Kota Surabaya adalah ibu kota Provinsi Jawa Timur dengan sebutan Kota
Pahlawan, sekaligus sebagai kota metropolitan terbesar di provinsi tersebut.
Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Daerah
metropolitan Surabaya yaitu Gerbangkertosusila (Gresik–Bangkalan–Mojokerto–
Surabaya–Sidoarjo–Lamongan). Gerbangkertosusila mencakup 7 wilayah
administrasi, 6 di antaranya berada di Pulau Jawa, satu di Pulau Madura yang
berpenduduk sekitar 10 juta jiwa. Gerbangkertosusila adalah kawasan metropolitan
terbesar kedua di Indonesia setelah Jabodetabek.
Suku bangsa asli yang menjadi mayoritas di Surabaya adalah suku Jawa
(83,68%). Surabaya juga menjadi tempat tinggal suku Madura (7,5%); Tionghoa
(7,25%) dan Arab (2,04%). Suku bangsa lain yang ada di Surabaya meliputi suku
India, Bali, Batak, Sunda, Banjar, Bugis, Minang, Manado, Dayak, Toraja, Ambon,
Bawean, Aceh, Melayu, Betawi, serta warga asing.
1
II. Gambaran Umum Kota Batu
2
III. Kependudukan
Masyarakat Kota Batu beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan
penghayat kepercayaan. Pemeluk Islam menjadi warga mayoritas. Masyarakat di
Kota Batu sangat menjaga kerukunan umat beragama. Mereka saling membantu
dan saling menghormati satu sama lain dengan mempertahankan tradisi dan
budaya keagamaan yang telah berlangsung secara turun temurun, antara lain:
Weweh atau ada yang menyebut antaran, yaitu budaya saling antar
makanan antara anggota masyarakat yang satu dengan lainnya tanpa
memandang agama dan keyakinan menjelang hari raya keagamaan,
kajatan atau slametan .
Anjangsana, yaitu budaya saling berkunjung untuk mengucapkan
selamat hari raya bagi anggota masyarakat yang sedang merayakan
hari besar keagamaannya.
Sayan, yaitu budaya bergotong royong untuk membangun atau
memperbaiki tempat ibadah agama tertentu.
3
Gugur gunung, yaitu budaya bersih-bersih kuburan antara pemeluk
agama yang satu dengan yang lainnya.
Pangrukti layon, yaitu budaya “merawat” jenazah secara gotong
royong hingga penguburan.
Bersih desa, budaya ini merupakan selamatan desa yang dilakukan
bersama-sama, biasanya dilaksanakan pada bulan Suro.
Kemudian ada juga bakti sosial, berupa pembagian sembako,
pengobatan gratis bagi masyarakat tanpa melihat agama dan
keyakinannya. Bakti sosial ini dilakukan menjelang perayaan hari raya
keagamaan. Disamping itu, di Kota Batu juga terdapat kekerabatan,
yaitu dalam satu keturunan se-kakek atau se-nenek berbeda-beda
agama. Mereka hidup berdampingan dan bahkan dalam satu
keluarga.
Kota Batu yang multi etnis, ras, budaya dan agama memiliki potensi terseret
pola keagamaan ekstremisme. Namun demikian, hal itu tidak terjadi. Masyarakat
inklusif Kota Batu mempunyai konstruksi sosial yang menjadikan kehidupan
masyarakatnya yang rukun dan harmonis tetap terjaga.
Potret lain tentang harmoni dan kerukunan umat beragama di Kota Batu
adalah adanya desa sadar kerukunan. Desa ini adalah Desa Mojorejo Junrejo,
dimana di desa ini terdapat tiga tempat ibadah publik yang berlainan agama yang
berdekatan dan masyarakat di sekitarnya tidak merasa terganggu atau diganggu.
IV. Inovasi
1. Moderasi beragama
Masyarakat inklusif Kota Batu memiliki pemahaman terhadap nilai-nilai
normatif, filosofis dan historis teks keagamaan sebagai sumber moderasi
beragama, serta kesadaran bahwa secara sosiologis, ekologis dan
antropologis, tidak ingin tatanan sosial yang sudah terpelihara dirusak.
4
2. Pondasi yang melandasi konstruksi sosial moderasi beragama
Terdapat 3 pondasi yang melandasi konstruksi sosial moderasi beragama
pada masyarakat inklusif Kota batu. Yaitu:
1) pemahaman dan kesadaran individu tentang moderasi beragama
2) budaya dan tradisi
3) peran agen yang direpresentasikan oleh tokoh agama dan masyarakat,
FKUB, dan Gusdurian, serta interest kebijakan politik.
3. Konstruksi sosial
Konstruksi sosial pada masyarakat inklusif Kota Batu juga
mengungkapkan bahwa relasi antara agama dan budaya lebih bersifat
kolaboratif. Relasi yang menunjukkan hubungan yang saling mengisi dan
melengkapi yang melahirkan moderasi beragama