Anda di halaman 1dari 36

FAKTOR PSIKOSOSIAL DAN KESEHATAN REPRODUKSI

Diajukan sebagai Tugas Kelompok Mata Kuliah Keselamatan Ibu,


Kelangsungan Hidup Anak & Epidemiologi Kesehatan Reproduksi

Dosen Pengampu
Prof. Dr. dr. Sudarto Ronoatmodjo S.K.M., M.Sc.

Oleh :

KELOMPOK IV

Nama NPM
1. Deiana Triseptiarani Ilma 2106676543
2. Stefani Christanti 2006506281
3. Vahlufi Eka Putri 2106677331

PROGRAM PASCASARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Reproduksi dan isu-isu yang berkaitan dengannya adalah bagian dari masyarakat.
Hubungan antara praktik reproduksi dan masyarakat banyak dan beragam Misalnya, norma-
norma sosial membantu perempuan memandang reproduksi, membantu menentukan jumlah
dan jarak dari anak, yang dapat memiliki dampak besar pada kesehatan ibu. Penggunaan
kontrasepsi dalam keluarga berencana melintasi garis agama, sosial dan masyarakat bergulat
dengan aborsi ilegal atau tidak sehat. Selain itu, dunia telah mempertimbangkan implikasi etis
dari penelitian genom, rekayasa genetika, dan kloning. Sebuah daftar komprehensif dari
keprihatinan masyarakat yang berkaitan dengan reproduksi akan sulit untuk dikompilasi,
karena efek sosial dari reproduksi sangat luas. Hal-hal penting yang perlu dibahas meliputi
isu-isu mendesak tentang pernikahan, aborsi klinis, dan sunat perempuan.
Pernikahan adalah praktik yang diterima secara sosial di seluruh dunia. Tingkat
pernikahan menurun di Amerika Serikat, Eropa, dan banyak tempat lain di dunia, dan
peningkatan co-habitation telah diamati. Persentase kelahiran di luar nikah juga meningkat di
wilayah ini dan wilayah lain di dunia. Anak lahir ibu yang belum menikah cenderung
memiliki peluang lebih besar untuk mengalami hal yang merugikan kesehatan dan
konsekuensi sosial. Remaja yang hamil cenderung mengalami lebih banyak masalah
kesehatan dibandingkan wanita hamil yang lebih tua.
Aborsi klinis mendapatkan penerimaan yang lebih besar di seluruh dunia. Tingkat
aborsi tinggi di banyak negara tempat di dunia, mewakili sebagian besar kehamilan di Rusia
dan Greenland. Selain itu, sunat perempuan adalah kebiasaan sosial yang terus berdampak
buruk bagi banyak perempuan di seluruh dunia, sebagian besar di negara-negara berkembang
di Afrika. Praktek-praktek ini semua terkait dengan kesehatan. (Merrill, 2010).

1
BAB II
ISI

2.1 Tren Utama Pernikahan, Co-habitation, dan Bayi yang Lahir dari Wanita yang
Belum Menikah
1. Tren Utama Pernikahan
a. Tren Perkawinan Anak Terkini
Tren perkawinan anak perempuan di Indonesia, baik yang melangsungkan
perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun maupun 15 tahun, menunjukkan
penurunan pada periode tahun 2008 sampai 2018, namun penurunannya masih
dikategorikan lambat. Pada tahun 2008, prevalensi perkawinan anak adalah
sebesar 14,67 persen, namun pada satu dekade kemudian (tahun 2018) hanya
menurun sebesar 3,5 poin persen menjadi 11,21 persen. Masih sekitar 1 dari 9
perempuan berusia 20 – 24 tahun melangsungkan perkawinan pertama
sebelum usia 18 tahun. Di Indonesia, terdapat lebih dari satu juta perempuan
usia 20 – 24 tahun yang perkawinan pertamanya terjadi pada usia kurang dari
18 tahun (1,2 juta jiwa). Sedangkan perempuan usia 20-24 tahun yang
melangsungkan perkawinan pertama sebelum berusia 15 tahun tercatat
sebanyak 61,3 ribu perempuan12. Di sisi lain, prevalensi perempuan usia 20-
24 tahun yang melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 15 tahun
mengalami penurunan sekitar satu poin persen selama periode 2008 – 2018.
Pada tahun 2008, sebanyak 1,60 persen perempuan usia 20 – 24
melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 15 tahun. Prevalensi ini
menurun lebih dari setengahnya pada tahun 2018 menjadi sebesar 0,56 persen.

2
Gambar 3.1.1 Tren Data Persentase Perempuan Usia 20 – 24 Tahun menurut
Usia Perkawinan Pertama, 2008-2018

Pada gambar terlihat bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun prevalensi
perkawinan anak perempuan di Indonesia menunjukkan penurunannya tetapi
masih landai. Pada tahun 2018, perempuan usia 20 – 24 tahun yang
melangsungkan perkawinan pertama baik kurang dari 15 maupun 18 tahun
jumlahnya masih tinggi.
1) Perkawinan Anak di Pedesaan dan Perkotaan
Disagregasi menurut daerah tempat tinggal menunjukkan bahwa
prevalensi perkawinan anak perempuan lebih tinggi di daerah perdesaan
dibandingkan dengan perkotaan. Hal ini terlihat pada kelompok
perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun maupun sebelum usia 15
tahun. Sepanjang tahun 2018, prevalensi perempuan 20 – 24 tahun di
perdesaan yang perkawinan pertamanya sebelum usia 18 tahun masih lebih
tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. Persentase perkawinan anak di
perdesaan adalah 16,87 persen sementara di perkotaan hanya 7,15 persen.
3
Namun, gambar 3.1.1. di atas juga memperlihatkan penurunan prevalensi
di perkotaan yang lebih kecil dibandingkan dengan penurunan yang terjadi
di desa selama 10 tahun terakhir. Hal ini dapat menunjukkan bahwa tren
penurunan perkawinan anak lebih dipengaruhi oleh penurunan di daerah
perdesaan. Di daerah perdesaan, prevalensi perempuan 20–24 tahun yang
perkawinan pertamanya sebelum usia 15 tahun mengalami penurunan
sebesar 1,8 poin persen selama periode 2008–2018 (2,78 menjadi 0,95
persen), sedangkan di perkotaan penurunannya hanya sebesar 0,3 poin
persen (0,59 menjadi 0,28 persen). Begitu pula dengan perempuan 20–24
tahun yang perkawinan pertamanya sebelum usia 18 tahun, baik di
perdesaan maupun perkotaan mengalami penurunan tren dalam kurun
waktu 2008-2018. Prevalensi daerah perdesaan menurun sebesar 5,76 poin
persen (22,63 menjadi 16,87 persen) sedangkan di perkotaan
penurunannya lebih lambat, hanya kurang dari satu poin persen (7,82
menjadi 7,15 persen).
2) Perkawinan Anak Berdasarkan Usia Perkawinan Pertama

Gambar Persentase Perempuan Usia 20 – 24 Tahun menurut Usia


Perkawinan Pertama dan Daerah Tempat Tinggal, 2018

4
3) Tren Perkawinan pada Anak laki laki

5
4) Perkawinan Anak Menurut Provinsi

6
5) Pernikahan anak melonjak selama pandemic

Pernikahan anak bukan hal baru. Selama satu dekade ke depan, menurut
Unicef, akan ada lebih dari 10 juta anak perempuan baru yang berpotensi
menjadi mempelai pada usia yang sangat muda.Sebelum pandemi bergulir,
Unicef memperkirakan sekitar 100 juta anak-anak menjalani pernikahan
paksa hingga 10 tahun ke depan. Angka itu kini diperkirakan meningkat
hingga 10%.

7
Ada beberapa tren positif yang tercermin dalam laporan Unicef. Meski
pernikahan anak masih merupakan praktik umum di beberapa bagian
dunia, pencegahan yang tepat semakin jarang dilakukan.Tren yang
diperkirakan meningkat akibat pandemi mungkin berbalik, menurut para
ahli.

8
tiga elemen kunci yang perlu diatasi untuk mengatasi tren pengantin
anak.Pertama, kembalikan gadis-gadis ke sekolah dengan cara yang paling
aman atau beri mereka kesempatan untuk mengembangkan keterampilan,
seperti berdagang dan membuat kerajinan tangan mengatasi dampak
ekonomi yang terjadi selama pandemi Covid-19 di kelompok rumah
tangga miskin, sehingga beban keuangan tidak dihadapi dengan cara
menjual atau menikahkan anak perempuan.Kehamilan anak perempuan
adalah pendorong signifikan di balik pernikahan di bawah umur.Layanan
kesehatan seksual dan reproduksi dilanjutkan, sehingga anak perempuan
dapat mengaksesnya serta memiliki informasi dan bantuan yang mereka
butuhkan untuk dapat membuat pilihan yang tepat.

9
2. Cohabitation
Praktek Cohabitation yaitu hidup sebagai suami istri tetapi tidak diikat
oleh perkawinan,tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dalam
masyarakat tertentu hal ini dianggap sebagai pelanggaran hukum tetapi
hukum sendiri tidak memberikan sanksi yang ketat, hal ini di sebut sebagai
notorious cohabitation. Di Indonesia sendiri praktek pasangan yang hidup
bersama sebelum menikah disebut sebagai istilah praktek kumpul kebo.
Secara awam diartikan pasangan yang tinggal serumah namun belum
menikah, ini dipersamakan halnya dengan kerbau binatang yang hidup
dalam satu kandang namun belum menikah. Hal bagi sebagian masyarakat
maknai sebagai perbuatan yang negatif karena pola hidup bersama diantara
dua orang yang belum menikah dengan orang yang bukan istri atau
suaminya sangat identik dengan seks di luar lembaga perkawinan. Oleh
karena itulah maka umumnya dugaan terhadap pasangan yang hidup
bersama tersebut, dituduh telah melakukan hubungan seksual diluar lembaga
perkawinan. Padahal, seharusnya pemenuhan naluri biologis hanya di
benarkan dalam ikatan suami istri. Jadi hal yang di tolak adalah secara
khusus dalam kumpul-kebo adalah relasi atau hubungan seksualnya, bukan
hal-hal di luar itu.
Fenomena ini terus mengalami peningkatan secara signifikan,
utamanya sejak tahun 90-an, hingga berakibat pada meningkatnya jumlah
aborsi dan kelahiran ilegal. Pada akhir tahun 60-an, tercatat hanya 6%
pasangan yang tinggal serumah sebelum menikah, namun pada tahun 90-an
sudah tercatat 70% dari wanita Barat telah tinggal bersama sebelum menikah
untuk pertama kalinya. Cohabitation ini berhubungan langsung dengan
merosotnya institusi pernikahan dan meningkatnya jumlah kelahiran di luar
nikah.6 Lebih spesifiknya, di Inggris antara tahun 1979-1995 prosentase
wanita yang menikah menurun dari 74% hingga tinggal 54% saja.7
Sedangkan prosentase pernikahan yang diawali dengan cohabitation di
negara-negara besar Eropa sebagai berikut: Swedia lebih dari 85%, Prancis
75%, 50% di Jerman barat, 40% di Jerman timur. Hanya saja di beberapa
negara prosentase cohabitation masih “relatif kecil”, misalnya di Italia
“hanya” 10% dan di Spanyol 16%.
10
Data National Survey of Family Growth (survei nasional
perkembangan keluarga) di Amerika Serikat mencatat bahwa hingga tahun
2010, kecenderungan untuk memilih pernikahan sebagai relasi pertama
antara sepasang kekasih terus menurun dan sebaliknya, kecenderungan
untuk memilih cohabiting sebagai relasi pertama terus meningkat
msebagaimana terlihat dalam diagram berikut:

Indonesia sebagai negara yang baru akan mengatur mengenai


perbuatan kumpul kebo dapat juga menjadikan negara lain sebagai
rujukan.Berdasarkan study perbandingan bahwa sudah ada beberapa negara
yang menerapkan hukuman bagi pelaku kumpul kebo di negaranya. namun
tujuan utama yang di masukkan dalam elemen kejahatannya dalam
pengaturan di beberapa Negara sangat berbeda. Adapun negara-negara yang
sudah melakukan pengaturan adalah sebagai berikut
No Negara Pasal Ruang Lingkup Keterangan
1. KUHP 193 cohabitation antara Arah nya kepada
Republik orang dewasa pasangan kumpul kebo
Federal dengan anak yang yang dewasa, juga wali
Yugoslavia telah mencapai usia atau orang tua yang
1951 14 tahun mengijinkan,mendorong
atau membantu upacara
poligami.

11
2. KUHP 493 cohabitation dalam Arahnya kepada lakilaki
Singapura hal perempuannya yang menipu
percaya bahwa ia
telah dikawinkan
secara resmi
3. KUHP 493 Idem Idem
Malaysia,
Kanun
Kaseksaan
4. KUHP 493 Idem Idem
Brunei
Dasrussalam
5. KUHP India 493 Idem Idem
6. KUHP Fiji 184 Idem Idem
7. KUHP Cina 259 Hidup bersama
dengan istri atau
suami dari anggota
angkatan bersenjata
aktif
8. KUHP 293 Conjugal union Tindak pidana poligami,
Kanada (1) (kumpul kebo) tanpa diperlukan syarat
dengan lebih dari terganggunya perasaan
salah satu orang kesusilaan, keagaam,
pada saat yang sama masyarakat dan
lingkungan setempat,
bukan delik aduan
(indictable offence)

Pertama, cohabitation yang dianggap sebagai tindak pidana jika dilakukan


bersama anak. (KUHP Yugoslavia 1951 Pasal 193, Norwegia dan Polandia).
kedua cohabitation yang masuk kategori pidana dalam hal praktek
cohabitation dengan seorang perempuan yang percaya bahwa ia telah kawin
secara sah dengan pihak laki-laki (Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam,
12
India, Islandia dan Fiji), ketiga cohabitation yang masuk kategori pidana
dalam hal cohabitation dengan istri atau suami dari anggota angkatan
bersenjata aktif (Cina), Keempat, cohabitation yang masuk kategori pidana
dalam hal dilakukan dengan poligami (conjugial union) hidup bersama
sebagai suami istri denganlebih dari satu orang pada saat yang sama.
(Kanada). Kelima, pelarangan cohabitation total sebagai perilaku zina yang
dilarang (Arab, dan Negara-negara penganut pidana Islam). Penegakan
hukum di Indonesia pada saat ini dalam menanggulangi perbuatan kumpul
kebo apabila menggunakan media penal tidak dapat dilakukan. Hal ini
dikarenakan, apabila diketemukan kasus kumpul kebo yang kemudian
dibawa ke ranah hukum, para aparat penegak hukum akan mengalami
kesulitan karena tidak adanya satu Pasal pun dalam KUHP atau peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara jelas tentang perbuatan kumpul
kebo atau recht vacuum. Hanya perbuatan zina saja yang diatur dalam Pasal
284 KUHP.

3. Bayi yang Lahir dari Wanita yang Belum Menikah

13
Dalam hal ras, perbedaan lama tetap ada karena melahirkan anak yang
belum menikah telah meningkat di antara semua kelompok.Tidak banyak
yang berubah bagi mereka yang berpendidikan tinggi, sementara yang
kurang berpendidikan memiliki anak di luar nikah dengan tingkat yang
meningkat. Sekitar 70% anak-anak kulit hitam dan lebih dari setengah anak-
anak Hispanik lahir di luar nikah . Angka-angka ini jauh lebih tinggi
daripada beberapa dekade yang lalu dan jauh lebih tinggi daripada tingkat
ras kulit putih dan ras lainnya tetapi angka untuk semua orang meningkat
dari waktu ke waktu. Tingkat kelahiran wanita belum menikah adalah 39,9
kelahiran per 1.000 wanita belum menikah usia 15–44 tahun pada 2019,
turun kurang dari 1% dari 2018 (40,1) . Tingkat kelahiran di luar nikah 2019
adalah 23% lebih rendah dari puncaknya 51,8 pada 2007 dan 2008 . Tingkat
kelahiran untuk wanita menikah juga menurun pada tahun 2019, menjadi
84,0 per 1.000 wanita menikah berusia 15-44 tahun, dari 85,6 pada tahun
2018. Tingkat kelahiran dalam perkawinan menurun 4% selama periode
2005-2010 tetapi naik 6% dari 2010 hingga 2016 sebelum menurun 6%
hingga 2019 . Persentase semua kelahiran pada wanita belum menikah
adalah 40,0% pada 2019, naik dari 2018 (39,6%), yang merupakan level
terendah sejak 2007 . Persentase semua kelahiran pada wanita yang belum
menikah mencapai puncaknya pada tahun 2009 sebesar 41,0% . Di tahun
2019, persentase kelahiran di luar nikah meningkat dari 2018 untuk tiga ras
dan kelompok asal Hispanik: kulit hitam non-Hispanik (70,0% pada 2019),
Hispanik (52,1%), dan wanita AIAN non-Hispanik (69,0%) . Persentase
tidak berubah untuk tiga kelompok: kulit putih non-Hispanik (28,2%), Asia
non-Hispanik (11,7%), dan wanita NHOPI non-Hispanik (50,4%). Jumlah
kelahiran di luar nikah menurun 3% dari 2018 (1.503.361) ke 2019
(1.498.113) . Tingkat kelahiran di luar nikah menurun dari 2018 ke 2019
untuk wanita dalam kelompok usia di bawah 30 tahun, dengan tingkat untuk
remaja berusia 15–19 tahun turun 4% (menjadi 15,4 per 1.000 pada tahun
2019), dan tingkat untuk wanita berusia 15–17 tahun di semua waktu rendah.
Sebaliknya, tingkat kelahiran di luar nikah mencapai puncak bersejarah
untuk wanita berusia 30-34, hingga 60,6, dan untuk wanita berusia 40-44,
14
hingga 11,1. Perbedaan komposisi berdasarkan ras dan asal Hispanik dan
usia ibu di antara negara bagian merupakan faktor utama yang berkontribusi
terhadap variasi geografis dalam persentase kelahiran ibu yang tidak
menikah . Pada tahun 2019, persentase kelahiran belum menikah berkisar
dari sekitar satu dari lima kelahiran di Utah (19,2%) hingga lebih dari
setengah kelahiran di Louisiana (54,0%), Mississippi (54,9%), dan New
Mexico (51,5%).

15
2.2 Hubungan Pernikahan dan Kesehatan Fisik dan Mental
Kesiapan fisik meliputi kesiapan secara biologis seperti kesiapan organ tubuh
untuk melakukan proses reproduksi seperti melakukan hubungan seksual yang sehat
dan aman, kemampuan melakukan pengasuhan serta pekerjaan rumah tangga dengan
baik. Dengan kesiapan fisik yang baik seseorang akan dapat merawat dan
membersihkan diri dengan baik sehingga dapat melakukan hubungan seksual dengan
baik dan sehat. Disamping kesiapan fisik, seseorang yang akan menikah juga harus
dibekali dengan kesiapan mental dan emosi yang baik. Oleh karena itu menikah diusia
yang ideal 21 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria merupakan usia pernikahan
yang direkomendasikan dari sisi kesehatan karena pada usia ini calon penganten sudah
mempunyai mental dan emosi yang stabil sehingga jika terjadi permasalahan atau
goncangan dalam biduk rumah tangga mereka, pasangan keluarga ini akan dapat
mengatasinya secara dewasa dan penuh tanggung jawab.
Kualitas Pernikahan menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan
Owenz adalah evaluasi subjektif terhadap perkawinannya dengan menggunakan tujuan

16
perkawinan sebagai kriteria evaluasi secara objektif. Kualitas pernikahan dapat
ditunjukan dari kebahagiaan dan kepuasan pernikahan dengan meliputi ekonomi,
komunikasi, kepribadian pasangan, komitmen, penyesuaian dan cinta (Tyas &
Herawati, 2017). Pada aspek ekonomi dalam kualitas pernikahan menyatakan istri
kurang bahagia dan sering berdebat dengan pasangan mengenai alokasi uang. Menurut
Rahman dan Nasrin (2012) menyatakan permasalahan ekonomi meningkatkan risiko
permusuhan dan berkurangnya kehangatan dalam pernikahan serta risiko konflik dalam
pernikahan (Tyas & Herawati, 2017). Dari segi aspek komunikasi, istri merasa bahagia
karena dapat berkomunikasi dengan baik sama keluarga suami, diperlakukan dengan
baik sama mertua dan ipar, komunikasi dengan pasangan juga lancar dan dilihat dari
aspek komitmen, istri akan selalu menjaga komitmen pernikahan dengan komunikasi
yang lancar dan keterbukaan antara pasangan sehingga dapat menjaga komitmen
namun istri juga merasa takut suami selingkuh. Mayoritas istri merasa puas dengan
suami yang mencintainya, memperlakukannya dengan baik, merasa puas dan indah
dengan kehidupannya (Tyas & Herawati, 2017)
Menurut WHO (World Health Organization, 2013), kesehatan mental merupakan
keadaan yang disadari oleh individu yang didalamnya dapat mampu mengelola stres
dan dapat mengatasi tekanan kehidupan. Ketika kesehatan mental terganggu akan
membuat kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan menjadi sulit.
Dampak pernikahan dini bagi kesehatan mental menjadi penting untuk diperhatikan
oleh karena kondisi ini sangat identik dengan permasalahan rumah tangga yang muncul
akibat belum adanya kematangan secara fisik, emosional dan sosial. Penguasaan
terhadap lingkungan sekitar dan komunikasi pun menjadi faktor pemicu kemunculan
pertengkaran (Rahmawati, 2019). Pertengkaran yang terjadi umumnya memicu
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang membuat perasaan tertekan, tidak
nyaman dan merasakan penyesalan yang berujung sampai ke keputusan untuk bercerai
(Elok, 2019). Pada lingkungan dengan teman sebaya menjadi berkurang, merasa
canggung dan seringkali enggan untuk bergaul dengan teman seusianya sehingga
membuat remaja menjauh dari lingkungan sekitar (Shufiyah, 2018).

17
2.3 Potensi Masalah Sosial dan Kesehatan terkait Memiliki Anak di Luar Nikah
1. Potensi Masalah Sosial
a. Perlindungan Hukum Bagi Anak di luar pernikahan
Mahkamah Konstitusi memutuskan anak yang lahir di luar pernikahan tetap
memiliki hubungan perdata dengan ayah kandung. Hubungan tersebut
mengikat sepanjang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi atau alat bukti lain menurut hukum. Anak diluar nikah merupakan
salah satu tindak kekerasan terhadap anak dalam bentuk penelantaran
maupun kekerasan, karena anak tersebut bukanlah anak yang sah dalam
sebuah ikatan perkawinan. Pada realitanya tidak jarang seorang anak diluar
nikah menjadi korban tindak pidana yang disebabkan oleh rasa
malu ataupun ketidakmampuan dalam bertanggungjawab. Padahal,
anak siapapun dan apapun statusnya berhak untuk hidup dan melanjutkan
kehidupannya.Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 35
Tahun2014Tentang Perlindungan Anak (Selanjutnya disebut UU
Perlindungan Anak) menyatakan bahwa “Perlindungan Anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknyaagar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatperlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. Pada masalah perlindungan anak, kita
perlu memahami hakekat serta asas-asanya. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1)
UU Perlindungan Anak menyatakan “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh
orangtuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang
sah menunjukkan bahwapemisahan itu adalah demi kepentingan
terbaikbagi anak dan merupakan pertimbanganterakhir”. Pada Pasal 21
ayat (1) UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Negara, Pemerintah,
dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab
menghormati pemenuhan Hak Anak tanpamembedakan suku, agama,
ras, golongan, jeniskelamin, etnik, budaya dan bahasa, statushukum,
urutan kelahiran, dan kondisi fisikdan/atau mental”. Berdasarkan Pasal 23
UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Negara, Pemerintah,
danPemerintah Daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan
18
kesejahteraan Anak dengan memperhatikan hakdan kewajibanorang tua,
wali, atau orang lainyang secara hukum bertanggung jawab
terhadapAnakdengan cara selalu mengawasi penyelenggaraan perlindungan
anak tersebut”.Adapun upaya hukum perlindungan anak dalam tindak pidana
penelantaran yang tercantumpada Pasal 59 ayat (2) . Pasal 71 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2004, yaitu upaya pengawasan, pencegahan, perawatan,
konseling, rehabilitasi sosial danpendampingan sosial.Apabila terjadi suatu
tindak pidana pembunuhan terhadap anak diluar nikah tersebut, maka akan
dikenakan sanksi pidana pada ketentuan Pasal341 dan Pasal 342 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidanasebagaimana yang dimaksud pada saat anak
dilahirkan,serta pada Pasal 346, 347, dan 348Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana sebagaimana yang dimaksud pada saat anak masih dalam
kandungan atau aborsi.
b. Masalah Hak Asasi Manusia
Ketidak adilan serta pelanggaran HAM terhadap anak di luar perkawinan atau
anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah diantaranya adalah: Anak
mengalami kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan kedua orang tuanya,
beban sikologis disebabkan oleh masyarakat dicap sebagai anak haram/ anak
hasil zina. Secara sosial, anak juga harus menanggung perlakuan tidak adil
dan stigma negatif dari masyarakat. Apalagi dihubungkan dengan ketiadaan
relasi perdata dengan ayah biologisnya, eksistensi anak sebagai warga negara
tereduksi secara sistematis. Ini bisa dilihat dari UU. No. 23 Tahun 2006 yang
mensyaratkan pembuatan Akta Kelahiran seorang anak harus dilengkapi
dokumen perkawinan resmi dari negara. Ketiadaan Akta Kelahiran, seorang
anak akan mengalami kendala ketika harus memperoleh akses pendidikan,
pelayanan kesehatan, bantuan sosial, dan beberapa jasa pelayanan publik
lainnya. Tanpa adanya Akta Kelahiran tentu ini akan berimplikasi anak tidak
mendapatkan “hak waris” hal ini sangat merugikan hak anak. Dalam kasus
perkawinan „tidak sah‟, anak tidaklah layak menyandang status bersalah,
baik secara hukum negara maupun norma agama, karena kelahirannya di luar
kehendaknya sendiri.

19
c. Masalah Kesehatan pada Ibu yang Hamil di luar pernikahan.
Kehamilan pada remaja menjadi salah satu masalah kesehatan yang penting di
seluruh dunia, diperkirakan 11% kelahiran di seluruh dunia berasal dari remaja
yang berusia 15-19 tahun (Kirbas, A., dkk. 2016). Menurut Novianti (2017) 41
% atau hampir setengah dari 208 juta kehamilan di seluruh dunia merupakan
kehamilan tidak terencana dan berdasarkan data dari WHO (World Health
Organization) 11 persennya berasal dari remaja putri yang berarti dalam kurun
waktu satu tahun terjadi 16 juta kehamilan pada remaja. Pada remaja yang
hamil di luar nikah yaitu mereka rentan mengalami stres dan depresi karena
timbulnya rasa malu, dikucilkan oleh lingkungan masyarakat maupun
lingkungan pergaulan (Putri, 2019). Kehamilan pada remaja putri juga dapat
menghambat jenjang pendidikan serta peraihan cita-cita mereka (Putri, 2019).
Menurut Sari (2013) perasaan bersalah yang dirasakan oleh remaja yang hamil
di luar nikah membuat mereka tidak berani untuk mengatakan yang sejujurnya
kepada orang lain. Oleh karena itu remaja putri perlu melakukan private
disclosure. Pengertian private disclosure menurut Petronio dalam West dan
Turner (2004), adalah suatu proses dalam mengungkapkan informasi yang
bersifat rahasia kepada orang lain. Private disclosure membutuhkan adanya
acceptance (penerimaan) dan support (dukungan).

2.4 Masalah Sosial dan Kesehatan yang Dialami Remaja Hamil


Masalah sosial dan kesehatan yang dialami remaja hamil menurut Merrill (2010)
yaitu remaja kurang mampu mengasuh anak dan lebih cenderung kurang mampu secara
ekonomi, kehamilan di kalangan remaja lebih berbahaya dan traumatis, persentase
besar kehamilan remaja berakhir dengan aborsi, keterbatasan kesempatan pendidikan
bagi ibu remaja, dan hampir semua kehamilan remaja tidak diinginkan.
Masalah kesehatan yang dialami remaja pada penelitian Terry (2001)
menunjukkan bahwa remaja hamil memiliki risiko lebih tinggi terkena anemia dan
preeklamsia serta kematian ibu dibandingkan dengan populasi ibu lainnya. Sebuah studi
yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan bahwa ibu remaja memiliki tingkat
depresi yang lebih tinggi daripada remaja putri pada umumnya dengan 40% ibu remaja
mengalami episode depresi dalam satu tahun setelah melahirkan.

20
Remaja juga mungkin kurang bertanggung jawab atau berhati-hati selama
kehamilan. Misalnya, beberapa praktik dan tren kesehatan yang mengganggu di
kalangan ibu remaja di Inggris dan Wales yang dapat berdampak negatif pada
kesehatan mereka dan kesehatan anak-anak mereka yang belum lahir diidentifikasi
dalam survei nasional untuk menilai praktik pemberian makan bayi. Antara lain,
mereka melaporkan praktik penyalahgunaan zat. Lebih dari 80% ibu remaja pada tahun
1995 minum alkohol sebelum kehamilan dan 56% minum alkohol selama kehamilan.
Selain itu, dua pertiga ibu remaja merokok sebelum hamil dan hampir setengahnya
merokok selama kehamilan (Foster, 1997).
Kehamilan remaja berdampak negatif pada kesehatan remaja dan bayinya, juga
dapat berdampak sosial dan ekonomi. Kehamilan pada usia muda atau remaja antara
lain berisiko kelahiran prematur, berat badan bayi lahir rendah (BBLR), perdarahan
persalinan, yang dapat meningkatkan kematian ibu dan bayi. Kehamilan pada remaja
juga terkait dengan kehamilan tidak dikehendaki dan aborsi tidak aman. Persalinan
pada ibu di bawah usia 20 tahun memiliki kontribusi dalam tingginya angka kematian
neonatal, bayi, dan balita. Kehamilan pada remaja juga bisa memicu permasalahan
sosial ekonomi. Keluarga yang memiliki status ekonomi kurang mampu dapat
berdampak pada pemenuhan kebutuhan selama kehamilan maupun kelahiran, dengan
begitu remaja yang hamil di luar nikah cenderung memiliki ketergantungan ekonomi
terhadap pasangan yang dapat berujung pada kekerasan rumah tangga (Putri, 2019).
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukan bahwa
angka kematian neonatal, postneonatal, bayi dan balita pada ibu yang berusia kurang
dari 20 tahun lebih tinggi dibandingkan pada ibu usia 20-39 tahun Hasil SDKI 2012
menunjukan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi belum memadai
yang dapat dilihat dengan hanya 35,3% remaja perempuan dan 31,2% remaja laki-laki
usia 15-19 tahun mengetahui bahwa perempuan dapat hamil dengan satu kali
berhubungan seksual (Kemenkes, 2017).

2.5 Tren Aborsi Legal di Beberapa Negara di Seluruh Dunia


Aborsi adalah hal yang masih diperdebatkan status legalnya di beberapa negara
karena menyangkutpautkan aborsi dengan hak asasi manusia (HAM). Beberapa negara
lainnya sudah melegalkan aborsi dengan beberapa alasan. Tren aborsi legal di beberapa
negara telah terekam dalam buku Merrill.
21
Persentase kehamilan yang berakhir dengan aborsi legal sangat bervariasi di
seluruh dunia, dengan tingkat tertinggi di Rusia dan Greenland. Di Rusia dan
Greenland, persentase kehamilan yang berakhir dengan aborsi legal melebihi 50%
dibandingkan dengan Amerika Serikat, yaitu sekitar 23%. Secara historis, persentase
kehamilan yang berakhir dengan aborsi legal di Amerika Serikat mencapai puncaknya
pada akhir 1970-an dan awal 1980-an di atas 30%, tetapi terus menurun sejak saat itu.
Sebaliknya, di Inggris dan Wales persentasenya terus meningkat dalam tiga dekade
terakhir dan sekarang sekitar 22% (Merrill, 2010).

Persentase Kehamilan yang Berakhir dengan Aborsi Legal

22
Pada tahun 2003, terdapat 241 aborsi legal yang dilakukan untuk setiap 1.000
kelahiran hidup, dengan total 848.163 aborsi legal di seluruh negeri. Sebuah studi
nasional tahun 2004 menemukan bahwa 13% ibu menyatakan kekhawatiran terhadap
kesehatan janin mempengaruhi keputusan mereka, sedangkan 12% ibu menyebutkan
kekhawatiran akan kesehatan mereka sendiri sebagai faktor yang mempengaruhi
keputusan mereka untuk melakukan aborsi. Hanya 1% dari sampel yang mengatakan
bahwa mereka adalah korban perkosaan. Sebuah jajak pendapat nasional yang
dilakukan pada bulan September 2008 oleh NBC News dan Wall Street Journal
menemukan bahwa 37% responden, persentase tertinggi yang masuk ke kategori
tunggal, berpendapat bahwa aborsi harus dilakukan ilegal dengan beberapa
pengecualian. Statistik ini menunjukkan bahwa sebagian besar aborsi dilakukan untuk
alasan yang tidak dapat diterima oleh kebanyakan orang Amerika ( NBC, 2008).

2.6 Potensi Tantangan Sosial dan Kesehatan Fisik terkait Aborsi


Banyak asumsi terkait aborsi. Di beberapa negara aborsi tidak diperbolehkan dan
masih dianggap tabu dan dianggap melanggar hukum. Dihadapkan dengan apa yang
oleh beberapa penulis disebut sebagai “stigma sosial” terhadap aborsi, perempuan
memilih untuk mengatasi aborsi dengan berbagai cara. Penelitian menunjukkan bahwa
23
“sumber daya kepribadian yang dibawa seorang wanita ke konteks aborsi membentuk
penilaian kognitifnya tentang aborsi sebelum terjadinya (seberapa mengancamnya dan
seberapa baik dia berharap untuk mengatasinya), yang pada gilirannya membentuk
strategi koping yang dia lakukan setelah aborsi.” Evaluasi ini juga menyimpulkan
bahwa karakteristik tertentu yang tidak dapat diukur seperti harga diri, kontrol yang
dirasakan, dan optimisme memiliki dampak besar pada cara seorang wanita mengatasi
tekanan sosial dan mental yang dialaminya (Merrill, 2010).
Kerangka kerja ini dapat menjelaskan hasil yang bertentangan yang diperoleh dari
penelitian lain yang mencoba mengukur dampak aborsi terhadap kesehatan sosial,
mental, dan fisik wanita. Sebuah studi tahun 1992 menemukan “tidak ada bukti trauma
pasca aborsi yang meluas,” menunjukkan bahwa efek mental aborsi pada kehidupan
selanjutnya dan praktik reproduksi beroperasi semata-mata melalui pengaruhnya pada
kesuburan dan akses ke sumber daya penanggulangan. Sebaliknya, sebuah studi kohort
tahun 2006 menemukan bahwa wanita yang pernah mengalami aborsi menunjukkan
kemungkinan depresi, kecemasan, dan perilaku bunuh diri yang lebih tinggi, yang
merupakan kebalikan langsung dari temuan tahun 1992 (Merrill, 2010).
Jelas bahwa kemampuan perempuan untuk mengatasi tekanan psikologis aborsi
tergantung pada berbagai faktor. Ada kemungkinan bahwa respons ibu juga dapat
bergantung pada dampak fisik aborsi. Penelitian awal menunjukkan bahwa kecuali
infeksi atau konsekuensi abnormal muncul setelah aborsi, aborsi tidak memiliki
pengaruh yang signifikan pada kesuburan kemudian, meskipun risiko kelahiran
prematur pada kehamilan berikutnya mungkin sedikit lebih tinggi untuk wanita yang
pernah melakukan aborsi sebelumnya, tetapi efek ini ditemukan kecil (Merrill, 2010).
Tantangan sosial yang dihadapi dari tindakan aborsi lebih banyak terjadi di
daerah/ negara yang tidak melegalkan aborsi karena dianggap tindakan kriminal dan
melanggar HAM. Orang yang melakukan aborsi akan merasa tertekan dan takut akan
stigma yang melekat di masyarakat.

2.7 Alasan Banyak Negara Masih Mempraktekkan Sunat Perempuan


Sunat perempuan telah menjadi perhatian global karena melanggar hak asasi anak
perempuan dan perempuan, yang mencerminkan ketidaksetaraan yang mengakar di
antara jenis kelamin dan merupakan bentuk ekstrim dari diskriminasi terhadap
perempuan. Menurut WHO (2020), sunat perempuan terdiri dari semua prosedur yang
24
melibatkan pengangkatan sebagian atau keseluruhan alat kelamin perempuan bagian
luar atau cedera lain pada alat kelamin perempuan untuk alasan non-medis. Sedangkan
definisi sunat perempuan menurut Permenkes RI Nomor 1636/Menker/Per/XI/2010
adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai
klitoris. Namun, pada prakteknya terdapat berbagai jenis sunat perempuan yang
berkembang di masyarakat dunia seperti yang diklasifikasikan oleh WHO (2020)
sebagai berikut.
a. Tipe 1 : Menghilangkan bagian permukaan, dengan atau tanpa diikuti
pengangkatan sebagian atau seluruh bagian klitoris (klitoridektomi).
b. Tipe 2 : Pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris dan bagian labia minora atau
kulit di bagian dalam sekeliling vagina (eksisi).
c. Tipe 3 : Pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital luar diikuti
penyempitan lubang vagina dengan memotong, memposisikan labia minora
dan/atau labia mayora, dan menjahitnya dengan atau tanpa melapas klitoris
(infibulasi).
d. Tipe 4 : Semua prosedur menyakitkan dan berbahaya lainnya pada alat kelamin
perempuan seperti menusuk, melubangi klitoris dan atau labia, merenggangkan
klitoris dan atau labia, tindakan memelarkan dengan jalan membakar klitoris atau
jaringan di sekitarnya, atau pemotongan jaringan genital lainnya.
e. Tipe 5 : Merusak jaringan di sekitar lubang vagina atau memotong vagina.
f. Tipe 6 : Memasukkan bahan-bahan yang bersifat merusak atau tumbuh-tumbuhan
ke dalam vagina dengan tujuan menimbulkan pendarahan, menyempitkan vagina,
dan tindakan-tindakan lainnya yang dapat digolongkan dalam definisi di atas.
Sekitar 90% kasus sunat perempuan termasuk dalam tipe 1, 2, atau 4. Sementara
sisanya, yaitu sekitar 10% atau lebih, merupakan sunat perempuan tipe 3.

25
Gambar 1. Berbagai Tipe Praktik Sunat Perempuan
Sumber : https://uksaysnomore.org/fgm/

Diperkirakan lebih dari 200 juta anak perempuan dan perempuan yang hidup saat
ini telah menjadi koban sunat perempuan di 30 negara di Afrika Barat, Timur, dan
Timur Laut, beberapa negara di Timur Tengah dan Asia, serta di antara pada migran
dari wilayah ini. Lebih dari 3 juta anak perempuan hidup dengan risiko mengalami
sunat perempuan setiap tahunnya. Sunat perempuan kebanyakan dilakukan pada
perempuan muda antara masa bayi hingga remaja usia 15 tahun, dan kadang-kadang
pada perempuan dewasa. (Unicef, 2016 dan WHO, 2020).
Menurut PBB, 29 negara di Afrika dan Timur Tengah masih melakukan sunat
perempuan meskipun pada 24 negara di antaranya suda ada peraturan yang melarang
praktik ini. Di negara seperti Inggris, di mana sunat perempuan ilegal, namun praktik
ini semakin sering dilakukan pada bayi dan anak kecil (Ontiveros, BBC 2019).
Prevalensi prosedur sunat perempuan bervariasi tergantung pada wilayahnya. Di Mesir,
Somalia, Ethiopia, Eritrea, dan Sudan, prevalensi berkisar dari 80% hingga 100%; di
Mali, Chad, dan Liberia, prevalensi berkisar dari 51% hingga 79%; 50% di Nigeria dan
Kenya; dan 20% atau kurang di Senegal, Tanzania, Zaire, dan Uganda (Merrill, 2010).
Menurut PBB, sunat perempuan dilakukan di 30 negara Afrika dan Timur Tengah dan
di sejumlah negara di Asia dan Amerika Selatan. (Merrill, 2010)
Berikut ini adalah peta sebaran praktik sunat perempuan yang disusun oleh The
Woman Stats Project pada tahun 2015 dengan menggunakan data PBB dan UNICEF.

26
Gambar 2. Sebaran Praktik Sunat Perempuan di Dunia.
Sumber : https://www.bbc.com/indonesia/majalah-47129228

Penyebab dilakukannya sunat perempuan berasal dari campuran sosial, budaya,


dan agama. Alasan yang paling sering dikutip terkait dengan praktik sunat perempuan
adalah penerimaan masyarakat, agama, pandangan yang salah tentang kebersihan, cara
memelihara keperawanan, dan meningkatkan kenikmatan seksual pria. Pada sejumlah
kebudayaan, sunat perempuan dipandang sebagai bagian dari proses menjadi dewasa
dan dipandang prasyarat pernikahan. (Ontiveros, BBC 2019)
Asumsi yang mendasari masyarakat adalah bahwa perempuan adalah makhluk
yang sangat seksual dan bebas memilih. Oleh karena itu, ada alasan bagus untuk
27
mengontrol atau menghilangkan bagian tubuh yang berkontribusi terhadap pergaulan
bebas. Klitoris dan labia dianggap bagian sekual tubuh yang najis. Penghapusan organ
seksual tersebut melambangkan munculnya seorang wanita yang bersih dan suci. Sunat
perempuan digunakan untuk mencapai cita-cita masyarakat tentang keindahan,
feminitas, dan kesopanan. Penghapusan alat kelamin yang najis juga dipandang sebagai
cara untuk mengurangi libido wanita, sehingga menjamin keperawanannya dan
kesetiaannya kepada suaminya. Masyarakat memandang prosedur sunat perempuan
sebagai inisiasi seorang gadis menjadi perempuan, cara mempersiapkannya untuk
pernikahan, dan metode untuk menjaga kesetiaan perkawinan. Pemimpin agama
berbeda-beda dalam sikap terhadap pemotongan alat kelamin perempuan. Beberapa
pemimpin mendukung praktik tersebut, sedangkan yang lain berusaha untuk
menghilangkannya (Merrill, 2010).
Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia dalam Fatwa tentang Hukum Pelarangan
Khitan terhadap Perempuan menyatakan bahwa khitan terhadap perempuan adalah
makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.
Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syari’ah
karena khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan
syiar Islam. Dalam Fatwa tersebut juga disampaikan bahwa dalam pelaksanaannya,
khitan terhadap perempuan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
 Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput
(jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris.
 Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau
melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar.
Negara pun dalam rangka memberikan perlindungan pada perempuan menerbitkan
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1636/Menkes/Per/XI/2010 tentang Sunat
Perempuan agar pelaksanaan sunat perempuan harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan agama, standar pelayanan, dan standar profesi untuk menjamin keamanan
dan keselamatan perempuan yang disunat. Namun, peraturan ini telah dicabut melalui
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1636/Menkes/Per/XII/2010 Tentang Sunat Perempuan
karena dipandang tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan kebijakan global.

28
2.8 Risiko Kesehatan terkait Sunat Perempuan
Praktik sunat perempuan melanggar hak seseorang atas kesehatan, keamanan dan
integritas fisik, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat, dan hak untuk hidup ketika prosedur tersebut
mengakibatkan kematian (WHO, 2020). Berbeda dengan praktek higienis sunat laki-
laki, sunat perempuan memiliki beberapa konsekuensi negatif kesehatan.
Pada dasarnya ilmu kedokteran tidak pernah mengajarkan praktek sunat untuk
perempuan. Dalam ilmu kedokteran hanya mengenal teori sunat untuk laki-laki yang
disebut teori sirkumsisi. Oleh karena itu, sampai saat ini para ahli medis belum
memiliki standar khusus mengenai cara bagaimana mempraktekkan sunat untuk
perempuan, sehingga muncul banyak pendapat tentang bagian mana organ kewanitaan
yang dipotong dan cara memotongnya (Suraiya, 2019).
Para ahli medis menyarankan agar praktek sunat perempuan dilakukan dalam
pengawasan ilmu kedokteran untuk menghindari bahaya yang ditimbulkan. Menurut
WHO, perempuan yang disunat dapat merasakan dampak berkepanjangan seperti
kehilangan kepekaan yang berakibat kesakitan dalam aktivitas seksual. Dampak yang
selama ini ditimbulkan adalah infeksi vagina, disfungsi seksual, infeksi saluran
kencing, sakit kronis, kemandulan, kista kulit, kompilasi saat melahirkan bahkan
kematian. Untuk melindungi perempuan dari praktik sunat ilegal yang membahayakan
jiwa maupun sistem reproduksinya, salah satu ketentuan dalam Permenkes RI Nomor
1636/Menkes/Per/XI/2010 tentang Sunat Perempuan adalah bahwa sunat perempuan
hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan baik dokter, bidan atau perawat yang
memiliki izin kerja. Tekniknya adalah dengan tindakan menggores kulit yang menutupi
bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris.
Menurut Suraiya (2019), mengutip komentar seorang dokter spesialis anak dan
profesor di Surabaya “Peraturan tersebut dikeluarkan untuk mengatur standar pelayanan
dan standar profesi demi menjamin keamanan serta keselamatan perempuan yang
dikhitan, namun dalam peraturan itu belum menjelaskan lebih rinci mengenai
bagaimana teknis sirkumsisi yang dimaksud, bilamana yang diatur adalah cukup
dengan menggores bagian preputium klitoris maka sebatas manakah itu dilakukan,
sementara ukuran daerah klitoris dari setiap perempuan berbeda-beda. Dalam
prakteknya pihak rumah sakit tidak pernah memberikan aturan dan anjuran untuk
melakukan khitan bagi bayi perempuan, kecuali permintaan dari pihak pasien yang
29
kemudian dipraktekkan penggoresan dengan menggunakan kapas. Kehati-hatian ini
dilakukan karena pada organ kewanitaan itu terdapat pembuluh-pembuluh darah yang
sangat sensitif yang khawatir akan berdampak negatif bagi perempuan, termasuk
hilangnya kenikmatan hubungan suami-istri dan itu termasuk memangkas hak asasi
seorang perempuan.”
Komentar lain yang dikutip Suraiya (2019) dari dokter spesialis kandungan
adalah bahwa “Selama ini dalam dunia kedokteran khususnya spesialisasi kandungan
tidak pernah mengenal sirkumsisi untuk perempuan. Sunat perempuan tidak ada
manfaatnya sama sekali karena di area klitoris itu adalah tempat yang sangat sensitif,
banyak dialiri pembuluh darah dan urat syaraf, sehingga jika ada sentuhan atau tekanan
baik langsung atau tidak langsung akan berpengaruh kepada sensitifitas rangsangan
seksual, maka tidak perlu ada penggoresan apalagi pemotongan. Pada intinya kalangan
ahli tidak mengenal sunat untuk bayi, balita maupun perempuan dewasa dalam bentuk
apapun. Praktek sunat perempuan yang berkembang adalah mengikuti tradisi
masyarakat yang banyak diasumsikan sebagai bagian dari perintah syariat Islam.
Tindakan dalam melayani permintaan masyarakat untuk sunat perempuan adalah
dengan teknik penggoresan atau hanya dengan teknik pengusapan bagian atas klitoris
dengan tujuan untuk membersihkan. Teknik sunat secara simbolik ini dilakukan untuk
menghindari bahaya kerusakan jaringan-jaringan pada organ vital perempuan.”
Pemotongan alat kelamin tidak memiliki manfaat medis bagi perempuan.
Prosedur itu sendiri berbahaya dan sering dilakukan dalam kondisi yang tidak higienis.
Sunat perempuan sering dilakukan oleh tenaga non-medis seperti wanita tua, tabib,
dukun bayi, atau tukang cukur. Instrumen yang digunakan antara lain pisau, silet,
gunting, pecahan kaca, atau instrumen lainnya. Komplikasi yang paling sering terjadi
adalah syok, perdarahan, infeksi, retensi urin, sepsis, dan kematian. (Merrill, 2010)
Berikut ini adalah beberapa risiko kesehatan dari sunat perempuan.
a. Perdarahan
Perdarahan adalah komplikasi yang paling umum, bisa terjadi akibat
terpotongnya pembuluh darah pada klitoris atau pembuluh darah lainnya di sekitar
alat kelamin saat dilakukan prosedur sunat perempuan. Pendarahan berkepanjangan
dapat menyebabkan anemia dan mempengaruhi pertumbuhan anak.
b. Infeksi

30
Infeksi dapat terjadi akibat penggunaan alat yang tidak steril atau alat bekas
pakai. Banyak jenis infeksi yang bisa terjadi akibat prosedur ini. Salah satunya
adalah tetanus yang dapat menyebabkan kematian.
Pada sunat perempuan tipe III, pemotongan dan perubahan letak labia minora
dan labia majora selain sangat menyakitkan dan berbahaya, seringkali juga berisiko
infeksi yang terus berlangsung karena melibatkan jahitan yang meninggalkan
hanya sebuah lubang kecil sebagai saluran cairan menstruasi dan urin.
c. Nyeri
Prosedur sunat perempuan sangat menyakitkan karena jaringan yang dipotong
terdiri dari banyak saraf dan sangat sensitif. Masa penyembuhannya pun juga
menyakitkan. Selain itu, pada kenyataannya infibulasi meninggalkan lubang yang
begitu kecil sehingga perlu digunting untuk membukanya agar dapat melakukan
hubungan seksual atau ketika perempuan melahirkan, sering kali ini menimbulkan
komplikasi yang menyakiti ibu dan bayi.
d. Gangguan berkemih
Perempuan yang menjalani sunat perempuan dapat mengalami gangguan
dalam berkemih, seperti nyeri saat kencing atau bahkan tidak bisa buang air kecil.
Prosedut menjahit pada sunat perempuan akan mengurangi ukuran lubang uretra
dan vagina, yang menyebabkan retensi urin, cairan vagina, dan cairan menstruasi
di dalam jaringan parut. Retensi cairan ini membuat wanita lebih rentan terhadap
infeksi uretra dan vagina kronis. Batu ginjal juga dapat berkembang karena infeksi
saluran kemih kronis.
e. Kista
Sunat perempuan berisiko menyebabkan terbentuknya kista, abses, dan keloid.
f. Infertilitas
Tren menunjukkan peningkatan tingkat infertilitas setinggi 25% hingga 30%
pada perempuan yang disunat.
g. Gangguan dalam berhubungan seks
Merusak jaringan kelamin yang sangat sensitif, terutama klitoris, dapat
menyebabkan penurunan hasrat seksual, nyeri saat berhubungan seks, kesulitan
saat penetrasi penis, penurunan lubrikasi selama bersanggama, dan berkurangnya
atau tidak adanya orgasme (anorgasmia).
h. Gangguan dalam persalinan
31
Perempuan juga mengalami komplikasi dalam persalinan dan kelahiran.
Akibat jalan lahir yang mengecil, sunat perempuan, terutama pada tipe 3, dapat
menyebabkan persalinan menjadi sulit, robekan pada jalan lahir, perdarahan post
partum, dan persalinan yang lama hingga mengancam nyawa ibu maupun bayi.
Perempuan yang disunat memiliki tingkat operasi caesar yang lebih tinggi dan
kehilangan darah pascapersalinan yang lebih tinggi, dan tingkat robekan perineum
yang lebih tinggi dibandingkan perempuan tidak disunat.
Melahirkan sangat berisiko untuk perempuan yang diinfibulasi (tipe III). Jika
deinfibulasi tidak dilakukan, kontraksi persalinan yang kuat dikombinasikan
dengan keluarnya kepala janin menyebabkan robekan perineum pada ibu. Jika
kontraksi lemah dan kelahiran janin tertunda, kematian anak dan nekrosis janin
dapat terjadi, yang menyebabkan infeksi dan inkontinensia ibu.
i. Komplikasi pada bayi baru lahir dari perempuan yang disunat
Sebuah studi multinegara yang dilakukan oleh WHO menunjukkan efek
samping dari sunat perempuan pada bayi baru lahir. Penelitian juga menyimpulkan
bahwa angka keseluruhan bayi yang membutuhkan resusitasi segera setelah lahir
meningkat pada ibu yang disunat. Tingkat kematian bayi selama dan segera setelah
kelahiran juga lebih tinggi pada perempuan yang disunat. Perempuan yang disunat
dengan tipe I memiliki tingkat kematian bayi 15% lebih tinggi, 32% lebih tinggi
untuk tipe II, dan 55% lebih tinggi untuk sunat tipe III.
j. Gangguan kesehatan mental
Sunat perempuan dapat membuat wanita yang menjalaninya mengalami
trauma psikis dan depresi. Jika berkelanjutan, gangguan mental ini bahkan dapat
menimbulkan keinginan untuk bunuh diri.
k. Meningkatkan kematian ibu dan bayi
Risiko tambahan sunat perempuan pada kesehatan ibu dan anak menjadi
perhatian khusus karena negara-negara di mana sunat perempuan dilakukan sudah
memiliki latar belakang angka kematian ibu dan bayi yang tinggi. Risiko dari
kematian ibu adalah 1 dari 35 di Ghana dan 1 dari 12 di Burkina Faso. Perkiraan
angka kematian perinatal bayi adalah 44 untuk setiap 1.000 kelahiran di Sudan dan
88 untuk setiap 1.000 kelahiran di Nigeria (Merrill, 2010).

32
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

1. Kebiasaan sosial memiliki dampak yang luas pada kesehatan ibu dan anak. Norma sosial
mempengaruhi tingkat perkawinan, usia perkawinan dan kehamilan, dan keluarga
berencana, yang semuanya dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan anak.
2. Terjadi penurunan pernikahan dan peningkatan co-habitation di seluruh Amerika Serikat,
Eropa, dan di tempat lain. Persentase kelahiran wanita yang belum menikah meningkat di
Amerika Serikat, Eropa, dan di tempat lain.
3. Anak yang lahir dari ibu yang tidak menikah cenderung mengalami ketidakstabilan
dalam pengaturan hidup mereka, kemiskinan, dan status sosial ekonomi, mencapai
tingkat pendidikan yang lebih rendah, terlibat dalam hubungan seksual di usia awal, dan
melahirkan di luar nikah.
4. Ada hubungan positif antara pernikahan dan kesehatan fisik dan mental.
5. Remaja hamil memiliki risiko lebih tinggi terkena anemia dan preeklampsia dan
kematian ibu dan tingkat depresi yang lebih tinggi.
6. Persentase kehamilan yang berakhir dengan aborsi legal bervariasi di seluruh dunia,
dengan lebih dari 50% terjadi di Rusia dan Greenland dan sekitar 23% di Amerika
Serikat, Inggris, dan Wales.
7. Kemampuan perempuan untuk mengatasi tekanan psikologis aborsi tergantung pada
berbagai faktor, termasuk dampak fisik dari aborsi.
8. Saat ini ada 200 juta wanita di seluruh dunia yang telah mengalami sunat perempuan,
dengan prevalensi prosedur tergantung pada wilayah. Di Mesir, Somalia, Ethiopia,
Eritrea, dan Sudan, prevalensi berkisar dari 80% hingga 100%; di Mali, Chad, dan
Liberia, prevalensi berkisar antara 51% hingga 79%; 50% di Nigeria dan Kenya; dan
20% atau kurang di Senegal, Tanzania, Zaire, dan Uganda. WHO memperkirakan bahwa
sekitar 3 juta anak perempuan hidup dengan risiko sunat perempuan setiap tahun.
9. Alasan pemotongan alat kelamin perempuan berasal dari campuran sosial, budaya, dan
akar agama tetapi tidak memiliki manfaat medis bagi perempuan. Prosedurnya sendiri
berbahaya dan sering dilakukan dalam kondisi yang tidak sehat. Tren menunjukkan
peningkatan tingkat infertilitas setinggi 25% hingga 30% pada wanita yang disunat,
komplikasi dalam persalinan dan kelahiran, dan tingkat yang lebih tinggi dari operasi
caesar dan kehilangan darah pascapersalinan yang lebih tinggi.
33
DAFTAR PUSTAKA

Foster K, Lader D, Cheesborough S. 1997. Infant Feeding Survey 1995. London: The
Stationary Office.
Kemenkes. 2017. Inilah Risiko Hamil di Usia Remaja. Biro Komunikasi dan Pelayanan
Masyarakat. https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20170930/5823163/inilah-
risiko-hamil-usia-remaja/

Merrill, Ray M. 2010. Reproductive Epidemiology : Principles and Methods. USA : Jones
and Bartlett Publishers, LLC.

Majelis Ulama Indonesia. 2008. Fatwa tentang Hukum Pelarangan Khitan terhadap
Perempuan. Jakarta : Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.

NBC News/Wall Street Journal Poll. 2008. Abortion and birth control. Available at:
http://www.pollingreport.com/abortion.htm. Retrieved October 14, 2008.

Ontiveros, Eva. 2019. Sunat Perempuan : Di Mana Saja Dilakukan dan Mengapa Masih
Dipraktikkan?. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-47129228 pada
tanggal 15 November 2021.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1636/Menkes/Per/XI/2010 tentang


Sunat Perempuan.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pencabutan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1636/Menkes/Per/XII/2010
tentang Sunat Perempuan.

Suraiya, Ratna. 2019. Sunat Perempuan dalam Perspektif Sejarah, Medis, dan Hukum Islam
(Respon Terhadap Pencabutan Aturan Larangan Sunat Perempuan di Indonesia).
CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman Volume 5, Nomor 1, Juni 2019.

Terry-Humen E, Manlove J, Moore KA. 2001. Births outside of marriage: perceptions vs.
reality. In Child Trends Research Brief. Washington, DC: Child Trends. Available at:
http://www.childtrends.org/Files/rb_032601.pdf. Accessed February 26, 2009.

UNICEF. 2016. Female Genital Mutilation/Cutting : A Global Concern. New York : Unicef.

WHO. 2020. Female Genital Mutilation. Diakses dari https://www.who.int/news-room/fact-


sheets/detail/female-genital-mutilation pada tanggal 15 November 2021.

https://uksaysnomore.org/fgm/ diakses tanggal 15 November 2021.

https://www.alodokter.com/lebih-mengenal-sunat-perempuan-dan-dampaknya-bagi-
kesehatan diakses tanggal 15 November 2021.

34
35

Anda mungkin juga menyukai