Anda di halaman 1dari 12

PSIKOLOGI PENDIDIKAN I

(TAKE HOME EXAM)

1. a. Secara umum inteligensi didefinisikan sebagai kemampuan menyesuaikan


diri, kemampuan belajar, dan kemampuan untuk berpikir abstrak. Menurut
Wechler inteligensi kemampuan seseorang untuk bertindak sesuai dengan
tujuan, berpikir secara rasional, dan kemampuan untuk menghadapi situasi
secara totalitas dan efektif (Muhammad & Wiyani, 2014). Hasil penelitian
Heller, Monks, dan Passow dalam (Muhammad & Wiyani, 2014) mengenai
pengaruh inteligensi terhadap kesuksesan yang meliputi kinerja dan prestasi
akademik menunjukkan bahwa inteligensi yang tinggi sekali pun tidak
menentukan kesuksesan seseorang. Menurut Iman dalam (Risma, 2012)
berdasarkan hasil penelitian, 75 persen kesuksesan manusia lebih ditentukan
oleh kecerdasan emosionalnya. Kualitas kinerja dan prestasi akademik
seseorang tidak bisa dilihat hanya dari aspek inteligensinya saja. Inteligensi
memberi kontribusi 20 persen dari kesuksesan hidup seseorang (Risma,
2012). Namun, berdasarkan penelitan lainnya menunjukkan adanya hubungan
yang positif antar inteligensi dengan prestasi akademik siswa. Artinya,
inteligensi turut memberikan kontribusi terhadap pencapaian prestasi
seseorang. Goleman dalam (Muhammad & Wiyani, 2014) mengungkapkan
bahwa peran serta inteligensi dalam menentukan kesuksesan seseorang yang
meliputi kinerja dan prestasi akademik tidak lebih dari 20 persen, dan 80
persen sisanya dipengaruhi oleh ketekunan, kedisiplinan, motivasi, dsb.
Inteligensi merupakan kemampuan intelektual dalam membuat keputusan dan
menentukan arah berpikir sehingga inteligensi menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kinerja dan prestasi akademik seseorang, namun bukanlah
faktor utama. Ada banyak sekali indikator yang mempengaruhi kinerja dan
prestasi akademik seseorang.
b. Emosi memberikan pengaruh terhadap cepat atau lambatnya tindakan
seseorang. Emosi merupakan suatu rangsangan yang melibatkan perubahab
fisik, perasaan, dan kognitif terhadap suatu tindakan (Wade et al., 2014).
Sebagian besar emosi akan memotivasi kecenderungan tindakan seseorang
(Frijda, Kuipers, & ter Shure, 1989) dalam (Wade et al., 2014). Dalam
pemrosesan emosi pada otak, area kanan dari korteks prafrontal akan
menimbulkan perasaan negatif, sedangkan area korteks prafrontal kiri akan
menumbuhkan perasaan yang positif. Bagian-bagian korteks prafrontal
berperan dalam meregulasi emosi, membantu memodifikasi dan
mengendalikan perasaan individu dalam merespons sesuatu. Kemampuan
seseorang dalam mengelola emosi dengan baik akan mempengaruhi
keefektifan seseorang dalam bekerja dan belajar. Menurut Goleman dalam
(Muhammad & Wiyani, 2014) tanpa keterlibatan emosi, kerja saraf di otak
tidak akan optimal sehingga hasil belajar tidak dapat diproses dengan
maksimal. Emosi memiliki hubungan yang signifikan dengan kemampuan
kognitif, motivasi, dan perkembangan lainnya (Pekrun, 2009) dalam
(Muhammad & Wiyani, 2014). Bentuk emosi yang positif dan negatif secara
tidak langsung akan mempengaruhi seseorang dalam bertindak dan berpikir
sehingga berdampak pada prestasi belajar dan kualitas kinerjanya. Seperti
contoh seorang anak yang melakukan suatu pekerjaan rumah karena
keterpaksaan atas perintah orang tuanya atau seorang anak yang belajar
karena takut dimarahi orang tuanya, anak tersebut melakukan suatu pekerjaan
dengan suasana hati yang negatif sehingga pekerjaan yang dikerjakan pun
hasilnya tidak akan maksimal karena sel-sel saraf di otak tidak bekerja secara
optimal. Dan emosi negatif tersebut akan menimbulkan eustress, yaitu stress
yang sifatnya negatif.
c. Richard Paul (Fisher, 2008) dalam (Kurniawan & Maryani, 2015)
mendefinisikan berpikir kritis sebagai cara berpikir mengenai hal, substansi,
atau masalah yang membuat seseorang meningkatkan kualitas pemikirannya
dengan secara terampil menangani struktur-struktur yang melekat dalam
pemikiran dan menerapkan standar intelektual. Indikator berpikir kritis yang
dirumuskan oleh Ennin (1985) dalam (Kurniawan & Maryani, 2015) adalah:
1) memberikan penjelasan sederhana melalui analisis argumen yang
difokuskan pada pertanyaan,
2) membangun keterampilan dasar dengan mempertimbangkan kredibilitas
serta mengobservasi suatu sumber,
3) membuat kesimpulan melalui deduksi atau induksi kemudian membuat
keputusan,
4) menjelaskan istilah dan definisi dengan mengidentifikasi asumsi-asumsi,
5) mengatur strategi dan taktik dalam bertindak dan berinterkasi dengan orang
lain.
Berdasarkan pengertian dan indikator tersebut siswa membutuhkan latihan
dan dorongan untuk membangun kemampuan berpikir kritis. Menurut Schunk
(2012) dalam (Kurniawan & Maryani, 2015) terdapat faktor kontekstual, yaitu
pengaruh lingkungan keluarga dan sekolah dalam pembentukan kemampuan
berpikir tingkat tinggi. Orang tua tidak boleh bersikap diktator atau terlalu
mengekang dan mengatur anak. Orang tua perlu memberikan kebebasan
kepada anak dalam mengambil keputusan sehingga dapat memberikan
dorongan kepada anak untuk berpikir kreatif dan mendalam mengenai
keputusan yang akan dipilihnya. Perkins (1990) dalam (Kurniawan &
Maryani, 2015) mengungkapkan bahwa lingkungan sekolah memiliki peran
penting dengan menyediakan ekosistem yang mendukung, dan memelihara
kemampuan berpikir siswa. Guru dapat memberikan motivasi intrinsik kepada
siswa untuk berpikir kritis dalam proses pembelajaran. Strategi dan metode
pembelajaran pun harus diatur sedemikian rupa agar dapat mendorong
kemampuan berpikir siswa, misalnya dengan guru dapat memberikan
pertanyaan terarah yang dapat menggali pemikiran siswa dan kemudian
memberikan umpan balik terhadap jawaban siswa. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Kurniawan dan Maryani (2015) terhadap siswa SMP di
Kabupaten Kuningan, mengenai pengaruh lingkungan keluarga dan sekolah
terhadap kemapuan berpikir tingkat tinggi siswa menunjukkan bahwa semakin
kondusif lingkungan keluarga dan lingkunga sekolah maka akan semakin baik
keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. Melalui lingkungan keluarga
terjadi pembentukan karakter dan kebiasaan pola pikir anak sehingga
lingkungan keluarga merupakan faktor dominan yang mempengaruhi
kemampuan berpikir anak. Pada lingkungan sekolah bila adanya motivasi
intrinsik, penyediaan program pelatihan keterampilan berpikir kepada guru
tentang keterampilan mengajar berpikir tingkat tinggi kepada siswa dan
adanya proses pembelajaran yang kondusif dan mendukung maka akan
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis
anak.
Pembentukan emosi baik yang sifatnya positif maupun negatif tentunya
lingkungan sekitar turut memberikan pengaruh terhadap proses pembentukan
emosi yang terjadi di otak melalui sel-sel saraf dan bagian otak lainnya. Emosi
dibentuk oleh penilaian (appraisal), yaitu persepsi, kepercayaan, atribusi, dan
tujuan seseorang dalam menentukan emosi apa yang akan ia rasakan pada
situasi tertentu (Wade et al., 2014). Adanya pengalaman emosional yang
positif pada lingkungan keluarga dan sekolah yang baik akan membangun
emosi positif pada anak.
2. a. Sheryl yang tidak suka menulis dan mengambil kelas hanya untuk
mendapatkan beasiswa di universitas yang dia inginkan merupakan bentuk
motivasi ekstrinsik, yaitu melakukan sesuatu untuk mendapatkan imbalan
eksternal yang mana dalam kasus Sheryl imbalan eksternalnya adalah
mendapat beasiswa di universitas impiannya. Menurut Salahuddin faktor
ekstrinsik yang mempengaruhi motivasi meliputi lingkungan, perhatian orang
tua, kurikulum, pengajar, sarana prasarana, fasilitas, dan administrasi
(Salahuddin, 1990). Berdasarkan teori kebutuhan Maslow yang
mengemukakan bahwa setiap manusia perlu memenuhi kebutuhan terdahulu
untuk bisa naik ke tingkatan kebutuhan selanjutnya. Motivasi Sheryl untuk
mendapatkan beasiswa di universitas impiannya merupakan upayanya untuk
memenuhi kebutuhan akan penghargaan yang meliputi prestasi, dukungan,
dsb. Sedangkan Shannon yang mengambil kelas menulis bukan hanya untuk
mendapat beasiswa di universitas saja, tetapi memang Shannon memiliki
ketertarikan dalam menulis. Pada kasus Shannon adalah bentuk motivasi
intrinsik, yaitu melakukan sesuatu atas dasar keinginan dan rasa suka semata-
mata demi kepuasan atau kesenangan yang didapat dari melakukan aktivitas
tersebut. Faktor intrinsik pada motivasi menurut Salahuddin meliptui kondisi
fisiologis, psikologis (sikap, bakat, minat, kecerdasan, dan kemampuan
kognitif) (Salahuddin, 1990). Berdasarkan teori motivasi dua faktor Herzberg,
adanya faktor motivator yang mendorong Shannon untuk mencapai
kepuasannya yang meliptui peningkatan ilmu pengetahuan, achievement, dsb.
b. Jika saya memposisikan diri saya sebagai Sheryl, saya akan tetap
melanjutkan kelas menulis tersebut dan tetap mengikuti kelas dengan
bersungguh-sungguh serta sepenuh hati agar tujuan untuk mendapatkan
beasiswa di universitas impian dapat tercapai walaupun saya tidak mempunyai
minat dan ketertarikan terhadap kelas tersebut. Meskipun saya mengikuti
kelas tersebut bukan atas minat saya sendiri, tetapi dengan tetap mengikuti
kelas akan memberikan manfaat kepada diri saya sendiri; meningkatkan
pengetahuan saya tentang menulis serta bentuk usaha saya dalam menuntut
ilmu. Bahkan ada kemungkinan di masa yang mendatang setelah saya
mengikuti kelas menulis akan menumbuhkan minat atau ketertarikan saya
terhadap dunia menulis. Menurut pandangan saya menuntut ilmu dalam hal
apapun akan memberikan manfaat kepada diri saya sendiri sekecil apapun itu.
Sedangkan jika saya memposisikan diri saya sebagai Shannon, tentunya saya
akan sangat bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam mengikuti kelas
yang pelajarannya saya sukai dan minati. Selain memberikan kepuasan dan
kesenangan tersendiri ketika mengikuti kelas yang saya sukai, di sisi lain jika
saya bersungguh-sungguh tekun dalam mengikuti proses pembelajaran di
kelas, saya dapat mewujudkan cita-cita saya sebagai penulis di kemudian hari.
Saya suka menulis dan melalui hal yang saya sukai tersebut, saya dapat
memperoleh prestasi, achievement, pekerjaan, dsb.
c. Untuk menjaga motivasi dan minat saya saat pembelajaran daring adalah
menyiapkan diri saya terlebih dahulu. Saya tidak boleh bangun kesiangan
karena akan mempengaruhi semangat saya dalam menjalankan hari-hari saya,
ketika bangun kesiangan saya cenderung akan merasa lebih malas dan lesu
sehingga dapat mempengaruhi fokus dan antusias saya dalam mengikuti kelas
online. Sebelum kelas dimulai, saya harus telah siap terlebih dahulu, seperti
sudah mandi, sarapan, dan merapikan kamar terlebih dahulu. Tempat yang
rapi dan bersih akan membuat saya merasa nyaman ketika mengikuti proses
pembelajaran. Berusaha semaksimal mungkin untuk tidak terlambat masuk ke
room zoom agar saya tidak tertinggal materi. Ketika saya tertinggal materi
dan kesulitan memahami materi ketertarikan saya terhadap kelas tersebut akan
menurun sehingga berdampak pada motivasi dan minat belajar saya.
3. Kemampuan mengingat individu bergantung pada proses persepsi atau
pengalaman yang telah dilalui. Menurut Walgito (1994) dalam (Nofindra,
2019) daya ingat merupakan kemampuan seseorang dalam menyimpan
sesuatu yang pernah dialami yang meliputi kemampuan menerima,
menyimpan, dan memanggil kembali apa yang telah diketahui. Berdasarkan
decay theory kelupaan terjadi akibat penurunan ingatan yang sejalan dengan
berjalannya waktu yang terjadi pada memori sensoris dan memori jangka
pendek (Wade et al., 2014). Sedangkan menurut teori interferensi, kelupaan
disebabkan oleh tercampurnya informasi pada proses penyimpanan atau
proses pemanggilan kembali (Wade et al., 2014). Informasi yang telah
diterima sebelumnya bercampur dengan informasi yang baru diterima atau
sebaliknya. Setiap individu memiliki kemampuan daya ingat yang berbeda-
beda. Dalam proses pembelajaran, daya ingat merupakan komponen penting
untuk menunjang hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa diukur berdasarkan
kemampuan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang berkaitan
dengan kemampuan menggunakan daya ingat siswa. Siswa yang memiliki
daya ingat yang baik akan lebih mudah untuk mencapai hasil berlajar yang
optimal (Nofindra, 2019). Siswa yang memiliki kesulitan dalam mengingat
materi pelajaran disebabkan oleh proses penyimpanan materi pelajaran hanya
dilakukan pada short term memory tidak dilanjutkan pada long term memory.
Fenomena ini seringkali dipicu oleh kurangnya ketertarikan siswa terhadap
materi pelajaran yang diberikan (Nofindra, 2019). Sehingga proses encoding
informasi yang diterima tidak bekerja secara optimal yang kemudian
berdampak pada proses penyimpanan dan retrieval memori.
Islam sangat menekankan betapa pentingnya proses belajar dalam menuntut
ilmu sebagai kewajiban bagi umat Islam. Namun, dalam proses belajar
seringkali manusia mengalami lupa. Dalam Al Qur’an, lupa dijelaskan pada
surat Taha ayat 115.
‫َولَقَ ْد َع ِه ْدنَٓا ِإلَ ٰ ٓى َءا َد َم ِمن قَ ْب ُل فَنَ ِس َى َولَ ْم ن َِج ْد لَهۥُ ع َْز ًما‬
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia
lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang
kuat.”
Pada ayat tersebut Allah swt menyinggung soal Adam a.s yang lalai akan
perintah Allah swt untuk tidak memakan sesuatu dari pohon tersebut. Adam
a.s tidak memiliki tekad yang kuat dalam menjaga apa yang diperintahkan
kepadanya. Utsman Najati (2005) dalam (Arlotas & Mustika, 2019)
mendefinisikan lupa dengan tiga makna, yaitu:
1) Lupa yang terjadi mengenai berbagai peristiwa, nama, informasi yang
telah diperoleh sebelumnya, sebagaimana Q.S al-A’la ayat 6, “Kami akan
membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan
lupa,”
2) Lupa mengandung makna lalai. Sebagaimana kisah tentang murid Musa
a.s yang dijelaskan pada Q.S al-Kahfi ayat 63, “Segala puji bagi Allah
yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al kitab (Al-Quran) dan Dia
tidak Mengadakan kebengkokan di dalamnya”
3) Lupa merupakan hilangnya perhatian terhadap sesuatu. Sebagaimana
dijelaskan pada Q.S at-Taubah ayat 67, “Orang-orang munafik laki-laki
dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama,
mereka menyuruh membuat yang Munkar dan melarang berbuat yang
ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. mereka telah lupa
kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-
orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.”
Sedangkan Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir (2001) dalam (Arlotas &
Mustika, 2019) mendefinisikan kelupaan sebagai gangguan kepribadian
manusia yang dikelompokkan menjadi empat makna, yaitu:
1) Lupa menginat Allah, karena terpengaruh oleh godaan setan. Sebagaimana
dalam Q.S al-Mujadalah ayat 16
‫ ع َْن َسبِي ِْل هّٰللا ِ فَلَهُ ْم َع َذابٌ ُّم ِهي ٌْن‬p‫ص ُّدوْ ا‬
َ َ‫اِتَّخَ ُذ ْٓوا اَ ْي َمانَهُ ْم ُجنَّةً ف‬
“Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu
mereka halangi (membuat manusia lupa) dari jalan Allah; karena itu
mereka mendapat azab yang menghinakan.”
Untuk mencegah terjadinya lupa dengan Allah dapat dilakukan terapi
dzikir dengan menyebut nama Allah.
2) Mendustkan ayat-ayat Allah swt setelah beriman, sebagaimana Q.S al-
A’raf ayat 146
‫ق َوِإن يَ َروْ ۟ا ُك َّل َءايَ ٍة اَّل‬ ِّ ‫ض بِ َغي ِْر ْٱل َح‬
ِ ْ‫ف ع َْن َءا ٰيَتِ َى ٱلَّ ِذينَ يَتَ َكبَّرُونَ فِى ٱَأْلر‬ pُ ‫َسَأصْ ِر‬
‫َى يَتَّ ِخ ُذوهُ َسبِياًل‬ ِّ ‫يل ْٱلغ‬ َ ِ‫وا بِهَا َوِإن يَ َروْ ۟ا َسبِي َل ٱلرُّ ْش ِد اَل يَتَّ ِخ ُذوهُ َسبِياًل َوِإن يَ َروْ ۟ا َسب‬ ۟ ُ‫يُْؤ ِمن‬
۟ ‫ۚ ٰ َذلِكَ بَأنَّهُ ْم َك َّذب‬
p۟ ُ‫ُوا بِـَٔا ٰيَتِنَا َو َكان‬
َ‫وا َع ْنهَا ٰ َغفِلِين‬ ِ
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di
muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.
mereka jika melihat tiap-tiap ayat (Ku) mereka tidak beriman kepadanya.
dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka
tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan,
mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka
mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.”
3) Lupa karena kemunafikan, maka Allah pun melupakan mereka.
Sebagimana Q.S at-Taubah ayat 67, yang artinya “Orang-orang munafik
laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah
sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat
yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa
kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang
munafik itu adalah orang-orang yang fasik”.
4) Lupa karena hawa nafsu sehingga menjadi lupa kepada Allah swt.
Sebagaimana Q.S al-Kahfi ayat 28, yang artinya “Dan bersabarlah kamu
bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan
senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua
matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia
ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami
lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas.”
Rasulullah saw telah mengajarkan cara mengatasi lupa dalam belajar agar
ilmu yang didapat berkah dan tidak mudah dilupakan (Arlotas & Mustika,
2019). Sebagaimana yang telah diperintahkan kepada Ali r.a, yaitu: : “Ibnu
Abbas berkata, Demi Allah tidak ada yang berkumpul dengan jumlah lima
atau tujuh orang, hingga Ali datang menemui rasulullah di dalam majelis
seraya berkata ‘ya Rasulullah, setiap kali aku merasa kosong, aku menghafal
ayat empat ayat atau lebih. Namun ketika aku mengulangnya, aku terlupa.
Hari ini aku belajar empat puluh ayat atau lebih. Namun disaat aku kembali
membacanya, seolah Al-quran tercampur dengan Hadist. Apabila aku
mencoba melafazkannya, aku sudah tidak bisa mengucapkannya dengan
yakin walaupun hanya satu huruf’ lalu Rasulullah berkata “ beriman lah
engakau kepada penguasa ka’bah wahai abu Hasan”
4. a. Saya menempuh pendidikan SMP di Pesantren, pada tahun-tahun pertama
saya di pesantren saya sulit beradaptasi dengan lingkungan pesantren sehingga
hal ini mempengaruhi hasil belajar saya. Nilai-nilai pelajaran saya di tahun
pertama SMP turun drastis jika dibandingkan dengan nilai-nilai saya ketika
SD. Karena padatnya kegiatan dan banyaknya hafalan di pesantren, saya
kesulitan dalam membagi waktu saya untuk belajar pelajaran umum
khususnya matematika.
b. Untuk mengatasi kesulitan belajar matematika yang saya alami, guru
mengidentifikasi nilai rapor saya dengan membandingkan antara nilai
matematika dan nilai pelajaran lainnya. Kemudian guru melakukan
wawancara secara personal kepada saya untuk mengidentifikasi masalah dan
faktor penyebab dari kesulitan belajar yang saya alami. Setelah itu guru
memberikan saya jam belajar tambahan pada pelajaran matematika. Dan
memberikan saya perhatian lebih ketika pelajaran matematika, saya dibimbim
ketika kesulitan dalam menjawab soal atau memahami materi. Apabila saya
kesulitan dalam memahami materi, guru memberikan saya pengayaan materi
sebagai bentuk pendalaman materi dan remedial pada materi-materi
sebelumnya. Kemudian guru melakukan evaluasi terhadap hasil belajar saya
setelah mengikuti jam belajar tambahan dan sebelum mengikuti jam belajar
tambahan. Hasilnya ada perubahan yang signifikan terhadap pemahaman dan
hasil belajar saya pada matematika dan seiring berjalannya waktu saya dapat
beradaptasi dan membuat time management yang lebih baik daripada
sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, M. (2020). Kontribusi Tingkat Pendidikan Orang Tua, Lingkungan, dan


Kecerdasan Logis Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis. Jurnal
Pendidikan Matematika (Kudus), 3(2), 185.
https://doi.org/10.21043/jmtk.v3i2.8578

Arlotas, R. K., & Mustika, R. (2019). Lupa, Dalam Perspektif Psikologi Belajar dan
Islam. PSYCHE: Jurnal Psikologi, 1(1), 45–54.

Fitriyani, Y., Fauzi, I., & Sari, M. Z. (2020). Motivasi Belajar Mahasiswa Pada
Pembelajaran Daring Selama Pandemik Covid-19. Jurnal Kependidikan: Jurna
Hasil Penelitian Dan Kajian Kepustakaan Di Bidang Pendidikan, Pengajaran
Dan Pembelajaran, 6(2), 165–175.
https://doi.org/https://doi.org/10.33394/jk.v6i2.2654

Kurniawan, T., & Maryani, E. (2015). Pengaruh Lingkungan Keluarga Dan


Lingkungan Sekolah Terhadap Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Peserta
Didik Dalam Pembelajaran IPS. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 24(2), 209–216.

Muhammad, I., & Wiyani, N. A. (2014). Psikologi Pendidikan: Teori dan Aplikasi
dalam Proses Pembelajaran. Ar-Ruzz Media.

Nofindra, R. (2019). Ingatan, Lupa, dan Transfer Dalam Belajar dan Pembelajaran.
Jurnal Pendidikan Rokania, 8(5), 55.

Prawira, P. A. (2014). Psikologi Pendidikan Dalam Perspektif Baru. Ar-Ruzz Media.


Prihartanta, W. (2015). TEORI-TEORI MOTIVASI. Jurnal Adabiya, 1(83), 1–11.

Risma, D. (2012). Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Kinerja Karyawan.


EDUCHILD, 01(1), 86–97.
http://stiepena.ac.id/wp-content/uploads/2012/11/pena-fokus-vol-4-no-2-40-
45.pdf

Salahuddin, M. (1990). Pengantar Psikologi Pendidikan. PT. Bina Ilmu.

Wade, C., Tavris, C., & Garry, M. (2014). Psikologi (11th ed.). Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai