Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

DISINTEGRASI SOSIAL DALAM PERANG SAMPIT

Disusun oleh:
1. Raihan Nasywa Dhiyaul Haq 2010201135
2. Rahma Dewi Yuliani 2010201136
3. Ardinal Frandi Kesumo 2010201145
4. Muhammad Alfito Adiyana 2010201147
5. Nur Azizah Dwijo Susanto 2010201048
6. Putri Hudaya 2010301158
7. Sulbi Yafirrul Huda 2010201066

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA
UNIVERSITAS TIDAR
2020
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2
1.3 Tujuan............................................................................................................................... 2
BAB II LANDASAN TEORI ......................................................................................................... 3
2.1 Disintegrasi Sosial ............................................................................................................ 3
2.2 Pergolakan Daerah ........................................................................................................... 4
BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................................... 5
3.1 Penyebab Konflik ............................................................................................................. 5
3.2 Sikap Masyarakat Sampit Terhadap Masyarakat Madura................................................ 8
3.3 Efek Konflik ..................................................................................................................... 8
3.4 Penyelesaian Konflik........................................................................................................ 9
BAB IV PENUTUP ...................................................................................................................... 10
4.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 10
4.2 Saran ............................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 11

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesimpang-siuran penyebab perang sampit pada 2001. Beberapa mengatakan bahwa
peristiwa ini pertama kali dipicu oleh masyarakat Madura. Namun, ada pula yang
menyebutkan bahwa masyarakat Dayak adalah yang terlebih dahulu memulai konflik. Akan
tetapi tidak bisa dipungkiri dan yang menjadi kenyataan adalah peristiwa ini merupakan
konflik antar etnis dan sangat disayangkan karena konflik ini memakan korban jiwa dan harta
yang tidak sedikit. Ada yang menyebutkan bahwa awal mula peristiwa ini didasari oleh
ketidaksepahaman yang dirasakan oleh kedua etnis tersebut terhadap usulan pemerintah
berupa program transmigrasi. Hal ini juga semakin dipicu oleh sistem ekonomi yang mulai
dikuasai oleh orang-orang Madura yang merupakan pendatang di wilayah Sampit. Selain itu,
ada pula yang mengatakan bahwa orang-orang Madura telah membawa dan menimbulkan
dampak buruk bagi warga wilayah asli Sampit. Lambatnya penanganan pihak berwenang
terhadap kasus Sandong yang membuat orang-orang Dayak merasa tidak mendapat keadilan.
Kasus ini kemudian mengundang kasus lain berdatangan, seperti orang-orang Dayak yang
berada di Sampit menyerang salah satu warga Madura bernama Matayo. Kejadian
penyerangan ini adalah bentuk balas dendam atas kasus sebelumnya. Yaitu penyerangan di
daerah Kereng Pangi dan menewaskan seluruh anggota keluarga yang berjumlah empat
orang. Atas serangan ini maka aksi saling balas dendam semakin menjadi, di mana orang-
orang Madura mendatangi rumah Timil yang merupakan salah satu orang Dayak yang diduga
telah menyembunyikan salah satu pelaku penyerangan terhadap rumah orang Madura. Meski
Timil telah diamankan pihak berwenang pada saat itu, akan tetapi orang-orang Madura
merasa tidak puas dengan aksi ang dilakukan pihak berwenang tersebut dan segera juga
melakukan penyerangan kembali terhadap rumah keluarga dari Timil. Kejadian penyerangan
ini tentu saja juga memakan korban jiwa. Tidak sedikit kerugian yang telah dialami, dan juga
kengerian yang dirasakan berhasil menyimpan memori yang kelam. Korban pembantaian
tidak mengenal usia, anak-anak hingga dewasa, laki-laki, serta wanita tidak luput dari
amukan ego dan kebencian. Peristiwa ini merupakan salah satu tragedi yang paling besar
memakan korban yang pernah terjadi di Kalimantan. Dengan melihat kekacauan atas

1
2

kejadian ini dan banyaknya korban yang berjatuhan, tidak serta merta membuat aparat yang
berwenang untuk segera turun tangan mengatasi. Butuh waktu lama dan para aparat hanya
berhasil meredam tragedi ini dengan hasil yang minim. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya
korban, hingga ratusan yang meregang nyawa.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah penyebab dari konflik tersebut?
2. Bagaimana sikap dari masyarakat sampit terhadap Madura?
3. Apa saja efek dari terjadinya konflik ini?
4. Bagaimanakah penyelesaian konflik tersebut?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penyebab dari konflik sampit dan Madura.
2. Untuk mengetahui apa saja efek yang terjadi setelah terjadinya konflik ini.
3. Untuk mengetahui bagaimana cara konflik ini bisa terselesaikan.
4. Untuk mengetahui bagaimana sikap dari antar-etnis tersebut.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Disintegrasi Sosial


Menurut Soerjono Soekanto (1982), suatu proses dimana norma-norma dan nilai-nilai
kemasyarakatan memudar akibat terjadinya perubahan-perubahan pada lembaga masyarakat
disebut dengan disintegrasi (dalam Sriyana. 2020). Dengan kata lain saat lembaga masyarakat
mengalami perubahan, maka perubahan tersebut berdampak pada norma dan nilai
kemasyarakatan yang ada. Apabila perubahan tersebut berdampak negatif yang menyebabkan
tergesernya norma dan nilai kemasyarakatan, maka dapat timbul perpecahan atau disintegrasi.

Perpecahan itu sendiri terjadi saat ikatan kolektif yang mempersatukan anggota kelompok
telah hilang. Berdasarkan hal tersebut, disintegrasi sosial dapat dikatakan sebagai terpecahnya
suatu kelompok sosial menjadi beberapa unit sosial yang terpisah. Gejala awal disintegrasi dalam
masyarakat, yaitu:
a. Tujuan yang menjadi pegangan dalam suatu kelompok tidak berdasarkan
keputusan bersama;
b. Tidak membantunya norma sosial dalam mencapai tujuan yang disepakati;
c. Adanya anggapan bahwa norma sosial sudah tidak sesuai;
d. Melemahnya sanksi; dan
e. Masyarakat melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
norma (dalam Suryana. 2020).

Disintegrasi yang timbul akibat adanya anomie yakni suatu kondisi tanpa adanya norma,
dapat menyebabkan terjadinya masalah sosial seperti kriminalitas. Bentuk kriminalitas tersebut
dapat berupa perampokan, pencurian, penjarahan, pembunuhan, penganiayaan, dan tindak
kejahatan lain yang merugikan. Tanpa adanya norma, maka tindak kejahatan yang dilatar
belakangi beragam faktor dapat dengan mudah terjadi dalam masyarakat. Faktor yang biasanya
melatar belakangi suatu kriminalitas, antara lain krisis ekonomi dan dendam (dalam Suryana.
2020).

3
4

2.2 Pergolakan Daerah


Selain anomie, ada pula disintegrasi yang timbul akibat perubahan sosial. Salah satu
bentuk disintegrasi akibat adanya perubahan sosial, yakni pergolakan daerah. Disintegrasi yang
mempermasalahkan isu lokal/daerah ini biasanya berupa tuntutan suatu kelompok terhadap
kelompok lain, maupun suatu kelompok kepada penguasa. Pergolakan ini umumnya dilatar
belakangi oleh sikap primordialisme yang lebih kuat daripada sikap nasionalisme. Perbedaan
pertumbuhan yang tajam antara pusat dan daerah akibat sentralisasi kehidupan ekonomi dan
politik pun turut serta dalam melatar belakangi pergolakan daerah (dalam Suryana. 2020).

Faktor penyebab terjadinya pergolakan daerah atau konflik antar kelompok:


a. Tidak memperhatikan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat
dalam melakukan program pembangunan;
b. Lembaga masyarakat kurang berfungsi;
c. Situasi politik dan keamanan nasional yang kurang stabil;
d. Tidak berjalannya sarana komunikasi dan interaksi sosial antar daerah
dengan baik;
e. Sosial ekonomi dalam masyarakat mengalami kesenjangan; dan
f. Sikap primordial yang berlebihan (dalam Suryana. 2020).

Oleh karena pergolakan daerah atau konflik antar kelompok dapat menimbulkan
permasalahan sosial, maka diperlukan cara untuk meminimalisir terjadinya konflik tersebut. Cara
yang dapat dilakukan yakni dengan menyusun rencana pembangunan yang mengarah pada
peningkatan kualitas hidup masyarakat. Rencana pembangunan tersebut juga harus
meminimalkan terjadinya konflik. Selain itu, diperlukan pula kontrol sosial dengan
memfungsikan secara optimal lembaga sosial kemasyarakatan (dalam Suryana. 2020).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Penyebab Konflik


Konflik Sampit atau Perang Sampit merupakan konflik horizontal yang terjadi antara
etnis Dayak dan etnis Madura pada tahun 2001. Kejadian ini memberikan dampak negatif bagi
kedua etnis tersebut. Hubungan kedua suku yang pada awalnya baik menjadi tidak baik.
Misalnya, setiap ada orang Madura yang masuk ke dalam pemukiman orang Dayak
untukberdagang, maka akan dicurigai oleh orang Dayak. Perang sampit ini juga disebut peristiwa
yang tragis karena korban dari peristiwa ini mencapau angka 500 kematian dan 100.000 warga
Madura kehilangan tempat tinggalnya.

Menurut Riwanto (dalam, Sudagung, 2001), mengutip laporan Human Right Watch, 1997
dalam laporan tentang Comunal Conflict di Kalimantan Barat, memberikan tiga argumentasi
yang menjelaskan latar belakang terjadinnya konflik etnis di Kalimantan. Pertama, argumentasi
budaya, yang menganggap bahwa perbedaan budaya antara kedua kelompok etnik, seperti
penyelesaian persengketaan dengan cara kekerasan dan pertingkaian darah dianggap sebagai
alasan seringnya terjadi konflik antara kedua etnik, terutama Dayak dan Madura. Kedua,
argumentasi marginalisasi mengungkapkan bahwa proses marginalisasi yang dialami penduduk
lokal (Dayak) akibat berbagai kebijakan pemerintah yang sangat merugikan penduduk asli
sebagai akar resistensi perlawanan dari penduduk setempat terhadap segala sesuatu yang berasal
dari luar (termasuk pendatang etnis Madura). Ketiga, argumentasi manipulasi politik, yaitu suatu
penilaian yang beranggapan bahwa faktor budaya dan sosial-ekonomi meskipun diakui berperan,
tidak cukup kuat untuk mendorong terjadinya konflik etnik berskala besar seperti yang terjadi di
Kota Sampit, Kalimantan Tengah, apabila tidak ada pihak ketiga yang berusaha memanipulasi
keadaan. (Shohibul. 2002)
Konflik yang terjadi antar suku Dayak dan Madura juga bukan hanya terjadi di tahun
2001. Setidaknya telah tercatat 16 kerusuhan diantara kedua suku ini. Beberapa catatan terkait
kerusuhan yang pernah terjadi, antara lain:
1. Tahun 1972 di Palangkaraya, seorang gadis Dayak diperkosa. Setelahkejadian itu
diadakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat.
2. Tahun 1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak,
pelakunya tidak tertangkap, pengusutan atau penyelesaian secara hukum tidak ada.

5
6

3. Tahun 1983, di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan etnis
Dayak dibunuh. Perkelahian antara satu orang Dayak yang dikeroyok oleh tiga puluh
orang madura. Setelah pembunuhan warga Kasongan bernama Pulai yang beragama
Kaharingan tersebut, tokoh suku Dayak dan Madura mengadakan perdamaian yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak. Isinya antara lain menyatakan apabila orang
Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalteng.
4. Tahun 1996, di Palangkaraya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop
Panala dan di bunuh dengan kejam dan sadis oleh orang Madura, ternyata
hukumannya sangat ringan
5. Tahun 1997, di Desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh
orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, pada akhirnya semua orang
Madura yang megeroyok tewas. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan
diri menggunakan ilmu bela diri, dimana semua penyerang berhasil dikalahkan.
Tindakan hukum terhadap orang Dayak adalah dihukum berat.
6. Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak
laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang penjual sate dari suku Madura. Si
belia Dayak tewas secara mengenaskan, terdapat lebih dari 30 tusukan di tubuhnya.
Waldi bisa dikatakan korban salah sasaran. Sebelumnya tukang sate tersebut bertikai
dengan sejumlah anak muda Dayak. Saat mereka kabur, datanglah Waldi dan menjadi
sasaran tukang sate
7. Tahun 1998, di Palangkaraya, orang Dayak dikeroyok oleh empat orang Madura
hingga tewas, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri, kasus inipun
tidak ada penyelesaian secara hukum
8. Tahun 1999, di Palangkaraya, seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok
oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangkaraya, namun esok harinya
datang sekelompok suku Madura menuntut agar temannya tersebut dibebaskan tanpa
tuntutan. Ternyata pihak Polresta Palangkaraya membebaskannya tanpa tuntutan
hukum.
9. Tahun 1999, di Palangkaraya, kembali terjadi seorang Dayak dikeroyok oleh
beberapa orang suku Madura karena masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak dalam
perkelahian tidak seimbang itu tewas. Sedangkan pembunuhnya lolos, malahan orang
7

Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah
terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri itu.
10. Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin
Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura. Penyebabnya adalah suku
Madura memaksa mengambil emas pada saat suku Dayak menambang emas.
Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua belah pihak, tanpa
penyelesaian hukum.
11. Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama
Iba oleh tiga orang Madura. Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris
Sylvanus, Palangkaraya. Biaya operasi dan perawatan ditanggung oleh Pemda
Kalteng. Namun para pembacok tidak ditangkap.
Kronologis kejadian tiga orang Madura memasuki rumah keluarga Iba dengan dalih
minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu Iba
menuangkan air di gelas, mereka membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga di
tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi
salah alamat
12. Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, satu keluarga Dayak tewas dibantai
oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa penyelesaian hukum.
13. Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 satu orang suku Dayak di bunuh oleh pengeroyok
suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa
proses hukum.
14. Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi
pembunuhan terhadap Sendung (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku
Madura, para pelaku kabur, tidak tertangkap, karena lagi-lagi katanya sudah lari ke
Pulau Madura. Proses hukum tidak ada karena pihak berwenang tampaknya belum
mampu menyelesaikannya (tidak tuntas).
15. Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh
karena dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.
16. Tahun 2001, di Palangka Raya (11 Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh
diserang oleh suku Madura. Belum terhitung kasus warga Madura di bagian
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup
8

berdampingan dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali


dengan Suku Madura. Kelanjutan peristiwa kerusuhan tersebut (25 Februari 2001)
adalah terjadinya peristiwa Sampit yang mencekam.

3.2 Sikap Masyarakat Sampit Terhadap Masyarakat Madura


Sikap masyarakat etnis Dayak terhadap masyarakat etnis Madura dapat menghasilkan
sikap positif, tetapi juga dapat menghasilkan sikap negatif. Sikap yang muncul itu akan berbeda-
beda yaitu dilihat dari pengaruh ataupun faktor penyebab kemunculannya. Sikap positif yang
muncul pada masyarakat etnis Dayak adalah ketika masyarakat etnis Dayak memiliki keinginan
untuk menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat etnis Madura dan bersedia untuk
menerima budaya masyarakat etnis Madura di Kota Sampit tanpa adanya perasaan terpaksa dan
dengan perasaan yang tulus untuk menerima masyarakat etnis Madura agar tercipta kembali
kedamaian antara masyarakat etnis Dayak dan masyarakat etnis Madura. Sikap negatif yang
muncul pada masyarakat etnis Dayak adalah ketika mereka tidak memiliki keinginan dan begitu
sangat sulit untuk menerima budaya yang ada pada masyarakat etnis Madura di Kota Sampit dan
menolak untuk berhubungan baik atau berteman baik dengan masyarakat etnis Madura baik yang
ada di Kota Sampit ataupun diluar Kota Sampit sehingga perasaan untuk saling membenci antara
kedua etnis tidak pernah selesai.

3.3 Efek Konflik


Dampak atau efek antara kedua suku yang bertikai tentu membuat hubungan yang pada
awalnya baik-baik saja akan menjadi tidak baik, hal tersebut dirasakan sampai sekarang, dengan
contoh bahwa setiap ada orang Madura masuk ke pemukiman orang Dayak untuk berdagang
maka setiap warga akan sangat curiga dengan gerak-gerik dan perilakunya, itupun jika ada yang
berani masuk, pada umumnya orang-orang Madura tidak ada yang berani lagi menginjakkan kaki
di permukiman orang Dayak, itu dikarenakan adanya trauma yang dalam akibat konflik yang
terjadi pada tahun 1996-1997. Setiap perbuatan pasti mendapatkan akibat, perbuatan baik dan
buruk pasti ada balasannya pula. Begitu pula dengan konflik di Kalimantan Barat antara etnis
Dayak dengan Etnis Madura, konflik antar etnis tersebut sangatlah disayangkan oleh semua
pihak terkait masih satu negara yaitu Indonesia dan masih satu tujuan yaitu Pancasila, tapi
apakan daya seperti kata pepatah «nasi sudah menjadi bubur» banyak jalan yang telah ditempuh
9

guna meredam terjadinya konflik tapi tetap saja terjadi. Mendengar kata konflik tentulah muncul
pikiran negatif disetiap benak seseorang bahwa hal tersebut pasti menimbulkan efek tidak baik
bagi siapapun yang mengalami konflik tersebut, karena melihat pengalaman yang sudah-sudah
pasti terjadi dampak buruk bagi siapapun yang merasakan konflik.

3.4 Penyelesaian Konflik


Dampak atau efek antara kedua suku yang bertikai tentu membuat hubungan yang pada
awalnya baik-baik saja akan menjadi tidak baik, hal tersebut dirasakan sampai sekarang, dengan
contoh bahwa setiap ada orang Madura masuk ke pemukiman orang Dayak untuk berdagang
maka setiap warga akan sangat curiga dengan gerak-gerik dan perilakunya, itupun jika ada yang
berani masuk, pada umumnya orang-orang Madura tidak ada yang berani lagi menginjakkan kaki
di permukiman orang Dayak, itu dikarenakan adanya trauma yang dalam akibat konflik yang
terjadi pada tahun 1996-1997. Setiap perbuatan pasti mendapatkan akibat, perbuatan baik dan
buruk pasti ada balasannya pula. Begitu pula dengan konflik di Kalimantan Barat antara etnis
Dayak dengan Etnis Madura, konflik antar etnis tersebut sangatlah disayangkan oleh semua
pihak terkait masih satu negara yaitu Indonesia dan masih satu tujuan yaitu Pancasila, tapi
apakan daya seperti kata pepatah «nasi sudah menjadi bubur» banyak jalan yang telah ditempuh
guna meredam terjadinya konflik tapi tetap saja terjadi. Mendengar kata konflik tentulah muncul
pikiran negatif disetiap benak seseorang bahwa hal tersebut pasti menimbulkan efek tidak baik
bagi siapapun yang mengalami konflik tersebut, karena melihat pengalaman yang sudah-sudah
pasti terjadi dampak buruk bagi siapapun yang merasakan konflik.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Konflik yang terjadi di Sampit disebabkan oleh pergolakan antar etnis masyarakat
Madura sebagai etnis pendatang dengan masyarakat Sampit, Kalimantan Tengah. Adanya
masalah ekonomi, perebutan kekuasaan hingga kurangnya sifat keterbukaan dalam menerima
budaya menjadi sumber konflik yang terjadi antar etnis. Hal tersebut memicu kerusuhan dan
ketegangan antara etnis Madura dan Dayak sehingga menimbulkan kasus-kasus yang tidak
diinginkan. Kasus yang terjadi seperti kasus kerusuhan, pembunuhan, perampokan hingga saling
balas dendam sebagai akibat konflik tidak harmonisnya hubungan antara masyarakat Madura
dengan Masyarakat Dayak Sampit. Hal ini terus menimbulkan kesenjangan dan ketidak
nyamanan antar etnis sehingga sulit untuk membangun hubungan yang baik.

4.2 Saran
Untuk menyelesaikan masalah antar etnis Madura dengan etnis Dayak maka dibutuhkan
turut serta pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas konflik yang terjadi. Mulai
dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah hingga para ketua adat yang berhubungan sehingga
dapat dilakukan pendekatan dan menemukan solusi permasalahan. Sikap saling percaya dan
keterbukaan dalam menerima sesama etnis perlu ditingkatkan sehingga hubungan dapat berjalan
dengan baik, harmonis dan tidak terjadi kasus pergolakan antar etnis lainnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Hidayah, Shohibul. Konflik Komunal dan Resolusi Damai Studi Kasus di Kalimantan Tengah.
PSIKOLOGI Nomor 13 Tahun 2002
http://eprints.uny.ac.id/19304/12/BAB%20IV.pdf
https://repository.maranatha.edu/12791/3/0830172_Chapter1.pdf
Pratama, Andrian. 2018. Makalah Konflik Sampit Antara Suku Dayak dan Suku Madura.
Jakarta.
Sriyana. 2020. Perubahan Sosial Budaya. Malang: CV. Literasi Nusantara Abadi.

11

Anda mungkin juga menyukai