Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

“”
Disusun Sebagai salah satu persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior SMF
Ilmu Anestesi di RSU Haji Medan

Disusun Oleh :
Rian Ardiva 20360155
Ririn Dwi Saputri 20360

Pembimbing :
dr. Asmin Lubis, DAF, Sp.An, KAP, KMN.

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU ANASTESI


RSU HAJI MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat yang
dilimpahkannya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper dan laporan kasus ini
dengan judul “ ”. Penyusunan tugas ini di maksudkan untuk mengembangkan wawasan
serta melengkapi tugas yang di berikan pembimbing.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. Asmin Lubis, DAF,
Sp.An, KAP, KMN selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior smf ilmu
anestesi serta dalam penyelesaian makalah ini. Dalam penulisan makalah ini, penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi penulisan
maupun materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
sifatnya membangun guna penyempurnaan di masa yang akan datang.

Medan, November 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai

tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang

mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif

pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya

dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang

harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik

pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari

operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa

anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.

Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan

pus pada daerah submandibula. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada

leher bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya, sumber infeksi pada

ruang submandibula berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring,

kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher

dalam lain.

Gejala nyeri tenggorokan dan demam yang disertai dengan terbatasnya

gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai sebagai abses leher dalam.

Anatomi dari abses leher dalam sangat komplek, sehingga sulit untuk menentukan

lokasi infeksi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Leher

Struktur superfisial leher terdiri atas otot sternocleidomastoideus dan

trapezius serta triangle. Otot sternomastoid membagi empat area dari sisi leher

menjadi segitiga anterior dan posterior. Segitiga posterior terdiri atas sternomastoid,

trapezius dan klavikula sedangkan segitiga anterior terdiri atas sternomastoid, garis

medial bagian anterior leher dan batas inferior mandibula.

Gambar 1. Segitiga leher

A menunjukkan platysma, yang merupakan bagian atap segitiga anterior

dan posterior. B menunjukkan pembagian leher oleh sternomastoid

menjadi segitiga anterior dan posterior. C dan D menunjukkan subdivisi

dari segitiga

Segitiga posterior dibagi oleh otot omohyoid inferior menjadi segitiga

oksipital superior dan segitiga supraklavikula inferior. Atap segitiga posterior

terdiri atas fasia dan otot platysma. Bagian bawah dibentuk oleh serangkaian otot

memanjang - capitis splenius, levator skapula dan scalenes tengah dan posterior -
semua ditutupi oleh fascia prevertebral. Isi terpenting dari segitiga posterior adalah

saraf aksesorius (saraf kranial XI), pleksus brakhialis, bagian ketiga dari arteri

subklavia dan kelenjar getah bening. Segitiga anterior disusun oleh sternomastoid,

garis median anterior leher dan batas inferior mandibula. Segitiga anterior dilintasi

oleh otot digastrikus dan stylohyoid dan oleh superior omohyoid. Otot-otot ini

memungkinkan pembagian lebih lanjut dari segitiga anterior, seperti segitiga

karotis. Segitiga karotis berisi sebagian dari arteri karotis eksternal dan cabang-

cabangnya. Arteri karotid umum dan internal dan vena jugularis interna cenderung

tumpang tindih dengan perbatasan anterior dari sternomastoid.

Gambar 2. Pembagian segitiga leher

Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potesial yang dibatasi oleh fasia

servikalis. Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang

membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi

beberapa ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Fasia servikalis superfisialis Terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari

perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah

ke arah toraks. dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara
fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe

superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.

2. Fasia servikalis profunda Terdiri dari tiga lapisan yaitu:

a. Lapisan superfisial Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai

dari dasar tengkorak sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior

menyebar ke daerah wajah dan melekat pada klavikula serta membungkus

musculus sternokleidomastoideus, musculus trapezius, musculus masseter,

kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal,

investing layer, lapisan pembungkus dan lapisan anterior.

b. Lapisan media Lapisan ini dibagi atas divisi muskular dan viscera. Divisi

muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan

membungkus musculus sternohioid, musculus sternotiroid, musculus tirohioid

dan musculus omohioid. Dibagian superior melekat pada os hioid dan kartilago

tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula. Divisi

viscera membungkus organ-organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan

esofagus. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada

pada bagian posterior faring dan menutupi musculus konstriktor dan musculus

buccinator.

c. Lapisan profunda Lapisan ini dibagi menjadi divisi alar dan prevertebra.

Divisi alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi

prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan

bersatu dengan divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar

melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding

anterior dari danger space. Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus
vertebra dan ke lateral meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot

didaerah tersebut. Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta

merupakan dinding posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus

vertebra.

Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis

(carotid sheath) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris

sampai ke toraks. Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang

melibatkan daerah sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.

1. Ruang yang melibatkan sepanjang leher, terdiri atas:


a. ruang retrofaring
b. ruang bahaya (danger space)
c. ruang prevertebra

2. Ruang suprahioid, terdiri atas:


a. ruang submandibula
b. ruang parafaring
c. ruang parotis
d. ruang mastikor
e. ruang peritonsil
f. ruang temporalis
3. Ruang infrahioid Terdiri atas ruang pretrakeal.
Gambar 3. Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan

sagital

Ket : SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS: parapharyngeal

space; CS: carotid space; MS: masticatory space. SMG: submandibular gland;

GGM: genioglossus muscle; MHM: mylohyoid muscle; MM: masseter muscle;

MPM: medial pterygoid muscle; LPM: lateral pterygoid muscle; TM: temporal

muscle.

2.2 Ruang Submandibula

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila.

Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot miohioid. Ruang

submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila

(lateral) oleh otot digastrikus anterior. Ruang mandibular dibatasi pada bagian

lateral oleh garis inferior dari badan mandibula, medial oleh perut anterior

musculus digastricus, posterior oleh ligament stylohyoid dan perut posterior dari

musculus digastricus, superior oleh musculus mylohyoid dan hyoglossus, dan

inferior oleh lapisan superficial dari deep servikal fascia. Ruang ini mengandung
glandula saliva sub mandibular dan sub mandibular lymphanodes. Ruang

submandibula berhubungan dengan beberapa struktur didekatnya, oleh karena itu

abses submandibula dapat menyebar ke struktur didekatnya

Gambar 4. Ruang submandibula


2.3 Abses Submandibula

A. Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe

submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.

Sebanyak 61% kasus abses submandibula disebabkan oleh infeksi gigi.Infeksi

pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari mandibula, jika

apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus mylohyoid. Infeksi dari

gigi dapat menyebar ke ruang submandibula melalui beberapa jalan yaitu secara

langsung melalui pinggir myolohioid, posterior dari ruang sublingual, periostitis

dan melalui ruang mastikor. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh

campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif

anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah Stafilokokus,

Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus Pneumonia, Moraxtella

catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering ditemukan
pada abses leher dalam adalah kelompok batang gram negatif, seperti

Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium.

B. Patofisologi

Abses leher dalam dapat terjadi karena berbagai macam penyebab melalui

beberapa proses, antara lain:

1. Penyebaran abses leher dalam dapat timbul dari rongga mulut, wajah atau

infeksi leher superficial ke ruang leher dalam melalui system limfatik.

2. Limfadenopati dapat menyebabkan terjadi supurasi dan akhirnya menjadi

abses fokal.

3. Infeksi yang menyebar ke ruang leher dalam melalui celah antar ruang leher

dalam.

4. Infeksi langsung yang terjadi karena trauma tembus.

Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan

lokasi anatomi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran

infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Karena

kontinuitas dasar mulut dan regio submandibularis yaitu daerah sekeliling batas

posterior muskulus mielohioideus dan dalamnya akar-akar gigi molar dibawah

mielohioideus, maka infeksi supurativa pada mulut dan gigi geligi dapat timbul

di trigonum submandibularis. Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang

mastikor kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat

langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah

potensial lainnya.
C. Diagnosis

Diagnosis abses submandibula ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Pasien biasanya akan mengeluhkan demam, air liur yang banyak, trismus

(akibat keterlibatan musculus pterygoid), disfagia dan sesak nafas (akibat

sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke

belakang).

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan didapatkan adanya pembengkakan di daerah

submandibula, fluktuatif dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material

yang bernanah atau purulent. Angulus mandibula dapat diraba. Lidah

terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis.

Aspirasi material yang purulen dibiakkan guna uji resistensi antibiotik.

b. Radiologis - Rontgen jaringan lunak kepala AP - Rontgen panoramik

Dilakukan apabila penyebab abses submandibula berasal dari gigi. - Rontgen

thoraks Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,

pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat aspirasi abses.

c. Tomografi Komputer (CT-scan) CT-scan dengan kontras merupakan

pemeriksaan gold standar pada abses leher dalam. Gambaran abses yang
D. Diagnosis Banding

Diagnosis banding penyakit abses submandibula, antara lain :

1. Parotitis Parotitis merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus mumps,

bersifat self limitting disease. Gejala klinis meliputi pembengkakan dan rasa

nyeri pada kelenjar saliva terutama kelenjar parotid disertai adanya demam, sakit

kepala, malaise dan anoreksia. Pada abses submandibula ini tidak didapatkan

pembengkakan pada kelenjar parotis dan tidak didapatkan riwayat kontak

dengan pasien parotitis sebelumnya.

2. Angina Ludwig Angina ludwig atau angina ludovici merupakan infeksi ruang

submandibula berupa selulitis dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh

ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras pada pembesaran

submandibula. Sumber infeksi berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman

aerob dan anaerob. Gejala klinis berupa nyeri tenggorokan dan leher disertai

pembengkakan di daerah submandibula yang hiperemis dan keras pada

perabaan, dasar mulut yang membengkak dapat mendorong lidah ke atas

belakang sehingga menimbulkan sesak napas. Pada abses submandibula tidak

teraba fluktuasi dan tidak mendorong lidah ke belakang.

3. Abses parafaring Diagnosis abses parafaring ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis berupa

demam, nyeri pembengkakan disekitar angulus mandibula, pembengkakan

dinding lateral faring hingga menonjol kearah medial. Pemeriksaan penunjang

berupa foto polos jaringan lunak leher dan tomografi komputer. Pada

pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat diperoleh

gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan didalam jaringan lunak
dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher. Keterbatasan pemerikasaan foto

polos leher adalah tidak dapat membedakan antara selulitis dan pembentukan

abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya

edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar

getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan

lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah,

peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak

disekitar abses.

4. Abses retrofaring Gambaran klinis berupa gejala infeksi umum seperti

demam, lekositosis, nyeri tenggorok dan nyeri menelan, nyeri dan bengkak pada

leher di belakang angulus mandibula, trismus dan pembengkakan dinding lateral

faring sehingga terdorong atau menonjol ke arah medial. Mungkin terdapat juga

edema pada uvula, pilar tonsil dan palatum. Pada foto leher jaringan lunak,

terlihat penebalan jaringan lunak parafaring. Mungkin terlihat pendorongan

trakhea ke samping depan. Dengan tomografi komputer abses dan penjalarannya

dapat terlihat jelas.

5. Abses peritonsil

Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri menelan)

yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia),

muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi),

suara sengau (rinolalia), kadangkadang sukar membuka mulut (trismus), serta

pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Bila ada nyeri di

leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck

mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk


(cervical muscle inflammation). Dari CT scan biasanya tampak kumpulan cairan

hypodense di apex tonsil yang terinfeksi dengan “peripheral rim enhancement”.

E. Penatalaksanaan

Terapi yang diberikan pada abses submandibula adalah:

1. Antibiotik (parenteral)

Antibiotik kombinasi adalah pilihan terbaik karena mikroorganisme

penyebabnya adalah campuran. Secara empiris kombinasi ceftriaxone

dengan metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur

pus telah didapat, pemberian antibiotik dapat disesuaikan. Berdasarkan uji

kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas >70% terhadap

terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone.

Metronidazole dan klindamisin angka sensitifitasnya masih tinggi terutama

untuk bakteri anaerob gram negatif. Antibiotik biasanya dilakukan selama

lebih kurang 10 hari.

2. Evakuasi abses

Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang

dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses

dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau

setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses. Bila abses belum

terbentuk, dilakukan penatalaksaan secara konservatif dengan antibiotik IV,

setelah abses terbentuk (biasanya dalam 48-72 jam), maka evakuasi abses

dapat dilakukan.
F. Prognosis

Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat

didiagnosis secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak

terjadi. Pada fase awal dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan

pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan yang

sempurna. Apabila telah terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40-

50% walaupun dengan pemberian antibiotic.


BAB III
LAPORAN KASUS

PRE-OPERATIF

1. Identitas Pasien

a. Nama :
b. Jenis Kelamin :
c. Tempat Tanggal Lahir:
d. Usia :
e. Agama :
f. Pekerjaan :
g. Tanggal Masuk RS :

2. Anamnesa
a. Keluhan Utama :
b. Telaah:
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
-Tidak ada
d. Riwayat Penyakit Keluarga:
- Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien
e. Riwayat Alergi :
- Tidak ada
f. Riwayat Pengobatan:
- Tidak ada
- Alkohol (-)
- Obat-obatan (-)
3. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
a. Hb : (13,2 – 17,3 g/dl)
b. HT : (40 - 52 %)
c. Eritrosit : (4,4 - 5.9 x 106/µL)
d. Leukosit : (4000 - 11.000 / µL)
e. Trombosit : (150.000 - 440.000 / µL)

Hitung Jenis
a. Eosinofil : (1-3 %)
b. Basofil : (0-1 %)
c. N. Seg : (53-75 %)
d. Limfosit : (20-45 %)
e. Monosit : (4-8 %)

Metabolik
f. KGDS : (<200)

Fungsi Hati
g. Bilirubin total :
h. Bilirubin direk :
i. SGOT :
j. SGPT :

Fungsi Ginjal
a. Ureum : (10 - 50 g/dl)

HIV
a. HIV R1 : Non Reactive

Pemeriksaan COVID
b. IgG Covid -19 : Non Reactive
c. IgM Covid -19 : Non Reactive
Hasil Radiologi
Jantung :
Paru :
Kesan. :
DURANTE OPERASI
1. Status Anastesi
 PS-ASA :
 Hari/tanggal :
 Ahli Anastesiologi :
 Ahli Bedah :
 Diagnosa Pra Bedah :
 Diagnosa Pasca Bedah :
 Keadaan Pra Bedah
KU :
BB :
TTV :
T:
 B1 (Breath)
Airway : Clear
RR :
SP : Vesikuler
ST :-
 B2 (Blood)
Akral : Hangat
CRT : < 2 detik
TD :
HR :
Hb : (13,2 – 17,3g/dl)
Ht : (40 – 52 %)
Leukosit : (4000 - 11.000 / µL)
Trombosit : (150.000 - 440.000 / µL)
EKG : (Sinus rhytme)
 B3 (Brain)
Sensorium : Compos Mentis / E4V5M6
Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
RC : (+)/(+)
 B4 (Bladder)
Kateter :
Urine Output :
Warna :
Ureum : (10 - 50 g/dl)
 B5 (Bowel)
Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : normal
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+)
Mual/Muntah :
 B6 (Bone)
Oedem : (-)
Fraktur : (-)
Motorik : Normal
 Jenis Pembedahan :
 Jenis Anastesi :
 Lama Operasi :
 Lama Anastesi :
 Anastesi Dengan :
 Teknik Anastesi :
 Teknik Khusus :-
 Pernafasan : Spontan
 Posisi : Supine
 Infus : IVFD RL terpasang ditangan
 Penyulit Anestesi :-
 Akhir Pembedahan : TD: N: x/menit, RR: x/menit
 Terapi Khusus Pasca Bedah :-
 Penyulit Pasca Bedah :-
 Hipersensitivitas :-
 Premedikasi :
-
 Medikasi
-
 Diagram Observasi

 Jumlah Cairan
Transfusi Cairan :
Produksi Urin :
Volume urin :
 Perdarahan
Suction :

POST OPERASI
Perawatan Post Operasi
a. Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room dan lakukan
monitoring airway dan tanda-tanda vital selama 2 jam
b. Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
c. IVFD RL 40 gtt/menit
Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score >8

 Pergerakan :2
 Pernapasan :2
 Warna kulit :2
 Tekanan darah :2
 Kesadaran :2
d. Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah dipastikan
pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta vital sign stabil,
pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk bedrest 24 jam, makan dan
minum sedikit demi sedikit apabila pasien sudah sadar penuh dan peristaltik
normal.
TERAPI POST OPERASI
a. Minum sedikit-sedikit bila tidak ada mual dan muntah
b. IVFD RL 40 gtt/menit
c. Inj. bila kesakitan
d. Obat-obat lain :
e. Monitor TTV / 15 menit selama 2 jam
f. Bed rest 24 jam

FOLLOW UP

November 2021 S: Instruksi:


O: Monitor TTV
TD: IVFD RL
N:
RR: x/menit Planning:
T: 37,10C
A:
P: Kolaborasi dengan dokter
November 2021 S: Instruksi:
O: Bed Rest 24 jam
TD: mmHG IVFD RL
N: x/menit Inj.
RR: x/menit Inj.
S: 0C Planning:
Platus (+)
A: BPH post TUR-P
P:
Memantau KU pasien
Monitoring TTV
November 2021 S: Instruksi:
O:
Skala nyeri:
TD: mmHG
N: x/menit
RR: x/menit
S: 0C
A:
P:
Memantau KU pasien
Monitoring TTV
BAB IV

Anda mungkin juga menyukai