Anda di halaman 1dari 21

TREN DAN KONSEKUENSI

KELAHIRAN PERTAMA PADA USIA DINI

Diajukan sebagai Tugas Kelompok Mata Kuliah Keselamatan Ibu,


Kelangsungan Hidup Anak & Epidemiologi Kesehatan Reproduksi

Dosen Pengampu
Prof. Dr. dr. Sudarto Ronoatmodjo S.K.M., M.Sc.

Oleh :

KELOMPOK IV

Nama NPM
1. Deiana Triseptiarani Ilma 2106676543
2. Stefani Christanti 2006506281
3. Vahlufi Eka Putri 2106677331

PROGRAM PASCASARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa dari 2.867
responden berusia 10-19 tahun terdapat 58,8% remaja yang pernah hamil. Angka ini cukup
tinggi dan menunjukkan bahwa kehamilan remaja merupakan masalah yang cukup serius
karena komplikasi kehamilan dan persalinan akan meningkat pada ibu berusia muda atau
kurang dari 20 tahun. Menurut data Riskesdas 2019, sebanyak 27,8% remaja mengalami
salah satu gangguan/komplikasi dalam kehamilan, seperti muntah/diare terus-menerus,
demam tinggi, hipertensi, janin kurang bergerak, pendarahan jalan lahir, keluar air ketuban,
bengkak kaki disertai kejang, batuk lama, nyeri dada/jantung berdebar, atau lainnya.
Melahirkan pada usia dini juga akan menimbulkan lebih banyak komplikasi. 35,8%
remaja yang bersalin pada umur <15 tahun dan mengalami gangguan/komplikasi persalinan
seperti sungsang, perdarahan, kejang, ketuban pecah dini, partus lama, lilitan tali pusat,
plasenta previa, plasenta tertinggal, hipertensi, atau lainnya. Jumlah ini lebih besar
dibandingkan komplikasi yang dialami oleh umur 15-49 tahun saat bersalin yaitu sebesar
23,2%. Komplikasi tertinggi yang terjadi pada umur saat bersalin <15 tahun adalah ketuban
pecah dini sebesar 22,9% (dibandingkan 5,6% pada usia bersalin 15-49 tahun) dan partus
lama sebesar 10,3% (dibandingkan 4,3% pada usia bersalin 15-49 tahun) (Riskesdas, 2018).
Selain dampak fisik, melahirkan pada usia muda juga membawa konsekuensi mental
dan sosial karena remaja belum siap menjadi seorang ibu. Oleh karena itu dibutuhkan
pencegahan terjadinya kehamilan dan melahirkan pada usia muda melalui pendewasaan usia
kehamilan dan perencanaan yang baik dalam menentukan usia ibu saat melahirkan pertama
kali. Penundaan kehamilan dan persalinan hingga usia yang cukup juga akan berkontribusi
pada penurunan kejadian stunting, BBLR, dan kematian bayi.

1
BAB II
ISI

2.1 Pola dan Tren Kelahiran Pertama pada Usia Dini

2.2 Konsekuensi Fisik, Mental, dan Sosial dari Peristiwa Kelahiran di Usia Dini
A. Konsekuensi Fisik
1. Bagi Bayi : Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan Kematian Neonatal
Persentase bayi dengan berat badan kurang sedikit lebih besar (14,95
persen) yang lahir dari perempuan yang pernah kawin di usia anak dibanding
dengan yang lahir dari perempuan yang tidak pernah mengalami kawin anak
(13,57 persen).Hampir tidak ada perbedaan yang signifikan antara perempuan
usia 20-24 tahun yang menikah pada usia kurang dari 15 tahun maupun 18
tahun ke atas dalam hal melahirkan bayi di bawah 2,5 kg sama-sama berkisar
13-14 persen. Persentase perempuan usia 20-24 tahun yang menikah usia 18
tahun ke atas, lebih besar kemungkinannya melahirkan bayi dengan berat
badan di atas 2,5 kg dibandingkan dengan mereka yang menikah di bawah
usia 18 tahun (81,75 persen berbanding 76,33 persen). Demikian halnya
dengan perempuan usia 20-24 tahun yang menikah usia 15 tahun ke atas, lebih
besar kemungkinannya melahirkan bayi dengan berat badan di atas 2,5 kg
dibandingkan dengan mereka yang menikah di bawah usia 15 tahun (80,98
persen berbanding 70,05 persen). Risiko lainnya yang lebih tinggi selain bayi
lahir dengan berat badan rendah adalah kelahiran prematur, dan kondisi
neonatal yang parah.
Bayi yang dilahirkan oleh anak perempuan yang menikah pada usia anak
memiliki risiko kematian lebih tinggi, dan kemungkinannya dua kali lebih
besar untuk meninggal sebelum usia 1 tahun dibandingkan dengan anak-anak
yang dilahirkan oleh seorang ibu yang telah berusia dua puluh tahunan. Umur
ibu merupakan faktor resiko paling dominan pada kematian neonatal. Anatomi
panggul ibu usia remaja yang masih dalam pertumbuhan berisiko untuk
terjadinya persalinan lama sehingga meningkatkan angka kematian bayi dan
kematian neonatal.
2
2. Komplikasi dalam Persalinan
Komplikasi kehamilan dan persalinan adalah penyebab utama kematian di
antara anak perempuan berusia 15–19 tahun di seluruh dunia. Risiko
komplikasi dini dihadap oleh ibu remaja (ibu berusia muda) sehingga
meningkatkan angka kematian ibu dan balita Ibu remaja berusia 10–19 tahun
tahun menghadapi risiko eklampsia, endometritis nifas dan infeksi sistemik
yang lebih tinggi dibandingkan wanita berusia 20-24 tahun. Wanita yang
menikah dini akan mengalami masalah saat hamil, melahirkan dan nifas, yaitu
adanya kurang darah (anemia), persalinan lama/bayi tidak segera keluar,
bengkak pada akhir kehamilan, perdarahan pada saat melahirkan dan masa
nifas, serta adanya infeksi pada jalan lahir.
B. Konsekuensi Mental
1. Depresi Pasca Melahirkan
Kelahiran di Usia dini menyebabkan dampak mental yang signifikan.Ibu yang
melahirkan anak di usia dini seringkali menolak keberadaan janin dalam
rahimnya, perasaan dendam, tidak menginginkan,perasaan tertekan,belum siap
menjadi ibu,dan perasaan malu pada lingkungannya. Melahirkan pada usia
muda sangatlah beresiko karena pada dasarnya tubuh perempuan di bawah
usia 20 tahun masih belum sepenuhnya siap untuk bereproduksi dan melewati
proses persalinan. Hal ini ditambah dengan perubahan hormon yang terjadi
saat hamil, dapat membuat remaja usia di bawah 20 tahun rentan mengalami
depresi pasca melahirkan.Selain itu psikologi dari perempuan usia di bawah
20 tahun, juga masih cenderung labil sehingga tingkat stres dan depresi jauh
lebih besar, apalagi jika kehamilan tidak didukung oleh keluarga. Besar
kemungkinan mereka akan terkena baby blues atau post partum syndrome.
C. Konsekuensi Sosial
1. Tekanan Dari Masyarakat
Masyarakat lebih cenderung memberi penghakiman norma kesusilaan dan
stigma negatif pada perempuan yang melahirkan anak di usia dini apalagi jika
anak tersebut lahir di luar nikah. Akhirnya, tekanan konstruksi sosial yang
terjadi mengakibatkan ibu yang melahirkan anak di usia dini merasa malu dan
merasa menjadi aib keluarga.

3
2. Tingkat Pendidikan Rendah dan Kurangnya partisipasi dalam dunia
kerja.
Perempuan Usia dini yang menikah dan melahirkan dipaksa untuk mengambil
tanggung jawab orang dewasa dan mereka mungkin belum siap. Perempuan
yang melangsungkan perkawinan dan melahirkan pada usia dini memiliki
kecenderungan untuk dikeluarkan dari sekolah, perempuan yang sudah
melangsungkan perkawinan dan melahirkan mengalami beban yang tinggi dari
pekerjaan rumah tangga, dan seringkali terisolasi serta tidak dapat mengakses
jaringan sosial, pengetahuan baru, dan keterampilan baru serta sumber daya
yang memungkinkan dalam pengembangan ekonomi. Perempuan yang
melangsungkan perkawinan usia dini yang berpartisipasi dalam pasar tenaga
kerja formal biasanya menghadapi beban kerja ganda, yakni beban dari tugas-
tugas rumah tangga juga beban dari pekerjaannya. Perempuan yang
melangsungkan perkawinan dan telah melahirkan pada usia dini memiliki
kekuatan yang lemah dalam pengambilan keputusan di dalam rumah tangga
perkawinannya, hal tersebut mengakibatkan partisipasi angkatan kerja dan
pendapatannya rendah.

D. Siapa yang terpengaruh dan faktor lain yang mungkin berkontribusi untuk
konsekuensinya
1. Faktor Ekonomi
Beberapa penelitian sebelumnya oleh UNFPA (2012) dan UNICEF & UNFPA
(2018) menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan pendorong utama
perkawinan anak pada perempuan di negara berkembang. Perkawinan usia
anak kerap kali terjadi dengan latar belakang orang tua yang ingin
meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Bagi rumah tangga miskin,
kebanyakan anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi dan
perkawinan dianggap sebagai solusi untuk melepaskan diri dari kemiskinan
dan ini sesuai dengan data Susenas 2018 yang memperlihatkan bahwa anak
dari Keluarga dari kuintil ekonomi terendah paling berisiko pada perkawinan
anak. Berbeda dengan temuan di atas, Susenas Maret 2018 justru
menunjukkan sedikit perbedaan terkait tingkat kemiskinan antara perempuan
usia 20-24 tahun yang kawin pada usia sebelum 18 tahun (13,76 persen)
4
dengan mereka yang kawin di atas usia 18 tahun (10,09 persen). Hal ini dapat
berarti: kemiskinan menjadi faktor pendorong praktik perkawinan anak,
namun bukan faktor utama atau faktor satu-satunya.
2. Faktor Tempat Tinggal
Faktor risiko lain yang sering ditemukan di berbagai literatur adalah tempat
tinggal di perdesaan. Hal ini juga terlihat di data Susenas 2018 yang
menunjukkan bahwa anak perempuan di daerah perdesaan dua kali lebih
mungkin untuk menikah dibandingkan dengan anak perempuan di daerah
perkotaan. Lebih lanjut, Marshan, et.al menemukan bahwa anak perempuan
yang tinggal di perkotaan lebih mungkin mendapatkan kesempatan di luar
perkawinan dan pengasuhan anak dibandingkan dengan mereka yang ada di
daerah perdesaan. Hal ini dapat mengindikasikan kebutuhan untuk melakukan
intervensi di tingkat daerah, khususnya perdesaan, untuk mencegah atau
merespon praktik perkawinan anak.Untuk merespon berbagai persepsi budaya
yang mendorong praktik perkawinan anak, beberapa strategi telah banyak
dikembangkan oleh kelompok masyarakat sipil. Salah satunya dilakukan
dengan cara melibatkan tokoh masyarakat, guru, dan juga pemuda dalam
penyebaran informasi tentang kesehatan seksual dan reproduksi
3. Faktor Lainnya: Perkawinan Anak dalam Situasi Bencana
Studi Literatur juga menemukan risiko anak perempuan dinikahkan semakin
tinggi dalam situasi setelah terjadinya bencana alam. Dewi & Dartanto
menyebutkan bahwa di Indonesia, India, dan Sri Lanka, perkawinan usia anak
semakin tinggi karena dipaksa menikah dengan yang menjadi duda setelah
tsunami48. Dalam beberapa kasus, perkawinan terjadi untuk mendapatkan
bantuan pemerintah yang khusus diberikan kepada mereka yang menikah dan
memulai untuk berkeluarga. Studi lain memperlihatkan di antara perempuan
yang berumur 15 – 17 tahun yang kehilangan kedua orang tuanya, lebih
mungkin untuk menikah 5 tahun setelah tsunami. Cara ini digunakan untuk
meringankan beban ekonomi keluarga karena hilangnya aset pada saat terkena
bencana. Hal ini menjadi catatan bagi pemangku kepentingan agar
memberikan perhatian lebih untuk mencegah praktik perkawinan anak dalam
situasi bencana.

5
2.3 Faktor yang Mendasari dan Berkontribusi pada Kelahiran Pertama di Usia Dini
Angka perkawinan dini sangat perlu mendapat perhatian pada periode RPJMN
2020-2024. Dengan UU Perkawinan yang mensyaratkan usia minimal 16 tahun bagi
perempuan dan 17 tahun bagi laki-laki untuk dapat menikah, maka perkawinan dini
masih akan terus terjadi. Usia minimal tersebut masih dalam kelompok usia sekolah
tingkat menengah atas. Sehingga perkawinan yang terjadi pada usia tersebut akan
berdampak negatif pada produktifitas remaja tersebut di masa depan akibat ia harus
putus sekolah untuk menikah. Bappenas dan UNICEF pada tahun 2014 mengestimasi
bahwa perkawinan anak akan menimbulkan kerugian sebesar 1,7 % dari total
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). Penelitian
juga telah banyak menemukan dampak negatif perkawinan usia dini terhadap kesehatan
reproduksi, yaitu risiko tinggi pada kehamilan kelahiran perempuan usia muda,
penyakit menular seksual, kanker serviks dan juga depresi. Baik dampak negatif
ekonomi dan kesehatan dari perkawinan dini akan menimbulkan biaya besar bagi
perekonomian dan tentunya akan mengurangi upaya optimasi bonus demografi.
Usia Melahirkan Pertama (SDGs Tujuan 3, indikator 3.7.2; Tujuan 5, indikator
5.3.1) Sama halnya seperti perkawinan, usia melahirkan pertama di Indonesia
mengalami peningkatan. Angka Age-Specific Fertility Rate (ASFR) menunjukkan
adanya penundaan memiliki anak antara tahun 2012 dan 2017. ASFR mencapai
puncaknya pada usia 25-29 tahun pada periode tersebut meskipun terdapat peningkatan
kelahiran di antara perempuan usia 30-34 tahun. Penurunan ASFR di antara perempuan
usia 15-19 tahun menunjukkan adanya peningkatan usia perkawinan dan juga
penundaan keinginan untuk memiliki anak.
Faktor-Faktor Terjadinya Persalinan Usia Muda
1. Pernikahan usia muda
Di berbagai penjuru dunia, pernikahan anak merupakan masalah sosial dan
ekonomi, yang diperumit dengan tradisi dan budaya dalam kelompok masyarakat.
Stigma sosial mengenai pernikahan setelah melewati masa pubertas yang dianggap
aib pada kalangan tertentu, meningkatkan pula angka kejadian pernikahan anak
(Lee‐Rife et al., 2012, UNICEF, 2014).
Motif ekonomi, harapan tercapainya keamanan sosial dan finansial setelah
menikah menyebabkan banyak orang tua menyetujui pernikahan usia dini. Alasan
6
orang tua menyetujui pernikahan ini seringkali dilandasi karena ketakutan akan
terjadinya kehamilan diluar nikah akibat pergaulan bebas atau untuk mempererat
tali kekeluarga
2. Perilaku seks bebas
Istilah perilaku seksual menyangkut beberapa komponen, antara lain: pengalaman
dan aktivitas seksual, usia saat pertama kali melakukan hubungan seksual, jumlah
pasangan, frekuensi hubungan seksual, tipe hubungan seksual yang dilakukan, serta
cara untuk memeroleh pasangan seksualnya (Fortenberry, 2013).
Seks bebas diartikan sebagai suatu kegiatan seks yang dilakukan tanpa suatu ikatan
norma yang berlaku sebagaimana lazimnya dalam masyarakarat, dengan kata lain
melakukan hubungan seks dengan bebas. Baik perilaku hubungan antara lakilaki
dan perempuan maupun hubungan sesama jenis, maupun perilaku-perilaku yang
lain. Sarwono (2012), mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi seks bebas antara lain:
a. Libido adalah hasrat atau dorongan seksual.
Sebagian besar orang, ekspresi energi libido dan lingkungan keluarga yang
stabil dapat mengantarkan mereka pada hubungan pasangan yang stabil
b. Perilaku seksual yang berubah seiring dengan perubahan yang terjadi dalam
lingkungan dan kapasitas fisik dari individu, serta sebagai akibat tekanan dari
luar, berupa sikap orang lain dirumah dan tempat kerja, busana, media dan iklan.
c. Seksualitas, diartikan bukan hanya masalah anatomi fisiologi reproduksi tetapi
juga menyangkut perkembangan seksualitas sejak dini, termasuk perkembangan
perilaku seksual manusia.
1) Ketertarikan seksual, terlepas dari usaha untuk mendorong
perkembanganbiakan spesies, berkaitan erat dengan harga diri dalam diri
pria dan wanita sepanjang hidupnya.
2) Nafsu seksual dan gairah seksual yang dipengaruhi oleh tingkat hormon
seks dalam tubuh dan oleh faktor-faktor psikologi. Selain itu kondisi sosial
dan lingkungan seseorang sangat mempengaruhi tingkat nafsu seksual
(Kusumastuti, 2015).
3) Pandangan masyarakat tentang seks bebas dimana perubahan pandangan
tentang seksualitas yang terjadi sejak 1980-an telah mengubah perilaku
seksual masyarakat. Perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari beredarnya
7
kontrasepsi yang pada sebagian orang mampu memisahkan hubungan
seksual untuk tujuan prokreasi dan rekreasi.
4) Pornografi, dalam pengertian luas yaitu bahan tertulis atau visual yang
merangsang perasaan seksual, bertujuan untuk menggairahkan pengamat
atau pembacanya. Kecenderungan ini menggambarkan telah terjadinya
peningkatan pornografi, disebabkan munculnya teknologi-teknologi baru
sebagai sarana distribusi. Disamping budaya patriarkhi, maraknya
pornografi adalah karena unsur komersialisme dan industrialisasi atas
pornografi ini.

2.4 Desain Studi dalam Penelitian Kelahiran Pertama pada Usia Dini
Berikut adalah beberapa contoh desain studi yang dapat digunakan dalam
penelitian kelahiran pertama pada usia dini.

a. Studi Kualitatif

Gambar 1. Contoh Desain Studi Kualitatif


Sumber : https://doi.org/10.1186/s12978-020-00992-x

 Latar Belakang:
Di seluruh dunia, lebih dari separuh kehamilan remaja yang tercatat
tidak disengaja. Keputusan untuk melanjutkan kehamilan hingga aterm atau
memilih aborsi adalah dilema konstan yang secara langsung atau tidak
langsung dipengaruhi oleh pemangku kepentingan dan juga oleh lingkungan
8
sosial yang lebih luas. Kajian ini bertujuan untuk memahami preferensi
pengambilan keputusan yang dirasakan dan determinan kehamilan remaja
awal di wilayah Jamestown Akra di Ghana.
 Metode:
Rancangan penelitian kualitatif berbasis sketsa digunakan. Delapan
diskusi kelompok terfokus dilakukan di antara berbagai kelompok peserta
yang dipilih secara sengaja: orang tua, guru, siswa remaja yang belum hamil
sebelumnya, dan remaja yang memiliki setidaknya satu kehamilan di masa
lalu. Sketsa itu hipotetis kasus seorang siswa SMA berusia 15 tahun yang tidak
mengalami menstruasi selama 6 minggu terakhir. Data dianalisis dengan
menggunakan pendekatan analisis tematik.
 Hasil:
Kurangnya komunikasi orang tua-anak, tabu membahas masalah seks
dalam rumah tangga dan otonomi keuangan yang lemah dianggap sebagai
faktor utama penyebab tingginya remaja awal angka kehamilan di masyarakat.
Kesiapan pasangan untuk memikul tanggung jawab atas anak perempuan dan
bayinya adalah kuncinya pertimbangan baik untuk melanjutkan kehamilan
sampai aterm atau memilih aborsi. Ayah itu luar biasa dianggap sebagai orang
yang mengambil keputusan akhir mengenai hasil kehamilan. Terlepas dari
kenyataan bahwa responden sangat religius, memilih aborsi dianggap dapat
diterima dalam keadaan khusus, terutama jika remaja hamil itu berprestasi di
sekolah.

b. Cross Sectional / Potong Lintang

Gambar 2. Contoh Desain Studi Potong Lintang

9
Sumber : https://doi.org/10.1186/s12978-016-0171-7

 Latar Belakang:
Di India, karena tingginya prevalensi pernikahan anak, sebagian besar
kehamilan remaja terjadi di dalam pernikahan. Komplikasi kehamilan dan
persalinan adalah salah satu penyebab utama kematian pada anak perempuan
berusia 15 hingga 19 tahun. Oleh karena itu, kehamilan remaja merupakan
ancaman kesehatan yang serius bagi wanita muda di India.
 Metode:
Penelitian ini berfokus pada tingkat dan tren angka kehamilan remaja di
India dalam dua dekade terakhir, berdasarkan data cross-sectional dari tiga
berbeda periode, DLHS-1 (1998–99), DLHS-2 (2002–04) dan DLHS-3 (2007–
08). Selanjutnya, determinan kehamilan remaja dan efeknya dianalisis
menggunakan data DLHS-3, yang menggunakan sistematika desain sampel
bertingkat. Ukuran sampel penelitian ini adalah 18.709 kehamilan yang terjadi
pada 14.006 remaja perempuan yang saat ini menikah (15-19 tahun). Tes chi-
square dan regresi logistik digunakan untuk menguji hubungan antara hasil
kehamilan (lahir hidup vs. aborsi/lahir mati) dan komplikasi kesehatan dengan
variabel sosial ekonomi dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu-anak.
 Hasil:
Selama periode 1998–99, 2002–04 dan 2007–08, tingkat kehamilan
remaja masing-masing adalah 427, 467 dan 438. Pada tahun 2007–08, proporsi
kelahiran hidup (vs. lahir mati atau aborsi) secara signifikan lebih tinggi di
antara remaja lebih tua yang berusia 18-19 tahun (OR = 1,25, 95% CI 1,08-
1,44, p <0,001) dibandingkan di antara remaja putri yang lebih muda (15-17
tahun). Proporsi kelahiran hidup juga lebih tinggi pada wanita yang mendapat
pendidikan 10 tahun atau lebih (OR = 1,26, 95% CI (1,01-1,56), p <0,01).
Prevalensi kelahiran hidup adalah secara signifikan lebih tinggi di antara
wanita yang telah menerima beberapa saran persalinan (OR = 1,38, 95% CI
(0,96-1,95), p < 0,01), pernah mengkonsumsi tablet besi/asam folat, (OR =
1,37, 95% CI (0,89-2,11), p < 0,05), pernah mendapat injeksi tetanus toksoid
(OR = 2,29, 95% CI (1,25-4,19), p <0,001), sedangkan yang dengan persalinan
pervaginam adalah secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk
10
melahirkan hidup (OR = 0,38,95 % CI (0,21-0,68), p < 0,001). Wanita remaja
memiliki 66,6% komplikasi persalinan (yaitu salah satu masalah) vs 62,5% di
antara wanita dewasa (20-24 tahun), (p <0,001).
 Kesimpulan:
Lahir mati dan aborsi lebih banyak terjadi pada remaja yang lebih muda
daripada remaja yang lebih tua, dan di antara semua remaja daripada di antara
wanita dewasa. Menunda kelahiran pertama hingga usia 20 tampaknya
bermanfaat baik ibu maupun bayi. Akses ke layanan kesehatan reproduksi;
pelayanan KB yang tepat waktu dan berkualitas serta saran aborsi dan
persalinan yang aman; toksoid tetanus dan zat besi/asam folat bagi remaja
menikah yang hamil dapat meningkatkan hasil kesehatan.

c. Case Control / Kasus Kontrol

Gambar 3. Contoh Desain Studi Kasus Kontrol


Sumber : https://doi.org/10.1186/s12978-021-01247-z

 Latar Belakang:
Kehamilan pada remaja memiliki risiko tinggi terhadap masalah
kesehatan yang parah baik bagi ibu maupun bayi baru lahir. Di seluruh dunia,
21 juta remaja melahirkan setiap tahun, dengan persentase tinggi di Amerika
Latin. Sebagian besar faktor risiko ditemukan di masyarakat adat, yang
merupakan populasi yang kurang terwakili dan kurang dipelajari. Studi
bertujuan untuk menilai faktor-faktor penentu kehamilan remaja di masyarakat
adat dari hutan tengah Peru.

11
 Metode:
Melalui studi kasus-kontrol, remaja putri berusia 13 hingga 19 tahun dari
tujuh komunitas pribumi komunitas hutan tengah Peru diwawancarai. Remaja
dengan (kasus) dan tanpa (kontrol) riwayat kehamilan, seperti kehamilan saat
ini, memiliki anak dan riwayat aborsi, yang memenuhi kriteria. Instrumen
digunakan untuk mengeksplorasi sosiodemografi, karakteristik remaja dan
keluarga, serta persepsi kehamilan remaja. Analisis regresi logistik digunakan
untuk mendapatkan Odds Ratio (OR) dan interval kepercayaan 95% (95% CI).
 Hasil:
Studi meneliti 34 kasus dan 107 kontrol. Secara keseluruhan, 53,9%
responden berusia 15 hingga 19 tahun. Dari hasil penelitian, ditemukan
hubungan yang signifikan antara usia 15–19 tahun (OR=6,88, 95% CI 2,38–
19,86, p<0,0001) dan tingkat pendidikan sekolah dasar (OR=5,59, 95% CI
1,95-16,06, p=0,001) dengan risiko kehamilan remaja. Signifikansi statistik
marjinal antara memiliki lima hingga enam saudara kandung dan kehamilan
remaja juga dilaporkan (OR=2,70, 95% CI 0,85-8,61, p=0,094). Selanjutnya,
remaja yang melakukan komunikasi kesehatan seksual dan reproduksi dengan
orang tua memiliki risiko kehamilan remaja yang lebih rendah. (OR=0,17,
95% CI 0,06-0,47, p=0,001).
 Kesimpulan:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya kesehatan dan pendidikan
masyarakat harus difokuskan pada usia tertentu dalam masyarakat adat hutan
tengah Peru, mendorong orang tua untuk berbicara tentang topik kesehatan
seksual dan reproduksi dengan remaja.

d. Kohort
Contoh Kohort (1)

12
Gambar 4. Contoh Desain Studi Kohort (1)
Sumber : https://doi.org/10.1186/1471-2393-10-36

 Latar Belakang:
Risiko tinggi kelahiran prematur dan bayi kecil untuk usia kehamilan
telah dilaporkan pada remaja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara kehamilan remaja pertama dan kedua dengan
kelahiran prematur, berat lahir dan kecil untuk usia kehamilan (SGA).
 Metode:
Semua wanita berusia 14 hingga 29 tahun yang melahirkan anak tunggal
di Wilayah Barat Laut Inggris antara 1 Januari 2004 dan 31 Desember 2006
telah diidentifikasi. Wanita diklasifikasikan dalam tiga kelompok; 14-17
tahun, 18-19 tahun dan 20-29 tahun (kelompok referensi). Ukuran hasil adalah
kelahiran prematur, kelahiran sangat prematur, berat lahir, SGA (< persentil
ke-5), sangat SGA (VSGA< persentil ke-3). Ukuran hasil ini dibandingkan
pada kehamilan remaja pertama dan kedua dengan kelompok referensi (ibu
berusia 20 hingga 29 tahun).
 Hasil:
Risiko kelahiran prematur meningkat pada kehamilan pertama (OR =
1,21, [95% CI: 1,01-1,45]) dan kedua (OR = 1,93, [95% CI: 1,38-2,69]) waktu
ibu berusia 14-17 tahun dibandingkan dengan kelompok referensi. Berat lahir
berkurang pada yang pertama (rata-rata selisih = -24 gram; [95% CI: -40, -7])
dan kedua (perbedaan rata-rata = -80 g; [95% CI: -115, -46]) waktu ibu berusia
14-17 tahun dibandingkan dengan kelompok referensi. Ada beberapa bukti

13
efek perlindungan terhadap VSGA pada kelahiran pertama usia 14-17 tahun
(OR = 0,79, [95% CI: 0,63-0,99]).
 Kesimpulan:
Ibu remaja memiliki peningkatan risiko kelahiran prematur
dibandingkan dengan ibu dewasa dan risiko ini lebih lanjut meningkat pada
kehamilan remaja kedua kalinya. Studi ini menyoroti pentingnya memastikan
remaja hamil memiliki asuhan antenatal yang tepat. Kehamilan pertama
mungkin menjadi yang pertama dan satu-satunya saat remaja hamil
berinteraksi dengan kesehatan layanan dan kesempatan untuk pendidikan
kesehatan dan promosi kontrasepsi ini tidak boleh diabaikan.

Contoh Kohort (2)

Gambar 5. Contoh Desain Studi Kohort (2)


Sumber : https://doi.org/10.1186/s12978-017-0382-6

 Latar Belakang:
Persalinan pada remaja masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
global terutama di negara berpenghasilan rendah dan menengah di mana 95%
dari persalinan ini terjadi. Di Kamerun, kehamilan remaja memiliki beban
penyakit yang tinggi karena hubungannya dengan hasil kehamilan yang
merugikan. Studi ini berusaha untuk mengevaluasi prevalensi, tren dan hasil
yang merugikan dari persalinan remaja di komunitas pedesaan di Kamerun.
 Metode:
Studi dilakukan dengan analisis register retrospektif dari 1803 persalinan
tunggal di dua fasilitas kesehatan yang berlokasi di sub-divisi Oku selama
14
periode 8 tahun (2009 hingga 2016). Dilakukan pengecualian untuk catatan
tanpa usia ibu, bayi lahir sebelum kedatangan, berat lahir kurang dari 1000 g,
persalinan multipel dan persalinan sebelum usia kehamilan 28 minggu. Data
analisis dilakukan dengan menggunakan Epi info 7.0.8.3. Uji Fisher exact
digunakan untuk membandingkan variabel kategori, sedangkan uji chi-square
digunakan untuk menentukan tren waktu. Nilai-P di bawah 5% dianggap
penting secara statistik.
 Hasil:
Prevalensi 8 tahun persalinan remaja adalah 20,4% (95% CI = 18,6–
22,4) dengan tren penurunan antara 2009 dan 2016 signifikan (P tren = 0,05).
Robekan perineum derajat kedua-keempat lebih mungkin terjadi mempersulit
persalinan remaja (usia < 20 tahun) dibandingkan dengan ibu dewasa (usia 20
tahun) (OR = 2. 9; 95% CI = 1,8–4,7; p < 0,001). Juga, bayi yang lahir dari ibu
remaja lebih cenderung memiliki berat badan lahir rendah (OR = 1,7; 95% CI
= 1,1–2,6; p = 0,009) dan mengalami sesak napas pada menit kelima
kehidupan (OR = 3,2; 95% CI = 1,9–5,5; p < 0,001). Selama periode delapan
tahun, tren penurunan prevalensi persalinan remaja adalah terkait dengan
penurunan yang signifikan dalam tren asfiksia neonatal pada menit kelima.
Menikah remaja dan bayi mereka kemungkinan besar mengalami komplikasi
persalinan remaja seperti derajat kedua-keempat robekan perineum (OR = 0,8;
95% CI = 0,4–1,6; p = 0,456), berat badan lahir rendah (OR = 2,1; 95% CI =
0,9–4,7; p = 0,070) dan asfiksia neonatus menit kelima (OR = 0,9; 95% CI =
0,4–2,0; p = 0,832).
 Kesimpulan:
Prevalensi persalinan remaja di komunitas pedesaan ini tinggi dengan
satu dari setiap lima bayi lahir dari ibu remaja. Meskipun tren menunjukkan
penurunan persalinan remaja, studi ini menunjukkan perlunya memperkuat dan
menerapkan program kesehatan masyarakat berbasis pemerintah yang ada
secara efektif untuk menargetkan indikator kunci kehamilan remaja di
Kamerun.

e. Mixed method study

15
Gambar 6. Contoh Desain Studi Metode Campuran
Sumber : https://doi.org/10.1186/s12978-019-0719-4

 Latar Belakang:
Mengingat praktik kesehatan individu dapat mempengaruhi kesehatan
ibu dan bayi, penelitian ini dirancang untuk: (a) menilai praktik kesehatan ibu
hamil remaja dan hubungannya dengan ibu, hasil janin, dan neonatus; (b)
menggali persepsi ibu hamil remaja tentang praktek kesehatannya sendiri; dan
(c) merekomendasikan beberapa strategi untuk meningkatkan praktik
kesehatan ibu hamil remaja selama kehamilan.
 Metode/desain:
Penelitian metode campuran dengan desain eksplanatori sekuensial ini
memiliki dua tahap. Fase pertama (fase kuantitatif) adalah studi prospektif
untuk menilai praktik kesehatan ibu hamil remaja dan hubungan dengan hasil
ibu, janin, dan neonatal yang tinggal di sebuah cluster di Teheran, ibu kota
Iran. Metode sampling digunakan untuk memilih 316 ibu hamil remaja yang
mengunjungi pusat kesehatan di Teheran. Fase kedua adalah studi kualitatif
yang dirancang untuk mengeksplorasi persepsi ibu hamil remaja tentang
pentingnya aspek dan faktor praktik kesehatan yang dapat mempengaruhi hasil
kesehatan mereka. Pada fase ini dilakukan wawancara individu mendalam
untuk pengumpulan data. Pendekatan analisis isi konvensional digunakan
untuk analisis data. Selain tinjauan literatur dan teknik kelompok nominal,
temuan dari fase kualitatif dan kuantitatif, akan digunakan untuk

16
merekomendasikan beberapa strategi untuk mendukung remaja ibu hamil
untuk meningkatkan praktik kesehatan mereka selama kehamilan
 Diskusi:
Ini adalah studi pertama yang melihat praktik kesehatan pada ibu hamil
remaja yang akan dilakukan melalui pendekatan metode campuran, yang
bertujuan untuk mengembangkan strategi peningkatan praktik kesehatan. Studi
berharga mencatat bahwa tidak ada pedoman strategis dalam sistem kesehatan
Iran untuk peningkatan praktik kesehatan remaja. Oleh karena itu, strategi
yang diusulkan dalam penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan praktik
kesehatan remaja selama kehamilan dan pada akhirnya meningkatkan hasil
kehamilan dan persalinan mereka.

17
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

18
DAFTAR PUSTAKA

Agbor, V.N., Mbanga, C.M. & Njim, T. 2017. Adolescent Deliveries in Rural Cameroon: an
8-year Trend, Prevalence and Adverse Maternofoetal Outcomes. Reprod Health 14, 122
(2017). https://doi.org/10.1186/s12978-017-0382-6 diakses tanggal 23 November 2021.

Bain, L.E., Muftugil-Yalcin, S., Amoakoh-Coleman, M. et al. 2020. Decision-making


preferences and risk factors regarding early adolescent pregnancy in Ghana:
stakeholders’ and adolescents’ perspectives from a vignette-based qualitative
study. Reprod Health 17, 141 (2020). https://doi.org/10.1186/s12978-020-00992-x
diakses tanggal 23 November 2021.

Hadian, T., Mousavi, S., Meedya, S. et al. 2019. Adolescent pregnant women’s health
practices and their impact on maternal, fetal and neonatal outcomes: a mixed method
study protocol. Reprod Health 16, 45 (2019). https://doi.org/10.1186/s12978-019-0719-
4 diakses tanggal 23 November 2021.

Kementerian Kesehatan RI. 2018. Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Kementerian PPPA RI.2020.Profil Anak Indonesia 2020.Jakarta: Kementerian Pemberdayaan


Perempuan dan Perlindungan Anak

Kementerian PPN/Bappenas.2019. Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan


Pelayanan Kesehatan di Indonesia.Jakarta: Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan

Kementerian PPN/Bappenas.2020. Pencegahan Perkawinan Anak : Percepatan yang Tidak


Bisa Ditunda.Jakarta: Bidang Pembangunan Manusia,Masyarakat, dan Kebudayaan

Khashan, A.S., Baker, P.N. & Kenny, L.C. 2010. Preterm Birth and Reduced Birthweight in
First and Second Teenage Pregnancies: a register-based cohort study. BMC Pregnancy
Childbirth 10, 36 (2010). https://doi.org/10.1186/1471-2393-10-36 diakses tanggal 22
November 2021.

Mejia, J.R., Quincho-Estares, Á.J., Flores-Rondon, A.J. et al. 2021. Determinants of


Adolescent Pregnancy in Indigenous Communities from the Peruvian Central Jungle: a
case–control study.  Repro Health 18, 203 (2021). https://doi.org/10.1186/s12978-021-
01247-z diakses tanggal 22 November 2021.

Merrill, Ray M. 2010. Reproductive Epidemiology : Principles and Methods. USA : Jones
and Bartlett Publishers, LLC.

Patra, S. 2016. Motherhood in Childhood: Addressing Reproductive Health Hazards among


Adolescent Married Women in India. Reprod Health 13, 52 (2016).
https://doi.org/10.1186/s12978-016-0171-7 diakses tanggal 23 November 2021.

19
20

Anda mungkin juga menyukai