Anda di halaman 1dari 11

Bebek Buruk Rupa

Suatu hari, terlihat seekor ibu itik sedang mengerami telur-telurnya. Satu persatu telur
tersebut menetas. Namun, betapa terkejutnya ibu itik saat melihat salah satu anaknya berbeda.
Anak itik tersebut memiliki warna abu-abu dan berbadan besar, berbeda dengan anaknya yang
lain. Ibu itik tidak peduli dan tetap menyambut anak-anaknya yang telah lahir ke dunia. Ketika
mereka berenang, hewan lain mulai berbisik-bisik.
“Siapa itu? Dia sangat jelek, berbeda dengan saudaranya yang lain”.
Semua hewan, bahkan saudaranya sendiri mengejek si itik buruk rupa. Si itik merasa
sedih dan memutuskan untuk pergi seorang diri. Ia pun berjalan kesana kemari dan bertemu
seekor anjing. Namun, anjing tersebut malah menjauhinya.
Ia pun melanjutkan perjalanan. Saat dalam perjalanan, ia kelelahan dan tertidur di depan
sebuah rumah. Datanglah seekor kucing dan ayam, lantas mereka mengusir si itik buruk rupa.
Dengan perasaan yang sedih ia melanjutkan perjalanannya. Saat sedang beristirahat di pinggir
sungai, si itik melihat serombongan angsa yang sangat cantik. Ia merasa iri melihat kecantikan
para angsa tersebut.
“Kenapa kamu bersedih?” sapa salah satu angsa.
“Aku sedih karena jelek dan tidak bisa seperti kalian” jawab si itik dengan sedih.
Rombongan angsa hanya tertawa.
“Siapa yang bilang kamu jelek? Kamu sangat cantik seperti kami” jawab angsa tersebut.
Rombongan angsa mengajak si itik buruk rupa untuk mendekati tepi sungai. Betapa
terkejutnya si itik saat melihat pantulannya di sungai. Ia tidak melihat sosoknya yang buruk rupa,
namun sesosok angsa putih yang sangat cantik.
Kini ia bukan itik buruk rupa lagi. Si itik pun ikut terbang bersama angsa lainnya dan
mencari tempat untuk mereka tinggali.
Srigala Berbulu Domba

Di suatu hari, terdengar suara aungan serigala di dalam hutan.


“Aauuuu! Auuuu!”
Rupanya serigala amat kelaparan, karena tidak ada seorang pun yang mau memberi
makan untuknya. Serigala menjadi sangat marah kepada seluruh penduduk di desa dan kepada
binatang-binatang lainnya.
Suatu hari, serigala menyusuri desa terpencil. Dia melihat ke kanan dan ke kiri, berharap ada
binatang yang bisa dimakan. Tak lama kemudian, serigala melihat banyak domba sedang
beristirahat di kandang. Dia pun mendekati kandang domba itu.
“Mbeek… Mbeek… Mbeek… ” teriak semua domba di dalam kandang.
Si Gembala segera menghampiri domba-dombanya itu. Melihat kedatangan Gembala,
serigala bergegas meninggalkan kandang domba tersebut. Serigala merasa kesal karena tidak
bisa memangsa domba-domba itu.
Keesokan harinya, saat serigala berjalan menyusuri desa, dia menemukan kulit domba yang
tergeletak di tepi jalan. Serigala pun mendapat ide. Ia segera mengambil kulit domba itu dan
memakainya. Ya! Ia akan menyamar menjadi domba.
“Kali ini, aku bisa menyusup masuk ke kandang domba itu dan menyantap mereka satu
per satu,” ujarnya di dalam hati.
Serigala bergegas kembali ke kandang domba. Pada hari pertama, dia memakan domba-
domba kecil milik si Gembala dengan mudah. Si Gembala belum menyadari bahwa ada serigala
berkulit domba yang masuk ke kandangnya.
Suatu ketika, si Gembala menghitung domba-dombanya. Dia terkejut saat mengetahui
dombanya telah berkurang.
“Wah, ke mana perginya domba-dombaku ini? Padahal aku selalu mengawasi domba-
domba ini setiap hari,” ucapnya di dalam hati.
Keesokan maIamnya, si Gembala sengaja bersembunyi di balik semak-semak. Tiba-tiba,
serigala berkulit domba datang dan langsung menyantap domba-domba kecil lagi.
Betapa marahnya si Gembala ketika menyaksikan kejadian tersebut. Ternyata selama ini yang
memakan domba miliknya adalah seekor serigala yang memakai kulit domba. Si Gembala pun
segera menangkap serigala dan menghukumnya.
Singa dan Tikus
Suatu hari Sang Raja Hutan Singa sedang tidur di hutan. Sang Raja Hutan Singa memiliki
postur besar dan kuat. Semua hewan yang ada di hutan pun takut pada singa, kecuali seekor
tikus. Suatu ketika Si Tikus sedang bermain di dekat singa. Dia berlari ke sana ke mari sehingga
membuat Sang Raja Hutan Singa bangun. dan marah. Sang Raja Hutan Singa mengangkat tikus
ke mulutnya dan berkata,
“Aku akan memakanmu!”
Si Tikus itu berkata ” Tolong Tuan Singa, biarkan aku pergi. Aku temanmu. Suatu hari,
aku akan membantumu. “
Sang Raja Hutan Singa itu tertawa, “Kamu? Kamu sangat kecil. Bagaimana kamu bisa
membantuku?”
Kemudian Sang Raja Hutan Singa melepaskan tikus itu dan tak jadi memakannya satu
bulan kemudian, singa itu sedang berjalan di hutan. Kemudian Sang Raja Hutan Singa
terperangkap Jaring. Sang Raja Hutan Singa masuk dalam perangkap. Dia meraung-raung
dengan keras tapi tidak ada yang datang membantu. Sang Raja Hutan Singa itu ketakutan.
Sang Raja Hutan Singa malam masih terperangkap di jaring. Kakinya kesakitan. Kepalanya juga
kesakitan. Dia sangat lelah.
Tiba-tiba dia mendengar seseorang berkata “Teman! Saya di sini. Saya akan membantu
mu!”
Singa itu melihat ke bawah dan melihat tikus itu.
“Kamu? Bagaimana kamu bisa membantuku?” tanya singa.
“Aku di pohon ini. Aku tidak bisa bergerak. Apa yang bisa kamu lakukan?”
Tikus menggunakan giginya untuk memotong jaring.
Dia kecil, tapi giginya sangat tajam. Kemudian, Sang Raja Hutan Singa itu pun bisa
bebas. Sang Raja Hutan Singa itu sangat senang
Dia berkata, “Terima kasih, tikus. kamu adalah teman saya. Dan saya adalah teman
Anda.”
“Sama-sama, Tuan Singa,” kata tikus.
Teman itu tidak memandang ukuran.
Tikus Kota dan Tikus Desa

Pada suatu hari, tikus kota berkunjung ke sepupunya, tikus desa. Mereka sudah lama
tidak jumpa. Tikus desa gembira bukan main, dikeluarkannya semua makanan yang ada untuk
tamunya. Ada remah jagung, singkong dan sedikit padi-padian.
“Ayo, silakan makan saudaraku, “ kata tikus desa dengan ramah. Tikus kota memandang
semua remah-remah makanan desa itu dengan enggan.
Tikus desa bertanya: “Kenapa? Kau tidak suka?”
Tikus kota menjawab. “Sudah lama aku tidak makan .. makanan-makanan mentah dan
keras ini!” “Gigiku sakit karenanya,” lanjut Tikus kota
“Tapi ini makanan yang dulu sama-sama kita makan! Lihat, butir-butir padi ini begitu
bernas, dan gurih!” berkata begitu Tikus desa lalu mengunyah beberapa butir padi dengan
lezatnya.
“Yah, itu dulu, sebelum aku tahu makanan-makanan kota yang serba empuk dan lezat!”
kata tikus kota, tanpa bermaksud sombong.
“Makanan kota yang empuk dan lezat? Seperti apakah itu,” tanya Tikus desa penasaran.
Akhirnya Tikus kota mengajak saudaraya ke kota.
“Akan kutunjukkan makanan-makanan mewah yang empuk dan lezat!” ajak tikus kota.
Dua Tikus berjalan beriringan menuju kota. Perjalanan panjang dan berliku, melewati
sawah dan ladang petani. Hari telah malam ketika keduanya sampai kota. Mereka langsung ke
rumah Tikus kota, tikus desa langsung diajak ke dapur. Disitu banyak bertebaran makanan serba
lezat bekas pesta semalam. Bukan pestanya Tikus kota, melainkan pestanya manusia yang
empunya rumah itu.
“Lihat, ini ada roti tart yang lezat… Itu ada jelly.. ada keju.. daging ayam.. semuanya
serba empuk dan lezat. Kamu boleh makan apa saja…” kata Tikus kota.
Mulut Tikus desa berkecap-kecap membayangkan lezatnya semua makanan itu. Tiba-tiba
terdengar suara menyalak diluar.
Tikus desa tersentak kaget. “Suara apa itu?” tanyanya ketakutan.
“Ah, biasa, itu suara anjing penjaga,” jawab tikus kota.
“Anjing penjaga??” tanya tikus desa ketakutan.
Tiba-tiba pintu terkuak, dan seekor anjing besar menyergap masuk..“Lariiiiii!” kata tikus
kota.
Keduanya lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Setelah selamat dari anjing
penjaga itu, tikus desa buru-buru berpamitan.
“Kenapa buru-buru, sepupuku? kau bahkan belum sempat mencicipi makanan yang
empuk dan lezat itu!” kata tikus kota.
“Terima kasih, saudaraku. Aku lebih senang makan biji-bijian yang keras di desa, dari
pada hidup mewah di kota dengan anjing yang mengerikan itu…”
Tikus desa pun pulang ke desanya kembali, memilih hidup apa adanya tanpa ketakutan.
Monyet dan Buaya
Pada suatu hari, di sebuah sungai tinggallah sekawanan buaya. Salah satunya adalah keluarga
buaya yang terdiri dari Induk buaya dan anaknya. Dan pada suatu sore, Induk buaya menyuruh
anaknya untuk menangkap seekor monyet.
"Anakku....Cepatlah kau tangkap seekor monyet. Ibu ingin sekali menyantap hatinya!
Kau tahu? Monyet itu tinggal diatas pohon besar dekat pinggir sungai, wahai anakku!"
Kata induk Buaya.
Anak buaya itu pun langsung melaksanakan tugas yang telah diberi oleh sang ibu, walaupun
dirinya merasa sangat kebingungan bagaimana caranya ia dapat menangkap seekor monyet dan
membawa hatinya. Lalu, ia pun segera menyusun sebuah rencana, ia langsung pergi ketepi
sungai untuk menemui Monyet tersebut dan mengajaknya berbicara.
"Halo Monyet!!! sedang apa kau duduk disana sendirian?? dari pada kau duduk sendirian,
lebih baik kau ikut denganku ke sebrang sungai. Kau tahu tidak??? di seberang sana
banyak sekali buah-buahan yang segar yang bisa kau makan." Kata anak Buaya itu.
Sang Monyet sangat heran, tidak biasanya Buaya mengajaknya berbicara apalagi ini
mengajaknya untuk mencari makanan.
"Baiklah...Tapi aku tidak bisa berenang." Jawab sang Monyet.
"Tidak perlu khawatir. Kau tinggal naik saja diatas punggungku!."Kata anak Buaya.
Monyet pun langsung menuruti perkataan Buaya. Ia pun naik keatas punggung Buaya, dan buaya
segera membawanya ke seberang sungai. Tiba-tiba ditengah sungai, anak buaya itu mulai
menyelamkan tubuhnya. Dan membuat panik si monyet.
"Heiii...Heii...Buaya!! Jangan menyelam, kau tahu aku tidak bisa bernafas kalau didalam
air!!!." Kata Monyet.
Setelah beberapa kali menyelam kedalam air sungai akhirnya buaya itu pun kembali
kepermukaan air. Dan monyet itu pun langsung berkata.
"Hei buaya!! Mengapa kau bawa aku menyelam?? Kau tahu khan aku bisa saja mati,
akibat susah bernafas!!." Kata si monyet.
"Hahahahahaha!! aku sengaja Monyet. Aku ingin mengambil hati mu untuk makan
ibuku!."Kata Anak Buaya.
Mendengar hal itu, sang Monyet terkejut dan dirinya pun langsung mencari akal.
"Hei buaya!! seharusnya, kau bilang jika menginginkan hatiku. Aku sekarang sedang
tidak membawanya, karena aku takut hatiku terkena air!." Jawab Monyet santai.
Mendengar itu sang Buaya pun lalu berkata.
"Dimana kau tinggalkan hati mu? diatas pohon tempat kau duduk tadi??." Tanya buaya
dengan heran.
"Iya benar!! jika kau mau hatiku, kita harus kembali untuk mengambilnya." Jawab
Monyet.
Anak buaya pun percaya begitu saja dengan perkataan dari sang Monyet. Lalu mereka kembali
kearah rumah tempat monyet duduk-dududk tadi. Sesampainya dipinggir sungai, Monyet segera
melompat dan lari keatas pohon. Dari atas pohon Monyet tersebut tertawa terbahak-bahak sambil
mengejek anak Buaya itu.
Anak buaya tersebut baru menyadari bahwa dirinya telah ditipu oleh Monyet. Ternyata perkataan
monyet itu hanya untuk menyelamatkan dirinya. Akhirnya anak Buaya itu pergi dengan hati
yang sangat kesal dan jengkel. Namun, dirinya tidak bisa berbuat banyak untuk mengejar
Monyet itu, karena dirinya tidak bisa naik keatas pohon. Dan ia pun pulang tanpa membawa hati
dari sang Monyet.
Gajah dan Teman-Temannya
Pada suatu hari seekor gajah mengembara ke hutan untuk mencari teman. Ia melihat monyet di
sebuah pohon.
“Maukah kau menjadi temanku?” tanya Gajah.
Jawab Monyet, "Kau terlalu besar. Kau tidak dapat berayun dari pohon ke pohon seperti
saya. "
Selanjutnya, Gajah bertemu Kelinci. Gajah bertanya kepada Kelinci apakah mau menjadi
temannya.
Tapi Kelinci itu berkata, "Kamu terlalu besar untuk bermain di liang saya!"
Kemudian Gajah bertemu Kodok. "Maukah kamu menjadi temanku?” tanya Gajah.
"Bagaimana bisa?" tanya Katak. "Kamu terlalu besar untuk melompat sekitar seperti
saya."
Gajah marah. Dia bertemu rubah berikutnya. "Maukah kau menjadi temanku?" tanyanya
kepada rubah.
Rubah berkata, "Maaf, Pak, Anda terlalu besar."
Keesokan harinya, Gajah melihat semua binatang berlarian di hutan itu. Ia melihat mereka terus
berlari dan berlari. Gajah bertanya kepada mereka apa yang terjadi.
Beruang itu menjawab, "Ada harimau di hutan. Dia mencoba untuk melahap kita semua!
"
Hewan-hewan semua lari untuk bersembunyi. Gajah bertanya-tanya apa yang bisa ia lakukan
untuk memecahkan masalah semua penghuni hutan. Sementara itu, harimau terus memakan
siapa saja yang ditemuinya.
Gajah berjalan menghampiri harimau dan berkata, "Tolong, Pak Harimau, jangan
memakan binatang malang ini.”
"Pikiran urusanmu sendiri!” geram Harimau.
Gajah kesal mendengar jawaban itu. Tidak ada pilihan lain, Gajah pun memberikan
Harimau tendangan yang kuat. Harimau takut, ia pun berlari sekencang-kencangnya. Gajah
melenggang kembali ke hutan untuk mengumumkan kabar baik bagi semua penghuni hutan.
Semua hewan berterima kasih kepada Gajah.
Mereka berkata, "Engkaulah ukuran yang tepat untuk menjadi teman kami.”
Bagaimanapun bentuk dan karakter teman kita, pada suatu saat mereka pasti akan membantu
kita.
Katak Pintar
Jauh di dalam hutan, ada sebuah kolam. Banyak ikan, kepiting, dan katak hidup di kolam.
Kehidupan mereka adalah kehidupan yang bahagia dan damai. Di antara mereka hidup dua ikan
cantik bernama Sahasrabuddhi dan Shatabuddhi. Mereka lebih besar dari ikan lain di kolam.
Mereka sangat bangga dengan ketampanan dan kecerdasan mereka.
Di kolam yang sama tinggal seekor katak bersama istrinya. Namanya adalah Ekkabuddhi.
Ikan dan katak adalah teman baik. Mereka semua menjalani kehidupan yang tidak terganggu.
Tapi suatu hari dua nelayan, kembali dari sungai di hutan setelah memancing. datang di
kolam. Saat itu larut malam dan seperti biasa semua ikan dan katak bermain. Sahasrabuddhi,
Shatabuddhi, Ekkabuddhi dan banyak lainnya bergabung dengan permainan. Mereka melompat
tinggi ke udara dan saling mengejar. Melihat pemandangan yang indah, para nelayan kagum dan
berhenti di jalurnya.
"Betapa indahnya mereka?" Kata seorang nelayan.
"Iya nih. Dan begitu banyak dari mereka juga, "jawab yang lain.
"Kolam itu tidak terlihat terlalu dalam," kata nelayan pertama. "Mari kita tangkap
beberapa di antaranya."
“Ini sudah sangat terlambat dan kami memiliki beban yang berat untuk dibawa jauh.
Mari kita kembali besok, "saran nelayan lain.
Ekkabuddhi menoleh ke yang lain di kolam dan berkata, “Apakah kamu tidak
mendengar apa yang dikatakan oleh nelayan? Kita harus meninggalkan kolam ini untuk
tempat yang lebih aman. "
"Hanya karena dua nelayan mengatakan bahwa mereka akan kembali untuk
menangkap kami besok, Anda ingin kami meninggalkan rumah kami dan melarikan diri.
Yang kami tahu, mereka mungkin tidak kembali, "kata Sahasrabuddhi.
"Bahkan jika mereka kembali untuk menangkap kita, aku tahu seribu trik untuk
melarikan diri."
"Dan bahkan jika seribu jalanmu gagal, aku tahu seratus cara lagi untuk melarikan
diri," kata Shatabuddhi. "Kami tidak akan membiarkan dua nelayan menakuti kami dari
kami." Semua yang lain di kolam setuju dengan mereka.
"Baik! Saya hanya tahu satu trik, "kata Ekkabuddhi." Meninggalkan tempat sebelum
bahaya melanda. "
Ekkabuddhi dan istrinya meninggalkan kolam untuk mencari tempat yang lebih aman.
Semua ikan, kepiting, dan katak menertawakan mereka saat mereka pergi.
Keesokan harinya para nelayan kembali ke kolam dan melemparkan jaring mereka.
"Aduh! Jaring ini terlalu tebal untuk saya gigit, "seru Sahasrabuddhi.
"Bagi saya juga," seru Shatabuddhi. "Hanya jika saya bisa keluar, saya bisa melakukan
sesuatu.
"Kita seharusnya mendengarkan Ekkabuddhi," teriak seekor ikan. "Sekarang kita semua
sudah mati."
Para nelayan menangkap mereka semua dan memasukkan semua ikan, katak, dan kepiting
ke dalam keranjang besar dan membawanya pergi.
Ekkabuddhi, bersembunyi di balik batu besar bersama istrinya menoleh padanya dan
berkata, "Jika aku tidak bertindak tepat waktu, kita juga akan berada di keranjang itu dengan
yang lain."
Dua Kambing
Dahulu kala, ada sebuah sungai kecil mengalir di antara dua bukit. Di sungai itu, terdapat
jembatan kecil dan sempit. Jika ada dua orang yang hendak menyeberang dari dua sisi yang
berbeda, salah seorang dari mereka harus menunggu dulu. Sebab, jembatan itu terlalu sempit
untuk dilalui oleh dua orang.
Suatu hari, dua ekor kambing, yang satu berwarna hitam dan satunya berwarna putih,
hendak menyeberangi jembatan dari dua sisi yang berbeda secara bersamaan. Kambing hitam
berteriak pada kambing putih, “Tunggu. Biar aku dulu yang menyeberang.”
Kambing putih menjawab, “Tidak, aku dulu yang menyeberang. Aku sedang terburu-
buru.” Teriak kambing putih tidak kalah keras.
“Tidak, aku tidak mau. Aku lebih tua, aku dulu,” balas kambing hitam.
“Aku dulu,” kata kambing putih sambil mulai melangkah melewati jembatan.
“Ah, terserah. Aku tidak mau mengalah,” kata kambing hitam yang juga mulai melewati
jembatan.
Kedua kambing akhirnya bertemu di tengah jembatan.
“Kembalilah dan biarkan aku menyeberang dulu,” kata kambing putih sambil
menghentak-hentakkan kakinya, mengancam si kambing hitam.
“Kau saja yang kembali,” kata kambing hitam tidak mau mengalah.
Mereka pun berkelahi. Kedua kambing mundur mengambil ancang-ancang dan menghantamkan
tanduknya. Kedua kambing terpeleset jatuh ke sungai. Akhirnya, keduanya mati tenggelam gara-
gara tidak ada yang mau mengalah.
Semut dan Belalang
Pada suatu hari di musim panas, di sebuah ladang di hutan yang rimbun, seekor Belalang
sedang melompat-lompat riang, berkicau dan bernyanyi sepuas hati. Pada saat itu seekor semut
lewat, membawa dengan susah payah butir jagung yang dia bawa ke sarangnya.
“Hai semut, kamu sedang apa. Ayo kemari dan bermain denganku. Lihat hari ini sangat cerah”
tanya Belalang, “Ayo kita nikmati hidup kita?”
“Aku sedang menyimpan makanan untuk musim dingin,” kata si Semut, “dan aku
menyarankanmu untuk melakukan hal yang sama.”
“Kenapa repot-repot menyiapkan makanan untuk musim dingin, musim dingin masih lama?”
kata Belalang. “Lihat banyak sekali makanan saat ini, ini tidak akan habis.”
Tapi Semut tidak memperdulikan ajakan si Belalang. Dia melanjutkan perjalanan dan
melanjutkan kerja kerasnya. Sementara itu Belalang kembali bernyanyi dan memainkan
violinnya.
Ketika musim dingin tiba, Belalang mendapati dirinya lemah karena kelaparan,
sementara itu semut-semut terlihat berbahagia dan bersenang-senang. Mereka  membagikan,
setiap hari, jagung dan biji-bijian dari lumbung makanan yang mereka kumpulkan di musim
panas.
Gajah dan Semut
Matahari siang itu bersinar amat terik. Para koloni semut memilih untuk tinggal di rumah.
Mereka ingin bersantai sambil menikmati persediaan makanan. Tiba-tiba, bumi terasa seperti
bergoyang. Koloni semut pun panik.
“Gempa bumi! Gempa bumi!!” teriak semua semut.
Mereka berbondong-bondong keluar dari sarang mereka yang berada di dalam tanah. Namun
begitu keluar, mereka kaget. Rupanya, ada kawanan gajah yang sedang mencari makan di sana.
Ya! Tadi bukan gempa bumi, melainkan ulah gajah-gajah itu.
Melihat hal itu, ketua koloni semut marah. “Hai, Gajah. Pergilah dari sini! Ini daerah kami!” sera
ketua koloni semut.
“Hahaha! Apa kau bercanda, Semut Kecil? Hutan ini milik umum, jadi siapa pun boleh ke sini,”
jawab ketua kawanan gajah.
“Tapi, kami lebih dulu tinggal di tempat ini!” balas ketua koloni semut.
Namun, kawanan gajah tak peduli. Mereka menganggap semut hanyalah binatang kecil.
Kawanan gajah pun melanjutkan makan. Mereka bahkan tak segan-segan sampai
menghancurkan rumah koloni semut. Akibatnya, koloni semut harus berlari tunggang-langgang
agar tak terinjak kawanan gajah. Malam harinya, setelah kawanan gajah pergi, koloni semut
kembali ke rumah mereka. Mereka pun berkumpul.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Jika terus seperti ini, bisa-bisa kawanan gajah menguasai tempat kita,”
protes salah satu semut.
Semua semut setuju.
“Ah! Bagaimana jika kita bicara baik-baik dengan mereka? Jika tidak berhasil, barulah kita
menyerang mereka,” ucap ketua koloni semut.
Semua semut tertegun ragu. Mana mungkin tubuh kecil mereka dapat melawan para
gajah yang besar. Tapi, ketua koloni semut berhasil meyakinkan koloninya. Koloni semut pun
menyusun rencana untuk mengalahkan kawanan gajah. Esoknya, kawanan gajah kembali datang.
Ketua koloni semut mengadang, hendak berbicara baik-bail. Sayang,kawanan gajah tak mau.
Akhirnya, koloni semut menyerang kawanan gajah.
Koloni semut menyerang bagian dalam gajah-gajah itu, seperti belalai dan telinga
mereka. Kulit luar gajah memang keras, tapi tidak dengan kulit bagian dalam mereka. Ketika
para semut menggigit kulit bagian dalam, semua gajah kesakitan dan terjatuh. Saat itulah,
kawanan gajah sadar bahwa meskipun kecil, semut tak bisa diremehkan. Buktinya, kini mereka
kalah melawan semut.
Kelinci Sombong dan Kura-Kura
Di satu hutan rimba yang lebat, terdapat satu sungai jernih yang biasa menjadi tempat
berkumpulnya para binatang. Pada suatu hari ditepi sungai itu, para binatang sedang berkumpul.
Mereka terlihat sedang berbincang dengan amat seru. Salah satu binatang yang berkumpul itu
adalah Kura-kura. Tiba-tiba, Kelinci datang dan mengacaukan semuanya.
Kelinci memang sangat suka mengacau “Lihatlah, teman-teman. Kakiku panjang. Aku bisa
berlari cepat, tidak seperti Kura-kura,” ucap Kelinci, sambil melirik ke arah Kura-kura.
Kura-kura yang mendengarnya pun merasa jengkel.
“Aku tidak lamban, aku hanya tak ingin terburu-buru,” balas Kura-kura.
“Akui saja jika kau memang lamban, Kura-kura,” ledek Kelinci. Ia baru puas jika teman yang
diledeknya merasa berkecil hati.
“Aku akan membuktikan bahwa aku bukan binatang yang lamban. Bagaimana jika kita lomba
lari?” tantang Kura-kura.
Mendengar tantangan Kura-kura, Kelinci tertawa terbahak-bahak. Ia mengira Kura-kura
hanya bercanda. Sementara itu, teman-teman binatang yang lain merasa kasihan kepada Kura-
kura.
“Apa kau takut, Kelinci?” tanya Kura-kura.
Karena tak mau diremehkan, Kelinci langsung menerima tantangan Kura-kura. Mereka
pun sepakat akan bertanding esok hari. Malam itu, Kura-kura tak bisa tidur. Ia terus memikirkan
tantangannya kepada Kelinci, dan bagaimana cara memberi pelajaran kepada Kelinci agar ia tak
sombong lagi. Pagi harinya, semua binatang berkumpul di tepi sungai. Mereka hendak
menyaksikan pertandingan lari antara Kura-kura dan Kelinci.
“Aturannya adalah kita harus berlari memutari hutan ini dengan menyeberangi jembatan di ujung
jalan sana, lalu kembali lagi kesini.” jelas Kura-kura.
Kelinci hanya mengangguk setuju. “Satu… dua… tiga… Priit!!”
Pertandingan pun dimulai. Kelinci berlari sangat cepat, meninggalkan Kura-kura jauh di
belakang. Tapi, Kura-kura pantang menyerah. Ia terus berusaha mengejar Kelinci. Kelinci pun
sampai di sebuah jembatan. Ia berlari sangat kencang, karena ingin segera menang. Namun, tiba-
tiba… Krak!! Olala, saat Kelinci melintasi jembatan, tiba-tiba jembatan itu patah. Kelinci pun
terjatuh ke sungai yang dalam. Kelinci kelabakan berteriak meminta tolong. Ia memang tak bisa
berenang.
Kebetulan, Kura-kura juga sampai di jembatan. Melihat Kelinci yang hampir tenggelam,
Kura-kura langsung menolongnya. Kura-kura pun membawa Kelinci ke tepi sungai. Setelah
beberapa saat, akhirnya Kelinci bisa kembali bernapas lega.
“Terima kasih, Kura-kura. Kau telah menolongku,” ucap Kelinci.
“Sama-sama, Kelinci,” balas Kura-kura.
Sejak saat itu, Kelinci tak lagi menyombongkan dirinya. Ia sadar bahwa ia tak
sesempurna yang ia bayangkan. Ia mempunyai kelemahan, dan ada hal-hal yang memang tak
bisa ia lakukan.

Anda mungkin juga menyukai