonesia sangat
rendah, jauhdibandingkan dengan negara-negaraseperti Malaysia, Thailand, atau Filipina.

Berdasarkan hasil temuan tersebut, terutama untuk aspek konteks aplikasi sains terbukti
hampir dapat dipastikan bahwa banyak peserta didik di Indonesia tidak mampu mengaitkan
pengetahuan sains yang dipelajarinya dengan fenomena-fenomena yang terjadi di dunia, karena
mereka tidak memperoleh pengalaman untuk mengkaitkannya. Literasi sains dan teknologi tidak
dapat dipisahkan dari literasi Bahasa (membaca). Literasi bahasa dapat dimaknai sebagai
kemampuan dalam: membaca katakata yang tercetak, menulis dengan mudah dan menyenangkan,
menyampaikan ide-ide yang esensial melalui kata-kata tertulis, danmemahami pesan lisan. Lebih
lanjut diungkapkan bahwa seseorang yang literatterhadap bahasa mampu mengikuti tuturanyang
telah ditetapkan dan makna yangdinyatakan tidak secara langsung yangdicerminkan dalam
pilihan kata, strukturkalimat, serta pola tekanan dan pola jungturujaran, mewicara dengan jelas,
ringkas, danmenyenangkan, dan menemukan kepuasan,tujuan, dan perolehan melalui
berbagaikegiatan literasi.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


183
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

B. Pendidikan STEM

Konsep pendidikan STEM (science, technology, engineering, mathematics) yang


sedang berkembang di negara-negara maju saat kini dapat menjadi ‘framework’ baru bagi inovasi
pendidikan di Indonesia dalam era persaingan bebas. sains adalah kajian tentang fenomena alam
yang melibatkan observasi dan pengukuran, sebagai wahana untuk menjelaskan secara obyektif
alam yang selalu berubah. Terdapat beberapa domain utama dari sains pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah, yakni fisika, biologi, IPA, serta ilmu pengetahuan kebumian dan antariksa.
Teknologi adalah tentang inovasi-inovasi manusia yang digunakan untuk memodifikasi alam
agar memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia, sehingga membuat kehidupan lebih baik dan
lebih aman. Teknologi-teknologi membuat manusia dapat melakukan perjalanan secara cepat,
berkomunikasi langsung dengan orang di tempat yang berjauhan, mendapati makanan yang sehat,
serta alat-alat keselamatan. Engineering adalah pengetahuan dan keterampilan untuk memperoleh
dan mengaplikasikan pengetahuan ilmiah, ekonomi, sosial, serta praktis untuk mendesain dan
mengkonstruksi mesin, peralatan, sistem, material, dan proses yang bermanfaat bagi manusia
secara ekonomis dan ramah lingkungan. Selanjutnya, matematika adalah ilmu tentang pola-pola
dan hubunganhubungan, dan menyediakan bahasa bagi teknologi, sains, dan engineering.

Pendidikan STEM tidak bermakna hanya penguatan praksis pendidikan dalam


bidang-bidang STEM secara terpisah, melainkan mengembangkan pendekatan pendidikan yang
mengintegrasikan sains, teknonogi, engineering, dan matematika, dengan memfokuskan proses
pendidikan pada pemecahan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan
profesi (National STEM Education Center, 2014). Dalam konteks pendidikan dasar dan
menengah, Pendidikan STEM bertujuan mengembangkan peserta didik yang melek STEM
(Bybee, 2013:5), yang mempunyai: (1) pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk
mengidentifikasi pertanyaan dan masalah dalam situasi kehidupannya, menjelaskan fenomena
alam, mendesain, serta menarik kesimpulan berdasar bukti mengenai isu-isu terkait STEM; (2)
memahami karakteristik fitur-fitur disiplin STEM sebagai bentuk-bentuk pengetahuan,
penyelidikan, serta desain yang digagas manusia; (3) kesadaran bagaimana disiplin-disiplin
STEM membentuk lingkungan material, intelektual dan kultural, (4) mau terlibat dalam kajian
isu-isu terkait STEM (misalnya efisiensi energi, kualitas lingkungan, keterbatasan sumberdaya
alam) sebagai warga negara yang konstruktif, peduli, serta reflektif dengan menggunakan
gagasan-gagasan sains, teknologi, engineering dan matematika.

Secara umum, penerapan STEM dalam pembelajaran dapat mendorong peserta didik
untuk mendesain,mengembangkan dan memanfaatkanteknologi, mengasah kognitif, manipulatif
danafektif, serta mengaplikasikan pengetahuan. Oleh karena itu, penerapan STEM

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


184
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

cocokdigunakan pada pembelajaran sains.Pembelajaran berbasis STEM dapat melatihpeserta


didik dalam menerapkan pengetahuannyauntuk membuat desain sebagai bentukpemecahan
masalah terkait lingkungandengan memanfaatkan teknologi.

STEM telah diterapkan di sejumlahnegara maju seperti Amerika Serikat,


Jepang,Finlandia, Australia dan Singapura. STEMmerupakan inisiatif dari National
ScienceFoundation. Tujuan dari penerapan STEM diAmerika Serikat ialah untuk
menjadikankeempat bidang ini (science, technology,engineering, and mathematics)
menjadipilihan karir utama bagi peserta didik.Keadaan ini terjadi karena negara
tersebutmengalami krisis ilmuan di bidang STEM.Bentuk keseriusan pemerintah AmerikaSerikat
untuk mengatasi masalah tersebutantara lain dengan mendirikan STEMEducation dan
memberikan bantuan biaya pendidikan pada calon mahapeserta didik yangmemilih salah satu
bidang STEM. Namunbe berapa tahun belakangan, STEM diterapkanpada berbagai bidang studi
atau jurusan diberbagai jenjang pendidikan.

STEM telah banyak diterapkan dalampembelajaran. Keadaan ini ditunjukkan darihasil


penelitian yang mengungkap bahwapenerapan STEM dapat meningkatkanprestasi akademik dan
non-akademik pesertadidik. Oleh sebab itu, penerapan STEMyang awalnya hanya bertujuan
untuk meningkatkan minat peserta didik terhadap bidang STEM menjadi lebih luas. Keadaan
inimuncul karena setelah diterapkan dalampembelajaran, tenyata STEM mampumeningkatkan
penguasaan pengetahuan,mengaplikasikan pengetahuan untukmemecahkan masalah, serta
mendorongpeserta didik untuk mencipta sesuatu yangbaru.Penerapan STEM dapat didukungoleh
berbagai metode pembelajaran. STEMyang bersifat integratif memungkinkanberbagai metode
pembelajaran dapatdigunakan untuk mendukung penerapannya.

C. Urgensi Dan Kelayakan Pendidikan STEM Di Indonesia

Dewasa ini Pendidikan STEM diadopsi oleh banyak negara sebagai cetak-biru inovasi
pendidikan pendidikan, sehingga muncul sebagai gerakan global untuk menjembatani
kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan keahlian yang diperlukan untuk pembangunan
ekonomi di Abad ke-21. Biro Statistika Tenaga Kerja AS pada tahun 2011 menguraikan bahwa di
lingkup global padasatu dekade mendatang struktur lapangan pekerjaan STEM akan meningkat
sebesar 17%, sedangkan lapangan pekerjaan non- STEM hanya meningkat 10 % (Kompas 12 Juli
2015). Dalam menghadapi era persaingan global, Indonesia pun perlu menyiapkan sumberdaya
manusia yang handal dalam disiplin-disiplin STEM secara kualitas dan mencukupi secara
kuantitas. Sebagaimana dirilis dalam Surat Kabar Kompas (Juli 2015) Indonesia mengalami
kendala kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan SDM.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


185
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Merujuk data Badan Pusat Statistik 2010, sumber daya manusia Indonesia masih
didominasi tenaga kera kurang terampil (sebanyak 88 juta), dan diprediksi 2020 akan ada 50%
kekurangan tenaga kerja untuk mengisi lowongan jabatan di struktur lapangan kerja. Namun,
jalan untuk mengatasi persoalanini bukanlah perkara mudah, sebab tanpa upaya mengembangkan
kemampuan dasar, soft skills (kolaborasi, komunikasi, kreativitas, pemecahan masalah), dan
nilai-nilai prasyarat memasuki profesi STEM pada jenjang pendidikan dasar dan menengah,
sukar untuk mengharapkan generasi muda yang bermotivasi dan siap menekuni bidang-bidang
STEM.

Kurikulum 2013 yang ada tidak akan dapat mengatasi permasalahan kualitas dan
kuantitas sumberdaya manusia Indonesia yang berdaya saing global, jika tidak secara sistematik
menyiapkan mereka mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dipersyaratkan
dunia kerja saat ini, sebagaimana diwujudkan dalam Pendidikan STEM. Mengatasi hal tersebut
Pendidikan dengan pendekatan STEM dapat menjadi kunci bagi menciptakan generasi penerus
bangsa yang mampu bersaing di kancah global. Oleh sebab itu, Pendidikan STEM perlu menjadi
kerangka-rujukan bagi proses pendidikan di Indonesia ke depan. Sebagaimana dinyatakan dalam
Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 Jenjang Sekolah Menengah Pertama/Madrasah
Tsanawiyah (Kemdikbud, 2013), bahwa kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan
manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang
beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Dinyatakan pula dalam dokumen
tersebut bahwa salah satu pola pikir baru yang digunakan sebagai dasar pengembangan
Kurikulum 2013 adalah pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline) menjadi
pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidiscipline). Rumusan tujuan dan pola pikir dalam
pengembangan Kurikulum 2013 yang dikemukakan tersebut mengisyaratkan bahwa Kurikulum
2013 memberikan ruang bagi pengembangan dan implementasi pendidikan STEM dalam konteks
implementasi Kurikulum 2013, yang mengutamakan integrasi S, T, E dan M secara multi- dan
trans-disiplin serta pengembangan pemikiran kritis, kreativitas, inovasi, dan kemampuan
memecahkan masalah.

D. Pembelajaran IPA Berbasis Pendidikan STEM

Salah satu karakteristik Pendidikan STEM adalah mengintegrasikan sains, teknonogi,


engineering, dan matematika dalam memecahkan masalah nyata. Namun demikian, terdapat
beragam cara digunakan dalam praktik untuk mengintegrasikan disiplin-disiplin STEM, dan pola
dan derajad keterpaduannya bergantung pada banyak faktor (Roberts, 2012). Jika mata pelajaran
sains, teknologi, engineering, dan matematika diajarkan sebagai mata-mata pelajaran yang

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


186
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

terpisah satu sama lain dan tidak terintegrasi, keadaan ini lebih tepat digambarkan sebagai
S-T-E-M daripada STEM (Dugger, n.d). Cara kedua adalah mengajarkan masing-masing disiplin
STEM dengan lebih berfokus pada satu atau dua dari disiplin-disiplin STEM. Cara ketiga adalah
mengintegrasikan satu ke dalam tiga disiplin STEM, misalnya konten engineering diintegrasikan
ke dalam mata pelajaran sains, teknologi, dan matematika. Cara yang lebih komprehensif adalah
melebur keempat-empat disiplin STEM dan mengajarkannya sebagai mata pelajaran terintegrasi,
misalnya konten teknologi, engineering dan matematika dalam sains, sehingga guru sains
mengintegrasikan T, E, dan M ke dalam S. Konteks pendidikan dasar dan menengah umum di
banyak negara, termasuk Indonesia, hanya mata-mata pelajaran sains dan matematika yang
menjadi bagian dari kurikulum konvensional, sementara mata pelajaran teknologi dan
engineering hanya bagian minor atau bahkan tidak ada dalam kurikulum. Oleh sebab itu
Pendidikan STEM lebih terpumpu pada sains dan matematika. Dalam kaitan ini Bybee (2013)
mengkonseptualisasi suatu kontinum keterpaduan STEM yang terdiri atas sembilan pola
keterpaduan, mulai dari disiplin S-T-E-M sebagai mata pelajaran berdiri sendiri hingga STEM
sebagai mata pelajaran transdisiplin. Pengintegrasian yang lebih mendalam ke dalam bentuk mata
pelajaran transdisiplin memerlukan restrukturisasi kurikulum secara menyeluruh, sehingga relatif
sukar dilaksanakan dalam konteks struktur kurikulum konvensional di Indonesia. Salah satu pola
intergasi yang mungkin dilaksanakan tanpa merestrukturisasi kurikulum pendidikan dasar dan
menengah di Indonesia adalah menginkorporasikan konten engineering, teknologi, dan
matematika dalam pembelajaran sains berbasis pendidikan STEM.

Pola integrasi secara penuh relatif lebih mudah dilakukan pada jenjang sekolah dasar,
ketika peserta didik diajar oleh seorang guru kelas. Sementara itu, bentuk “embedded STEM”
lebih tepat dilakukan pada jenjang sekolah menengah. Pendidikan STEM terwujud dalam situasi
tertentu ketika pembelajaran sains atau matematika melibatkan akitivitas pemecahan masalah
otentik dalam konteks sosial, kultural, dan fungsional (Roberts, 2012). Sains dan matematika
dipandang tepat untuk menjadi kendaraan untuk membawa Pendidikan STEM, sebab kedua mata
pelajaran ini merupakan mata pelajaran pokok dalam pendidikan dasar dan menengah, dan
menjadi landasan bagi peserta didik untuk memasuki karir dalam disiplin-disiplin STEM, yang
dipandang fundamental bagi inovasi teknologi dan produktivitas ekonomi.

E. Fitur Pembelajaran IPA Berbasis Pendidikan STEM

Berkaitan dengan implementasi pendidikan STEM, Bybee (2013) menyatakan bahwa


dalam pembelajaran STEM, peserta didik pada jenjang pendidikan menengah perlu ditantang
untuk melakukan tugas-tugas rekayasa otentik sebagai komplemen dari pembelajaran sains
melalui kegiatan-kegiatan proyek yang mengintegrasikan sains, engineering, teknologi, dan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


187
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

matematika. Pendidikan IPA berbasis STEM menuntut pergeseran moda proses pembelajaran
dari moda konvensional yang berpusat pada guru (teacher centered) yang mengandalkan transfer
pengetahuan ke arah moda pembelajaran berpusat pada peserta didik (student centered) yang
mengandalkan keaktifan, hands-on, dan kolaborasi peserta didik. Pembelajaran IPA berbasis
STEM perlu dilaksanakan dalam unit-unit pembelajaran berbasis masalah (problembased
learning), yang di dalamnya peserta didik ditantang secara kritis, kreatif, dan inovatif untuk
memecahkan masalah nyata, yang melibatkan kegiatan kelompok (tim) secara kolaboratif.

Pembelajaran IPA berbasis STEM dalam kelas didesain untuk memberi peluang bagi
peserta didik untuk mengaplikasikan pengetahuan akademik dalam dunia nyata. Sesuai dengan
krakteristik implementasi pendidikan STEM, penilaian hasil belajar dalam konteks pembelajaran
IPA berbasis STEM perlu lebih menitikberatkan asesmen otentik, khususnya asesmen kinerja
(performance assessment). Pembelajaran IPA berbasis pendidikan STEM menuntut pergeseran
metode penilaian, dari penilaian konvensional yang bertumpu pada ujian dengan tes ke arah
penilaian otentik yang bertumpu pada penilaian kinerja. Penilaian kinerja dengan menggunakan
rubrik yang terancang baik perlu dilakukan guru, teman, serta peserta didik sendiri terhadap
kinerja peserta didik selama aktivitas belajar serta produk hasil kerja kolaboratif untuk
mengungkap ketercapaian standar hasil pembelajaran. Pengalaman belajar IPA berbasis
pendidikan STEM diharapkan sekaligus dapat mengembangkan pemahaman peserta didik
terhadap konten IPA, kemampuan inovasi dan pemecahan masalah, soft skills (antara lain
komunikasi, kerjasama, kepemimpinan). Dampak lebih lanjut dari pembelajaran IPA berbais
STEM adalah meningkatknya minat dan motivasi peserta didik untuk melanjutkan studi dan
berkarir dalam bidang profesi iptek, sebagaimana dibutuhkan negara saat ini dan di masa datang.

KESIMPULAN

Pendidikan STEM merupakan pendidikan yang mengintegrasikan dengan berbagai pola


integrasi untuk mengembangkan kualitas SDM yang sesuai dengan tututan keterampilan Abad
ke-21. Pembelajaran IPA berbasis pendidikan STEM kompatibel dengan sistem kurikulum yang
berlaku di Indonesia masa kini. Pembelajaran IPA berbasis STEM adalah pembelajaran materi
pokok IPA yang di dalamnya terintegrasi perancangan desain-desain sistem dan penggunaan
teknologi untuk pemecahan masalah nyata. Dengan demikian diharapkan pembelajaran IPA
berbasis pendidikan STEM berkontribusi pada peningkatan daya saing Indonesia. Implementasi
pembelajaran IPA berbasis pendidikan STEM menuntut pergeseran moda pembelajaran dari
pembelajaran berpusat pada guru ke pembelajaran berpusat pada peserta didik, dari pembelajaran
individual ke arah pembelajaan kolaboratif dan menekankan aplikasi pengetahahuan sains,
kreativitas dan pemecahan masalah. Di samping itu implementasi pembelajaran sains berbasis

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


188
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

STEM juga menuntut pergeseran metode penilaian, dari penilaian konvensional bertumpu pada
testing ke arah penilaian otentik yang menekankan penilaian kinerja dan produk kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Bigelow, J. D. (2004). Using problembased learning to develop skills in solving unstructured


problems. Journal of Management Education, 28 (5), pp. 591-609
Bybee, R. W. (2010). Advancing STEM education: A 2020 vision. Technologyand Engineering
Teacher, 70(1), 30-35.
Bybee, R. W. (2013). The case for STEM education: Challenges and opportunity.Arlington, VI:
National ScienceTeachers Association (NSTA) Press.
Cancilla, D. A. (2001). Integration of Environmental Analytical Chemistry with Environmental
Law: The development of a problem-based laboratory. Journal of Chemical
Education, 78 (12), pp. 1652-1660.
Data Base PISA (2012). Results for the 2012 mathematics, reading and science assessments
Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Panduan PengembanganPembelajaran IPA Terpadu.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
DepDiknas (2013). Kurikulum Mata Pelajaran IPA (Draft): KI, KD, dan silabus
Dugger, Jr., W. E. (n.d.). Evolution of STEM in the United States. Retrieved July 20, 2015, from
http://www.iteea.org/Resources/PressRo om/AustraliaPaper.pdf.
Firman, H. (2007). Laporan Analisis Literasi Sains Berdasarkan Hasil PISA Nasional Tahun
2006.Jakarta: Pusat PenilaianPendidikan Balitbang Depdiknas.
Gijbels, D., Dochy, F., Bossche, P. V. & Segers, M. (2005). Effects of problembased learning: A
meta-analysis from the angle of assessment. Review of Educational Research, 75 (1),
pp. 27-61.
Han, S., Capraro, R. & Capraro, M. M. (2014). How Science, Technology, Engineering, and
Mathematics (STEM) Project-Based Learning (PBL) affects high, middle, and low
achievers differently: The impact of student factors on achievement.
InternationalJournal of Science and MathematicsEducation, _, pp. 1-25.
Hanover Research (2011). K-12 STEM education overview.Inovasi pendidikan tingkatkan daya
saing(2015, July 15). Kompas, p.12.
Holbrook, J., Laius, A., dan Rannikmäe, M. (2005). “The Influence of Social Issue-Based Science
Teaching Materials On Students’ Creativity”, University of Tartu, Estonian
Ministery of Education.
Holbrook, J. (1998).” A Resource Book for Teachers of Science Subjects”. UNESCO.
Jones, L. C., Tyrer, J. R. & Zanker, N. P. (2013). Applying laser cutting techniques through
horology for teaching effective STEM in design and technology. Design and
TechnologyEducation, 18 (3), pp. 21-34.
Kapila, V. & Iskander, M. (2014). Lessons learned from conducting a K- 12 project to revitalize
achievement by using instrumentation in Science Education. Journal of STEM
Education, 15 (1), pp. 46-51.
Kemdikbud (2013). Lampiran Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Nomor 68 tahun
2013 tentang Kerangka dasar dan struktur kurikulum sekolah menengah
pertama/madrasah tsanawiyah. Jakarta: Kemdikbud.
Lam, P., Doverspike, D., Zhao, J., Zhe, J. & Menzemer, C. (2008). An evaluation of a STEM
program for middle school students on learning disability related IEPs. Journal of
STEM Education, 9 (1&2), pp. 21-29.
Lou, S. J., iu, Y. H. & Shih, R. C. (2011). The senior high school students’ learning behavioral
model of STEM in PBL. International Journal of Technology and Design
Education, 21 (2), pp. 161-183.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


189
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Massa, N., Dischino, M., Donelly, J. F. & Hanes, F. D. (2011). Creating Real- World
Problem-Based Learning Challenges in Sustainable Technologies to Increase the
STEM Pipeline. [Online]. Diakses dari http://www.asee.org/public/conferences/1/
papers/1769/view.
National Science Teachers Association in collaboration with the Association for the Education of
Teachers in Science. (1998). Standards for Science TeacherPreparation.
National Science Teachers Association in collaboration with the Association for the Education of
Teachers in Science. (2000). Standards for Science TeacherPreparation
National Research Council. (1996). National Science EducationStandard. Wahington, DC.:
National Academy Press
National Research Council. (2001). Inquiry and the National SecienceEducation Standards: A
Guidefor Teaching and Learning. Wahington, DC.: National Academy Press.
Tersedia: http://books.nap.edu/html/inquiry addendum/ notice.html
National STEM Education Center (2014). STEM education network manual. Bangkok: The
Institute for the Promotion of Teaching Science and Technology.
Permanasari, A., Mudzakir, A., dan Mahiyudin. (2010). “The Influence of Social Issue-Based
Chemistry Teaching in Acid Base Topic on High School Student’s Scientific
Literacy”, Seminar Proceding of the First International Seminar of Science
Education, Science Education Program Graduate School, Indonesia University of
Education (UPI).
Poedjiadi, A. (2005). Sains Teknologi Masyarakat Model Pembelajaran Kontekstual Bermuatan
Nilai.Bandung : Remaja Rosdakarya.
Reeve, E. M. (2013) Implementing science, technology, mathematics and engineering (STEM)
education in Thailand and in ASEAN. Bangkok:Institute for the Promotion of
Teaching Science and Technology (IPST).
Reynolds, D., Yazdani, N. & Manzur, T. (2013). STEM high school teaching enhancement
through collaborative engineering research on extreme winds. Journal of STEM
Education, 14 (1), pp. 12-19.
Roberts, A. (2012). A justification for STEM education. Technology and Engineering Teacher,
74(8), 1-5.
Rustaman, N., Firman, H., dan Kardiawarman. (2004). Ringkasan Eksekutif: AnalisisPISA
Bidang Literasi Sains. Puspendik

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


190
PROSIDING

MP-27

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CAROUSEL FEEDBACK UNTUK


MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR SISWA
(Studi Pembelajaran IPS Siswa Kelas V SDK Paupire)

Chatarina Novianti
Program Studi Pendidikan Dasar Universitas Flores, Jl. Sam Ratulangi.
Email: zefanobadhe@gmail.com

Abstrak

Hasil observasi awal yang dilakukan peneliti di SDK Paupire terhadap proses pembelajaran IPS
menunjukkan bahwa proses pembelajaran masih didominasi oleh guru. Hal ini berdampak pada
motivasi, dan hasil belajar siswa yang rendah. Ketika proses pembelajaran berlangsung siswa
terlihat kurang antusias, merasa puas dengan nilai kurang,suasana kelas yang kurang
menyenangkan. Oleh karena itu diperlukan upaya perbaikan, yaitu dengan penerapan model
carousel feedback. Penelitian ini termasuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Teknik
pengumpulan data menggunakan teknik observasi, angket, tes, wawancara, dokumentasi, dan
catatan lapangan. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan deskriptif
kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran carousel feedback dapat
meningkatkan motivasi,dan hasil belajar

Kata kunci: Carousel Feedback, motivasi, hasil belajar, IPS

PENDAHULUAN
Salah satu faktor penting dalam keberhasilan pembelajaran adalah motivasi siswa dalam
belajar. Motivasi merupakan dorongan yang memungkinkan siswa untuk bertindak melakukan
sesuatu (Sanjaya, 2006:135). Pada proses pembelajaran, motivasi siswa terlihat melalui
ketekunan yang tidak mudah putus asa untuk mencapai suskes meskipun mengalami banyak
kesulitan. Motivasi juga ditunjukkan melalui intensitas unjuk kerja dalam melaksanakan tugas.
Rendahnya motivasi belajar siswa kelas V SDK Paupire dapat dilihat berdasarkan pengamatan
pada perilaku siswa saat mengikuti proses pelajaran IPS. Hal ini ditunjukkan dengan: (1).
mengganggu temannya ketika pelajaran sedang berlangsung, (2). kurang antusias mengikuti
pelajaran, ramai sendiri, ketika guru sedang menerangkan pelajaran, (3). merasa puas dengan
nilai kurang, (4). aktivitas rendah pada saat guru memberikan pertanyaan hanya sebagian yang
mengangkat tangan. (5). Suasana kelas yang kurang menyenangkan, (6). beberapa siswa yang
terlihat melamun, mengantuk, dan bermain sendiri pada saat mengikuti pelajaran.
Data yang diperoleh dari hasil ujian tengah semester siswa kelas V juga kurang
memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM), hanya 40% siswa yang mencapai KKM,
sedangkan 60% belum mencapai KKM.
Dari identifikasi di atas dapat diketahui bahwa pembelajaran yang dilakukan oleh guru
kelas V tersebut belum mencapai hasil yang optimal. Pembelajaran yang diterapkan juga tidak
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

efektif karena menyebabkan siswa menjadi pasif, tidak termotivasi dalam mengikuti
pembelajaran.
Mencermati permasalahan tersebut diatas maka perlu ditemukan solusi yang cerdas,
tepat, kreatif dan inovatif. Salah satu solusi yang ingin peneliti tawarkan untuk bisa meningkatkan
motivasi dan hasil belajar peserta didik kelas V SDK Paupire adalah dengan menerapkan model
pembelajaran yang sesuai. Pemilihan model pembelajaran yang tepat akan memudahkan guru
dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditentukan. Dari hasil diskusi dengan guru, maka
peneliti memilih model pembelajaran kooperatif tipe carousel feedback.
Pemilihan model pembelajaran carousel feedback karena model pembelajaran ini dapat
mengarahkan siswa dalam berpikir kritis serta mampu bertindak aktif dan mandiri. Model
pembelajaran carousel feedback dapat melatih siswa menghadapi berbagai masalah nyata,
melalui proses mencari data sampai memberikan ide/gagasan dan umpan balik kepada kelompok
lain. Menurut Kagan dan Kagan (2009) carousel feedback direkomendasikan untuk
mengembangkan keterampilan sosial, keterampilan berkomunikasi, pengetahuan, pemrosesan
informasi, dan keterampilan berpikir.
Penerapan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan motivasi dan rangsangan untuk
berpikir siswa. Pembelajaran kooperatif dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir
sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain (Sanjaya,
2006:249).

METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas yang dilakukan
secara bersiklus. Pelaksanaan PTK mengacu pada model siklus PTK oleh Kemmis dan Taggart.
Subjek dalam penelitian yang akan diteliti yaitu siswa kelas V SDK Paupire yang berjumlah 12
siswa. Terdiri dari 7 siswa perempuan dan 5 siswa laki-laki.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa dan guru. Data yang diperlukan
yaitu (1) penerapan model pembelajaran carousel feedback, (2) motivasi belajar,dan (3) hasil
belajar siswa. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik
observasi, angket, tes, wawancara, dokumentasi, dan catatan lapangan

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pelaksanaan Penerapan Model Pembelajaran Carousel Feedback
Penerapan pembelajaran kooperatif model carousel feedback ini dibagi menjadi dua

siklus. Langkah-langkah model pembelajaran carousel feedback adalah sebagai berikut (Kagan

dan Kagan, 2009:6.25).

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


192
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

a. Setiap kelompok mengerjakan tugas.

Guru memberikan tugas dalam Lembar Kerja Kelompok (LKK) untuk didiskusikan secara

berkelompok.

b. Setiap kelompok berputar mengikuti arah jarum jam ke kelompok lain.

Tiap kelompok berotasi ke kelompok lain. Kelompok 1 berotasi ke kelompok 2, kelompok 2

berotasi ke kelompok 3, dan seterusnya sampai kelompok kembali kelompok asal

masing-masing.

c. Pada saat tersebut, kelompok mendiskusikan respon mereka terhadap pekerjaan kelompok

lain.

Kelompok mencermati, mengkritisi, dan mendiskusikan respon meraka terhadap pekerjaan

kelompok lain yang dikunjungi.

d. Seorang anggota kelompok mencatat ataupun menuliskan umpan balik pada format umpan

balik yang disiapkan pada setiap kelompok.

Anggota kelompok menuliskan umpan balik yang telah didiskusikan pada form feedback

yang disediakan.

e. Guru menetapkan waktu

Tiap kelompok diberi waktu 7 menit oleh guru saat berdiskusi dan memberikan umpan balik

terhadap pekerjaan kelompok lain.

f. Kelompok-kelompok berputar, mengamati, berdiskusi, dan memberikan umpan balik pada

pekerjaan kelompok berikutnya. Seorang pencatat dipilih pada setiap giliran.

g. Kelompok-kelompok melanjutkan sampai putaran kembali ke tempat semula, atau sampai

waktu yang ditentukan guru.

h. Kelompok meninjau umpan balik yang mereka terima dari kelompok-kelompok lain.

Pada saat kembalik ke kelompok asal, kelompok mendiskusikan umpan balik yang diterima

dari kelompok lain.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


193
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

i. Kelompok mendiskusian masukan atau umpan balik yang diterima dari kelompok-kelompok

lain.

Skenario pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran carousel feedback


yang diterapkan guru di kelas V SDK Paupire Ende terlaksana sepenuhnya dengan baik. Hal ini
dapat dilihat dari hasil observasi penerapan model pembelajaran carousel feedback. Berdasarkan
data yang diperoleh dari instrumen tersebut, ditemukan bahwa penerapan model pembelajaran
carousel feedback pada kedua siklus sudah berlangsung maksimal. Pada siklus I, ketercapaian
pelaksanaan model pembelajaran carousel feedback adalah 71,75%. Setelah beberapa perbaikan
dalam pelaksanaan, maka pada siklus II pelaksanaan model tersebut mengalami peningkatan,
yaitu mencapai 95%
Pada saat pembelajaran awalnya siswa berdiskusi secara berkelompok, kemudian
berotasi ke kelompok lain untuk mencermati, memberikan umpan balik kepada kelompok lain
yang dituliskan dalam lembar feedback. Setelah rotasi tersebut, semua kelompok kembali ke
kelompok masing-masing untuk mencermati umpan balik dari kelompok lain. Hal tersebut sudah
sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran carousel feedback dikembangkan oleh Spencer
Kagan. Menurut Kagan dan Kagan (2009), carousel feedback is students interact simultaneously
to share ideas of projects. Presentation structures allow efficient sharing of ideas, solutions, or
projects.

Motivasi Belajar
Penerapan model pembelajaran carousel feedback untuk meningkatkan motivasi belajar
siswa diupayakan agar dapat membangkitkan minat siswa dalam belajar IPS. Belajar secara
kelompok dapat membuat siswa saling berinteraksi dan saling membantu satu sama lain sehingga
tercipta suasana belajar yang kondusif dan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Selain itu,
penerapan model carousel feedback memberikan rasa tanggung jawab untuk masing-masing
siswa terhadap tugas yang diberikan secara individu.
Penerapan model pembelajaran carousel feedback pada siswa kelas V SDK Paupire
Ende terbukti dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Berikut ini disajikan hasil
motivasi belajar siswa.
Tabel 2. Hasil Motivasi Belajar Siswa
Taraf Pra tindakan Siklus I Siklus II
motivasi Kategori
F % f % f %
belajar
147 – 175 Sangat tinggi 0 0 0 0 4 33
119 –146 Tinggi 4 33 9 75 6 50
91 – 118 Cukup 5 42 3 25 2 17
63 – 90 Rendah 3 25 0 0 0 0

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


194
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Taraf Pra tindakan Siklus I Siklus II


motivasi Kategori
F % f % f %
belajar
35 – 62 Sangat rendah 0 0 0 0 0 0
Jumlah 12 100 12 100 12 100

Pada saat proses pembelajaran sebagian besar siswa telah berpartisipasi aktif dalam
kegiatan diskusi, tampak antusias dalam mengikuti pembelajaran, dan ketika diskusi kelompok
siswa bersuara keras dan jelas sehingga diskusi terlihat lebih semangat dan siswa merasa senang.
Di dalam model pembelajaran carousel feedback siswa dituntut untuk selalu aktif dalam
kegiatan pembelajaran. Melalui diskusi kelompok, masing-masing anggota harus berusaha
memahami materi pelajaran sehingga bisa memberikan kontribusi pada saat diskusi kelompok.
Siswa juga dituntut untuk mampu mencermati dan memberikan masukan kepada hasil kerja
kelompok lain. Hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor dari dalam diri siswa yang mendorong
untuk lebih giat belajar. Ketika siswa dan kelompoknya mampu memberikan kontribusi kepada
kelompok lain maka akan muncul kebangggaan dan kepuasan dalam belajar. Dorongan untuk
bisa memahami materi dan menyampaikan pendapat itulah yang menjadi salah satu faktor
intrinsik meningkatnya motivasi belajar. Hal tersebut didukung oleh teori yang dikemukakan
Hamalik (2011) bahwa motivasi instrinsik adalah motivasi yang hidup dalam diri siswa dan
berguna pada situasi belajar yang fungsional.

Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa setelah menerima suatu pengetahuan
yang ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. Untuk mencapai
hasil belajar yang baik, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi baik faktor internal maupun
faktor eksternal.
Upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SDK Paupire Ende pada mata
pelajaran IPS dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran carousel feedback. Penerapan
model pembelajaran carousel feedback sudah berjalan dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya peningkatan hasil belajar IPS siswa, yang dilihat dari nilai akhir setiap siklus. Berikut ini
disajikan hasil belajar siswa.
Tabel 3. Hasil Belajar Siswa
Pra tindakan Siklus I Siklus II
Nilai
f % F % f %
≥ 70 6 50 9 75 11 92
< 70 6 50 3 25 1 8
Jumlah 12 100 12 100 12 100

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


195
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Menurut Kagan & Kagan (2009), carousel feedback is students interact simultaneously to
share idea of projects. Presentation structures allow eficient sharing of ideas, solutions, or
projects. Selama proses ini siswa bekerjasama untuk menghasilkan tanggapan terhadap
pertanyaan yang diajukan, merenungkan tanggapan yang dihasilkan, dan memberikan tanggapan
kepada kelompok lain. Siswa yang awalnya hanya diam dan tidak memberikan tanggapan dengan
melihat temannya yang lain memberikan tanggapan akan ikut bekerjasama untuk memberikan
tanggapan terhadap kelompok lain.
Penerapan model ini dipandang efektif karena memberikan ruang partisipasi yang besar
kepada siswa dalam proses pembelajaran. Anggota kelompok yang terbentuk tidak terlalu banyak
sehingga ketika berdiskusi tidak ada yang bermain sendiri, siswa aktif dan berpengaruh terhadap
hasil belajar yang menjadi baik. Pernyataan ini didukung oleh Silberman (2009: 151)
mengemukakan bahwa ”salah satu cara terbaik untuk mengembangkan belajar yang aktif adalah
memberikan tugas belajar yang diselesaikan dalam kelompok kecil siswa.”
Tanggapan Siswa terhadap Penerapan Model Pembelajaran Carousel Feedback
Model pembelajaran carousel feedback digunakan sebagai tindak perbaikan dalam
penelitian ini terbukti menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Hal ini dapat
dilihat dari hasil wawancara siswa tentang tanggapan siswa kelas V SDK Paupire Ende terhadap
penerapan model pembelajaran carousel feedback.
Penerapan model tersebut sangat menarik dan memudahkan siswa untuk menyelesaikan
pekerjannya. Dengan adanya bantuan dari kelompok lain, masalah suatu kelompok bisa diatasi.
Model tersebut dipandang menarik karena siswa tidak hanya mendengar penjelasan dari guru,
tetapi siswa sendiri mencari informasi dari siswa lain dan berpikir sendiri untuk menyelesaikan
pekerjaannya.
Hasil wawancara beberapa siswa diperoleh informasi siswa merasa senang dengan
pembelajaran berbeda. Siswa menyenangi model pembelajaran yang diterapkan karena secara
aktif melakukan kegiatan belajar, diberikan reward bagi yang aktif, berbagi bersama teman
sekelasnya, menjawab pertanyaan teman pada saat diskusi kelas, dan mengajukan pertanyaan
ketika kelompok lain presentasi. Menurut siswa dengan penerapan model carousel feedback
mengerjakan tugas menjadi lebih mudah karena dikerjakan bersama kelompok.
Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari Sanjaya (2006:134), bahwa proses
pembelajaran adalah proses yang dapat mengembangkan seluruh potensi siswa. Potensi tersebut
dapat berkembang jika siswa terbebas dari rasa takut, dan menegangkan. Oleh karena itu perlu
diupayakan agar proses pembelajaran merupakan proses yang menyenangkan (enjoyful learning).

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


196
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa: (1)
Penerapan model pembelajaran carousel feedback yang dilakukan terdiri dari langkah-langkah:
siswa berdiskusi dalam kelompok untuk mengerjakan tugas, berotasi ke kelompok lain untuk
mengkritisi dan meninggalkan umpan balik sampai waktu yang ditentukan guru, dan meninjau
kembali umpan balik yang diterima tersebut. (2) Tanggapan siswa terhadap penerapan model
pembelajaran carousel feedback sangat positif. Siswa menyukai model pembelajaran yang
diterapkan karena dapat aktif melakukan kegiatan belajar, diberikan reward bagi yang aktif,
berbagi bersama teman sekelas, menjawab pertanyaan teman pada saat diskusi kelas, dan
mengajukan pertanyaan ketika kelompok lain presentasi.

DAFTAR PUSTAKA
Araban, S. et al. 2012. Study of Cooperative Learning Effects on Self-Efficacy and Academic
Achievement in English Lesson of High School Students. Journal of Basic and Applied
Scientific Research, 2(9)8524-8526.

Hamalik, O. 2011. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Johnson, D. W. and Johnson, R. T. 2009. An educational Psychology Succes Story: Sosial


Interpendence Theory and Cooperative Learning. Jurnal of Education Research, Vol. 38,
No.5, June/July2009.

Kagan, S. & Kagan, M. 2009. Kagan Cooperative Learning. San Clemente: Kagan Publishing.

Rasyid, H. dan Mansur. 2007. Penilaian Hasil Belajar. Bandung: CV. Wacana Prima.

Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:


Kencana.

Scunhk, S. (ED.). 2012. Learning Theories An Educational Perspective. Terjemahan Eva


Hamdiah dan Rahmat Fajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


197
PROSIDING

MP-28
MENCIPTAKAN JOYFUL LEARNING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
INGGRIS DENGAN PENGGUNAAN LAGU DAN MUSIK

Nur Hasanah, M.Hum


STKIP Kusuma Negara Jakarta
Email: nur.hasanahmnq@gmail.com

Abstrak

Pembelajaran bahasa Inggris di lingkungan sekolah hingga saat ini masih menjadi momok bagi
para siswa, untuk itu diperlukan metode pembelajaran yang dapat membuat siswa senang untuk
belajar. Salah satu metode yang ditawarkan dalam meningkatkan hasil belajar bahasa Inggris
siswa sekolah dasar institusi swasta adalah dengan penggunaan musik dan lagu. Makalah ini
memaparkan bahwa Joyful learning dengan musik dan lagu dapat menjadi salah satu cara terbaik
untuk mengajarkan bahasa kedua atau bahasa asing di sekolah dasar.
Kata kunci : Joyful Learning, Pelajaran Bahasa Inggris, Musik dan Lagu

PENDAHULUAN
Pembelajaran bahasa Inggris di lingkungan sekolah hingga saat ini masih menjadi
momok bagi para siswa sehingga tidak heran jika pembelajaran bahasa Inggris informal pun
ramai ditawarkan di luar lingkungan sekolah. Seringkali, para orang tua pun berlomba-lomba
mendaftarkan anak mereka dalam pembelajaran bahasa Inggris agar anak dapat menguasai
bahasa Inggris yang menjadi bahasa internasional. Kebutuhan penguasaan bahasa Inggris ini
tentunya berkaca pada kepentingan untuk memperoleh keahlian yang mungkin sangat dibutuhkan
dalam mengikuti perkembangan zaman. Hal ini memiliki dampak lain yaitu, semakin
menjamurnya tempat belajar yang menawarkan metode yang inovatif dan terdepan dalam
pembelajaran bahasa yang berasal dari negeri ratu Elizabeth tersebut.
Salah satu metode yang ditawarkan dalam meningkatkan hasil belajar bahasa Inggris
siswa sekolah dasar institusi swasta adalah dengan penggunaan musik dan lagu. Musik dan lagu
(termasuk di dalamnya lirik) dapat menjadi alat untuk meningkatkan kompetensi siswa. Tidak
hanya menambah kosa kata, musik dan lagu juga memberikan manfaat lain yaitu meningkatkan
pemahaman terhadap berbagai ekspresi yang ada dalam lirik lagu. Kompetensi listening juga
menjadi salah satu manfaat lainnya yang dapat diperhitungkan dan diperoleh sehingga tak dapat
dipungkiri, musik dan lagu bisa menjadi salah satu alat yang dapat diandalkan untuk pencapaian
target kompetensi yang ditetapkan para tenaga pengajar bahasa Inggris di luar dan dalam sekolah.
Saricoban dan Metin (2001) mengungkapkan bahwa lagu dapat meningkatkan 4 kompetensi yaitu
reading, writing, listening dan speaking. Pembelajaran akan semakin efektif karena penerepan

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pembelajaran dengan musik dan lagu menciptakan joyful learning dimana situasi yang nyaman,
tenang dan kondusif diupayakan di dalam kelas.
MUSIK DAN LAGU MENDUKUNG KONSEP JOYFUL LEARNING
Joyful Learning atau pembelajaran yang menyenangkan merupakan strategi, konsep dan
praktek dari pembelajaran. Menurut E.Mulyasa (2006), joyful learning merupakan suatu proses
pembelajaran yang di dalamnya terdapat sebuah kohesi yang kuat antara pendidik dan peserta
didik, tanpa ada perasaan terpaksa atau tertekan sedangkan Kirikkaya, Iseri dan Vurkaya
menegaskan bahwa persepsi pembelajaran menyenangkan juga menekankan pentingnya
pengaruh positif pada motivasi siswa. Dengan kata lain, joyful learning mengedepankan situasi
belajar yang kondusif bagi para siswa sehingga aktifitas pembelajaran yang dilakukan dapat
memotivasi siswa.
Joyful learning dalam pembelajaran bahasa Inggris memiliki hubungan erat dengan
penggunaan musik dan lagu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa joyful learning
menuntut adanya situasi yang nyaman dan tanpa tekanan, musik dan lagu menjadi alat yang tepat
dalam mengubah atmosfir tempat belajar dari situasi menegangkan menjadi situasi yang
menenangkan. Hal ini dibuktikan melalui sebuah hasil penelitian yang dimuat dalam Tryon Daily
Bulletin. Hasil penelitian tersebut telah memaparkan manfaat musik yang mampu menurunkan
resiko serangan jantung dan stroke. Lebih jelasnya, musik ternyata dapat mempengaruhi sistem
saraf manusia seperti detak jantung dan pernafasan dan pengaruh yang dihasilkan disebut sebagai
respon relaksasi. Dengan kata lain ketika musik dipasang dan digunakan sebagai alat belajar,
siswa dapat meminimalisir ketegangan atau kegelisahan yang umumnya dirasakan oleh siswa
ketika belajar.
Adamowski. mengungkapkan dalam The ESL songbook bahwa banyak orang yang meyakini
bahwa penggunaan lagu dapat meningkatkan kemampuan bahasa seseorang. Sebuah situs
terpercaya yang kerap memberikan tips kesehatan, EMEDEXPERT telah mempublikasikan
sebuah artikel mengenai manfaat musik pada otak manusia. Dalam artikel yang dipublikasikan
tahun 2009 dan diperbarui pada tanggal 18 November 2017, beberapa penelitian terkait manfaat
musik telah dilakukan contohnya oleh Schmithorst (2004) yang memiliki judul The effect of
musical training on the neural correlates of math processing: a functional magnetic resonance
imaging study in humans. Penelitian lainnya dilakukan oleh Jausovec N, Jausovec K, Gerlic I
(2006) dalam penelitiannya yang berjudul The influence of Mozart's music on brain activity in
the process of learning. Penelitian yang menghubungan peran musik pada pembelajaran secara
tidak langsung telah mempromosikan ide bahwa musik dapat membuat manusia semakin pintar
dan topic ini masih terus menjadi topic hangat di kalangan para ilmuwan dan media. Secara garis
besar, EMEDEXPERT memaparkan bahwa musik memiliki kekuatan untuk meningkatkan fungsi

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


199
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

otak dalam memperoleh keahlian reading dan literacy, kemampuan matematika, dan kecerdasan
emosional.
PENGENALAN POLA BAGI ANAK USIA DINI DAN USIA SEKOLAH DASAR
Joyful learning dengan musik dan lagu menjadi salah satu cara terbaik untuk mengajarkan bahasa
kedua atau bahasa asing. Studi telah membuktikan adanya hubungan antara musik, pola, dan
pembelajaran bahasa. Ketika siswa yang sedang belajar bahasa Inggris mengikuti irama dan
bernyanyi bersama dengan lagu berbahasa Inggris, kemudian mereka mengikuti gerakan yang
ditulis dalam lirik dan ritme lagunya, maka siswa ini telah secara aktif melatih kemampuan
listeningnya dan pengenalan pola. Saat ini, penelitian terbaru yang diterbitkan di Psychological
Science Journal menyarankan bahwa hasil pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing dapat
diprediksi melalui kemampuan mengenal pola dengan catatan` pengenal pola ini memiliki lebih
banyak pengaruh pada pembelajaran anak usia sekolah dasar dan anak usia dini.
POPULARITAS MUSIK DAN LAGU
Menurut Nielsen Consumer & Media View Q2 2016, salah satu aktifitas yang paling
disukai oleh anak anak dan remaja adalah mendengarkan musik. Informasi lebih detil ditampilkan
dalam bentuk diagram batang berikut ini:

Gambar: Diagram Hasil Survey Aktifitas Terfavorit Anak-Anak Dan Remaja Indonesia

Berdasarkan diagram batang di atas, kegiatan mendengarkan musik merupakan aktifitas terfavorit
ketiga setelah olahraga dan menonton TV. Sebanyak 17% anak anak di Indonesia menyukai

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


200
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

musik sedangkan 25% remaja menyukai aktifitas yang sama. Oleh karena itu, pemilihan musik
dan lagu sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris patut diperhitungkan.
Musik dan lagu akrab di telinga kalangan muda hingga tua sekalipun sehingga inilah
yang menjadi pertimbangan penting bahwa penggunaan musik dan lagu ternyata dapat diterapkan
di kelas tradisional atau kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis teknologi. Selama
bertahun-tahun, banyak orang yang setia mendengarkan musik di radio yang memutar lagu lagu
mengikuti pergerakan zaman. Aktifitas mendengarkan musik ini (secara sadar dan tidak) telah
memperkuat keahlian berbahasa melalui aktifitas listening yang intensif. Dengan musik, keahlian
berbahasa Inggris dikembangkan dengan cara yang kreatif dan inovatif. Sebagai contoh, saat
tenaga pendidik memperdengarkan sebuah lagu, beberapa latihan dapat diterapkan antara lain
dengan memberikan soal dengan perintah fill in the blank, dengan meminta siswa untuk mencari
makna dari lirik, atau dengan menugaskan siswa untuk menciptakan kembali sebuah lagu dengan
menggunakan kosakata yang terdapat pada lirik lagu yang diperdengarkan.

KESIMPULAN
Dari pemaparan yang telah dilakukan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini:
1.Joyful learning merupakan konsep pembelajaran yang menciptakan situasi belajar yang
nyaman, tanpa tekanan dan kondusif untuk siswa sehingga penggunaan musik dan lagu tentu saja
mendukung penerapan joyful learning.
2. Musik dan lagu, pengenalan pola dan pembelajaran bahasa kedua atau asing saling
berhubungan. Ketika pembelajaran menggunakan musik dan siswa mengikuti ritme lagu dan
mengikuti gerakan yang dituliskan dalam lirik, siswa sudah melakukan pengenalan pola yang
berpengaruh dalam keberhasilan pembelajaran bahasa. Penelitian yang dilakukan oleh Hebrew
University membuktikan bahwa kemampuan mempelajari bahasa dapat diprediksikan
berdasarkan pada kemampuan mengenal pola. Siswa yang memiliki kemampuan yang baik dalam
mengenal pola cenderung lebih berhasil dalam pembelajaran bahasa kedua atau asing.
3. Musik dan lagu menjangkau semua generasi sehingga penggunaan musik dan lagu dalam
pembelajaran dapat digunakan di kelas yang memiliki siswa dengan rentang usia berbeda-beda.

DAFTAR PUSTAKA

Saricoban, A. & Metin, E. (October 2000). Songs, Verse and Games for Teaching Grammar.The
Internet TESL Journal, Vol. VII, No. 2, February 2001.
Adamowski, E. (1997). The ESL songbook. Don Mills, ON: Oxford University Press.
Baker, T. (2013). Second language acquisition: Language, culture and identity for practical use
by English Language Learners worldwide. CreateSpace Independent Publishing Platform.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


201
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Kirikkaya E B. (2011 ). Educational Research and Reviews Academic Journals 6 374-82


Halliwel, Susan. (1992). Teaching English in The Primary Classroom. New York: Longman
Publishing.
Sarnthein J, vonStein A, Rappelsberger P, Petsche H, Rauscher FH, Shaw GL. Persistent patterns
of brain activity: an EEG coherence study of the positive effect of music on spatial-temporal
reasoning. Neurol Res. 1997 Apr;19(2):107-16. PubMed
Schmithorst VJ, Holland SK. The effect of musical training on the neural correlates of math
processing: a functional magnetic resonance imaging study in humans. Neurosci Lett. 2004
Jan 16;354(3):193-6. PubMed
Mulyassa E. (2005).Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan, Bandung : Remaja Rosdakarya.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


202
PROSIDING

MP-29

SOSOK DAN PERILAKU GURU YANG DICINTAI DAN DIRINDUKAN

Natsir B. Kotten
Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas Flores
Email : natsir_kotten@yahoo.co.id

Abstrak

Tidak ada guru yang tidak dicintai, yang ada hanyalah guru yang belum menemukan hidayah.
Tidak ada guru yang tidak dirindukan, yang ada hanyalah guru yang belum menemukan cahaya.
Guru yang dicintai adalah guru yang bertindak sebagai model, memberikan pelayanan sebagai
manusia sumber, merangsang pikiran dan tindakan, serta membina dan memelihara hubungan
yang harmonis. Guru yang dicintai dan disenangi oleh murid-muridnya, adalah guru yang
bertindak sebagai pelayan. Makna pelayanan disini adalah adanya pelayan dan pelanggan, adanya
hubungan baik dan saling membutuhkan antara pelayan dan pelanggan, adanya hubungan
kemanusian yang logis, dan terbuka, dan adanya kejujuran dan kesungguhan serta ketulusan
untuk melayani dan dilayani. Sedangkan guru yang dirindukan adalah guru yang mempunyai
penapilan yang menarik, mampu berkomunikasi dengan baik, semua aktivitas dilakukan dengan
sepenuh hati, dan selalu memberikan pelayanan maksimal.
Kata kunci: Guru dicintai, dirindukan

PENDAHULUAN

Merujuk pada para pendapat cendikiawan bahwa pendidikan selama ini tidak integrated
dalam memahami manusia. Pendidikan selama ini lebih tepat disebut pengajaran yang tujuannya
agar anak memiliki pengetahuan tetapi tidak membuat anak cerdas. Karena itu, pendidikan harus
memandang manusia secara utuh dan terintegrasi dalam rangka membebaskan manusia dari
belenggu-belenggu yang menghalangi emansipasi kemanusiaan menuju martabatnya yang paling
luhur. Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari dimensi spiritualitasnya. Pendidikan yang hanya
berorientasi kepada dunia materiil akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu sendiri.

Pendidikan merupakan sebuah pergumulan yang sungguh-sungguh suci dan mulia untuk
membangun jiwa dan kepribadian sehingga tercipta manusia yang humanis. Pendidikan pada
dasarnya adalah pelayan jasa kemanusiaan, bukan pengertian bisnis yang bersifat komersial. Jadi,
tujuan utama lembaga pendidikan adalah investasi manusia, bukan investasi finansial. Dengan
tugas utama sebagai pelayan, menjadikan setiap anak merasa diperhatikan, istimewa, dan
memiliki percaya diri yang besar. Akibatnya potensi anak pun akan terangsang meloncat keluar,
menerobos belenggu-belenggu penghalang. Dengan demikian maka para pendapat cendikiawan
sepakat mengatakan bahwa Sekolah bukan Penjara, tempat di mana para pendidik mendidik
dengan kebencian, amarah dan dendam, melainkan suatu lembaga pendidikan dimana tugas
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

utama pendidik adalah mendidik dengan amanah dan keteladanan, mendidik dengan hati dan
kasih. Ia harus mampu olah diri, olah pikir, olah rasa, olah hati, dan olah fisik, serta menempatkan
nalar, naluri, dan nurani untuk berpikir baik, berhati baik, dan bertindak baik.

Perlu dihayati bahwa mengajar dan mendidik bukan suatu pekerjaan rutinitas, tetapi lebih
dari itu adalah menanamkan sikap dan nilai serta membentuk watak dan kepribadian agar mereka
tumbuh berkembang menjadi manusia panutan dan potensial, karena itu setiap pendidik, ia tidak
hanya merasa bisa dengan mengandalkan kecerdasan intelektual dan emosional saja, melainkan
kepekaan spiritual manjadi landasan untuk memfungsikan kekuatan intelektual dan emosional.
Olehnya itu, etika dan wibawa akademik seorang pendidik dalam proses pelayanan hendaknya
dibangun dengan berlandaskan pada keluhuran nurani, yaitu sosok dan perilaku yang dicintai dan
dirindukan.

PEMBAHASAN

1. Guru yang dicintai

Sederhana saja, bahwa sosok dan perilaku guru yang dicintai hendaknya mulai dari diri
sendiri. Beberapa kriteria guru ideal yang dicintai berikut ini: Pertama, dapat membagi waktu
dengan baik, antara tugas utama sebagai guru dan tugas dalam keluarga, serta dalam masyarakat.
Kedua, rajin membaca. Ketiga, banyak menulis. Keempat, gemar melakukan penelitian
(Chotimah, 2008).

Kotten (2009) berpendapat, guru ideal yang dicintai adalah sosok guru yang menjadi
panutan dan selalu memberikan keteladanan. Ilmunya seperti mata air yang tak pernah habis.
Semakin diambil semakin jernih airnya. Mengalir bening dan menghilangkan dahaga bagi siapa
saja yang meminumnya. Sosok ini menggambarkan bahwa, kepuasan yang paling tinggi sebagai
guru adalah melakukan tugas hidup ini dengan baik.

Begitu idealnya perkerjaan muliah ini, sampai-sampai guru dianalogikan sebagai air,
udara, api, dan tanah. Ibarat air, guru harus terus menyejukkan dan memberikan kesegaran. Ibarat
udara, guru harus terus melegahkan dan memberikan napas kehidupan. Ibarat api, guru harus
terus menghantarkan penerangan. Ibarat tanah, guru harus terus menopang dan memberikan
ruang kepada murid untuk berkembang.

Untuk dapat terus menjadi sosok penyejuk yang memberikan kesegaran, kehangatan, dan
menopang dan memberikan ruang kepada murid untuk berkembang, maka sosok dan perilaku
guru yang dicintai sangat kita perlukan. Dari pendapat para cendikiawan di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa sosok guru yang dicintai adalah:

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


204
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

1. Orang yang mempunyai kompetensi tinggi dengan banyak membaca, menulis, dan meneliti.
Ia adalah figur yang senang dengan pengembangan diri terus menerus, tidak merasa cukup
dengan apa yang sudah dimiliki.

2. Mempunyai moral yang baik, bisa menjadi teladan, dan memberi contoh perbuatan, tidak
sekedar menyuruh dan berorasi.

3. Mempunyai skills yang memadai untuk berkompetisi dan sebagai sumber inspirasi dan
motivasi kepada anak didik.

4. Mempunyai kreativitas dan inovasi tinggi dalam mengajar sehingga menarik dan memuaskan
anak didik.

Sekarang ini, guru di Indonesia sangat sedikit memiliki sarjana yang sujana. Mereka
banyak yang mengandalkan gelar kesarjanaan, tapi mereka lupa bahwa mereka sedang
kehilangan semangat untuk berubah dan berpikir untuk maju. Sebenarnya, persoalan ini tidak
lepas dari paradigma profesi. Dalam arti, mengajar sebagai mata pencarian. Sehingga, kesibukan
utama guru adalah mencari nafkah keluarga. Lepas dari masih rendahnya gaji guru, namun
kesibukan mencari nafkah tidak bisa menjadi alasan malas belajar dan membaca.

Tidak diragukan lagi, guru yang tidak memiliki semangat mencintai muridnya, maka ia
tidak akan bertahan lama menekuni profesi sebagai seorang guru, kecuali karena terpaksa. Di
samping itu, ketenangan hati dan sifat menerima antar guru dan murid-muridnya adalah faktor
terpenting dalam proses pendidikan yang sukses.

Berikut ini, beberapa sifat yang harus dimiliki seorang guru: Pertama, bertindak sebagai
model (ramah dan akrab, dan senyum itu obat mujarab), Kedua, memberikan pelayanan sebagai
manusia sumber (mereka butuh kita, tanpa mereka, kita tidak ada), Ketiga, merangsang pikiran
dan tindakan (mengajar itu seni, butuh inspirasi, dan imajinasi), dan Keempat, membina dan
memelihara hubungan yang harmonis. Insya Allah mendapat berkah berlimpah (Isnada, 2011).

Riset yang dilakukan oleh Kotten (2011), bahwa guru yang dicintai dan disenangi oleh
murid-muridnya, adalah guru yang bertindak sebagai pelayan. Makna pelayanan disini adalah:
Pertama, adanya pelayan (yang melayani) dan pelanggan (yang dilayani), Kedua, adanya
hubungan baik dan saling membutuhkan antara pelayan dan pelanggan. Ketiga, adanya hubungan
kemanusian yang logis, dan terbuka, Keempat, adanya kejujuran dan kesungguhan serta
ketulusan untuk melayani dan dilayani.

Flandrez berpendapat bahwa ada beberapa sifat yang harus dimiliki seseorang jika ia ingin
menjadi seorang guru yang bangga dengan dirinya dan dicintai oleh murid-muridnya. Sifat yang

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


205
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

paling dibutuhkan adalah menerima orang lain, tenang atau bisa mengendalikan emosi, dan
mampu untuk melakukan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Sebuah penelitian di Amerika yang dilakukan oleh pakar ilmuan yang dipimpin oleh Hart
Adam menegaskan bahwa ada tiga kelompok yang menjadi sebab seorang guru dicintai oleh
murid-muridnya. Tiga kelompok tersebut adalah sebagai berikut.

Kelompok Pertama: Sikap tolong menolong dengan loyalitas tinggi, mejelaskan pelajaran dengan
baik, dan menggunakam perumpamaan atau contoh di dalam menjelaskan.

Kelompok Kedua: Berbudi perkerti baik, cerdas atau cekatan, dan mampu membuat suasana
dalam kelas menjadi hangat dan menyenangkan.

Kelompok Ketiga: Arif dan lemah lembut terhadap murid-muridnya, peka terhadap perasaan
murid-muridnya, dan merasa bahwa murid-muridnya adalah teman/sahabatnya.

Riset yang dilakukan oleh Robert Rowen, berpendapat bahwa guru yang dicintai tidak
boleh tidak harus melakukan hal-hal sebagai berikut (1) menjadikan pengajar sebagai sesuatu
yang dirindukan, (2) menguasai dengan baik materi pelajaran yang menjadi spesifiknya, (3)
mampu berbicara dengan semangat dan penuh antuisme, (4) mampu menyusun dan menerbitkan
materi ilmiah, (5) memotivasi dan mensupport murid-muridnya, (6) memiliki jiwa humoris, (7)
kata-kata mampu memberikan kenyamanan dalam jiwa, dan (8) bersih dan rapi dalam berpakian.

2. Guru yang dirindukan

Pengalaman menjadi guru selama kurang lebih 20 (dua puluh) tahun, menggugah saya
untuk berbagi pengalaman kepada teman-teman seprofesi, bahwa menjadi guru yang dirundukan
adalah sebuah tuntunan yang tidak bisa dielakkan. Masa depan bangsa ini ditentukan oleh
kader-kader muda bangsa, sedangkan penanggung jawab utama masa depan kader-kader muda
tersebut berada di pundak guru. Dari gurulah, siswa-siswi membayangkan masa depannya,
merencanakan sebuah impian hidupnya, dan melihat jauh ke angkasa, terbang setinggi langit
laksana anak panah yang lepas dari busurnya. Jika busurnya (guru) mempunyai kekuatan besar
dan visi yang jauh ke depan, maka anak panah (siswa-siswi) akan melesat jauh ke depan. Namun
jika busurnya lemah dan tidak visioner, maka anak panah hanya melesat lemah, bahkan gagal
melesat kerena hilangnya kekuatan.

Disinilah, seorang guru dituntut menjadi busur yang kuat, dinamis, visioner, dan powerful
sehingga mampu melesatkan potensi dan cita-cita murid tinggi jauh ke angkasa, menjadi orang
yang mampu memberikan kemanfaatan penuh bagi kemajuan dunia.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


206
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Ketika guru yang hadir adalah mereka yang energik, berwawasan luas, humoris, dan mampu
menguasai kelas, maka kedatangan guru tersebut sangat dinanti murid-muridnya, karena yang
keluar darinya adalah mutiara-mutiara emas yang sulit untuk diulang untuk yang kedua kalinya.
Ia bagaikan lampu yang menyinari kegelapan, matahari yang memberikan secerah harapan,
bintang yang menunjukkan impian, dan bulan purnama yang menyirami kedamaian, keindahan,
dan ketenangan batin.

Sebaliknya, ketika guru yang masuk adalah mereka yang tidak bisa mengemas
matapelajaran menjadi menu yang menarik dan selalu membuat siswanya terbebani, maka
kehadirannya dibenci oleh para siswa yang diekspresikan dengan banyak hal yang tidak baik,
misalnya, tidak memperhatikan keterangan guru, tidur, mengantuk, berbicara dengan temannya,
membuat gaduh, bahkan keluar kelas. Agar menjadi guru yang mampu melesatkan anak panah
dengan kekuatan penuh ke angkasa, maka hal-hal di bawah ini bisa menjadi renungan bersama.

1. Menguasai Materi Pelajaran Secara Mendalam

Menguasai materi pelajaran adalah syarat utama menjadi guru yang dirindukan. Dengan
menguasai materi, kepercayaan diri terbangun dengan baik, tidak ada rasa was-was, dan
bimbang terhadap pertanyaan murid. Ketenangan bisa diraih dan kepuasan siswa bisa
didapatkan.

Dalam konteks ini, sudah seharusnya guru mengajar materi sesuai dengan keahliannya
sebagaimana pepatah “the right man on the right place”, manusia yang benar ada di tempat
yang benar. Artinya, guru yang dirindukan adalah guru yang mengajar materi pelajaran yang
menjadi bidang, bakat, dan spesialisasinya. Kalau orang ahli bahasa Arab mengajar bahasa
Indonesoa, atau sebaliknya, maka hasil yang didapatkan tidak baik, siswa-siswi merasa tidak
puas, dan kualitas anak didik yang dihasilkan sangat rendah, dan hal ini menjadi malapetaka
pendidikan.

2. Mempunyai Wawasan Luas

Siswa akan bangga mempunyai guru yang memiliki pengetahuan dan pengelaman luas,
cakrawala pemikiran yang mendalam, dan hal-hal baru yang segar. Selalu ada hal baru yang
disampaikan seorang guru akan menjadi salah satu daya tarik yang bisa menggugah
semangatnya mengikuti pelajaran guru. Murid juga merekam penjelasan gurunya dengan baik.
Dengan demikian, keterangan guru akan membekas di hati murid-muridnya.

Inilai salah satu manfaat mempunyai cakrawala pemikiran yang luas. Cakrawala
pemikiran yang luas tersebut sebaiknya memiliki hubungannya dengan materi yang diajarkan.
Misal, seorang guru yang mengajar mata kuliah profesi kependidikan, seyogianya sering

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


207
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

menulis buku, membaca artikel, melakukan penelitian (PTK), dan terlibat aktif dalam
kegiatan intelektual lainnya.

3. Komunikatif

Guru yang suka menyapa dan memperhatikan kondisi muridnya lebih diterima anak
didiknya dari pada guru yang egois, yang datang hanya untuk menerangkan pelajaran, setelah
itu pulang. Ia tidak mau peduli persoalan anak didiknya. Yang penting ia datang, mengajar
sampai batas waktu yang ditentu-kan, kemudian selesai. Disnilah pentingnya guru
berkomunikasi dengan anak didiknya, menyapa anak didik, menanyakan bagaimana
kondisinya, capek, lemas, atau tetap semangat. Ketika guru bertanya kepada murid, murid
akan merasa diperhati-kan, sehingga guru dianggap bagian darinya.

Komunikasi semacam ini sangat penting sebagai pendekatan psikologi kepada anak
didik. Aspek penerimaan seorang guru menjadi faktor penting bagi kelancaran kegiatan
belajar-mengajar di dalam kelas. Kelau murid tidak senang terhadap gurunya, maka hal itu
bisa menjadi gangguan psikologis guru dalam mengajar. Murid yang tidak senang akan
melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh guru tersebut, kalau pertahanan guru tidak kuat
akan muncul hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perasaan marah, bertindak di luar batas
kewajaran, dan tindakan-tindakan lain yang tidak bertanggung jawab.

Murid akan merasa senang bila disapa gurunya. Ia juga kagum kepada guru semacam ini.
Efek positifnya, murid-murid akan senang diajar guru tersebut. Ada keakraban, perasaan
saling mengasihi dan menyayangi. Keterlibatan emosi ini sangat penting dalam proses belajar
mengajar, sehingga aspek lahir batin siswa dapat diarahkan oleh guru.

4. Dialogis

Ingat, tugas guru tidak hanya mengajar, tapi juga menggali potensi terbesar anak
didiknya. Tugas ini sulit terleksana kalau dalam mengajar, seorang guru hanya mengandalkan
metode ceramah, sekadar memberikan materi an sich, tanpa ada ruang dialog. Oleh karena itu,
dalam metode dialog interaktif ini, guru tidak boleh merasa paling benar, paling pintar, dan
paling tahu segala masalah. Kalau guru mampu menerapkan aspek kesetaraan, yang emas
tetap emas, walau datang dari murid. Dengan demikian, murid akan semakin simpatik
terhadap guru tersebut. Kalau guru tidak bisa menjawab, kemudian menyatakan tidak bisa,
lalu melempar kepada siswa yang lain, maka hal tersebut sama sekali tidak menurunkan
derajat dan wibawa guru. Namun sebaliknya, para siswa menjadi paham bahwa jika guru
mampu menjawab pertanyaan, berarti ia tahu masalahnya, tidak berbohong. Di sinilah salah
satu letak kesuksesan guru dalam membangkitkan semangat belajar anak didik.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


208
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

5. Menggabungkan Teori dan Praktik

Anak didik akan mudah jenuh kalau hanya dijejali dengan teori tanpa ada praktik.
Praktik sangat diperlukan sebagai media menurunkan, mengendapkan, dan melekatkan
pemahaman materi pada otak anak didik. Praktik bisa berupa turun langsung ke lapangan atau
sekedar ke laboratorium. Kalau pelajaran berhubungan dengan biologi, anak bisa diajak
meneliti tumbuhan-tumbuhan sesuai dengan materi yang disampaikan, kemudian diminta
menyampaikan hasil penelitiannya di lapangan di depan kelas, lalu melaporkan hasilnya
secara tertulis ditambah dengan tambahan keterangan guru dan dari teman-temannya.

Dengan praktik, ilmu dapat berkembang dengan pesat. Anak-anak pun terlatih untuk
menerapkan ilmu yang dipelajari. Dari sinilah anak akan mengevaluasi pemahamannya
terhadap materi yang diajarkan. Praktik ini menjadi suatu keharusan pada semua materi,
khususnya materi yang membutuhkan aplikasi sehari-hari.

6. Bertahap

Belajar ilmu adalah setahap demi setahap, dari satu, dua, dan seterusnya. Bertahap ini
meniscayakan pentingnya materi yang disampaikan harus urut, tidak meloncat-loncat. Dalam
konteks ini, ketika mengajar, seorang guru harus arif dan bijaksana. Jangan memberikan
semua pengalaman dan ilmu kepada anak didik dalam satu kesempatan. Berilah sedikit demi
sedikit agar anak didik bisa menerimanya dengan baik. Sebab, jika diberikan sekaligus akan
mudah hilang. Seorang guru harus bisa menyampaikan materi agar selalu aktual dan
kontekstual, sehingga anak-anak tertarik untuk memahami dan mengkaji secara mendalam.
Seorang guru tahu mana yang harus disampaikan dan mana yang harus diprioritaskan. Di
sinilah kearifan seorang guru dalam menjelaskan secara bertahap sangat diharapkan, sehingga
apa yang disampaikan bisa diterima dengan baik dan benar oleh anak didiknya.

7. Mempunyai Variasi Pendekatan

Dalam proses belajar mengajar, seorang guru harus mempelajari banyak pendekatan
pengajaran. Dengan menguasai pendekatan pengajaran yang banyak, proses belajar mengajar
dapat berjalan secara variatif, tidak monoton dan selalu segar. Misalnya, dalam suatu
kesempatan, seorang guru bisa menggunakan pendekatan ceramah. Di lain kesempatan, dia
juga bisa menggunakan pendekatan dialog interaktif, atau bisa juga menggabungkan teori
monologis dan dialogis dalam satu kesempatan. Dalam menerapkan banyak pendekatan ini,
jangan sampai siswa merasa dilecehkan dan dianaktirikan. Misalnya, membentuk kelompok
berdasarkan kecerdasan, murid-murid yang bodoh dibentuk satu kelompok, yang pintar satu
kelompok. Hal ini akan mengakibatkan kecemburuan dan tidak produktif bagi efektifitas

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


209
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pembelajaran. Jika mengadakan penggolongan, guru harus cerdik, jangan menggolongkan


murid berdasarkan kecerdasan, melainkan berdasarkan kecenderungan, misalnya masalah
agama, sosial, budaya, pendidikan, dan lain-lain. Dengan demikian, murid akan merasa
dihargai, dan bakatnya akan mudah tersalurkan.

8. Tidak Memalingkan Materi Pelajaran

Dalam mengajar, seorang guru harus berkonsentrasi penuh pada satu arah, satu target,
dan satu tujuan yang dicanangkan, sehingga hasilnya bisa maksimal. Misalnya, dalam materi
profesi kependidikan, ia harus berbicara seputar profesi guru dan hal-hal lain bersifat
menunjang. Jangan sampai ketika menerangkan tentang profesi kependidikan, anak diajak
berbicara jauh tentang masalah politik dan budaya, yang justru menghabiskan waktu
mengajar karena mengikuti selera dan kepentingan guru.

Oleh sebab itu, seorang guru harus membuat rencana pembelajaran, target
pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Hal-hal tersebut bisa digunakan sebagai ukuran dan
pengingat kelalaian yang bisa datang sewaktu-waktu secara tidak terduga. Manusia tetap
manusia yang kadang melakukan kesalahan. Namun jangan sampai terus-menerus melakukan
kesalahan.

9. Tidak Terlalu Menekan dan Memaksa

Seorang guru harus berusaha untuk mengajar secara alami, tidak terlalu menekan dan
memaksa murid. Kalau memaksa dan menekan murid, efeknya tidak positif bagi
perkembangan psikologisnya. Guru harus bisa menyelami psikologi anak didik, memberikan
materi secara mengalir sesuai falsafah air yang mengalir secara pelan, mampu menerobos
hal-hal sulit dan merobohkan hal-hal besar dengan ketekunan, kerajinan, dan kesungguhan.

Kalau murid diberi target terlalu tinggi, kemudian melakukan penekanan bahkan pemaksaan
di luar batas kemampuan mereka, maka kegiatan belajar mengajar tidak bisa berjalan secara
enjoyable. Guru yang idealis tapi tidak arif melihat kondisi siswa bisa terkena masalah ini.
Oleh sebab itu, idealisme guru yang besar harus ditunjang dengan kearifan, kebijaksanaan,
dan kecerdasan dalam membangkitkan semangat belajar anak. Guru harus bisa merekayasa
suasana, sehingga secara tidak terasa, anak didik yang justru berinisitatif meminta guru
menambah dan melanjutkan pelajaran.

10. Humoris, Tapi Serius

Salah satu ciri guru yang dirindukan adalah berwatak dinamis, kompetitif, tapi juga
humoris. Di tengah kepenatan pikiran, keletihan fisik, dan kebosanan berpikir, humor sangat

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


210
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

diperlukan. Dengan selera humor yang tinggi, seorang guru bisa memecah suasana yang
menjenuhkan, menghilang-kan kepenatan, dan menyegarkan pikiran anak didik.

Setelah kepenatan dan keletihan pikiran hilang, guru bisa memulai pelajarannya.
Walaupun begitu, dalam humor ini guru tidak boleh berlebih-lebihan, apalagi sampai
mengganggu konsentrasi lingkungan belajar di sekitar-nya. Humor bukan tujuan, tetapi
sekedar alat untuk menyegarkan pikiran dan menghilangkan kepenatan berpikir. Di sinilah
peran guru dalam mengatur irama, ritme, dan menghilangkan beban berat pelajaran anak
didik diperlukan.

Sepuluh indikator guru yang dirindukan di atas sangat penting untuk dilaksanakan.
Memang berat tapi mustahil tidak bisa dilakukan secara bertahap. Bagi kita, tak ada guru yang
tidak dicintai, yang ada hanyalah guru yang belum menemukan hidayah. Tak ada guru yang
tidak dirindukan, yang ada hanyalah guru yang belum menemukan cahaya.

SIMPULAN DAN SARAN

Makna mendalam dibalik kesimpulan ini adalah bahwa, kepuasan yang paling tinggi
sebagai guru adalah melakukan tugas hidup ini dengan baik. Dan asas utama guru, adalah
bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka. Ijazah adalah
wewenang mengajar, bukan hak. Hak mengajar diberikan oleh siswa”.

Barang siapa berani mengajar, ia tak berhenti belajar. Barang siapa berani menulis, ia tak
berhenti membaca. Karena itu, pekerjaan guru tidak pernah mengenal kata henti dan selesai.
Berkat kecintaaan dan kerinduan serta kegigihan dan kemuliahannya, guru tidak saja dijuluk
sebagai pewaris risalah, atau samudra ilmu tak bertepi, tetapi lebih ideal lagi, ia dijuluk sebagai
petani ilmu di taman siswa.

Untuk menambah keberkahan, diakhir tulisan ini disarankan bahwa sosok dan perilaku
guru yang dicintai dan dirindukan tampak dari sikap dan mentalitas sukses dan optimis. Bagi guru
yang optimis, ada baiknya mengikuti nasihat dari kalimat bijak ini, “Saat masalah hidupmu sudah
sedemikan hebat, itu pertanda, kemudahan sudah mendekat. Maka sahabat dan kawanku, saat
masalah hidupmu sudah memuncak, kau boleh sedih, kau boleh nangis. Tapi ingat satu hal,
bahwa kau tidak boleh nyerah. Karena sebentar lagi, hidupmu akan berubah.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Sangkan (2006). Berguru kepada Allah (Jakarta: PT. Patrap Thursina Sejati).
Adil Fathi Abdullah (2006). Membangun Positive Thinking secara Islam. Terjemahan Faishal
Hakim Halimy (Jakarta: Gema Insani.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


211
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Acep Koni – Sri Rahayu Yunus. 2011. Begini Cara Menjadi Guru Inspiratif & Disenangi Siswa.
Jakarta: Pustaka Widyatama.
Adi Rianto (2009). Kekerasan dalam pendidikan: sebuah survey atas prakter pendidikan di Flores
NTT. Respons Jurnal Etika Sosial, Vo. 14. No.; 02 Desember. Hal. 247-262.
Arikunto. S. 1998. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi. Jakarta: Rineka Cipta.
Asosiasi Lingkunagn Pendidik Tenaga Kependidikan Indonesia. 2009. Pemikiran tentang
Pendidikan Karakter dalam Bingkai untuk Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
Bafadal. I. 2002. Manajemen Akselerasi Mutu Sekolah Dasar. Penelitian Tindakan Kelembagaan.
Jurnal Ilmu Pendidikan, 29 (2). hlm. 149-157.
Bafadal. I. 2003a. Seri Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah,
Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar, Dalam Kerangka Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hamalik, Oemar. 2009. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi
Aksara.
Kotten Natsir. 2007. Upaya pengembangan profesionalisme guru Sekolah Dasar. Jurnal Ilmu
Pendidikan, Nomor 3 Tahun 2005
Kotten Natsir. (2009) Pendidikan Berwawasan Spiritual. Majalah Ilmiah Universitas Flores
INDIKATOR, Volume X. N0. 2 September 2009
Kotten Natsir. 2011. Mendidik dengan Hati Melahirkan Potensi. Ende: FKIP. Universitas Flores.
Elmubarak Z. 2007. Membumikan Pendidikan Nilai. Mengumpulkan yang terserak, dan
menyambung yang terputus, dan menyatuhkan yang tercerai. Penerbit Alfabeta
Bandung.
M. Furqan Hidayatullah. 2009. Guru Sejati. Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas.
Surakarta: Penerbit Yuma Pustaka.
Mbete. A.M. 2007. Pendidikan Bermutu Berbasis Pelayanan. Denpasar-Bali: Program
Pascasarjana Udayana Denpasar.
Mahmud Klalifah Usamah Quthub. 2009. Menjadi Guru yang Dirindu. Surakarta: Ziyad Visi
Media.
Mulyasa, E. 2005. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran yang Kreatif dan
Menyenangkan. Bandung: Rosda Karya.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


212
PROSIDING

MP-30

MENGEMBANGKAN KECAKAPAN ABAD 21 DI TINGKAT PENDIDIKAN DASAR


DENGAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
1
Gregorius Sebo Bito, 2Maria Vendelina E. Wula
1
PGSD Universitas Flores Ende NTT, 2SMPN5 Bajawa
E-mail: 1sebobito@gmail.com, 2 endangwula@gmail.com
Abstrak

Makalah ini memaparkan pembelajaran matematika yang menekankan kecakapan-kecakapan


hidup menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Kecakapan hidup
merupakan jembatan untuk mengantarkan siswa siap memasuki kehidupan nyata di
masyarakat. Pengembangan pembelajaran pendidikan kecakapan hidup di SD dan di SMP
difokuskan pada kecakapan personal, kecakapan berpikir rasional dan kecakapan sosial.
Terdapat benang merah antara pendidikan kecakapan hidup dengan karakteristik pendekatan
PMR. Oleh karenanya, untuk membelajarkan matematika yang menekankan pada kecakapan
hidup cukup dilakukan dengan menggunakan pendekatan PMR secara benar.
Kata Kunci : kecakapan hidup, pendekatan matematika realistik

PENDAHULUAN

Sejak memasuki Abad 21, Indonesia dihadapkan dengan berbagai persoalan. Prof. Dr.
Amien Rais (Fauzi, 2013) menyatakan, terdapat lima persoalan besar yang sedang dihadapi oleh
bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Persoalan-persoalan tersebut adalah: (1) ledakan
penduduk, (2) krisis pangan (3) krisis energi, (4) perusakan lingkungan dan, (5) krisis peradaban
(Fauzi, 2013). Persoalan-persoalan tersebut menuntut semua anak bangsa untuk bersama-sama
mencari jalan keluarnya. Untuk dapat berpartisipasi dalam menyelesaikan persoalan bangsa,
serta turut ambil bagian dalam program-program pemerintah, dibutuhkan Sumber Daya Manusia
(SDM) yang berkualitas. SDM yang berkualitas hanya diperoleh lewat proses pendidikan yang
berkualitas

Berkaca pada perkembangan pendidikan di tingkat Internasional, kualitas pendidikan


di Indonesia jauh tertinggal. Indikatornya adalah prestasi anak-anak Indonesia di tingkat
Internasional. Sejak awal keikutsertaan Indonesia dalam Programme for International Student
Assessment (PISA), yaitu studi yang memfokuskan pada literasi bacaan, matematika, dan Sains,
menunjukkan bahwa Indonesia selalu menduduki peringkat 10 besar terbawah dari 65
negara. Dalam OECD (2010) misalnya, dilaporkan bahwa Indonesia berada pada posisi 61 dari 65
negara, sedangkan peringkat PISA 2012, posisi Indonesia lebih buruk yaitu menempati urutan 64
dari 65 negara peserta(OECD, 2013). Indonesia, bahkan jauh tertinggal dari negara lain di Asia
karena peringkat 10 besar PISA 2012 didominasi oleh negara negara Asia. Anak-anak di
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Shanghai menduduki ranking pertama, diikuti Singapura, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan,
Makau, dan Jepang. Fakta yang cukup mencengangkan adalah bahwa, dalam laporan OECD
(2010), tertera 43,5% siswa Indonesia tidak mampu menyelesaikan soal matematika yang paling
sederhana, sementara 33,1% hanya dapat menyelesaikan soal kontekstual matematika yang
diberikan secara eksplisit dan hanya 0,1% siswa Indonesia dapat menyelesaikan soal kontekstual
yang menuntut kemampuan berpikir dan menalar. Fakta ini menunjukkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa Indonesia berada pada level paling rendah. Pada level ini,
siswa hanya dapat menyelesaikan soal soal PISA yang membutuhkan satu langkah penyelesaian
dimana, semua hal yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal telah tersedia.

Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa Indonesia juga dapat


dibuktikan dengan hasil Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS).
Hasil terbaru dari TIMSS 2011 menunjukkan bahwa penguasaan matematika siswa kelas VIII
SMP Indonesia berada di peringkat 38 dari 45 negara. Indonesia hanya mampu mengumpulkan
386 poin dari skor rata-rata 500. Dibandingkan dengan hasil TIMSS sebelumnya , justru terlihat
penurunan yakni 403 poin pada tahun 1999, 411 poin pada 2003 dan anjlok menjadi 397 poin
pada tahun 2007. Indonesia menempati rangking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami
informasi yang kompleks, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat,
prosedur dalam pemecahan masalah, dan (4) melakukan investigasi (Depdiknas, 2012).

Jika dilihat dari soal-soal yang diajukan, kecakapan matematika yang diharapkan
dunia melalui tes TIMSS dan PISA berbeda dengan yang diajarkan di sekolah Indonesia dan
yang diujikan dalam ujian nasional. Ini tidak berarti bahwa matematika di Indonesia lebih mudah
daripada di negara lain yang meraih ranking lebih tinggi dalam TIMSS dan PISA. Sekolah di
Indonesia terlalu fokus mengajarkan kecakapan yang sudah kedaluwarsa, seperti menghafal dan
berhitung (Iwan Pranoto, Kompas 5 Desember 2013), lupa menekankan kemampuan berpikir
untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia nyata.

PENDIDIKAN KECAKAPAN ABAD 21

Perkembangan dunia Abad 21 ditandai dengan peningkatan pemanfaatan teknologi


informasi dan komunikasi dalam segala segi kehidupan. Lembaga Pendidikan harus dapat
menciptakan proses pembelajaran yang tidak hanya cukup membuat siswa menguasai ilmu
pengetauan (transfer of knowledge) tetapi juga bagaimana mereka memanfaatkan dan
mengimplementasikan ilmu pengetahuan tersebut untuk mengatasi berbagai problema hidup
selepas proses pendidikan. Abad 21 juga menuntut perubahan peran pembelajaran matematika
di sekolah. Pembelajaran matematika dituntut tidak lagi hanya menekankan pada kecakapan
matematis tetapi pendidikan matematika harus dapat mengembangkan kecakapan hidup (life

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


214
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

skill). Untuk itu, lembaga pendidikan harus menyiapkan siswa sejak dini agar kelak siap untuk
bekerja pada bidang yang tidak relevan dengan bidangnya atau mampu menciptakan lapangan
kerja sendiri. Artinya, pendekatan pembelajaran di sekolah haruslah pendekatan yang
menekankan pada kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja
atau tidak bekerja, apa pun profesinya.

Sejak September Tahun 2001 telah bergulir tujuan proses pembelajaran ke arah
penguasaan kompetensi dasar yang bermuara pada kepemilikan kecakapan hidup (life skill).
Kecakapan hidup adalah keberanian menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar
tanpa merasa tertekan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya.
Dengan bekal kecakapan hidup tersebut, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan
problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka
yang tidak melanjutkan pendidikannya (Depdiknas, 2002).

Kecakapan hidup terdiri dari kecakapan hidup yang bersifat umum (generik life
skills/soft skills) dan kecakapan hidup yang bersifat khusus (specific life skills/hard skils)
(Depdiknas, 2002). Kecakapan hidup generik adalah kecakapan yang harus dimiliki oleh setiap
orang yang terdiri atas kecakapan personal (personal skill) dan kecakapan sosial (social
skill). Kecakapan Personal mencakup kesadaran diri, serta kecakapan berpikir rasional.
Kesadaran diri merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sebagai
anggota masyarakat dan warga negara, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya
sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Kecakapan berpikir
rasional mencakup kecakapan: (1) menggali dan menemukan informasi; (2) mengolah informasi
dan mengambil keputusan; dan (3) memecahkan masalah secara kreatif (Depdiknas, 2002).

Selanjutnya kecakapan sosial atau kecakapan interpersonal (social skill) mencakup:


(1) kecakapan komunikasi dengan empati (communication skill), dan (2) kecakapan
bekerjasama (collaboration skill). Kecakapan hidup spesifik adalah kecakapan yang diperlukan
seseorang untuk menghadapi problema bidang khusus yang terdiri atas kecakapan akademik
dan vokasional. Kecakapan akademik mencakup: kecakapan mengidentifikasi variabel dan
menjelaskan hubungannya dengan suatu fenomena tertentu, merumuskan hipotesis terhadap
suatu rangkaian kejadian, serta merancang dan melaksanakan penelitian untuk membuktikan
suatu gagasan atau keingintahuan. Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan atau
kegiatan tertentu yang terdapat di masyarakat dan lebih memerlukan keterampilan motorik.

Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup telah ada dalam kurikulum Indonesia sejak
Tahun 2001, namun untuk pelaksanaan dalam proses pembelajaran tidak diatur secara spesifik.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


215
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Untuk integrasi pendidikan kecakapan hidup, Balitbang Puskur (2007) hanya menetapkan lima
prinsip pelaksanaan, diantaranya adalah: (1) Pembelajaran menggunakan prinsip empat pilar
yang ditetapkan Unesco (2) konstekstual dengan menggunakan potensi lingkungan sekitar
sebagai wahana pendidikan.

Untuk mencapai empat pilar pendidikan disertai kepemilikan bekal kecakapan


hidup, seyogyanya siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran yang mempraktekkan
interaksi siswa dengan lingkungan fisik dan sosial, agar siswa memahami pengetahuan yang
terkait dengan lingkungan sekitarnya (learning to know). Proses pembelajaran tersebut bertujuan
memfasilitasi siswa dalam melakukan perbuatan atas dasar pengetahuan yang dipahaminya
untuk memperkaya pengalaman belajar (learning to do). Berdasarkan pengalaman belajar yang
telah diperolehnya, siswa diharapkan dapat membangun kepercayaan dirinya supaya dapat
menjadi jati dirinya sendiri (learning to be); dan sekaligus juga berinteraksi dengan berbagai
individu dan kelompok beragam. Interaksi ini diharapkan akan membentuk kepribadian,
memahami kemajemukan, melahirkan sikap toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan
individu (learning to live together) sesuai dengan haknya masing-masing.

Pendidikan kecakapan hidup sudah lebih operasional dalam Kurikulum 2013.


Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki
kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif,
inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan peradaban dunia (Depdiknas, 2013). Untuk mencapai tujuan tersebut, dirumuskan
empat kompetensi inti untuk seluruh mata pelajaran yang terdiri dari: KI-1 untuk kompetensi inti
sikap spiritual; KI-2 untuk kompetensi inti sikap sosial; KI-3 untuk kompetensi inti pengetahuan;
dan KI-4 untuk kompetensi inti keterampilan (Depdiknas, 2013).

Dengan demikian, masing-masing KI secara berurutan menekankan pada kecakapan


personal, sosial akademik dan vokasional. KI-1 dan KI-2 wajib menjadi tagihan setiap proses
pembelajaran, sementara KI-3 dan KI-4 tergantung pada karakteristik materi pembelajaran yang
akan diberikan sesuai dengan standar kompetensi mata pelajaran tertentu. Keempat KI ini
menggambarkan kualitas yang seimbang antara pencapaian hard skills (KI-3 dan KI-4) dan soft
skills (KI-1 dan KI-2).

Pembelajaran berorientasi kecakapan hidup, merupakan karakter pembelajaran Abad


21, yang menekankan pada aspek komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis, problem solving,
kreativitas dan inovasi. Aspek aspek tersebut merupakan kompetensi penting bagi setiap orang
dalam mengarungi kehidupan Abad 21. Sekolah dituntut untuk mampu menyiapkan siswa
memiliki kompetensi-kompetensi tersebut. Rotherdam & Willingham (2009) mencatat bahwa,

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


216
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

kesuksesan seorang siswa tergantung pada kepemilikan Kecakapan abad 21, sehingga siswa
harus belajar untuk memiliki kecakapan kecakapan tersebut.

Mengingat pentingnya kecakapan kecakapan ini, aspek komunikasi, kolaborasi,


berpikir kritis, problem solving, kreativitas dan inovasi, telah menjadi fokus dalam
pembelajaran matematika di hampir semua negara, termasuk Indonesia. Tujuan pembelajaran
matematika di Sekolah Dasar seperti tertera dalam Permendiknas Nomor 20 Tahun 2006 tentang
Standar Isi (Depdiknas, 2006), diantaranya adalah:

1. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang


model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh

2. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk
memperjelas keadaan atau masalah

Kemampuan menyelesaikan masalah telah ditekankan sejak lama. Bell (dalam Sugiman
& Kusumah, 2010) mengemukakan kemampuan pemecahan masalah matematik sangat
dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan Lester (dalam Sugiman & Kusumah, 2010) menegaskan
bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan inti dari matematika.

Kemampuan memecahkan masalah juga menjadi perhatian National Council Teacher


of Mathematics (NCTM) seperti yang tertera pada Principles and Standard for School
Mathematics. Dalam NCTM (2000) dinyatakan bahwa:” problem solving is an integral part of all
mathematics learning and so it should not be an isolated part of the mathematics program”.
Penyelesaian masalah merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran
matematika. Kemampuan penyelesaian masalah adalah kemampuan atau kompetensi esensial
dalam mempelajari matematika, yang direkomendasikan untuk dilatihkan serta dimunculkan
sejak anak belajar pada jenjang pendidikan paling dasar”.

Selain kemampuan penyelesaian masalah, pembelajaran matematika perlu menekankan


pada kemampuan komunikasi dan kemampuan berpikir. NCTM juga menekankan pentingnya
kemampuan komunikasi dalam matematika dan pendidikan matematika. Dalam NCTM (2000)
dinyatakan bahwa:” communication is an essential part of mathematics and mathematics
education”. Siswa dituntut untuk memahami, mengelola dan menciptakan komunikasi yang
efektif dalam berbagai bentuk dan isi secara lisan maupun secara tertulis.

Untuk mengembangkan kemampuan komunikasi siswa, NCTM (2000) menekankan


pentingnya penggunaan masalah matematika yang bersifat terbuka dan menantang. Menurut
Swada (Ariyadi Wijaya, 2012), masalah terbuka (open ended problem) yang berbasis dunia nyata
akan membuat siswa lebih aktif berpartisipasi dalam pembelajaran serta menjadi lebih sering

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


217
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

mengekspresikan gagasan-gagasan mereka. Masalah yang bersifat terbuka akan menstimulasi


siswa untuk berdiskusi sehingga mereka dapat merumuskan suatu kesepakatan dan pemahaman
bersama terkait dengan penyelesaian masalah.

Berkaitan dengan prinsip komunikasi, Tatsis (2007) memperkenalkan istilah “norma


sosial” dan “norma sosiomatematik”. Norma ini melandasi interaksi sosial yang terjadi ketika
siswa bekerja sama menyelesaikan masalah matematika maupun dalam mempresentasikan suatu
hasil penyelesaian masalah matematika. Cobb, Wood dan Yackel (Sembiring, et.al, 2010),
membedakan kedua norma ini, untuk menggambarkan pola komunikasi antara guru dan siswa
maupun antarsiswa. Norma sosial adalah pola umum interaksi sosial yang tidak terikat pada
materi pelajaran, misalnya bagaimana cara yang baik untuk mengajukan pertanyaan serta
menghargai pendapat orang lain. Norma sosiomatematik terkait erat dengan materi pelajaran,
misalnya bagaimana siswa melakukan proses interaksi dan negosiasi untuk memahami
konsep-konsep matematika.

Selain membuat siswa lebih aktif, keberadaan masalah kontekstual yang bersifat
terbuka juga berpotensi membiasakan siswa menggunakan seluruh kecakapan matematisnya,
sehingga pembelajaran matematika memfasilitasi siswa untuk berpikir matematis. Andrew
Noyes (2007) menyatakan bahwa:“many children are trained to do mathematical calculations
rather than being educated to think mathematically”. Selama ini para guru hanya berkonsentrasi
untuk melatih siswa melakukan perhitungan-perhitungan matematika, daripada dididik untuk
berpikir secara matematik, padahal, menurut Stacey (dalam Ariyadi Wijaya, 2012), “kemampuan
berpikir matematis sangat penting karena berkontribusi dalam pengembangan kemampuan
pemecahan masalah”

Berbagai kecakapan Abad 21 seperti berpikir matematik, pemecahan masalah,


komunikasi dan kolaborasi, sebenarnya telah menjadi penekanan dalam kurikulum matematika
Indonesia, yang tertera dalam Permendiknas Nomor 20 Tahun 2006 tentang Standar Isi
(Depdiknas, 2006). Ibarat ular berkepala dua, cara berjalannya tidak searah dengan tujuannya.
Guru hanya menekankan banyaknya materi matematika yang dipelajari berdasarkan target
kurikulum dan mengabaikan tujuan pembelajaran matematika yang ditetapkan. Kebiasaan guru
seperti ini tidak salah, karena sistem evaluasi pendidikan kita yang mendewakan hasil Ujian
Nasional (UN) sebagai target semu (Wibowo, 2008). Guru melatih siswa untuk menjawab soal
UN secara cepat dan benar (smart solution) seperti yang sering dilatihkan di Lembaga
Bimbingan Belajar. Sekolah telah beralih fungsi dari lembaga pendidikan menjadi lembaga
pelatihan.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


218
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK

Terdapat kesadaran yang kuat terutama dari kalangan pengambil kebijakan untuk
memperbaharui pendidikan matematika. Kesadaran ini berawal dari refleksi akan praktik
pendidikan yang berlangsung di sekolah. Pembelajaran matematika yang dipraktikkan di kelas
ternyata jauh dari hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pendidikan yang menjadikan
siswa sebagai manusia yang mempunyai kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi
dirinya (Sutarto Hadi, 2005).

Karena kesadaran ini, pendidikan matematika dalam lebih satu dekade ini tengah
mengalami perubahan paradigma dimana tujuannya adalah agar: “pembelajaran matematika lebih
bermakna bagi siswa dan dapat memberikan bekal kompetensi yang memadai baik untuk studi
lanjut maupun untuk memasuki dunia kerja” (Sutarto Hadi, 2005). Paradigma pembelajaran
berubah seiring berkembangnya teori belajar yang memandang siswa sebagai subyek belajar dan
harus menemukan sendiri ilmu pengetahuan.

Beberapa pendekatan baru telah dipraktikan dalam pembelajaran matematika seperti


konstruktivis, CTL, dan yang paling menonjol adalah secara khusus dikembangkannya
pendekatan Realistics Mathematics Education (RME). Pendekatan kontruktivis dan pendekatan
CTL mewakili teori belajar secara umum, sedangkan RME merupakan teori pembelajaran yang
khusus dikembangkan untuk pembelajaran matematika (Sutarto Hadi, 2005). Dalam bahasa
Indonesia, Realistics Mathematics Education (RME) memiliki makna yang sama dengan
Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Pendekatan PMR dikembangkan di Belanda sejak
Tahun 1971 oleh Freudenthal Institute. Pendekaan PMR lahir berdasarkan gagasan seorang
penulis, pendidik dan matematikawan yang bernama Hans Freudenthal. Freudental berpendapat
bahwa mathematics as an human activity (matematika merupakan aktivitas manusia). Oleh
karena itu siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics
(penerima pasif matematika yang sudah jadi).

PMR sudah mulai diterapkan di Indonesia dengan nama Pendidikan Matematika


Realistik Indonesia (PMRI) sejak Tahun 2001. PMRI dikembangkan oleh IP-PMRI yang diketuai
oleh Dr. R.K Sembiring dengan melibatkan empat Universitas yaitu UPI, UNY, USD dan
UNESA (Sembiring, et.al, 2010). Belakangan, selain sekolah ujicoba PMRI sudah banyak
sekolah lain yang menerapkan PMR. Belakangan beberapa LPTK sudah memasukan PMR
sebagai mata kuliah dalam kurikulum pendidikan guru, terutama pada Program Studi Pendidikan
Matematika dan PGSD pasca diterapkanya kurikulum pendidikan tinggi berbasis KKNI
(Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia).

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


219
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Keistimewaan dari pendekatan PMR adalah bahwa ini berbeda dengan pendekatan
pembelajaran yang selama ini dipraktikkan oleh guru di sebagian besar sekolah sekolah
Indonesia. Pengembangan konsep matematika dengan PMR tidak hanya menekankan pada
penyampaian informasi dari guru (mekanistik) tetapi konsep matematika diharapkan seolah-olah
ditemukan kembali (re-invention) oleh siswa melalui penyelesaian masalah kontekstual (konteks
dunia nyata) yang diberikan guru di awal pembelajaran. Siswa diharapkan memodelkan
fenomena yang ada pada masalah kontekstual secara bertahap dari konkrit ke abstrak.

Dalam pendekatan PMR, siswa diminta untuk mengorganisasikan dan


mengidentifikasi aspek-aspek matematika yang terdapat pada masalah kontekstual yang
diberikan guru. Kepada siswa juga diberikan kebebasan penuh untuk mendeskripsikan,
menginterpretasikan, menyederhanakan dan menyelesaikan masalah kontekstual tersebut
menurut cara mereka sendiri, baik secara individu maupun kelompok, berdasarkan pengalaman
atau pengetahuan awal yang telah mereka miliki. Kemudian dengan atau tanpa bantuan guru, para
siswa diharapkan dapat menggunakan masalah kontekstual tersebut sebagai sumber munculnya
konsep atau pengertian-pengertian matematika yang meningkat abstrak. Koeno Gravemeijer
(1994) memaparkan tiga prinsip utama dari PMR yaitu: guided reinvention/progressive
mathematizing, (b) didactical phenomenology dan (c) self-developed models.

Prinsip pertama adalah : guided reinvention/progressive mathematizing. Dalam prinsip


penemuan kembali secara terbimbing (guided re-invention), para siswa harus diberi kesempatan
untuk mengalami proses yang sama dengan proses dimana suatu konsep matematika yang
ditemukan oleh para ahli (Gravemeijer, 1994). Untuk mewujudkan hal tersebut, Gravemeijer
(1994) menyatakan bahwa ada dua hal yang dapat digunakan untuk mewujudkan prinsip
re-invention. Pertama, dari pengetahuan tentang sejarah matematika siswa bisa belajar
bagaimana pengetahuan matematika tertentu dikembangkan. Ini dapat membantu para guru
menguraikan berbagai langkah perantara, dimana konsep matematika bisa diciptakan kembali.
Kedua, dengan memberikan masalah kontekstual yang memiliki berbagai prosedur solusi
informal dilanjutkan dengan proses matematisasi akan menciptakan kesempatan untuk proses
re-invention.

Untuk memfasilitasi proses re-invention, guru perlu memilih masalah kontekstual yang
dimungkinkan dapat diselesaikan dengan berbagai prosedur. Berkenaan dengan prinsip
penemuan kembali ini, guru perlu memetakan rute atau trayektori belajar (learning trajectory)
yang memungkinkan siswa untuk menemukan konsep matematika sendiri (Gravemeijer, 2004).
Trayektori belajar yang dirancang sendiri oleh guru atau hasil modifikasi dari trayektori belajar
lain yang akan digunakan dalam proses pembelajaran disebut dengan hipotesis trayektori belajar

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


220
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

(hypothetical learning trajectories/HLT). HLT yang dikembangkan guru harus menekankan pada
sifat dari proses belajar ketimbang hasil belajar. Pengembangan HLT penting dalam
pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR mengingat “siswa SD membangun konsep
dan gagasan matematika dengan cara yang jauh berbeda dari apa yang diduga atau diasumsikan
oleh banyak orang” (Even & Tirosh, 2002 dalam Sebo Bito, 2013).

Pengembangan HLT merupakan suatu cara untuk menjabarkan aspek-aspek pedagogi


dalam pembelajaran matematika yang berorientasi pada pemahamaman konsep. HLT terdiri dari
tujuan pembelajaran, masalah-masalah matematika yang akan digunakan untuk mendukung
pemahaman siswa dan dugaan-dugaan mengenai segala sesuatu yang mungkin terjadi dalam
proses pembelajaran dan harus diantisipasi oleh guru (Simon & Tzur, 2004)., HLT merupakan
jembatan antara teori pembelajaran dan proses pembelajaran di kelas yang sesungguhnya
(Bakker,2004).

Selain HLT ada istilah lain yang sering digunakan dalam Matematika Realistik, yaitu
Iceberg Metaphor dalam bahasa Indonesia disebut Metafora Gunung Es. Istilah ini pertama kali
diperkenalkan oleh Frans Moerlands yang merujuk pada pengembangan model dalam pendekatan
PMR dalam gagasan gunung es (iceberg) yang mengapung di tengah laut (Sebo Bito, 2013).
Proses pembentukan gunung es di laut selalu dimulai dari bagian dasar di bawah permukaan laut
dan seterusnya akhirnya terbentuk puncak gunung es yang muncul di atas permukaan laut. Bagian
dasar gunung es lebih luas dari pada puncaknya, dengan demikian konstruksi gunung es tersebut
menjadi kokoh dan stabil. Dalam model gunung es Moerlands, terdapat empat tingkatan aktivitas,
yakni, orientasi lingkungan secara matematis, model alat peraga, pembuatan pondasi,
matematika formal.

Prinsip kedua dari PMR adalah: didactical phenomenology. Prinsip kedua terkait dengan
gagasan fenomena didaktik, yang menghendaki bahwa di dalam menentukan suatu topik
matematika untuk diajarkan dengan pendekatan PMR, didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1)
untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi dalam
pembelajaran dan (2) untuk dipertimbangkan pantas tidaknya suatu topik digunakan sebagai
poin-poin untuk suatu proses matematisasi secara progresif (Gravemeijer, 1994). Fenomena yang
baik adalah yang konkrit dan dikenal baik oleh anak sehingga dapat memotivasi, menantang, dan
dapat dieksplorasi untuk memfasilitasi anak menuju konsep matematika yang abstrak. Salah satu
contoh fenomena yang baik adalah fenomena “naik” dan “turun” penumpang Bemo dalam
konteks trasnsportasi. Fenomena ini telah terbukti baik untuk memfasilitasi siswa berkembang
dalam belajar operasi penjumlahan dan pengurangan (Sebo Bito, 2013; Sebo Bito&Sugiman,
2013a; Sebo Bito & Sugiman, 2013b).

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


221
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Prinsip yang ketiga adalah: self-developed models. Pengembangan model berfungsi untuk
menjembatani jarak antara pengetahuan informal dengan pengetahuan formal (Gravemeijer,
1994). Pengetahuan informal adalah pengetahuan siswa yang langsung berhubungan dengan
situasi konteks atau masalah sehari-hari sedangkan pengetahuan formal adalah konsep
matematika yang akan diajarkan. Berdasarkan prinsip ini siswa hendaknya diberi kesempatan
untuk mengembangkan caranya sendiri saat memecahkan masalah yang diberikan. Gravemeijer
(1994) menyatakan bahwa, pada awalnya siswa mengembangkan model atau cara yang sesuai
dengan pemahamannya. Model ini masih bersifat kontekstual atau “model dari” (model of) situasi
masalah yang diberikan. Model inilah yang menjadi dasar untuk mengembangkan pengetahuan
matematika formal. Setelah proses generalisasi dan formalisasi model tersebut secara bertahap
diarahkan untuk menuju “model untuk” (model for) matematika formal.

Gravemeijer (1994) menguraikan perbedaan model of dan model for dalam empat
level aktivitas yaitu: situasional, referensial, general dan formal. Level situasional merupakan
yang paling dasar dari pemodelan dimana pengetahuan dan model masih berkembang dalam
konteks situasi masalah yang digunakan. Pada level referensional, strategi dan model yang
dikembangkan tidak lagi berada dalam konteks situasi, melainkan sudah merujuk pada konteks
dimana siswa membuat model untuk menggambarkan konteks situasi sehingga hasil pemodelan
pada model ini disebut “model dari” (model of) situasi (Gravemeijer, dalam Sebo Bito &
Sugiman, 2013b). Model yang dikembangkan siswa pada level general sudah mengarah pada
pencarian solusi secara matematis yang disebut “model untuk” (model for) penyelesaian masalah
(Gravemeijer dalam Sebo Bito&Sugiman, 2013b). Pada level formal, yang merupakan tahapan
perumusan dan penegasan konsep matematika yang dibangun siswa, siswa sudah bekerja dengan
menggunakan simbol dan representasi matematis (Gravemeijer, dalam Sebo Bito&Sugiman,
2013b).

Agar ketiga prinsip PMR yang telah disebutkan lebih mudah diimplementasikan di
kelas, Treffers (Ariyadi Wijaya, 2012) merumuskan lima karakteristik PMR, yaitu: penggunaan
konteks, penggunaan model untuk matematisasi progresif, penggunaan hasil konstruksi siswa,
interaktivitas dan keterkaitan.

Karakteristik pertama adalah penggunaan konteks. Penggunaan konteks dalam pendekatan


PMR bukan sebagai bentuk aplikasi suatu konsep, melainkan sebagai titik awal pengembangan
konsep melalui proses matematisasi. Konteks atau permasalahan realistik dijadikan starting point
dalam pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa
dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga selama hal tersebut bersifat imaginable. Karena
konteks dekat dengan keseharian siswa, maka skema siswa yang terakait konteks akan berubah

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


222
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

ketika terjadi poses asimilasi saat siswa berinteraksi dengan orang lain dalam proses
mengumpulkan dan pengklasifikasian informasi baru dari masalah kontekstual yang diberikan
guru.

Siswa diharapkan untuk mengeksplorasi konteks (asimilasi) yang hasilnya diarahkan


untuk strategi penyelesaian masalah yang diberikan. Jika pembelajaran langsung diawali dengan
matematika formal maka ditakutkan akan menimbulkan kecemasan matematika (mathematics
anxiety) pada siswa. Manfaat lain dari eksplorasi konteks di awal pembelajaran adalah untuk
meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa belajar konsep matematika yang menjadi muara
dari tujuan sebuah konteks diberikan. Syarat pemilihan konteks yang dinyatakan oleh De Lange
(Wijaya, 2012) bahwa, konteks harus menarik perhatian siswa. Oleh karena itu, pemilihan
konteks tidak membawa siswa pada pelibatan emosi misalnya menyinggung hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan pribadinya. Sebagai contoh, ketika memperkenalkan konsep
fungsi di SMP, relasi anak dan ibu kandung merupakan sebuah fungsi. Contoh ini sangat sensitif,
mengingat mungkin diantara siswa ada yang ibunya telah meninggal atau karena alasan lain.

Karakteristik kedua adalah penggunaan model untuk matematisasi progresif. Dalam PMR,
model digunakan sebagai jembatan antara pengetahuan matematika tingkat konkrit dan
pengetahuan matematika tingkat formal. Model yang dimaksudkan bukan merujuk pada alat
peraga. Ada perbedaan pemahaman penggunaan alat peraga yang selama ini dengan penggunaan
alat peraga dalam matematika realistik. Tujuan penggunaan alat peraga dalam matematika
realistik tidak dapat dilepaskan dari proses matematisasi horisontal dan vertikal. Model adalah
alat matematika digunakan sebagai transisi dari level pengetahuan informal menuju matematika
formal. Dengan kata lain, model berfungsi menjembatani kesenjangan antara pengalaman siswa
dengan konsep matematika yang akan dipelajari. Dengan demikian alat peraga dapat digunakan
sebagai model, namun tujuannnya sangat berbeda dengan yang digunakan guru selama ini.
Pembelajaran selama ini dimulai dengan konsep matematika formal selanjutnya diberikan soal
cerita yang berhubungan dengan konsep sehingga alat peraga berfungsi untuk mengkonkritkan
konsep matematika yang abstrak. Tujuan ini sangat berseberangan dengan tujuan penggunaan
peraga dalam pendekatan PMR yaitu mengabstrakkan pengetahuan informal siswa yang terkait
konteks dan bermuara pada pemerolehan konsep matematika formal.

Karakteristik ketiga adalah penggunaan hasil konstruksi siswa. Prinsip ini berhubungan
dengan teori Piaget. Pendekatan PMR memfokuskan pada proses berpikir siswa, bukan pada
hasil. Berdasarkan pengetahuan awal siswa (skema) mereka dibimbing dan didorong untuk
membangun pengetahuan yang baru (asimilasi) melalui interaksi dengan lingkungannya. Skema
individu tentang sesuatu akan berbeda-beda sesuai dengan kedewasaan individu maka kontribusi

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


223
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

masing-masing siswa perlu dihargai. Beragamnya kontribusi siswa diharapkan dapat membantu
siswa dalam menentukan strategi yang cocok bagi dirinya (akomodasi) yaitu membentuk skema
baru atau memodifikasi skema yang telah ada terkait penyelesaian masalah kontekstual.

Karakteristik keempat adalah interaktivitas. Karakteristik ini bersesuaian dengan teori


konstruktivis sosial Vigotsky yang menyatakan bahwa belajar adalah proses interaksi sosial.
Interaksi antara siswa dengan guru merupakan hal yang sangat penting dalam PMR. Dari
interaksi ini diharapkan terjadi “pemagangan kognitif” yang menjembatani “jarak antara
kemampuan siswa menyelesaikan masalah kontekstual secara mandiri (zona perkembangan
aktual) dan kebutuhan akan bantuan orang lain dalam menyelesaikan masalah kontekstual yang
diberikan (zona perkembangan potensial). Bentuk-bentuk interaksi seperti negoisasi, penjelasan,
pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk
pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika informal yang
ditemukan sendiri oleh siswa.

Guru hanya memutuskan aspek pada tugas yang harus disoroti, bagaimana mengorganisir
dan mengatur apa yang akan dilakukan siswa, apa yang ingin ditanyakan untuk menantang siswa
dengan tingkat kemampuan yang bervariasi, dan bagaimana mendukung siswa tanpa mengambil
alih proses berpikir mereka yang dapat menghilangkan tantangan (NCTM, 2000). Dengan cara
ini, guru hanya memberikan dukungan (scaffolding) tahap demi tahap saat siswa belajar untuk
memecahkan masalah.

Karakteristik kelima adalah keterkaitan.Berbagai struktur dan konsep matematika saling


berkaitan, sehingga keterkaitan atau pengintegrasian antar topik atau materi matematika perlu
dieksplorasi guna mendukung prinsip pembelajaran bermakna. Oleh karena itu dalam PMR
pengintegrasian unit-unit pelajaran matematika merupakan hal yang penting. Dengan
pengintegrasian itu akan memudahkan siswa untuk memecahkan masalah dan waktu
pembelajaran menjadi lebih efisien.

PEMBENTUKAN KECAKAPAN ABAD 21 MELALUI PENDEKATAN PMR DI


SEKOLAH DASAR

Pada pembelajaran matematika di Sekolah Dasar, kecakapan hidup tidak perlu


dikemas dalam bentuk pokok bahasan tersendiri, ataupun disisipkan dalam materi tertentu yang
membutuhkan waktu tambahan. Kecakapan hidup sudah terintegrasi dalam pembelajaran
matematika dengan konteks dunia nyata di sekolah dasar (Andri Anugrahana, 2012). Berawal
dari pengembangan konteks dunia nyata, pengetahuan matematika dapat dikembangkan secara
bertahap sampai pada tataran matematika formal. Melalui pendekatan PMR ini, selain

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


224
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

kecakapan akademik (pemahaman konsep matematika) ada beberapa kecakapan lain yang dapat
dikembangkan di sekolah dasar yaitu: kecakapan mengenal diri sendiri, kecakapan berpikir
rasional, dan kecakapan sosial.

Kemampuan mengenal diri sendiri tampak dalam kesadaran diri difokuskan pada
kemampuan siswa untuk melihat sendiri dalam hubungannya dengan lingkungan. Dalam
pembelajaran di kelas siswa akan semakin memahami posisi dirinya di lingkungan kelas dan
sekolahnya. Kecakapan ini dapat dibentuk dengan menyajikan masalah kontekstual pada awal
pembelajaran.

Kecakapan berpikir rasional dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan


PMR meliputi: (1) kecakapan menggali dan menemukan informasi yang relevan dengan
situasi konteks dari masalah kontekstual yang diberikan, (2) kecakapan mengolah informasi
yang diperoleh dari masalah kontekstual dengan membuat model sendiri, dan (3) kecakapan
memecahkan masalah kontekstual menggunakan model secara bertahap sampai matematika
formal.

Kecakapan sosial atau kecakapan antar personal mencakup kecakapan


komunikasi dan kecakapan kerjasama. Dalam proses Interaksi antar siswa dengan guru maupun
antar siswa berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi
digunakan untuk mencapai pemahaman matematika formal berawal dari bentuk-bentuk
pengetahuan matematika informal siswa.

KESIMPULAN

Kecakapan hidup merupakan jembatan untuk mengantarkan siswa siap memasuki


kehidupan nyata di masyarakat. Pengembangan pembelajaran pendidikan kecakapan hidup di
SD difokuskan pada kecakapan personal, kecakapan berpikir rasional dan kecakapan sosial.
Kecakapan-kecakapan ini sangat dibutuhkan siswa untuk dapat bersaing di Abad 21.

Terdapat benang merah antara karakteristik pembelajaran Abad 21 dengan


karakteristik pendekatan PMR. Dengan demikian, untuk membelajarkan matematika yang
menekankan pada kecakapan hidup cukup dilakukan dengan menggunakan pendekatan PMR
secara benar.Jika guru matematika menggunakan pendekatan PMR dalam pembelajarannya maka
guru tersebut telah sejak dini menyiapkan siswa nya untuk dapat mengatasi persoalan bangsa
dan tidak menjadi beban negara di masa depan. Untuk kepentingan implementasi PMR dalam
pembelajaran guru dapat membuat model pembelajaran sendiri sesuai prinsip dan karakteristik
PMR atau mengadaptasi HLT dan Iceberg yang telah ada. HLT atau Iceberg merupakan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


225
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pengalaman guru atau peneliti yang telah melaksanakan pembelajaran matematika dengan
pendekatan PMR.

DAFTAR PUSTAKA

Andri Anugrahana. (2012). Integrasi Kecakapan Hidup Siswa melalui Pengalaman Belajar
Matematika Konteks Dunia Nyata Siswa di Sekolah Dasar. Makalah: Prosiding
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika tanggal 10 November
2012 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY
Ariyadi Wijaya. (2012). Pendidikan Matematika Realistik: Suatu alternatif pendekatan
pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu
Bakker, A. (2004). Design Research in Statistics Education: On Symbolizing and Computer
Tools. Utrecht: Freudenthal Institute, Netherlands.
Budi Manfaat. (2010). Membumikan Matematika: Dari Kampus ke Kampung. Cirebon:
Eduvision Publising.
Depdiknas (2002). Konsep Dasar Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill).
Melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas (Broad Based). Jakarta: Direktorat
Pendidikan Menengah Umum.
Depdiknas. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, Tahun 2006 tentang
Standar Isi.
Depdiknas. (2007). Konsep Pengembangan Model Integrasi Kurikulum Pendidikan
Kecakapan Hidup. Jakarta : Balitbang Puskur
Depdiknas. (2013). Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 67
Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
Fauzi, A. (2013). Penguatan Peran Matematika dan Pendidikan Matematika untuk Indonesia
yang Lebih Baik. Makalah Utama: Prosiding Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika FMIPA UNY. 9 Nopember 2013
Gravemeijer, K. (2004). Local Instruction Theories as Means of Support for Teachers in
Reform Mathematics Education. Mathematical Thinking and Learning, Vol. 6, No.
2, pp. 105-128.
Gravemeijer, K. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Freudenthal Institute,
Utrecht.
Harian Kompas, Kamis 5 Desember 2013
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and Standards for
School Mathematics. Virginia: Reston
Noyes, A. (2007). Rethingking School Mathematics. London: Paul Chapman Publising
OECD (2013). PISA 2012 Result in Focus: What 15-year-olds know and what they can do
with what they know. Paris: OECD, tersedia di www.oecd.org
OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). (2009). Learning
Mathematics for Life: A View Prespektive from PISA. Paris: OECD, tersedia di
www.oecd.org
OECD. (2010). PISA 2009 Result: What Student Know and Can Do. Student Performance in
Reading, Marhematics and Science. Paris: OECD, tersedia di www.oecd.org

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


226
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Rotherham, A. J., & Willingham, D. (2009). 21st Century Skills: the Challenges Ahead.
Educational Leadership. Volume 67 Number 1, 16 – 21
Sebo Bito, G. & Sugiman (2013a). Investigasi Perkembangan Belajar Siswa Kelas IV Sekolah
Dasar di Kabupaten Ngada, NTT dalam Operasi Penjumlahan dan Pengurangan
Pecahan. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
FMIPA UNY, Yogyakarta, 9 November 2013. P-37, MP-293
Sebo Bito, G. & Sugiman (2013b). Eksplorasi Pembelajaran Operasi Pecahan Siswa Sekolah
Dasar Kelas IV di Kabupaten Ngada NTT menurut Teori Gravemeijer. Jurnal Prima
Edukasia, Vol 1-No.2, 2013.pp.173-183
Sebo Bito, G. (2013). Eksplorasi Pembelajaran Operasi Pecahan Siswa Sekolah Dasar Kelas
IV di Kabupaten Ngada NTT menurut Teori Gravemeijer. Tesis UNY : Tidak
diterbitkan
Sembiring, R., et.al. (2010). A decade of PMRI in Indonesia. Utrecht: APS
Simon, M. & Tzur, R. (2004). Explicating the Role of Mathematical Tasks in Conceptual
Learning: An Elaboration of the Hypothetical Learning Trajectory.
Mathematical Thinking and Learning, 6(2), 91-104.
Sugiman & Yahya S. K (2010). Dampak Pendidikan Matematika Realistik terhadap
Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP. IndoMS.
J.M.E Vol.1 No. 1, pp. 41-51
Sutarto Hadi, (2002). Efektive Teacher Professional Development for the Implemention of
Realistics Mathematics Education in Indonesia. Enschede : Printpartner Ipskam
Tatsis, K. (2007). Investigating the Influence of Social and Sociomathematical Norm in
Collaborative Problem Solving. Paper presented at the Fifth Conference of the
Europan Society for Research in Mathematics Education.
Wibowo, A. (2008). Malpraktik Pendidikan. Yogyakarta: Genta Press

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


227
PROSIDING

MP-31
PENINGKATAN AKTIVITAS BELAJAR BAHASA INGGRIS MELALUI MODEL
PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE

Yuliani Sepe Wangge


PGSD Universitas Flores
yulanisw15@gmail.com

ABSTRAK
Tinggi rendahnya aktivitas belajar disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang
menyebabkan rendahnya aktivitas belajar bahasa inggris adalah kurang tepatnya model
pembelajaran yang digunakan, sehingga menyebabkan tidak semua mahasiswa terlibat aktif
dalam pembelajaran. Kurang aktifnya mahasiswa dalam proses pembelajaran berdampak
pada hasil belajar yang rendah. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan aktivitas belajar
adalah dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share dalam
pembelajaran.
Pendekatan penelitian yang dilakukan termasuk penelitian kualitatif dengan desain
penellitian tindakan kelas (PTK). Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester
dua kelas C yang berjumlah 33 orang. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data
dianalisis dengan menggunakan deskriptif kualitatif.
Berdasarkan analisis data dan pembahasan dalam penellitian ini dapat disimpulkan bahwa
aktivitas belajar peserta didik meningkat setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif
tipe Think Pair Share dengan rata-rata 55,15% pada siklus I menjadi 74,28% pada siklus II.

Kata kunci: Aktivitas Belajar, Model Think Pair Share

PENDAHULUAN
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas
hidup manusia. Pendidikan pada umumnya berlangsung dalam bentuk belajar mengajar
yang melibatkan dua pihak yaitu guru dan siswa yang memiliki tujuan yang sama yaitu
meningkatkan hasil belajar. Adapun Motivasi dan aktivitas belajar besar sekali pengaruhnya
terhadap hasil belajar. Motivasi dan aktivitas belajar sebagai salah satu faktor psikologis dalam
proses belajar memiliki makna sebagai dorongan mental yang menimbulkan adanya daya
penggerak dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar kemudian memelihara
kelangsungan belajar dan memberikan arah pada pencapaian tujuan belajar (Sardiman, 2011:
75).
Tinggi rendahnya motivasi dan aktivitas belajar siswa dapat dipengaruhi oleh
bermacam-macam hal. Jika dikelompokkan lagi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu faktor
internal dan eksternal. Seperti yang diungkapkan oleh Dimyati dan Mudjiono (2009: 97-100)

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

mengungkapkan bahwa motivasi dan aktivitas belajar siswa dapat dipengaruhi oleh cita-cita
atau aspirasi siswa, kemampuan siswa, kondisi siswa, lingkungan siswa, unsur-unsur dinamis
dalam belajar dan upaya guru dalam membelajarkan siswa termasuk metode pembelajaran
yang disajikan guru. Guru memiliki berbagai peran dan fungsi dalam proses pembelajaran.
Guru berperan sebagai fasilitator, dinamisator, mediator dan sebagai evaluator. Jadi, guru
perlu menilai kemajuan siswa supaya dapat melakukan perbaikan–perbaikan supaya hasil
belajarnya dapat meningkat (Sanjaya, 2008).
Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa aktivitas belajar mahasiswa semester 2
kelas C tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari kurang aktifnya mereka dalam bertanya dan
menjawab pertayaan yang diberikan. Dan dalam kegiatan diskusi hanya beberapa mahasiswa
yang aktif. Salah satu penyebab rendahnya aktivitas belajar siswa adalah kurangnya variasi
dalam mengajar baik dri pemilihan metode maupun model pembelajaran yang digunakan.
Adapun salah satu pembelajaran aktif yang dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa adalah
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS).
Menurut Sanjaya (2008) teknik Think Pair Share merupakan salah satu teknik yang
dapat diterapkan dalam pembelajaran kooperatif. Teknik ini mengandung tiga unsur penting
yaitu Think (Berpikir), Pair (Berpasangan) dan Share (Berbagi). Tahap pertama berfikir, siswa
diberi kesempatan untuk memikirkan masalah atau isu yang telah di sammpaikan guru.
Tahap kedua yaitu berpasangan, siswa bekerja dalam kelompok untuk memecahkan
masalah, mereka saling membantu satu sama lain. Tahap terakhir yaitu berbagi, siswa
melakukan presentasi hasil kerja kelompok di depan kelas.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah peningkatan
aktivitas belajar bahasa Inggris melalui model pembelajaran kooperatif tipe think Pair Share
? adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan aktivitas belajar
bahasa Inggris melalui model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share.
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan
penelitian tindakan kelas (PTK). Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai pertisipan
penuh. Dimana peneliti merupakan perencana (penelliti membuat RPP/SAP), pelaksana,
pengumpul data, analisis data dan pelapor.(membuat laporan hasil penelitian).
Subyek penelitian ini adalah mahasiswa semester dua kelas C yang berjumlah 33 orang.
Penentuan subyek penellitian ini berdasarkan hasil pengamatan selama proses perkuliahan
dimana menunjukan motivasi dan aktivitas belajar mahasiswa semester dua kelas C lebih
rendah dibandingkan dengan kelas lainnya.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


229
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Instrumen penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi: lembar


observasi keterlaksanaan pembelajaran oleh guru dalam hal ini dosen dan lembar aktivitas
siswa. Untuk lembar observsai aktivitas siswa dapat dijelaskan sebagai berikut: pengamatan
aktivitas belajar mahasiswa dilakukan pada setiap pertemuan dengan mengisi lembar observasi
aktivitas belajar mahasiswa yang telah disiapkan dengan tujuan untuk mengetahui aktivitas
belajar mahasiswa setiap pertemuan. Lembar pengamatan aktivitas belajar mahasiswa secara
ringkas dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Pengamatan Aktivitas Siswa
N Nam Aktivitas
o a Visu Or Ment Emosion Mot Mendeng Menul Rata-ra %
al al al al or ar is ta kriter
ia

Persentase hasil observasi belajar digunakan untuk menentukan kriteria keberhasilan


setiap aspek aktivitas pada setiap pertemuan dan kriteria aktivitas belajar dapat dilihat pada
tabel 2 berikut ini:
Tabel 2 Persentase Aktivitas Belajar Siswa

No Nilai Siswa Kriteria


1 80%≤NR≤100% Sangat Baik
2 60%≤NR≤80% Baik
3 40%≤NR≤60% Cukup Baik
4 20%≤NR≤40% Kurang
5 0%≤NR≤20% Sangat kurang

Adapun analisis data aktivits belajar peserta didik menggunakan rumus :


Keterangan
F P = persentase aktivitas
P= x 100% F = jumlah skor yang diperoleh
A A= jumlah skor maksimal
(Arikunto, 2010: 46)

Prosedur penelitian ini menggunakan model yang dikembangkan oleh Kemmis dan
Mc. Taggart dalam Arikunto dkk (2010:16) dengan tahapan yaitu: (1) perencanaan, (2)
pelaksanaan, (3) pengamatan, (4) refleksi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian tindakan kelas ini dilakukan peneliti sebanyak dua siklus. Pada siklus kedua
perolehan nilai aktivitas siswa telah memenuhi kriteria yang diharapkan, sehingga peneliti tidak

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


230
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

melanjutkan ke siklus berikutnya. hasil pengamatan aktivitas belajar pada siklus 1 dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
Tabel 3. Aktivitas Belajar Siklus I
No Aspek Aktivitas Siklus I Siklus II Rata-rata Kriteria
1 Aktivitas Visual 50 55 52,5 Cukup baik
2 Aktivitas Oral 40 50 45 Cukup baik
3 Aktivitas Mental 45 55 50 Cukup baik
4 Aktivitas 55 60 52,5 Cukup baik
Emotional
5 Aktivitas Motor 60 65 62,2 Baik
6 Aktivitas 55 65 60 Cukup baik
Mendengar
7 Aktivitas 58 60 59 Cukup baik
Menulis
Rata-rata 51,8 58,5 55,15 Cukup baik
Kriteria Cukup Cukup Cakup Cukup baik
Baik Baik Baik

Pada Tabel 3 rata-rata aktivitas belajar terhitung sebesar 55,15%. Persentase tersebut
apabila ditinjau berdasarkan kriteria aktivitas belajar siswa dalam tabel 2 berada dalam kriteria
cukup baik. Sesuai dengan indikator kinerja kriteria cukup baik belum mencapai target yang
diinginkan yaitu baik atau sangat baik
Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas belajar pada siklus I, maka penelitian
dilanjutkan ke siklus II, dimana pada siklus kedua ini, aktivitas belajar peserta didik sudah
mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Aktivitas Belajar Siklus II
No Aspek Aktivitas Siklus I Siklus II Rata-rata Kriteria
1 Aktivitas 70 75 72,5 Baik
Visual
2 Aktivitas Oral 70 75 72,5 Baik
3 Aktivitas 70 80 75 Baik
Mental
4 Aktivitas 75 75 72,5 Baik
Emotional
5 Aktivitas 75 80 77,5 Baik
Motor
6 Aktivitas 70 75 72,5 Baik
Mendengar
7 Aktivitas 75 80 77,5 Baik
Menulis
Rata-rata 71,42 77,14 74,28 Baik
Kriteria Baik Baik Baik

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


231
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Pada Tabel 4, rata-rata aktivitas belajar terhitung sebesar 74,28%. Persentase tersebut
apabila ditinjau berdasarkan kriteria aktivitas belajar siswa dalam tabel 2 berada dalam kriteria
baik. Sesuai dengan indikator kinerja kriteria baik sudah mencapai target yang diinginkan yaitu
baik atau sangat baik.
Berdasarkan data hasil pengamatan terhadap aktivitas belajar siswa menunjukkan
adanya peningkatan pada setiap aspek aktivitas belajar mahasiswa pada pertemuan I
mencapai 55,15%, pertemuan II mencapai 74,28%. Rata-rata aktivitas belajar siswa pada
pertemuan I kriterianya cukup baik, sedangkan pertemuan II kriteria keberhasilan yang dicapai
adalah baik.
Penelitian ini berawal dari permasalahan rendahnya aktivitas belajar yang terjadi pada
mahasiswa di kelas C semester II program studi PGSD Universitas Flores. Setelah diterapkan
model pembelajaran tipe think pair share ditemukan adanya peningkatan aktivitas belajar siswa.
Hal ini dapat dilihat dari persentase aktivitas belajar pada siklus I sebesar 55,15%
meningkat sebesar 74,28% pada siklus II. Adanya peningkatan aktivitas belajar mahasiswa
disebabkan karena pada saat pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada siklus II peneliti sudah
melakukan perbaikan kekurangan berdasarkan hasil refleksi pada siklus I.
Peningkatan aktivitas belajar pada siklus II membuktikan bahwa pelaksanaan tindakan
dengan menggunakan model pembelajaran tipe Think Pair Share pada pembelajaran Bahasa
Inggris di kelas C semester II pada mahasiswa PGSD Universitas Flores dapat meningkatkan
aktivitas belajar.
SIMPULAN DAN SARAN
Penerapan model pembelajaran tipe Think Pair Share juga dapat meningkatkan
aktivitas belajar mahasiswa semester II pada mata kuliah bahasa Inggris. Meningkatnya aktivitas
belajar mahasiswa terbukti berdasarkan hasil yang diperoleh pada siklus I sebesar 55,15%
meningkat menjadi 74,28% pada siklus II.
Bagi guru dan dosen disarankan untuk (1) menggunakan model dan metode
pembelajaran yang bervariasi agar peserta didik tidak bosan dan lebih termotivasi sehingga
dapat meningkatkan aktivitas belajar mereka. Karena dengan meningkatnya aktivitas belajar
maka hasil belajar juga meningkat; (2) memberikan penjelasan lebih detail tentang penerapan
model pembelajaran tipe Think Pair Share dan unsur-unsur yang dinilai agar mahasiswa lebih
paham dan mengerti mengenai penilaian dan penerapan model pembelajaran tipe Think Pair
Share sehingga proses pembelajaran dapat berjalan lebih efektif, dan memperoleh hasil yang
maksimal.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


232
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta
Dimyati & Mujiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rinka Cipta
Rusman. 2012. Model-Nodel Pembelajaran.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sanjaya,Winna. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Grouf
Sardiman AM. (2011). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


233
PROSIDING

MP-32

PROSES BELAJAR MATEMATIKA BERBASIS PERMAINAN DI SEKOLAH DASAR

Dyah Anungrat Herzamzam


STKIP Kusuma Negara Jakarta
Email: dyahhz@gmail.com

Abstrak

Proses belajar matematika pada hakekatnya bukan hanya sekedar menyampaikan materi
pembelajaran pada siswa, akan tetapi menuntut aktivitas guru untuk mampu menggunakan
ketrampilan dasar mengajar secara terpadu dan sesuai proses pembelajaran. Proses pembelajaran
harus melalui perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian yang dilaksanakan oleh guru.
Pembelajaran dapat diterima dengan baik oleh siswa. Hal tersebut dapat diberikan oleh guru yang
memiliki kreatifitas dalam menerapkan metode, pendekatan, strategi, dan lainnya. Dalam
matematika terdapat banyak rumus, hal yang abstrak, keterkaitan pola hubungan, yang harus
dihadapi siswa. Sebagai upaya untuk memberikan proses pembelajaran matematika yang abstrak
melalui permainan. Pelajaran matematika tidak menjadi pelajaran yang menakutkan, terkesan
susah untuk dipelajari dan menjadi momok untuk siswa SD, akan tetapi menjadi pelajaran
matematika yang menyenangkan karena anak-anak bisa belajar matematika dalam permainannya.
Permaian yang dimaksud disesuaikan dengan pokok bahasan yang sedang dipelajari serta
diperhatikan perkembangan kognitif siswa. Siswa SD berada pada tingkat operasional konkret.
Kata Kunci: Permainan, Matematika, Sekolah Dasar

PENDAHULUAN

Belajar matematika merupakan proses dimana matematika ditemukan dan dibangun oleh
manusia. Pada perkembangan pembelajaran matematika saat ini, siswa dituntut aktif dalam
membangun pengetahuanmatematikanya sendiri baik di dalam kelas, maupun diluar kelas. Pada
pembelajaran matematika yang menuntut keaktifan, maka siswa dituntut pula mengungkapkan
pendapatnya atau siswa harus mampu memecahkan dan menemukan cara-cara baru matematika
yang sedang dipelajarinya. Oleh karena itu, dalam belajar matematika merupakan proses
penemuan.

Pembelajaran matematika bertujuan melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara


sistematis, logis, kritis, kreatif, dan konsisten serta mengambangkan sikap gigih dan percaya diri
sesuai dalam menyeleseikan masalah (BSNP, 2006: 148). Hal ini menunjukkan bahwa
matematika adalah pelajaran yang penting dan perlu diberikan pada semua siswa mulai dari
sekolah dasar

Dalam mempelajari matematika diperlukan dorongan atau motivasi dari guru, orang tua,
dan lingkungan siswa. Pada pembelajaran di kelas, motivasi siswa dapat dibentuk dengan
bimbingan guru. Guru memberikan kemudahan belajar bagi siswa. Kemudahan dalam belajar
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

matematika salah satunya dapat mengkaitkan pembelajaran matematika dengan permasalahan


nyata yang sering dijumpai siswa dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mempelajari permasalahan
nyata tersebut, guru selalu memberikan dorongan, dukungan, arahan, dan petunjuk, hal ini karena
siswa mempunyai kemampuan dan kemauan yang berbeda antara satu siswa dengan lainnya.
Oleh karena itu, dorongan dari motivasi guru sangat diperlukan.

Berdasarkan perkembangan kognitif, siswa SD operasi berfikir konkret atau nyata. Guru
harus mempertimbangkan pembelajaran yang sesuai. Kesesuaian tersebut agar siswa mampu
mempelajari matematika dengan mudah. Van de Walle &Lovin (2006: 1) menyebutkan bahwa
“The fundamental core of effectiveteaching of mathematics combines an understanding of how
children learn,how to promote that learning through problem solving, and how to plan forand
asses that learning on a daily basis.”Siswa belajar secara konstruktivis, guru mengajarkan
dengan masalah, merencanakan pembelajaran, dan menilai siswanya.

Pada dasarnya manusia mempunyai sifat ingin tahu. Sifat ini penting dalam proses
perkembangan anak. Karena dengan sifat ingin tahu inilah orang berusaha untuk memperoleh
sesuatu yang belum diketahui. Salah satu cara untuk mengetahuinya yaitu dengan cara belajar.
Melalui belajar siswa atau orang dapat berubah tingkah lakunnya. Belajar dapat dikemas dengan
beberapa cara. Seyogyanya tidak selalu dalam memberikan konsep matematika harus duduk diam
dan mendengarkan. Guru mampu mengajak siswa dalam dunianya (bermain) untuk
melaksanakan proses pembelajaran. Dengan demikian melalui bermain merupakan titik awal
proses belajar matematika. Terdapat beberapa konsep permainan yang dapat dimnfaatkan untuk
belajar dan pembelajaran matematika.

Permainan matematika adalah suatu jenis permainan yang berka-itan dengan matematika.
Obyek atau sesuatu yang digunakan dalam permainan itu tentunya adalah objek atau unsur atau
konsep-konsep yang terkandung dalam kajian matema-tika, misalnya konsep-konsep dalam
aritmatika, geomeri, aljabar, trigo-nometri dan sebagainya. Obyek yang digunakan dapat berupa
bilang-an, titik dan garis, bangun datar ataubangun ruang, besar sudut, rumus-rumus, dan
sejenisnya.Dengan melakukan permainan, peserta didik dapat memperoleh pemahaman terhdap
suatu konsep matematika melalui jenis permainan yang dimainkan, melatih diri supaya terampil
menggunakan operasi-operasi dan aturan-aturan yang berlaku. Selain itu diharapkan pula agar
pemain memiliki rasa senang. Permainan Matematika Sebagai Metode Alternatif dalan
Pembelajaran Matematika pada Siswa Kelas I Sekolah Dasar dan dengan suka rela memainkan
permainan itu. Dengan perkataan lain, permainan matematika diha- rapkan dapat menumbuhkan
rasa senang di dalam diri peserta didik untuk mempelajari matematika.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


235
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Makalah ini dapat digunakan untuk guru dan orang tua, dalam rangka menanamkan
pembelajaran melalui permainan kepada siswa. Diharapkan peserta siswa mampu untuk bermain
dan belajar dengan permaianan matematika.

PEMBAHASAN
a. Pembelajaran matematika kontektual

Menurut pandangan kontrukstivis, Lochhead (Orthon, A 2004: 196), “knowledge is not


an entity which can simply be transferred from those who have to those who don't. Knowledge is
something which each individual learner must construct for and by himself”. Intinya bahwa
pengetahuan bukanlah entitas yang ditransfer dari individu yang mempunyai pengetahuan
kepada individu yang belum memiliki pengetahuan, akan tetapi pengetahuan itu dikonstruksi oleh
subyek yang belajar. Senada dengan pendapat tersebut, Sutarto Hadi (2005: 13) menyatakan,
menurut pandangan kontruktifis pengetahuan merupakan kontruksi dari orang yang yang
mengenal skemata. Hal ini berarti bahwa suatu pengetahuan tidak mudah dapat diberikan dari
guru kepada siswa, karena setiap siswa mempunyai skema tersendiri tentang apa yang
diketahuinya. Oleh karena itu, pandangan konstruktivis menekankan pada pengetahuan itu bukan
merupakan sesuatu yang dapat ditransfer dari guru atau individu yang yang telah mempunyai
pengetahuan kepada yang belum memiliki, melainkan pengetahuan dibangun sendiri oleh subjek
yang belajar. Selain itu, guru seharusnya memberikan arahan pada siswa dalam penggunaan
berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan konsep matematika sendiri dengan cara siswa
sendiri.

Selain itu menurut Paul Suparno (1997: 49), terdapat beberapa prinsip kontruktivisme
yang diambil dalam pembelajaran sain dan matematika, antara lain : 1) pengetahuan dibangun
oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, 2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan
dari guru kesiswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, 3) siswa aktif
mengkontruksi terus menerus sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang
lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, 4) guru sekedar membantu penyediakaan
sarana dan situasi agar proses kontruksi siswa berjalan mulus. Hal ini menunjukkan bahwa
pembelajaran berpusat pada siswa. Guru hanya memberikan dan menyediakan pengalaman
belajar siswa agar tercipta pengetahuan yang berasal dari keaktifan siswa itu sendiri.

Hal ini berarti bahwa dalam mempelajari matematika dituntut keaktifan bagi yang
mempelajari, yang dimaksud disini adalah siswa. Siswa dalam mempelajari matematika harus
dikaitkan dengan hal yang nyata. Hal nyata yang dimaksud yaitu situasi yang dialami siswa
sehari-hari dilingkungannya. Selain itu, peran hal nyata adalah sebagai awal mula pembelajaran
sehingga siswa melakukan matematisasi. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


236
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

yaitu dimulai dari penyelseian yang berkaitan dengan konteks. Aktivitas siswa dari penyeleseian
matematika dapat mendorong interaksi di kelas, oleh karena itu secara tidak langsung membawa
siswa kedalam level berfikir matematik yang lebih tinggi.

b. Proses belajar matematika berbasis permainan

Proses pembelajaran yang berbasis permainan dapat diangkat menjadi permasalahan


awal pembelajaran. Melalui pemberian permasalahan kepada siswa, hal ini mampu mendorong
motivasi siswa untuk belajar. Dalam pemilihan permainan, seyogyanya disesuaikan dengan
pokok bahasan matematika yang disampaikan oleh guru. Melalui pemilihan permainan yang
tepat, mampu menciptakan sinergi antara materi dengan keaktifan siswa dalam menempuh proses
belajar matematika. Keaktifan tersebut mampu menumbuhkan kerjasama antara siswa dengan
siswa serta guru.

Menurut Ariyadi Wijaya (2008), bahwa permainan dapat menjadi alat yang efektif untuk
meningkatkan pembelajaran dan pemahaman terhadap suatu topik pembelajaran. Sesuai dengan
pendapat tersebut maka sebagai guru mampu untuk memilih permainan yang sesuai dengan
topiknya. Dapat diambil contoh permaian tradisional engklek untuk menunjukkan luas dari
bangun datar khususnya persegi, persegi panjang dan trapesium. Dalam mengaitkan permainan
dengan materi matematika dibutuhkan kerjsama tim atau tidak bisa dilaksanakan sendiri.
Penerapan permaian dilaksanakan melalui ceramah dan diskusi untuk pengembangan nilai dari
permainan.

Sintaks pembelajaran berbasis permainan dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Guru membagi siswa menjadi dalam kelompok. Pemilihan kelompok secara


heterogen dan tidak memandang suku, ras, dan agama. Pembagian kelompok
berdasarkan kemampuan kognitif, jenis kelamin dan latar belakang sosial yang
dimiliki masing-masing siswa.
2) Prosedur permainan dijelaskan oleh guru.
3) Siswa belajar menemukan nilai-nilai pembelajaran matematika yang sedang
dipelajari melalui permainan dalam kelompok.
4) Guru sebagai fasilitator dan bukan menjadi aktor utama, melainkan guru
memberikan arahan kepada siswa untuk saling berinteraksi sesama kelompok dan
guru untuk mewujudkan tercapainya tujuan pembelajaran matematika.
5) Guru memberikan bimbingan kepada siswa, dengan tujuan agar siswa mampu
menuangkan ide dan gagasannya melalaui permainan yang telah dilaksanakan.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


237
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

6) Guru memberikan kesempatan kepada seluruh siswa menyampaikan idenya, ada


siswa yang menanggapi dan menyanggah apabila tidak sesuai dengan gagasannya.
7) Guru memberikan kesimpulan tentang nilai-nilai matematika yang telah
didapatkan dari permainan.
c. Permainan dalam proses belajar matematika
1) Permainan engklek

Permainan engklek digunakan untuk menunjukkan luas dareah bangun datar.


Menurut Agustina dan Rosa (2016) Permainan engklek ini bisa dilakukan di atas tanah,
halaman, dan di pelataran ubin atau aspal. Bidang engklek biasanya berupa kotak-kotak
atau persegi atau trapeium. Untuk menggambar bidangnya dibutuhkan kapur tulis dan
meteran untuk mengukur panjang dan lebar setiap sisi bidangnya. Adapun gambar
bidang engklek tersebut tersaji pada halaman berikutnya.

Gambar 1. Bidang engklek

Langkah bermaian engklek

a) Menggambar bidang engklek terlebih dahulu.

b) Kemudian pemain harus melakukan hompimpah

c) Untuk dapat bermain, setiap anak harus mempunyai kereweng/ buah / yang biasanya
berupa pecahan genting.

d) Para pemain harus melompat dengan menggunakan satu kaki di setiap kotak-kotak /
petak-petak yang telah digambarkan sebelumnya di tanah. sebelum melompat, siswa
mengambil soal yang telah disediakan. Jika siswa dapat menjawab pertanyaan
tersebut, maka siswa dapat melompat dan melanjutkan permainan.

e) Kereweng/gacuk dilempar ke salah satu petak yang tergambar di tanah, petak


dengan gacuk yang sudah berada diatasnya tidak boleh diinjak/ditempati oleh setiap
pemain, jadi para pemain harus melompat ke petak berikutnya dengan satu kaki
mengelilingi petak-petak yang ada.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


238
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

f) Pemain tidak diperbolehkan untuk melemparkan kereweng/gacuk hingga melebihi


kotak atau petak yang telah disediakan. Jika ada pemain yang melakukan kesalahan
tersebut maka pemain tersebut akan dinyatakan gugur dan diganti dengan pemain
selanjutnya.

g) Pemain yang menyelesaikan satu putaran sampai di puncak gunung, mengambil


kereweng /gajuk dengan membelakangi gunung dan menutup mata, tidak boleh
menyentuh garis juga. Apabila pemain tersebut menyentuh garis/ terjatuh saat
mengambil kerewengnya maka dia mati dan digantikan pemain selanjutnya.

h) Selanjutnya apabila berhasil pemain lanjut ke tahap mencari sawah dengan cara,
menjagling kereweng/gajuk dengan telapak tangan bolak-balik sebanyak 5 kali
tanpa terjatuh. Hal ini dilakukan dalam posisi berjongkok membelakangi bidang
engklek dan berada di tempat jatuhnya kereweng yang tadi di lempar. Setelah
berhasil menjagling sebanyak 5 kali pemain masih dalam posisi yang sama
melemparkan ke bidang engklek, apabila tepat pada salah satu bidang engklek maka
bidang tersebut menjadi sawah pemain. Dan apabila gagal pemain mengulangi
kembali dari gunung.

i) Pemain yang memiliki sawah paling banyak adalah pemenangnya.

2) Dakon

Permainan dakon dimainkan oleh dua orang. Alat yang digunakan terbuat dari
kayu atau plastik. Pada kedua ujungnya terdapat lubang yang disebut induk. Menurut
Zuli Nuraeni (2013), Cara bermainnya adalah dengan mengambil biji-bijian yang ada
di lubang bagian sisi milik kita kemudian mengisi biji-bijian tersebut satu persatu ke
lubang yang dilalui termasuk lubang induk milik kita (lubang induk sebelah kiri)
kecuali lubang induk milik lawan, jika biji terakhir jatuh di lubang yang terdapat
biji-bijian lain maka bijian tersebut diambil lagi untuk diteruskan mengisi
lubang-lubang selanjutnya. Begitu seterusnya sampai biji terakhir jatuh kelubang yang
kosong. Jika biji terakhir tadi jatuh pada lubang yang kosong maka giliran pemain
lawan yang melakukan permainan. Permainan ini berakhir jika biji-bijian yang terdapat
di lubang yang kecil telah habis dikumpulkan. Pemenangnya adalah yang paling banyak
mengumpulkan biji-bijian ke lubang induk miliknya. Permainan ini merupakan sarana
untuk mengatur strategi dan kecermatan. Prinsip “membagi biji secara adil untuk setiap
lubang kecil” dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran konsep pembagian, yaitu dengan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


239
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

sedikit mengubah peraturan tentang banyaknya biji yang dipakai. Konsep matematika
dalam dakon adalah berhitung dan penjumlahan.

3) Monopoli

Monopoli ada 2 jenis yaitu monopoli Indonesia dan monopoli dunia. Permainan
monopoli menggunakan papan kotak yang di sekelilingnya ada kotak-kotak yang
bertuliskan kota-kota di Indonesia / di dunia. Zuli Nuraeni (2013), Pemain dapat
mendirikan rumah atau hotel dengan di sebuah kota, sehingga jika ada pemain yang
berhenti di kotak yang sudah didirikan rumah/hotel ia akan membayar sewa. Selain itu
juga ada kotak yang bertuliskan kesempatan dan dana wajib Pemain berkesempatan
mendapatkan hadiah dan juga wajib membayar denda, atau bunga bank. Konsep
matematika dalam permainan ini adalah konsep uang, penjumlahan dan pengurangan.

PENUTUP
Kesimpulan
1) Proses Belajar Matematika Berbasis Permainan dapat diterapkan di Sekolah Dasar.
2) Permainan dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan pembelajaran dan
pemahaman terhadap suatu topik pembelajaran.
3) Pembelajaran matematika bertujuan melatih dan menumbuhkan cara berpikir secara
sistematis, logis, kritis, kreatif, dan konsisten serta mengambangkan sikap gigih dan
percaya diri sesuai dalam menyeleseikan masalah
Saran
Melalui pembelajaran berbasis permainan seperti dakon, engklek, monopoli dapat
mempermudah guru memberikan proses pembelajaran matematika. Siswa akan senang belajar
dikarenakan siswa belajar dan bermaian dalam menyelesaikan masalah yang diberikan pada
awal pembelajaran. Pada kegiatan berkelompok, siswa bekerja sama dan berinteraksi secara
sosial. Siswa berusaha terampil, tekun dan bergembira dalam mengerjakan tugas di
kelompoknya. Dengan demikian melalui permaian siswa mampu untuk memperoleh
pengetahuannya sendiri dan menggali ilmu matematika serta guru sebagai kolaborator mampu
menjadi fasilitator dalam pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina Dhevin Merinda Damayanti dan Rosa Dina Putranti. 2016. Pembelajaran Matematika
Dalam Permainan Tradisional Engklek Untuk Siswa Sd Kelas V. Yogyakarta: Prosiding

BSNP. (2006). Standar untuk satuan pendidikan dasar dan menengah: standar kompetensi dan
kompetensi dasar SD/MI. Jakarta: BSNP

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


240
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Orthon, A. (2004). Learning Mathematics Issues, theory and classroom practice (3rd ed.).
London: Continum

Paul Suparno 1997. Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta : Kanisius

Sutarto Hadi. (2002). Effective teacher profesional development for implementation of realistik
mathematics education in indonesia. Disertasi doktor, University of Twente, Netherlands

Wijaya, Ariyadi. 2008. Manfaat Permainan Tradisional untuk PMRI. Yogyakarta: makalah
seminar PMRI di Universitas Sanata Dharma tanggal 28 April 2009

Zuli Nuraeni. 2013. Permainan Anak Untuk Matematika. Yogyakarta: Prosiding

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


241
PROSIDING

MP-33
KERJASAMA GURU DAN ORANG TUA DALAM MENGATASI KESULITAN
BELAJAR IPS PADA PESERTA DIDIK KELAS IV DI SDI MAGEPANDA
KECAMATAN MAGEPANDA KABUPATEN SIKKA
Berty Sadipun

Prodi PGSD Universitas Flores


e-mail: Berty.sadipun@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk kesulitan belajar IPS yang dialami
oleh peserta didik kelas IV di SDI Magepanda, usaha guru dalam mengatasi kesulitan tersebut,
usaha orang tua dalam mengatasi kesulitan tersebut dan bentuk-bentuk kerjasama yang dilakukan
oleh guru dan orang tua dalam mengatasi kesulitan belajar IPS pada peserta didik kelas IV di SDI
Magepanda, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksploratif deskriptif.
Subyek dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas IV di SDI Magepanda, Kecamatan
Magepanda, Kabupaten Sikka. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan metode observasi, kuisioner atau angket, wawancara dan dokumentasi.Hasil
penelitian menunjukan bahwa ada kerjasama guru dan orang tua dalam mengatasi kesulitan
belajar IPS yang dialami oleh peserta didik kelas IV di SDI Magepanda.
Kata kunci: kerjasama guru dan orang tua,Kesulitan Belajar IPS

PENDAHULUAN
Setiap peserta didik pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai
kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan. Untuk mencapai kinerja
akademik, salah satunya dipengaruhi factor belajar. Subini dkk, (2012:85) menyatakan bahwa
banyak hal yang dapat mempengaruhi proses belajar seorang peserta didik, baik dari dalam
(internal), luar (eksternal), maupun faktor kecenderungan belajar. Sedangkan menurut Syah
(2013 : 169), kemampuan belajar tiap peserta didik memiliki perbedaan dalam hal kemampuan
intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang
terkadang sangat mencolok antara seorang peserta didik dengan peserta didik lainnya
Keluarga merupakan pengelompokan primer yang terdiri dari sejumlah kecil orang
karena hubungan sedarah. Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi
peserta didik karena dilingkungan itulah awal anak menerima pendidikan yang menjadi dasar
bagi pemebentukan kepribadiannya.. Oleh karena itulah maka landasan pendidikan yang
ditanamkan oleh para orang tua bagi anaknya dalam lingkungan pembelajaran awal menjadi
sangat penting karena inilah dasar yang akan terus dibawa sang anak ketika ia memasuki
lingkungan pembelajaran yang selanjutnya yakni sekolah (Margaretha, 2012 : 51).
Terlepas dari segala perannya dalam masyarakat para orang tua seharusnya sadar akan
tanggung jawabnya sebagai pendidik pertama dan utama bagi hidup peserta didik. Karena
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pendidikan yang diberikan oleh orang tua bersifat kekal tanpa batas waktu. Keluarga khususnya
orang tua adalah sesungguhnya komponen utama dalam proses pembelajaran seorang anak
dalam hidupnya. Pola asuh orang tua terhadap anak di dalam lingkungan keluarga dan
peningkatan pencapaian prestasi belajar peserta didik di sekolah tentunya akan berdampak pada
peningkatan mutu pendidikan secara nasional. Kerjasama guru dan orang tualah yang diperlukan
disini guna mencapai standar pendidikan nasional yang jauh lebih baik. Mutu pendidikan yang
lebih baik bukan hanya menjadi tanggung jawab guru semata di sekolah namun juga menjadi
tanggung jawab orang tua sebagi pendidik pertama dan utama di rumah sebagai peletak dasar
pendidikan bagi anak.
Dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas bukan sekedar menyampaikan sejumlah
teori dan ilmu pengetahuan serta baca, tulis, hitung semata atau bukan sekedar urusan nilai,
angka-angka, dan ijazah juga bukan sekedar urusan pengajaran tentang halal-haram, syrat rukun
dan baik buruknya sesuatu. Dalam hal ini guru merupakan sosok yang berpengaruh besar dalam
membentuk dan mempersiapkan masa depan peserta didik. Menurut Djamarah (2010:43)
banyak peranan yang diperlukan dari guru sebagai pendidik antara lain, sebagai korektor.
Sebagai korektor, guru mempunyai andil besar dalam menciptakan perilaku positif dan
negatif bagi peserta didik. Untuk itu guru harus menciptakan suasana lingkungan yang nyaman
dan menyenagkan bagi para pembelajar. Lingkungan yang nyaman dan menyenangkan akan
dapat mendorong tumbuhnya semangat, motivasi, dan kemampuan daya serap peserta didik.
Terlebih apabila guru mampu menciptakan suasana belajar yang mendorong semua peserta didik
merasa dirinya penting dan berharga.
Menciptakan suasana belajar yang demikian tidaklah mudah., karena guru pasti akan
berhadapan dengan beragamnya sikap, kemampuan, gaya belajar, keinginan, kebutuhan dan
kepentingan masing-masingpeserta didik. Karena diantara peserta didik itu ada yang berperilaku
positif, ada yang masa bodoh, ada yang pemalu, ada yang menentang, dan ada pula yang tidak
bersahabat. Beragamnya sikap, pemikiran, dan perilaku peserta didik tentu membutuhkan
layanan yang beragam pula. Apabila guru tidak sabar dan tidak memiliki kemampun ekstra tentu
akan mengakibatkan konflik yang dapat mengganggu suasana belajar. Apabila hal itu dibiarkan,
bukan saja akan mengakibatkan kecemasan dan sikap tidak bersahabat dikalangan peserta didik.
Seperti yang terjadi pada saat sekarang justru pihak guru dan sekolah sering dijadikan
tempat limpahan kekesalan dan ketidak puasan orang tua peserta didik apabila peseerta didk
tidak memperoleh hasil yang diharapkan oleh orang tuanya. Para orang tua sering lupa bahwa
tanggung jawab pendidikan tidak hanya berada di pundak para guru saja, namun juga para orang
tua yang memainkan peran penting dalam memotivasi anaknya agar mau belajar dan
mengembangkan bakat dan kreativitasnya.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


243
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Mengingat pentingnya kerjasama antara guru dan orang tua dalam kemajuan pendidikan
peserta didik maka penulis merasa terdorong untuk meneliti tentang hubungan guru dan orang
tua di dalam proses belajar peseta didik baik di rumah, di sekolah maupun dalam lingkungan
masyarakat. Penulis hanya membatasi ruang lingkup penelitian ini dalam hubungan orang tua
dan anak, guru dengan orang tua, serta guru dengan peserta didik secara khusus bagi para peserta
didik kelas IV SDI Magepanda, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka. Sehingga penulis
memutuskan untuk mengambil judul “Kerjasama Guru Dan Orang Tua Dalam Mengatasi
Kesulitan Belajar IPS, Pada Peserta Didik Kelas IV SDI Magepanda, Kecamatan Magepanda,
Kabupaten Sikka.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksploratif deskriptif, yaitu jenis penelitian yang
berusaha mendapatkan pengetahuan yang didasarkan pada data-data empiris. Secara umum
penelitian jenis ini beroperasi sesuai dengan prosedur sebagai berikut: penentuan masalah
penelitian, pengumpulan data, pengelompokkan data, penyusunan konsep dan analisis. Subyek
penelitian terdiri dari key informan dan informan. Yang menjadi key informan adalah guru dan
orang tua sedangkan yang menjadi informan adalah para peserta didik kelas IV di SDI
Magepanda.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode pengamatan
atau observasi, Hal-hal yang di observasi yakni cara guru menyampaikn materi pelajaran IPS
kepada peserta didik dalam proses pembelajaran yang meliputi Perangkat pembelajaran,
Penampilan mengajar, Penguasaan materi, Cara guru dalam mengatasi kesulitan belajar peserta
didik, serta Sikap guru dalam menghadapi peserta didik dengan karakteristik yang berbeda.
Sedangkan untuk siswa digunakan metode angket yang berisi pertanyaan dengan indikator
Prestasi belajar yang rendah, Lambat dalam mengerjakan tugas-tugas belajar, Anak didik
menunjukkan sikap yang kurang wajar dan tingkah laku yang tidak seperti biasanya,
Keikutsertaan/keterlibatan dalam belajar, Cara mengatasi kesulitan belajar IPA. Teknik lainnya
adalah dokumentasi untuk mengambil data tentang sekolah.
Data-data yang sudah terkumpul dalam penelitian ini kemudian dianalisis berdasarkan
model analisis interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman. Ada empat komponen
yang dilakukan dengan model ini, yaitu pengumpulan data, reduksi data, display data, dan
penarikan kesimpulan/verifikasi

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Sekolah Dasar Inpres Magepanda terletak di dusun Rategulu, desa Magepanda, Kecamatan
Magepanda, Kabupaten Sikka. Sekolah ini didirikan pada tanggal 15 November 1974 diatas luas

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


244
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

tanah 13.000 m² dengan nomor statistik 101240802004. Guru atau tenaga pendidik di SDI
Magepanda berjumlah 19 orang dan 3 orang pegawai. Visi Sekolah adalah terciptanya suasana
belajar yang menyenangkan, berprestasi berdasarkan iman dan ketaqwaan dengan
memperhatikan kesetaraan gender.
Peran guru untuk mengatasi kesulitan belajar pada mata pelajaran IPS di kelas IV SDI
Magepanda juga nampak pada secara jelas pada 23 item pernyataan isian angket. Dari 23
pernyataan ada 22 usaha ternyata dilakukan oleh guru untuk pemecahan kesulitan belajar IPS
pada peserta didik kelas IV SDI Magepanda. Sedangkan 1 item yang dinyatakan tidak oleh guru
adalah pemberian penghargaan terhadap peserta didik yang berprestasi di atas rata-rata.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengisian angket yang dilakukan maka sebenarnya ada
usaha yang sangat potensial untuk mengatasi kesulitan belajar IPS pada peserta didik kelas IV di
SDI Magepanda. Orang tua dalam pengisian angket dan wawancara mengakui bahwa anak-anak
mereka memang mengalami kesulitan belajar IPS. Namun sebagai orang tua mereka menunjukan
kepedulian untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut. Usaha dari orang tua tersebut antara lain
dapat dijabarkan sebagai berikut;
1). Menemani anak setiap kali anak belajar di rumah.
Pada lembar angket terbukti 15 orang tua yang dijadikan sampel dan dalam wawancara
melakukan aktivitas menemani anak belajar dan bertanya mengenai kesulitan-kesulitan yang
dialami dan sebisa mungkin membantu menjelaskan pada anak-anak mereka.
2). Selalu memerhatikan kebutuhan belajar anak.
Dari angket dan hasil wawancara 15 responden melakukan hal ini dengan sungguh-sungguh.
3). Memilih dan memerhatikan waktu belajar anak.
Dari angket dan hasil wawancara 15 responden melakukan aktivitas ini.
4). Menyiapkan buku paket yang juga dipakai oleh guru di sekolah untuk anak-anak.
Dari 15 responden ternyata ada 13 responden yang melakukan ini. Dengan demikian
menyiapkan buku paket merupakan usaha orang tua dalam mengatasi kesulitan belajar pada
peserta didik.
5). Memberikan support/dukungan terhadap anak melalui
nasihat tentang pentingnya belajar. 15 responden melakukan ini dengan penuh tanggung
jawab.
6). Memberikan penghargaan dalam bentuk barang dan apresiasi terhadap anak.
15 responden mengaku melakukan ini. Meskipun tidak seberapa tetap mereka meyakini
bahwa hal ini merupakan bagian dari usaha mengatasi kesulitan belajar dan mendorong anak
mereka untuk tekun belajar tidak hanya pelajaran IPS tapi semua mata pelajaran.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


245
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Berdasarkan hasil wawancara dan angket yang diberikan maka nampak sekali ada bentuk
kerja sama antara guru dan orang tua terhadap proses belajar IPS. Bentuk kerjasama tersebut
antara lain sebagai berikut;
1. Guru melakukan kunjungan ke rumahpeserta didik dan
orang tua menyambut guru dengan atensi yang besar untuk membicarakan masalah kesulitan
belajar peserta didik. Orang tua merespon kunjungan guru dan dengan ketabahan dan
tanggung jawab penuh menyatakan kesediaan untuk bersama guru membimbing anak-anak
mereka.
2. Guru dan orang tua berusaha mengenali masalah yang dihadapi peserta didik.
Hal ini disigapi secara serius untuk menunjukan bahwa guru dan orang tua punya komitmen
untuk mencerdaskan peserta didik.
3. Adanya komite sekolah yang sungguh-sungguh peduli pada perkembangan peserta didik pada
setiap mata pelajaran.
Pertemuan bersama komite, guru dan orang tua untuk membicarakan kesulitan belajar
peserta didik dan berjuang dengan hati untuk membimbing peserta didik merupakan bentuk
usaha nyata untuk mengatasi persolan kesulitan belajar pada peserta didik.
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dari Penelitian ini adalah:
1. Bentuk-bentuk kesulitan belajar IPS yang dihadapi oleh peserta didik di SDI Magepanda,
Kecamatan Magepanda adalah kurang nyaman dalam mengikuti pelajaran IPS, kurang
minat, kurangnya perhatian, merasa bosan, dan kurang minat terhadap mata pelajaran IPS.
2. Usaha guru dalam mengatasi kesulitan belajar IPS pada peserta didik kelas IV SDI
Magepanda adalah dengan melakukan diagnosis kesulitan belajar apa yang dialami oleh
peserta didik, pemecahan kesulitan belajar dengan melakukan bimbingan belajar atau privat
dan menyusun program perbaikan atau remedial.
3. Usaha orang tua dalam mengatasi kesulitan belajar anak adalah menemani anak setiap kali
anak belajar di rumah, Selalu memerhatikan kebutuhan belajar anak, memilih dan
memerhatikan waktu belajar anak, menyiapkan buku paket yang juga dipakai oleh guru di
DAFTAR PUSTAKA
Djmarah, Bahri. 2010. Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Margaretha, Dhiu. 2012. Pengantar Pendidikan. Ende: Nusa Indah
Subini, Nini dkk, 2012. Psikologi Pembelajaran. Yogyakarta: Mentari Pustaka.
Syah, Muhibbin. 2013. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


246
PROSIDING

MP-34
PENDIDIKAN BERBASISPADAKEARIFAN LOKAL
(Sebuah Tinjauan Kritis dari Pergelaran Budaya Program Studi PGSD Universitas Flores
Ende 27-28 Juni 2016)

Gregorius We’u
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD),

Abstrak

Kehidupan generasi muda sekarang sangat dipengaruhi oleh kehidupan barat atau
westernisasi.Pola hidup yang demikian, berdampak pada perubahan mental generasi muda
dimana menujukkan sikap bertentangan dengan budaya setempat. Persoalan ini tidak boleh
dibiarkan karena tongkat kepemimpinan akan dilimpahkan kepada generasi muda. Oleh karena
itu, butuh persiapan yang matang untuk menghasilkan generasi yang siap berkarya.Tujuan
penelitian yakni mengenalkan budaya kepadagenerasi muda.Metode yang digunakanadalah
observasi terhadap kegiatan-kegiatan selama pergelaran, dan didukung dengan studi kepustakaan
yang relevan. Hasilnya, adalah generasi muda masih menunjukkan kecintaan terhadap budaya
yang dimiliki dan mampu mengambil nilai dari setiap unsur kebudayaan yang ada. Partisipasi dan
keterlibatan yang aktif dalam keseluruhan kegiatan pergelaran menjelaskan bahwa generasi muda
peduli dan mampu menunjukkan perannya.

Kata Kunci: Pendidikan, Kearifan Lokal, Konsep, Sistem dan Orientasi Nilai

PENDAHULUAN
Konteks Penelitian
Persoalan karakter generasi muda saat ini harus menjadi persoalan bangsa dan mesti
mencari cara untuk menanggulanginya. Dasar pertimbangannya adalah generasi muda menjadi
generasi lanjutan untuk melanjutkan kepemimpinan. Presiden Jokowi dalam membuat gebyaran
baru dalam masa jabatannya dengan mengumandangkan revolusi mental dalam seluruh aspek
kehidupan bangsa. Dunia pendidikan sebagai salah satu lokus pembinaan mental juga menjadi
salah satu sorotan, di mana perilaku kaum muda (pada semua jenjang pendidikan) sangat
bertentangan dengan pandangan hidup bangsa yakni Pancasila.
Karakter seseorang berkembang berdasarkan potensi yang dibawa sejak lahir atau yang
dikenal sebagai karakter dasar yang bersifat biologis. Menurut Ki Hajar Dewantara, aktualisasi
karakter dalam bentuk perilaku sebagai hasil perpaduan antara karakter biologis dan hasil
hubungan atau interaksi dengan lingkungannya. Karakter dapat dibentuk melalui pendidikan,
karena pendidikan merupakan alat yang efektif untuk menyadarkan individu dalam jati diri
kemanusiaannya. Dengan pendidikan akan dihasilkan kualitas manusia yang memiliki kehalusan
budi dan jiwa, memiliki kecemerlangan berpikir, kecekatan raga, dan memiliki kesadaran
penciptaan dirinya (Jehadung, 2013: 2).
Gagasan karakter di atas lalu diarbitrasikan dengan gagasan revolusi mental ini, sehingga perlu
diinterpretasi dan diterjemahkan sesuai dengan keadaan riil suatu tempat. Budaya menjadi salah
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

satu wadah yang memberikan kontribusi untuk dapat menciptakan revolusi mental. Artinya,
perubahan karakter yang baik bisa ditemukan dalam budaya dengan mengais dan memaknai
budaya dalam perspektif yang konstruktif.
Salah satu desentralisasi pendidikan adalah desentralisasi kurikulum. Departemen Pendidikan
Nasional hanya menentukan standar-standar minimal yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan
di tingkat daerah. Standar minimal itu berupa standar kompetensi lulusan, standar isi, standar
evaluasi, dan standar sarana dan prasarana. Pengembangan lebih jauh terhadap standar-standar
tersebut diserahkan kepada daerah masing-masing. Dengan adanya desentralisasi kebijakan itu,
maka daerah dapat mengembangkan potensi wilayahnya sesuai dengan situasi dan kondisi
setempat. Salah satu kebijakan yang dapat dikembangkan adalah membuat kurikulum sekolah
yang berbasis keunggulan lokal atau kearifan lokal (Sono, 2014).
Fokus Penelitian
Berdasarkan kenyataan dan rasional di atas, maka penelitian ini difokuskan pada
beberapa hal berikut ini:
1. Apa tujuan yang hendak dicapai dari pendidikan yang berbasis pada kearifan lokal
2. Bagaimanakah respon generasi muda (mahasiswa) terhadap kegiatan pergelaran budaya?

Landasan Teori
Kearifan lokal, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan
lokal (local) atau setempat.Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Arief,
2016). Menurut Gobyah dalam (Arief, 2016) nilai terpentingnya adalah kebenaran yang telah
mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.Secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal
merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan
perilaku yang melembaga secara tradisional.
Dari dua pandangan tentang kearifan lokal atau yang dalam bahasa yang lainnya adalah
“budaya akar Rumput” di atas maka dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal merupakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang terdapat dalam suatu kelompok masyarakat yang telah ada dan
hidup sehingga dapat diyakini sebagai sesuatu yang benar dan memiliki nilai guna bagi
kehidupan. Dengan kata lain, kearifan lokal merupakan pandangan-pandangan filosofis tentang
kehidupan yang mendiami suatu wilayah tertentu. Oleh karena itu, pendidikan yang tepat sasar
adalah pendiddikan berbasis pada kearifan lokal. Pendidikan yang berbasis kearifan lokal atau
local wisdom merupakan pendidikan yang mengembangkan kurikulum pendidikan yang
bersumber pada nilai-nilai kearifan lokal.Hal ini dilakukan karena pendidikan pada saat ini lebih

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


248
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

mengutamakan dimensi intelektual belaka dan mengesampingkan nilai-nilai yang berkaitan


dengan peradaban manusia.Inilah ketimpangan yang dialami di dalam dunia pendidikan.
Pendidikan yang berkualitas mesti dimengerti dalam kesatuan dari berbagai ranah atau
domain, yang mesti dilakukan dan dirasakan oleh peserta didik dalam keseluruhan proses
pendidikan.Oleh karena itu, implementasi pendidikan harus bersandar pada nilai-nilai keriarifan
lokal.Tujuan dari pengarbitrasian itu ialah agar pendidikan memiliki dasar yang kokoh karena
nilai-nilai kearifan lokal dapat menjadi dasar pengembangan karakter dalam mencapai tujuan
kurikulum melalui kehidupan anak didik.
Menurut Antariksa (2009) dalam Ariefksmwrdn's Blogs , kearifan lokal merupakan
unsur bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian
yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan) dalam
geografi kenusantaraan sebuah bangsa.Dari penjelasan beliau dapat dilihat bahwa kearifan lokal
merupakan langkah penerapan dari tradisi yang diterjemahkan dalam artefak fisik.
Hal terpenting dari kearifan lokal adalah proses sebelum implementasi tradisi pada
artefak fisik, yaitu nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang bagaimana
‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali sebagai tradisi yang diterima secara
universal oleh masyarakat, khususnya dalam berarsitektur. Nilai tradisi untuk menselaraskan
kehidupan manusia dengan cara menghargai, memelihara dan melestarikan alam lingkungan. Hal
ini dapat dilihat bahwa semakin adanya penyempurnaan arti dan saling mendukung, yang intinya
adalah memahami bakat dan potensi alam tempatnya hidup; dan diwujudkannya sebagai tradisi.
Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan
kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan,
nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.S. Swarsi Geriya dalam
“Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun,secara konseptual, kearifan lokal dan
keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai,
etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional (Sono, 2014).

METODE
Metode yang digunakan dalam meramu dan menyelesaikan tulisan ini, yakni metode
penelitian kualitatif deskriptif dan dan didukung dengan studi kepustakaan.
Desain Penelitian

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


249
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Desain penelitiannya dengan menggunakan teknik analisis model interaktif yang


dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992: 20) dalam Jehadung (2013). Teknik analisisnya
terdiri dari pengumpulan data, penyajian data, reduksi data, dan penarikan kesimpulan.
Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data-data yang berkaitan dengan judul yang
dan dibahas, secara khusus pada fokus penelitian.
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu manusia
(khususnya mahasiswa yang terlibat dalam merencakan, mempersiapkan dan melaksanakan
kegiatan pergelaran) dan hasil kreasi mahasiswa dalam tarian dari berbagai daerah di pulau
Flores, makanan lokal dalam berbagai jenis dan bentuk menu, pembuatan rumah adat, lomba
paduan suara, dan fashion show dengan menggunakan hasil kreasi tekstil berbagai daerah Flores.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kegiatan pergelaran budaya merupakan kegiatan mengapresiasi budaya, yang di
dalamnya termaktub juga mempelajari, menginterpretasi, dan memaknai budaya daerah atau
budaya lokal setempat. Budaya lokal menjadi sumber kearifan lokal dan menjadi tatanan nilai
dalam masyarakat. Sumber kearifan lokal salah satunya adalah budaya. Budaya merupakan
representasi dari cipta, rasa, dan karsa. Dari aspek cipta, manusia berbudaya memiliki akal budi
untuk menghasilkan sesuatu bagi kemajuan dunia. Perkembangan dan kemuajuan zaman dari
primitif menuju modernisasi menjelaskan bahwa manusia sungguh bekerja keras dari sisi
mentalnya untuk menghasilkan sebuah perubahan. Dari aspek rasa, menjelaskan bahwa manusia
sebagai makluk berbudaya harus mampu mentaati nilai-nilai yang ada dan berlaku dalam
masyarakat demi menciptakan sebuah kenyamanan dan kedamaian bersama. Sedangkan dari
aspek karsa, menjelaskan bahwa manusia sebagai makluk berbudaya menjelaskan bahwa
manusia mampu menghasilkan penemuan-penemuan baru dan teknologi canggih bagi
perkembangan dunia ini.
Tujuan Pendidikan Yang Berbasis Pada Kearifan Lokal
Pendidikan yang berbasis pada budaya “akar rumput”, memang harus digalakan dan
diperjuangkan untuk masuk sampai ke dalam ranah pendidikan formal.Hal ini dilakukan selain
karena alasan tersebut di atas tetapi juga untuk mengangkat budaya “akar rumput” ke permukaan
untuk dijadikan sebagai sebuah kurikulum.Fungsi kurikulum tersebut sebagai dasar pijakan bagi
peserta didik untuk mengkonstruksi sebuah kehidupan yang berarti.
Pendidikan berbasis kearifan lokal atau keunggulan lokal adalah pendidikan yang
memanfaatkan keunggulan lokal dan global dalam aspek ekonomi, seni budaya, SDM, bahasa,

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


250
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain ke dalam kurikulum sekolah yang
akhirnya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik yang dapat dimanfaatkan
untuk persaingan global (Sono, 2013).
Pada galibnya budaya “akar rumput” memiliki kebenaran-kebenaran esensi yang dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku, dan lebih jauh dari itu, adalah budaya “akar
rumput” memberi nilai bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Tidak dapat
disangkal bahwa budaya “akar rumput” turut menghiasi “taman-taman rumah” pendidikan yang
walaupun diterpa badai IT (Information and Technology) yang kian tak terbendung, budaya “akar
rumput” tetap eksis dan terus “merias dan mempercantik paras” pendidikan Indonesia. Singkat
kata budaya ”akar rumput” mengandung dan melahirkan aneka nilai yang pantas dikaji dan
diinterpretasi. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penerapan pendidikan yang berbasis pada
kearifan lokal.
Tujuan umum
Memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan dan perilaku kepada peserta didik agar
mereka memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat
sesuai dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerahnya dan mendukung pembangunan daerah
serta pembangunan nasional.
Tujuan Khusus
Mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan
budayanya.Memiliki bekal kemampuan dan ketrampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya
yang berguna bagi dirinya maupun lingkungan masyarakat pada umumnya.Memiliki sikap dan
perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan-aturan yang berlaku di daerahnya serta
melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat dalam rangka menunjang
pembangunan daerah dan pembangunan nasional (Sono, 2013).
Hemat penulis, sesungguhnya budaya itu kaya akan nilai maka kesadaran akan
nilai-nilai budaya dan berusaha mengimplementasikan nilai-nilai budaya, sebenarnya manusia
telah menentukan opsinya bahwa budaya patut diapresiasi. Mengapresiasi budaya berarti
menunjukkan kecintaan terhadap budaya dengan mewujudkan pikiran yang bernas,
mengembangkan perasaan empati dan meningkatkan tindakan yang etis di dalam kehidupan
bermasyarakat. K. Bertens seorang pakar etika, dalam bukunya yang berjudul Etika, sebagaimana
dalam (Sehandi, dkk, 2014: 17) menjelaskan etika dimengerti dalam tiga pemahaman.
Pertama, etika dipahami sebagai nilai-nilai atau norma-norma.Maksud dari pernyataan
tersebut adalah etika menjadi arahan, pegangan atau pedoman bagi manusia.Sehingga dalam
konteks yang demikian, etika menunjukkan fungsi kontrol sosial dan menjadi pengatur kehidupan
masyarakat.Kedua, etika dipahami sebagai kode etik.Fungsi dari etika sebagai kode etik adalah

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


251
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

etika berperan sebagai pelindung bagi manusia dalam menciptakan kehidupan aman dan
damai.Dalam hal ini etika dapat dipahami sebagai fungsi proteksi etika.Ketiga, etika dipahami
sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk.Hal ini berarti bahwa etika memiliki fungsi
edukatif.Dengan demikian, etika menjadi sebuah racikan ilmu yang memiliki standar ilmu untuk
dibelajarkan kepada peserta didik untuk mengalami kehidupan yang berbasis pada nilai budaya.
Respon MahasiswaPendidikan Yang Berbasis Pada Kearifan Lokal
Sehingga, jika dikaitkan dengan kegiatan pergelaran budaya program studi Guru
Sekolah Dasar (PGSD) yang menampilkan budaya-budaya dari wilayah Flores menjelaskan
bahwa dunia pendidikan, sedang dan akan belajar banyak dari budaya yang ada. Peserta
pergelaran tidak hanya menunjukkan kebolehannya dengan menyanyi, menari, custom show
tradisional dan modern tetapi sudah naik status ke tahap yang lebih tinggi yaitu, mengkaji dan
menginterpretasi makna yang terkandung dari setiap budaya yang dipentaskan.Ekspektasinya
adalah kegiatan yang syarat makna seperti ini terus dilakukan dan masyarakat adat tetap
mempertahankan originalitas budaya.Selain itu, pemerintah sebagai partner masyarakat adat
dapat meningkatkan efektifitas kerjasama dalam menerapkan kurikulum yang berbasis kearifan
lokal.
Hal ini merupakan terobosan baru dalam memperkenalkan, menanamkan, dan
mengembangkan pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai budaya kepada generasi
sekarang.Derasnya badai IT ini, sangat terasa dan menghantam karakter anak bangsa sehingga
pendidikan perlu dikemas dan dihiasi dengan nilai-nilai budaya sehingga menghasilkan peserta
didik yang smartdalam seluruh kehidupannya.Artinya, dengan pendidikan yang berbasis pada
nilai-nilai budaya, dapat membangun karakter anak bangsa yang beradab.
Nilai (value) dipahami sebagai hakikat suatu hal, yang menyebabkan pantas untuk
dikejar oleh manusia, agar manusia dapat berkembang.Nilai sangat berkaitan dengan kebaikan
yang ada dalam inti sesuatu itu (Sehandi, dkk. 2014: 96).Dari pernyataan tersebut tersingkap
bahwa ada motif penting yang menyebabkab manusia sebagai makluk yang berbudaya mengejar
nilai itu. Artinnya, manusia mendapatkan apa yang dikejarnya sebagai bentuk imbalan dan
mendapatkan pula kebaikan yang terkandung dalam sesuatu yang dikejar itu. Dengan demikian,
manusia secara sadar mengejar, mendapatkan nilai dan berusaha menanam, memupuk, serta
mengembangkan nilai tersebut dalam kehidupan riil.
Realitas Kehidupan dan Pendidikan
Konstelasi peradaban dunia dari hari ke hari semakin menunjukkan keganasan. Sebut
saja tindakan anarkis hampir tidak ketinggalan mewarnai kehidupan manusia. Budaya yang
mengajarkan sikap saling seakan hilang diterpah badai modernis akuistis yang tak terkontrol
sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa hampir setiap hari di layar kaca tampil

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


252
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

berita-berita yang berkaitan dengan tindakan-tindakan kekerasan sebagai akibat dari sikap
akuistis-individual maupun kelompok tertentu.
Dunia kini makin egan, karena sebenarnya dengan kemajuan yang ada kiranya mampu
menghantar manusia kepada kehidupan yang berkualitas dan peradaban yang terjamin.Namun
justru perkembangan malah menghadirkan kesemrawutan dalam berbagai aspek kehidupan
manusia.Dunia pendidikan juga mengalami hal yang sama, tindakan vandalisme dan anarkisme
merobos sampai dalam dunia pendidikan. Perilaku peserta didik sangat memprihatinkan.
penggunaan narkotika, dan tawuran antar pelajar menjadi problem yang kian mencuat dan
mentradisi. Masa depan semakin suram, kaum muda menjadi sulit untuk dipercayakan. Orang
lalu bertanya dimana peran pendidikan?. Pada kisah ini, menjadi sulit dimengerti dan perannya
juga sulit ditemukan. Pendidikan tidak memberikan pengaruh. Dengan demikian, pendidikan
menjadi proses pemanusiaan yang bertepi pada kebablasan moral.
Namun, manusia sebagai makluk berbudaya tidak kehilangan arah.Artinya representasi
dari manusia sebagai makluk berbudaya adalah manusia memiliki akal budi.Dengan demikian,
ciri logik dan kritik menjadi sesuatu yang sangat fundamental bagi manusia dalam
menginterpretasi segala sesuatu yang ada termasuk fenomena dan gelaja sosial yang dialami oleh
manusia. Untuk itu, pendidikan dapat “berlayar” dengan menggunakan “kapal” agar bisa tiba di
“dermaga” dengan selamat. Secara implisist pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa dalam
berproses, pendidikan dapat menggandeng budaya.Tujuannya untuk menghasilkan peserta didik
yang beradab atau bermartabat dan mampu menunjukkan peran positif dalam kehidupan
bermasyarakat.
Budaya yang dimaksudkan adalah budaya “akar rumput” atau budaya masyarakat adat
yang mengandung aneka kearifan lokal (local wisdom), yang perlu disari untuk kepentingan
dunia pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri. Karena pada dasarnya
dunia pendidikan menghendaki out-put yang berprestasi dan berbudaya. Berbudaya artinya
mampu memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung didalam budaya.
Konsep Nilai
Nilai adalah takaran yang diberikan untuk menentukan sesuatu, baik itu manusia,
hewan, tumbuh-tumbuhan ataupun benda, dengan takarannya baik atau buruk, benar atau salah
(untuk manusia) dan mahal atau murah (untuk hewan,tumbuh-tumbuhan dan benda). Penafsiran
yang dapat diberikan untuk statement tersebut adalah manusia semestinya tidak bertindak
monopoli atas segala sesuatu yang ada karena pada hakikatnya segala sesuatu yang ada itu
memiliki nilai.
Hal ini mesti diterima dan diakui oleh manusia supaya tidak terjadi atau menghindari
apa yang disebut dengan antroposentrisme, yaitu paham yang menonjolkan bahwa manusialah

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


253
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

yang lebih penting atau bernilai dan menjadi sentral atau pusat dari segala sesuatu yang ada
sedangkan yang lain hanya bersifat sekunder dan komplementer. Namun, sebenarnya, jika
manusia bijaksana maka penilaiannya menjadi berbeda dengan penilaian sebelumnya. Artinya,
dengan mind set yang dimiliki, mampu menggugah daya nalar untuk membaca dan
menginterpretasi realitas yang ada. Supaya manusia dapat memberikan penilaian yang adil
terhadap segala sesuatu yang ada, karena hakikatnya bahwa segala sesuatu yang ada memiliki
nilai (nilai instrinsik), yaitu nilai yang terkandung di dalamnya dari segala sesuatu yang ada
(manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda-benda).
Pernyataan tersebut di atas tidak menghilangkan peran manusia sebagai penentu
nilai.Artinya, peran atau tugas tersebut tetap melekat pada manusia karena manusia dikarunia
akal-pikiran sehingga mampu membuat penilaian. Namun, dengan peran tersebut tidak
menyatakan manusia sebagai makluk yang superior dari segala sesuatu yang ada tetapi segala
sesuatu yang ada saling berkoeksistensi (ada bersama dengan yang lain), saling melengkapi,
saling berkaitan dan saling memberi pengaruh satu dengan yang lain (nilai ekstrinsik).
Selain itu, nilai juga dapat dipahami sebagai hakikat dari suatu hal, yang menyebabkan
pantas untuk dikejar oleh manusia, agar manusia dapat berkembang (Jurahman, dkk,
2014:96).Pernyataan ini juga dapat dipahami sebagai pengejawantahan peran (nilai) manusia
sebagai konseptor dan penentu nilai.
Nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan pergelaran budaya tersebut adalah cinta
budaya, kerja keras, kerja sama, kerja cerdas, tanggung jawab, disiplin, persaudaraan, empati,
keberanian, keadilan, kejujuran, visioner, kesabaran, percaya diri, tangguh, peduli, toleransi,
demokratis, kemandirian, keimanan, sportivitas, kasih sayang, santun, kepemimpinan, kreatif,
rendah hati, menghargai, menghormati, kedamaian, keteladanan, komunikatif, dan lain-lain yang
dapat dijadikan sebagai karakter yang dikembangkan dalam pembelajaran. Maka dalam proses
pendidikan, nilai-nilai ini menjadi acuan dalam mengembangkan karakter peserta didik. Artinya,
dengan menerapkan pendidikan nilai yang berbasis pada budaya “akar rumput” selain
menujukkan kecintaan pada budaya “akar rumput” tetapi juga mewariskan dan
menginternalisasikan nilai-nilai pada diri peserta didik. Karena nilai-nilai itu merupakan
kebijaksaan daerah yang terkandung dalam budaya “akar rumput”. Nilai-nilai itu dapat pula
dijadikan sebagai pandangan hidup bagi peserta didik.
Sistem Nilai
Sistem nilai merupakan standar norma yang diberlakukan dalam suatu komunitas atau
kelompok masyarakat untuk menciptakan kehidupan aman, tertib, dan damai. Sebagai standar
norma, sistem nilai menjadi acuan yang ditetapkan bersama dan untuk kepentingan bersama.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


254
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Koentjaraningrat (1981), dalam (Soelaeman, 1990:21) mengatakan bahwa: “sistem nilai


berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia”.
Maksud atas pernyataan ini adalah sistem nilai itu, merupakan serangkaian aturan yang
memiliki keterkaitan atau hubungan saling dengan kehidupan manusia dalam menciptakan
suasana kehidupan aman, tertib, dan damai.Suasana ini terwujud karena sistem nilai sudah
dijadikan sebagai panduan atau pegangan hidup bagi manusia baik secara personal maupun
komunal dalam berpola laku atau bertingkah laku. Dari pola laku ini, maka akan diberikan
penilaian-penilaian kepada manusia untuk menentukan pola lakunya baik atau buruk, benar atau
salah. Tetapi kalau mau dikritisi bahwa pola laku merupakan representasi dari pola pikir manusia
sebagai penentu nilai itu.
Untuk itu, sebagai makluk yang mememahami sistem nilai, maka manusia senantiasa
berusaha untuk selalu memberikan yang terbaik dalam hidupnya dari proses pemaduan atau
pengintegrasian antara pola pikir, pola laku dan pola rasa. Hal ini mau menegaskan bahwa
manusia mampu memahami nilai, mengenal dan mentaati sistem nilainya karena tahu akan
orientasi nilai yang akan dicapai dalam hidupnya.
Selain nilai yang disebut sebagai sebuah sistem, pendidikan juga disebut sebagai sebuah
sistem. Maksud dari pernyataan ini ialah baik sistem nilai maupun sistem pendidikan memiliki
keterkaitan atau hubungan dengan nilai yang satu dengan nilai yang lain. Dalam bidang
pendidikan, tercapainya tujuan pendidikan merupakan menekankan keterlibatan yang aktif dari
semua komponen penunjang, yakni: input, proses, dan output. Artinya, sebagai sebuah sistem
baik nilai maupun pendidikan merupakan unsur yang tidak bebas, harus dipadukan nilai-nilai dan
komponen-komponen lainnya.
Orientasi Nilai Budaya
Yang dimaksud dengan orientasi nilai budaya adalah sebuah prospek dari nilai yang
ingin digapai atau ingin dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan yang telah ditetapkan dan
melakukan apa yang telah disepakati. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
sebuah komitmen yang pasti agar orientasi nilai tersebut sungguh-sungguh memberi pengaruh
positif bagi manusia. Sehingga, tidak salah langkah atau tidak melakukan sesuatu di luar dari apa
yang telah ditetapkan.
Dalam orientasi nilai budaya selalu melihat hakekat dari sesuatu yang ada, baik itu ada
pada manusia maupun pada alam. Contohnya: Orientasi nilai budaya senantiasa melihat dan
menelusuri hakekat atau makna sesuatu. Dalam konteks pergelaran budaya tersebut makna yang
dapat didapat seperti: makna hidup manusia, makna dari kerja manusia, makna waktu manusia,
makna alam bagi manusia dan makna manusia yang satu terhadap manusia yang lain. Hal-hal ini

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


255
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

dapat dipahami sebagai persoalan menyangkut hakikat atau eksistensi manusia, alam, kerja,
waktu dan relasi antar manusia.
Ketika, mengangkat soal hakekat hidup manusia, maka orientasi nilai budaya yang
dapat diprediksi adalah tindakan manusia dalam kehidupannya sehari-hari baik sebagai makluk
social maupun sebagai individu.Apakah itu baik atau buruk sangat bergantung pada penilaian
moral yang diberikan terhadap suatu perbuatan manusia.tetapi manusia harus selalu berusaha
untuk mengutamakan kebajikan atau kebaikan.
Pendidikan yang berbasis pada nilai budaya “akar rumput” merupakan sebuah proses
pemanusiaan manusia untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kehidupan yang bernilai.
Oleh karena itu, dalam proses pembelajarannya peserta didik dilatih mengagas asah dan mengais
makna yang terkandung pada budaya, sehingga dapat menciptakan sebuah kehidupan yang
beradab. Nilai-nilai yang diajarkan di dalam proses pembelajaran adalah nilai-nilai yang syarat
makna sehingga patut ditanamkan dalam diri peserta didik dalam rangka pengembangan
kepribadian yang utuh. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa apa yang menjadi orientasi nilai
budaya dapat disadur untuk menjadi orientasi pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Dyson, L. & Santosa, Thomas, 1999. Ilmu Budaya Dasar. Surabaya: Citra Media
http://ariefksmwrdn.blogspot.co.id/2014/06/pengertian-kearifan-lokal.html,
(Online), diakses pada Kamis, 11 Agustus 2016.
http://garasikeabadian.blogspot.co.id/2013/03/pendidikan-berbasis-kearifan-
lokal.html (Online), diakses pada Kamis, 11 Agustus 2016.
Jehadung, Wilhelmus, 2013. Proposal Tesis.
Jurahman, B.Yohanes, dkk, 2014. Pengantar Ilmu Sosial & Budaya Dasar.
Salatiga: Widya Sari Press.
Soelaeman, 1990. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar.Bandung: Eresco
Tim Pastoral Pendidikan Kevikepan Ende, 2010. Pendidikan Nilai: Pilat Utama
Kehidupan. Ende: Kevikepan Ende

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


256
PROSIDING

MP-35
PENGARUH PENGGUNAAN METODE EKSPERIMEN TERHADAP MOTIVASI
BELAJAR IPA PESERTA DIDIK KELAS V SDI ONEKORE 5 KECAMATAN ENDE
TENGAH KABUPATEN ENDE

1
Berty Sadipun,2 Maria Finsensia Ansel, dan 3Stefania UtoWerang.
1,2,3
PGSD Universitas Flores
1
berty.sadipun@gmail.com2oktavianomari@gmail.com, 3stefaniautowerang@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan metode eksperimen terhadap motivasi
belajar IPA peserta didik kelas 5 SDI ONEKORE 5. Penelitian ini menggunakan metode
eksperimen yaitu metode eksperimen kuasi atau semu dimana terdapat dua kelas yang digunakan
yakni kelas eksperimen dengan menggunakan metode eksperimen dan kelas kontrol dengan
menggunakan metode ceramah. Jenis penelitian yang digunakan penelitian kuantitatif deskriptif.
Penelitian dilakukan di SDI Onekore 5. Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik
kelas V yaitu kelas VA berjumlah 23 orang dan kelas VB berjumlah 22 orang. Instrumen yang
digunakan untuk mengumpulkan data motivasi belajar peserta didik adalah angket dan lembar
observasi. Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis dengan teknik statistik
deskriptif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ekspeimen berpengaruh terhadap
motivasi belajar IPA peserta didik kelas V SDI Onekore 5. Hal ini terlihat dari hasilperhitungan
rata-rata skor skala motivasi belajar. Rata-rata skor pretest skala motivasi belajar kelompok
eksperimen yaitu 49,48, sedangkan rata-rata pretest kelas kontrol yaitu. 48,14. Selanjutnya
rata-rata skor posttest skala motivasi belajar pada kelas eksperimen yaitu 63,43, sedangkan
rata-rata skor posttest skala motivasi belajar kelas kontrol yaitu 52,64. Dari data tersebut, terlihat
rata-rata skor posttest kelas eksperimen lebih besar daripada kelas kontrol. Hasil observasi pada
kelas eksperimen diperoleh nilai rata-rata sebesar 38,61 dan kelas kontrol sebesar 35,96. Dari
hasil tersebut dapat disimpulkan nilai rata-rata hasil observasi kelas eksperimen mempunyai skor
rata-rata lebih tinggi daripada kelas kontrol.
Kata Kunci: Metode, Metode eksperimen, Motivasi belajar.
PENDAHULUAN
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang sistematis melaksanakan program
bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu peserta didik agar mampu
mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek-aspek moral spiritual, intelektual,
emosional, maupun sosial. Sekolah dalam menjalankan programnya tidak terlepas dari peran
beberapa subjek yaitu guru dan peserta didik. Guru harus memahami bahwa peserta didik secara
individu atau kelompok dapat membangun sendiri pengetahuannya dari sumber belajar di
sekitarmya, tidak hanya berasal dari guru.Guru memiliki tanggung jawab penting dalam
memotivasi belajar peserta didik. Oleh karena itu, dalam meningkatkan motivasi belajar peserta
didik, guru harus membuat perencanaan pembelajaran yaitu memilih metode pembelajaran yang
sesuai dengan materi pembelajaran yang sedang berlangsung. Tujuannya adalah agar kegiatan

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pembelajaran dapat berjalan secara efektif dan efisien, dan tujuan akhir yang diharapkan dapat
dikuasai oleh peserta didik.
Namun kenyataan sekarang ini, dalam proses belajar mengajar masih banyak guru yang
menggunakan metode pembelajaran konvensional dimana yang lebih ditekankan dalam metode
ini adalah hafalan dan materi cepat selesai, guru lebih dominan memberikan ceramah dan kelas
lebih didominasi oleh guru, peserta didik hanya bertindak sebagai pendengar yang pasif. Hal ini
menyebabkan peserta didik merasa jenuh dan kurang bersemangat dengan penjelasan guru
terhadap materi yang ada dan peserta didik kehilangan motivasi atau semangat belajar.
Permasalahan ini juga dialami oleh SDI Onekore 5, berdasarkan hasil observasi peneliti
dan informasi yang diperoleh dari pendidik bahwa selama ini pembelajaran IPA lebih bersifat
teoritis dan terkesan terpisah dari kehidupan.Guru hanya memberikan penjelasan tentang
teori-teori tertentu dengan menggunakan metode ceramah sehingga peserta didik hanya aktif
mencatat, mendengar informasi dan menghafalnya. Hal tersebut menyebabkan peserta didik
menggangap mata pelajaran IPA merupakan mata pelajaran yang sulit dan membosankan
sehingga tidak ada motivasi dan keinginan dari dalam diri untuk belajar IPA.
Berdasarkan kenyataan dan permasalahan yang ada di atas, maka guru berupaya untuk
memotivasi peserta didik dalam belajar dengan menyajikan materi menggunakan metode yang
dapat menarik perhatian dan minat, serta memberikan semangat kepada peserta didik untuk
belajar. Guru memberikan suatu metode dimana pelajaran tidak sepenuhnya didominasi oleh
guru, tetapi peserta didik berusaha untuk bisa menemukan sendiri apa yang dipelajarinya. Tugas
guru membimbing dan mengarahkan serta memotivasi peserta didik untuk semangat dalam
belajar dan metode yang tepat adalah metode eksperimen.
Motivasi sangatbesar pengaruhnya pada proses belajar peserta didik. Tanpa adanya
motivasi, makaproses belajar peserta didik tidak berjalan secara lancar. Seseorang akan belajar
jikapada dirinya ada keinginan untuk belajar. Oleh karena itu motivasi belajarberarti suatu
kekuatan yang dapat mendorong peserta didik untuk belajar sehinggaakan tercapai hasil dan
prestasi yang memuaskan. Motivasi belajar merupakan dorongan yang muncul dalam kegiatan
belajar mengajar dengan keseluruhan penggerak psikis dalam diri siswa yang menimbulkan
kegiatan belajar, menjamin kelangsungan belajar dalam mencapai suatu tujuan. Motivasi seorang
peserta didik dan pendidik dapat bersumber dari dalam diri sendiri atau motivasi internal
(intrinsic motivation), dan dapat pula berasal dari luar dirinya atau motivasi eksternal (extrinsic
motivation). Kedua motivasi tersebut dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif.
Metode eksperiman adalah suatu metode yang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk melakukan percobaan atau menguji hipotesis yang sudah dibuat. Dalam proses belajar
mengajar dengan metode eksperimen ini siswa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


258
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

melakukan sendiri, mengikuti proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan dan
menarik kesimpulan sendiri tentang suatu objek, keadaan atau proses sesuatu. Peran guru dalam
metode eksperimen ini sangat penting, khususnya berkaitan dengan ketelitian dan kecermatan
sehingga tidak terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam memaknai kegiatan eksperimen dalam
kegiatan belajar dan mengajar (Sagala, 2013:220). Metode eksperimen akan diterapkan pada
pembelajaran IPA, Alasannya IPA merupakan ilmu yang mempelajari cara mencari tahu tentang
alam secara sistematis untuk
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya
pengaruh penggunaan metode eksperimen terhadap motivasi belajar IPA peserta didik kelas V
SDI Onekore 5 dan manfaat dalam penelitian ini untuk peserta didikagar termotivasi dalam
pembelajaran. Jika peserta didik dan menambah wawasan pengetahuan peserta didik.Untuk guru
diharapkan dengan menggunakan metode eksperimen maka guru dapat melakuan variasi
pembelajaran konvensional (ceramah) dan beralih dari cara mengajar yang konvensional menjadi
variasi mengajar eksperimen atau percobaan dengan melibatkan siswa dalam setiap proses
pembelajaran. Dan untuk sekolah diharapkan dapat memberi sumbangan yang baik untuk sekolah
dalam rangka perbaikan proses pembelajaran untuk dapat meningkatkan hasil siswa.dan bahan
informasi untuk memotivasi guru agar lebih menggunakan metode pembelajaran yang
melibatkan siswa dalam menemukan dan mencari kebenaran tentang fakta-fakta.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen semu atau kuasieksperimen yang terdiri dari dua kelompok penelitian yaitu kelas
eksperimenmelakukan pembelajaran dengan metode eksperimen dankelas kontrol melakukan
pembelajaran dengan metode ceramah.Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatankuantitatif. Penelitian ini menggunakan desain nonequivalent control group
design.Desain ini melibatkan dua kelas yaitu kelas eksperimen dankelas kontrol. Adapun
gambaran mengenai rancangannonequivalent control group design (Sugiyono, 2012:79) sebagai
berikut:

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


259
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Gambar 3.1 Bagan Pelaksanaan Kelas Eksperimen

Gambar 3.2 Bagan Pelaksanaan Kelas Kontrol


PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan 2 kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Subjek
penelitian ini peserta didik kelas VA yang berjumlah 23 peserta didik dan kelas IVB 22 peserta
didik. Kelas VB sebagai kelas eksperimen dengan menggunakanmetode eksperimen, dan kelas
VA sebagai kelas kontroldengan menggunakan metode ceramah.Pembelajaran yang diberikan
pada kelas eksperimen menggunakanmetode eksperimen. Kelas eksperimen diberi skala motivasi
belajar IPA sebelum dansetelah diberikan perlakuan. Selain itu ketika pembelajaran
dilakukanpeneliti juga melakukan observasi secara langsung dengan mengisi lembarobservasi.
Hal yang sama juga diberikan pada kelas kontrol, namun metode pembelajaran yang diberikan
berbeda, pada kelas kontrol menggunakan metode ceramah. Setelah perlakuan diberikan, peneliti
mengolah hasil skala motivasi belajar dan lembar observasi.
Data hasil penelitian yang diperoleh, skor rata-rata pretest skala motivasi belajar kelas
eksperimen dan kelas kontrol memiliki kondisi yang berbeda. Skor rata-rata pretest skala
motivasi belajar kelas eksperimen sebesar 49,48 dan skor rata-rata pretest skala motivasi belajar
kelompok kontrol sebesar 48,14. Dapat disimpulkan bahwa antara skor rata-rata pretest kelas
kontrol dan kelas eksperimen terdapat perbedaan. Kelas eksperimen dan kelas kontrol
mempunyai motivasi belajar yang berbeda namun perbedaannya tidak begitu signifikan hanya
sebesar 1,34.
Selanjutnya skor rata-rata posttest skala motivasi kelas eksperimen sebesar 63,43 dan
kelas kontrol sebesar 52,64. Skor rata-rata postest skala motivasi kelas eksperimen lebih besar
daripada kelompok kontrol (63,43>52,64). Dari hasil tersebut terlihat ada selisih perbedaan skor
sebesar 10,79. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode eksperimen berpengaruh

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


260
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

terhadap motivasi belajar IPA. Hasil penelitian pada kelas eksperimen memiliki skor rata-rata
pretest sebesar 49,48 dan skor rata-rata posttest sebesar 63,43 yang berarti terjadi peningkatan
sebesar 13,95, sehingga dapat diketahui pretest dan posttest kelompok eksperimen terjadi
peningkatan. Sedangkan pada kelompok kontrol diketahui skor rata-rata pretest sebesar 48,14 dan
skor rerata posttest sebesar 52,64 yang berarti terjadi peningkatan sebesar 4,5 sehingga dapat
diketahui pretest dan posttest kelas kontrol terjadi peningkatan lebih kecil daripada kelas
eksperimen.
Nilai rata-rata skala motivasi belajar IPA yang diperoleh dari kelas eksperimen maupun
kelas kontrol didukung dengan hasil observasi yang dilakukan selama proses pembelajaran
berlangsung. Hasil observasi pada kelas eksperimen diperoleh nilai rata-rata sebesar 38,61 dan
kelas kontrol sebesar 35,96. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan nilai rata-rata hasil observasi
kelas eksperimen mempunyai skor rata-rata lebih tinggi daripada kelas kontrol.
Selama pembelajaran IPA peserta didik yang belajar menggunakan metode eksperimen
terlihat lebih aktif dan semangat dalam mengikuti pembelajaran IPA. Peserta didik aktif dalam
melakukan percobaan dan diskusi dalam menyelesaikan percobaan yang sedang berlangsung.
Melalui metode eksperimen peserta didik dapat belajar IPA dengan cara melakukan percobaan
dan peserta didik dapat menemukan sendiri jawaban dari hasil percobaan yang dilakukan
sedangkan guru berperan sebagai pembimbing Keadaan ini sesuai dengan pendapat Sagala
(2013:20) bahwa metode eksperimen adalah cara penyajian bahan pelajaran dimana siswa
melakuan percobaan dengan mengalami untuk membuktikan sendiri sesuatu pertanyaan atau
hipotesis yang dipelajari. Dalam proses belajar mengajar dengan metode eksperimen ini siswa
diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri, mengikuti proses,
mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan sendiri tentang
suatu objek, keadaan atau proses sesuatu.
Peran guru dalam metode eksperimen ini sangat penting, khususnya berkaitan dengan
ketelitian dan kecermatan sehingga tidak terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam memaknai
kegiatan eksperimen dalam kegiatan belajar dan mengajar (Sagala, 2013:220) sedangkan dalam
metode ceramah peserta didik kurang aktif mengikuti pelajaran dan pelajaran berpusat pada guru.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode eksperimen lebih berpengaruh terhadap
motivasi belajar IPA peserta didik kelas V SDI Onekore 5 dibandingkan dengan menggunakan
metode ceramah.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukanmaka dapat
disimpulkan bahwa metode eksperimen berpengaruh terhadap motivasibelajar IPA peserta didik

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


261
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

kelas V SDI Onekore 5. Hal ini terlihat dari hasilperhitungan rata-rata skor skala motivasi belajar.
Rata-rata skor pretest skala motivasi belajar kelompok eksperimen yaitu 49,48, sedangkan
rata-rata pretest kelas kontrol yaitu. 48,14. Selanjutnya rata-rata skor posttest skala motivasi
belajar pada kelas eksperimen yaitu 63,43, sedangkan rata-rata skor posttest skala motivasi
belajar kelas kontrol yaitu 52,64. Dari data tersebut, terlihat rata-rata skor posttest kelas
eksperimen lebih besar daripada kelas kontrol. Kenaikan pada kelompok eksperimen dikarenakan
dengan metode eksperimen peserta didik diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau
melakukan sendiri, mengikuti proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan dan
menarik kesimpulan sendiri tentang suatu objek, keadaan atau proses sesuatu sehingga peserta
didik lebih antusias dalam belajar.
Peran guru dalam metode eksperimen ini sangat penting, khususnya berkaitan dengan
ketelitian dan kecermatan sehingga tidak terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam memaknai
kegiatan eksperimen dalam kegiatan belajar dan mengajar.Kepala Sekolah hendaknya
memberikan pelatihan kepada guru tentang cara menyajikan pembelajaran inovatif seperti
metode eksperimen. Selain itu, sekolah juga dapat menyediakan buku-buku tentang
metode-metode pembelajaran khususnya metode eksperimen sehingga guru dapat memiliki
wawasan dan keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Sagala, Syaiful. 2013. Konsep Dan Makna Pembelajaran.Bandung: Alfabeta.


Sugiyono. 2010. MetodePenelitianKuantitatif Kualitatif & RND. Bandung: Alfabeta
________. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfebeta.
Baharuddin dan Wahyuni, Esa. 2009. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta:Ar-ruzz
Media.
Prihati, Eka. 2008. Guru Sebagai Fasilitator. Bandung: Karsa Mandiri Persada.
Sardiman. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Bandung: Rajawali Pers
Sadirman. 2008. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja GrafindoPersada.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


262
PROSIDING

MP-36
SUASANA LINGKUNGAN BELAJAR YANG KONDUSIF DI SEKOLAH DASAR

Maria Finsensia Ansel


PGSD Universitas Flores
Email:oktavianomari@gmail.com

Abstrak
Pendidikan di sekolah dasar dimulai dari anak berusia antara 7 sampai dengan 13 tahun sebagai
pendidikan di tingkat dasar. Proses pembelajaran di sekolah dasar dimana siswa diajarkan dengan
berbagai bidang studi yang semuanya harus dikuasai siswa, sehingga tidak terlepas dari peran
kepala sekolah dan guru untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Suasana
lingkungan belajar yang kondusif merupakan suasana yang nyaman dan menyenangkan yang
disesuaikan dengan usia anak sekolah dasar. Nyaman dalam hal ini jauh dari gangguan suara dan
bunyi yang merusak konsentrasi belajar. Menyenangkan berarti suasana belajar yang gembira dan
antusias. Kondisi lingkungan tempat belajar siswa baik di sekolah, kelas, maupun diluar kelas
yang bisa mempengaruhi berhasil atau tidaknya proses belajar siswa yang meliputi kondisi
lingkungan fisik misalnya gedung sekolah, ruang kelas, keadaan udara, cuaca, waktu, tempat atau
lokasi gedung sekolah dan kondisi lingkungan sosial yang meliputi hubungan antara guru dan
siswa, serta hubungan antar siswa.

Kata Kunci: Suasana belajar, Lingkungan belajar

PENDAHULUAN
Sekolah dasar merupakan jenjang paling dasar dalam pendidikan formal di Indonesia.
Pendidikan di sekolah dasar dimulai pada anak yang berusia antara 7 sampai dengan 13 tahun
sebagai pendidikan di tingkat dasar yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
daerah/karakteristik daerah, sosial,dan budaya masyarakat setempat bagi siswa. Dalam
pembelajaran di sekolah dasar, siswa dituntut untuk menguasai semua bidang studi. Kondisi ini
tidak terlepas dari peran kepala sekolah dan guru untuk menciptakannya lingkungan belajar yang
kondusif sehingga siswa bisa belajar dengan baik dan dapat memahami semua bidang studi yang
diajarkan di sekolah.
Lingkungan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Lingkungan selalu
mengitari manusia dari waktu ke waktu, sehingga antara manusia dan lingkungan terdapat
hubungan timbal balik dimana lingkungan mempengaruhi manusia dan sebaliknya manusia juga
mempengaruhi lingkungan. Begitu pula dalam proses belajar belajar mengajar, lingkungan
merupakan sumber belajar yang berpengaruh dalam proses belajar dan perkembangan.
Lingkungan pembelajaran dalam hal ini adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tempat
proses pembelajaran dilaksanakan. Artinya, lingkungan belajar merupakan tempat
berlangsungnya kegiatan belajar yang berpengaruh terhadap siswa.

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Mariyana (2010: 17) menyatakan bahwa lingkungan belajar ialah keadaan yang
mempengaruhi proses perubahan tingkah laku siswa ke perubahan tingkah laku siswa yang lebih
baik. Lingkungan membawa pengaruh besar terhadap perilaku siswa tersebut. Lingkungan belajar
mempunyai peranan yang sangat penting untuk melaksanakan proses pembelajaran. Misalnya,
lingkungan belajar yang lengkap dengan sarana dan prasarana yang memadai tentunya akan lebih
memudahkan para pendidik untuk melakukan tugasnya dengan baik, dan sebaliknya, akan ada
hambatan jika ternyata lingkungan belajar yang tidak layak untuk dijadikan tempat
pembelajaran.Senada dengan itu, Amri dan Ahmadi (2010: 106) menyatakan secara psikologi
lingkungan berperan penting dalam perilaku manusia khususnya sekolah, sebab dari sinilah
perlakuan-perlakuan yang terus menerus dan terstruktur diberikan kepada siswa sehingga siswa
diharapkan dapat mengubah perilakunya sesuai yang diharapkan. Untuk mencapai keberhasilan
belajar atau efektifitas pembelajaran dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah suasana
lingkungan belajar. Lebih lanjut, Mulyasa (2009: 76) menyatakan bahwa lingkungan yang
kondusif merupakan faktor pendorong yang memberikan daya tarik bagi proses pembelajaran,
sebaliknya lingkungan yang kurang menyenangkan akan menimbulkan kejenuhan dan rasa
bosan. Artinya, lingkungan belajar yang kondusif sangat diperlukan agar tercipta proses
pembelajaran yang bermakna.
Suasana lingkungan belajar yang kondusif yaitu suasana yang nyaman dan
menyenangkan, nyaman dalam hal ini jauh dari gangguan suara dan bunyi yang merusak
konsentrasi belajar. Menyenangkan berarti suasana belajar yang gembira dan antusias. Suasana
belajar yang nyaman memungkinkan siswa untuk memusatkan pikiran pada apa yang sedang
dipelajari.Suasana lingkungan belajar yang kondusif sangat urgen dalam pelaksanaan proses
belajar mengajar baik di kelas, sekolah maupun di luar sekolah. Suasana lingkungan belajar yang
kondusif sangat menentukan keberhasilan seorang guru dalam berinteraksi dengan siswanya dan
keberhasilan pelaksanaan pembelajaran yang bisa dibuktikan dengan hasil belajar yang diperoleh
siswa.
Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dalam penulisan artikel ini secara lebih
mendalam penulis ingin mengkaji tentang suasana belajar yang kondusif yang dapat mendukung
proses pembelajaran di sekolah dasar. Penuliasan artikel ini diharapkan dapat menjadi bahan
informasi bagi kepala sekolah, guru dan siswa sehingga mampumenciptakan suasana belajar yang
kondusif dalam proses pembelajaran baik di kelas maupun diluar kelas.
PEMBAHASAN
Dalam artikel ini, penulis berusaha untuk menjelaskan secara lebih terperinci mengenai
lingkungan belajar, suasana lingkungan belajar dan konsep suasana lingkungan belajar yang
kondusif di sekolah dasar.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


264
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Lingkungan Belajar
Dalam mencapai keberhasilan belajar, lingkungan merupakan salah satu faktor
penunjang. Tempat dan lingkungan belajar yang nyaman memudahkan siswa untuk
berkonsentrasi. Dengan mempersiapkan lingkungan yang tepat, siswa akan mendapatkan hasil
yang lebih baik dan dapat menikmati proses belajar yang siswa lakukan. Mariyana (2010: 16)
menyatakan bahwa lingkungan atau environtment meliputi semua kondisi dalam dunia ini dengan
cara-cara tertentu yang mempengaruhi tingkah laku, pertumbuhan, dan perkembangan.
Lingkungan terdekat yang ada di sekitar individulah yang paling berpengaruh secara langsung
terhadap pertumbuhan tingkah laku. Lingkungan dapat diartikan sebagai suatu tempat atau
suasana (keadaan) yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Senada
dengan itu,Suleman dalam Uno (2012: 137) menyatakan bahwa “lingkungan merupakan suatu
keadaan di sekitar kita”. Baik buruknya lingkungan di sekitar kita mempengaruhi faktor-faktor
kualitas tingkah laku siswa. Dari pendapat-pendapat di atas lingkungan pun menjadi salah satu
sumber belajar yang baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Depdiknas dalam Uno (2012: 137)
yang menyatakan bahwa belajar dengan menggunakan lingkungan memungkinkan siswa
menemukan adanya hubungan yang sangat bermakna antara ide-ide abstrak dan penerapan yang
praktis di dalam dunia nyata, konsep tersebut dipahami melalui proses penemuan, pemberdayaan
dan hubungan.
Lebih lanjut, Mariyana (2010: 17) lingkungan belajar merupakan sarana bagi siswa dapat
mencurahkan dirinya untuk beraktivitas, berkreasi, hingga mereka mendapatkan sejumlah
perilaku baru dari kegiatannya itu. Dengan kata lain, lingkungan belajar dapat diartikan sebagai
“laboratorium” atau tempat bagi siswa untuk bereksplorasi, bereksperimen dan mengekspresikan
diri untuk mendapatkan konsep dan informasi baru sebagai wujud dari hasil belajar. Sementara
Saroni (2006:82-84) menyatakan lingkungan belajar adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan tempat proses pembelajaran dilaksanakan. Lingkungan ini mencakup dua hal utama, yaitu
lingkungan fisik dan lingkungan sosial, kedua aspek lingkungan tersebut dalam proses
pembelajaran haruslah saling mendukung, sehingga siswa merasa betah di sekolah dan mengikuti
proses pembelajaran secara sadar bukan karena tekanan ataupun keterpaksaan. Lingkungan fisik
meliputi sarana dan prasarana pembelajaran yang dimiliki seperti lampu, ventilasi, bangku, dan
tempat duduk yang sesuai untuk siswa, sedangkan lingkungan sosial berhubungan dengan pola
interaksi antarpersonil yang ada di lingkungan sekolah secara umum. Lingkungan sosial meliputi
keakraban yang proporsional antara guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran.
(http://pkbm-sebagai-lembagapendidikan-nonforma). Lebih lanjut, Indra Djati Sidi (2005:148)
menyatakan lingkungan belajar sangat berperan dalam menciptakan suasana belajar
menyenangkan. Lingkungan tersebut dapat meningkatkan keaktifan belajar, oleh karena

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


265
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

itu lingkungan belajar perlu di tata semestinya.


(http://belajardanpembelajaranikipgusit.blogspot.co.id).
Dari definisi yang dikemukana para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
lingkungan belajar adalah sarana dalam proses pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa
untuk bereksplorasi, bereksperimen dan mengekspresikan diri agar proses pembelajaran dapat
berjalan dengan baik.
Suasana Lingkungan Belajar
Suasana merupakan keadaan dalam suatu lingkungan yang bernilai bagus atau tidaknya
dari yang melihat atau yang merasakannya. Artinya, suasana lingkungan belajar merupakan salah
satu penilaian baik atau tidaknya dari seorang individu yang melihat lingkungan belajarnya. Salah
satu faktor penting yang dapat memaksimalkan kesempatan pembelajaran adalah suasana
lingkungan pembelajaran yang kondusif. Suasana lingkungan pembelajaran dalam hal ini, adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan tempat proses pembelajaran dilaksanakan. Sedangkan
kondusif berarti kondisi yang benar-benar sesuai dan mendukung keberlangsungan proses
pembelajaran.Suasana saat belajar dapat mempengaruhi efisiensi waktu belajar. Suasana yang
kurang kondusif, bisa menimbulkan ketidakfokusan dalam belajar, dan menyebabkan materi
yang dipelajari tidak dapat dicerna dan dipahami dengan baik dan cepat oleh otak. Jadi
membutuhkan waktu yang lumayan banyak untuk dapat mencerna dan memahami materi tersebut
dengan baik.Maka dari itu, suasana yang kondusif sangat dibutuhkan dalam proses belajar.
Menurut Sanjaya (2011: 258) aktivitas pembelajaran yang dilakukan dalam kondisi
lingkungan yang baik dan sehat dapat memberikan kepuasan yang lebih baik dibandingkan
dengan belajar yang dilakukan pada lingkungan yang tidak baik dan tidak sehat. Kondisi
lingkungan ini tidak hanya bersifat fisik, misalnya kondisi ruangan belajar dengan cahaya
penerangan, ventilasi yang baik. Akan tetapi juga menyangkut lingkungan nonfisik misalnya,
hubungan antara guru dan siswa, serta hubungan antar siswa. Lebih lanjut,Dimyati dan Mudjiono
(2013: 35) menyatakan suasana lingkungan belajar meliputi kondisi gedung sekolah, ruang kelas,
yang mempunyai pengaruh pada kegiatan belajar. Di samping kondisi fisik tersebut, suasana
pergaulan di sekolah juga berpengaruh pada kegiatan belajar. Guru memiliki peranan penting
dalam menciptakan suasana belajar yang menarik bagi siswa. Sementaramenurut Syaifurahman
dan Ujianti (2013: 107-138) suasana lingkungan belajar yang mempengaruhi dalam proses
pembelajaran misalnya kegaduhan kelas, gaya penataan tempat duduk, lingkungan visual kelas,
warna dalam lingkungan kelas, gambar-gambar hidup yang konkret, pajangan karya siswa,
pencahayaan lingkungan kelas, pengaruh musim terhadap pembelajaran, suhu optimal dalam
lingkungan belajar, dan fasilitas dalam lingkungan belajar.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


266
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa suasana lingkungan


belajar yang kondusif adalah kondisi atau keadaan di sekitar lingkungan tempat belajar siswa baik
di kelas maupun di luar kelas yang bisa mempengaruhi berhasil atau tidaknya proses belajar siswa
yang meliputi kondisi lingkungan fisik misalnya gedung sekolah, ruang kelas, keadaan udara,
cuaca, waktu, tempat atau lokasi gedung sekolah dan kondisi lingkungan sosial yang meliputi
hubungan antara guru dan siswa, serta hubungan antar siswa. Lingkungan belajar dalam hal
terutama di kelas adalah sesuatu yang diupayakan atau diciptakan oleh guru agar proses
pembelajaran kondusif dapat mencapai tujuan pembelajaran yang semestinya.
Konsep Suasana Lingkungan Yang Kondusif
Gunawan (2012) menyatakan bahwa untuk bisa menciptakan lingkungan belajar/sekolah
yang kondusif dan mendukung proses pembelajaran, maka sekolah haruslah memberikan kesan
sebagai suatu tempat yang menghargai siswa sebagai seorang manusia, yang pemikiran dan
idenya dihargai sepenuhnya. Dari pendapat tersebut menunjukkan pentingnya menciptakan
lingkungan pembelajaran yang kondusif. Sementara, Mulyasa (2009: 76) menyatakan bahwa
lingkungan sekolah yang aman, nyaman dan tertib, dan harapan besar dari seluruh warga sekolah,
kesehatan sekolah, serta kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa merupakan iklim yang dapat
membangkitkan semangat belajar. Lingkungan yang kondusif merupakan tulang punggung dan
faktor pendorong yang dapat memberikan daya tarik tersendiri bagi proses belajar, sebaliknya
lingkungan yang kurang menyenangkan akan menimbulkan kejenuhan dan rasa bosan. Lebih
lanjut, Soedomo dalam Mulyasa (2009: 76) menyatakan bahwa lingkungan yang kondusif harus
ditunjang oleh berbagai fasilitas belajar yang menyenangkan, seperti sarana, perpustakaan,
laboratorium, pengaturan lingkungan, penampilan dan sikap guru, hubungan yang harmonis
antara peserta didik dengan guru dan diantara para peserta didik itu sendiri, serta penataan
organisasi dan bahan pembelajaran secara tepat, sesuai dengan kemampuan dan perkembangan
peserta didik. Lingkungan belajar yang menyenangkan akan membangkitkan semangat dan
menumbuhkan aktivitas serta kreativitas peserta didik. Semakin menyenangkan tatanan
lingkungan fisik, akan memberikan dampak positif bagi proses belajar.
Menurut Mulyasa (2009: 77) lingkungan yang kondusif antara lain dapat dikembangkan
melalui berbagai layanan dan kegiatan sebagai berikut.
(1) Memberikan pilihan bagi siswa yang lambat maupun yang cepat dalam melaksanakan tugas
pembelajaran
(2) Memberikan pembelajaran remedial bagi siswa yang kurang berprestasi atau berprestasi
rendah.
(3) Mengembangkan organisasi kelas yang efektif, menarik, nyaman, dan aman bagi
perkembangan potensi seluruh siswa secara optimal.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


267
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

(4) Menciptakan kerja sama saling menghargai.


(5) Melibatkan siswa dalam proses perencanaan belajar dan pembelajaran.
(6) Mengembangkan proses pembelajaran sebagai tanggung jawab bersama antara siswa dan
guru.
(7) Membangkitkan sistem evaluasi belajar dan pembelajaran yang menekankan pada evaluasi
diri.
Menurut Ormrod (2006) untuk menciptakan peserta didik belajar maka perlu diciptakan
lingkungan sekolah yang baik adalah lingkungan yang nyaman sehingga anak terdorong untuk
belajar, berprestasi serta membangun pengetahuannya sendiri. Ada beberapa karakteristik
lingkungan sekolah yang nyaman sebagai tempat belajar (Burstyn & Stevens dalam Ormrod,
2006), yaitu:
1) Sekolah mempunyai komitmen untuk mendukung semua usaha peserta didik agar sukses baik
dalam bidang akademik maupun sosial.
2) Adanya kurikulum yang menantang dan terarah.
3) Adanya perhatian dan kepercayaan peserta didik serta orang tua terhadap sekolah.
4) Adanya ketulusan dan keadilan bagi semua peserta didik, baik untuk peserta didik dengan
latar belakang keluarga yang berbeda-beda ras maupun etnik.
5) Adanya kebijakan dan peraturan sekolah yang jelas. Misalnya panduan perilaku yang baik,
konsekuensi yang konsisten, penjelasan yang jelas, kesempatan menjalin interaksi sosial serta
kemampuan menyelesaikan masalah.
6) Adanya partisipasi peserta didik dalam pembuatan kebijakan sekolah.
7) Adanya mekanisme tertentu sehingga peserta didik dapat menyampaikan pendapatnya secara
terbuka tanpa rasa takut.
8) Mempunyai tujuan untuk meningkatkan perilaku prososial seperti berbagi informasi,
membantu dan bekerja sama.
9) Membangun kerja sama dengan komunitas keluarga dan masyarakat.
10) Mengadakan kegiatan untuk mendiskusikan isu-isu menarik dan spesial yang berkaitan
dengan peserta didik.

SIMPULAN DAN SARAN


Suasana lingkungan belajar yang kondusif merupakansuasana yang nyaman dan
menyenangkan, nyaman dalam hal ini jauh dari gangguan suara dan bunyi yang merusak
konsentrasi belajar dan menyenangkan berarti suasana belajar yang gembira dan antusias.
Suasana belajar yang nyaman memungkinkan siswa untuk memusatkan pikiran pada apa yang
sedang dipelajari.Kondisi lingkungan tempat belajar siswa baik di sekolah, kelas, maupun diluar

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


268
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

kelas yang bisa mempengaruhi berhasil atau tidaknya proses belajar siswa yang meliputi kondisi
lingkungan fisik misalnya gedung sekolah, ruang kelas, keadaan udara, cuaca, waktu, tempat atau
lokasi gedung sekolah dan kondisi lingkungan sosial yang meliputi hubungan antara guru dan
siswa, serta hubungan antar siswa. Lingkungan belajar dalam hal terutama di kelas adalah sesuatu
yang diupayakan atau diciptakan oleh guru agar proses pembelajaran kondusif dapat mencapai
tujuan pembelajaran yang semestinya.
Suasana lingkungan yang kondusif tidak terlepas dari peran kepala sekolah, guru, dan
peserta didik. Maka sebaiknya kepala sekolah harus membuat manajemen sekolah dengan baik
dalam hal ini kepala sekolah harus memperhatikan lingkungan sekolah secara baik, guru dalam
melaksanakan proses pembelajaran harus menciptakan suasana belajar yang nyaman dan
menyenangkan maka guru perlu menyiapkan perlengkapan belajar siswa dengan sebaik-baiknya
sehingga siswa bisa memahami materi pembelajaran yang disampaikan dengan baik, sementara
siswa dalam pelaksanaan pembelajaran harus bisa beradaptasi dan memperhatikan dengan baik
materi yang disampaikan sehingga akan lebih mudah untuk dipahami.
DAFTAR PUSTAKA

Amri, Sofan dan Ahmadi. 2010. Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam Kelas. Jakarta:
Prestasi Pustaka.

Dimyati & Mudjiono. 2013. Belajar Dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

http://disdik.bekasikab.go.id/berita-pengertian-dan-tujuan-pendidikan-di-sekolah-dasar.html.
Diakses hari Senin, tanggal 13 November 2017.

http://hendriansdiamond.blogspot.co.id/2012/01/lingkungan-belajar.html. Diakses hari Senin, 13


November 2017.

http://teoribagus.com/lingkungan-pembelajaran-yang-kondusif. Diakses tanggal 13 November


2017
.
http://repository.unib.ac.id/8783/1/I%2CII%2CIII%2CII-14-ari.FK.pdf. Diakses hari Selasa, 14
November 2017.

Indra, Djati Sidi. 2005. Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta: Paramadina


(http://belajardanpembelajaranikipgusit.blogspot.co.id/). Diakses tanggal 13 November
2017.
Mariyana, Rita. 2010. Pengelolaan Lingkungan Belajar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Mulyasa, E. 2009. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan


Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
http://repository.unib.ac.id/8783/1/I%2CII%2CIII%2CII-14-ari.FK.pdf. Diakses hari
Selasa, 14 November 2017.

Sanjaya, Wina. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:Media Group.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


269
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Saroni, Muhammad. 2011. Manajemen Sekolah Kita Menjadi Pendidik Yang Kompeten.
Ar-Ruzz Media, Yogyakarta.
http://vhajrie27.wordpress.com/2010/04/21/pkbm-sebagai-lembagapendidikan-nonform
a. Diakses tanggal 10 November 2017.

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Syaifurahman dan Ujianti, Tri. 2013. Manajemen dalam Pembelajaran. Jakarta: PT.Indeks.
http://repository.unib.ac.id/8783/1/I%2CII%2CIII%2CII-14-ari.FK.pdf. Diakses tanggal
14 November 2017

Uno, B. Hamzah. 2012. Belajar dengan Pendekatan PAILKEM. Jakarta: Bumi Aksara.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


270
PROSIDING

MP-37
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK
PADA MATA PELAJARAN IPA KELAS IV
SDI ENDE 7KABUPATEN ENDE

Afi A. Nurdin
Sekolah Dasar Inpres Ende 7

Abstrak

Penelitian ini berfokus pada penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL) pada mata pelajaran IPA materi memahami energi panas dan cara
penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari di kelas IV SDI Ende 7. Tujuan penelitian untuk
mengetahui (1) Penerapan model pembelajaran CTL pada pelajaran IPA materi memahami energi
panas dalam kehidupan sehari-hari di kelas IV SDI Ende 7. (2) Perubahan hasil belajar IPA materi
memahami energi panas dan cara penggunaanya dalam kehidupan sehari-hari, setelah diterapkan
model pembelajaran CTL di kelas IV SDI Ende 7. Penelitian Tindakan Kelas dilakukan dalam
dua siklus yang terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan (planning), melakukan tindakan
(action), mengamati (observation), dan merefleksi (reflektif). Pengumpulan data dilakukan
dengan cara observasi, wawawncara, tes, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
(1) Hasil pengamatan guru pada siklus I mengalami peningkatan ke siklus II yaitu dari 68%
menjadi 93% dan hasil pengamatan peserta didik dalam penerapan model pembelajaran CTL dari
siklus I ke siklus II juga mengalami peningkatan yaitu dari 64% meningkat menjadi 94%. Artinya
model pembelajaran CTL membuat guru dan peserta didik lebih aktif dan lebih bersemangat
dalam proses pembelajaran, (2) Hasil belajar peserta didik mengalami peningkatan dengan
diterapkannya model pembelajaran CTL pada pelajaran IPA materi memahami energi panas dan
cara penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu siklus I 64% meningkat pada siklus II
menjadi 94%. .

Kata Kunci : Model Pembelajaran CTL, hasil belajar, mata pelajaran IPA.

PENDAHULUAN
Pendidikantidakterlepasdari proses pembelajaran. Pembelajaran di sekolah yang
menginginkan pembelajaran yang bisa menumbuhkan semangat peserta didik untuk belajar.
Suatu pembelajaran tentunya juga mempunyai tujuan khusus yang hendak dicapai sesuai dengan
target yang diinginkan. Dengan adanya tujuan ini akan menumbuhkan sikap yang akan menjadi
pegangan guru dalam proses pembelajaran tersebut. Setiap proses pembelajaran di sekolah ada
tiga komponen penting yang terkait di dalamnya yaitu guru atau pengajar, peserta didik dan
materi pembelajaran.(Zamroni, 2001:3).
Guru memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar. Sebagai pendidik, dalam
proses belajar mengajar guru dituntut untuk menguasai berbagai macam model pembelajaran.
Dalam hal ini, guru harus bisa sejeli mungkin untuk menyesuaikan model pembelajaran dengan
karakteristik materi pelajaran dan arah tujuan yang hendak dicapai dari pokok bahasan materi

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

yang akan disampaikan. Sebab, penggunaan model pembelajaran yang tidak sesuai akan menjadi
kendala dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.
Peneliti tertarik untuk mengkaji pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), karena IPA
merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan untuk
pengembangan di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Sebagai ilmu yang mempelajari
alam semesta, IPA juga memberikan pelajaran yang baik kepada manusia untuk hidup selaras
berdasar hukum alam. Pembelajaran IPA yang akan diamati oleh peneliti pada penelitian ini
adalah pada tingkatan SD.
Hasil pra tindakan yang dilakukan oleh peneliti sebelum melaksanakan penelitian
didapatkan hasil belajar peserta didik masih sangat rendah, dimana dari Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) yang ditentukan oleh sekolah yaitu 65. Nilai rata-rata yang diperoleh peserta
didik sebesar 55.06. Dari 16 peserta didik Kelas IV SDI Ende 7 hanya 5 orang peserta didik yang
tuntas sedangkan 11 orang peserta didik belum tuntas dengan prosentase ketuntasan sebesar
31,25%.
Setelah diketahui penyebabnya, peneliti berupaya memperbaiki model pembelajaran
untuk meningkatkan hasil belajar dengan menerapkan model pembelajaran yang tepat dimana
peserta didik dituntut untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran bukan hanya menjadi
pendengar yang pasif dan peserta didik dituntut untuk mampu menerapkan pengetahuan yang
dimilikinya dalam kehidupan nyata. Sehingga peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul
“Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning Dalam Meningkatkan
Hasil Belajar Peserta Didik Pada Mata Pelajaran IPA Kelas IV SDI Ende 7 Kabupaten
Ende.
Penelitian ini bertujuan (1) Untuk mengetahui penerapan model pembelajaran CTL pada
pelajaran IPA materi memahami energi panas dalam kehidupan sehari-hari di kelas IV SDI Ende
7, (2) Untuk mengetahui perubahan hasil belajar IPA materi memahami energi panas dan cara
penggunaanya dalam kehidupan sehari-hari, setelah diterapkan model pembelajaran CTL di kelas
IV SDI Ende 7, Kabupaten Ende.
Model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata peserta
didik, dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan
peserta didik diperoleh dari usaha peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan
keterampilan baru ketika belajar.
METODE PENELITIAN

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


272
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Jenis Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang terfokus pada hasil
belajar peserta didik terhadap pembelajaran CTLpada peserta didik kelas 1V SDI Ende 7. Subyek
penelitian adalah peserta didik kelas IV SDK Ndona 2 semester2 tahun ajaran 2015/2016 dengan
jumlah peserta didik 16 orang yang terdiri dari laki-laki 10 orang dan perempuan 6 orang.
Penelitian ini juga melibatkan seorang guru sebagai mitra.
Penelitian ini dilakukan dalam 2 siklus, pada siklus 1 belum mencapai ketuntasan maka
dilanjutkan pada siklus berikutnya. Dimana dari setiap siklus terdiri atas 4 langkah yaitu
perencanaan (planning), melakukan tindakan (action), mengamati (observation), dan merefleksi
(reflektif).
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah wawancara dengan
membuat pedoman wawancara yang dibuat secara sistematis yang berisi sejumlah pertanyaan
yang akan ditanyakan secara lisan. Observasidilakukan dengan menyiapkan lembaran pedoman
pengamatan aktivitas guru dan lembaran pengamatan aktivitas peserta didik yang sesuai dengan
penerapan model pembelajaran CTL untuk meningkatkan hasil belajar.Dokumentasidilaksanakan
untuk mengumpulkan data menyangkut dengan letak geografis sekolah, data guru, data peserta
didik, sarana dan prasarana sekolah, dan tes digunakan untuk melihat hasil belajar peserta didik
sebelum dan sesudah pelaksaan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan soal-soal tes yang
disiapkan sesuai dengan materi ajar.
Analisis data yang dilakukan dengan melihat keterlaksanaan pembelajaran maupun
keaktifan belajar peserta didik dengan melihat nilai akhir setiap siswa dan nilai dari setiap siswa
akan di jumlahkan secara keseluruhan untuk melihat nilai rata-rata kelas pada setiap siklus.
Keberhasilan belajar siswa dapat dikategorikan ke beberapa kriteria yaitu sangat baik (85-100),
baik (75-84), cukup (65-74), kurang (50-64), dan sangat kurang (0-49). Dikatakan tuntas apabila
mencapai nila minimal 65.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan pelaksanaan observasi guru pada siklus I menunjukkan bahwa model
pembelajaran CTL kurang maksimal karena prosentase yang diperoleh 68%. Guru kurang
optimal mempersiapkan/merancang pembelajaran agar peserta didik dapat menemukan sendiri.
Pada siklus II kinerja guru telah diperbaiki. Guru bertindak secara maksimal dalam
mengkondisikan kelas dan mendorong peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran, sehingga
mencapai 93% lebih baik dari siklus I.
Sedangkan hasil pengamatan pelaksanaan observasi peserta didik pada siklus I dalam
penerapan model pembelajaran CTL ini masih banyak peserta didik yang kurang berkonsentrasi
terhadap materi sehingga kurang pemahaman terhadap materi, peserta didik kurang kritis dalam
mengajukan pertanyaan dan kurang berpartisipasi aktif dalam diskusi kelompok. Hal ini dapat

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


273
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

dilihat dari aktivitas peserta didik yang memperoleh prosentase 64% sehingga hal ini
mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Tetapi dari hasil observasi aktivitas peserta didik pada
siklus II diperoleh prosentase 94% peserta didik aktif dalam proses pembelajaran, Peserta didik
mampu mempresentasikan hasil diskusinya, sehingga dengan model pembelajaran CTL ini
peserta didik lebih aktif dan membuat peserta didik lebih bersemangat dalam proses
pembelajaran. Jadi model pembelajaran CTL berdampak pada hasil belajar peserta didik menjadi
meningkat.
Berikut ini akan di sajikan tabel dan grafik perbandingan hasil observasi aktivitas guru
dan aktivitas peserta didik siklus I dan siklus ke II.
Tabel 1
Perbandingan Hasil Observasi Aktivitas Guru dan Peserta Didik
Siklus I dan Siklus II
No Uraian Siklus I Siklus II
1 Aktivitas guru 68% 93%
2 Aktivitas peserta didik 64% 94%

Tabel di atas dapat digambarkan juga dalam bentuk grafik perbandingan hasil observasi
aktivitas guru dan peserta didik pada siklus I dan siklus II sebagai berikut ini:

100 93% 94%

80 68% 64%
60
siklus I
40
siklus II
20
0
aktivitas guru
aktivitas peserta didik

Gambar 1. Perbandingan hasil observasi aktivitas guru dan peserta didik


Siklus I dan Siklus II

Berdasarkan tabel dan grafik di atas diketahui bahwa aktivitas guru dan peserta didik di
siklus I berada pada kriteria cukup baik dan meningkat pada siklus II dengan kriteria sangat baik.
Hal ini berarti penerapan model pembelajaran CTL pada mata pelajaran IPA dengan materi
memahami energi panas dan penggunaanya dalam kehidupan sehari-hari berhasil dilaksanakan
dengan baik dalam proses pembelajaran yang melibatkan guru dan peserta didik Kelas IV SDK
Ndona 2.

Begitu pula hasil belajar siklus I terlihat diperoleh nilai rata-rata kelas yaitu 58 dengan
peserta didik yang tuntas sebanyak 8 orang dan tidak tuntas juga sebanyak 8 orang, mencapai
ketuntasan hanya 50%. Artinya hanya sebagian yang tuntas sesuai dengan KKM yaitu 65. Pada

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


274
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

perbaikan siklus II peserta didik mulai terbiasa menggunakan model pembelajaran CTL sehingga
hasil belajar peserta didik meningkat. Terlihat dari kenaikan nilai rata-rata kelas pada siklus II
yaitu 88,18 yang sudah mencapai KKM dengan peserta didik yang tuntas yaitu 16 peserta didik
artinya semua peserta didik kelas IV SDK Ndona 2 telah tuntas dalam pembelajaran IPA materi
memahami energi panas dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Prosentase dari
penilaian tes hasil belajar pada siklus II memperoleh 100%.

Hasil belajar secara terperinci dapat dilihat dalam tabel dan juga grafik perbandingan
hasil belajar peserta didik pada pra tindakan/kondisi awal, siklus I, dan siklus II sebagai berikut
ini.
Tabel 2
Perbandingan Hasil Belajar Peserta Didik Kelas IV SDI Ende 7Pada Kondisi Awal, Siklus I, dan
Siklus II
No Uraian Hasil belajar Prosentase
Tuntas Tidak Tuntas Ketuntasan
(%)
1 Kondisi awal 5 11 31,25
2 Siklus I 8 8 50
3 Siklus II 16 - 100

Tabel di atas juga dapat digambarkan dalam bentuk grafik perbandingan hasil belajar
peserta didik dari kondisi awal, siklus I dan siklus II.

Gambar 2: Perbandingan Hasil Belajar Peserta Didik Kelas IV SDI Ende 7


Pembahasan di atas menunjukkan bahwa model pembelajaran CTL dapat meningkatkan
hasil belajar peserta didik dan keaktifan dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik dapat
mencapai KKM dalam mata pelajaran IPA materi memahami energi panas dan cara
penggunaanya dalam kehidupan sehari-hari. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui
bahwa penelitian telah mengalami keberhasilan, dimana terjadi peningkatan hasil belajar peserta
didik Kelas IV SDK Ndona 2 setelah diterapkannya model pembelajaran CTL materi memahami
energi panas dan cara penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


275
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

DAFTAR PUSTAKA
Aqib, Zainal. 2013. Model-Model Media, dan Strategi Pembelajaran Kontektual (Inovatif).
Bandung. Yrama Widia.
Djaali, H. 2012. Psikologi Pendidikan. Jakarta . Bumi Aksara.
Elmubarok, Zaim. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung. Alfabeta.
Ekawarna, 2013. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta Selatan. Ciputat.
Oli, Alina. 2014. Penerapan Contextual Teaching and Learning Dalam Meningkatikan Prestasi
Belajar Ipa Dengan Materi Gaya Pada Peserta Didik Kelas IV SDI Lokoboko
Kecamatan Ndona Kabupaten Ende 2014. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Ende: Universitas
Flores.
Mulyasa, 2009. Implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan. Jakarta. Bumi aksara.
Muslich, Mansur. 2009. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta:
Bumi Aksara.
Rusman, 2012. Model-model Pembelajaran. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Sugiyanto, 2008. Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon.
Sudjana, Nana. 2009. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Usman, Moh. Uzer. 2011. Menjadi guru profesional. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Wokoal, H. M. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning Pada
Mata Pelajaran IPS Kenampakan Alam dalam Peningkatan Hasil Belajar Peserta
didik Kelas IV SDI Aerea Tahun Pelajaran 2013/2014. Skripsi. Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Ende:
Universitas Flores.
Zamroni. 2001. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: BIGRAF.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


276
PROSIDING

MP-38
KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU BAHASA INDONESIA KELAS IV SEKOLAH
DASAR KATOLIK DI KECAMATAN ENDE TENGAH KABUPATEN ENDE
Stefanus Tebajak Henakin1), Suharsimi Arikunto2)
Universitas Flores1), Universitas Negeri Yogyakarta2)
stefanushenakin@gmail.com 1), suharsimi@uny.ac.id 2)

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kompetensi pedagogik guru Bahasa
Indonesia kelas IV pada Sekolah Dasar Katolik Sekecamatan Ende Tengah Kabupaten Ende.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian dilakukan di Sekolah
Dasar Katolik Sekecamatan Ende Tengah pada tanggal 10 April sampai dengan 31 Mei 2013.
Subjek dalam penelitian ini adalah guru Bahasa Indonesia, kepala sekolah, dan siswa kelas IV.
Objek penelitian ini adalah kompetensi pedagogik guru mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Pengumpulan data menggunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis data
dilakukan secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi
pedagogik guru Bahasa Indonesia kelas IV pada sekolah dasar katolik di kecamatan Ende Tengah
tergolong baik.
Kata kunci: guru, kompetensi pedagogic

PENDAHULUAN

Tujuan pembangunan nasional dalam bidang pendidikan seperti yang tertera pada
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selanjutnya, dalam UU No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3
ditekankan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.

Salah satu komponen yang berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah guru.
Keberadaan guru yang berkompeten akan dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang
menyenangkan, sehingga dapat mendorong berkembangnya berbagai potensi peserta didik. Guru
merupakan kunci keberhasilan sebuah lembaga pendidikan. Baik atau buruknya perilaku atau
cara mengajar guru akan sangat mempengaruhi citra lembaga pendidikan. Oleh karena itu,
seorang guru dituntut memiliki kemampuan untuk dapat merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi pembelajaran dengan tetap mengacu pada materi maupun cakupan mata pelajaran
yang sudah distrukturkan dalam kurikulum.

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam pendidikan formal.
Pada umumnya guru sering dijadikan sebagai tokoh teladan bagi peserta didiknya. Oleh karena
itu, guru seyogyanya memiliki perilaku dan kompetensi yang memadai untuk mengembangkan
peserta didik secara utuh. Dalam melaksanakan tugasnya, guru perlu menguasai setiap
kompetensi keguruannya yakni kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi
social, dan kompetensi kepribadian. Keempat kompetensi ini mutlak diperlukan oleh setiap guru
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional.

Guru dalam proses belajar harus memiliki kompetensi tersendiri guna mencapai harapan
yang dicita-citakan dalam melaksanakan pendidikan pada umumnya dan proses pembelajaran
pada khususnya. Untuk itu dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, guru semestinya harus
dapat membina dan mengembangkan kemampuan peserta didik secara profesional dalam setiap
proses pembelajaran. Dalam membina kemampuan peserta didik, seorang guru harus memiliki
kompetensi tersendiri. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yakni kompetensi
pedagogik, kompetensi profesional kompetensi personal, dan kompetensi sosial. Namun dari
keempat kompetensi ini yang menjadi sorotan penulis dalam penulisan ini adalah kompetensi
pedagogik karena kompetensi ini merupakan jenis kompetensi yang sangat melekat pada diri
seorang guru dan memiliki daya pengaruh yang sangat besar terhadap keberlangsungan proses
pendidikan.

Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan


pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Berdasarkan pengelompokkan
kompetensi pedagogik ini, maka seorang guru memiliki tugas yang sangat berat. Realita
membuktikan bahwa dalam menjalankan tugas itu tidak semua guru dapat menjalankan tugas
pengajaran dengan baik sehingga dapat meningkatkan daya serap siswa.Oleh karena itu, sangat
diperlukan adanya supervisi yang bertujuan untuk lebih meningkatkan kompetensi pedagogik
guru. Peraturan Menteri No.16 Tahun 2007, menetapkan standar kualifikasi akademik dan
kompetensi guru bahwa guru pada SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki
kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S-1) dalam
bidang pendidikan SD/MI (D-IV/S-1 PGSD/PGMI) atau psikologi yang diperoleh dari program
studi yang terakreditasi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan


Nasional Pasal 42 Ayat (1) menyebutkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum
dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


278
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen Bab
III Pasal 7 Ayat 1 menyebutkan bahwa profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang
pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tertentu.

Guru yang kompeten harus mampu mengelola program pembelajaran yakni menganalisis
materi pelajaran, membuat program tahunan, program semester, membuat satuan pelajaran,
rencana pembelajaran, termasuk mempersiapkan evaluasi. Di dalam mengelola program
pembelajaran, guru dituntut juga menguasai pendekatan sistem mengajar, dasar-dasar pengajaran,
metode mengajar, dan mampu merancang penggunaan fasilitas atau media pembelajaran.
Idealnya setiap guru mampu membuat program pembelajaran dan menguasai secara mendalam,
disesuaikan dengan kemampuan siswa, kurikulum, sarana dan prasarana yang ada di sekolahnya.
Apabila guru mampu mengelola program pembelajaran secara baik, pada akhirnya diharapkan
akan menjadikan siswa berpartisipasi aktif dengan penuh motivasi dalam mengikuti proses
pembelajaran yang berimbas pada tercapainya tujuan pembelajaran.

Guru adalah pendidik yang mengemban tugas sebagaimana dinyatakan dalam


Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 39 Ayat (1)
Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan,
pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.
Ayat (2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada
perguruan tinggi.

Mulyasa (2011, p.216) mengatakan bahwa, “mutu pendidikan sebagai salah satu pilar
pengembangan sumber daya manusia sangat penting maknanya bagi pembangunan nasional.”
Masa depan suatu bangsa sangat terletak pada keberadaan pendidikan yang berkualitas pada masa
kini. Pendidikan yang berkualitas hanya akan muncul apabila terdapat lembaga pendidikan yang
berkualitas. Oleh karena itu, upaya peningkatan mutu pendidikan merupakan titik strategi dalam
upaya menciptakan pendidikan yang berkualitas. Berbagai usaha telah dilakukan untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal,
peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pengajaran, sertifikasi
guru, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu
manajemen sekolah. Namun tampaknya segala usaha tersebut belum menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Masyarakat masih membicarakan output atau lulusan sekolah belum bermutu,
malah dari segi moral tampak kian merosot. Kejujuran sangat kurang, sopan santun tidak ada,
kurang disiplin, kurang bertanggung jawab, rasa malu sangat kurang, penyelewengan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


279
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

dimana-mana, sampai negara kita termasuk salah satu negara terkorup di dunia dan sebagainya.
Ini semua adalah produk outcome yang diperoleh selama sekolah. Padahal dunia pendidikan
merupakan sarana yang sangat diharapkan membangun generasi muda yang diidam-idamkan.

Fattah dalam Engkoswara dan Komariah (2010, p.313) memfokuskan pada tiga faktor
untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu: (1) kecukupan sumber-sumber pendidikan dalam
arti mutu tenaga kependidikan, biaya, dan sarana belajar; (2) mutu proses belajar yang mendorong
siswa belajar efektif; dan (3) mutu keluaran dalam bentuk pengetahuan, sikap, keterampilan, dan
nilai-nilai.

Guru yang berkompeten akan dapat mengarahkan sasaran pendidikan membangun


generasi muda menjadi suatu generasi bangsa penuh harapan. Di samping itu, masih terdapat guru
yang belum memenuhi standar minimal akademik sebagai tenaga pendidik yakni Diploma
IV/Strata 1, meskipun para guru sudah memiliki pengalaman mengajar yang cukup lama.
Seharusnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
para guru sebagai tenaga pendidik dituntut untuk memenuhi standar minimal akademik.

Mengenai perencanaan pembelajaran, dalam penyusunan silabus dan RPP ternyata masih
banyak guru yang belum menyusun sendiri dan mengembangkan sendiri silabus sesuai kondisi di
daerahnya, para guru terpaku dengan contoh-contoh silabus yang sudah ada dari penerbit beserta
buku paket. Dunia pendidikan digunakan sebagai ajang promosi, beberapa daerah berusaha
meningkatkan mutu pendidikan melalui tingkat kelulusan 100% yang dilakukan dengan berbagai
cara. Beberapa cara yang tidak terpuji adalah sedikit melonggarkan pengawasan dalam ujian, jika
perlu guru membantu membuat jawaban kemudian dibagikan kepada siswa yang sedang diuji.

Kemampuan seorang guru tidak hanya membuat program pembelajaran dan menyiapkan
seperangkat persiapan administrasi untuk proses pembelajaran tetapi yang lebih utama adalah
bagaimana mengaplikasikan program pembelajaran itu dalam proses pembelajaran di dalam
kelas. Kelas sebagai suatu kelompok belajar hendaknya berkembang menjadi kelompok yang
penuh interaksi, gairah kerja sama, bersemangat dalam rangka mempelajari dan mengembangkan
pengetahuan dan ilmu. Keberadaan kelas yang pasif dimana siswa hanya duduk, dengar, catat
tentu tidak diharapkan. Guru tidak hanya bertugas sebagai orang yang menyampaikan ilmu
pengetahuan, lebih dari itu guru yang profesional harus mampu mengelola kelas, sehingga
tercapai suasana kelas yang kondusif untuk belajar sebaik mungkin. Di dalam pengelolaan kelas
ini diperlukan pula kemampuan guru dalam memanfaatkan sarana/prasarana yang ada seperti
pemanfaatan media dan alat peraga, serta penggunaan pendekatan dan metode mengajar yang
bervariasi.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


280
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Sebagai pengelola kelas, guru bertanggung jawab terhadap lingkungan fisik kelasnya agar
senantiasa menyenangkan untuk belajar, mengarahkan, membimbing proses interaksi belajar
dalam kelasnya. Kondisi kelas yang monoton, setiap hari guru hanya ceramah saja tentu akan
membosankan, siswa tidak terdorong untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya secara
optimal. Bahkan guru hanya masuk kelas kemudian menyerahkan catatan kepada siswa untuk
dicatat, sementara itu guru hanya pasif atau justru keluar kelas untuk urusan sesuatu, tentu ini
bukan suatu cara yang baik dalam proses pembelajaran. Sayang sekali hal seperti ini masih saja
terjadi.

Realita menunjukkan bahwa profesi yang diperankan oleh guru selama ini tergolong masih
rendah, sebagian guru belum menjalankan tugasnya secara maksimal. Kepala sekolah sendiri pun
belum mampu melaksanakan tugas kontrolnya secara baik dalam melakukan supervisi terhadap
kinerja gurunya. Sementara itu, guru sendiripun belum melaksanakan tugasnya secara baik,
dalam hal ini melaksanakan keempat kompetensi keguruannya secara baik dan penuh tanggung
jawab. Kendati ada empat kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh seorang guru, namun dalam
penelitian ini penulis hanya membatasi kajian pada kompetensi pedagogik guru, khususnya guru
mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan pendidikan yang dihadapi,


pemerintah telah berupaya untuk melakukan reformasi total pada bidang pendidikan. Misalnya
dengan melakukan perubahan kurikulum dengan maksud dapat meningkatkan mutu pendidikan
di Indonesia. Pada tahun 2013 pemerintah melakukan uji coba terhadap kurikulum baru sebagai
pengganti kurikulum sebelumnya yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kendati
demikian, reformasi yang dilakukan pun tidak dapat mengatasi persoalan-persoalan dimaksud.
Kenyataan ini erat kaitannya dengan sinyalemen bahwa masih banyak indikator bawaan yang
menjadi pemicu rendahnya mutu pendidikan yakni guru sebagai motor penggerak utama jalannya
proses pendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar guru belum menyadari dan
belum mampu melaksanakan tugasnya secara baik. Kompetensi yang seharusnya melekat pada
dirinya pun belum sepenuhnya dimiliki dan diterapkan dalam melaksanakan tugas pokoknya
yaitu mendidik dan membelajarkan peserta didiknya.

Perkembangan hasil Ujian Nasional (UN) setiap tahunnya khususnya di kabupaten Ende
beberapa tahun terakhir selalu mengalami kemerosotan. Hal ini berimbas pada Bupati Ende
dalam berbagai kesempatan selalu menyeruhkan agar setiap satuan pendidikan berusaha untuk
meningkatkan mutu pendidikan secara bertahap. Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan oleh
pemerintah kabupaten Ende melalui berbagai pembenahan dan program-program peningkatan
mutu. Keprihatinan ini sebenarnya sangat beralasan karena dengan berlakunya program

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


281
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

sertifikasi guru seharusnya berimplikasi pada lahirnya inovasi-inovasi pembelajaran dan upaya
peningkatan kualitas pendidikan dengan menerapkan model-model pembelajaran yang bersifat
inovatif agar mampu meningkatkan kompetensi peserta didik yang seharusnya dicapai melalui
setiap pelaksanaan kegiatan pembelajaran.

Bertolak dari uraian tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
kompetensi pedagogik guru bahasa Indonesia kelas IV SDK sekecamatan Ende Tengah. Hal ini
pun didukung dengan penelitian relevan yang dilakukan oleh Padmadewi (2005), Hastuti (2005),
Dasrizal (2009), Yazid dan Cepi (2013), dan Nurmin dan Kartowagiran (2013) yang
menyimpulkan bahwa keterlibatan seluruh komponen pendidikan (kepala sekolah, guru, komite
sekolah, dewan pendidikan, dan institusi) dalam perencanaan dan realisasi program pendidikan
yang diluncurkan sangat dibutuhkan dalam rangka mengefektifkan pencapaian tujuan.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian ini terfokus pada
upaya mengungkap kompetensi pedagogik guru Bahasa Indonesia kelas IV Sekolah Dasar
Katolik di Kecamatan Ende Tengah.Penelitian ini dilakukan pada Sekolah Dasar Katolik di
wilayah Kecamatan Ende Tengah Kabupaten Ende. Penelitian ini dilaksanakan dalam waktu satu
bulan terhitung mulai dari tanggal 10 April sampai dengan 31 Mei 2013. Subjek dalam penelitian
ini adalah guru, kepala sekolah, dan siswa Sekolah Dasar Katolik di Kecamatan Ende Tengah
kabupaten Ende. Objek dalam penelitian ini adalah kompetensi pedagogik guru mata pelajaran
bahasa Indonesia sekolah dasar.

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara,


observasi, dan dokumentasi. Bertolak dari metode penelitian yang digunakan, maka data entang
kompetensi guru dikumpulkan dengan menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi.
Data dimaksud diperoleh dari guru pada setiap Sekolah Dasar Katolik (SDK) yang menjadi objek
penelitian. Wawancara yang dilakukan adalah berupa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan
dengan tingkat kompetensi guru SDK dalam menguasai materi pembelajaran, kemampuan guru
SDK dalam membuat perangkat pembelajaran, kemampuan guru SDK dalam menerapkan
inovasi model pembelajaran, kemampuan guru SDK dalam mengelola proses pembelajaran,
kemampuan guru SDK dalam membuat tes evaluasi kegiatan pembelajaran, dan kemampuan
guru SDK dalam menerapkan program remedial. Observasi dan dokumentasi dilakukan untuk
mengetahui secara lebih pasti kebenaran jawaban hasil wawancara. Artinya hasil observasi dan
dokumentasi akan dikonfirmasikan dengan jawaban responden melalui wawancara.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


282
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Berkenaan dengan aspek kompetensi pedagogik meliputi penguasaan karakteristik peserta


didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual; penguasaan kemampuan
guru dalam mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu;
kemampuan guru dalam menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik;kemampuan guru
dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran;
kemampuan guru dalam memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki; kemampuan guru dalam berkomunikasi
secara efektif, simpatik, dan santun dengan peserta didik; kemampuan guru dalam
menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar; kemampuan guru dalam
memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran; kemampuan guru
dalam melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.

Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Untuk memperoleh hasil penelitian yang baik dan mendekati kebenaran, maka
data-data yang diambil adalah benar-benar data yang bersumber dari sekolah yaitu kepala sekolah
dan guru. Selain itu data tambahan (pendukung) lainnya juga diperoleh dari Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga dengan sepengetahuan pejabat yang berwenang. Hasil penelitian yang
diperoleh melalui wawancara dan observasi dianalisis dengan teknik deskriptif kualitatif. Teknik
analisis deskriptif secara kualitatif yaitu dengan cara mendeskripsikan data hasil penelitian
dengan menggunakan kalimat atau kata-kata verbal. Secara keseluruhan, data tersebut dianalisis
dengan teknik analisis deskriptif kualitatif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil yang dianalisis deskriptif adalah data wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data
hasil penelitian dapat terlihat dalam tabel triangulasi data penelitian.

Kemampuan Guru dalam Memahami Karakter Peserta Didik

Kompetensi Hasil Penelitian

Kemampuan guru dalam Guru mampu memahami karakteristik


menguasai karakteristik peserta didik
peserta didik

Berdasarkan penuturan dari beberapa responden tersebut, menunjukkan tingginya


kemampuan mereka dalam memahami karakteristik peserta didik. Kenyataan bahwa peserta didik
terdiri dari anak-anak yang berbeda-beda karakteristiknya menyebabkan perlunya penerapan
metode pembelajaran tertentu yang memungkinkan semua siswa terlayani proses belajarnya.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


283
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Dengan memahami karakteristik siswa, guru mampu mengidentifikasi kesulitan belajar yang
dihadapi para siswanya.

Dari data-data terpapar tersebut, dapat diketahui terdapatnya kemampuan guru-guru di


SDK sekecamatan Ende Tengah dalam memahami karakteristik siswa.Pemahaman karakteristik
siswa sangat penting dalam rangka mengidentifikasi kesulitan belajar yang dihadapi
siswa.Adapun faktor-faktor yang memunculkan kesulitan belajar siswa bisa berasal dari dalam
diri siswa sendiri misalnya kepribadian siswa, bisa juga berasal dari luar misalnya, keterbatasan
fasilitas. Dengan teridentifikasi siswa, ini merupakan langkah tepat bagi guru agar metode
pembelajaran yang akan digunakan dapat ditentukan dengan tepat yaitu yang mampu
memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan kepada siswa secara keseluruhan.

Pengetahuan mengenai karakteristik peserta didik menjadi bekal bagi guru dalam
mengelola pembelajaran. Karakter peserta didik meliputi: ciri-ciri anak didik dalam memikul
tanggung jawab, disiplin, kesulitan dalam belajar, sikap mental, kemampuan belajar, dan latar
belakang keluarga. Berbagai ciri tersebut dapat menjadi masukkan bagi guru dalam
menyampaikan pelajaran di kelas.

Ada berbagai cara yang dilakukan para guru dalam mengenali karakteristik peserta didik,
misalnya dengan melihat langsung cara belajar siswa, melakukan pendekatan kepada orang tua
atau mengamati perilaku anak didik selama berada di sekolah. Kegiatan menganalisis perilaku
awal peserta didik dalam pembelajaran merupakan pendekatan yang menerima peserta didik apa
adanya dan menyusun sistem pembelajaran yang sesuai dengan karaktersitik peserta didik.
Kegiatan menganalisis perilaku awal peserta didik merupakan proses untuk mengetahui perilaku
yang dikuasai peserta didik sebelum mengikuti pembelajaran. Konsekuensi dari digunakannya
cara ini adalah: kegiatan pembelajaran berpijak pada perilaku awal peserta didik. Dalam hal ini,
guru-guru bahasa Indonesia di SDK Sekecamatan Ende telah mampu mengenali karakteristik
peserta didiknya.

Kemampuan Guru dalam Mengembangkan Kurikulum

Kompetensi Hasil Penelitian

Kemampuan guru dalam Guru mampu mengembangkan kurikulum


mengembangkan kurikulum

Pengembangan kurikulum ada yang dilakukan dengan studi tour ke sungai atau melihat
pemandangan alam.Pengembangan kurikulum dilakukan dengan memilih materi
pelajaran.Materi disesuaikan dengan pengalaman yang dialami, baik pengalaman guru ataupun
pengalaman siswa sehari-hari.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


284
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Pengembangan kurikulum juga dilakukan dengan memperhatikan pengalaman belajar dan


selalu mengaitkannya dengan pengalaman siswa itu sendiri, menggunakan metode diskusi dan
juga bisa langsung ke lapangan. Guru mengembangkan kurikulum menggunakan pengalaman
siswa dilihat dengan situasi dan kondisi sekolah. Dalam mengembangkan kurikulum, tujuan
pembelajaran sudah diprogramkan.Pengalaman belajar disesuaikan dengan kemampuan siswa.
Guru mengembangkan kurikulum, menyusun RPP, menentukan pengalaman belajar, memilih
materi yang sesuai dengan pengalaman sehari-hari. Dalam mengembangkan kurikulum, guru
menyesuaikannya dengan pedoman yang ada. Materi pelajaran itu biasanya saya sesuaikan
dengan silabusnya dan juga kondisi anak itu sendiri. Dalam pembelajaran di kelas, guru juga
menggunakan metode-metode lainnya seperti metode tanya jawab dan metode diskusi.

Pengembangan kurikulum sangat penting sebagai bagian dari penjabaran kurikulum ke


dalam kegiatan pembelajaran. Guru-guru bahasa Indonesia dalam mengembangkan kurikulum
memperhatikan pengalaman belajar dan kemampuan siswa sehingga silabus yang ada dapat
diterapkan dalam kegiatan pembelajaran.

Cakupan pengembangan kurikulum pada dasarnya lebih luas lagi, bukan hanya
menjabarkan materi atau bahan ajar, tetapi juga mencari atau menemukan sumber belajar dan
bahan ajar lain yang sesuai dengan kebutuhan anak didik.Pengembangan kurikulum ini kemudian
dikembangkan lebih operasional oleh masing-masing satuan pendidikan ke dalam silabus. Oleh
masing-masing guru, silabus ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk RPP.
Berdasarkan pendidikan berbasis kompetensi yang menjadi dasar pengembangan kurikulum di
tingkat nasional, pengembangan bahan ajar perlu dikembangkan berdasarkan standar kompetensi
yang ditetapkan.

Pengembangan bahan ajar dilakukan secara bertingkat mulai dari pengembangan di


tingkat nasional, pengembangan di tingkat lembaga pendidikan, pengembangan di tingkat bidang
studi yang diwujudkan dalam bentuk penyusunan silabus, dan pengembangan di tingkat satuan
bahasan atau modul. Pada tingkat satuan bahasan, guru memegang peran utama dalam
pengembangan bahan ajar. Pada tingkat satuan bahasan, pengembangan bahan ajar dapat
dilakukan dengan mengikuti enam tahapan, yakni: (1) identifikasi, berisi kebutuhan-kebutuhan
yang akan dipenuhi baik bagi guru atau murid ataupun merupakan masalah-masalah yang harus
diselesaikan melalui pembuatan materi pelajaran; (2) eksplorasi berisi lingkup kebutuhan atau
masalah yang berkenaan dengan materi dengan cara mencari model yang lebih mudah
menyelesaikan masalah yang telah teridentifikasi; (3) realisasi kontekstual berisi usulan-usulan
materi pelajaran yang baru yang akan dibuat karena adanya penemuan ide-ide yang lebih cocok,
lebih kontekstual; (4) realisasi pedagogis menyangkut pembahasan latihan-latihan materi

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


285
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pelajaran dan aktivitas pembelajarannya secara tepat dan penulisan petunjuk kegiatannya mudah
dimengerti atau tepat; (5) produksi dalam memproduksi materi pelajaran perlu
mempertimbangkan layout, ukuran kertas, visual, dan sebagainya; (6) penggunaan materi (uji
coba). Materi pelajaran yang sudah cetak diujicobakan kepada siswa; dan (7) evaluasi. Dari
proses uji coba materi dilakukan evaluasi untuk penyempurnaan. Dilakukan analisis
permasalahan menuju ke tahapan-tahapan sebelumnya sesuai dengan jenis permasalahannya.

Kemampuan guru SDK di Kecamatan Ende Tengah dalam mengembangkan kurikulum


baru terbatas pada pemilihan materi pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik peserta
didik.

Kemampuan Guru dalam Menyelenggarakan Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Mendidik

Kompetensi Hasil Penelitian

Kemampuan guru dalam Guru mampu menyelenggarakan pembelajaran


menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik

Kemampuan guru untuk menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik sudah


diprogramkan oleh pemerintah. Kurikulum yang diberlakukan di lembaga pendidikan formal di
kecamatan Ende Tengah telah memuat materi-materi tertentu yang penting bagi pembentukan
karakter anak. Sebagai guru semestinya mampu menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik,
sehingga karakter dan intelektualitas siswa semakin baik atau berkualitas.

Pembelajaran karakter anak terintegrasi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Ini lebih
menyenangkan karena anak tidak semata-mata dinasehati secara langsung oleh guru. Meskipun
pada akhirnya, guru harus menjelaskan karakter yang dipesankan dalam pantun, tetapi bagi anak
hal itu dipandang sebagai cara guru membelajari siswa dalam mengartikan atau menjabarkan isi
pantun, sehingga anak lebih serius mendengarkan dan karakter positif yang dipesankan lebih
mudah meresap dalam jiwa peserta didik dan pada gilirannya lebih mudah diterapkan dalam
kehidupan sehari hari.

Pembelajaran Bahasa Indonesia membutuhkan persiapan yang baik agar pelaksanaan


pembelajaran dapat berjalan efektif dan efisien. Kemampuan guru tampak dari kemampuan guru
dalam menyusun RPP, melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP. Berdasarkan hasil
wawancara dengan guru SDK di Kecamatan Ende Tengah, diketahui para guru telah menyusun
RPP dengan baik. RPP yang baik adalah RPP yang sesuai dengan karakteristik anak didik.

Metode pembelajaran yang pasti digunakan adalah ceramah dan diskusi serta penugasan.
Metode-metode ini dipandang lebih mudah dan praktis karena siswa tidak dibebani dengan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


286
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

aktivitas lain kecuali menyimak, mencatat, bertanya, serta menjawab atau memberi komentar
tentang materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Namun demikian, guru bahasa
Indonesia juga mengenalkan kepada siswa dengan berbagai metode pembelajaran lain, di
antaranya CTL (contextual teaching and learning), pembelajaran berkelompok, dan diskusi.

Kemampuan guru dalam menyusun rencana pembelajaran tidak hanya dilihat dari
dokumen RPP, tetapi juga dalam menguasai materi bahasa Indonesia, serta kesiapan guru dalam
menyiapkan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik para siswa dilihat dari aspek
intelektual, sosial emosional, moral, spiritual maupun latar belakang sosial budayanya. Dalam hal
ini, guru bahasa Indonesia merasa sangat mengenal potensi serta kesulitan belajar yang
dialamipeserta didiknya.

Kemampuan Guru dalam Memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi

Kompetensi Hasil Penelitian

Kemampuan guru dalam memanfaatkan Guru kurang berkompeten dalam memanfaatkan


tekonologi informasi dan komunikasi teknologi informasi dan komunkiasi

Guru dalam kegiatan pembelajaran juga memanfaatkan teknologi informasi. Guru


menggunakan alat-alat teknologi seperti LCD. Ada pula guru menggunakan handpone karena
kebetulan ada materi tentang bertelpon, menggunakan surat kabar, majalah atau koran. Guru
menggunakan media koran, surat kabar, majalah, handpon dalam kegiatan pembelajaran.
Sekolah belum menggunakan komputer dan internet.

Pemanfaatan teknologi informasi dalam pembelajaran semakin dibutuhkan.Teknologi


informasi menjadikan pembelajaran berlangsung lebih efektif dan efisien. Pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi ini relatif sangat kurang. Memang sudah ada sarananya seperti LCD,
namun sekolah belum menggunakan komputer atau internet. Keterbatasan sarana teknologi dan
komunikasi di SDK sekecamatan Ende Tengah membuktikan bahwa guru tidak terbiasa dengan
teknologi ini.

Kemampuan Guru dalam Memfasilitasi Pengembangan Potensi Peserta Didik

Kompetensi Hasil Penelitian

Kemampuan guru dalam memfasilitasi Guru kurang mampu memberi motivasi dan
pengembangan potensi peserta didik merangsang siswa berpikir kritis

Guru mampu mengembangkan potensi anak didik. Beberapa cara yang dilakukan yaitu
dengan memotivasi siswa tentang tujuan ke sekolah untuk belajar. Selama pembelajaran, agar

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


287
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

tidak bosan maka guru mencegahnya dengan mengajak anak bernyanyi. Anak juga lebih banyak
melibatkan mereka dalam belajar. Guru mengupayakan agar pembelajaran tidak monoton.

Potensi anak didik lebih berkembang ketika anak banyak dilibatkan dalam kegiatan
pembelajaran. Misalnya, dengan diskusi kelompok, memancing anak dengan
pertanyaan-pertanyaan. Guru mengamati jalannya pembelajaran, apabila mulai jenuh guru
menyuruh anak didik untuk berdiri dan melakukan gerakan-gerakan motorik dan juga melakukan
permainan-permainan sederhana, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan ataupun
pernyataan-pernyataan mendorong anak agar lebih kritis dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.

Pengembangan potensi anak didik merupakan maksud dijalankannya proses pembelajaran.


Pembelajaran hendaknya lebih diarahkan kepada proses belajar kreatif dengan menggunakan
proses berpikir divergen (proses berpikir ke macam-macam arah dan menghasilkan banyak
alternatif penyelesaian) maupun proses berpikir konvergen (proses berpikir mencari jawaban
tunggal yang paling tepat). Dalam konteks ini guru berperan sebagai fasilitator dari pada
pengarah yang menentukan segala-galanya bagi peserta didik.Sebagai fasilitator guru lebih
banyak mendorong peserta didik (motivator) untuk mengembangkan inisiatif dalam menjajagi
tugas-tugas baru.

Pembelajaran dengan melibatkan anak didik agar aktif dalam kegiatan pembelajaran telah
dijalankan di SDK sekecamatan Ende Tengah.Cara yang sering dilakukan agar peserta didik
terlibat aktif yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan ataupun
pernyataan-pernyataan yang mendorong anak agar lebih kritis.

Kemampuan Guru Berkomunikasi Secara Efektif, Simpatik, dan Santun dengan Peserta Didik

Kompetensi Hasil Penelitian

Kemampuan guru dalam Guru berkompeten memberikan pendidikan


berkomunikasi dengan peserta didik nilai/karakter

Guru mampu berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
Guru menyapa anak didik dengan bahasa yang santun “Selamat Pagi” bertanya bagaimana kabar
hari ini. Guru tidak menggunakan kata-kata kasar atau kotor seperti membentak dan makian,
berbicara santun dan selalu menggunakan bahasa yang sederhana yang mudah mereka pahami.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa guru mampu berkomunikasi secara efektif,


empatik, dan santun dengan peserta didik. Dalam kesehariannya di sekolah, guru selalu menyapa
anak didik dengan bahasa yang santun “Selamat Pagi” dan bertanya bagaimana kabar hari ini.
Dalam berkomunikasi dengan anak didiknya, guru tidak pernah menggunakan kata-kata kasar

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


288
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

atau yang bersifat kotor seperti membentak dan makian. Guru selalu berbicara dengan santun dan
menggunakan bahasa sederhana yang mudah mereka pahami. Kemampuan berkomunikasi
merupakan salah satu kompetensi pedagogik yang harus dimiliki oleh seorang guru.Kompetensi
ini menghendaki penguasaan berbagai strategi berkomunikasi dalam melaksanakan berbagai
kegiatan pembelajaran yang dapat mendorong peserta didik menampilkan prestasi maksimalnya.

Kemampuan Guru dalam Penyelenggaraan Penilaian dan Evaluasi Bahasa Indonesia

Kompetensi Hasil Penelitian

Kemampuan guru dalam Guru mampu melakukan penilaian dan


menyelenggarakan penilaian dan evaluasi evaluasi

Pada umumnya guru Bahasa Indonesia di SDK sekecamatan Ende Tengah mampu
melakukan penilaian dan evaluasi, mulai dari penyiapan format penilaian sampai pada
pemanfaatan hasil penilaian tersebut, berikut tindak lanjutnya dalam rangka secara terus-menerus
meningkatkan kualitas pendidikan maupun mutu siswa.

Penilaian dan evaluasi merupakan bagian penting dalam pembelajaran. Penilaian dan
evaluasi berfungsi memberikan informasi tentang kemajuan yang berhasil dicapai oleh peserta
didik, sekaligus memberikan informasi tentang kualitas proses pembelajaran. Dengan adanya
evaluasi, guru dapat melakukan pembenahan (perbaikan) terhadap proses pembelajaran agar hasil
belajar menjadi lebih baik lagi. Aspek yang dinilai dalam pembelajaran Bahasa Indonesia
meliputi keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.Semua aspek dilakukan
evaluasi secara berbeda-beda karena wujud keterampilan yang tampak juga berbeda.

Banyak guru yang tidak mampu menyusun soal penilaian.Guru-guru lebih senang
mengambil soal dari buku-buku soal yang sudah ada.Hal ini menjadikan ketergantungan guru
terhadap soal. Guru menjadi kurang kreatif dalam melakukan penilaian. Penilaian hanya
difungsikan untuk melihat hasil belajar, bukan pada proses belajarnya.

Kemampuan Guru Memanfaatkan Hasil Penilaian dan Evaluasi untuk Kepentingan Pembelajaran

Kompetensi Hasil Penelitian

Kemampuan guru dalam memanfaatkan Guru mampu memanfaatkan hasil penilaian dan
hasil penilaian dan evaluasi evaluasi

Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, guru diharapkan pula agar mampu


memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi secara baik. Berkenaan dengan itu, peneliti dapat
menggambarkan kemampuan guru bahasa Indonesia di Sekolah Dasar Katolik Sekecamatan Ende
Tengah sesuai dengan hasil wawancara sebagai berikut:

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


289
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Para guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar katolik Sekecamatan Ende
Tengah mampu menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi secara baik.Siswa yang
belum tuntas diberikan remedial. Hasil evaluasi juga memberikan informasi tentang gaya belajar
siswa. Apabila gayanya tidak tepat, guru membantu merubah gaya atau metode yang
digunakannya dalam mengajar. Sedangkan siswa yang belum tuntas KKM diberikan remedial
dan pengayaan. Informasi hasil penilaian dan evaluasi untuk memperbaiki metode-metode yang
belum sesuai dalam pembelajaran.

Hasil evaluasi dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan-perbaikan atau remedial karena


hasil evealuasi memberikan informasi tentang proses pembelajaran, kemampuan belajar, dan
hasil belajar. Guru-guru di SDK Ende Tengah menjadikan hasil evaluasi sebagai masukan untuk
memperbaiki metode mengajar dan mengetahui siswa-siswa yang belum mencapai nilai KKM.

Kemampuan Guru Melakukan Tindakan Reflektif untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran

Kompetensi Hasil Penelitian

Kemampuan guru dalam melakukan tindakan Guru mampu melakukan refleksi untuk
reflektif perbaikan

Guru melakukan tindakan reflektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Cara yang
dilakukan di antaranya yaitu dengan bertanya kepada teman-teman sejawat, sharing dengan
kepala sekolah, dikemukakan dalam rapat-rapat sekolah. Refleksi juga dilakukan dengan
meningkatkan pembelajaran dengan cara melakukan PTK. Melalui PTK, guru mencoba
menggunakan metode/pendekatan baru, misalnya pendekatan ‘kontekstual’.

Refleksi ada yang dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran atau bahkan setelah
pelaksanaan remedial. Melalui refleksi, guru dapat menemukan kendala-kendala, di antaranya
yaitu siswa dalam penggunaan bahasa belum lancar, kemampuan (kompetensi) siswa yang
rendah, dan fasilitas yang kurang memadai.Kendala bahasa yang masih dipengaruhi oleh bahasa
daerah, kendala media dan alat peraga yang belum memadai.Refleksi juga menghasilkan
keputusan guru untuk memberikan penguatan, memberikan tugas lanjut (PR), menggantikan
metodenya dan membenahi media pembelajaran.

Kemampuan reflektif merupakan kemampuan guru untuk merenungkan kembali atau


melakukan introspeksi diri guna mendapatkan informasi tentang apa yang kurang atau yang
sebaiknya dilakukan guna meningkatkan kualitas pembelajaran. Cara yang dilakukan di
antaranya yaitu dengan bertanya kepada teman-teman sejawat, sharing dengan kepala sekolah,
mengekemukakan pengalaman-pengalaman (kendala-kendala) yang dialami dalam rapat-rapat
sekolah. Refleksi juga dilakukan dengan meningkatkan pembelajaran dengan cara melakukan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


290
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

PTK. Refleksi ada yang dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran atau bahkan setelah
pelaksanaan remedial.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat dikemukakan bahwa guru
mampu menguasai kompetensi pedagogik secara baik. Kompetensi pedagogik yang telah
dikuasai oleh guru meliputi kemampuan guru dalam menguasai karakteristik peserta didik,
kemampuan guru dalam mengembangkan kurikulum, kemampuan guru dalam
menyelenggarakan pembelajaran, kemampuan guru dalam memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi, kemampuan guru dalam memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik,
kemampuan guru dalam berkomunikasi secara efektif, simpatik, dan santun dengan peserta didik,
kemampuan guru dalam menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar,
kemampuan guru dalam memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi, dan kemampuan guru dalam
melakukan tindakan reflektif.

Saran

Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa saran, yaitu:
apabila guru Bahasa Indonesia sekolah dasar ingin meningkatkan kompetensi pedagogik, maka
disarankan guru sebaiknya dapat meningkatkan pemahamannya tentang kompetensi yang mesti
dimilikinya dan membangun kerja sama yang harmonis dengan berbagai komponen yang
berkompeten dalam memainkan perannya sebagai guru profesional. Apabila kepala sekolah
mengingingkan agar para gurunya memiliki kompetensi yang baik, maka sebaiknya lebih aktif
dalam mendorong para guru untuk memanfaatkan forum-forum pembinaan guru seperti KKG dan
MGMP, memberi kesempatan kepada guru untuk mengikuti penataran-penataran,
pelatihan-pelatihan, seminar, dan berbagai kegiatan lainnya yang dapat menunjang proses
peningkatan kompetensi pedagogik guru.

DAFTAR PUSTAKA

Dasrizal. 2009. Pentingnya Supervisi Pendidikan sebagai Upaya Peningkatan Profesionalisme


Guru. Jurnal Guru, Nomor 1 Volume 6, Juli 2009.Dinas Pendidikan Kota Padang
Panjang.
Hastuti, S. 2005. Kontribusi Hasil Penelitian Guru Supervisi Kepala Sekolah Terhadap
Profesionalisme Guru Madrasah Aliyah di Kota Semarang. Jurnal Penelitian
Kependidikan, Tahun 1 Nomor 3, Desember 2005. Unnes Semarang.
JPP%202&md=mn&kid=718&act=view&mi=783&li=0Search.proquest.com.
Diambil 2 Oktober 2013.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


291
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Kemendiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 16, Tahun 2007, tentang
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Nurmin, N. dan Kartowagiran, B. 2013. Evaluasi Kemampuan Guru dalam Mengimplementasi
Pembelajaran Tematik di SD Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal
Prima Edukasia, 1(2), 184-194. Retrieved from
http://journal.uny.ac.id/index.php/jpe/article/view/2635
Padmadewi, N.N. 2008. Competencies of english teachers in singaraja. Jurnal Volume 41
Number 2.http://pasca.undiksha.ac.id/jpp/index.php?c=
Presiden RI. 2005. Peraturan Pemerintah RI Nomor 19, Tahun 2005, tentang Standar Nasional
Pendidikan.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2005, tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Republik Indonesia. 2005. Undang-Undang RI Nomor 14, Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen.
Richards, J.C. 2011. Competence and Performance in Language Teaching. New York:
Cambridge University Press.
Shah, N., Anderson, J. & Holly J. H. 2008. Teaching Professionalism: a tale of three schools.
Perspectives in Biology and Medicine, volume 51, number 4
Suharsimi Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Cetakan Kesembilan.
Yogyakarta: Rineka Cipta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Yazid, M. dan Abdul Jabar, C. 2013. Hubungan Mutu Guru, Kepemimpinan Kepala Sekolah, dan
Status Ekonomi Guru dengan Kinerja Guru SD Kecamatan Suralaga Lombok Timur.
Jurnal Prima Edukasia, 1(1), 94-102. Retrieved from
http://journal.uny.ac.id/index.php/jpe/article/view/2326/1929

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


292
PROSIDING

MP-39

PENANAMAN NILAI BUDAYA LOKAL (SUKU LIO) KEPADA PESERTA DIDIK


SEKOLAH DASAR MELALUI CERITA RAKYAT INE MBU PADA PEMBELAJARAN
IPS DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN BERMAIN PERAN

Siprianus See
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Universitas Flores
sipri_see@yahoo.co.id

Abstrak

Penanaman Nilai Budaya Lokal (Suku Lio) melalui cerita rakyat Ine Mbu (Dewi Padi) kepada
peserta didik sejak dini bertujuan untuk mewariskan, mengembangkan dan mempertahankan
nilai-nilai budaya lokal yang telah diwariskan oleh nenek moyang Suku Lio sejak dahulu.
Pembelajaran IPS adalah salah satu alat atau media yang dapat digunakan untuk menanamkan
nilai-nilai budaya suku Lio kepada peserta didik yang berasal dari kabupaten Ende umumnya dan
secara khusus peserta didik yang berasal dari suku Lio. Cerita rakyat Ine Mbu adalah salah satu
hasil budaya lokal suku Lio yang dapat mewariskan dan menanamkan nilai sosial kepada peserta
didik melalui pesan dan makna yang terkandung dalam cerita tersebut yaitu ikhlas dan rela
berkorban untuk orang lain. Cerita ini tentu akan mengispirasi peserta didik untuk mampu
bersikap dan berbuat ikhlas dan rela berkorban untuk sesama manusia dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam menanamkan nilai yang terkandung dalam cerita Ine Mbu kepada peserta
didik, Model Pembelajaran Bermain peran dalam konteks sosial adalah salah satu model yang
dianggap efektif, karena peserta didik langsung memainkan peran sesuai dengan cerita ini.
Meodel ini menekankan kepada peran sosial seseorang yang memiliki kontribusi positif kepada
keberlangsungan kehidupan bersosial. Oleh sebab itu diharapkan kepada para guru sekolah dasar
agar dapat menerapkan pembelajaran IPS berbasis nilai budaya lokal dengan menggunakan
model ini, sebagai bentuk usaha penanaman dan pewarisan nilai-nilai budaya lokal secara efektif
kepada generasi penerus Bangsa.
Kata Kunci: Nilai Budaya Lokal, Pembelajaran IPS, Model Pembelajaran Bermain Peran

PENDAHULUAN

Fakta menunjukan pada zaman ini telah terjadi degradasi moralitas baik terjadi pada
anak-anak, para remaja, kaum muda sampai dengan orang dewasa. Banyak faktor yang
menyebabkan terjadi degradasi moralitas tersebut. Salah satu faktor yang tidak mampu
dibendungi secara cepat adalah derasnya arus globalisasi yang secara negatif mengikis nilai
budaya lokal sampai nasional. Generasi bangsa saat tidak mampu mempertahankan, menjaga dan
melestarikan nilai budayanya, karena sudah terhipnotis secara masif pada segala aspek kehidupan
baik itu pada aspek sosial, budaya, ekonomi, politik maupun pada norma atau hukum.

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Menyikapi Fenomena degradasi moralitas pada anak bangsa saat ini tentu para guru perlu
melaksanakan pembelajaran yang berbasis kearifan lokal. Karena pembelajaran berbasis kearifan
lokal dapat menumbuhkembangkan kembali nilai-nilai budaya lokal yang telah terkikis.
Pembelajaran IPS adalah salah satu solusi dalam menanam dan menumbuhkembangkan
nilai-nilai budaya daerah. Untuk itu dalam pembelajaran IPS tentu didesain berbasis kearifan
lokal. Artinya konsep nilai-nilai kebudayaan atau kearifan lokal dari suatu daerah diajarkan sesuai
dengan tema atau pokok materi pada kurikulum IPS.

Kabupaten Ende khusunya Suku Lio memiliki kearifan Lokal yang bersumber dari budaya
daerah setempat. Kearifan Lokal yang yang bersumber dari kebudayaan pada suku Lio salah
satunya adalah berupa Cerita rakyat Ine Mbu atau Dewi Padi yang merupakan cerita rakyat asal
Ende Lio yang amat populer dikalangan masyarakat Kabupaten Ende, karena cerita ini memiliki
pesan dan makna sosial yang amat penting bagi masyarkat lio. Untuk menanamkan nilai budaya
yang terkandung pada cerita Ine Mbu sejak dini kepada peserta didik usia sekolah dasar melalui
pembelajaran IPS sehingga dapat dipahami secara baik, maka Model Bermain Peran dalam
konteks sosial adalah salah satu cara yang dapat menumbuhkan peran aktif peserta didik untuk
berperan secara langsung.

KAJIAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

A. Pembelajaran IPS yang berbasis Kearifan Lokal

Secara substansial, kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari
masyarakat setempat. Karena menjadi acuan tingkah laku, kearifan lokal yang di dalamnya berisi
unsur kecerdasan, kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang
menentukan arah dalam pembangunan peradaban masyarakatnya. Ridwan, (2007) menjelaskan
bahwa: Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah,
sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari.
Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah
berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku
dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat
tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dan dapat diamati melalui
sikap serta perilaku mereka sehari-hari.

Konsep Kearifan Lokal jika dihubungkan dengan konsep Pembelajaran IPS tentu memiliki
hubungan yang amat erat. Menurut Susanto (2014) dimensi Pembelajaran IPS meliputi 1)
Dimensi Pengetahuan sosial, yang terdiri atas Fakta, konsep, dan generalisasi yang dipahami

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


294
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

peserta didik. Fakta berkaitan dengan peristiwa, objek dan hal-hal yang konkrit, konsep dan
generalisasi berkaitan dengan proses memaknai sejumlah fakta dan cara hidup masyarakat, 2)
Dimensi keterampilan; berkaitan dengan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi
akibat dari perbuatan dan pengaruh ucapan terhadap orang lain, menunjukan rasa hormat dan
perhatian pada orang lain, berbuat efektif sebagai anggota kelompok, mengambil berbagai peran
dalam kelompok, menerima krtitik dan saran, dan menyesuaikan kemampuan dengan tugas yang
harus diselesaikan, 3) Dimensi Nilai dan Sikap; berkaitan dengan nilai kemerdekaan, toleransi,
kejujuran, menghormati kebenaran, dan menghargai orang lain, 4) Dimensi tindakan;
kemampuan peserta didik memecahkan isu dan masalah sosial serta mampu berkomunikasi
dengan anggota masayarakat, agar menjadi warga negara yang efektif.

Secara jelas jika dihubungkan pada capaian dimensi pembelajaran IPS dapat dipastikan
bahwa pembelajaran IPS yang bersumber dari kearifan Lokal adalah bagian dari kajian IPS,
karena pembelajaran IPS menitiberatkan pada kehidupan sosial budaya masyarakat baik pada
tingkat lokal maupun pada tingkat global. Pesan dan makna positif yang terkandung pada nilai
budaya lokal yang dipelajari oleh peserta didik sejak dini pada usia sekolah dasar menjadi target
pencapaian tujuan pada pembelajaran IPS, karena dapat mendukung terbentuknya keterampilan
sosial peserta didik sebagai warga negara yang baik. Nilai toleransi, kejujuran, menghormati,
menghargai, rela berkorban dan saling tolong menolong adalah capaian penting dalam
pembelajaran IPS, dan itu semua dapat bersumber dari nilai-nilai yang terkandung pada
kebudayaan lokal.

B. Nilai Budaya Lokal Suku Lio dalam Cerita Ine Mbu (Dewi Padi)
Dalam perspektif historis, kearifan lokal dapat membentuk suatu sejarah lokal. Sebab
kajian sejarah lokal yaitu studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari
suatu lingkungan sekitar tertentu dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek
kehidupan, Wijda dalam (Koentjaraningrat, 1986). Cerita rakyat Ine Mbu adalah cerita mitos
yang diakui oleh masyarakat lio sebagai suatu sejarah munculnya tanaman padi di daerah lio.
Dalam sejarah suku Lio, Ine Mbu (Dewi Padi) adalah putri tunggal dari seorang bapak yang
bernama Raja dan ibu yang bernama Kaja. Ine Mbu juga memiliki dua saudara laki-laki yaitu
Ndale dan Sipi (Patty dkk, 2000). Kedua orang tua mereka meninggal dunia di tempat pengunsian
yang baru yaitu di Keli Mbape dan Nua Kaja, setelah mengalami musibah bencana alam hebat
yaitu Tsunami.

Dalam sejarah diceritakan juga bahwa setelah bencana Tsunami ditambah lagi dengan
musim kemarau panjang yang menimpah wilayah Lio, banyak penduduk suku Lio yang
mengalami kelaparan. Makanan mereka hanya berupa serbuk kayu yang lapuk. Waluapun Ine

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


295
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Mbu yang diberikan karunia untuk dapat menumbuhkan padi melalui darah dan dagingnya, pada
awalnya bersama kedua saudaranya tidak memberi tahu kepada masyarakat lainnya karena akan
mengancam nyawah dari Ine Mbu. Namun karena adanya ilham dari Tuhan yang memunculkan
rasa prihatin oleh Ine Mbu kepada penduduk Lio yang mengalami kelaparan bahkan ada
penduduk yang telah mati, maka Ine Mbu secara ikhlas dan penuh pengorbanan merelahkan darah
dan dagingnya yang dapat menumbuhkan padi untuk masyarakat lio.

Cerita Ine Mbu memiliki nilai budaya yang amat luar biasa. Seorang manusia dalam
kehidupannya bersama manusia lain dapat dengan penuh kerelahan dan bahkan siap mati untuk
sesamanya. Ine Mbu dalam konteks sosial telah menunjukan nilai keikhlasan dan pengorbanan
yang amat tinggi. Bagi orang suku Lio, Ine Mbu telah memberikan inspirasi dan teladan yang
amat positif untuk keberlangsungan hidup orang lio sebagai satu kesatuan yang utuh. Satu
kesatuan yang yang siap untuk saling tolong menolong, bertenggang rasa, bergotong royong,
berempati, dan menjunjung tinggi asas kekeluargaan.

C. Penggunaan Model Pembelajaran Bermain Peran pada pembelajaran IPS dalam


menanamkan nilai Budaya Lokal Suku Lio.

Model pembelajaran Bermain Peran adalah salah satu model pembelajaran sosial yang
digunakan dalam pembelajaran IPS. Model ini dianggap efektif karena peserta didik dalam
mengetahui dan memahami materi ataupun suatu permasalahan sosial, dapat secara langsung
berperan sesuai dengan apa yang akan dipelajari. Uno (2011) menjelaskan bahwa model
pembelajaran bermain peran bertujuan untuk membantu peserta didik dalam menemukan makna
diri (jadi diri) di dunia sosial dan memecahkan dilema dengan bantuan kelompok. Artinya dengan
bermain peran peserta didik belajar menggunakan konsep peran, menyadari adanya peran-peran
yang berbeda dan memikirkan perilaku dirinya dan perilaku orang lain. Lebih lanjut Uno
menyatakan bahwa proses bermain peran dapat memberikan contoh kehidupan perilaku manusia
yang berguna bagi diri siswa untuk; 1) menggali perasaannya, 2) memperoleh inspirasi dan
pemahaman yang berpengaruh terhadap sikap, nilai dan persepsinya, 3) mengembangkan
keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah, dan 4) mendalami mata pelajaran dengan
berbagai cara.

Berdasarkan konsep tujuan dari model pembelajaran bermain peran yang diuraikan di atas
dapat kita maknai bahwa pada dasarnya model bermain memiliki manfaat yang amat baik bagi
peserta didik, karena model ini dapat membantu peserta didik mengenal diri dan berperan, serta
memiliki tanggungjawabnya dalam kehidupan bermasyarakat. Model ini juga membantu peserta
didik untuk menginspirasi dari peran-peran sosial yang positif. Dalam kaitannya dengan
penanaman nilai budaya lokal melalui cerita rakyat Ine Mbu pada pelaksanaan pembelajaran IPS,

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


296
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

peserta didik dapat memainkan peran sosial sesuai dengan skenario pada cerita tersebut dan
langkah-langkah yang terdapat pada model pembelajaran bermain peran. Setiap peserta didik
baik yang berperan sesuai dengan pemeran-pemeran dalam cerita maupun yang berperan sebagai
pengamat dapat secara aktif melakoni peran masing-masing tersebut, sehingga peserta didik
memperoleh inspiriasi.

Dalam memainkan peran cerita Ine Mbu, tentu semua peserta didik akan terinspirasi
dengan pemeran utama dalam cerita tersebut yaitu Ine Mbu atau Dewi padi yang telah
mengorbankan jiwa dan ragahnya untuk kepentingan orang banyak. Dalam konteks peran sosial
peserta didik sekolah dasar yang terinspirasi dari cerita rakyat Ine Mbu, dapat melahirkan
kesadaran dan tanggungjawab dari peserta didik untuk siap berkontribusi dalam kehidupan
bermasyarakat. Kontribusi dari peserta didik dalam lingkungan sosial atau pada lingkungan
sekolah adalah berupa sikap dan perbuatan untuk saling tolong menolong antar sesama manusia,
saling menghargai dan menghormati, membantu sesama tanpa pamrih, belajar untuk memberikan
yang terbaik kepada orang tua, masyarakat dan negara.

PENUTUP

Model Pembelajaran Bermain Peran dapat secara efektif membantu menanamkan Nilai
Budaya Lokal (Suku Lio) melalui cerita rakyat Ine Mbu atau Dewi Padi kepada peserta didik
sekolah dasar pada pembelajaran IPS. Model ini dapat mendorong peserta didik untuk terlibat
secara langsung berperan sesuai dengan peran sosial yang terdapat pada cerita tersebut, sehingga
pesan dan makna yang terkandung pada cerita tersebut dapat terserap dengan baik, dan dapat
diwujudkan melalui sikap dan perbuatan sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Oleh sebab itu dapat disarankan kepada para guru, agar dalam menamankan Nilai Budaya Lokal
kepada peserta didik dapat menggunakan model ini.

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Aksara Baru

Patty, M.Servas, dkk.,2000, Mitos Dewi Padi di Keli Ndota, Jakarta: YSM

Ridwan, N.A. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal.Jurnal Ilmiah Ibda(online) P3M STAIN
Purwokerto Vol. 5 No. 1 Jan-Jun 2007

Susanto, Ahmad., 2014, Pengembangan Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar, Jakarta: Prenada
Media Grup

Uno, B. Hazah., 2011, Model Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


297
PROSIDING

MP-40
EKSPLORASI ETNOMATEMATIKA MASYARAKAT SUKU SASAK LOMBOK
TERHADAP PENANAMAN KARAKTER BUDAYA
Muh. Yazid1. & Rifaatul Mahmudah2
Universitas Hamzanwadi
Email: mh.azzaidan16@gmail.com1
Abstrak
Eksplorasi etnomatematika masyarakat Suku Sasak Lombok merupakan pengenalan matematika
melalui varian budaya. Tujuannya untuk merubah mindset anak terhadap matematika yang
selama ini tidak relevan untuk menjawab permasalahan yang ada di lingkungan hidupnya . Salah
satunya pengintegrasian budaya kedalam matematika atau sebaliknya. Etnomatematika sudah
menjadi disiplin ilmu dan menjadi perhatian inovasi matematika, karena pengajaran matematika
di sekolah masih bersifat formal dan abstrak, sehingga dirasa tidak ada manfaat belajar
matematika. Output yang dihasilkan siswa selain tertarik akan tertanam nilai karakter cinta
terhadap budaya dan matematika. Penelitian ini bertujuan menganalisis serta mendeskripsikan
hasil eksplorasi etnomatematika masyarakat Suku Sasak Lombok. Untuk menanamkan karakter
cinta matematika melalui budaya. Analisis data penelelitian dilakukan melalui pendekatan
kualitatif dari hasil eksplorasisertapendekatan etnografi, sehingga Pengumpulan data dari Multi
methods (pengamatan, studi dokumenter, diskusi kelompok terfokus, dan wawancara mendalam
(indepth interview).
Kata Kunci : Etnomatematika, Karakter

PENDAHULUAN

Lombok merupakan destinasi utama para wisatawan, karena sangat terkenal dengan
keindahan alam dan kaya akan ragam budayanya. Budaya Lombok juga sering menjadi sorotan
dan menarik untuk diperbincangkan. Budaya Suku Sasak Lombok merupakan aktivitas yang
tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari mereka, karena budaya merupakan kesatuan
utuh dan menyeluruh yang berlaku dalam suatu komunitas untuk melakukan kelangsungan hidup
mereka. Melalui budaya Suku Sasak Lombok mereka ikut mencerdaskan anak bangsa yang
bangga akan budaya yang dimiliki. Dari budaya juga banyak hal yang kita ketahui untuk
diintegrasikan ke disiplin ilmu. Dari budaya pula banyak hal yg belum kita ketahui dan sadari.
Sepertihalnya mengonstruksi dan mengintegrasikan budaya melalui bidang ilmu yang ingin di
transformasikan dan dikembangkan. Sebaliknya bidang ilmu yang ingin diperkenalkan dan
kembangkan dikonstruksikan dan diintegrasikan ke dalam budaya. Barulah terbentuk
pembelajaran yang bermakna untuk penanaman konsep kepada anak. Pelajaran yang sampai saat
ini yang paling dihindari dan ditakuti adalah matematika. Ini disebabkan sifat keabstrakan
daripada matematika. Untuk menjadikan matematika yang sifatnya kontekstual dan nyata,
diambillah melalui kehidupan seharihari yang tidak lepas dari budaya setempatyang disebut
sebagai etnomatematika.

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Etnomatematika adalah matematika yang diterapkan oleh komunitas atau kelompok


budaya tertentu, kelompok buruh/petani, anak-anak dari masyarakat kelas tertentu, kelas-kelas
professional , dan lain sebagainya (Gerdes, 1994). Dari definisi seperti ini, maka etnomatematika
memiliki pengertian yang lebih luas dari hanya sekedar etno (etnis) atau suku. Dalam masyarakat
Suku Sasak Lombok banyak dijumpai aktivitas yang erat kaitannya dengan etnomatematika.
Contoh yang paling terkenal dengan adat Lombok adalah ke unikan di dalam prosesi nikah yang
di sebut dengan kawin lari. Di dalam adat merarik (kawin ) memiliki tradisi nyongkolan yang
diiringi musik kecimol atau gendang belek. Dari tradisi tersebut tanpa disadari banyak unsure
etnomatematikanya setelah dieksplorasi nanti. Dari sudut pandang riset eksplorasi inilah disebut
sebagai antropologi budaya matematika (cultural anropology of mathematics).

Hal ini mengakibatkan kehawatiran akan kurang mampunya siswa dalam


mentransformasikan matematika formla ke matematika informal untuk menyelesaikan masalah
dalam kehidupan sehari-hari. Matematika sudah semestinya mengupayakan berbagai alternatif
dan inovasi dalam rangka meningkatkan kemampuan matematika siswa kita Shirley (1995).
Salah satu kuncinya adalah perbaikan proses pembelajaran disekolah, khususnya dengan
meningkatan porsi menalar, memecahkan masalah, berargumentasi dan berkomunikasi melalui
materi ajar yang lebih kontekstual yakni dengan lingkungan budaya. Oleh karena itu dipandang
perlu untuk meneliti tentang “Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Suku Sasak Lombok
terhadap Penanaman Karakter Budaya”

KAJIAN PUSTAKA

Secara bahasa, awalan “ethno” diartikan sebagai sesuatu yang sangat beragam mengacu
pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa, jargon (bahasa golongan tertentu), kode perilaku,
mitos, dan symbol. Kata dasar “matIhema” cenderung berarti menjelaskan, mengetahui,
memahami, dan melakukan kegiatan seperti pengkodean, mengukur, mengklasifikasi,
menyimpulkan, dan pemodelan. Akhiran “tics “berasal dari techne, dan bermakna sama seperti
teknik. Sedangkan secara istilah etnomatematika diartikan sebagai: "The mathematics which is
practiced among identifiable cultural groups such as national- tribe societies, labour groups,
children of certain age brackets and professional classes" (D'Ambrosio, 1985). Etnomatematika
pertama kali diperkenalkan oleh D'Ambrosio, seorang matematikawan Brasil pada tahun 1977.

Definisi etnomatematika menurut D'Ambrosio adalah: The prefix ethno is today accepted as a
very broad term that refers to the socialcultural context and therefore includes language, jargon,
and codes of behavior, myths, and symbols. The derivation of mathema is difficult, but tends to
mean to explain, to know, to understand, and to doactivities such as ciphering, measuring,
classifying, inferring, and modeling. The suffixtics is derived from techné, and has the same root

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


299
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

as technique (Rosa & Orey 2011) D'Ambrosio (1985) juga mengatakan Ethnomathematics adalah
studi tentang matematika yang beradaptasi terhadap budaya, dimana matematika muncul dengan
memahami penalaran dan sistem matematika yang mereka gunakan.

Sejalan dengan itu Barton (1996) memaknai ethnomathematics mencakup ide-ide matematika,
pemikiran dan raktik yang dikembangkan oleh semua budaya. Dan Dengan Etnomatematika
disimpulkan "I have been using the word ethnomathematics as modes, styles, and techniques (
tics ) of explanation, of understanding, and of coping with the natural and cultural
environment ( mathema ) in distinct cultural systems (ethno)"(D'Ambrosio, 1999, 146).
Etnomatematika dijadikan sebagai life style atau gaya hidup, dan teknik (tics) untuk
menjelaskan, memahami, dan menghadapi lingkungan alam dan budaya (mathema) dalam sistem
budaya yang berbeda (ethnos). Dari definisi tersebut etnomatematika dapat disimpulkan sebagai
matematika yang dipraktikkan oleh kelompok budaya dari berbagai lapisan dan kalangan. Oleh
karena itu Kajian etnomatematika dalam pembelajaran matematika mencakup segala bidang:
arsitektur, tenun, jahit, pertanian, hubungan kekerabata, ornamen, dan spiritual dan praktik
keagamaan sering selaras dengan pola yang terjadi di alam atau memerintahkan sistem ide-ide
abstrak. Dengan demikian, untuk mengembangkan aktivitas matematika masyarakatdi berbagai
daerah atau suku sangat bervarian. Oleh karena itu bidang etnomathematika sekarang menjadi
pusat proses pembelajaran dan metode pengajaran. Hal ini membuka potensi pedagogis yang
mempertimbangkan pengetahuan para siswa yang diperoleh dari belajar di luar kelas Shirley
(1995).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian eksploratif karena sesuai dengan namanya,
merupakan penelitian penggalian, menggali untuk menemukan dan mengetahui suatu gejala atau
peristiwa (konsep atau masalah) dengan melakukan penjajakan terhadap gejala tersebut (Gulo:
2000). Analisis data penelelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dari hasil eksplorasi
serta pendekatan etnografi, sehingga Pengumpulan data dari Multi methods (pengamatan, studi
dokumenter, diskusi kelompok terfokus, dan wawancara mendalam (indepth interview).
Pendekatan ini memusatkan usaha untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan
budaya mereka untuk diintegrasikan ke mindset matematika secara kontekstual.

Data yang diperoleh dianalisis secara simultan dengan terlebih dahulu melakukan pemilahan data
yang sejenis. Selanjutnya dilakukan reduksi data, penyajian, dan kesimpulan serta verifikasi
terhadap hasil. Secara garis besar prosedur penelitian yang akan dilakukan pada penelitian ini
sesuai dengan prosedur penelitian yang mengadopsi pendekatan etnografis oleh Spradley (2006),
memuat:

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


300
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis eksplorasi etnomatematika yang digunakan oleh masyarakat Suku
Sasak Lombok terdiri dari:

1. Bahasa
Melakukan aktivitas matematika dari segi bahasa semata-mata untuk menjalin
komunikasi yang baik sesuai ketentuan dan kesepakatan yang sudah diterapkan oleh nenek
moyang mereka. Bahasa Sasak yang digunakan di Lombok secara dialek dan lingkup
kosakatanya dapat digolongkan ke dalam beberapa bahasa sesuai dengan wilayah penuturnya,
oleh karena itu walaupun berbeda wilayah berbeda pula dalam penyebutan. namun ada
bahasa pemersatu suku sasak Lombok yang menjadi bahasa umum dalam

a. Membilang dalam bentuk angka secara langsung

1-10

1: Sekeq/sopoq
2: Due
3: Telu
4: Empat
5: Lime
6: Enem
7: Pituq
8: Baluq
9: Siwaq
10: Sepulu

Dst……

2. Struktur dan Sistem Masyarakat

Suku Sasak pada masa lalu secara sosial-politik, digolongkan dalam dua tingkatan sosial
utama, yaitu golongan bangsawan yang disebut perwangsa dan bangsa Ama’ atau jajar karang
sebagai golongan masyarakat kebanyakan.dalam melakukan aktivitas
matematikakaumbangsawan lebih banyak menggunakan etnomatematika dibandingkan
dengan golongan amak, karena semakin tinggi kedudukan orang suku sasak, maka semakin
tinggipula nilai etnomatematika.Ini dapat dilihat dari harta benda yang dimiliki dan kebiasaan
yang jauh berbeda.Selain itu pula kaum bangsawan lebih banyak peraturan-peraturan dalam
melakukan aktivitas dan kebiasaan seperti:ketika kaum biasa bertemu dengan kaum

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


301
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

bangsawan, rakyat biasa harus tau tentang sudut. Mereka harus duduk dan membentuk sudut
kurang lebih sebanyak 450.

3. Kepercayaan
Suku sasak Lombok mengenal Istilah Islam-Wetu Telu.Pada perkembangannya Wetu telu
justru lebih dekat dengan Islam. Bahkan hampir semua desa suku Sasak sudah menganut
Agama Islam lima waktu dan meninggalkan Wetu telu sepenuhnya. Para penganut
Islam-Wetu telu melakukan aktivitas matematika dilihat dari bangunan Masjid (tempat
ibadah) mereka dengan gaya arsitektur khas Suku Sasak; dari kayu dan bambu, dengan bagian
atapnya terbuat dari jenis alang-alang atau sirap dari bambu. Sebelum membuat bangunan
masjid tersebut banyak sekali unsur matematika yang dieksplor, baik Dari materi pengukuran
dari kayu, papan, sirap , operasi bilangan untuk menghitung alat dan bahan-bahan yang
dibutuhkan , menguasai geometri untuk merancang bentuk arsitektur yang indah dan berbeda
sesuai ciri khas bangunan adat rumah sasak dll.

4. Tata Ruang dan Arsitektur

Bangunan ini memiliki atap berbentuk “topi” yang ditutup ilalang.Empat tiang besar
menyangga tiang-tiang melintang di bagian atas tempat kerangka utama dibangun.Bagian
atas penopang kayu kemudian menguatkan rangka-rangka bambunya yang semua bagiannya
ditutupi ilalang.Satu-satunya yang dibiarkan terbuka adalah sebuah lubang persegi kecil yang
terletak tinggi di bagian ujung berfungsi untuk menaruh padi hasil panen.Untuk mencegah
hewan pengerat masuk.Piringan kayu besar yang mereka sebut jelepreng, disusun di bagian
atas puncak tiang dasarnya.Rumah tradisional Suku Sasak berdenah persegi, tidak berjendela
dan hanya memiliki satu pintu dengan pintu ganda yang telah diukir halus.

5. Tradisi dan Seni


Berikut beberapa seni dan tradisi yang cukup terkenal dari suku Sasak:

a. Bau Nyale. Nyale adalah sejenis binatang laut, termasuk jenis cacing (anelida) yang
berkembang biak dengan bertelur. Nyale diyakini sebagai penjelmaan Putri Mandalika
untuk bisa disantap oleh semua masyarakat, karena putri mandalika takut terjadi tumpah
darah kepada para raja yang melamarnya, jika menerima salah satu lamaran dari mereka.
Nilai etnomatematika yang didapatkan adalah alat penangkap nyale berbentuk segitiga
atau bulat yang disebut sorok/penyorok. Alat ini dapat dibuat dari jaring, bambu yang
disebut pengosak/keraro ( bakul).
b. Rebo Bontong. Suku Sasak percaya bahwa hari Rebo Bontong merupakan hari puncak
terjadi bencana dan atau penyakit (Bala) sehingga bagi mereka sesuatu yang tabu jika

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


302
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

memulai pekerjaan tepat pada hari Rebo Bontong. Upacara Rebo Bontong dimaksudkan
untuk dapat menghindari bencana atau penyakit. Nilai matematika yang diidapatkan
diantaranya; dalam menyusun tempat sesajian yang dibentuk mirip seperti keranda untuk
dibawa dan dilepas ke Laut/ Pantai. Disini memerlukan kemakhiran dan ketelitian
matematika dari berhitung(persedian alat/bahan-bahan), sudut (membuat kepala
keranda), rusuk(menyeimbangkan antara rusuk yang berhadapan). Selain itu juga dalam
perjalanan harus berjalan beriringan membentuk bilangan genap sebanyak 2 banjar/baris
yang membentuk persegi panjang.
c. Sabuk Beleq.
Sabuk Belek merujukkepada sebuah pustaka sabuk yang besar (Beleq) Tradisi
pengeluaran Sabuk Beleq ini mereka awali dengan mengusung Sabuk Beleq mengelilingi
kampung diiringi dengan tetabuhan gendang beleq. Sabuk Belek ini masyarakat
menghitung panjangnya mencapai 25 meter dengan pengukuran menggunakan system
numerasi.

d. Tandang Mendet.

Tandang Mendet adalah tarian perang Suku Sasak. Tarian yang menggambarkan
keperkasaan dan perjuangan ini dimainkan oleh 11 orang dengan berpakaian dan
membawa alat-alat keprajuritan lengkap; tameng, tombak,kelewang/ pedang dengan
berbagai rancangan seperti; ¼ lingakran dll,. Tarian diiringi dengan hentakan gendang
beleqserta pembacaan syair-syair perjuanganyang harus harmoni, baik dari suara,
hentakan, iringan kaki yang seimbang dan kompak serta barisan yang harus rapi
membentuk persegi panjang berbanjar, dengan hitungan ganjil 3 atau genap dua diikuti
peserta dibelakang.

Ini yang belum. Tinggal sedikit ko. N tambahkan yg diatas klo ad gambar2, g smpat
masukn keburu sakit.

e. Peresean.
Kadang ada yang menulisnya Periseian dan atau Presean adalah seni bela diri yang dulu
digunakan oleh lingkungan kerajaan.

f. Begasingan. Permainan rakyat yang mempunyai unsur seni dan olahraga, bahkan
termasuk permainan tradisional yang tergolong tua di masyarakat Sasak.
g. Slober. Alat musik tradisional Lombok yang cukup tua, unik, dan bersahaja. Slober
dibuat dari pelepah enau dan ketika dimainkan alat musik ini biasanya didukung dengan
alat musik lainnya seperti gendang, gambus, seruling, dll.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


303
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

h. Gendang Beleq. Satu dari kesenian Lombok yang mendunia. Gendang Beleq merupakan
pertunjukan dengan alat perkusi gendang berukuran besar (Beleq) sebagai ensembel
utamanya. Komposisi musiknya dapat dimainkan dengan posisi duduk, berdiri, dan
berjalan untuk mengarak iring-iringan. Ada dua jenis gendang beleq yang berfungsi
sebagai pembawa dinamika yaitu gendang laki-laki atau gendang mama dan gendang
nina atau gendang perempuan).
6. Batik suku sasak Lombok
Batik khas Lombok memiliki ciri dan motif tersendiri. Dalam mengenalkan konsep
matematika batik khas Lombok banyak ditemukan konsep matematika diantarnya adalah
dalam geometri. Konsep ini mempermudah bagi kita untuk memperkenalkan konsep
matematika sederhana seperti garis, garis sejajar, pola, dan bidang dalam geomerti

7. Rumah adat suku sasak Lombok

Rumah adat sasak Lombok memiliki bentuk bangunan yang khas. Dilihat dari sudut pandang
Rumah adat suku Sasak di dusun Sade terdiri dari berbagai macam Bale (rumah) yang
semuanya beratap jerami atau alang –alang dan memiliki fungsi tersendiri, diantaranya:

• Bale Lumbung

• Bale Tani

• Bale Jajar

• Berugag

• Bale Bonter

• Bale Beleq Bencingah

• Bale Tajuk

• Bale Balaq

8. Gendang beleq suku sasak Lombok

Gendang beleq (genadang besar) merupakan khas suku sasak Lombok yang banyak
mengandung pelajaran dan kajian matematika dalam gendang beleq ada beberapa
etnomatematika yang dapat dijelaskan dan dipahami. Struktur gendang beleq terdiri dari
beberapa unsure diantaranya adalah gendang beleq ynag menyerupai tabung dalam geometri
ruang, dalam gendang beelq ada beberapa konsep matematika yang bida dijabarkan
diantaranya adalah lingkran, persegi dan tabung.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


304
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Ringkasan hasil etnomatemstika suku sasak Lombok

Etnomatemstiks suku sasak Lombok Konsep matematika


yang dapat dieksplor

a. Titik
b. Garis
c. Pola
d. Bidang

Batik khas Lombok

a. Lingkaran
b. Garis
c. Tabung
d. Pola

a. Bidang
b. Sudut
c. ½ lingkaran
d. Pola

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat konsep-konsep matematika. Konsep matematika
dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan etnomatematika. Terbukti adanya bentuk
etnomatematika masyarakat Lombok yang tercermin melalui berbagai hasil aktivitas dan
kreativitas. matematika yang dimiliki dan berkembang di masyarakat Lombok , meliputi
konsep-konsepmatematika diantaranya :

a. Kain batik khas Lombok berupa bentuk-bentuk geometri bagian-bagian batik lombok,
diantaranya garis, pola model bangun datar, meliputi persegi, persegipanjang, trapesium,

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


305
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

segitiga, segitiga samakaki, segitiga samasisi, segilima, serta belah ketupat. motif batik
dan border Lombok diantaranya konsep lingkaran, garis lurus dan garis lengkung, pola
dalam matematika, simetris, refleksi, dilatasi, translasi, serta rotasi.
b. Gendang beleq khas Lombok berupa bentuk geometri serta bagian-bagian yang terdapat
dalam gendang beleq yang meliputi model bangun ruang, meliputi tabung, bagun datar
seperti lingkarang.
c. Rumah adat khas Lombok yang mengambarkan banyak konsep matematika diantaranya
adalah bidag, bangun ruang dll.

Saran

Untuk peneliti lain, diharapakan dalam meneliti agar supaya mengangkat budaya daerah agar
budaya kita dikenal oleh orang banyak khususnya dikancanh nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Gerdes,P.(1994). Reflection on Ethnomatematics. For the Learning of Mathematiccs, 14(2),


19-21.
Shirley, L. 1995. Using Ethnomathematics to find Multicultural Mathematical
Connection.¬-: NCTM.
D’Ambrosio, U. (1985). Ethnomathematics and its place in the history and pedagogy of
mathematics. For the Learning of Mathematics, 5(1), 44-48.
D'Ambrosio. (1999). Literacy, Matheracy, and Technoracy: A Trivium for Today.
Mathematical Thinking and Learning 1(2), 131-153. De La Societe Mathematique, DeBelgique,
T,XLIII
Gulo, W. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo.
Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


306
PROSIDING

MP-41

SIMULASI KESADARAN BERKONSTITUSI PADA MATA PELAJARAN


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DITINGKAT PENDIDIKAN DASAR
SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN1

Desi Sommaliagustina1
1)
Progam Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammmadiyah Riau
e-mail : desisommaliagustina@yahoo.co.id

Abstrak

Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) tidak jarang dianggap sebagai pelajaran


yang tidak menyenangkan bagi siswa. Siswa cenderung bingung akan hakekat pelajaran
PKN. Metode mengajar secara konvensional ditambah dengan banyaknya hafalan
membuat pelajaran PKN menjadi mata pelajaran yang membosankan. Sehingga membuat
siswa merasa bosan. Oleh karena itu, menarik diterapkan metode mengajar dengan
simulasi kesadaran berkonstitus.

Kata Kunci : Simulasi, Konstitusi, Mutu, Pendidikan

PENDAHULUAN

Seorang guru diharapkan dapat menciptakan suasana hangat dan menyenangkan


dalam pembelajaran. Karena suasana hangat dan menyenangkan dalam pembelajaran
akan memberikan dampak positif yakni apapun yang diajarkan akan mudah diterima oleh
siswa. Ketika suasana pembelajaran menjadi cair dan menyenangkan maka siswa akan
memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru.

Salah satu mata pelajaran yang ada di Sekolah Dasar (SD) adalah Pendidikan
Kewarganegaraan (PKN). Materi dalam mata pelajaran PKN diantaranya adalah
pengertian bangsa, negara, unsur-unsur teoritis berdirinya suatu negara, tahap-tahap yang
merupakan proses terbentuknya negara bagi bangsa Indonesia, perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia, proklamasi sebagai pintu gerbang kemerdekaan, konstitusi dan

1
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

peraturan perundang-undangan. Konstitusi Negara Republik Indonesia adalah


Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Secara substansi materi yang terkandung dalam mata pelajaran PKN merupakan
pengertian-pengertian, uraian-uraian yang sangat teoritis. Sehingga metode pembelajaran
yang disampaikan oleh guru pada mata pelajaran PKN tak jarang adalah metode ceramah.
Misalnya guru berdiri di depan kelas menjelaskan beberapa pengertian yang dikutip dari
buku teks yang berhubungan dengan materi pelajaran, umapanya berkenaan dengan
pengertian negara. Selanjutnya guru akan menjelaskan definisi-definisi, misalnya definisi
negara.

Adapun pengertian negara adalah suatu persekutuan hidup bersama dari


masyarakat, adalah memiliki kekuasaan politik, mengatur hubungan-hubungan,
kerjasama dalam mayarakat untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang hidup dalam
2
wilayah tertentu Selain menjelaskan beberapa pengertian hal lainnya adalah
menjelaskan sejumlah pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Sehingga mau tidak mau
siswa harus menghafal misalnya menghafal pengertian negara, wilayah, bangsa atau pun
pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945 yang terdiri dari 37 pasal.

Metode menghapal sebagaimana yang umum terjadi tak jarang membuat siswa
menjadi bosan untuk mengikuti pelajaran. Hal ini tentu saja akan memberikan dampak
negatif khususnya dampak negatif yang akan terjadi pada siswa yakni siswa tidak tertarik
untuk menyimak materi pelajaran yang disampaikan guru. Dalam hal ini adalah mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Padahal mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang penting karena target pendidikan
kewarganegaraan dalam kerangka system pendidikan nasional, dipusatkan pada
kredibelitas kepribadian warga negara dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan
bernegara, berbangsa dan bermasyarakat Indonesia menurut konstitusi.

Pendidikan Kewarganegaraan juga bertujuan untuk memperluas wawasan dan


menumbuhkan kesadaran warga negara, sikap serta prilaku cinta tanah air, yang
bersendikan pada kebudayaan bangsa, wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
Secara demikian, warga negara diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami,
menganalisis dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa
2
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2014, hlm.139.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


308
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

dan negaranya secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita nasional


sebagaimana digariskan dalam pembukaan UUD 1945.

Ketidaktertarikan siswa untuk mengikuti pelajaran Kewarganegaraan tentu saja


akan mempengaruhi mutu pendidikan, dalam hal ini adalah pendidikan di tingkat
pendidikan dasar. Oleh karena itu diperlukan inovasi pembelajaran yang menyenangkan
untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dalam hal ini inovasi pembelajaran
menyenangkan yang penulis maksud adalah dengan melakukan simulasi kesadaran
berkonstitusi pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada siswa di tingkat
pendidikan dasar.

PEMBAHASAN

Seorang guru dikatakan profesional salah satu cirinya adalah apabila ia pandai dalam
mengelola kelas dan pandai mengajar. Profesional menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) adalah pekerjaan yang dilakukan benar-benar sesuai dengan
keterampilannya. 3 Guru yang pandai mengajar akan membuat siswa senang belajar
bersamanya. Waktu yang dilalui di dalam kelas ketika mengikuti pelajaran tidak terasa
membosankan bagi siswa. Mata pelajaran dengan materi yang mengharuskan siswa lebih
banyak menghapal tak bisa dinafikan akan membuat siswa lama kelamaan menjadi jenuh.
Terlebih lagi jika melihat kelebihan, minat dan bakat masing-masing siswa berbeda-beda.
Tidak seluruh siswa akan menyukai menghafal. Sebab dua atau tiga siswa lebih menyukai
menghitung atau menggambar. Oleh karenanya mata pelajaran seperti Pendidikan
Kewarganegaraan yang cenderung lebih banyak hafalan harus ada inovasi agar
pembelajaran menjadi menyenangkan. Suasana pembelajaran yang menyenangkan
diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan.

Inovasi pembelajaran yang menyenangkan pada mata pelajaran Pendidikan


Kewarganegaraan adalah sesuatu yang penting, mengingat dalam masa transisi atau
proses perjalanan menuju format baru dalam bentuk masyarakat madani (civil society),
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran di dunia persekolahan
(baca: SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA) dan dunia perguruan tinggi, harus mampu menjadi
pengawal moral dan karakter bangsa Indonesia selaras dengan tuntutan dunia yang selalu
berubah. Proses pembangunan karakter bangsa yang sejak proklamasi kemerdekaan RI
3
Kamisa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, CV Cahaya Agency, Surabaya, 2013, hlm.422.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


309
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

hendaknya selalu menjadi prioritas perlu direvitalisasi dan diselenggarakan sesuai


dengan arah dan panggilan jiwa konstitusi.

Adapun inovasi pembelajaran yang menyenangkan yang penulis maksud dalam


tulisan ini adalah inovasi pembelajaran pada mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan dengan melakukan simulasi kesadaran berkonstitusi pada siswa di
tingkat pendidikan dasar sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.

Pengertian simulasi menurut wikipedia adalah suatu proses peniruan dari sesuatu
yang nyata beserta keadaan sekelilingnya. Aksi melakukan simulasi ini secara umu
menggambarkan sifat-sifat karakteristik kunci dari kelakuan sistem fisik atau sistem yang
abstrak tertentu.4

Konsitusi menurut Kamus Hukum adalah Undang-Undang Dasar. 5 Adapun


Undang-Undang Dasar dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum
bentukan pada pemerintahan negara dan biasanya didokumentasi sebagai dokumen
tertuis. Di dalam konstitusi tidak mengatur hal-hal yang terperinci, melainkan hanya
menjabarkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi peraturan-peraturan lainnya.

Pengertian mutu atau kwalitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah ukuran baik buruk, kadar, taraf, atau derajat suatu benda. 6 Disamping itu, mutu
atau kualitas dapat pula diartikan sebagai gambaran dan karakteristik menyeluruh dari
barang dan jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang
diharapkan atau tersirat.

Pendidikan bermutu adalah pendidikan yang mampu melakukan proses kematangan


kwalitas peserta didik yang dikembangkan dengan cara membebaskan peserta didik dari
ketidaktahuan, ketidakmampuan, ketidakberdayaan, ketidakbenaran, ketidakjujuran dan
dari buruknya akhlak dan keimanan. Pada hakekatnya banyak hal yang mempengaruhi
mutu pendidikan misalnya kurikulum, sarana dan prasarana, guru yang profesional, nilai
moral masyarakat, lingkungan sekitar, kualitas guru, media pembelajaran yang inovatif
dan menyenangkan. Dalam tulisan ini penulis menitik beratkan pada kwalitas guru dan

4
https://id.m.wikipedia.org/wiki/simulasi diakses tanggal 19 November 2017, pukul 20:22 WIB
5
J.C.T Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.84.
6
Kamisa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, CV Cahaya Agency, Surabaya, 2013, hlm.324.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


310
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

media pembelajaran yang inovatif dan menyenangkan sebagai upaya meningkatkan mutu
pendidikan, khususnya pada mata pelajaran PKN di tingkat sekolah dasar.

Media pembelajaran yang inovatif dan menyenangkan pada mata pelajaran PKN di
tingkat sekolah dasar yang penulis maksud adalah dengan menerapkan simulasi
kesadaran berkonstitusi. Adapun metode simulasi kesadaran berkonstitusi dikemas
dengan menjadikan materi yang diajarkan di dalam kelas seperti laiknya sebuah
permainan julo-julo.7 Dimana setiap siswa diharuskan mengambil satu kertas kecil yang
sudah digulung dan dimasukkan di dalam wadah, dan kertas kecil tersebut
masing-masingnya sudah ditulisi angka 1 sampai 37 yang merupakan jumlah pasal dalam
UUD 1945. Lalu, setiap anak yang telah mengambil kertas kecil yang telah digulung dan
berisi pasal tersebut diminta untuk membuka dan memperlihatkan angka di dalam kertas.

Adapun angka yang tetera di dalam kertas merupakan pasal yang harus ia baca
pada kertas karton yang bertuliskan isi pasal dan telah ditempel di papan tulis. Misalnya
seorang siswa mengambil kertas kecil di dalam wadah dan pada kertas tersebut tertulis
angka 1 maka selanjutnya guru akan mengarahkan siswa untuk membaca Pasal 1 UUD
1945 yang tertulis di kertas karton. Pasal 1 UUD 1945 berkaitan dengan bentuk dan
kedaulatan. Adapun bunyi pasal 1 UUD 1945:

(1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.

(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

Dasar.

(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.

Setelah siswa dipandu membacakan bunyi pasal yang tertera di kertas karton,
kemudian dilanjutkan dengan siswa lainnya untuk mengambil kertas kecil di dalam
wadah dan kembali memperlihatkan angka yang terdapat pada isi kertas, lalu guru
kembali bertindak mengarahkan siswa untuk membaca isi pasal UUD 1945 pada kertas
karton yang ditempel pada papan tulis. Begitu seterusnya. Adapun pasal yang dibacakan
tidak harus berurutan, hal ini tergantung dari angka yang diperoleh siswa dari dalam
wadah. Misalnya setelah membacakan Pasal 1 UUD 1945 kemudian siswa lainnya

7
Julo-julo adalah kegiatan pengumpulan uang atau barang yang sama nilainya untuk diundi diantara orang
yang mengumpulkannya untuk menentukan siapa yang memperolehnya.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


311
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

mendapatkan angka 26 maka ia akan membacakan Pasal 26 UUD 1945. Adapun bunyi
Pasal 26 UUD 1945 adalah:

(1) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat
tinggal di Indonesia.

(2) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.

Setelah siswa membaca pasal demi pasal yang terdapat dalam UUD 1945
bertujuan agar siswa menjadi ingat dan menjadi mudah untuk mengahafalkan isi pasal
tersebut, begitu pula dengan siswa lainnya yang medengarkan. Hal ini juga
menumbuhkan kesadaran berkonstitusi pada siswa.

Selain guru yang berperan aktif mengarahkan siswa, guru juga menunjuk
beberapa siswa sebagai fasilitator diantara rekan-rekannya. Hal ini bertujuan untuk
mengajarkan pada siswa untuk percaya diri tampil di depan kelas. Selain itu, agar suasana
di kelas tidak kaku, maka pada saat siswa akan mengambil kertas kecil di dalam wadah
diselingi degan bernyanyi misalnya dengan lirik sebagai berikut;

Halo-halo apa kabar

Ambil kertasnya

Ayo ambil kertasnya

Lihat angkanya

Bacakan pasalnya

Ayo ayo bacakan pasalnya (lirik diulang hingga dua kali)

Menyelingi nyanyian dalam pembelajaran simulasi kesadaran berkonstitusi


bertujuan agar siswa tidak bosan membaca pasal demi pasal yang tertera di papan tulis.
Sehingga pendekatan simulasi kesadaran berkonstitusi pada mata pelajaran PKN
ditingkat pendidikan dasar sebagi upaya meningkatkan mutu pendidikan tercapai.

SIMPULAN DAN SARAN

Untuk menciptakan suasana yang menyenangkan pada saat proses belajar mengajar
maka harus digunakan metode pembelajaran yang tepat. Sebab kedudukan metode sangat

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


312
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

penting dalam proses interaksi antara siswa dan guru daam belajar, yakni sebagai
motivasi, strategi pengajaran dan sebagai alat untuk mencapai tujuan.

Namun, tidak banyak guru yang memberikan inovasi yang menyenangkan dan
penuh kreatifitas dalam mengajar. Oleh karena itu saran penulis seorang guru harus bisa
memilih metode yang sesuai dengan kondisi anak dan disesuaikan pula dengan materi
yang akan disampaikan. Guru yang menguasai dan terampil menggunakan berbagai
pendekatan dan strategi pengelolaan kelas akan dengan mudah dapat menciptakan dan
mempertahankan iklim belajar yang baik dan menyenangkan. Iklim yang demikian itu
memberi peluang kepada siswa untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya secara
optimal/ maksimal.

Misalnya anak yang pemalu untuk tampil kedepan dilatih untuk berani tampil. Pada
pelajaran PKN misalnya siswa diajarkan simulasi kesadaran berkonstitusi. Hal ini selain
bertujuan untuk memudahkan siswa menghafal pasal-pasal, juga untuk mengajarkan
siswa berani untuk tampil berbicara di depan kelas. Hal ini tentu hanyalah salah satu
inovasi dari penerapan pembelajaran yang menyenangkan. Tentu saja masih banyak yang
bisa dilakukan oleh tenaga pendidik yang mencintai anak-anak didiknya dan masih
banyak ide-ide kreatif yang dapat dilakukan agar anak-anak dapat termotivasi untuk terus
belajar.

Sebuah uangkapan yang menyebutkan bahwa seorang pendidik sejati adalah


orang yang bisa membuat semua hal yang sulit menjadi mudah dipahami, yang rumit
menjadi mudah dimengerti, atau yang sukar menjadi mudah dilakukan. Karena bukankah
siswa tidak akan peduli betapa pintarnya seorang guru, karena yang mereka pedulikan
adalah apakah guru tersebut juga peduli terhadap dirinya.

DAFTAR PUSTAKA

UUD 1945
J.C.T Simorangkir, dkk. 2010. Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Kaelan. 2014. Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
Kamisa. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia, CV Cahaya Agency, Surabaya.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/simulasi

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


313
PROSIDING

MP-42
INTEGRASI MULTIMEDIA INTERAKTIF DALAM PENDEKATAN REALISTIC
MATHEMATIC EDUCATION SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR
SISWA
Fredy

Pendidikan Dasar, Universitas Halu Oleo Kendari


E-mail: fredringgasa@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pendekatan realistic mathematic education


dengan mengintegrasikan mutimedia interaktif dalam meningkatkan hasil belajar siswa.
Pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan realistic mathematic education yang dilaksanakan
menggunakan masalah konkrit dengan bantuan multimedia interaktif. Penelitian ini merupakan
penelitian tindakan kelas yang mengandung empat komponen pada setiap siklusnya, yaitu
perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Subjek penelitian adalah guru dan siswa kelas IV
SD Negeri 08 Kasipute yang berjumlah 30 siswa. Data hasil penelitian diperoleh melalui
observasi dan tes hasil belajar. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kuantitatif dan
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan jumlah siswa yang sudah tuntas pada siklus 1
sebesar 19 siswa (63,33%) dan yang belum tuntas sebesar 11 siswa (36,67%) dengan rata-rata
nilai 69,10. Selanjutnya pada siklus 2 mengalami kenaikan dari siklus 1. Semua siswa dengan
jumlah 30 siswa (100%) telah memenuhi ketuntasan belajar dengan rata-rata nilai 80,67.
Kesimpulan penelitian ini adalah penerapan pendekatan realistic mathematic education dengan
mengintegrasikan multimedia intekraktif dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Keyword: realistic mathematic eduacation, multimedia interaktif, hasil belajar

PENDAHULUAN
Pada hakikatnya matematika berkaitan dengan ide-ide abstrak. Ide-ide yang abstrak pada
pelajaran matematika tersebut masih sulit dipelajari oleh siswa SD, karena tahap berpikirnya
masih belum formal dan masih konkrit. Piaget menyebutkan bahwa siswa usia 7-11 tahun berada
pada tahap operasional konkrit (Rifa’i dan Anni, 2011: 29). Oleh karena itu, seorang guru SD
harus kreatif dan inovatif dalam memberikan pembelajaran matematika kepada siswa, misalnya
dalam menggunakan multimedia interaktif dan pemberian permasalahan yang nyata atau konkrit
yang berkaitan dengan konteks kehidupan nyata di sekitar lingkungan siswa. Melalui pemberian
ilustrasi serta contoh konkrit wujud benda nyata yang ada di sekitar siswa, maka konsep abstrak
menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa dalam proses pembelajaran.
Hasil penelitian Fredy (2013: 163), salah satu materi yang dianggap sulit dipahami oleh
siswa kelas IV SD adalah materi bilangan bulat. Materi bilangan bulat disampaikan guru kepada
siswa dengan pendekatan yang abstrak tanpa adanya bantuan menggunakan media pembelajaran
yang interaktif, padahal pola berpikir siswa kelas IV masih berada pada taraf operasi (berpikir)
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

konkrit. Materi bilangan bulat adalah materi yang bersifat abstrak. Letak keabstrakannya dapat
dilihat dari bilangan bulat negatif yang jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga
siswa cenderung keliru dalam menentukan hasil penjumlahan maupun hasil pengurangan
bilangan bulat. Caron & Jacques (2001: 5), menjelaskan bahwa “addition and subtraction are
important parts of life and you don’t usually go through a day without needing to add or subtract
something. addition and subtraction are also the building blocks for more advanced math”.
Penjumlahan dan pengurangan merupakan fondasi untuk mempelajari matematika lebih lanjut.
Pemahaman konsep dasar bilangan bulat khususnya penjumlahan dan pengurangan bilangan
bulat sangat mendukung penguasaan konsep materi selanjutnya, karena banyak materi yang
saling terjalin dengan konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat.Oleh karena itu,
dibutuhkan media pembelajaran yang interaktif untuk membantu guru memvisualisasikan konsep
matematika yang abstrak sehingga konsep dasar bilangan bulat dapat dipahami dengan baik oleh
siswa.
Penggunaan bilangan bulat negatif yang jarang digunakan siswa dalam kehidupan
sehari-hari, menyulitkan siswa dalam menentukan hasil hitung penjumlahan dan pengurangan
bilangan bulat yang melibat bilangan bulat negatif. Contoh, dalam menentukan hasil hitung 3 +
(-2) = …?. Kebanyakan siswa akan menjawab 5, karena terpengaruh pada operasi bilangan bulat
positif 3 + 2 = 5. Oleh karena itu guru perlu menggunakan media yang inovatif untuk menjelaskan
ketidakpahaman siswa tersebut. Salah satunya penggunaan multimedia interaktif.
Kondisi pembelajaran yang demikian terjadi dalam pembelajaran matematika di kelas IV SD
Negeri 08 Kasipute kabupaten Bombana. Berdasarkan refleksi pembelajaran yang telah
dilaksanakan, diketahui bahwa pemahaman konsep matematika pada siswa kelas IV belum sesuai
yang diharapkan. Masih banyak siswa yang kurang memperhatikan penjelasan dari guru dan
mereka lebih memilih untuk bermain sendiri dan berbicara dengan temannya selama proses
pembelajaran berlangsung daripada mendengarkan penjelasan dari guru.
Hasil belajar matematika materi bilangan bulat yang kurang maksimal tersebut disebabkan
oleh proses pembelajaran yang masih menerapkan model konvensional, di mana guru
menjelaskan suatu konsep kemudian siswa hanya duduk mendengarkan. Suasana kelas cenderung
berpusat pada guru, sehingga siswa menjadi pasif, tidak dapat berpikir kritis, kurang berani untuk
bertanya, menjawab pertanyaan, dan mengemukakan pendapatnya saat pembelajaran
berlangsung. Guru juga kurang mengaitkan penyampaian materi pembelajaran dengan
permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari siswa. Diperlukan suatu pendekatan yang
mudah diterima oleh siswa dan bersifat realistis, yang artinya berhubungan erat atau berkaitan
dengan lingkungan sekitar siswa.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


315
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut yaitu menerapkan pendekatan
realistic mathematics education (RME) dengan mengintegrasikan multimedia interaktif dalam
pembelajaran matematika. Pendekatan ini bertitik tolak dari hal-hal yang konkrit, menekankan
keterampilan “process of doing mathematics”, berinteraksi, berkolaborasi, dan berargumentasi,
sehingga pada akhirnya siswa dapat menggunakan matematika untuk menyelesaikan masalah
baik secara individu maupun kelompok.
Penerapan pendekatan RME dengan mengintegrasikan multimedia interaktif pada materi
bilangan bulat, diawali dengan memberikan masalah (model konkrit) pada siswa, selanjutnya
dengan bantuan multimedia interaktif (model semikonkrit) siswa menentukan hasil penjumlahan
atau pengurangan bilangan bulat dengan cara memperhatikan dan meneliti arah dan gerak objek
“anak SD” yang ada dalam produk multimedia. Setelah siswa mampu menentukan hasil
penjumlahan atau pengurangan, siswa mengubah hasil kerjanya ke dalam simbol matematika.
Dengan pendekatan RME, diharapkan siswa tidak sekedar menghafal materi bilangan bulat yang
mereka dapat dari penjelasan guru saja, tetapi siswa lebih termotivasi dalam memahami materi
bilangan bulat tersebut, serta keterkaitan dan kebermanfaatannya dalam kehidupan nyata.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) dan dilaksanakan dalam dua
siklus, tiap sikus dilaksanakan sebanyak dua kali pertemuan . Model PTK yang digunakan
adalah PTK model Mc. Taggart yang mengandung empat komponen pada setiap siklusnya, yaitu:
(1) perencanaan (planning): rencana atau tindakan apa yang akan dilakukan untuk memperbaiki,
meningkatkan, atau perubahan perilaku dan sikap sebagai solusi; (2) tindakan (action) adalah
melaksanakan tindakan sebagai upaya perbaikan, peningkatan atau perubahan yang diinginkan;
(3) pengamatan (observing): mengamati atas hasil atau dampak dari tindakan yang dilaksanakan;
(4) refleksi (reflecting): peneliti mengkaji, melihat dan mempertimbangkan atas hasil atau
dampak dari tindakan yang dilaksanakan dari berbagai kriteria. Selanjutnya berdasarkan hasil
refleksi ini peneliti bersama guru dapat melakukan revisi terhadap rencana awal (Sanjaya, 2009:
50). Subjek penelitian adalah siswa dan guru Kelas IV SD Negeri 08 Kasipute tahun ajaran
2016/2017 yang berjumlah 30 orang dengan 13 orang perempuan dan 17 orang laki -laki.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif. Data
kualitatif diperoleh melalui hasil observasi dengan mengamati aktivitas guru dan siswa dalam
pembelajaran matematika. Data kuantitatif diperoleh melalui hasil tes belajar siswa materi
penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Dalam penelitian ini, guru yang melaksanakan
pembelajaran dan peneliti bertindak sebagai observer yang mengamati aktivitas mengajar guru
dan aktivitas belajar siswa.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


316
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif untuk menghitung rata-rata
perolehan nilai siswa, presentase ketuntasan klasikal, presentase ketuntasan keberhasilan aktivitas
mengajar guru dan presentase keberhasilan aktivitas belajar siswa yang dicapai setelah proses
pembelajaran berlangsung pada setiap siklus.
Indikator keberhasilan dalam penelitian dapat dilihat pada indikator keberhasilan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan RME yaitu apabila
85% aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran telah sesuai dengan
RPP dan indikator keberhasilan yang berkaitan dengan peningkatan hasil belajar matematika
siswa yaitu apabila minimal 80% siswa telah memperoleh skor 70 (sesuai KKM yang ditetapkan).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tindakan Siklus 1
Pembelajaran dengan materi penjumlahan bilangan bulat ini dilakukan dengan
mengintegrasikan multimedia interaktif dalam pendekatan RME. Tahapan pembelajaran RME
yang dilaksanakan pada siklus 1 disajikan pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Tahapan Pembelajaran RME pada Pertemuan Pertama Siklus 1


Tahapan Aktivitas Pembalajaran
Pembelajaran Guru Siswa
menyampaikan Guru memberikan contoh masalah kepada Siswa menjawab pertanyaan
masalah nyata siswa tentang penjumlahan bilangan bulat tersebut dengan berbeda-beda
positif, “Ardi bergerak mundur sejauh empat jawaban.
meter. Kemudian dia mundur lagi sejauh tiga
meter. Berapa meter posisi Ardi sekarang?”
tahap operasional Guru membimbing siswa memperagakan Memperhatikan penjelasan guru
konkret penjumlahan bilangan bulat positif tersebut dan memperagakan kembali
denganbergerak mundur sejauh empat meter, dengan bergerak mundur sejauh
kemudian mundur lagi sejauh tiga meter. empat meter, kemudian mundur
Posisi guru sekarang berada pada negatif lagi sejauh tiga meter. Posisi anak
tujuh meter sekarang berada pada negatif tujuh
meter.
tahap model Guru membimbing siswa dalam kelompok Siswa secara berkelompok dan
formal memecahkan masalah yang berkaitan dengan menggunakan media
penjumlahan dua bilangan bulat positif dan pembelajaran bilangan bulat
dua bilangan negatif dengan menggunakan memecahkan masalah yang
multimedia interaktif bilangan bulat. berkaitan dengan penjumlahan
Contoh: dua bilangan bulat positif dan dua
bilangan negatif.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


317
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tahapan Aktivitas Pembalajaran


Pembelajaran Guru Siswa

Penjumlahan dua bilangan negatif, contoh (-4) + (3)

Penjumlahan dua bilangan negatif, contoh (-4) + (3)

Hasil menunjukkan (-4) + (-3) = -7


tahap model Guru menyuruh siswa mengerjakan Siswa mengerjakan LKS tentang
formal LKS tentang penjumlahan dua penjumlahan dua bilangan bulat positif
bilangan bulat positif dengan bantuan dengan bantuan media model formal
media model formal berupa gambar berupa gambar arah dan gerak

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


318
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tahapan Aktivitas Pembalajaran


Pembelajaran Guru Siswa
arah dan gerak
tahap matematika Guru menyuruh siswa mengubah Siswa mengubah hasil kerjanya ke dalam
formal hasil kerjanya dari media model simbol matematika. Contoh:
formal ke dalam simbol matematika. (-4) + (-3) = -7
Selanjutnya siswa mempresentasikan hasil kerja kelompoknya dengan memperagakan cara menghitung
hasil jumlah bilangan bulat dengan bantuan multimedia interaktif yang telah disediakan di depan kelas
secara bergantian.

Pada akhir tindakan siklus 1 ini dilakukan tes belajar siswa untuk melihat tingkat
pencapaian hasil belajar siswa. Pengukuran hasil belajar siswa dilakukan dengan memberikan
soal-soal tes secara individu kepada siswa. Analisis hasil tes siklus 1 dapat dilihat dalam tabel 2
berikut ini.

Tabel 2. Analisis Hasil Belajar Siswa pada Siklus 1

No. Ketuntasan Jumlah siswa Persentase


1. Tuntas 19 63,33%
2. Tidak Tuntas 11 36,67%
Skor Tertinggi = 85
Skor Terendah = 60
Rata-Rata Skor = 68,7
Berdasarkan tabel 2 di atas, diketahui bahwa jumlah siswa yang sudah tuntas sebesar 19
siswa (63,33%) dan yang belum tuntas sebesar 11 siswa (36,67%). Ini belum memenuhi indikator
keberhasilan yang ditetapkan yaitu jumlah siswa yang tuntas minaml 70% sehingga penelitian
dilanjutkan pada siklus 2. Hasil observasi dengan menggunakan lembar observasi juga belum
memenuhi indikator keberhasilan sehingga penelitian dilanjutkan pada siklus 2. Hasil observasi
terhadap aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa dapat dilihat pada tabel 3 berikut.

Tabel 3. Hasil Observasi pada Siklus 1


% Keterlaksanaan Siklus 1
No. Aktivitas
Pertemuan 1 Pertemuan 2
1. Aktivitas mengajar guru 75% 90%
2. Aktivitas belajar siswa 61,50% 80,33%
Rata-rata % keteralaksanaan aktivitas mengajar guru = 82,50%
Rata-rata % keteralaksanaan aktivitas belajar siswa = 70,92%

Berdasarkan tabel 3 di atas, diketahui bahwa rata-rata keterlaksanaan aktivitas mengajar


guru sebesar 82,50% dan rata-rata keterlaksanaan aktivitas belajar siswa sebesar 70,92%.
Terdapat kenaikan aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa dari pertemuan pertama ke
pertemuan kedua pada siklus 1 namun kondisi ini belum memenuhi indikator keberhasilan yang
ditetapkan sehingga penelitian dilanjutkan pada siklus 2. Dalam pengamatan ini, peneliti melihat
adanya kekurangan dalam proses pembelajaran. Kekurangan tersebut di antaranya yaitu:
1. Siswa masih sulit untuk dikendalikan. Guru belum mampu membuat siswa antusias mengikuti
kegiatan pembelajaran.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


319
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

2. Masih banyak siswa yang ramai dan bermain sendiri sehingga membuat kondisi belajar
menjadi kurang kondusif.
3. Waktu pembelajaran terlalu lama sehingga melebihi alokasi waktu pada RPP
4. Pengelompokan siswa pada siklus 1 yang terlalu banyak anggotanya mengakibatkan
pembelajaran pada tahap model konkret dan model formal menjadi kurang efektif
5. Siswa belum terlalu paham dalam menggunakan media pembelajaran
6. Hanya sebagian siswa saja yang aktif mengikuti kegiatan pembelajaran.
7. Siswa kurang terfasilitasi dalam kegiatan pembelajaran dikarenakan persiapan guru yang
kurang maksimal.
8. Masih terdapat siswa yang kesulitan dalam mengerjakan soal latihan dan tes siklus 1.
Peneliti ingin meminimalisir kekurangan-kekurangan tersebut dan memperbaikinya agar
mampu mencapai hasil penelitian seperti yang telah ditentukan. Berikut adalah rencana perbaikan
yang akan dilaksanakan di siklus selanjutnya yaitu siklus 2.
1. Guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran dilakukan dengan semenarik mungkin
sehingga siswa antusias untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Guru menyemangati siswa
dengan melakukan yel-yel secara bersama-sama dengan siswa. Dengan demikian diharapkan
siswa lebih mudah untuk dikendalikan dalam kegiatan pembelajaran.
2. Guru memberikan tugas memperagakan materi untuk siswa yang ramai atau atau bermain
sendiri saat kegiatan pembelajaran berlangsung.
3. Sebelum melaksanakan pembelajaran, guru harus lebih memperhitungkan alokasi waktu
pembelajaran. Sehingga dalam pelaksanaannya tidak akan melebihi alokasi waktu yang telah
ditentukan.
4. Guru membentuk kelompok-kelompok siswa yang sebelumnya beranggotakan lima siswa,
menjadi dua sampai tiga siswa tiap kelompok agar siswa dapat mengerjakan LKS dengan
lebih serius dan maksimal, sehingga pembelajaran lebih efisien.
5. Guru lebih memberikan bimbingan-bimbingan dan bantuan kepada kelompok atau siswa yang
mengalami kesulitan. Sehingga tidak ada siswa yang terabaikan, dengan demikian siswa akan
menjadi lebih aktif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
6. Guru memberikan peringatan kepada siswa supaya siswa lebih teliti ketika mengerjakan soal
baik soal latihan maupun soal evaluasi. Guru meminta siswa agar meneliti jawaban evaluasi
lebih dari satu kali.

Tindakan Siklus 2
Data yang diperoleh pada siklus 1 dijadikan sebagai acuan dalam melaksanakan tindakan
pada siklus 2, dengan tujuan agar diperoleh peningkatan hasil belajar siswa. Materi pembelajaran
pada siklus 2 adalah pengurangan bilangan bulat dengan tahapan seperti pada tabel 4 berikut.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


320
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tabel 4. Tahapan Pembelajaran RME pada Pertemuan Pertama Siklus 2


Tahapan Aktivitas Pembalajaran
Pembelajaran Guru Siswa
menyampaikan Guru memberikan contoh masalah Siswa menjawab pertanyaan tersebut
masalah nyata kepada siswa tentang penjumlahan dengan berbeda-beda jawaban.
bilangan bulat positif, “Ardan bergerak
mundur sejauh enam meter. Kemudian
dia balik arah dan mundur lagi sejauh
tiga meter. Berapa meter posisi Ardan
sekarang?”
tahap Guru membimbing siswa Memperhatikan penjelasan guru dan
operasional memperagakan penjumlahan bilangan memperagakan kembali dengan bergerak
konkret bulat positif tersebut dengan bergerak mundur sejauh enam meter. Kemudian
mundur sejauh enam meter. Kemudian dia balik arah dan mundur lagi sejauh tiga
dia balik arah dan mundur lagi sejauh meter. Posisi guru sekarang berada pada
tiga meter. Posisi guru sekarang berada negatif tiga meter
pada negatif tiga meter
tahap model Guru membimbing siswa dalam Siswa secara berkelompok dan
formal kelompok memecahkan masalah yang menggunakan media pembelajaran
berkaitan dengan penjumlahan dua bilangan bulat memecahkan masalah
bilangan negatif dengan menggunakan yang berkaitan dengan dua bilangan
media pembelajaran bilangan negatif.
bulat.Contoh:

Pengurangan dua bilangan negatif, contoh (-6) - (-3)

Anak mundur enam satuan kemudian berbalik arah dan mundur tiga satuan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


321
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tahapan Aktivitas Pembalajaran


Pembelajaran Guru Siswa

Hasil menunjukkan (-6) - (-3) = 3


tahap model Guru menyuruh siswa mengerjakan LKS Siswa mengerjakan LKS tentang
formal tentang penjumlahan dua bilangan bulat penjumlahan dua bilangan bulat negatif
negatif dengan bantuan media model dengan bantuan media model formal
formal berupa gambar arah dan gerak berupa gambar arah dan gerak
tahap Guru menyuruh siswa mengubah hasil Siswa mengubah hasil kerjanya ke
matematika kerjanya dari media model formal ke dalam simbol matematika. Contoh:
formal dalam simbol matematika. (-6) - (-3) = 3
Selanjutnya siswa mempresentasikan hasil kerja kelompoknya dengan memperagakan cara menghitung
hasil jumlah bilangan bulat dengan bantuan multimedia interaktif yang telah disediakan di depan kelas
secara bergantian.

Pada akhir tindakan siklus 2 ini dilakukan tes hasil belajar siswa untuk melihat tingkat pencapaian
hasil belajar siswa. Analisis tes hasil belajar siklus 2 dapat dilihat dalam tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Analisis Hasil Belajar Siswa pada Siklus 2


No. Ketuntasan Jumlah siswa Persentase
1. Tuntas 30 100%
2. Tidak Tuntas 0 0%
Skor Tertinggi = 100
Skor Terendah = 70
Rata-Rata Skor = 80,67

Berdasarkan tabel 5 di atas, diketahui bahwa seluruh siswa yaitu 30 siswa (100%) telah memiliki
ketuntasan belajar.Ini sudah memenuhi indikator keberhasilan yang ditetapkan yaitu jumlah
siswa yang tuntas minaml 70% sehingga penelitian dihentikan pada siklus 2.
Peneliti mengamati proses penelitian yang sedang berlangsung dengan menggunakan
lembar observasi. Lembar observasi tersebut meliputi kegiatan guru dan kegiatan siswa pada saat
proses pembelajaran berlangsung. Hasil observasi terhadap aktivitas mengajar guru dan aktivitas
belajar siswa dapat dilihat pada tabel 6 berikut.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


322
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tabel 6. Hasil Observasi pada Siklus 2


% Keterlaksanaan Siklus 2
No. Aktivitas
Pertemuan 1 Pertemuan 2
1. Aktivitas mengajar guru 85% 100%
2. Aktivitas belajar siswa 82,33% 93,33%
Rata-rata % keteralaksanaanaktivitas mengajar guru = 92,59%
Rata-rata % keteralaksanaan aktivitas belajar siswa = 87,67%

Berdasarkan tabel 6 di atas, diketahui bahwa rata-rata keterlaksanaan aktivitas mengajar guru
sebesar 92,50% dan rata-rata keterlaksanaan aktivitas belajar siswa sebesar 87,67%. Terdapat
kenaikan aktivitas mengajar guru dan aktivitas belajar siswa dari pertemuan pertama ke
pertemuan kedua pada siklus 2.Kondisi ini telah memenuhi indikator keberhasilan yang
ditetapkan sehingga penelitian dihentikan pada siklus 2.
Dari data penelitian siklus 2, peneliti dapat menyimpulkan bahwa penelitian sudah
mengalami peningkatan. Pada proses pembelajaran, guru memberikan apersepsi yang dapat
memancing siswa untuk bertindak lebih aktif. Hal ini tidak lepas dari peran guru dalam
menyampaikan materi, yaitu guru lebih menekankan pemahaman siswa terhadap materi dengan
menggunakan pendekatan matematika realistik. Pada siklus 2, guru dalam kegiatan pembelajaran
menggunakan pendekatan matematika realistik tidak lagi tergesa-gesa atau terlalu cepat sehingga
siswa lebih memahami bagaimana cara menyelesaikan soal latihan pada LKS. Hal ini berdampak
positif pada hasil belajar siswa yang mengalami peningkatan. Pada pelaksanaan siklus 2, tidak
ditemukan kendala atau kekurangan yang berarti pada proses pelaksanaanya. Hal ini dikarenakan
bahwa siklus 2 merupakan perbaikan dari pelaksanaan pada siklus 1. Selain itu juga adanya saran
yang diberikan guru untuk perbaikan pelaksanaanya.Perubahan pelaksanaan pada siklus 2
misalnya penambahan kegiatan pembelajaran, yaitu pemberian pertanyaan (kuis). Dengan adanya
tambahan kegiatan tersebut, para siswa lebih antusias dalam mengikuti pelajaran matematika. Hal
ini berdampak pada pemahaman siswa dalam menyelesaikan soal latihan. Para siswa lebih
memahami materi dan hasilnya dapat dilihat dari nilai rata-rata kelas yang meningkat.

PEMBAHASAN
Sri Subarinah (2006: 2) menyatakan bahwa siswa usia SD sedang mengalami
perkembangan dalam tingkat berpikirnya. Tahap berpikirnya masih belum formal dan relatif
masih konkret, bahkan untuk sebagian anak SD kelas rendah masih ada yang pada tahapan pra
operasional konkret. Siswa SD yang ada pada tahap prakonkret belum memahami hukum
kekekalan, sehingga sulit mengerti konsep-konsep operasi, seperti penjumlahan, pengurangan,
pembagian dan perkalian sedangkan siswa SD pada tahap berpikir konkret sudah bisa memahami
hukum kekekalan, tetapi belum bisa diajak untuk berpikir secara deduktif sehingga pembuktian
dalil-dalil matematika sulit untuk dimengerti oleh siswa. Siswa SD kelas atas (lima dan enam

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


323
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

dengan usia 11 tahun ke atas) sudah pada tahap berpikir formal, siswa ini sudah bisa berpikir
secara deduktif. Siswa masih perlu berpikir sehubungan dengan objek-objek konkret, meskipun
hanya dalam imaginasi.
Berdasarkan pernyataan tersebut, guru hendaknya menempatkan siswa dalam situasi
belajar yang menyenangkan sehingga bakat-bakat siswa dapat tergali serta siswa merasa lebih
termotivasi dan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Pada pembelajaran dengan pendekatan
matematika realistik, siswa akan dihadapkan pada situasi-situasi konkret, dimana siswa akan
bekerja secara berkelompok maupun secara individu dalam situasi yang menyenangkan dengan
adanya permasalahan nyata yang harus dipecahkan dengan bantuan media benda konkret dan alat
peraga.
Lebih lanjut, Sanjaya (2012: 221) mengatakan bahwa penggunaan media interaktif
menuntut siswa mengaplikasikan ide dan pengetahuan yang dimilikinya secara langsung
dalamkegiatan pembelajaran. Setelah melihat “arahdan gerak anak” dalam tampilan
multimedia,siswa dapat mengaplikasikan langsung “arah dan gerak anak” tersebut dalam
pembelajaransehingga dapat memberikan penguatan yang lebih baik untuk memahami materi
bilangan bulat, dan pembelajaran lebih kontekstual sertasesuai dengan karakteristik anak SD.
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan matematika realistik dengan
langkah-langkah yang telah direncanakan. Skema pembelajaran matematika digambarkan
sebagai gunung es, pada lapisan dasar adalah konkret, kemudian di atasnya ada model konkret, di
atasnya lagi ada model formal dan paling atas adalah matematika formal.Tahapan kegiatan siswa
pada pembelajaran RME pada materi bilangan bulat dapat dilihat pada gambar 2 berikut.

Tahap matematika formal


Dalam tahap ini siswa sudah
menggunakan lambang bilangan dalam
menghitung penjumlahan dan pengurangan
bilangan bulat

Tahap model formal


Dalam tahap ini siswa menggunakan gambar “anak berjalan
maju atau mundur” dalam menyelesaikan masalah sehari-hari
tentang penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat

Tahap model konkrit


Dalam tahap ini siswa dengan bantuan multimedia memperagakan
“arah dan gerak” mengerjakan masalah sehari-hari tentang penjumlahan
dan pengurangan bilangan bulat

Tahap konkrit
Dalam tahap ini siswa melakukan peragaan “arah dan gerak” dalam
mengerjakan masalah sehari-hari tentang penjumlahan dan pengurangan
bilangan bulat

Gambar 2. Tahapan Kegiatan Siswa pada Pembelajaran RME

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


324
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Pelaksanaan tindakan pada penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus dan masing-masing
siklus terdiri dari 2 pertemuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran
sudah berjalan dengan baik dan sesuai dengan indikator kinerja yang telah ditentukan.Pada siklus
1, siswa sudah melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik dengan baik.
Berdasarkan data-data tersebut, peneliti dan observer menyimpulkan bahwa pelaksanaan
pembelajaran pada siklus 1 masih belum berhasil. Untuk itu peneliti dan observer melaksanakan
tindakan pada siklus berikutnya dengan melakukan refleksi, kekurangan-kekurangan yang
muncul pada siklus 1 akan diperbaiki pada siklus berikutnya yaitu siklus 2. Pada siklus 2, hasil
belajar siswa dalam pembelajaran dengan pendekatan matematika realistik dengan sangat baik.
Hal itu dapat dibuktikan pada siklus 2, hasil belajar siswa mengalami peningkatan yaitu mencapai
80,67 yang termasuk dalam kategori sangat baik karena sudah memenuhi kriteria ketuntasan
minimal.
Berdasarkan data-data tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran
pada siklus 2 sudah dikatakan berhasil. Oleh karena itu peneliti menyudahi pelaksanaan tindakan
hanya sampai pada siklus 2. Secara keseluruhan peningkatan pembelajaran matematika tentang
operasi hitung bilangan bulat melalui pendekatan matematika realistik pada siswa kelas IV SD
Negeri 08 Kasipute telah mencapai titik keberhasilan.
Keberhasilan pembelajaran matematika siswa kelas IV SD Negeri 08 Kasipute ditandai
dengan adanya peningkatan dan perubahan pada setiap siklus, Asrori (2009), pembelajaran
merupakan suatu proses perubahan tingkah laku yang diperoleh melalui pengalaman individu
yang bersangkutan. Dengan adanya pelaksanaan pembelajaran yang diberikan oleh guru, artinya
guru telah memberikan pengalaman belajar langsung kepada setiap siswa.
Dalam penelitian masih terdapat siswa yang belum paham tentang penjumlahan dan
pengurangan bilangan bulat, terbukti dengan masih adanya nilai siswa yang belum mencapai
KKM, ini disebabkan karena siswa tersebut belum paham tentang tanda negatif (-) pada suatu
bilangan, padahal tanda negatif (-) akan berpengaruh terhadap hasil penjumlahan atau
pengurangan.Siswa yang mencapai nilai tertinggi di kelas ini sudah paham tanda negatif (-), jadi
anak tersebut dapat mengikuti pembelajaran penjumlahan dan pengurangan dengan baik. Hal
tersebut mengacu pada pendapat Ausubel (dalam Mendiknas 2006) menyatakan bahwa
pengetahuan dasar yang dimiliki siswa akan sangat menentukan bermakna tidaknya suatu proses
pembelajaran. Itulah sebabnya para guru harus mengecek, memperbaiki dan menyempurnakan
pengetahuan para siswa sebelum membahas materi baru.

KESIMPULAN
Penerapan pendekatan realistic mathematic education (RME) berbasis multimedia
interaktif pada materi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat dapat meningkatkan hasil

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


325
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

belajar siswa kelas IV SD Negeri 08 Kasipute Kabupaten Bombana. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah siswa yang sudah tuntas pada siklus 1 sebesar 19 siswa (63,33%) dan yang belum tuntas
sebesar 11 siswa (36,67%) dengan rata-rata nilai 69,10. Selanjutnya pada siklus 2 mengalami
kenaikan dari siklus 1. Seluruh siswa dengan jumlah 30 orang (100%) telah memenuhi ketuntasan
belajar dengan rata-rata nilai 80,67.
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Nyimas dkk. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Asrori, H. M. 2009. Penelitian Tindakan Kelas Peningkatan Kompetensi Profesional Guru.
Yogyakarta: Multi Press.

Fredy. 2013. Pengembangan Media Pembelajaran Matematika pada Materi Bilangan Bulat
Kelas IV SDN Lempuyangan I Yogyakarta. Jurnal Prima Edukasia, Volume 1 - Nomor 2,
2013.
Caron, L., & Jacques, P., M., St. 2001. Addition and subtraction. New York: Enslow Publisher,
Inc.
Mendiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Riduwan. 2011. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula.Bandung:
Alfabeta.
Rifa’i, Achmad dan Catharina Tri Anni. 2011. Psikologi Pendidikan. Semarang: Universitas
Negeri Semarang Press.

Sanjaya, W. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Prenada Media Group.


Sanjaya, W. 2012. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran.Jakarta: Prenada Media
Group.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


326
PROSIDING

MP-43
INTEGRASI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DAN MATEMATIKA
MENGGUNAKAN KONTEKS DALAM PENDEKATAN PENDIDIKAN
MATEMATIKA REALISTIK
1
Ferdinandus E. Dole, 2Gregorius Sebo Bito
1’2
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende
E-mail:1 sebobito@gmail.com 2 dole_ferdinan@yahoo.co.id

Abstrak

Pembelajaran Tematik Terpadu merupakan pendekatan pembelajaran yang digunakan di Sekolah


Dasar seperti diamanatkan Kurikulum 2013. Pendekatan ini menuntut guru untuk memadukan
beberapa mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran menggunakan tema tertentu sebagai
unsur pengorganisasi atau pemersatu. Di sisi lain, Pendekatan Matematika Realistik menuntut
penggunaan konteks sebagai titik awal untuk memulai pengembangan konsep matematika.
Konteks dimaksud berpeluang dikembangkan untuk mata pelajaran lain yang dapat dibelajarkan
bersamaan dengan materi matematika yang menjadi muara pengembangan dan penggunaan
konteks. Makalah ini memaparkan sebuah pembelajaran tematik dimana tema sebagai unsur
pengorganisasi antar mata pelajaran merupakan konteks yang dipilih untuk tujuan pembelajaran
matematika dengan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Jika guru
merencanakan pembelajaran dengan pendekatan PMR, sebetulnya, guru telah melaksanakan
pembelajaran tematik terpadu walau perlu sedikit dimodifikasi untuk tujuan membelajarkan mata
pelajaran lain yang bersesuaian.

Kata Kunci: Tematik, Konteks, Pendidikan Matematika Realistik, Bahasa Indonesia


PENDAHULUAN

Kurikulum 2013 telah resmi diberlakukan di sekolah-sekolah Indonesia dan sampai saat
ini masih dijumpai banyak masalah dalam tataran implementasinya. Alasan menarik yang
dijumpai dari rasionalisasi adanya kurikulum 2013 adalah rujukan pada rendahnya capaian
anak-anak Indonesia dalam TIMSS dan PISA. Selain itu, hasil studi internasional untuk reading
dan literacy (PIRLS) yang ditujukan untuk kelas IV SD juga menunjukkan hasil bahwa lebih dari
95% peserta didik Indonesia di SD kelas IV hanya mampu mencapai level menengah, sementara
lebih dari 50% siswa Taiwan mampu mencapai level tinggi dan advance (Kemendiknas, 2014:3).
Kalau diperhatikan secara seksama, hal utama yang menjadi titik tekan dalam soal soal TIMSS
dan PISA adalah proses matematisasi. Dalam proses matematisasi, konteks yang merupakan
situasi masalah matematika memiliki kedudukan yang sangat penting (Sebo Bito, 2013:21). Ini
berarti bahwa kurikulum 2013 secara eksplisit mewajibkan pembelajaran matematika yang
dimulai dengan permasalahan yang dikenal siswa.

Dengan menggunakan konteks, matematika akan sangat bermakna bagi siswa karena
belajar matematika dimulai dengan situasi yang dikenal dan familiar dengan siswa. Konteks yang
digunakan adalah konteks yang dapat melibatkan siswa untuk melakukan proses matematisasi,

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

yaitu suatu proses dimana siswa terlibat untuk mengkonstruksi atau membangun sendiri
pengetahuan matematika.

Kurikulum 2013 menghendaki pembelajaran di SD dilaksanakan secara tematik


integratif. Namun, sebagian besar guru masih bingung untuk melaksanakan pembelajaran dengan
pendekatan tematik terpadu. Kebingungan ini disebabkan karena guru tidak mau mengubah pola
pikir dan cenderung untuk tetap berada pada zona nyaman yaitu mempertahankan kebiasaan
membelajarkan mata pelajaran secara terpisah. Di sisi lain, pendekatan pendidikan matematika
realistik (PMR) merupakan suatu pendekatan pembelajaran matematika yang mengisyaratkan
penggunaan konteks sebagai starting point pembelajaran matematika. Pada awal pembelajaran,
siswa diberikan masalah kontekstual dan berawal dari masalah tersebut siswa dapat mengakuisisi
pengetahuan matematika sesuai fenomena yang ada dalam masalah kontekstual tersebut.

Masalah kontekstual matematika juga berpeluang untuk dikembangkan guna


membelajarkan mata pelajaran lain yang bersesuaian dengan konteks. Hal ini berarti bahwa
pembelajaran matematika yang dilaksanakan dengan pendekatan PMR dapat dikembangkan
untuk membelajarkan mata pelajaran lain dengan konteks sebagai unsur pemersatu.

BENANG MERAH ANTARA PENDEKATAN TEMATIK TERPADU DAN


PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK.
Pembelajaran tematik terpadu secara sederhana dapat dikatakan pendekatan
pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran ke dalam
sebuah tema. Tema tersebut disebut sebagai unsur pemersatu berbagai kompetensi dasar dari
berbagai mata pelajaran. Tema merajut makna berbagai konsep dasar sehingga peserta didik tidak
belajar konsep dasar secara parsial namun pembelajarannya memberikan makna yang utuh
kepada peserta didik seperti tercermin pada berbagai tema yang tersedia (Depdiknas, 2013:134).
Pendekatan ini terbukti mampu mewadahi dan menyentuh secara terpadu dimensi emosi, fisik,
dan akademik peserta didik di dalam kelas atau di lingkungan sekolah (Kemendiknas, 2014:15).

Dalam Kemendiknas (2014:15) disebutkan bahwa pembelajaran tematik terpadu


berfungsi untuk memberikan kemudahan bagi peserta didik dalam memahami dan mendalami
konsep materi yang tergabung dalam tema serta dapat menambah semangat belajar karena materi
yang dipelajari merupakan materi yang nyata (kontekstual) dan bermakna bagi peserta didik
secara utuh.

Digunakannya materi yang nyata dan kontekstual merupakan salah satu karakteristik dari
pendekatan pendidikan matematika realistik (PMR). Dengan kata lain, dengan
mengimplementasikan penggunaan masalah kontekstual (konteks) sebagai starting point

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


328
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pembelajaran matematika merupakan penerapan pendekatan tematik terpadu seperti yang


disyaratkan Kurikulum 2013.

Dalam pendekatan tematik terpadu di sekolah dasar, Bahasa Indonesia merupakan


penghela pengetahuan dalam arti bahwa pembelajaran harus dimulai dan diakhiri dengan
penguatan bahasa Indonesia (Kemendiknas, 2014:3). Dengan demikian, konteks dapat digunakan
untuk mengembangkan bahasa Indonesia baik aspek membaca, menyimak, menulis dan aspek
lainnya.

Gardella (2009:9-20) melukiskan hubungan antara Bahasa dan Matematika.


Pembelajaran matematika dimulai dengan realitas dan bahasa yang familiar dengan peserta didik
dan memungkinkan peserta didik untuk memahami konsep yang akan dipelajari.

Gambar 1: Hubungan antara Bahasa dan Matematika (Sumber : Gardella, F.J. 2009. Introducing Difficult
Mathematics Topic in the Elementary Classroom: A Teacher’s Guide to Initial Lessons. NY:
Routledge)
Pemaparan dari Gardella tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara
pembelajaran Matematika dan Bahasa sehingga kedua bidang ini sangat potensial untuk diajarkan
atau dibelajarkan secara bersama-sama. Dalam paparan Gardela, terlihat jelas bahwa konsep
berpikir pembelajaran kedua mata pelajaran tersebut sama, yakni bergerak dari hal konkrit ke
abstrak. Dalam pembelajaran matematika bergerak dari konkrit ke simbolik sementara hal yang
sama dalam pembelajaran bahasa dimulai dengan bahasa yang mudah dipahami, bahasa lisan dan
bahasa yang lazim menuju bahasa formil, bahasa tulis dan baku. Dimana bahasa yang digunakan
dalam pembelajaran dimulai dengan bahasa yang sesuai dengan konteks kelaziman anak dan
perlahan menuju pada penguasaan penggunaan bahasa baku.

Terlepas dari apa yang disampaikan Gardela, secara otomatis kedua pembelajaran ini
dapat dibelajarkan secara bersamaan karena bagaimanapun dalam pembelajaran matematika

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


329
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

menggunakan media bahasa dalam mengkomukanikasikan obyek-obyek matematika. Dengan


demikian proses pembelajaran matematika dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan
berbahasa.

KONTEKS DALAM PENDEKATAN PMR


Pendekatan PMR mensyaratkan pentingnya penggunaan konteks yang bermakna dalam
memulai pembelajaran matematika. Penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika juga
ditekankan sebagai salah satu unsur utama struktur kerangka kerja matematika PISA (PISA
mathematics framework) yaitu ML+3Cs (PISA, 2009:18). Unsur-unsur tersebut adalah
mathematical literacy, context, content, dan competencies.

Kata Konteks memiliki banyak arti jika dilihat dari beberapa sudut pandang. Roth (1996)
seperti yang dikutip dan dielaborasi oleh Wijaya (2012:p.32) menyebutkan tiga sudut pandang
berkaitan dengan definisi konteks, yaitu merupakan deskripsi situasional suatu masalah,
permasalahan sehari hari yang dapat dirubah ke dalam model matematika, dan berbagai situasi
spesifik.

Konteks sebagai deskripsi situasional suatu masalah yang oleh Roth menggunakan term
con-text (Wijaya, 2012:p.13). Sedangkan konteks sebagai permasalahan sehari-hari yang dapat
dirubah ke dalam model matematika dan situasi spesifik (dunia nyata) merupakan konteks yang
dimaksudkan dalam pendekatan PMR. Permasalahan dan fenomena yang ada dalam kehidupan
sehari-hari akan dimatematisasi secara bertahap menjadi konsep matematika. Aryadi Wijaya
(2012:p.13) menyatakan bahwa matematisasi bisa diartikan sebagai proses mematematikakan
suatu konteks, yaitu proses untuk menerjemahkan suatu konteks menjadi konsep matematika.

Konteks yang dimaksud di atas merupakan konteks yang bermakna untuk tujuan proses
matematisasi artinya, konteks harus bermakna untuk tujuan pengembangan konsep matematika.
Haylock & Thangata (2007:p.117) menyatakan: “meaningfull contexts are important for the
development as well as for the application of mathematical knowledge and skills, because they
promote and enchance meaningful learning”.Konteks yang bermakna sangat penting dan baik
untuk aplikasi pengetahuan dan kecakapan matematika, karena dapat meningkatkan dan
membuat pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna.

PISA juga menekankan pada kemampuan siswa untuk menganalisis, memberikan alasan,
mengkomunikasikan gagasan, merumuskan, menyelesaikan dan menginterpretasikan masalah
matematika yang dikonstruksi dalam beragam konteks (OECD, 2009 dalam Sebo Bito, 2013:21).
Masalah-masalah dalam soal tes PISA dikonstruksi dalam empat konteks yang berbeda yaitu
personal, educational and occupational, public dan scientific (OECD, 2009: 30).

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


330
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Konteks personal merupakan konteks atau situasi masalah matematika yang secara
langsung bersentuhan dengan kegiatan individu siswa sehari-hari. Konteks pendidikan dan
pekerjaan berhubungan dengan situasi masalah matematika yang mungkin dihadapi siswa di
sekolah, masalah-masalah yang yang dirancang khusus untuk tujuan pembelajaran atau praktek,
atau masalah yang akan ditemukan dalam dunia kerja. Konteks masyarakat berhubungan dengan
pengalaman sehari-hari ketika siswa beinteraksi dengan dunia luar. Konteks ilmiah merupakan
konteks yang lebih abstrak dan mungkin melibatkan pemahaman proses teknologi, situasi ilmiah
atau masalah eksplisit matematika.

Digunakannya keberagaman konteks dalam TIMSS dan PISSA sejalan dengan prinsip
pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR). PMR mengisyaratkan bahwa pembelajaran
matematika harus dimulai dari sebuah konteks (fenomena) yang sering ditemui siswa setiap hari.
Dari konteks ini, diharapkan siswa belajar dengan menemukan kembali (reinvention) suatu
konsep matematika melalui proses mematematikakan fenomena yang diberikan guru pada awal
pembelajaran secara bertahap.

Tahap yang dimaksud adalah tahap pemodelan dalam PMR yaitu: Situasional,
referensial (model of situations), general (model of mathematics) dan matematika formal (formal
mathematics).

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF MENGGUNAKAN


KONTEKS DALAM PMR (CONTOH PADA PEMBELAJARAN PENGUKURAN
WAKTU DI KELAS II SEKOLAH DASAR)
Dalam keseharian, siswa sudah terbiasa melakukan kegiatan-kegiatan rutin dengan
urutan waktu tertentu. Dalam pembelajaran tematik integratif pembelajaran pada tema 3 ini dapat
dilaksanakan dengan perpaduan pengembangan keterampilan berbahasa mendeskripsikan
kegiatan harian anak dari pagi sampai malam. Secara perlahan anak diharapkan untuk dapat
mendeskripsikan kegiatan hariannya secara lisan dan bila mungkin dapat menuliskan catatan atau
jurnal hariannya secara sederhana. Ketika anak mendeskripsikan kegiatan hariannya, kemampuan
berbicara dan menyusun karangan narasinya dikembangkan. Dalam mendeskripsikan kegiatan
hariannya, anak dapat menceritakan kegiatannya seperti: bangun jam 06.00 pagi, masuk sekolah
jam 07.00 pagi dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan atau situasi spesifik seperti ini merupakan
konteks untuk pembelajaran matematika dengan materi pengukuran waktu (Gambar 2). Konteks
ini dapat dieksplorasi untuk untuk pembelajaran Bahasa Indonesia. Misalnya diberikan gambar
dengan urutan sebagai berikut (Gambar 3).

KD 3.5: Mengenal satuan waktu dan menggunakannya pada kehidupan sehari hari di
lingkungan sekitar.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


331
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Gambar 2: Waktu kegiatan siswa di pagi hari mulai bangun tidur sampai berangkat ke sekolah.
(Sumber: Kemendikbud. 2014. Buku Tematik Terpadu Untuk SD Kelas II, Tema III. Jakarta:
Kemendikbud)

Gambar 3. Urutan kegiatan yang dilakukan siswa di pagi Hari. (Sumber: Kemendikbud. 2014. Buku
Tematik Terpadu Untuk SD Kelas II, Tema III. Jakarta: Kemendikbud)

Dengan mengskplorasi gambar yang ada, kompetensi matematika dan bahasa Indonesia
siswa dapat dikembangkan secara bersamaan tanpa harus memilah mata pelajaran dalam kegiatan
pembelajaran maupun penilaiannya. Guru dapat melakukan kegiatan pembelajaran dan penilaian
terhadap kompetensi siswa terhadap kedua mata pelajaran secara bersamaan. Pembelajaran
tematik integratif ini dikembangkan dalam konteks matematika dengan menggunakan tidak
mengabaikan pengembangan kompetensi berbahasa siswa.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


332
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

PENUTUP
Pendekatan pembelajaran pada Kurikulum 2013 memiliki benang merah dengan
pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Konteks yang dimaksud dalam Pendekatan
matematika realistik bisa dijadikan untuk menjadi unsur pemersatu pembelajaran bahasa
Indonesia dan Matematika. Maksudnya adalah Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
bisa digunakan untuk mengajarkan matematika dan Bahasa Indonesia secara bersamaan. Konteks
yang dimaksud dalam pendekatan Pendidikan Matematika Realistik dapat dijadikan sebagai
Tema bagi Pembelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia secara terpadu.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. (2013). Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
67Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
Haylock, D., Thangata, F. (2007). Key Concepts in Teaching Primary Mathematics. London:
Sage Publication
Kemendiknas. 2014. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 Tahun 2014 SD
Kelas II. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan
dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School
Mathematics. Reston: The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2009). Learning
Mathematics for Life: A View Prespektive from PISA. Paris: OECD
Sebo Bito, G. & Sugiman (2013a). Eksplorasi Pembelajaran Operasi Pecahan Siswa Sekolah
Dasar Kelas IV di Kabupaten Ngada NTT menurut Teori Gravemeijer. Jurnal Prima
Edukasia, Vol 1-No. 2, 2013. pp. 173-183
Sebo Bito, G. & Sugiman (2013b). Investigasi Perkembangan Belajar Siswa Kelas IV
Sekolah Dasar di Kabupaten Ngada, NTT dalam Operasi Penjumlahan dan
Pengurangan Pecahan. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika FMIPA UNY Yogyakarta, 9 November 2013
Sugiman & Yahya S. K (2010). Dampak Pendidikan Matematika Realistik terhadap
Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP. IndoMS. J.M.E
Vol.1 No. 1, pp. 41-51
Wijaya, A. (2012). Pendidikan Matematika Realistik: Suatu alternatif pendekatan
pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu
Kemendikbud. 2014. Buku Tematik Terpadu Untuk SD Kelas II, Tema III. Jakarta:
Kemendikbud
Gardella, F.J. 2009. Introducing Difficult Mathematics Topic in the Elementary Classroom:
A Teacher’s Guide to Initial Lessons. NY: Routledge

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


333
PROSIDING

MP-44

SPIRIT “MEDA MAZI” SEBAGAI PENDEKATAN PEMBELAJARAN


KONTEKSTUAL
Petronela Yohana Dhosa11, Theresia Pida22, Maria Lobo Upe33
1,
SDI Malanuza 2 SDI Malanuza, 3 SDK Sadha
1
, dhosayohana@ymail.com 2pidateresia@mail.com2, 3loboupe@mail.com3
Abstrak

Wacana pendidikan karakter ramai diperbincangkan. Sementara masyarakat menyikapinya


secara skeptis. Seakan tidak optimis di tengah kondisi bangsa semakin tercerabut dari akar
budayanya.Bangsa kita seakan silau terhadap segala yang berbau asing. Fenomena tersebut bukan
hanya di kalangan anggota DPR yang suka studi banding ke luar negeri dengan biaya besar uang
negara. Di dunia pendidikan pun mengidap “penyakit” serupa.Muatan lokal diartikan sebagai
program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam,
lingkungan sosial dan lingkungan budaya serta kebutuhan pembangunan daerah setempat yang
perlu diajarkan kepada siswa.
Pada praktiknya, muatan lokal dipandang merupakan pelajaran kelas nomor dua dan hanya
pelengkap. Sekolah-sekolah menerapkannya sebatas formalitas untuk memenuhi tuntutan
kurikulum yang dituangkan dalam berbagai peraturan. Kondisi demikian mengindikasikan
aplikasi pengjaran muatan lokal di sekolah masih mengambang. Sekolah sebagai institusi
pendidikan dan miniature masyarakat perlu mengembangkan pembelajaran sesuai tuntutan
kebutuhan era global. Salah satu upaya yang dapat dikembangkan oleh sekolah adalah Spirit
“Meda Mazi” Sebagai Pendekatan Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning) .
Kata kunci: spirt meda mazi, CTL

PENDAHULUAN

Pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) yang sering


disingkat CTL merupakan salah satu model pembelajaran berbasis kompetensi yang dapat
digunakan untuk mengefektifkan dan menyukseskan implementasi
Seiring dengan kebutuhan masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup, maka
pendidikan akan terus tumbuh dan berkembang. Pendidikan difungsikan sebagai fasilitator untuk
memberikan pemahahaman dasar kepada manusia agar dapat berlaku produktif dalam mengelola
lingkungan sekitar. Pendidikan hendaknya didorong ke arah yang lebih produktif yaitu untuk
menciptakan sesuatu sehingga dapat menstimulus manusia agar bisa kreatif dan produktif
terutama dalam pemenuhan kebutuhan hidup baik itu yang bersifat fisik maupun non fisik.
Pendidikan adalah sebagai upaya sadar manusia dalam memahami diri sendiri dan
lingkunganya atau upaya manusia dalam memahami interaksi antara makro dan mikro kosmos.
Oleh sebab itu pendidikan harus mampu memupuk dan menumbuhkan kesadaran akan arti
keberadaan manusia untuk lingkungan dan alam sekitar. Dewasa ini arus penetrasi kebudayaan

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

yang datang dari Barat semakin gencar mewarnai sistem kehidupan sosiokultural masyarakat
Indonesia. Diperparah lagi dengan adanya kecenderungan sebahagian generasi muda bangsa ini
berkiblat kepada kepada kebudayaan tersebut. Keadaan akan tampak semakin konkrit ketika kita
mencoba melihat fenomena yang ada seperti maraknya pergaulan bebas, kasus narkoba dan
sebagainya.
Di tengah pusaran pengaruh hegemoni global tersebut, fenomena yang terjadi juga telah
membuat lembaga pendidikan serasa kehilangan ruang gerak. Selain itu juga membuat semakin
menipisnya pemahaman peserta didik tentang sejarah lokal serta tradisi budaya yang ada dalam
masyarakat. Oleh karena itu maka alangkah lebih baiknya jika diupayakan bagaimana caranya
agar aneka ragam budaya yang telah kita miliki tersebut bisa kita jaga dan kita lestarikan
bersama.
Dengan pendidikan yang berbasis pada local wisdom (kearifan lokal) maka kita bisa optimis
akan terciptanya pendidikan yang mampu memberi makna bagi kehidupan manusia Indonesia.
Artinya pendidikan kemudian akan mampu menjadi spirit yang bisa mewarnai dinamika manusia
Indonesia kedepan. Pendidikan nasional kita harus mampu membentuk manusia yang
berintegritas tinggi dan berkarakter sehingga mampu melahirkan anak- anak bangsa yang hebat
dan bermartabat sesuai dengan spirit pendidikan yaitu memanusiakan manusia.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang
melibatkan beberapa komponen: 1. Siswa : Seorang yang bertindak sebagai pencari, penerima,
dan penyimpan isi pelajaran yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. 2. Guru : Seseorang yang
bertindak sebagai pengelola, katalisator, dan peran lainnya yang memungkinkan berlangsungnya
kegiatan belajar mengajar yang efektif. 3. Tujuan: Pernyataan tentang perubahan perilaku
(kognitif, psikomotorik, afektif) yang diinginkan terjadi pada siswa setelah mengikuti kegiatan
pembelajaran. 4. Isi Pelajaran: Segala informasi berupa fakta, prinsip, dan konsep yang
diperlukan untuk mencapai tujuan. 5. Metode: Cara yang teratur untuk memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mendapat informasi yang dibutuhkan mereka untukmencapai tujuan. 6.
Media: Bahan pengajaran dengan atau tanpa peralatan yang digunakan untuk menyajikan
informasi kepada siswa. 7. Evaluasi: Cara tertentu yang digunakan untuk menilai suatu proses
dan hasilnya.
Belajar merupakan kegiatan aktif peserta didik dalam membangun makna atau pemahaman.
Dengan demikian, guru perlu memberikan dorongan kepada peserta didik untuk
menggunakannya dalam membangun gagasan. Tanggung jawab belajar memang ada pada diri
peserta didik, tetapi guru juga perlu menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, dan
tanggung jawab peserta didik untuk belajar.

PEMBAHASAN

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


335
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

A. Hakikat dalam Pengajaran Kontekstual

Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning merupakan
suatu konsepsi yang membantu dan mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia
nyata. Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memunginkan siswa- siswa TK- SMU
untuk menguatakan, memperluas, dan menerapkan pengetahiuan dan keteampilan akademik
mereka dalam berbagai macam tatanan social dalam sekolah dan luar sekolah dalam memecahkan
masalah dunia nyata atau masalah- masalah yang disimulasikan (Univercity of Washington,
2001).

Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang


mengakui dan menunjukan kondisi alamiah darri pengetahuan. Melalui hubungan didalam dan
diluar kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengelaman lebih relevan
dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam
pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual menyajikan suatu knsep yang mengaitkan
materi pelajaran yang di pelajari siswa dengan konteks dimana matri tersebut digunakan, serta
berhubungan dengan bagaimana seseorang belajar atau gaya/ siswa belajar.

B. Penerapan Pendekatan Kontekstual Berbasis Spirit Meda Mazi di Kelas

1) Konstruktivisme (Constructivism)

Constructivism merupakan landasan berpikir (filosofis) pendekatan CTL, yaitu pengetahuan


dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas dalam konteks yang terbatas.
pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Manusia harus membangun pengetahuan itu memberi makna melalui pengelaman yang
nyata. Ciri khas paradigma pembelajaran konstruktivisme adalah keaktifan dan keterlibatan siswa
dalam proses upaya belajar sesuai dengan kemampuan, pengetahuan awal, dan gaya belajar
tiap-tiap siswa dengan bantuan guru sebagai fasilitator yang membantu siswa apabila mereka
mengalami kesulitan dalam upaya belajarnya. Jadi, yang ditekankan dalam paradigma
pembelajaran constructivistic adalah tingginya motivasi

Pendidikan bebasis kearifan lokal (spirit meda mazi) adalah pendidikan yang lebih
didasarkan kepada pengayaan nilai- nilai kultural daerah Ngada. Pendidikan ini mengajarkan
peserta didik untuk selalu dekat dengan situasi konkrit yang mereka hadapi sehari-hari. Dengan
kata lain model pendidikan ini mengajak kepada kita semua untuk selalu dekat dan menjaga
keadaan sekitar yang bersifat nilai yang berada di dalam lokal masayarakat tersebut. Model
pendidikan ini bisa diidentifikasi dengan beberapa hal sebagai berikut:

a. Gagasan dan dasar hukum yang melindungi

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


336
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Gagasan tentang pendidikan berbasis kearifan lokal ini berawal dari sebuah ungkapan yang
disampaikan oleh Jhon Naisbit (1990) yang kemudian direspon dan dikembangkan oleh sebagian
para pakar sosial dengan ungkapan “thinks globaly acts localy” (berpikir global dan bertindak
lokal). Maksud dari ungkapan tersebut adalah, seseorang bisa mengambil pengalaman dan
pengetahuan apapun, dari suku manapun dan bangsa manapun, akan tetapi dalam
pengaplikasiannya dalam sebuah tindakan ketika seseorang berada di dalam suatu tempat, maka
ia harus menyesuaikan dengan nilai dan budaya yang ada di tempat tersebut. Oleh karena itu,
pemerintah kabupaten Ngada lebih khusus dinas PPO kabupaten Ngada menerapkan kurikulum
“pembelajaran kontekstual berbasis budaya lokal dengan spirit “Meda Mazi” sebagai niat untuk
memugarkan kembali budaya Ngada khususnya yang semakin punah dalam ingatan anak didik.

Dalam masalah ini ada satu hal yang perlu diingat yaitu “seorang anak didik yang datang ke
sebuah kelas dalam suatu sekolah tidaklah seperti gelas kososong, akan tetapi mereka sudah
membawa pengetahuan dan kebiasaan- kebiasaan dari tempat di mana ia tinggal”. Dengan kata
lain bahwa lingkungan yang menjadi tempat tinggal seorang anak didik yang satu, berbeda
dengan lingkungan yang menjadi tempat tinggal anak didik yang lain. Dengan begitu sudah
barang tentu bahwa status sosial dan ekonomi merekapun pasti berbeda- beda. Begitu juga dalam
lokal masyarakat, di dalam sebuah lokal masyarakat yang satu, pasti akan berbeda dengan lokal
masyarakat yang lain. Itulah sebabnya kenapa di Indonesia ada semboyan “Bineka Tunggal Ika”
yang maksud dari semboyan tersebut adalah walaupun kita berasal dari suku yang berbeda serta
budaya yang berbeda pula, akan tetapi kita memiliki satu kesatuan yaitu Indonesia.

Dari kata semboyan yang tersebut di atas bisa disimpulkan bahwa negara Indonesia memang
telah mempunyai banyak sekali lokal masyarakat yang tentunya memiliki keanekaragaman
budaya yang berbeda- beda pula. Maka dari itu sudah barang tentu bahwa negara Indonesia
sebenarnya telah memiliki kekayaan budaya yang pastinya bisa memberi sebuah warna dan corak
yang bisa dikembangkan menjadi sebuah karakter bangsa yang diwujudkan dalam kegiatan
belajar mengajar dalam kelas.

Pendidikan bebasis kearifan lokal sebenarnya adalah bentuk refleksi dan realisasi dari
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19/ 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu pasal 17
ayat 1 yang menjelaskan bahwa ”kurikilum tingkat satuan pendidikan SD- SMA, atau bentuk lain
yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, sosial budaya,
dan peserta didik”.

b. Tujuan dan manfaat dari pendidikan yang berbasis pada kearifan lokal

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


337
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tujuan dari pendidikan berbasis kearifan lokal ialah sesuai dengan nas yang telah termaktub
dalam undang- undang nasional yaitu Undang- undang (UU) No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sedangkan manfaat dari pendidikan yang berbasis kepada kearifan lokal antara lain ialah:

a. Melahirkan generasi- generasi yang kompeten dan bermartabat

b. Merefleksikan nilai- nilai budaya

c. Berperan serta dalam membentuk karakter bangsa

d. Ikut berkontribusi demi terciptanya identitas bangsa

e. Ikut andil dalam melestarikan budaya bangsa

c. Pengenalan identitas lingkungan melalui media pembelajaran

Meda mazi sebagai suatu spirit dalam kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, yang
mana guru-guru di kabupaten Ngada dengan semangat mentrasformasikan nilai budaya local
ke dalam kelas sebagai metode pebelajaran. Metode yang bisa digunakan untuk pengenalan
lingkungan dalam pembelajaran yang berbasis pada kearifan lokal sebenarnya sangatlah
vareatif.

d. Kata- kata bijak yang mengandung motivasi dalam bahasa lokal (Ngada) yang dijadikan
sebagai spirit dalam dunia pembelajaran di dalam kelas.

Dalam sebuah lokalitas biasanya memiliki banyak sekali kekayaan budaya yang sifatnya
khas dan mengandung nilai yang tinggi. Beberapa di antaranya adalah beberapa kata mutiara/
kata- kata bijak yang sedikit- banyak sering dijadikan semboyan dalam aktifitas masyarakat
(Ngada) sehari- hari:

1. “Modhe-modhe nee hoga woe, meku-meku ne’e doa delu” Kalimat ini memiliki arti yang
mengandung sebuah perintah atau ajakan. Yaitu ajakan agar seseorang senantiasa berbuat
baik kepada siapapun, tanpa ada pilih kasih. Setelah berbuat baik seseorang diajak untuk
tidak mengharapkan imbalan (pamrih) sedikitpun dari apa yang telah ia perbuat. Dari
ungkapan kata tersebut bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi di Ngada khususnya jika

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


338
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

sebagian besar masyarakatnya bisa memaknai dan mengaplikasikan ungkapan tersebut


dalam kehidupan sehari- hari? Pertanyaan berikutnya adalah apa yang akan terjadi di
negara Indonesia umumnya, jika semua pemimpin dan pejabatnya bisa memaknai dan
mengaplikasikannya dalam aktifitas kepemerintahannya? Dari ungkapan tersebut
sekarang bisa terlihat bahwa sebenarnya nilai dari sebuah budaya lokal adalah sesuatu
yang hebat.

2. “Po robha na’u maru atau po boro teto lema” kalimat ini berarti membuka mulut dan
menggerakan lidah, memberitahukan dengan halus dan jelas, menasehati terus menerus
setiap hari. Pengertian itu dipahami sebagai tugas utama orang tua yang bernilai didik,
menasehati anak setiap hari agar berkembang secara wajar, tidak saja dalam menghayati
hidup di lingkungan keluarga tetapi juga dalam dunia pendidikan di sekolah.

3. “Wiwi isi lema sema, muzi kita wi sadhu gheta” Kalimat ini memberi inspirasi kepada
siapa saja, bahwa pada akhirnya seseorang akan menuai apa yang telah ditanamnya.
Dengan begitu tidak ada alasan bagi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan yang
buruk, karena pada akhirnya sudah pasti orang tersebut tidak akan bisa mendapatkan
kebahagiaan.

Dari tiga ungkapan kata bijak di atas sekiranya cukup untuk menjadikan sedikit
gambaran bahwa, betapa luhur potensi nilai yang terkandung dalam lokal masyarakat Ngada.
Dari beberapa gambaran di atas hanyalah sedikit contoh yang diambil dari satu lokal
masyarakat yang ada di Indonesia yaitu bahasa Ngada, padahal masih banyak lagi suku- suku
lain yang ada di Indonesia, yang tentunya dalam tiap- tiap satu lokal sudah pasti memiliki ciri
khas sendiri- sendiri. Maka sekarang pertanyaannya adalah bagaimana jika setiap nilai yang
menjadi khas dalam setiap lokal suatu masyarakat tersebut dijaga dan dipelihara, serta
dikembangkan dan diaplikasikan dalam dunia pendidikan. Setelah itu dipadukan dan
sehingga membentuk satu kesatuan yaitu Indonesia, tentunya akan sangat hebat memiliki
bayak budaya tetapi tetap satu yaitu Indonesia.

Berdasarkan fenomena yang terjadi di negara Indonesia saat ini, sudah barang tentu jika
semua warga dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia merasa prihatin dan bersedih hati.
Begitu juga dengan dunia pendidikan, sekiranya sudah saatnya untuk menjadi pasukan garda
depan dalam misi menciptakan negara Indonesia yang besar dan berkarakter.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa membangun pendidikan di


sekolah melalui kearifan local (spirit meda mazi) mengandung nilai-nilai yang relevan dan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


339
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

berguna bagi pendidikan. Oleh karena itu pendidikan berbasis kearifan lokal dapat dilakukan
dengan merevitalisasi budaya lokal. Untuk mewujudkan negara Indonesia yang maju dan
bermartabat karena memiliki sebuah nilaitinggi, maka sekolah- sekolah di seluruh tanah air
memrogram metobe pendidikan yang berbasis kepada kearifan lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Anita Lie. 2007. Cooperative Learning. Jakarta : Grasindo.


Daeng Sudirwo. 2002. Kurikulum dan Pembelajaran Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung :
Andira.
Direktoral KESBANGPOL dalam negeri nomor 39 tahun 2007 tentang pedoman fasilitasi
organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan , keratin dan lembaga adat dalam pelestarian dan
pengembangan budaya daerah. http://pangasuhbumi.com/artickle
/20582/”pemulihan-lingkungan -dengan -kearifan -lokal”.html.
http://tal4mbur4ng,blogspot.com/2010/07/”kearifan-lokal-guna-pemecahan-masalah”. html.
Lynne Hill. 2008. Pembelajaran Yang Baik.Bulettin PGRI Kuningan (Edisi ke-23 / Juni 2008).
Palmer paker J.2009. “keberanian mengajar” Jakarta: Putri Media.
Syaiful Sagala. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


340
PROSIDING

MP-45

PEMBENTUKAN KETERAMPILAN SOSIAL PESERTA DIDIK SEKOLAH


DASAR DALAM PEMBELAJARAN IPS MELALUI MODEL
PEMBELAJARAN KOOPERATIF

Odilya M. N. Raji; Agnes Remi Rando.


1, 2
PGSD Uniflor, PGSD Uniflor,

Abstrak
Keterampilan sosial merupakan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik dalam aktivitas
pembelajaran serta aktivitas menjalin hubungan atau melakukan interaksi dengan peserta didik
yang lainnya untuk saling berbagi ilmu pengetahuan yang dimiliki, membangun kekuatan
bersama untuk mencapai tujuan serta memenuhi kebutuhan sosial (mendapatkan pengakuan
sosial) tertentu.
Pembelajaran kooperatif sebagai salah satu pendekatan pembelajaran yang menerapkan metode
pengelompokan peserta didik dalam suatu tim kecil yang heterogen seperti kemampuan
akademik, gender (sex), suku, agama, ras, latar belakang sosial, dan lainnya dalam aktivitas
pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Pembelajaran ilmu pengetahuan sosial sebagai sebuah
proses mendidik peserta didik untuk menghargai kemajemukkan yang terdapat pada lingkungan
masyarakat sekitarnya serta membangun kepekaannya terhadap masalah sosial dari berbagai
aspek kehidupan. Dengan demikian melalui pembelajaran ilmu pengetahuan sosial, peserta
didik diharapkan menjadi warga Negara Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab
atas eksistensi negara dan bangsanya, serta menjadi warga dunia yang cinta damai

Kata kunci: Keterampilan sosial, Model kooperatif, Pembelajaran IPS

PENDAHULUAN

Pendidikan adalah salah satu bentuk investasi peradaban kehidupan yang dapat
memberikan implikasi pada tatanan sosial dan budaya manusia bersifat dinamis selaras
perubahan jaman. Setiap insan tentu akan berhadapan dengan proses perubahan sebagai
konsekwensi dari aktivitas belajar yang dilakukannya baik secara formal, informal, maupun non
formal. Dengan demikian ungkapan long life education dapat dikatakan sebagai asimilasi dari
pembelajaran dengan kebudayaan, kemudian akan terus berinovasi dalam pembelajaran untuk
melahirkan budaya inovasi.
Keberhasilan pendidikan diukur dari pencapaian kognitif, afektif dan motorik. Korelasi
tiga hal tersebut di atas dapat menjadi modal untuk memperoleh keterampilan sosial baik di
lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Salah satu item keterampilan sosial
adalah sikap saling menghormati dan menghargai dalam interaksi sosial di lingkungan sekolah
antar siswa, guru, pegawai, dan lainnya. Demikian pula ketika berada di lingkungan masyarakat
layaknya keterampilan sosial dipraktekan pada antar sesama, orang tua, dan lainnya.

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Keterampilan sosial merupakan tujuan utama pendidikan dalam meningkatkan


kemampuan peserta didik untuk menghormati orang lain, untuk bekerja sama, untuk
mengekspresikan emosi dan perasaan dengan cara yang baik, untuk mendengarkan pendapat
orang lain, untuk mengikuti aturan dan prosedur, untuk duduk dengan penuh perhatian, dan untuk
bekerja secara mandiri untuk mencapai tujuan pendidikan (Rosyana: 2012). Beberapa perilaku
sosial yang terjadi seperti kekerasan, perkelahian, tindakan asusila, sikap individualistik,
egoistik, acuh tak acuh, kurangnya rasa tanggung jawab, malas berkomunikasi dan berinteraksi,
rendahnya empati, merupakan fenomena yang menunjukan adanya kehampaan nilai sosial dalam
kehidupan sehari-hari.
Kurangnya pemahaman peserta didik terhadap keterampilan-keterampilan sosial akan
menyebabkan peserta didik sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar sehingga dapat
menyebabkab rasa rendah diri, dikucilkan, cenderung berprilaku normatif, bahkan dalam
perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya kenakalan remaja, kekerasan,
bertindak kriminal, dan perilaku negatif lainnya.
Pencapaian hal-hal di atas dapat dilakukan dengan pelbagai cara, salah satunya adalah
membelajarkan IPS kepada peserta didik di sekolah untuk mendapatkan utility value yakni
membentuk, mengembangkan, dan melatih peserta didik menjadi warga masyarakat, bangsa,
dan negara yang mempunyai pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang komprehensif
sehingga mampu menjalani kehidupan masyarakat modern dan tataran kehidupan masyarakat
global.
PEMBAHASAN
A. Keterampilan sosial
Keterampilan sosial merupakan kemampuan seseorang atau warga masyarakat
dalam mengadakan hubungan interaksi dengan orang lain dan kemampuan memecahkan
masalah sehingga memperoleh adaptasi yang harmonis dimasyarakat maupun lingkungan
sekolah (Cartledge & Milbrun, 1992:8). Proses adabtasi yang harmonis dalam berinteraksi
diperlukan kepiawaian dalam bersikap, dan berkomunikasi secara timbal-balik, dengan
memperhatikan eksistensi sosial yang dimiliki oleh seseorang. Terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam keteampilan sosial yakni sebagai berikut:
a. Ciri- ciri keterampilan sosial
Menurut Gresham dan Reschly (Gimmpel dan Merrel, 1998)
mengidentifikasikan keterampilan sosial dengan beberapa ciri, sebagai berikut: (1)
Perilaku interpersonal; Perilaku interpersonal adalah perilaku yang menyangkut
keterampilan yang digunakan dalam interaksi sosial atau sering disebut dengan
keterampilan menjalin persahabatan. (2) Perilaku yang berhubungan dengan diri

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


342
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

sendiri; Perilaku ini berhubungan erat dengan upaya sadar mengontrol dirinya sendiri
dalam situasi sosial, seperti orang lain, mengontrol emosi dan sebagainya. (3) Perilaku
yang berhubungan dengan kesuksesan akademis; Perilaku yang berhubungan dengan
hal-hal yang mendukung belajar di sekolah seperti mendengarkan guru, mengerjakan
tugas dan sebagainya. (4) Penerimaan teman sebaya; Hal ini disebabkan bahwa
individu yang memiliki kemampuan sosial rendah akan ditolak oleh teman sebayanya.
(5) Keterampilan berkomunikasi; Diperlukan untuk menjalin hubungan sosial yang
baik.
Uraian tersebut di atas dalam konteks akademik menunjukkan bahwa
keberadaan peserta didik dalam pendidikan formal dilandasi oleh kesiapan dan
kesediaan dirinya untuk menerima orang lain yang hendak memberikan bantuan
pembelajaran, kesediaan untuk melaksanakan tugas-tugas pembelajaran, dan
mengkomunikasikan penyelesaian tugas pembelajaran dalam bentuk verbal maupun
secara tertulis, bersifat timbal balik dan dapat dipahami secara baik.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi Keterampilan Sosial
Pembentukkan keterampilan sosial pada peserta didik dapat terjadi secara
konvergensi yakni perpaduan antara potensi yang terdapat pada dirinya dengan hal-hal
yang diadaptasikan dari luar dirinya. Secara empiris peserta didik yang memilliki
keterampilan sosial seperti menghargai orang lain (orang tua, pendidik, teman) benda,
alam sekitar merupakan bentuk aktualisasi pemahamannya terhadap keberadaan dirinya
yang serba terbatas (homo sosial), dan memandang orang lain, benda dan alam sekitar
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dirinya untuk melangsungkan kehidupan
secara simbiosis mutualisma. Keluarga dan lingkungan berpotensi membentuk dan
mengembangkan keterampilan sosial peserta didik. Suasana keluarga yang harmonis,
komunikatif, tepasalira, memberikan andil yang positif terhadap perkembangan
sosialnya. Demikian pula dengan keberadaan lingkungan yang kondusif, santun, ramah,
familier akan membentuk keterampilan sosial sebagaimana yang telah dipaparkan
terdahulu.
Konvergensi keterampisan sosial oleh Davis dan Forsythe (2006), dikemukakan
bahwa terdapat 3 (tiga) aspek yang mempengaruhi keterampilan sosial, yaitu: (1)
Keluarga; Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam
mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan
sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Anak-anak yang
dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis (broken home) di mana anak tidak
mendapatkan kepuasan psikis yang cukup maka anak akan sulit mengembangkan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


343
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

keterampilan sosialnya. (2) Lingkungan; Sejak dini anak-anak harus sudah


diperkenalkan dengan lingkungan. Lingkungan dalam batasan ini meliputi
lingkungan fisik (rumah, pekarangan) dan lingkungan sosial (tetangga). Lingkungan
juga meliputi lingkungan keluarga (keluarga primer dan sekunder), lingkungan sekolah
dan lingkungan masyarakat luas. Dengan pengenalan lingkungan maka sejak dini anak
sudah mengetahui bahwa dia memiliki lingkungan sosial yang luas, tidak hanya terdiri
dari orang tua, saudara atau kakek dan nenek saja. (3) Kepribadian; Secara umum
penampilan sering diindentikkan dengan manisfestasi dari kepribadian seseorang,
namun sebenarnya tidak. Karena apa yang tampil tidak selalu menggambarkan pribadi
yang sebenarnya (bukan aku yang sebenarnya).

B. Pembelajaran kooperatif
Pembelajaran kooperatif dapat dikatakan sebagai salah satu pendekatan
pembelajaran yang mengedepankan kerjasama, kemajemukan, soliditas, antar peserta didik
dalam team work dengan jumlah anggota yang terbatas berkisar empat sampai enam orang.
Dalam pembelajaran kooperatif, peserta didik bersama-sama menyelesaikan suatu
pekerjaan melalui cara-cara tertentu, bertukar pandangan, serta saling menghargai antara
sesame anggota kelompok tanpa membeda-bedakan kemampuan, dan sebagainya.
Seseorang dapat diterima dalam suatu kelompok tentunya dilandasi oleh kepiawaian dirinya
menggunakan keterampilan sosial sehingga dirinya dapat lebih jauh berinteraksi.
Ibrahim, dkk (Trianto 2009:62) berpandangan bahwa pembelajaran kooperatif
dapat mengembangkan tingkah laku kooperatif dan hubungan yang lebih baik antar siswa,
dan dapat mengembangkan kemampuan akademis siswa. Siswa belajar lebih banyak dari
teman mereka dalam belajar kooperatif dari pada dari guru. Selanjutnya nuansa akademis
dalam pembelajaran kooperatif ditandaskan pula oleh Soejadi (Teti Sobari, 2006:15)
pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan sebuah model dimana siswa
secara individual menemukan dan mentransformasikan informasi yang kompleks,
memeriksa informasi dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu.
Pandangan teoretis tersebut di atas ditautkan dengan keterampilan sosial, maka
dapat dikemukakan bahwa hubungan yang harmonis antara peserta didik dalam kelompok
dilandasi oleh sikap saling menghargai, saling menghormati, saling mendengar, ketika
menyampaikan pandangannya sebagai wujud olah pikir atau intelektualitasnya
berlandaskan referensi (bacaan-bacaan) dan penalarannya. Disisi lain keberadaan peserta
didik dalam kelompok mencitrakan soliditas sebagai homo sosial bahwa sesungguhnya
pada setiap pribadi peserta didik memiliki keunggulan dan kelemahan. Dengan demikian

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


344
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

sikap saling melengkapi terhadap kekurangan yang dimiliki oleh peserta didik dipupuk
dalam pembelajaran koopertif. Dengan kata lainnya, bahwa pembelajaran sejawat
memungkinkan keeratan emosional yang lahir dari keterampilan sosial.
Aplikasi pembelajaran kooperatif di kelas perlu mempertimbangkan
prinsip-prinsip, dan langkah-langkahnya, sebagai berikut:
a. Prinsip-prinsip pembelajaran kooperatif
Berlandaskan pada pandangan teoretis Hamruni (2011), maka dapat
diintepretasikan bahwa: pertama, sebagai homo sosial, para anggota kelompok
memiliki ketergantungan antar sesama temannya. Dalam rangka memenuhi
kekurangan atau mengaktualisasikan kelebihannya, anggota kelompok akan
menggunakan wadah kelompok sebagai ruang untuk memperoleh jawaban atas
kekurangpahamannya atau memberikan penjelasan kepada teman lainnya dengan
menggunakan keterampilan sosial seperti cara, media komunikasi tertentu. (2) wadah
kelompok sebagai tempat bersilahturahmi face to face, berbagi informasi
pengatahuan, dan saling membelajarkan. (3) handarbeni dan tanggung jawab terhadap
tugas bersama dan bersama-sama berusaha menjaga kredibilitas kelompoknya. (4)
wadah kelompok sebagai sebagai tempat berekspsresi dalam semangat partisipatif,
komunikatif, dan tepasalira.
Hal tersebut di atas berpengaruh terhadap relasi sosial seperti keeratan
hubungan antar sesama anggota ketika setiap anggota kelompok mampu membentengi
dirinya dengan keterampilan sosial.
b. Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif
Trianto (2009:66-67), merekomendasikan enam tahapan di dalam pembelajaran
kooperatif. Masing-masing tahapan dapat digambarkan sebagai berikut; Tahap pra
pembelajaran; tahap ini dapat disebut sebagai tahap sebelum peserta didik
dikelompokkan dimana aktivitas pembelajaran dipusatkan pada penanaman konsep
materi untuk dipahami oleh peserta didik. Tahap belajar kelompok; tahap ini
merupakan tahap belajar kelompok dimana peserta didik belajar bersama di tengah
kelompok kecil setelah guru selesai membangun pemahaman/penanaman konsep.
Aktivitas peserta didik diarahkan untuk mengimplementasikan konsep-konsep yang
diberikan untuk memecahkan masalah yang telah didesain pada rencana pembelajaran,
dengan memanfaatkan sumber-sumber belajar, kemampuan akademik antar sesama
anggota kelompok, serta memberikan hasil kerja dalam bentuk tertulis atau dalam
bentuk yang lainnya. Tahap penilaian; Penilaian pembelajaran dimaksudkan untuk
mengetahui kemampuan/daya serap ilmu pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


345
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

didik. Selain itu penilaian juga dilakukan untuk menilai aktivitas peserta didik dalam
menyelesaikan tugas belajar di tengah kelompoknya. Kedua hal tersebut dapat
diketahui dengan menggunakan metode tes atau metode non tes. Nilai akhir setiap
peserta didik dapat diketahui dengan formulasi tertentu dengan menggunakan data
penilaian proses dan penilaian hasil, sedangkan nilai setiap kelompok dapat dipakai
penilaian rata-rata (jumlah nilai setaiap anggota kelompok dibagi jumlah anggota
kelompok), sebagai gambaran hasil belajar/ kerja sama setiap anggota dalam kelompok
masing-masing. Tahap pengakuan tim, sebagai momentum untuk menghargai
kelompok tertentu yang memeroleh nilai paling tinggi dengan cara tertentu seperti
pemberian reward (hadiah, pujian, dan lainnya). Pemberian reward dimaksudkan untuk
membangun kepercayaan diri, meningkatkan soliditas, dan lainnya antar peserta didik.
C. KETERAMPILAN SOSIAL DALAM PEMBELAJARAN IPS
Pembelajaran IPS merupakan proses memadukan berbagai pengetahuan sosial
yang membahas, menyoroti, mengkaji masalah sosial dari berbagai aspek kehidupan.
Melalui pembelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk menjadi warga Negara
Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab serta cinta damai (Saprya, 2011).
Kecakapan mengolah dan menerapkan informasi merupakan keterampilan yang sangat
penting untuk mempersiapkan yang mampu berpartisipasi secara cerdas dalam masyarakat.
keterampilan yang diperlukan dalam pembelajaran adalah:
a. Keterampilan berpikir; keterampilan berpikir banyak berkontribusi terhadap
pemecahan masalah dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat secara efektif. Ilmu
pengetahuan sosial merupakan ilmu yang mengkaji berbagai persoalan atau masalah
yang terjadi dimasyarakat, oleh karena itu siswa perluh dibekali pengetahuan tentang
mencari dan menggali masalah yang terjadi dimasyarakat dan cara memecahkan
masalah.
b. Keterampilan partisipasi sosial; dalam pembelajaran IPS peserta didik perlu
dibelajarkan bagaimana berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain. Keahlian
bekerja dalam kelompok sangat penting karena dalam kehidupan bermasyarakat
begitu banyak orang menggantungkan hidup melalui kelompok. Keterampilan sosial
yang perlu dibelajarkan meliputi; mengidentifikasi akibat terhadap orang dari
perbuatan dan pengaruh ucapan terhadap orang lain, menunjukan rasa hormat dan
perhatian kepada orang lain, berbagi tugas dan pekerjaan dengan orang lain, berbuat
efektif sebagai anggota kelompok, mengambil berbagai peran kelompok, menerima
kritik dan saran, menyesuaikan kemampuan dengan tugas yang harus diselesaikan.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


346
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

c. Keterampilan berkomunikasi; pembelajaran merupakan upaya untuk mendewasakan


seorang anak manusia. Ciri seseorang yang dewasa adalah mereka yang mampuh
berkomunikasi dengan orang lain dengan baik. Dalam pembelajaran IPS keterampilan
berkomunikasi merupakan aspek yang sangat penting karena peserta didik perluh diberi
kesempatan untuk mengungkapkan pemahaman dan perasaan secara jelas, efektif, dan
kreatif.
SIMPULAN
Keberhasilan pendidikan diukur dari pencapaian kognitif, afektif dan motorik. Keterampilan
sosial dalam pembelajaran IPS perlu diterapkan karena dapat meningkatkan keterampilan peserta
didik dalam berpikir, keterampilan partisipasi sosial, dan keterampilan berkomunikasi dan model
pembelajaran kooperatif dapat dijadikan sebagai salah satu model yang dapat digunakan dalam
proses pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Sobari.2013. model-model pembelajaran, Jakarta:Rajawali


Hamruni. 2011. Strategi pembelajaran, Yokyakarta:Insan madani

Sapriya.2011. Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


Omantri.2001.Pendidikan Ilmu pengetahuan sosial,Bandung:PT Remaja Rosdakarya.
Trianto. 2009. Mendesain Pembelajaran Model Pembelajaran Inovatif-Progesif, Jakarta: PT
kencana

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


347
PROSIDING

MP-46
RELEVANSI METODE PENDAMPINGAN PASTORAL KELUARGA DALAM
MENGUKUHKAN HAKIKAT SAKRAMEN PERKAWINAN

Benedikta Boleng

Program Studi PGSD Universitas Flores Ende


Email: beneboleng@gmail.com

Abstrak

Makalah ini merupakan hasil penelitian yang bertujuan untuk : (1) Mengetahui sejauhmana
keluarga-keluarga Katolik di Kevikepan Ende mendapatkan pendampingan pastoral keluarga dari
Gereja (Paroki); (2) Menemukan strategi pendampingan yang dapat digunakan dalam kegiatan
pendampingan pastoral keluarga; (3) Melalui kegiatan pendampingan yang tepat,
keluarga-keluarga katolik dapat dibawa pada pemahaman dan penghayatan yang jelas mengenai
makna luhur perkawinan mereka.
Kata Kunci : pastoral keluarga, sakramen perkawinan

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Secara sosiologis, pranata keluarga dipahami sebagai unit terkecil dalam masyarakat
yang memiliki peran sentral dalam mengkonstruksi formasi identitas diri secara personal. Lebih
dari itu, melalui institusi keluarga-lah seseorang belajar, dididik, mengalami, dan menghayati
esensi nilai-nilai kehidupan. Jadi, keluarga menjadi lingkungan pertama dan tempat utama yang
membentuk otentisitas identitas seseorang (watak, karakter, sifat, dan kepribadian) untuk
mengantisipasi tantangan-tantangan hidup di masa depan.
Sementara itu, dari perspektif tugas perutusan gereja, keluarga menjadi instrumen yang
paling penting bagi masa depan pewartaan Injil. Proposisi semacam ini mengandaikan bahwa
keluarga bukan hanya dipandang sebagai representasi komunitas basis manusiawi, melainkan
juga komunitas basis gerejawi yang merayakan iman melalui doa peribadatan (Leiturgia),
mewujudkan pelayanan (Diakonia) melalui pekerjaan dan memberi kesaksian (Martyria) dalam
proses interaksinya dengan sesama umat manusia.
Mengingat betapa esensialnya tugas perutusannya, maka keluarga perlu
mempersiapkan fondasi etis yang kokoh bagi anak-anak melalui pendidikan, baik yang
berkorelasi langsung dengan pendidikan iman Katolik maupun internalisasi nilai-nilai
humanisme universal karena keluarga adalah sekolah yang pertama dan utama bagi anak.
Betapapun demikian, teridentifikasi pula bahwa sejumlah keluarga Katolik di zaman
moderen ini mengalami dan menghadapi persoalan-persoalan pelik di dalam hidup berkeluarga.

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Eksistensi institusi keluarga dewasa ini sangat dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat. Semua perubahan tersebut bersifat dualistis yakni mengarah pada adaptasi terhadap
nilai-nilai positif maupun menuai implikasi-implikasi logis yang bercorak negatif-destruktif.
Nilai-nilai positif dapat teridentifikaasi melalui “grafik” peningkatan kesadaran terhadap
harkat-martabat dan hak asasi manusia, kesadaran etika, kesadaran gender, dan lain-lain.
Sementara itu, pengaruh negatif direpresentasikan oleh pemujaan berlebihan atas nilai-nilai
modenitas yang justeru mereduksi dan merendahkan martabat hidup perkawinan dan keluarga,
seperti poligami, perceraian, seks pra-nikah, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga dan
aneka perilaku social devian lainnya.
Jika menelaah lebih jauh, dapat ditegaskan bahwa problematika tersebut di atas
bukanlah dominan dihadapi oleh keluarga-keluarga Katolik global semata melainkan juga
melanda keluarga-keluarga Katolik di Keuskupan Agung Ende. Atas dasar itu-lah sejak tahun
1987, Keuskupan Agung Ende (KAE) mulai memantapkan reksa pastoralnya melalui
Musyawarah-Musyawarah Pastoral (Muspas). Tercatat, dalam tiga Muspas pertama (1987, 1990,
1995) diidentifikasi tiga akar masalah dalam kehidupan umat yaitu dualisme dalam perkawinan
dan hidup (ber)-keluarga, keterpisahan karya sosio-ekonomi dari karya pastoral gereja, dan pola
kepemimpinan yang ketinggalan zaman. Bertolak dari tiga akar masalah ini, kemudian
dirumuskan tiga prioritas utama yang perlu dibenahi yaitu perkawinan Kristiani yang selaras
dengan zaman, pengembangan sosio-ekonomi yang terintegrasi dalam karya pastoral gereja, dan
kepemimpinan suportif.
Sebaliknya, Muspas IV merumuskan arah dasar pastoral Keuskupan Agung Ende
selama tahun 2001-2005 yakni pembebasan dan pemberdayaan. Kemudian, dalam arah dasar ini
ditetapkan dua strategi utama yaitu pemberdayaan Komunitas Umat Basis (KUB) dan
pemberdayaan fungsionaris pastoral.
Setelah selama sekian tahun berlalu, temuan survey, Muspas Paroki serta katekese umat
menyongsong Muspas V tahun 2005 di Mataloko, merekomendasikan bahwa Komunitas Umat
Basis memang telah mulai berkembang menjadi persekutuan yang semakin berdaya. Namun
demikian, di balik dinamika yang menggembirakan ini, ada juga beragam persoalan yang
menghalangi gerak-maju KUB menuju tipe idealnya. Salah satu di antaranya yang sangat penting
mendapat perhatian adalah masalah-masalah seputar perkawinan dan kehidupan berkeluarga.
Berhadapan dengan masalah-masalah seputar perkawinan dan kehidupan berkeluarga
yang telah teridentifikasi tersebut, maka Komisi Pastoral Keluarga (Paskel) menyusun rencana
kegiatan pendampingan pastoral. Implementasi kegiatan pendampingan pastoral keluarga sesuai
rencana yang telah ditetapkan oleh Komisi Paskel ini, tentu saja merupakan jawaban atas

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


349
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

masalah-masalah seputar perkawinan dan kehidupan berkeluarga yang telah teridentifikasi


sebelumnya.
Lebih dari itu, efektivitas kegiatan pendampingan pastoral akan menjadi suatu
keniscayaan, sebab terkadang banyak program telah dirancang namun terkesan dalam
pelaksanaannya program-program itu tidak banyak membawa perubahan sampai ke level
masyarakat awam. Bertolak dari fakta demikian itu, kemudian mendorong minat peneliti untuk
melakukan riset dengan mengangkat tema: Relevansi Metode Pendampingan Pastoral Keluarga
Dalam Mengukuhkan Hakikat Sakramen Perkawinan Adapun tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui pilihan metode yang dimanfaakan dalam pendampingan pastoral keluarga di
Kevikepan Ende dan relevansinya terhadap penghayatan hakikat sakramen perkawinan.
TELAAH PUSTAKA
Perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga, melahirkan anak, dan
membangun hidup kekerabatan yang bahagia dan sejahtera. 1 Jadi, dalam perkawinan itu
mengandaikan terjadinya relasi personal yang bersifat ekslusif yang diungkapkan dalam
kesepakatan perkawinan dan diwujudkan melalui intimitas relasi interpersonal. Suami-istri
sedapat mungkin saling melengkapi dengan mempertimbangkan kelebihan masing-masing agar
dapat mengembangkan kepribadian mereka berdua dalam mencapai kesejahteraan lahir-batin.2
Dengan demikian, perkawinan merupakan persekutuan seluruh hidup yang melibatkan
hati dan perasaan antara dua pribadi yang berbeda untuk membangun kebahagian bersama dalam
seluruh aspek hidupnya yang bermuara pada kelahiran dan pendidikan anak.
Sementara itu, ada referensi lain yang menegaskan bahwa perkawinan antara dua
pribadi ini juga memiliki berbagai alasan, yang meliputi dimensi sosio-budaya, afeksi, ekonomi,
hukum dan keagamaan, sehingga peneguhan perkawinan sudah selalu bersifat sosio-kultural,
yuridis, dan spiritual.3
Peneguhan perkawinan melibatkan banyak pihak yakni pasangan calon suami-istri itu
sendiri, keluarga besar, masyarakat, negara dan lembaga keagamaan; bersifat sosio-budaya
karena dilaksanakan di hadapan publik yakni di depan pejabat yang berwenang, saksi-saksi,
keluarga, kerabat dan teman serta dilaksanakan sesuai dengan budaya dan tradisi setempat;
bersifat yuridis karena peneguhan perkawinan itu dilaksanakan sesuai dengan hukum sipil dan
hukum agama.

1
Konperensi Waligereja Indonesia, Pedoman Pastoral Keluarga (Jakarta: Obor, 2011), hlm. 6
2
Alf. Catur Raharso, Pr, Paham Perkawinan Dalam Ajaran Gereja Katolik (Malang: Dioma, 2006), hlm.
19
3
Tim Paskel Keuskupan Agung Ende, Perkawinan, Seri Kegiatan Pendampingan Perkawinan, (Ende:
Komisi Paskel Keusukupan Agung Ende, 2012), hlm. 17

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


350
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Regulasi formal di negara Indonesia menegaskan bahwa perkawinan pada prinsipnya


diteguhkan secara keagamaan kemudian dicatat di kantor yang ditunjuk oleh pemerintah. 4
Argumentasi semacam ini mengandaikan bahwa peneguhan perkawinan harus dilaksanakan
terlebih dahulu secara agama, baru kemudian dicatat sesuai peraturan negara.
Referensi acuan formal penting lainnya merujuk pada Undang-undang Perkawinan
nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa hakikat dan tujuan perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa5.
Sejalan dengan cara pandang di atas, Gereja mengajarkan bahwa perkawinan adalah
persekutuan seluruh hidup dan kasih mesra antara suami-istri, yang diadakan oleh Sang Pencipta
dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya, dan dibangun oleh perjanjian perkawinan yang tak
dapat ditarik kembali6.
Persatuan laki-laki dan perempuan yang diikat dalam cinta kasih perkawinan itu
merupakan tanda dan sarana cinta kasih Allah yang menyelamatkan.7 Oleh karena itu, suami-istri
hendaknya menyadari sepenuhnya bahwa perkawinan yang telah dikukuhkan bukan hanya
sekedar memenuhi kebutuhan psikologis dan biologis masing-masing, tetapi juga mengandung
sebuah tugas perutusan, yakni menghadirkan cinta kasih Allah dalam hidup dan tindakan yang
konkret: sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak
melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak marah dan tidak
menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran
(1 Kor. 13:4-7).
Sebaliknya, pelayanan pastoral adalah suatu titian yang memungkinkan tersalurnya
kebutuhan setiap orang akan kehangatan, perhatian penuh, dukungan, dan pendampingan di saat
mengalami depresi personal maupun tekanan secara sosial. Oleh karena itu, pelayanan pastoral
keluarga merupakan sarana pelayanan gereja yang secara intens perlu diaktifkan mengingat
sepanjang rentang kehidupannya, pasangan suami istri katolik tidak akan terlepas dari
krisis-krisis atau persoalan-persoalan dalam kehidupan berkeluarga, baik yang bercorak terduga
maupun yang tidak terduga.8

4
Ibid, hal. 14
5
Undang-undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, pasal 1.
6
Gaudium et Spes 48.
7
Komisi Liturgi Keuskupan Malang, Panduan Pastoral Liturgi Perkawinan Keuskupan Regio Jawa Plus
(Malang: Dioma, 2009), hlm. 51.
8

http://www.gbkp.or.id/index.php/84-gbkp/artikel/367-pelayanan-pastoral-bagi-keluarga#sthash.rIsclFf
K.dpuf akses tanggal 30 Nopember 2014.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


351
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Pastoral pendampingan bertujuan mengarahkan keluarga menuju idealisme hidup


keluarga kristiani meskipun harus selalu dipamahi bahwa idealisme itu tidak pernah mencapai
kepenuhannya. Oleh karena itu-lah kondisi keluarga yang menunjukan ciri stagnasi perlu
didorong untuk menemukan solusi yang mendekati kondisi ideal.9
Kemungkinan-kemungkinan yang buruk perlu diantisipasi lebih dini agar tidak
memperburuk persoalan yang sedang dihadapi institusi keluarga. Kondisi keluarga yang buruk
semestinya segera dicarikan jalan keluarnya agar keluarga itu menjadi baik. Kondisi keluarga
yang baru saja ”membaik” perlu dipelihara agar ”pulihnya kesehatan” keluarga itu dipertahankan
sehingga keluarga itu selanjutnya mampu mengembangkan dirinya.
Pendampingan keluarga berarti mendampingi keluarga secara menyeluruh dalam segala
situasinya yang harus disesuaikan dengan kondisi keluarga. Pendampingan keluarga dapat
dimulai sejak masa pra-pernikahan meliputi pendampingan bagi anak-anak, remaja, dan calon
pengantin 10 dan saat menjelang peneguhan perkawinan, dilanjutkan dengan pendampingan
pasca-nikah.
METODE PENELITIAN
Lingkup Penelitian
Obyek yang tercakup dalam penelitian ini yaitu Kegiatan Pastoral Keluarga yang ada di
Kevikepan Ende. Selanjutnya, fokus penelitian terarah pada metode pendampingan pastoral
keluarga yang dilakukan oleh lembaga Gereja. Perlu dijelaskan bahwa Kevikepan Ende terdiri
dari 12 paroki yang mencakup 943 Komunitas Umat Basis (KUB) bersama-sama membentuk
satu kevikepan yang juga disebut kevikepan Ende.
Populasi
Populasi merupakan elemen penting dalam suatu penelitian. Warsito Hermawan
berpendapat bahwa populasi merupakan keseluruhan obyek penelitian yang terdiri dari manusia,
benda, hewan, tumbuhan, gejala, nilai test ataupun peristiwa sebagai sumber data yang memiliki
karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian.11 Sedangkan Arikunto Suharsimi menyatakan
bahwa populasi adalah semua individu atau keseluruhan objek penelitian.12 Dari kedua pendapat
tersebut, dapat disimpulkan bahwa populasi merupakan keseluruhan dari objek penelitian yang
menjadi sumber data dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah
keluarga-keluarga Katolik yang tersebar di 12 (dua belas) paroki dalam Kevikepan Ende.

9
Eligius Anselmus F. Fau, Persiapan Perkawinan Katolik (Ende: Nusa Indah, 2000), hlm. 28.
10
Mengenai hal ini lihat juga KHK Kan. 1063 s/d Kan.1072 tentang “Reksa Pastoral dan Hal-hal yang
Harus Mendahului Perayaan Perkawinan”.
11
Hermawan Warsito, Statistik, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 21.
12
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi (Jakarta: Rineke
Cipta, 2002), hlm. 130.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


352
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti.13 Sedangkan sampling
adalah cara atau teknik yang digunakan untuk mengambil sampel. 14 Mengingat terbatasnya
sumber daya peneliti dalam menjangkau seluruh paroki yang letaknya berjauhan antara satu
dengan yang lain, dipisahkan oleh kondisi pegunungan dan perbukitan yang terjal, maka dari 12
(dua belas) tersebut, 7 paroki yang terdiri dari 516 Komunitas Umat Basis (KUB) dipilih sebagai
sampel penelitian ini. Adapun teknik yang digunakan dalam pemilihan sampel adalah random
sampel dengan cara ordinal yaitu menyusun suatu daftar dan mengambil subjek yang akan
menjadi sampel secara acak.
Penentuan Sumber Data
Menurut Suharsimi Arikunto dalam bukunya “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek”, sumber data dalam penelitian adalah subjek di mana data itu diperoleh.15 Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner dan observasi proses pendampingan keluarga
Katolik. Dalam pandangan Sutrisno Hadi, pada dasarnya data terdiri dari dua jenis yaitu nominal
dan data kontinum.16 Data nominal adalah data yang hanya dapat digolong-golongkan secara
terpisah, diskrit dan kategorik. Data nominal bervariasi menurut jenisnya, kehadiran (dapat
digolongkan yang hadir dan tidak hadir dalam setiap kunjungan oleh seksi paskel), tempat
tinggal, pekerjaan (tetap dan tidak tetap).
Data kontinum berarti suatu konsep tentang realitas atau dimensi realitas yang tidak
terpecah-pecah. Jadi data kontinum merupakan contoh kontinuitas. 17 Data kontinum berupa
tingkatan angka jarak dan ukuran. 18 Data-data tentang pendampingan keluarga Katolik
merupakan gejala kontinum. Untuk memberikan kategori-kategori yang dipakai di dalamnya,
maka disusunlah suatu petunjuk berupa kode. Ini berarti indikator atau jawaban adalah berupa
chek list (√) pada huruf a dimasukkan dalam kategori 1, jawaban pada huruf b dimasukkan dalam
kategori 2, jawaban pada huruf c dimasukkan dalam kategori 3, dan jawaban pada huruf d
dimasukkan dalam kategori 4.
Strategi Pengumpulan Data
Ada beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini.
Teknik-teknik itu adalah:

13
Ibid, hal. 131.
14
Sutrisno Hadi, Statistik 2 (Yogyakarta: Andi Offset, 1988), hlm. 222.
15
Suharsimi Arikunto, op.cit. hlm. 129.
16
Sutrisno Hadi, MA, Metodologi Research (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada, 1993), hlm. 90.
17
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, op. Cit. Hal. 494.
18
Ating Sumantri dan Sambas Ali Muhidin, Aplikasi Statistik Dalam Penelitian (Bandung: Pustaka Setia,
2006), hlm. 29.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


353
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

1) Angket
Angket adalah teknik pengumpulan data yang berbentuk pengajuan pertanyaan
tertulis melalui sebuah daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. 19 Alat
pengumpulan data yang digunakan dalam angket adalah questioner yaitu alat
pengumpulan data berupa daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan oleh peneliti untuk
disebarkan kepada responden yang jawabannya diisi oleh responden sendiri. Dalam
penelitian ini peneliti mempergunakan angket sebagai alat utama untuk mengadakan
penyelidikan. Peneliti menyebarkan angket ke setiap paroki yang ditujukan kepada para
responden yang akan menjawab angket yang diterimanya. Angket tersebut merupakan
angket tertutup karena responden hanya mencentang pada kolom yang sudah tersedia.
2) Observasi
Menurut Ating Sumantri, observasi adalah teknik pengumpulan data di mana
peneliti mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap objek yang
diteliti, baik dalam situasi buatan yang secara khusus diadakan (laboratorium) maupun
dalam situasi alamiah yang sesungguhnya (lapangan). 20 Peneliti juga mengadakan
pengamatan terhadap beberapa kelompok keluarga seperti keluarga yang tidak aktif dan
aktif dalam kegiatan rohani, keluarga yang hidupnya berpisah (cerai) dan keluarga yang
masih memiliki pasangan (masih bersatus sebagai suami-istri), sebagai perbandingan
terhadap angket yang disebarkan, apakah diisi dengan benar dan sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya.
Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisa kuantitatif atau sering disebut
sebagai analisa statistik yang digunakan untuk mengolah data dalam jumlah besar sehingga
mudah dikualifikasikan ke dalam kategori-kategori (dan karena datanya berstruktur). Data
statistik diolah dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

a. f persen, dengan rumus:

P = Prosentase yang diperoleh


∑ = jumlah
F = Frekwensi yang didapat

19
Ating Sumantri dan Sambas Ali Muhidin, Aplikasi Statistik Dalam Penelitian (Bandung: Pustaka Setia,
2006), hlm. 32.
20
Ibid. hal. 32.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


354
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

b. Chi Kuadrat, dengan rumus:21


X2 = Chi Kuadrat
∑ = Jumlah
Fo = Frekwensi yang diperoleh dari sampel
Fh = Frekwensi yang diharapkann dalam sampel
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Metode pendampingan pastoral keluarga menjadi elemen kunci dalam membantu
keluarga-keluarga Katolik yang mengalami problematika pelik di dalam kehidupan keluarga.
Peneliti memformulasikan variabel metode pendampingan pastoral ke dalam 9 (sembilan)
pertanyaan pokok yakni:
1) Metode yang paling sering digunakan dalam kegiatan pastoral keluarga. Alternatif
pilihan kategori: a. Diskusi/dialog pengalaman nyata. b. Sharing. c. Ceritera pengalaman
sepihak. d. Ceramah.
Item ini direspon oleh responden dengan tendensi jawaban ada pada kategori d. Hal
ini dapat dilihat dari jawaban 140 responden berikut ini:
 Pilihan kategori a = 16 orang atau 11,43%
 Pilihan kategori b = 56 orang atau 40,00%
 Pilihan kategori c = 9 orang atau 06,43%
 Pilihan kategori d = 59 orang atau 42,14%
Total = 140 orang atau 100,00%
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan di atas diolah dengan Chi
kuadrat maka diperoleh taraf siginifikan 14,67. Ketika taraf signifikansi ini dibandingkan
dengan derajat kebebasan (db) 7,82 dalam penelitian ini, maka 14,67 > 7,82. Dengan
demikian disimpulkan signifikan, artinya kecenderungan pilihan responden pada
kategori d tersebut mempunyai taraf perbedaan yang cukup berarti ketika dibandingkan
dengan pilihan jawaban pada kategori lainnya.
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan pada item ini ditentukan
posisi kualitasnya, maka diperoleh skor rata-rata 2,21. Dengan demikian masuk dalam
kategori interval 1,76-2,50 yang berarti kurang baik.
2) Pengaruh metode yang digunakan dalam kegiatan pastoral keluarga. Alternatif pilihan
kategori: a. Keluarga semakin terlibat aktif dalam setiap kegiatan pastoral keluarga. b.
Keluarga merasa biasa-biasa saja. c. Keluarga kadang-kadang bosan dan malas. d. Tidak
ada pengaruh apapun terhadap keluarga.

21
Sutrisno Hadi, MA, Statistik Jilid 2 (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas
Gajah Mada, 1987), hlm. 317.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


355
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Item ini direspon oleh responden dengan tendensi jawaban ada pada kategori b. Hal
ini dapat dilihat dari jawaban 140 responden berikut ini:
 Pilihan kategori a = 30 orang atau 21,43%
 Pilihan kategori b = 67 orang atau 47,86%
 Pilihan kategori c = 43 orang atau 30,71%
 Pilihan kategori d = 0 orang atau 00,00%
Total = 140 orang atau 100,00%
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan di atas diolah dengan Chi
kuadrat maka diperoleh taraf siginifikan 16,70. Ketika taraf signifikansi ini dibandingkan
dengan derajat kebebasan (db) 7,82 dalam penelitian ini, maka 16,70 > 7,82. Dengan
demikian disimpulkan signifikan, artinya kecenderungan pilihan responden pada
kategori b tersebut mempunyai taraf perbedaan yang cukup berarti ketika dibandingkan
dengan pilihan jawaban pada kategori lainnya.
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan pada item ini ditentukan
posisi kualitasnya, maka diperoleh skor rata-rata 2,91. Dengan demikian masuk dalam
kategori interval 2,51-3,25 yang berarti baik.
3) Bahasa yang digunakan oleh para pendamping dalam kegiatan pastoral keluarga.
Alternatif pilihan kategori: a. Sangat dipahami. b. Dipahami. c. Kurang dipahami. d.
Tidak dipahami.
Item ini direspon oleh responden dengan tendensi jawaban ada pada kategori b. Hal
ini dapat dilihat dari jawaban 140 responden berikut ini:
 Pilihan kategori a = 41 orang atau 29,29%
 Pilihan kategori b = 69 orang atau 49,28%
 Pilihan kategori c = 30 orang atau 21,43%
 Pilihan kategori d = 0 orang atau 00,00%
Total = 140 orang atau 100,00%
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan di atas diolah dengan Chi
kuadrat maka diperoleh taraf siginifikan 17,44. Ketika taraf signifikansi ini dibandingkan
dengan derajat kebebasan (db) 7,82 dalam penelitian ini, maka 17,44 > 7,82. Dengan
demikian disimpulkan signifikan, artinya kecenderungan pilihan responden pada
kategori b tersebut mempunyai taraf perbedaan yang cukup berarti ketika dibandingkan
dengan pilihan jawaban pada kategori lainnya.
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan pada item ini ditentukan
posisi kualitasnya, maka diperoleh skor rata-rata 3,08. Dengan demikian masuk dalam
kategori interval 2,51-3,25 yang berarti baik.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


356
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

4) Isi pengalaman memuat ajaran iman Katolik yang benar. Alternatif pilihan kategori: a.
Selalu. b. Pada umumnya. c. Jarang. d. Tidak pernah.
Item ini direspon oleh responden dengan tendensi jawaban ada pada kategori b. Hal
ini dapat dilihat dari jawaban 140 responden berikut ini:
 Pilihan kategori a = 60 orang atau 42,86%
 Pilihan kategori b = 66 orang atau 47,14%
 Pilihan kategori c = 14 orang atau 10,00%
 Pilihan kategori d = 0 orang atau 00,00%
Total = 140 orang atau 100,00%
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan di atas diolah dengan Chi
kuadrat maka diperoleh taraf siginifikan 23,23. Ketika taraf signifikansi ini dibandingkan
dengan derajat kebebasan (db) 7,82 dalam penelitian ini, maka 23,23 > 7,82. Dengan
demikian disimpulkan signifikan, artinya kecenderungan pilihan responden pada
kategori b tersebut mempunyai taraf perbedaan yang cukup berarti ketika dibandingkan
dengan pilihan jawaban pada kategori lainnya.
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan pada item ini ditentukan
posisi kualitasnya, maka diperoleh skor rata-rata 3,33. Dengan demikian masuk dalam
kategori interval 3,26-4,00 yang berarti sangat baik.
5) Dalam sharing pengalaman merujuk pada ajaran moral Gereja Katolik. Alternatif pilihan
kategori: a. Selalu. b. Pada umumnya. c. Jarang. d. Tidak pernah.
Item ini direspon oleh responden dengan tendensi jawaban ada pada kategori b. Hal
ini dapat dilihat dari jawaban 140 responden berikut ini:
 Pilihan kategori a = 52 orang atau 38,57%
 Pilihan kategori b = 74 orang atau 51,43%
 Pilihan kategori c = 14 orang atau 10,00%
 Pilihan kategori d = 0 orang atau 00,00%
Total = 140 orang atau 100,00%
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan di atas diolah dengan Chi
kuadrat maka diperoleh taraf siginifikan 24,26. Ketika taraf signifikansi ini dibandingkan
dengan derajat kebebasan (db) 7,82 dalam penelitian ini, maka 24,26 > 7,82. Dengan
demikian disimpulkan signifikan, artinya kecenderungan pilihan responden pada
kategori b tersebut mempunyai taraf perbedaan yang cukup berarti ketika dibandingkan
dengan pilihan jawaban pada kategori lainnya.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


357
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan pada item ini ditentukan
posisi kualitasnya, maka diperoleh skor rata-rata 3,29. Dengan demikian masuk dalam
kategori interval 3,26-4,00 yang berarti sangat baik.
6) Pesan dari setiap pengalaman memuat nilai-nilai cinta kasih Kristiani. Alternatif pilihan
kategori: a. Selalu. b. Pada umumnya. c. Jarang. d. Tidak pernah.
Item ini direspon oleh responden dengan tendensi jawaban ada pada kategori b. Hal
ini dapat dilihat dari jawaban 140 responden berikut ini:
 Pilihan kategori a = 49 orang atau 35,00%
 Pilihan kategori b = 75 orang atau 53,57%
 Pilihan kategori c = 16 orang atau 11,43%
 Pilihan kategori d = 0 orang atau 00,00%
Total = 140 orang atau 100,00%
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan di atas diolah dengan Chi
kuadrat maka diperoleh taraf siginifikan 24,16. Ketika taraf signifikansi ini dibandingkan
dengan derajat kebebasan (db) 7,82 dalam penelitian ini, maka 24,16 > 7,82. Dengan
demikian disimpulkan signifikan, artinya kecenderungan pilihan responden pada
kategori b tersebut mempunyai taraf perbedaan yang cukup berarti ketika dibandingkan
dengan pilihan jawaban pada kategori lainnya.
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan pada item ini ditentukan
posisi kualitasnya, maka diperoleh skor rata-rata 3,24. Dengan demikian masuk dalam
kategori interval 2,51-3,25 yang berarti baik.
7) Bagian pembukaan/pengantar kegiatan pastoral keluarga sungguh mengantar umat dalam
tema dan sesuai dengan tema. Alternatif pilihan kategori: a. Sungguh sangat mengantar.
b. Mengantar. c. Kurang mengantar. d. Tidak mengantar.
Item ini direspon oleh responden dengan tendensi jawaban ada pada kategori b. Hal
ini dapat dilihat dari jawaban 140 responden berikut ini:
 Pilihan kategori a = 55 orang atau 39,29%
 Pilihan kategori b = 67 orang atau 47,86%
 Pilihan kategori c = 18 orang atau 12,86%
 Pilihan kategori d = 0 orang atau 00,00%
Total = 140 orang atau 100,00%
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan di atas diolah dengan Chi
kuadrat maka diperoleh taraf siginifikan 20,99. Ketika taraf signifikansi ini dibandingkan
dengan derajat kebebasan (db) 7,82 dalam penelitian ini, maka 20,99 > 7,82. Dengan
demikian disimpulkan signifikan, artinya kecenderungan pilihan responden pada

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


358
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

kategori b tersebut mempunyai taraf perbedaan yang cukup berarti ketika dibandingkan
dengan pilihan jawaban pada kategori lainnya.
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan pada item ini ditentukan
posisi kualitasnya, maka diperoleh skor rata-rata 3,26. Dengan demikian masuk dalam
kategori interval 3,26-4,00 yang berarti sangat baik.
8) Setiap pengalaman yang disharingkan oleh keluarga-keluarga sesuai dengan tema Kitab
Suci yang didalaminya. Alternatif pilihan kategori: a. Sangat sesuai. b. Sesuai. c. Kurang
sesuai. d. Tidak sesuai.
Item ini direspon oleh responden dengan tendensi jawaban ada pada kategori b. Hal
ini dapat dilihat dari jawaban 140 responden berikut ini:
 Pilihan kategori a = 38 orang atau 27,14%
 Pilihan kategori b = 79 orang atau 56,43%
 Pilihan kategori c = 23 orang atau 16,43%
 Pilihan kategori d = 0 orang atau 00,00%
Total = 140 orang atau 100,00%
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan di atas diolah dengan Chi
kuadrat maka diperoleh taraf siginifikan 23,67. Ketika taraf signifikansi ini dibandingkan
dengan derajat kebebasan (db) 7,82 dalam penelitian ini, maka 23,67 > 7,82. Dengan
demikian disimpulkan signifikan, artinya kecenderungan pilihan responden pada
kategori b tersebut mempunyai taraf perbedaan yang cukup berarti ketika dibandingkan
dengan pilihan jawaban pada kategori lainnya.
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan pada item ini ditentukan
posisi kualitasnya, maka diperoleh skor rata-rata 3,11. Dengan demikian masuk dalam
kategori interval 2,51-3,25 yang berarti baik.
9) Biasanya semua peserta yang hadir pada kegiatan pastoral keluarga terlibat aktif
membagikan pengalaman yang dialaminya dalam kehidupan berumahtangga. Alternatif
pilihan kategori: a. Semua aktif. b. Sebagian besar aktif. c. Beberapa orang saja yang
aktif. d. Tidak ada yang aktif.
Item ini direspon oleh responden dengan tendensi jawaban ada pada kategori b. Hal
ini dapat dilihat dari jawaban 140 responden berikut ini:
 Pilihan kategori a = 42 orang atau 30,00%
 Pilihan kategori b = 78 orang atau 50,71%
 Pilihan kategori c = 20 orang atau 14,29%
 Pilihan kategori d = 0 orang atau 00,00%
Total = 140 orang atau 100,00%

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


359
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan di atas diolah dengan Chi
kuadrat maka diperoleh taraf siginifikan 23,91. Ketika taraf signifikansi ini dibandingkan
dengan derajat kebebasan (db) 7,82 dalam penelitian ini, maka 23,91 > 7,82. Dengan
demikian disimpulkan signifikan, artinya kecenderungan pilihan responden pada
kategori b tersebut mempunyai taraf perbedaan yang cukup berarti ketika dibandingkan
dengan pilihan jawaban pada kategori lainnya.
Ketika jawaban responden terhadap 4 kategori pilihan pada item ini ditentukan
posisi kualitasnya, maka diperoleh skor rata-rata 3,16. Dengan demikian masuk dalam
kategori interval 2,51-3,25 yang berarti baik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, pengolahan data dan pembahasan terhadap 7 (tujuh) paroki
yang menjadi sampel dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum
pendampingan pastoral keluarga dalam mewujudkan nilai-nilai sakramen perkawinan di
Kevikepan Ende telah terlaksana dengan baik.
Meskipun demikian, sebanyak 48,57% responden berpendapat bahwa metode yang
paling sering digunakan dalam kegiatan pastoral keluarga adalah ceramah dan ceritera
pengalaman sepihak. Padahal, metode ideal yang diharapkan adalah diskusi atau dialog
pengalaman konkrit yang dihadapi mereka dalam kehidupan berkeluarga.
Selanjutnya, masih terdapat 18,57% responden yang mengajukan argumentasinya bahwa
setelah mereka mengikuti kegiatan Kursus Persiapan Perkawinan yang diselenggarakan oleh
paroki atau Gereja, mereka menyadari minimnya bekal pengetahuan dasar tentang pokok-pokok
pengertian dan sifat atau ciri kas perkawinan katolik.
Sementara itu, sebagian kecil atau sebanyak 35% responden menyatakan bahwa kegiatan
pastoral keluarga yang pernah dikuti selama ini masih belum cukup membentuk sikapnya untuk
memberikan pendidikan iman katolik pada anak-anak (doa bersama, membaca dan
merenenungkan Kitab Suci) dalam keluarga.
Saran
Temuan paling penting dalam riset ini yakni menyangkut kendala kapabilitas
pendamping atau pelaksana patoral keluarga dan keaktifan atau partisipasi peserta dampingan.
Oleh sebab itu, peneliti mengajukan beberapa saran konstruktif sebagai berikut:
1. Para Pastor Paroki sebagai Gembala Umat di tingkat paroki hendaknya terlibat
sungguh-sungguh dalam pastoral keluarga, baik pra-nikah maupun pasca nikah.
Sebagaimana di tingkat keuskupan, di tingkat paroki-pun dipersiapkan
perangkat-perangkat pembantu seperti tim Kursus Persiapan Perkawinan. Sebagai

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


360
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

penanggung jawab, hendaknya melakukan koordinasi dengan mereka dan menyiapkan


tenaga-tenaga yang berkompeten, yang secara berkala ditingkatkan mutunya melalui
pelatihan ketrampilan dan pembekalan pengetahuan yang up to date serta metode yang
menarik.
2. Kelompok-kelompok yang menaruh perhatian khusus pada hidup perkawinan perlu
dilibatkan dalam kegiatan pendampingan pastoral keluarga, misalnya kelompok
Marriage Encounter (ME), yang nantinya dengan kekhasannya masing-masing akan
memberikan pelayanan bagi keluarga-keluarga dalam menghayati panggilan hidup
berumahtangga dan menghayati nilai-nilai hidup perkawinan mereka.
3. Pihak-pihak lain yang terkait seperti kaum profesional, terutama di bidang biologi,
kedokteran, dan psikologi-pun perlu dilibatkan. Melalui skill keilmuan yang dimiliki
oleh para dokter, tenaga medis, atau para medis, dapat membantu keluarga-keluarga
menghadapi masalah-masalah baru di bidang teknologi medis yang relevan dengan
kehidupan perkawinan dan berkeluarga. Para ahli psikologi diharapkan memberi advis
pada keluarga-keluarga yang membutuhkan konsultasi dalam menghadapi
masalah-masalah hidup perkawinan sesuai situasi dan kondisi psikisnya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Ating Sumantri dan Sambas Ali Mahidin, (2006), Aplikasi Statistik Dalam Penelitia. Bandung:
Pustaka Setia.
Catur Raharso, (2006). Paham Perkawinan Dalam Ajaran Gereja Katolik Malang: Dioma
Eligius Anselmus F. Fau, (2007). Persiapan Perkawinan Katolik. Ende: Nusa Indah
Hermawan Warsito, (1992). “Statistik”, Jakarta: Gramedia,
Komisi Paskel Keuskupan Agung Ende, (2012) Doa dan Kitab Suci Dalam Keluarga, Seri
Kegiatan Pendampingan Perkawinan.
Komisi Liturgi Keuskupan Malang, (2009). Panduan Pastoral Liturgi Perkawinan Keuskupan
Regio Jawa Plus.
Konferensi Waligereja Indonesia, Pedoman Pastoral Keluarga (Jakarta, Obor, 2011)
Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005)
Suharsimi Arikunto, (2002) Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi
Jakarta: Rineke Cipta
Sutrisno Hadi, Statistik Jilid 2 (1987) Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada
..................., (1988) Statistik 2 . Yogyakarta: Andi Offset
...................,(1993) Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada.
Undang-undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, pasal 1.
Dari Internet:
http://www.gbkp.or.id/index.php/84-gbkp/artikel/367-pelayanan-pastoral-bagi-keluarga#sthash.
rIsclFfK.dpufakses tanggal 30 Nopember 2014.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


361
PROSIDING

MP-47

MEWUJUDKAN PARTISIPASI ANAK DALAM PENDIDIKAN KARAKTER


KONTEKSTUAL DENGAN SPIRIT KULABABONG DI KABUPATEN SIKKA

Debora Dapamerang

Wahana Misi Indonesia

Email: deborah_dapamerang@wvi.org

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong bahkan memaksakan terjadinya


perubahan yang cepat. Produk dari teknologi adalah aneka kebutuhan manusia yang kualitas dan
nilainya pun terus berubah yang juga terus saja mendorong manusia untuk mendapatkannya.
Dalam konteks setempat dikeluhkan bahwa belis mahal, kemiskinan di desa karena pesta-pesta
adat yang yang boros. Tetapi ketika konteks lokal ini diperhadapkan dengan konteks kemajuan
yang mengalirkan kebutuhan dari kota ke desa akan ditemukan suatu kenyataan bahwa
sesungguhnya kehidupan modern jauh lebih boros daripada kehidupan lokal yang merujuk dan
dikendalikan oleh nilai-nilai lokal warisan leluhur. Nilai-nilai modern inilah yang kemudian
memberikan pengaruh yang intensif dan kuat di dalam kehidupan manusia, yang tidak hanya
menempati ruang-ruang perkotaan tetapi juga merasuk ke kehidupan manusia yang menempati
ruang-ruang kehidupan pedesaan. Nilai-nilai modernisme itu perlu disaring dengan filter budaya
yang dimiliki masing-masing kelompok masyarakat. Ketika individu-individu di dalam
kelompok masyarakat memiliki filter budaya yang lemah, maka individu itu akan dengan mudah
terjerembab ke dalam pengaruh-penguruh negatif dari modernisasi. (Ignasius Batuona, Februari
2013)

Individu yang paling rentan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini adalah
anak, termasuk di Sikka, dimana saat ini anak-anak dari berbagai kategori usia dengan mudah
mengakses hal-hal baru yang sering sekali tanpa bimbingan dan proses filter dari orang dewasa.
Khususnya di sekolah-sekolah, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama
teman-teman mereka tanpa pendampingan dari guru karena kualitas sekolah yang menurun.
Berdasarkan laporan Hasil Penelitian Etnografi di Kabupaten Sikka pada bulan Mei 2012 oleh

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

DED1, ada tiga komponen yang melatar belakangi keterpurukan pendidikan di sekolah. Dari sisi
masyarakat, dimana kepedulian masyarakat terhadap pendidikan di sekolah semakin rendah,
filosofi pemahaman tentang adat atau budaya mengalami kemerosotan, dimana masyarakat
terjebak pada pesta bukan pada esensi/makna adat istiadat tersebut sehingga pendapatan
masyarakat terkuras pada pesta. Sedangkan dari sisi guru, terdapat banyak sekali guru-guru yang
tidak paham tentang budaya sehingga sulit sekali untuk mereka mentransfer pengetahuan budaya
kepada anak termasuk nilai-nilai positif yang terkandung dalam budaya tersebut. Juga beberapa
tahun terakhir, tempat tinggal guru tidak dekat dengan sekolah, sehingga hubungan dengan anak
dan masyarakat semakin renggang, yang hanya sebatas tugas dan tanggungjawab fungsional saja.
Terakhir dari sisi anak sendiri, seperti yang tergambar dari data kelulusan siswa Kabupaten Sikka,
tahun 2009 untuk tingkat SMA/SLTA tingkat kelulusan masih mencapai 44,87 persen dari total
siswa 1.569. Untuk tahun 2010 sebanyak 1.780 siswa se kabupaten Sikka yang mengikuti UN
2010 hanya 324 siswa yang dinyatakan lulus sisanya 1.456 tidak lulus.

Permasalahan lainnya yang ditemukan adalah pendidikan bahasa lokal sudah hilang dari
sekolah, pendidikan seni dan budaya juga berkurang dan kecintaan kepada tanah dan leluhur juga
sudah berkurang. Keprihatinan di atas harus dijawab dengan program yang strategis agar dapat
menyelesaikan akar-akar persoalan pendidikan di Kabupaten Sikka. Selain kondisi riil terkini
terkait prestasi akademis, lapisan-lapisan sejarah yang tersedimentasi dalam pembentukan
masyarakat Sikka masih menyisakan potensi munculnya konflik baik horizontal, vertikal,
maupun gabungan keduanya. Ada mekanisme penyelesaian konflik yang berakar mendalam
dalam budaya masyarakat Sikka. Kulababong (musyawarah) menjadi proses penyelesaian konflik
non-litigasi yang sudah teruji efisien dan efektivitasnya. Hanya saja ketika formalisme birokrasi
semakin menjadi arus utama penataan kehidupan bersama, model-model penyelesesaian secara
adat semakin mundur. Perlu tindakan afirmatif agar masyarakat kembali dapat membangun
kehidupan bersama yang lebih baik, adil, dan beradab sehingga masyarakat sungguh-sungguh
mendapatkan keadilan substantif. Salah satu cara untuk menghidupkan kembali spirit kulababong
adalah melalui pendidikan di sekolah. Nilai-nilai yang sudah tumbuh subur dalam rahim kultur
masyarakat Sikka ini perlu dihidupkan lagi dan dikembangkan sesuai dengan perubahan zaman.
(Ferry T. Indratno, Mei 2012)

Wahana Visi Indonesia –ADP Sikka berkomitmen untuk terlibat aktif dalam
mewujudkan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak di Sikka, juga berkontribusi positif
untuk mengembalikan anak-anak Sikka menemukan identitas mereka sebagai orang Sikka yang

1
DED singkatan dari Dinamika Edukasi Dasar adalah lembaga pendidikan yang berkantor di Yogyakarta
dan didirikan oleh Mangunan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


363
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

mempunyai kepribadian dengan nilai-nilai luhur warisan leluhur seperti saling menghormati,
musyawarah untuk mufakat, kebersamaan, kerja keras, dan lain-lain nilai juang di dalam
kehidupan. Tentunya perlu ada kerjasama yang harus dibangun dalam mewujudkan mimpi ini,
sehingga WVI melakukan komunikasi intensif dengan para mitra seperti Dinas PPO Kab. Sikka,
Komdik Keuskupan Maumere, Sanpukat, konsultan pendidikan TRUE2 dan DED, juga bahkan
pemda Provinsi NTT terlibat aktif untuk mewujudkan pendidikan karakter yang kontekstual di
Kabupaten Sikka. Strategi yang disepakati dengan pihak mitra adalah WVI ADP Sikka akan
melakukan pendampingan kepada 6 sekolah contoh yang diterletak di kecamatan Nita, Lela dan
Doreng. Diharapkan selama/setelah pendampingan terjadi, apabila dianggap berhasil maka mitra
lainnya seperti Dinas PPO dan keuskupan akan mereplikasi ke sekolah lainnya.

Dasar Pemikiran

Terdapat tiga hal yang mendasari program pendidikan karakter yang kontekstual ini, yaitu:

1. partisipasi anak dalam pembangunan, artinya yang menjadi sasaran kunci dalam program
ini adalah anak untuk dimampukan memberikan pendapatnya dan dipertimbangkan
dalam setiap keputusan pembangunan. Peningkatan partisipasi anak dalam dunia
pendidikan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk mewujudkan
kabupaten layak anak di Kabupaten Sikka.

2. Strategi program pendidikan World Vision, yaitu terkait pendidikan kontekstual dimana
“ pendidikan yang memberi ruang kepada anak untuk mempersiapkan hidup dan
mengupayakan kehidupan”

3. Strategi pelayanan WVI Regio NTT untuk periode 2012-2015, “ meningkatkan


kemitraan dan advokasi yang berfokus pada pemenuhan hak-hak anak”. Artinya bahwa
program yang dilakukan di ADP-ADP Regio NTT adalah bersinergi dengan mitra
sehingga bersama mitra dapat mewujdukan lingkungan yang ramah untuk anak

PROGRAM BERBASIS HAK ANAK DAN PARTISIPASI ANAK

Paradigma yang digunakan untuk mewujudkan partisipasi anak dalam pendidikan


karakter yang kontekstual yaitu melalui pendekatan berbasis hak anak. Dimana pendekatan
tersebut diterjemahkan melalui pengarusutamaan hak anak dalam setiap program-program yang
dilakukan. Bahkan untuk program pendidikan karakter yang kontekstual ini, WVI memastikan
bahwa dalam setiap tahapan atau proses yang dilakukan selalu menggunakan pendekatan CRP
(Child Right Programming) yang mempunyai mekanisme dan strategi yang berpihak pada anak.

2
TRUE: salah satu lembaga pendidikan yang berkantor di Bogor yang sudah berpengalaman dalam
pendampingan sekolah dan guru di berbagai wilayah di Indonesia

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


364
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Program berbasis Hak-hak Anak yang populer dinamakan CRP merupakan program yang
memadukan antara pendekatan Hak-hak asasi manusia dan pengembangan kemanusiaan
(humanitary development). Kombinasi ini sebagai daya dorong mempercepat proses lahirnya
akuntabilitas dalam implementasi Hak-hak Anak bagi negara-negara peserta penandatangan
Konvensi Hak-hak Anak melalui pembangunan kualitas subyek hak (anak), orang dewasa yang
bersentuhan langsung dengan anak (misalnya orang tua, guru, perawat, pengasuh, komunitas)
serta aparatur negara dalam melakukan langkah-langkah implementasi kewajiban atas KHA (duty
bearer). CRP merupakan kerangka berfikir dan pendekatan yang digunakan untuk menganalisis,
merencanakan, mengimplementasi, memonitor dan mengevaluasi sebuah program intervensi.
CRP secara bersamaan mencakup ide-ide, konsep dan pengalaman yang berhubungan baik
kepada anak secara langsung (child development) maupun dalam konteks pemenuhan
hak-haknya dalam satu kerangka kerja yang utuh.

Dalam tahapan pendidikan Karakter yang Kontekstual, anak merupakan subjek dalam
setiap tahapan program (planning, implementation, monitoring, evaluation) diperlukan partisipasi
anak untuk digali pendapat dan pandangannya terhadap setiap proses, apakah itu bermakna untuk
mereka atau tidak. Strategi yang diterapkan dalam CRP ini adalah penguatan kapasitas anak,
penguatan pemerintah untuk pengembangan kebijakan yang berbasis pemenuhan hak anak, dan
penguatan pada level masyarakat. Artinya bahwa strategi ini dilakukan secara paralel, sehingga
khususnya anak benar-benar siap secara psikologis dan kapasitas saat berdialog untuk
menemukan pandangan-pandangannya terhadap situasi tertentu dalam tahapan-tahapan program
pendidikan Karakter yang Kontekstual.

PENELITIAN TINDAKAN DAN KERANGKA PROSES UNTUK MEWUJUDKAN


PENDIDIKAN KARAKTER YANG KONTEKSTUAL

Filosofi kemitraan yang dilakukan oleh WVI Regio NTT, adalah mengajak pemerintah
bersama-sama untuk menemukan evidence based di lapangan. Dimana pemerintah dan WVI
mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mewujudkan pembangunan dan kehidupan yang lebih
baik untuk anak. Asumsinya adalah dengan mengajak pemerintah bersama dan pemerintah
melihat langsung realitas kehidupan anak, maka kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan adalah
dengan perspektif yang tepat dan dengan kesadaran yang tinggi untuk memperbaiki kehidupan
anak.

WVI Regio NTT menyadari bahwa Pendekatan Action Research (Penelitian Kaji Tindak)
merupakan salah satu pendekatan yang dapat menjawab filosofi kemitraan tersebut diatas, dan
juga merupakan pendekatan yang partisipatif kepada anak dan masyarakat di lapangan. Action

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


365
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Research adalah pendekatan yang partisipatif artinya berbasis pada praktisi, fokus pada
pembelajaran dan responsif terhadap situasi sosial.

Action Research juga menekankan adanya ruang dialog untuk membangun komitmen
diantara para pihak menuju perbaikan-perubahan- penyempurnaan metode kerja kearah yang
lebih efektif, efisien dan terukur hasilnya. Pendekatan Action Research dalam program
Pendidikan Karakter yang kontekstual ini, diharapkan dapat mengali keunikan jati diri budaya di
Kabupaten Sikka dan juga mengeksplorasi potensi lingkungan sekitar termasuk bagaimana
makna Kulababong dapat dijadikan sebagai spirit dalam program ini. Melalui Action Research
diharapkan juga dapat menggali para aktor pendidikan seperti guru dan kepala sekolah untuk
menemukan kembali motivasi dan panggilan mereka sebagai tenaga pendidik, menjadi pribadi
yang mulia, dan menemukan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan keseharian anak-anak didik
mereka yang sesuai dengan tahap perkembangan anak dan cara kerja otak anak tersebut. Intinya
adalah bagaimana tenaga pendidik memberikan ruang dan kesempatan kepada anak-anak didik
mengeksplorasi potensi dan bakat yang mereka miliki.

Kerangka proses program pendidikan Karakter yang Kontekstual ini memunyai 8 tahapan:

Tahap 1: membangun kemitraan

Pada tahap 1, kajian-kajian bersama mitra dilakukan secara intensif. Menemukan bersama
permasalahan dan pembagian peran masing-masing untuk mencapai tujuan dari program.

Tahap 2: Assessment potensi lokal

Pada tahap 2, dilakukan kajian awal (rapid assessment) tentang masalah dan penggalian potensi
untuk pengembangan Pendidikan Karakter yang Kontekstual. Pada tahap ini, Action Research
dilakukan untuk menggali latar belakang dari program ini dilakukan, termasuk menemukan
bahasa bersama dengan berbagai pihak tentang program pendidikan ini. Salah satunya adalah kata
Kulababong yang muncul workshop penggalian potensi budaya Sikka. Action research meneliti
sejauh apa Kulababong memberikan makna terhadap perubahan pendidikan di Kabupaten Sikka.
Sehingga pada akhirnya melalui Action Research, kulababong ditentukan sebagai Spirit atau
semangat bersama yang mencerminkan sifat-sifat yang seharusnya ada pada saat Kulababong
dilakukan.

Tahap 3: peningkatan kapasitas

Pada tahap 3, peningkatan kapasitas dilakukan kepada guru, mitra, komite sekolah dan orangtua
atau masyarakat di desa tempat sekolah berdiri. Peningkatan kapasitas ini kerjasama dengan
konsultan ekternal yaitu TRUE dan DED. Masing-masing konsultan memiliki metode yang

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


366
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

variatif dan diharapkan dapat meningkatkan metode pembelajaran yang diterapkan guru-guru di
kelas. Action Research berperan untuk menemukan permasalahan-permasalahan di sekolah
melalui FGD dengan tenaga pendidik dan anak-anak didik, juga kepada tokoh-tokoh masyarakat
bagaimana mereka juga dapat berperan dalam mewujudkan sekolah yang menerapkan budaya
sebagai materi ajar dan penanaman nilai-nilai positif yang diwariskan leluhur di Kabupaten
Sikka. Action Research melakukan penelitian tentang kearifan lokal yang ada di Sikka sehingga
hasil penelitian ini menjadi bank budaya (berupa dokumen) yang dengan mudah diakses oleh para
guru sebagai media/bahan ajar di sekolah. Kesuksesan pada tahap 2 ini, khususnya peningkatan
kapasitas guru disekolah, maka akan melahirkan modul-modul pembelajaran di kelas.

Tahap 4: Pengembangan Modul

Modul yang dikembangkan adalah modul-modul yang dihasilkan oleh guru-guru selama proses
pendampingan peningkatan kapasitas dilakukan. Sehingga modul-modul ini memang hasil karya
guru sendiri, dan mudah untuk mereka mempraktekkannya di sekolah baik didalam kelas atau
diluar kelas. Action Research menelaah tentang modul yang ada dan melakukan eksplorasi
langsung kepada anak dan orangtua untuk menemukan sejauh apa modul-modul tersebut sesuai
dengan tingkat kemampuan dan alur berfikir anak, juga sejauh apa dapat memberikan manfaat
kepada orangtua saat mendampingi anak belajar di rumah.

Tahap 5: Promosi dan Advokasi

Pada tahap ini, bentuk promosi dan advokasi yang dilakukan melalui pertunjukan atau pameran
hasil karya baik langsung melihat di sekolah atau melalui hasil dokumentasi lainnya. Mitra
mengambil peran kunci dimana apabila dianggap sekolah contoh yang didampingi oleh ADP
yaitu 6 sekolah sudah berhasil menunjukkan bukti-bukti nyata sesuai dengan output program
pendidikan karakter yang kontekstual, mitra akan melakukan upaya-upaya replikasi. Action
Research akan menelusuri strategi replikasi yang memang efektif baik dari sudut pandang dana,
sumber daya manusia, dan juga waktu yang dibutuhkan. Bahkan diharapkan dapat menemukan
kerangka berfikir yang konkrit sampai program pendidikan karakter kontekstual ini akan diadopsi
sampai ke level provinsi atau nasional

Tahap 6: Formulasi Master Teacher

Pada tahap 6, master teacher berasal dari para guru-guru yang didampingi selama program. Akan
ditemukan guru-guru yang memang mempunyai kompetensi sebagai fasilitator. Master teacher
bukan hanya sebagai fasilitator terhadap sekolahnya bahkan untuk peningkatan kapasitas
guru-guru di sekolah lainnya. Master teacher juga akan berfungsi sebagai motivator kepada para
guru-guru untuk terus menyalakan panggilan mulia untuk memperbaiki kehidupan anak.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


367
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tahap 7: Membangun kemitraan legal formal – perluasan model

Pada tahap ini, sasarannya pada kebijakan berupa perda atau surat keputusan dari pemangku
kepentingan tertinggi untuk mengesahkan sekolah contoh tersebut menjadi model untuk replikasi
di sekolah lainnya.

Tahap 8: Monitoring dan Dokumentasi

Pada tahap ini, Action research akan membantu menemukan tools/instrumen untuk melakukan
refleksi dan aksi. Proses refleksi dilakukan secara periodik dan ditemukan gambaran pencapaian
keberhasilan pada anak, masyarakat dan pemerintah. Hal ini untuk memudahkan ADP dan mitra
melihat progress program dan menemukan solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang
muncul pada saat program berjalan.

Dalam setiap tahapan yang dimuat pada kerangka proses, prinsip partisipasi anak harus
dijadikan sebagai mainstreaming. Artinya setiap proses yang ada perlu melihat apakah partisipasi
anak dipertimbangkan atau tidak, dan hal ini dapat diperdalam melalui pendekatan action
research. Misalnya pada tahap perencanaan, salah satu tahapan adalah assessment potensi lokal,
pada tahap ini, anak diharapkan dapat mendefinisikan sendiri profil sekolah yang nyaman untuk
mereka. Tentunya kemampuan mereka untuk mendefinisikan sendiri tersebut perlu didampingi
oleh orang dewasa. Juga pada tahapan lainnya seperti peningkatan kapasitas, anak diharapkan
terlibat dalam perencanaan pelatihan guru, membuat isi dan misi real sekolah, juga terlibat
membuat desain sekolah mereka, juga diberikan kesempatan untuk memberikan opini mereka
tentang perkembangan situasi sekolah setelah guru-guru mendapat pendampingan peningkatan
kapasitas melalui pelatihan-pelatihan.

SPIRIT KULABABONG DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER YANG


KONTEKSTUAL

‘Kulababong’ sebagaimana dijelaskan anak-anak SDK Wualadu: terdiri dari dua kata yakni ‘kula’
yang artinya berbicara dan ‘babong’ artinya bebas (yang ditambahkan lagi oleh orang-orang tua
dengan ‘bebas cenderung sembarangan’). Jadi ‘kulababong artinya berbicara bebas. Orang-orang
tua menjelaskan bahwa ‘kula’ artinya berbicara bersama oleh sekelompok orang. Ataukah
orang-orang berkelompok dan berbicara bersama. Muncul beberapa konsep yang berkaitan
dengan kulababong: kula kara, kula lalang, dan kula kameng. Samua memiliki arti urung rembuk
(musyawarah), namun di antaranya terdapat perbedaan. Kula kameng dan kulababong sama,
yaitu musyawarah untuk mufakat. Di dalam berkulababong yang penting adalah saling
menghargai (menghargai pendapat orang lain), saling mendengar (yang lain bicara yang lain
dengar, dan berikan kesempatan orang lain berbicara), dan tidak memaksakan kehendak.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


368
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Kulababong bisa juga diartikan dengan duduk bersama untuk membicarakan segala hal. Di dalam
berkulababong semua orang aktif berbicara, mengemukakan pendapat untuk menyelesaikan
masalah. Jika masalah itu tidak bisa diselesaikan di dalam kulababong maka ditawarkan untuk di
bawa ke Duamoat (pemerintah). Penyelesaian perkara di tingkat pemerintah disebut ‘kula kara’.
Sementara ‘kulalalang’ pembicaraan untuk menemukan solusi, jalan, cara. Dalam ‘kulalang’
hanya orang tertentu saja yang berbicara, biasanya tua-tua adat. Yang dituntut dalam
berkulababong adalah: hati yang baik (waten mi), mengajak orang untuk bersama-sama –
kebersamaan/persaudaraan (imung deung) berbicara yang menghasilkan
kesepakatan-kesepakatan yang berguna bagi semua, atau dapat menyelesaikan suatu persoalan,
sesulit apapun persoalan itu (tatinahing). Kulababong maten potat: Urung rembuk urusan
kematian. Kulababong bisa ngaisiang (pintar dan beradab/bijaksana): urung rembuk pendidikan.

Kulobabong di desa Hepang Kecamatan Nita, sudah menjadi kesepakatan budaya sebagai
spirit dalam menyelesaikan suatu urusan dilingkup internal masyarakat maupun pada tingkatan
yang lebih luas. Urusan ini juga menyangkut hak hidup anak, karaktek anak, tingkah laku anak
dan tata nilai yang perlu dianut oleh masyarakt setempat. Kata kulobabong diartikan sebagai
urung rembuk/musyarawarah mufakat. Penamaan kata tersebut dalam spirit Kulobabong terdapat
beberapa kata sebagai panduan dalam merekat apa yang diurungrembuk atau dimusyawarahkan.

Kulababong sebagai sebuah spirit temuan lainnya mengatakan bahwa, didalam implementasi
kulobabong terdapat kula kameng.dimengerti sebagai suatu kebijakan-kebijakan kemudian
menghasilkan sebagai suatu keputusan yang disebut kula kara. Sebelum dilakukan kulababong
didahului utun omok yakni mengajak orang untuk berkumpul.dan fungsinya untuk menghindari
pembicaraan lepas tanpa fokus atau omong-omong saja, yang disebut wora wota. (disadur dari
Tulisan Ignasius Batuona, Laporan Kunjugan ke Sikka, Februari 2013)

Karakter kulababong adalah saling menghargai dan saling mendengar dan tidak memaksakan
kehendak. Semua orang aktif berbicara untuk menyelesaikan masalah. Dengan demikian,
karakter kulababong ini diharapkan dimiliki oleh setiap pelaku pendidikan sehingga pendidikan
karakter yang kontekstual di Kabupaten Sikka dapat terwujud.

PENCAPAIAN

Pencapaian dan Pembelajaran dikelompokkan kedalam tiga komponen, yaitu:

Anak

Anak menjadi lebih aktif dan partisipatif, anak menerapkan budaya 5 S (senyum, salam, sapa,
sopan, santun), anak suka ke sekolah sehingga angka kehadiran akan di sekolah meningkat, anak
mempunyai prilaku yang lebih baik melalui pembiasaan-pembiasaan memelihara tanaman

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


369
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

disekitar sekolah dan dirumah, menunjukkan siakap yang ramah, saling menegur sapa satu
dengan yang lain, guru menjadi teman dari anak. Anak juga mampu memonitirng sekolahnya,
bersama guru membuat visi misi yang real untuk sekolah, terlibat dalam musrenbang di desa,
anak menulis jurnal harian menilai dirinya,menilai temannya dan menilai guru.

Guru

Hubungan yang semakin baik antara masyarakat, guru dan anak, pembelajaran menjadi sangat
hidup, kreatif dan imajinatif sehingga guru senang mengajar, tingkat kekerasan terhadap anak
menurun (membentak, memukul, kata-kata kasar), guru mulai menjadi contoh kepada anak, dan
orangtua menghargai perubahan pada anak. Ada Master teacher sebanyak 30 orang yang telah di
sertifikasi oleh dina PPO Sikka, Master teacher ini berfungsi membantu mereplikasi Pendidikan
Karakter Kontekstual spirit Kulababong

Pemerintah

Perubahan paradigma pada pemerintah tetang partisipasi anak dalam pembangunan, program
pendidikan karakter kontekstual masuk dalam perencanaan Bappeda (RPJMD), dikeluarkan salah
satu surat keputusan dari Dinas PPO Kabupaten tentang Kulababong sebagai spirit dalam
mewujudkan pendidikan karakter yang kontekstual di kab. Sikka, Dinas PPO propinsi mengambil
6 sekolah contoh sebagai model propinsi terkait pendidikan karakter sesuai Kurikulum
2013.Pemerintah mengambil alih dalam melakukan replikasi ke sekolah- sekolah Dasar yang ada
di Sikka melalui,alokasi untuk dana replikasi. Sdh 30 sekolah yang telah di replikasi.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


370
PROSIDING

MP-48
MODIFIKASI SARANA PEMBELAJARAN PADA PENDIDIKAN JASMANI
KESEHATAN DAN OLAHRAGA DI SEKOLAH DASAR

1
Aschari Senjahari Rawe, 2Finsensius Mbabho
1,2
Program Studi PGSD Universitas Flores

Email : alaflarahman@yahoo.co.id

Abstrak

Memodifikasi sarana pembelajaran pada pendidikan jasmani, kesehatan dan olah raga
bertujuan agar pelaksanaan pembelajaran PJOK pada SD dapat terlaksana sesuai tuntutan
kurikulum PJOK, walupun mengalami kendala dan keterbatasan sarana yang ada.
Keterampilan guru SD khususnya guru yang mengasuh mata pelajaran PJOK dalam
memodifikasi sarana pembelajaran adalah berupa memodifikasi ukuran, berat atau
bentuk peralatan yang dipergunakan, ukuran lapangan permainan, waktu bermain atau
lamanya permainan, peraturan permainan, dan jumlah permainan. Dengan memodifikasi
sarana pembelajaran pada pembelajaran PJOK peserta didik dapat secara efektif dan
efisien mengikuti pembelajaran sesuai dengan konteks dan tingkat usia. Oleh sebab itu
guru SD pengasuh mata pelajaran PJOK harus memiliki keterampilan dalam
memodifkasi sarana pembelajaran PJOK.

Kata Kunci :, Pembelajaran PJOK pada SD, Modifikasi Sarana Pembelajaran PJOK

PENDAHULUAN

Keterbatasan sarana dan tingkat usia peserta didik SD menjadi kendala dalam
mengimplementasi pembelajaran PJOK pada Tingkat SD. Suasana kebebasan yang
ditawarkan di lapangan atau dalam gedung olahraga sirna karena sekian lama terkurung
di antara batas-batas ruang kelas, tentu keadaan ini benar-benar tidak sesuai dengan
dorongan nalurinya. Untuk mengatasi keterbatasan sarana dan guna memenuhi hasrat
peserta didik sekolah dasar dalam berolahraga maka guru PJOK pada SD, perlu
memiliki keterampilan dalam memodifikasi sarana pembelajaran PJOK.

Seorang guru PJOK harus memahami kebutuhan anak akan gerak. Pendidikan
jasmani, olahraga dan kesehatan memang merupakan dunia anak-anak dan sesuai
dengan kebutuahan anak untuk dapat belajar kembali sambil bergembira melalui
peyaluran hastratnya untuk bergerak. Semakin terpenuhnya kebutuhan akan gerak
dalam masa-masa pertumbuhanya maka kian besar kemaslahtanyan bagi kualitas
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pertumbuhan itu sendiri. Pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan adalah waktu
berbuat. Anak-anak usia SD akan berekspresi melalui gerakan dalam setiap
aktivitasnya khususnya melalui media pembelajaran PJOK.

Upaya memodifikasi sarana pembelajaran PJOK yang pada dasarnya


menyederhanakan suatu permainan atau cabang olah raga terntu, selain memenuhi
kebutuhan peserta didik untuk berolahraga, juga dapat mengefektifkan dan
mengefisiensikan implementasi pembelajaran PJOK yang disesuaikan dengan tingkat
usia peserta didik SD. Memodifikasi sarana pembelajaran PJOK bukan berarti
menghilangkan esensi dari suatu permainan atau cabang olahraga tertenu, tetapi adalah
suatu upaya kreatif guru PJOK menyikapi persoalan yang ditemukan di lapangan.

KAJIAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

A. Pembelajaran PJOK pada Sekolah Dasar

Program pendidikan jasmani di sekolah dasar mengutamakan pada pendidikan


gerak. Pendidikan gerak yang menngantarkan anak pada pemahan hubungan gerak
dengan lingkungan dan kemampuan individu siswa secara inteligen dan secara fisikal
menyadari gerak tubuh meraka. Programnya berdasarkan pada pendekatan konseptual
gerak manusia insane melalui pendidikan gerak mereka dalam kaitan dengan waktu ruang
daya dan kaitan tubuh mereka dengan pengelaman gerak lainya pendidikan jasmani juga
perlu menekankan belajar keterampilam khusus melalui demostrasi latihan ‘yang
berkesinambungan, Rosdiana,(2013). Penguatan positif gerakan tubuh para peserta didik
pada tingkat ini SD harus mempromosikan standar penampilan gerak dengan
menciptakan aktivitas jasmani sesuai dengan tingkat perkembangan dan potensi otot
peserta.

Beberapa panduan manajemen dalam ketatalaksanaan pendidikan jasmani di


sekolah dasar menjelaskan bahwa program pendidikan jasmani harus sesuai dengan
kebutuahan para peserta didik termasuk para peserta didik yang mengalami cacat mental,
dan budaya. Para peserta didik yang berbakat sekalipun seperti juga pendidikan jasmani
untuk anak-anak normal, isi program harus menekankan diri pada pendidikan gerak,
perkembangan motor-perceptual dan analisis interdisipliner selain itu termasuk juga
pengalaman gerak yang akan membantu siswa mendapat gerak-gerak dasar untuk
membangun keterampilan yang lebih kompleks, tekhnik, strategi, dan konsep. Isi

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


372
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

program PJOK perlu memfasilitasi perkembangan dan pengalaman secara aman, memicu
kreativitas, ekspresi, diri, perkembangan sosial, konsep diri positif, dan apresiasi terhadap
pentingnya kesehatan dan kebugaran.

B. Modifikasi Sarana Pembelajaran PJOK Pada Sekolah Dasar


Menurut Ngasmain dan Soepartono dalam Rosdiana (2013), alasan utama
perlunya modifikasi adalah, 1) Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil,
kematangan fisik dan mental anak belum selengkap orang dewasa, 2) Pedekatan
pembelajaran pendidikan jsmani selama ini kurang efektif, hanya bersifat lateral dan
monoton, dan 3) Fasilitas pembelajaran pendidikan jasmani yang ada sekarang, hampir
semuanya didesain untuk orang dewasa. Berdasarkan alasan ini tentu upaya
memodifikasi sarana pembelajaran PJOK adalah solusi yang tepat untuk mengatasi
keterbatasan tersebut di atas.

Lutan dalam Husdarta H.J.S, (2011), menyatakan, modifikasi dalam mata


pelajaran pendidikan jasmani diperlukan dengan tujuan agar :1) peserta didik
memperoleh kepuasan dalam mengikuti pelajaran, 2) meningkatkan kemungkinan
keberhasilan dalam berpartisipasi, dan 3) Siswa dapat melakukan pola gerak secara
benar.

Secara operasional Ateng dalam Ikhsan dan Hasmiyati, (2011). mengemukakan


modifikasi sarana adalah sebagai berikut ; 1) Kurangi jumlah pemain dalam setiap regu,
2) ukuran lapangan diperkecil, 3) waktu bermain diperpendek, 4) sesuaikan tingkat
kesulitan, dan karakteristik anak, 4) sederhanakan alat yang digunakan, dan 5) ubahlah
peraturan menjadi sederhana sesuai dengan kebutuhan, agar permainan dapat berjalan
dengan lancar.

Pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen yang dapat


dimodifikasi sebagai pendekatan dalam pembelajaran pendidikan jasmani di SD adalah ;
1) ukuran, berat atau bentuk peralatan yang dipergunakan, 2) ukuran lapangan
permainan, 3) lamanya waktu bermain atau lamanya permainan, 4) Peraturan permainan
yang digunakan, 5) jumlah pemain atau jumlah siswa yang dilibatkan dalam suatu
permainan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sarana dan prasarana


sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pendidikan jasmani di SD. Sarana

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


373
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

yang memenuhi syarat untuk cabang olahraga tertentu, belum tentu memenuhi syarat
untuk digunakan oleh anak SD, Rosdiana (2013). Modifikasi sarana yang sudah ada atau
menciptakan yang baru merupakan salah satu alternaif yang dapat dikembangkan guru
sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan karakteristik dan perkembangan anak.
Berikut ini dapat diuraikan contoh modifikasi sarana pembelajaran PJOK pada
pembelajaran Altletik:

Modifikasi Sarana Pembelajaran Atletik

Atletik yang diberikan pada siswa Sekolah Dasar, berbeda dengan atletik untuk
orang dewasa atau untuk pertandingan. Materi atletik yang diberikan, lebih banyak
berorientasi pada pembelajaran pola gerak dasar umum dan pola gerak dasar dominan dari
gerak; jalan, lari, lompat, dan lempar. Namun, tidak lepas dari unsur-unsur gerak
nomor-nomor yang diberikan. Oleh karena itu, banyak sekali alat atau sarana maupun
prasarana yang dapat dimodifikasi untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran atletik di
Sekolah Dasar. Banyak sarana pembelajaran atletik yang harus dimodifikasi oleh guru
agar sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, Pasau (2012).

Modifikasi Gawang. Salah satu sarana pembelajaran yang sering dimodifikasi


dalam atletik adalah gawang. Modifikasi gawang untuk belajar lari gawang dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dibuat dari kayu atau bambu dengan panjang
antar 80-100 cm dan ketinggiannya dapat diubah-ubah dari mulai 15 cm sampai 80 cm.
Ketinggian gawang tentu disesuikan dengan usia dan jangkauan untuk melompat gawang
dari peserta didik. Dengan memodifikasi ketinggian lompat gawang, tentu akan
memudahkan peserta didik untuk melewati gawang.

Modifikasi Lompat Jauh dan Jangkit. Gerak dasar lompat jangkit dapat
dilakukan dengan menggunakan kardus yang ditata sedemikian rupa, baik jarak, formasi
maupun tinggi atau lebarnya. Jarak lompat jauh pada umumnya untuk putra 40m sampai
50m, sedangkan untuk putrid 30-45m pada orang dewasa. Untuk peserta didik sekolah
dasar jarak lompat jauh dapat kita modifikasi dengan menyederhakan jarak menjadi; pada
putra 14-20m, dan putrid 15-25m. Dengan mengurangi jarak, tentu akan mudah terjangkau
dari sisi kemampuan peserta didik dan tidak mudah lelah serta menghindari cedera yang
kemungkinan dapat dialami oleh peserta didik.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


374
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Modifikasi Tiang dan Mistar Lompatan. Apabilah tiang dan bilah lompat yang
diperlukan untuk belajar lompat tinggi tidak ada, guru dapat memodifikasikan dengan
menggunakan bambu atau kayu bekas. Tiang diberi penyanggah agar tidak jatuh dan
diberi paku atau pasak pada setiap ketinggian tertentu (contoh setiap 5 cm) untuk
meyimpan mistar lompatan.

PENUTUP

Kesimpulan

Modifikasi sarana pembelajaran PJOK merupakan solusi yang dapat diterapkan


oleh guru PJOK dalam menjawapi tuntutan kurikulum, tingkat usia dan hasrat peserta
didik untuk melaksanakan olahraga. Dengan modifikasi sarana pembelajaran PJOK
seorang guru akan lebih kreatif dan inovatif dalam mengimplementasikan kurikulum
PJOK pada SD. Modifikasi sarana pembelajaran PJOK dapat mengefektifkan dan
mengefisiensikan penggunaan sarana pembelajaran PJOK yang tersedia pada sekolah
tertentu.

Saran

Bagi para guru PJOK di tingkat SD dapat memodifikasi sarana pembelajaran


sesuai dengan kondisi sarana olahraga yang tersedia dan tingkat usia peserta didik di
sekolah masing-masing. Guru PJOK diharapkan lebih kreatif dan inovatif dalam
memodifikasi sarana pembelajaran PJOK yang bersumber dari lingkungan di sekitar
sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Husdarta H.J.S. (2011). Manajemen Pendidikan Jasmani. Bandung; Alfabeta


Ikhsan, Andi dan Hasmiyati. (2011). Manajemen Pendidikan Jasmani dan Olahraga.
Makasar: UNM
Pasau, Anwar (2012). Pertumbuhan dan Perkembangan Fisik Pendidikan Jasmani,
Olahraga, dan Kesehatan. Makasar: UNM
Rosdiana, Dini. (2013). Perencanaan Pembelajaran Dalam Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan. Bandung: Alfabeta

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


375
PROSIDING

MP-49

QUANTUM LEARNING DALAM PEMBELAJARAN


ILMU PENGETAHUAN ALAM KELAS IV DI SDI EKOLEA KABUPATEN ENDE

1
Maria Elfita Nas, 2Aurelius Fredimento
Program Studi PGSD Universitas Flores
Email : bethlehemk@gmail.com

Abstrak
Setiap guru siapapun dia menghendaki agar proses pembelajaran yang dijalankan di kelas dapat
memberikan hasil yang memadai bagi peserta didik. Hasil yang memadai ini dalam perhitungan
jangka panjang dapat dilihat dari perubahan tata konsep serta perilaku peeserta didik yang
semakin maju berkembang. Namun dalam hitungan jangka pendek, hasil yang memadai ini dapat
dilihat dari tingkat perkembangan pemahaman dan internalisasi konseptual peserta didik terhadap
materi ajar yang diajarkan. Untuk menggapai hasil yang memadai demikian, peran serta guru
menjadi hal yang sangat penting dan urgen. Inisiatip dan kreativitas guru dalam menggali aneka
model, strategi dan metode pembelajaran menjadi sebuah prinsip hidup yang tidak boleh
diabaikan. Kemampuan berikutnya yang harus menjadi cambukan bagi guru adalah bagaimana
membaca, memahami, menganalisis dan menerapkan model, strategi dan metode pembelajaran
dalam setiap pembelajaran di kelas. Ada satu hal yang menjadi keprihatinan bersama dalam
pembelajaran di kelas adalah egoisme guru dalam mengelolah pembelajaran di kelas. Guru
terkadang membangun sikap apatisme yang tinggi dalam pembelajaran. Sikap apatisme ini
ditampilkan dalam sikap dan perilaku guru yang tidak mau tahu dengan kondisi pembelajaran di
kelas entah itu menyenangkan atau tidak menyenangkan peserta didik. Yang terpenting bagi guru
adalah perjuangan untuk menyelesaikan tumpukan materi dalam satu semester. Kalau memang
kondisi demikian yang terjadi, maka mimpi untuk membentuk generasi yang berintelektual dan
berkarakter menjadi sebuah impian indah tanpa bukti. Pembuktian pertama dan terutama yang
harus dilakukan oleh guru adalah mendorong diri sendiri agar mampu menciptakan suasana
pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan berbasiskan penghargaan terhadap peserta didik
sebagai pribadi-pribadi utuh yang sedang dalam proses pembentukan dan pematangannya. Dalam
konteks ini, model quantum learning menjadi salah satu alternatif model pembelajaran yang
dirasakan mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan demi
penggapaian hasil belajar peserta didik yang maksimal.

Kata Kunci: quantum learning, menyenangkan, nyaman, guru, hasil belajar

PENDAHULUAN
Menerima materi pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam kemasan suasana
nyaman dan menyenangkan tentunya menjadi impian peserta didik Kelas IV SDI Ekolea. Hal ini
disebabkan karena dengan mengikuti pembelajaran dalam suasana demikian, peserta didik
khususnya secara batini psikoloogis sudah disiapkan untuk mengikuti seluruh proses
pembelajaran di kelas. Pembelajaran dalam kemasan suasana demikian, selalu berorientasi pada
penyaluran energi-energi positip dari guru kepada peserta didik dengan harapan agar
energi-energi yang terpancar itu mampu memikat, merangsang dan mengubah aneka potensi

Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

peserta didik yang tersembunyi menjadi sebuah tampilan kemampuan riil yang pada saatnya
dapat memancarkan cahaya yang bermanfaat bagi diri meraka sendiri dan orang lain.

Peserta didik dalam pembelajaran IPA Kelas IV SDI Ekolea di kelas adalah
kumpulan-kumpulan persona yang secara pribadi dan alamiah memiliki aneka potensi yang
tersembunyi dalam dirinya, yakni potensi personal, potensi sosial, potensi spiritual. Aneka
potensi peserta didik itu seiring dengan perkembangan waktu akan berkembang secara alamiah
namun harus dalam bimbingan dan tuntunan guru supaya proses aktualisasinya berjalan sesuai
dengan tujuan keberadaan manusia itu sendiri. Membiarkan secara alamiah proses aktualisasi
potensi peserta didik tanpa bimbingan dan tuntunan guru, akan menghasilkan peserta didik yang
jauh dari harapan. Padahal kelanjutan pembangunan bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh
kualitas generasi bangsa yang mumpuni.

Guru sebagai pendidikan dan pengajar di kelas dalam arti tertentu sedang melakoni diri
sebagai seorang bidan yang sedang berjuang membantu peserta didik untuk menjaga, merawat
dan melahirkan potensi diri mereka menjadi kemampuan-kemampuan riil yang sangat berguna
bagi masyarakat. Proses ini tentunya akan berjalan lebih maksimal kalau guru memadukan
proses pembelajaran di kelas dengan unsur seni dan pencapaian terarah untuk segala mata
pelajaran. Penambahan unsur seni dan pencapaian terarah dalam pembelajaran di kelas
diharapkan mampu membentuk dan menciptakan suasana pembelajaran yang nyaman dan
menyenangkan.

Memang benar ada banyak hal yang sangat dibutuhkan sebagai syarat utama keberhasilan
dalam pengelolaan pembelajaran di kelas. Namun di atas dari segala-galanya adalah konteks dan
suasana batin psikologis peserta didik yang senang dan bahagia dalam mengikuti pembelajaran di
kelas menjadi faktor utama penentu keberhasilan pembelajaran di kelas. Apalah artinya sebuah
persiapan dan penerapan model pembelajaran yang bagus dan berkualitas dari guru apabila
peserta didik sendiri secara batiniah dan psikologis belum disiapkan untuk menerima
pembelajaran tersebut. Salah satu model pembelajaran yang bagus dan berkualitas adalah
Quantum Learning. Model quantum learning sesungguhnya berakar dari upaya Dr. Georgi
Lozanov seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang melakukan percobaan tentang
suggestology atau suggesto-pedia. Prinsip utama dari percobaan ini adalah sugesti apapun
bentuknya (positip maupun negatip) dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar. Beliau
menawarkan beberapa teknik yang dapat digunakan guru dalam memberikan sugesti positip
dalam pembelajaran di kelas, yakni: a) mendudukan peserta didik secara nyaman, b) memasang
musik latar dalam kelas, c) meningkatkan partisipasi individual, d) menggunakan poster-poster

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


377
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

untuk memberikan kesan besar sambil menonjolkan informasi dan e) menyediakan guru-guru
yang terlatih dalam seni pengajaran sugestif (De Porter, 2013: 14)

Istilah suggestology dari Dr. Georgi Lozanov sesungguhnya hampir memiliki kesamaan
artinya dengan istilah accelerated learning (pemercepatan belajar). Pemercepatan belajar
adalah sebuah proses pembelajaran di kelas yang kemasannya memungkinkan peserta didik untuk
belajar dengan a) kecepatan yang mengesankan tetapi dengan upaya yang normal, b) dibarengi
dengan kenyamanan dan kegembiraan. Dua cara ini telah menjadi pemersatu dari semua
unsur-unsur yang secara sepintas bertentangan namun dipastikan memberikan kontribusi yang
signifikan bagi pengembangan hasil belajar yang maksimal di kelas, yakni: a) hiburan, b)
permainan, c) warna, d) cara berpikir positip, e) kebugaran fisik dan f) kesehatan emosional.
Perpaduan semua unsur ini diharapkan akan dapat menghasilkan pengalaman belajar yang
efektiif. (De Porter, 2013: 14)

Quantum learning mencakup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik, yaitu


suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan
antara bahasa dengan perilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian
antara peserta didik dengan guru. Para pendidik atau guru dengan pengetahuan neurolinguistik
diharapkan menyadari bahwa penggunaan bahasa yang positip untuk meningkatkan
tindakan-tindakan positip merupakan factor penting untuk merangsang fungsi otak yang paling
efektif (De Porter, 2013: 14)

Quantum learning dalam prinsip terakhirnya dipahami sebagai interaksi-interaksi positip


dari guru yang mengubah energi menjadi cahaya. Dalam konteks pembelajaran di kelas yang
dimaksudkan dengan quantum learning adalah pengemasan proses pembelajaran di kelas melalui
interaksi-interaksi positip dari guru terhadap peserta didik yang mampu menggunakan semua
momentum belajar serta berfokus pada penciptaan hubungan dinamis dalam lingkungan kelas
antara guru dan peserta didik demi pencapaian hasil belajar yang maksimal.

Ketika berbicara tentang quantum learning sebagai sebuah model pembelajaran, maka
ada beberapa asas dan prinsip yang harus ditaati. Berikut ini akan dijelaskan beberapa asas
quantum learning yakni: bawalah dunia peserta didik ke dunia guru dan bawalah dunia guru ke
dunia pesera didik. Maksud dari asas ini adalah dalam proses pembelajaran di kelas, seorang guru
harus memahami dan memasuki dunia peserta didik sebagai bagian kegiatan pembelajaran. Salah
satu cara yang digunakan yakni mengaitkan apa yang diajarkan guru dengan sebuah peristiwa,
pikiran dan perasaan yang diperoleh peserta didik. Tujuan yang ingin di capai dari hal ini adalah
menciptakan jembatan antara peserta didik dengan guru. Setelah terbentuk konektivitas yang

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


378
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

tinggi, kemudian guru membantu menginternalisasi konsep materi pada peserta didik dengan
menyampaikan manfaat materi yang dipelajarinya.

Selain memiliki asas, quantum learning memiliki beberapa prinsip yang harus diterapkan
dalam pembelajaran. DePorter (dalam Wena, 2011: 161) menguraikan prinsip itu dalam 5 (lima)
aspek sebagai berikut: a) segalanya berbicara. Yang di maksudkan dengan prinsip segalanya
berbicara adalah lingkungan kelas, bahasa tubuh, dan bahan pelajaran semuanya menyampaikan
tentang tema konsep. Dalam hal ini guru dituntut untuk mampu mendesain segala aspek yang ada
di lingkungan kelas maupun sekolah sebagai sumber belajar; b) segalanya bertujuan. Yang
dimaksudkan dengan segalanya bertujuan adalah setiap kegiatan belajar harus jelas tujuannya.
Semua mekanisme yang terjadi dalam pembelajaran di kelas berorientasi pada tujuan
pembelajaran; c) pengalaman sebelum pemberian nama. Peserta didik terlebih dahulu
mendapatkan informasi tentang materi yang akan dipelajari. Hal ini bertujuan mempersiapkan
peserta didik untuk menambah rasa ingin tahu dalam belajar selanjutnya.d) akui setiap usaha.
Sekecil apapun prestasi peserta didik dalam pembelajaran harus mendapat pengakuan atau
prestasi demi mengembangkan rasa percaya dirinya dalam banyak hal; e) jika layak dipelajjari
maka layak pula di rayakan. Maksudnya peserta didik yang mampu menampilkan hal-hal positip
dalam hal pengembangan kemampuan dalam kelas, harus diberikan umpan balik melalui
perayaan berupa hadiah, tepukan tangan. Hai ini bertujuan untuk meningkatkan asosiasi positip
dalam belajar.

Kerangka rancangan quantum learning dalam pelaksanaannya mempunyai lima


komponen yang di kenal dengan TANDUR yang merupakan singkatan dari a) tumbuhkan.
Tumbuhkan ini mengandung makna bahwa pada awal kegiatan pembelajaran, guru berusaha
mengembangkan minat belajar peserta didik untuk belajar dengan memberitahu manfaat materi
yang akan di pelajari bagi diri dan kehidupannya b) Alami. Mengandung makna bahwa proses
pembelajaran akan lebih bermakna jika peserta didik mengalami secara langsung materi yang
akan dipelajari. Pengalaman langsung ini akan membangun keingintahuan serta memudahkan
dan meningkatkan pemahaman peserta didik. Strategi yang digunakan adalah berupa jembatan
keledai, permainan dan simulasi. c) Namai. Penamaan ini dilakukan setelah peserta didik
melakukan pengalaman belajar. Penamaan merupakan saat untuk mengajarkan konsep,
ketrampilan berpikir dan strategi belajar. Strategi yang dapat digunakan adalah menggunakan
susun gambar, warna, alat bantu, kertas tulis dan poster dinding. d) Demonstrasikan.
Demonstrasi member peluang bagi peserta diidik menerjjemahkan, berlatih dan menerapkan
pengetahuan mereka ke dalam pembelajaran yang lainnya dalam kehidupan. e) Ulangi.
Pengulangan akan memperkuat koneksi saraf dan menumbuhkan rasa tahu serta membuat

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


379
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pengetahuan melekat dalam ingatan peserta didik. f) Rayakan. Rayakan mengandung makna
pemberian umpan balik yang positip pada peserta didik berupa pujian dan pemberian hadiah.
Perayaan mengandung arti pemberian penghormatan atas usaha, ketekunan dan kesuksesan yang
telah dilakukan. (Wena, 2011: 164-166).

Makalah ini memaparkan hasil Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang bertujuan untuk
membangun sebuah iklim pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan dalam rangka
meningkatkan hasil belajar peserta didik.

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis penelitian ini berfokus pada upaya guru dalam meningkatkan prestasi belajar
peserta didik melalui penerapan model quantum learning. Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian qualitative, yakni penelitian yang pada dasarnya menggunakan
pendekatan deduktif induktif, berangkat dari suatu kerangka teori, gagasan para ahli ataupun
pemahaman peneliti berdasarkan pemahamannya selanjutnya dikembangkan menjadi
permasalahan beserta pemecahannya dalam bentuk dukungan data empiris di lapangan

Metode penelitian yang digunakan adalah metode Penelitian Tindakan Kelas. Penelitian
Tindakan Kelas berfokus pada proses pembelajaran di kelas dengan oorientasi untuk mengkaji
mengenai hal-hal yang terjadi secara riil di dalam kelas. Makna kelas dalam PTK adalah
sekelompok peserta didik yang sedang belajar yang tidak hanya terbatas pada ruangan tertutup
saja tetapi dapat juga ketika peserta didik sedang melakukan karyawisata, praktik di lapangan,
atau di rumah dan ketika peserta didik sedang mengerjakan tugas yang diberikan guru baik di
rumah, di sekolah atau di tempat lain (Ekawarna, 2013: 4)

Metode ini menurut Hopkins (dalam Ekawarna, 2013: 4) PTK adalah penelitian yang
mengkombinasikan prosedur penelitan dengan tindakan substantife, suatu tindakan yang
dilakukan dalam disiplin inquiri atau suatu usaha seseorang untuk memahami apa yang sedang
terjadi sambil terlibat dalam proses perbaikan dan perubahan. Secara riil praktis, PTK menurut
Ebut (dalam Ekawarna 2013: 5) adalah kajian sistematik dari upaya perbaikan pelaksanaan
prakteik pendidikan oleh sekelompok guru dengan melakukan tindakan-tindakan dalam
pembelajaran berdasarkan refleksi mereka atas hasil dari tindakan-tindakan tersebut.

Dalam PTK tersedia tersedia model-model yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam
membuat desain PTK. Model yang dipakai dalam PTK ini adalah model Kemmis & Taggart.
Model ini sesunggguhnya merupakan pengembangan dari model yang ditawarkan oleh Kurt
Lewin. Implementasi model ini dalam pembelajaran IPA Kelas IV di SDI Ekolea dikemas dalam
fase-fase berikut ini:

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


380
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Pertama, refleksi awal yang berisikan kegiatan penjajagan untuk mengumpulkan


informasi tentang situasi yang relevan dengan tema penelitian. Informasi yang terkumpul dapat
membantu peneliti dalam menemukan pokok permasalahannya yang selanjutnya di buatlah
rumusan masalah. Kedua, penyusunan perencanaan. Tahap ini adalah penyusunan rencana
mencakup tindakan yang akan dilakukan untuk perbaikan, peningkatan dan perubahan sikap dan
perilaku yang diinginkan. Ketiga, pelaksanaan tindakan yang berisikan pelaksanaan tindakan
dalam rangka upaya perbaikan, peningkatan, atau pperubahan yang dilaksanakan berdasarkan
pada pedoman rencana tindakan. Keempat, observasi yang berisikan pengamatan yang dilakukan
terhadap penelitian ini. Dalam fase ini peneliti mengamati hasil atau dampak dari tindakan yang
dilaksanakan terhadap peserta didik. Kelima, refleksi yang berisikan refleksi penulis berupa
analisis, sintetis, dan interpretasi terhadap semua informasi yang di peroleh saat tindakan di kelas.
Hasil refleksi ini akhirnya mendorong peneliti untuk menyimpulkan yang mantap dan tajam demi
perkembangan pengelolaan pembelajaran di kelas.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Sebelum melaksanakan eksperimen tentang model quantum learning dalam
tahapan-tahapan siklus yang telah disiapkan, hal pertama yang dilakukan oleh peneliti adalah
dengan melakukan tes awal terhadap 12 peserta didik. Test awal ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan awal peserta didik mengenai materi IPA yang telah diberikan. Pengetahuan tentang
kemampuan awal ini akan dijadikan sebagai dasar untuk menerapkan model quantum learning
dengan harapan setiap siklus yang dilakukan memberikan ketuntasan yang cukup signifikan.
Setelah melakukan tes awal terhadap peserta didik Kelas IV SDI Ekolea, perolehan ketuntasan
dan ketidaktuntasan dapat dilihat dalam diagram berikut ini.

80
60
40 Persentase
20 Ketuntasan
0
Pra Siklus

Gambar 1. Diagram Ketuntasan Belajar Peserta Didik Pra Siklus


Berdasarkan diagram di atas di ketahui bahwa masih banyak dijumpai peserta didik
yang belum tuntas dalam belajar. Hal ini terbukti dengan nilai yang diperoleh belum mencapai
Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal (KKBM) yang berlaku di sekolah ini adalah 70. Dari test
awal dijumpai 25% atau 3 peserta didik yang tuntas sedangkan sisanya 75% atau 9 peserta didik

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


381
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

yang belum tuntas. Berdasarkan perolehan prosentase ketuntasan dalam test awal ini, peneliti
mulai menerapkan model quantum learning siklus demi siklus sesuai dengan rancangan
pembelajaran yang direncanakan.

Dalam siklus pertama, peneliti menerapkan kerangka model quantum learning dalam
lima komponen yang di kenal dengan TANDUR. Semua proses pembelajaran dalam siklus
pertama ini di kemas dalam pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan sesuai dengan roh
model quantum learning. Akhir dari proses pembelajaran ini, peneliti memberikan test untuk
mengetahui sejauh mana pengaruh model quantum learning dalam meningkatkan hasil belajar.
Setelah di test, hasilnya dapat dilihat dalam diagram berikut ini.

Gambar 2. Diagram Ketuntasan Belajar Peserta Didik Siklus Pertama

Berdasarkan diagram di atas terlihat jelas bahwa peserta didik yang tuntas belajar
sebanyak 9 orang atau 75% dan yang belum tuntas 3 orang atau 25%. Berdasarkan data yang
ditampilkan ini, dapat dijelaskan bahwa penerapan model quantum learning dalam pembelajaran
IPA Kelas IV SDI Ekolea mulai mempengaruhi tingkat hasil belajar peserta didik terhadap materi
alat indera manusia.meskipun belum maksimal.

Terhadap perolehan ketuntasan yang belum maksimal dalam siklus pertama, ditemukan
beberapa kendala yang menjadi penyebabnya, antara lain: a) terdapatnya beberapa kelompok
yang masih bingung menyelesaikan soal dalam LKS; b) masih dijumpai peserta didik yang belum
termotivasi untuk aktif dalam pembelajaran di kelas; c) masih dijumpai sebagian peserta didik
yang belum mengikuti secara sungguh proses quantum learning. Terhadap beberapa kendala
yang dijumpai ini, ada beberapa tawaran perbaikan untuk dilaksanakan pada siklus kedua, yakni:
a) guru harus mampu menciptakan suasana pembelajaran yang nyaman dan menyenangkan
selama siklus berlangsung; b) penekanan pada apersepsi yang harus menyenangkan dan
mengarah pada tujuan pembelajaran; c) guru harus lebih menguasai lagi roh model quantum

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


382
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

learning dalam proses pembelajaran di kelas; dan d) guru harus berjuang untuk mengaktifkan
kembali peserta didik yang pasif dalam kelas.

Berdasarkan hasil analisis data dan refleksi pada siklus pertama, peneliti merencanakan
siklus kedua dengan harapan agar penerapan model quantum learning manpu membawa
perubahan entah hasil belajar ataupun penciptaan suasana belajar yang nyaman dan
menyenangkan. Setelah mencermati semua problem yang dijumpai dalam siklus pertama, peneliti
melaksanakan siklus kedua sesuai dengan prinsip TANDUR dengan penekanan pada penciptaan
suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan. Berikut ini ditampilkan hasil yang diperoleh
dari proses perjalanan siklus kedua:

Gambar 3. Diagram Ketuntasan Belajar Peserta Didik Siklus Kedua


Berdasarkan diagram di atas diperoleh gambaran bahwa 12 peserta didik di siklus kedua
telah mengalami ketuntasan belajar. Berdasarkan perolehan prosentase ketuntasan pada pra
siklus, siklus pertama dan siklus kedua, berikut ini akan ditampilkan diagram perbandingan
prosentase ketuntatasan belajar peserta didik mulai dari pra siklus, siklus pertama dan siklus
kedua.

100
80
60 Persentase
40 Ketuntasan
20 Persentase Ketidak
Tuntasan
0
Pra Siklus Siklus I Siklus III

Gambar 4. Diagram Perbandingan Ketuntasan Belajar Peserta Didik Pra Siklus, Siklus
Pertama Dan Siklus Kedua

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


383
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Data pada diagram di atas, menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar setelah
diterapkannya model quantum learning. Dari pra siklus 25 % peserta didik yang mengalami
ketuntasan belajar. Sedangkan pada siklus pertama peserta didik yang mengalami ketuntasan
belajar 75%. Kemudian pada siklus kedua, peserta didik mengalami peningkatan ketuntasan
menjadi 100%. Artinya dari pra siklus menuju siklus pertama mengalami kenaikan 50% dan dari
siklus pertama menuju siklus kedua mengalami peningkatan 25%. Berikut ini ditampilkan
diagram perkembangan ketuntasan belajar peserta didik

Gambar 5. Diagram Perkembangan Ketuntasan Belajar Peserta Didik

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dari penerapan model quantum learning terhadap mata
pelajaran IPA Kelas IV materi alat indera manusia di SDI Ekolea Kabupaten Ende, maka yang
perlu mendapat penegasan sekaligus sebagai sebuah kesimpulan adalah: Pertama, rancangan
pembelajaran IPA dengan menggunakan model quantum learning ternyata mampu
menghidupkan suasana pembelajaran di kelas. Peserta didik berangsur-angsur menampilkan
semangat dan gairah belajar yang memadai untuk mengikuti proses pembelajaran di kelas. Hal
ini juga disebabkan oleh kesetiaan guru dalam mengikuti langkah-langkah pembelajaran dalam
model quantum learning. Kedua, keberhasilan untuk menciptakan pembelajaran yang nyaman
dan menyenangkan sangat ditentukan oleh kemampuan guru yang memadai. Untuk menciptakan
suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan seorang guru harus mampu membaca konteks
lingkungan dan konteks peserta didik. Kemampuan guru ini akan berimplikasi pada penentuan
media, alat dan sarana yang digunakan dalam pembelajaran sehingga peserta didik mampu
mengikuti pembelajaran dengan bahagia, nyaman dan menyenangkan. Ketiga, penerapan model
quantum learning dalam pembelajaran mampu meningkatkan hasil belajar peserta didik. Hal ini

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


384
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

dapat dilihat pada perolehan ketuntatasan belajar peserta didik dari semua siklus. Dari pra siklus
25 % peserta didik yang tuntas. Sedangkan pada siklus pertama peserta didik yang tuntas 75%.
Artinya mengalami kenaikan 25%. Kemudian pada siklus kedua, peserta didik mengalami
peningkatan ketuntasan menjadi 100%. Artinya mengalami peningkatan 25% dari siklus pertama.
Dengan demikian, ditegaskan bahwa penerapan model quantum learning dapat meningkatkan
hasil belajar peserta didik Kelas IV pada mata pelajaran IPA materi alat indera manusia di SDI
Ekolea.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, dkk.,2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Damayanti, Deni. 2013. Panduan Lengkap Proposal, Skripsi, Tesis, Disertasi. Yogyakarta:
Araska
Danim, 2010. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Alfabeta
Deporter, B ., Hernacki, B.2013. Quantum Leraning: Membiasakan Belajar Nyaman Dan
Menyenangkan. Bandung: Kaifa.
Deporter, Bobby, dkk., 2010. Kuantum Teaching: Mempraktikkan Kuantum Learning Di
Ruang-Ruang Kelas. PT. Mizan Pustaka
Desmita, 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ekapurwa, 2011. Model - Pembelajaran Kuantum-Beserta Penerapannya – Di Bidang
Teknologi-Teknologi-Informasi-Dan Komunikasi (http:www.google.com) diakses 4
Pebruari 2017.
Ekawarna, 2013. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: GP Press Group
Trianto, 2010. Mendesain Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
Di Kelas. Tanpa Kota Penerbit: Tanpa Penerbit
______, 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Jakarta: Kencana
Wena, Made. 2011. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


385
PROSIDING

MP-50

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAMS


ACHIEVEMENT DIVISION DENGAN MEDIA GAMBAR UNTUK MENINGKATKAN
HASIL BELAJAR BAHASA INDONESIA ASPEK BERBICARA

(Studi Pada Siswa Kelas IV SDNI Wutik, Kecamatan Koting, Kabupaten Sikka)

Geryani Suryo Moang Kala


Prodi PGSD Uniflor Ende

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe
student teams achievement division dengan media gambar pada pembelajaran Bahasa Indonesia
aspek berbicara siswa kelas IV SDNI Wutik, (2) Peningkatan hasil belajar Bahasa Indonesia
aspek berbicara siswa kelas IV SDNI Wutik setelah digunakan model pembelajaran kooperatif
tipe student teams achievement division dengan media gambar. Subyek penelitian adalah siawa
kelas IV SDNI Wutik yang berjumlah 16 orang. Jenis penelitian adalah penelitian tindakan kelas
dengan teknik pengumpulan data yakni observasi, wawancara, tes, dokumentasi. Dari kegiatan
penelitian dapatdiketahui bahwa dari hasil pre test terhadap16 siswaterdapat 4 siswa yang tuntas
atau mencapai persentase ketuntasan secara klasikal sebesar 25 %. Pada siklus I diketahui bahwa
dari 16 siswa terdapat 9 siswa yang tuntas atau mencapai persentase ketuntasan secara klasikal
sebesar 56,25 % dan pada siklus II diketahui bahwa semua siswa yang berjumlah 16 orang
dinyatakan tuntas dan mencapai persentase ketuntasansecara klasikal sebesar 100 %.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe student
teams achievement division dengan media gambar dapat meningkatkan hasil belajar Bahasa
Indonesia aspek berbicara siswa kelas IV SDNI Wutik .

Kata Kunci: Student Teams Achievement Division, Media Gambar, Hasil Belajar

PENDAHULUAN

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan susasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak yang mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakan, bangsa dan negara.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003,
pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar
pada nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap perubahan zaman.
Pendidikan nasional yang berakar pada nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan
tanggap terhadap perubahan zaman diharapkan berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Dasar dengan tema ” Inovasi
Pembelajaran menyenangkan di Tingkat Pendidikan Dasar " pada tanggal 2 Desember 2017 di
Program Studi PGSD Universitas Flores Ende.
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis. Untuk mencapai tujuan tersebut,
yakni mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaiman diamantkan Undang-Undang Dasar 1945,
pemerintah harus membangun suatu sistem pendidikan yang disebut Sistem Pendidikan Nasional
sebagai keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional.
Tirtarahardja & Sulo (2008: 37) menyimpulkan bahwa sebagai suatu komponen
pendidikan, tujuan pendidikan nasional menduduki posisi penting diantara komponen-komponen
pendidikan lainnya.Dapat dikatakan bahwa segenap komponen dari seluruh kegiatan pendidikan
dilakukan semata-mata terarah kepada pencapaian tujuan tersebut.Dengan demikian
kegiatan-kegiatan yang tidak relevan dengan tujuan pembelajaran tersebut dianggap
menyimpang, tidak fungsional, bahkan salah sehingga harus dicegah terjadinya. Disini terlihat
bahwa tujuan pendidikan itu bersifat normatif, yaitu mengandung unsur norma yang bersifat
memaksa, tetapi tidak bertentangan dengan hakikat peserta didik serta dapat diterima oleh
masyarakat sebagai nilai hidup yang baik.
Sekolah dasar merupakan salah satu pendidikan formal berjenjang yang juga memilki
tanggung jawab terhadap terciptanya proses dan pencapaian hasil pendidikan yang berkualitas di
Indonesia. Tercapainya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas ini mencapai titik temunya
jika guru sebagai salah satu komponen penyelenggara pendidikan memiliki kompetensi
profesional sebagai seorang guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran pada mata
pelajaran yang diasuhnya.
Sekolah Dasar Negeri Inpres Wutik merupakan salah satu lembaga pendidikan dasar
yang terletak di Kecamatan Koting, Kabupaten Sikka, Propinsi Nusa Tenggara Timur yang
berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai lembaga
pendidikan, tentunya Sekolah Dasar Inpres Wutik mempunyai tanggung jawab yang sama
besarnya dengan lembaga pendidikan lain yang berada di bawah kedaulatan NKRI dengan
mengedepankan profesionalisme pada proses pembelajaran di setiap mata pelajaran demi
mencapai tujuan pendidikan nasional.
Setelah mencermati proses pembelajaran yang terjadi pada tahap pra tindakan dengan
melakukan pengamatan dan wawancara terhadap guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka
peneliti dapat menemukan adanya permasalahan yakni rendahnyahasil belajar siswa kelas IV
SDNI Wutik khususnya pada pembelajaran Bahasa Indonesia aspek berbicara dengan kompetensi
dasar mendeskripsikan gambar atau denah secara lisan dengan menggunakan kalimat yang runtut.
Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya aktivitas dan hasil belajar siswa pada kompetensi
tersebut yakni, Pertama, penerapan metode pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher
centered) dengan menerapkan metode ceramah sehingga siswa kurang aktif dan kreatif dalam

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


386
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

pembelajaran. Kedua, penggunaan media gambar yang tidak kontekstual sehingga sulit dipahami
siswa.Ketiga, siswa diarahkan pada pembelajaran yang sifatnya individual sehingga tidak
tercipta interaksi sosial antara siswa yang akhirnya berdampak pada rendahnyahasil belajar.
Metode ceramah yang berpusat pada guru menyebabkan tidak terjadinya interaksi sosial
antara siswa yang berdampak pada rendahnya pencapaian hasil belajar karena siswa tidak
diarahkan untuk memahami materi pembelajaran dalam kelompok yang sifatnya kolaboratif.
Selain itu, kebiasaan menggunakan bahasa daerah setempat dalam berbagai situasi baik di rumah
maupun disekolah semakin menambah dampak rendahnya keterampilan berbicara siswa sesuai
dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada kompetensi dasar mendeskripsikan gambar
atau denah secara lisan dengan menggunakan kalimat yang runtut dengn aspek penilaian
kemampuan berbicara yakni lafal, intonasi,diksi atau pilihankata dan keruntutan kalimat.
Perbendaharaan kata yang kurang dan sikap ragu-ragu dalam menjelaskan denah
menyebabkan pelafalan dan intonasi siswa kurang jelas dalam penjelasan.Sikap ragu-ragu
tersebut berdampak pada kurang sesuainya intonasi siswa dalam menjelaskan denah yang
ada.Selain itu, berdampak pula pada diksi atau pilihan kata yang digunakan yang kemudian
berpengaruh terhadap tidak runtutnya kalimat yang disampaikan saat menjelaskan denah.Siswa
belum mampu menggunakan kata-kata lanjutan setelah kata sebelumnya dalam menjelaskan
denah.
Pencapaian ketuntasan hasil belajar secara klasikal pada pre test yang diperoleh
siswahanya mencapai 25 %. Dari 16 siswa hanya 4 siswa yang mencapai kriteria ketuntasan
minimal 65 sedangkan 12 siswa belum mencapai kriteria ketuntasan minimal.Dari uraian di atas,
masalah yang perlu mendapat perhatian adalah rendahnyahasil belajar siswa pada pembelajaran
Bahasa Indonesia aspek berbicara.Masalah pembelajaran tersebut perlu dicarikan solusi guna
menerapkan pembelajaran yang berkualitas sehingga dapat meningkatkanhasil belajar siswa.
Guru sebagai fasilitator sangat perlu menerapkan model pembelajaran yang sesuai dan
media gambar yang tepat agar mempermudah siswa dalam pencapaian kompetensi. Salah satu
prinsip pendidikan di sekolah saat ini adalah guru memberi kesempatan pada siswa untuk
membangun pengetahuan dalam dirinya sendiri mengenai materi pembelajaran.Suasana
pembelajaran yang diharapkan adalah siswa ditempatkan sebagai subyek dalam pembelajaran
yang berupaya menggali sendiri, memecahkan sendiri masalah dari suatu konsep yang dipelajari
dan guru menempatkan diri sebagai motivator dan fasilitator.
Masalah pembelajaran diatas dapat dipecahkan jika dilakukan kolaborasi antara model
pembelajaran kooperatif dengan media pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran
menjelaskan denah atau gambar secara lisan dengan kalimat yang runtut. Melalui proses diskusi
yang mengedepankan interaksi antara siswa dengan mengacu pada media gambar yang tepat,

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


387
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

siswa diarahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif


merupakan model pembelajaran yang banyak digunakan dan menjadi perhatian serta dianjurkan
oleh para ahli pendidikan. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Slavin dinyatakan bahwa, pertama, penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap
toleransi dan menghargai pendapat, kedua, pembelajaran kooperatif dapat memenuhi kebutuhan
siswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan
pengalaman. Dengan alasan tersebut, strategi pembelajaran kooperatif diharapkan mampu
meningkatkan kualitas pembelajaran.
Mencermati banyaknya model pembelajaran kooperatif yang ada maka peneliti
melakukan kajian untuk memilih model yang tepat sesusai dengan masalah pembelajaran yang
dihadapi. Dari kajian tersebut, peneliti memilih model pembelajaran kooperatif tipe student teams
achievement division (STAD) sebagai model yang diharapkan dapat memecahkan masalah
pembelajaran yang dipaparkan di atas. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah salah
satu model yang dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John
Hopkins.
Slavin ( 1994) mengatakan bahwa dalam STAD para siswa dibagi dalam tim belajar yan
terdiri atas empat orang yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang
etniknya. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan
bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran. Selanjutnya, semua siswa mengerjakan kuis
mengenai materi secara sendiri-sendiri, dimana saat itu mereka tidak diperbolehkan untuk saling
membantu. Skor kuis para siswa dibandinkan dengan rata-rata pencapaian mereka sebelumnya,
dan kepada masin-masing tim akan diberikan poin berdasarkan tingkat kemajauan yang diraih
siswa dibandingkan hasil yang mereka raih sebelumnya. Poin ini kemudian dijumlahkan untuk
memperoleh skor tim, dan tim yang berhasil memenuhi kriteria tertentu akan mendapatdkan
sertifikat atau penghargaan lainnya.
STAD telah digunakan dalam berbagai mata pelajaran yang ada, mulai dari matematika,
bahasa, seni, sampai dengan ilmu sosial dan ilmu pengetahuan ilmiah lain, dan telah digunakan
mulai dari siswa kelas dua sampai perguruan tinggi. Gagasan utama STAD adalah untuk
memotivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam
menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru. Jika para siswa ingin agar timnya mendapatkan
penghargaan tim, mereka harus membantu teman satu timnya untuk mempelajari materinya.
Mereka harus mendukung teman satu timnya untuk bisa melakukan yang terbaik, menunjukkan
norma bahwa belajar itu penting, berharga, dan menyenangkan. Meski para siswa belajar

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


388
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

bersama, mereka tidak boleh saling membantu dalam mengerjakan kuis. Tiap siswa harus tahu
materinya.
Dalam pelaksanaan pembelajaran dalam penelitian ini akan dilakukan kolaborasi antara
model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan media gambar. Media gambar yang akan
dikembangkan dalam pembelajaran adalah media gambar yang kontekstual sehingga tidak terlalu
jauh dari jangkauan berpikir siswa. Media gambar yang disajikan adalah media gambar denah
yang ada di sekitar lingkungan sosial siswa. Briggs (dalam Sadiman, dkk, 2012: 6) media adalah
berbagai jenis fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar.Buku,
film, kaset, film bingkai adalah contoh-contohnya.
Levie & Lentz (dalam Arsyad, 2011: 16) mengemukakan empat fungsi media khususnya
media visual yaitu, fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif dan fungsi kompensatoris. Fungsi
atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik perhatian dan mengarahkan siswa untuk
berkonsentrasi pada isi pealajran yang disajikan yang berkaitan dengan makna visual yang
ditampilkan. Fungsi afektif media visual dapat dilihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika
belajar.Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan
bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami isi yang
terkandung dalam gambar. Fungsi kompensatoris media gambar dilihat dari hasil peneltian media
visual mengakomodasikan siswa yang lemah dan lambat dalam menerima atau memahami isi
pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal.
Peneliti berkeyakinan bahwa kolaborasi antara model pembelajaran kooperatif tipe
STAD dan media gambar yang kontekstual merupakan pilihan yang tepat dalam meningkatkan
hasil belajar siswa. Hasil belajar dapat ditingkatkan melalui interaksi siswa dalam diskusi
kelompok yang memberi kesempatan kepada para siswa untuk menjadi tutor sebaya dengan
mengacu pada media gambar yang kontekstual. Interaksi dalam kelompok dapat membantu
membentuk skemata atau pengetahuan dasar siswa mengenai materi yang dipelajari. Dari dasar
pemikiran yang dipaparkan di atas maka peneliti berpikir bahwa perlu dilakukan kajian secara
ilmiah dengan judul “ Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Student Teams
Achievement Division Dengan Media Gambar Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa
Indonesia Aspek Berbicara (Studi Pada Siswa Kelas IV SDNI Wutik, Kecamatan Koting,
Kabupaten Sikka)”

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian yakni
penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model Kemmis & Mc Taggart (dalam Tanireja,
2011:2012) yang urutannya terdiri atas perencanaan, pelaksananan, pengamatan, refleksi.

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


389
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Menurut Subyantoro (2009: 10) penelitian tindakan kelas adalah suatu penelitian yang
dilakukan secara sistematis refleksi terhadap tindakan yang dilakukan oleh guru yang sekaligus
sebagai peneliti sejak disusunnya suatu perencanaan sampai pada penilaian terhadap tindakan
nyata didalam kelas yang berupa kegiatan belajar mengajar untuk memperbaiki kondisi
pembelajaran yang dilakukan.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan
penelitian yang dilakukan terhadap masalah pembelajaran di kelas dengan tujuan mendapatkan
acuan dalam memperbaiki kualitas pembelajaran tersebut.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat peningkatan pada hasil belajar
siswa kelas IV SDNI Wutik pada siklus I dan II. Dari analisis data pada siklus I dapat diketahui
bahwa nilai terendah 50, nilai tertinggi 75, nilai rata-rata kelas 70 jumlah siswa yang tuntas 9
orang dengan persentase ketuntasan hasil belajar secara klasikal sebesar 56,25 %.
Tabel 1. Perolehan Hasil Belajar Siswa Siklus I
No Keterangan Perolehan
1 Nilai terendah 50
2 Nilai tertinggi 75
3 Nilai rata-rata kelas 70
4 Jumlah siswa yang belum tuntas 7
5 Jumlah siswa belum tuntas 9
6 Persentase ketuntasan belajar 56,25 %

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada
hasil belajar siswa pada siklus II. Dari analisis data pada siklus II dapat diketahui bahwa nilai
terendah 65, nilai tertinggi 85, nilai rata-rata kelas 89,5 jumlah siswa yang tuntas 16 orang,
persentase ketuntasan belajar secara klasikal sebesar 100 %.
Tabel 2. Perolehan Hasil Belajar Siswa Siklus II
No Keterangan Perolehan
1 Nilai terendah 65
2 Nilai tertinggi 85
3 Nilai rata-rata kelas 89,5
4 Jumlah siswa yang belum tuntas 0
5 Jumlah siswa belum tuntas 16
6 Persentase ketuntasan belajar 100

Berdasarkan analisis data terhadap tahap pra tindakan, siklus I dan siklus II dapat
diketahui bahwa persentase ketuntasan hasil belajar siswa secara klasikal pada kegiatan pra
tindakan yakni sebesar 25 %, siklus I 56,25 % atau meningkat 31,25 %. Hasil belajar siswa siklus
II sebesar 100 % atau meningkat 43,75

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


390
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

Tabel 3. Persentase Ketuntasan Hasil Belajar


No Nilai Kategori Jumlah siswa % Jumlah % Jumlah %
siswa pre test siswa siswa
siklus I siklus II

1 65-100 Tuntas 4 25 9 56,25 16 100


% % %
2 0-64 Tidak tuntas 12 75 % 7 43,75 0 0%
%

Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan media gambar merupakan
salah satu langkah inovatif untuk mendapatkan pemecahan terhadap masalah pembelajaran
Bahasa Indonesia aspek berbicara pada materi menjelaskan gambar atau denah dengan kalimat
yang runtut karena memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan hasil belajar siswa pada
siklus I dan siklus II seperti yang terlihat pada tabel 1, 2 dan 3 diatas.
Adapun masalah-masalah pembelajaran yang dapat dipecahkan yakni, pertama,
rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia yang berpengaruh terhadap keterampilan berbicara
dapat dipecahkan melalui diskusi kelompok yang mengacu pada penyajian media gambar yang
mudah dipahami. Dengan interaksi dalam kelompok , skemata siswa dapat meningkat sehingga
memudahkannya dalam menjelaskan denah kepada orang lain dan memberikannya kesempatan
mengembangkan kemampuan berbicara dalam kelompok. Kedua, kurang aktifnya siswa dalam
pembelajaran dapat dipecahkan dengan interaksi sosial diskusi kelompok yang menuntut
keaktifan siswa untuk menjadi tutor sebaya dalam mencapai hasil yang maksimal dalam
kelompok dan secara individu. Ketiga, Siswa yang tidak terbiasa untuk menyampaikan
pemikiran-pemikiran kreatif dapat dipecahkan dalam diskusi kelompok yang menuntut sebuah
pemikiran yang bemanfaat bagi pribadi maupun kelompok. Keempat, kegiatan pembelajaran
secara individu yang sifatnya kompetitif dapat dipecahkan dengan diskusi kelompok yang
sifatnya kolaboratif. Dalam diskusi kelompok siswa termotivasi untuk menyampaikan
pikirannya kepada orang lain dan menyimak yang disampaikan orang lain. Kelima, rendahnya
kemampuan memahami media gambar yang disajikan dapat dipecahkan dengan penyajian media
gambar yang lebih sederhana dan kontekstual sehingga memudahkan siswa dalam memahami
media gambar yanag ada. Keenam, metode pembelajaran yang sifatnya berpusat pada guru
(teacher centered) akan beralih pada pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa kolaborasi antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan media gambar pada
pembelajaran Bahasa Indonesia aspek berbicara materi menjelaskan gambar atau denah dengan

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


391
PROSIDING ISBN : 978-602-73039-3-5

kalimat yang runtut dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SDNI Wutik, Kecamatan
Koting, Kabupaten Sikka. Proses pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa diposisikan
sebagai subyek dalam pembelajaran. Siswa diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan
sendiri dalam interaksi kelompok diskusi dengan mengacu pada media gambar yang sifatnya
sederhana dan kontekstual yang memudahkan siswa memahami media yang diamati yang
berdampak pada peningkatan hasil belajar ketika diberi kesempatan untuk menjelaskan denah.
Berikut ini dikemukakan beberapa saran berkenaan dengan manfaat hasil penelitian.

1. Bagi guru
Dalam menyikapi berbagai permasalahan pembelajaran khususnya pembelajaran Bahasa
Indonesia aspek berbicara, diperlukan tindakan cerdas dan kreatif untuk dalam
melakukan perencanaan dan pelaksanaaan pembelajaran dengan menerapkan model
pembelajaran yang tepat dan media yang memudahkan siswa dalam rangka pencapaian
kompetensi berbicara yang ingin dicapai. Hasil penelitian ini menjadi acuan pelaksanaan
pembelajaran bagi guru yang mengalami permasalahan yang sama pada pembelajaran
Bahasa Indonesia aspek berbicara dengan materi mendeskripsikan gambar atau denah
dengan solusi kolaborasi antara model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan media
gambar.
2. Bagi sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi sekolah guna membuka
cakrawala berpikir dalam rangka menyelesaikan masalah kesulitan belajar siswa guna
meningkatkan kualitas pembelajaran Bahasa Indonesia aspek berbicara.
3. Bagi peneliti berikutnya
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi tambahan bagi peneliti lain dalam
melakukan penelitian khususnya yang memiliki fokus pada penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dipadukan dengan media gambar pada
pembelajaran Bahasa Indonesia aspek berbicara.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, A. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sadiman, S.A., Raharjo, R., Haryono, A., Rahardjito. 2012. Media Pendidikan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Subyantoro. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Semarang: CV. Widya Karya
Tirtarahardja, U & Sulo, S.L.L. 2005. Pengantar pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Tukiran, T. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Alfabeta

Slavin, R.E. 1994. COOPERATIVE LEARNING Teori, Riset dan Praktik. Terjemahan Narulita
Yusron. Bandung: Nusa Indah

Seminar Nasional Pendidikan Dasar PGSD Uniflor. Ende, 2 Desember 2017


392

Anda mungkin juga menyukai