Anda di halaman 1dari 18

Dinamika Penularan HIV

Disusun untuk memenuhi Tugas Kelompok mata kuliah PMS dan HIV/AIDS
Dosen Pengampu : Dr. dr. Toha Muhaimin, MSc

DISUSUN OLEH:

Kelompok 3
Dini Agustini 2106776590
Prila Khairunnisa 2106776994
Vahlufi Eka Putri 2106677331

PROGRAM PASCASARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2022
TINJAUAN PUSTAKA

1. Jenis-jenis Media/Cairan Tubuh Tempat HIV


Menurut CDC (2021), cairan tubuh yang terdapat pada penderita HIV yang mampu
menularkan HIV diantaranya adalah darah, semen, pre-seminal fluid (pre-cum), cairan anus,
cairan vagina dan air susu ibu (ASI). Cairan tersebut harus kontak atau bersentuhan dengan
membran mukosa atau jaringan yang rusak atau diinjeksi langsung melalui aliran darah (jarum
suntik) untuk terjadi penularan. Membran mukosa atau selaput lendir dapat ditemukan di dalam
rektum, vagina, penis dan mulut. HIV tidak dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk, kutu,
serangga, air liur, keringat, air mata, berjabat tangan, toilet umum, berbagi alat makan atau
bersosialisasi dengan mereka pengidap HIV (CDC, 2021).
Media lain sebagai penularan HIV dapat melalui penggunaan jarum suntik yang tidak
steril, alat tindik telinga atau piercing, alat tato atau alat tusuk lain yang sudah tercemar HIV
dan melalui transfusi darah yang mengandung HIV. Penularan HIV dari ibu hamil ke janin
dapat melalui plasenta, melalui darah dan cairan pada saat melahirkan bayi dan melalui ASI
ketika menyusui. Efektifitas penularan HIV dari berbagai media adalah sebagai berikut :
1. Transfusi → >90%
2. Perinatal → 25-45%
3. Seksual → 0.1-1%
4. Injection Drug Use (IDU) → 0.5-1%
Pada transmisi selama masa perinatal :
1. Dalam kandungan → 5-10% terutama pada trimester III
2. Waktu persalinan → 10-20%
3. Waktu menyusui dan nifas → 10-15% (Ardhiyanti, 2015)

2. Jenis-jenis Penularan HIV


Bagian sistem kekebalan tubuh manusia yang diserang oleh HIV adalah sel darah putih
(leukosit). Penularan HIV dipengaruhi terutama oleh jumlah virus (viral load) yang ada di
dalam cairan tubuh. Setiap orang yang terinfeksi HIV mempunyai potensi untuk menularkan
HIV, meskipun viral loadnya tidak terdeteksi (<50 turunan virus/mm3). Semakin tinggi viral
load semakin besar potensi penularannya. Di samping itu ada faktor-faktor lain yang juga
berpengaruh seperti frekuensi hubungan, kekebalan tubuh dan lain-lain.
Jumlah virus dalam tubuh orang dengan HIV atau AIDS juga tidak menetap. Pada fase
awal (stadium I), jumlah virus cukup banyak, sedangkan saat tubuh mulai membentuk antibodi
jumlah virus akan menurun dalam darah. Jumlah virus akan menjadi relatif stabil pada Stadium
II, HIV positif tanpa gejala, dan akhirnya akan semakin tinggi pada Stadium III dan IV (AIDS).
HIV dan AIDS tidak dapat ditularkan melalui kontak fisik biasa (di tempat kerja,
tempat umum), kontak intim biasa (berjabat tangan, bersentuhan), makanan dan minuman, dan
transmisi tidak langsung seperti gigitan serangga, batuk/bersin, atau menggunakan fasilitas
umum seperti kolam renang dan toilet. Beberapa cara penularan HIV, diantaranya:
1) Hubungan seksual
Hubungan seksual adalah cara yang paling umum terjadi. Lebih mudah terjadi penularan
bila terdapat lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes
genitalis, sifilis, gonorrhea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis.Penularan (transmisi)
HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan
preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut
pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan
seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko
hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat
masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum
meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan
sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
Perilaku seks pada pengguna NAPZA suntik dicurigai menjadi penyebab menyebarnya
HIV dari pengguna NAPZA suntik ke masyarakat umum. Felton dari Rusia melaporkan
pengguna NAPZA suntik yang sering berbagi jarum suntik juga melakukan hubungan seks
tidak terlindungi dan mempunyai banyak pasangan seks, di Irlandia melaporkan lebih dari
50% pengguna NAPZA suntik tidak pernah menggunakan kondom dalam berhubungan
seks dengan pasangan tetapnya dan 32,6% tidak pernah menggunakan kondom ketika
berhubungan seks dengan pasangan tidak tetapnya dan sebagian besar pasangan tersebut
bukan pengguna NAPZA suntik.
2) Alat suntik yang terkontaminasi
Meningkat tajamnya prevalensi HIV pada pengguna NAPZA suntik disebabkan oleh
penggunaan jarum dan alat suntik yang tidak steril ditambah dengan praktek penyuntikan
berkelompok. Penelitian di beberapa negara mendapatkan perilaku kelompok ini sangat
rentan tertular HIV dan penyakit lain melalui penggunaan jarum suntik secara bergantian
tanpa melakukan sterilisasi yang memadai. Survei pengguna NAPZA suntik di DKI Jakarta
tahun 2000 memperlihatkan bahwa lebih dari 50% penyuntikan dilakukan secara
berkelompok sebanyak 2 – 10 pengguna. Sebagian besar menggunakan jarum suntik dan
semprit secara bergantian. Sterilisasi alat dan jarum suntik tidak dilakukan dengan baik,
sebagian besar melaporkan hanya menggunakan air dingin untuk membersihkan alat dan
jarum suntik bekas pakai.Selain itu, penularan HIV melalui jarum suntik yang terinfeksi
dapat terjadi pada Tenaga kesehatan yang mengalami kecelakan kerja seperti tertusuk
jarum suntik dari pasien yang terinfeksi HIV. Tenaga kesehatan memiliki resiko yang
tinggi terinfeksi virus HIV dari pajanan jarum suntik. Berdasarkan kegiatan tenaga
kesehatan, pemasangan infus memiliki resiko tertinggi terkena pajanan dan diikuti oleh
tindakan pengambilan sampel darah. Petugas kesehatan yang rawan terhadap penularan
AIDS adalah teknisi bank darah, teknisi dialisis, petugas kamar gawat darurat, petugas
kamar mayat, dokter gigi, dokter bedah dan petugas laboratorium
3) Dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya
Jumlah penderita HIV/ AIDS perempuan semakin bertambah seiring dengan meningkatnya
penularan pada perilaku seksual tidak aman pada laki-laki yang kemudian menularkan HIV
kepada pasangan seksualnya. Selain itu, penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV
kepada bayinya cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan
yang terinfeksi HIV. Penularan HIV dari ibu ke anak dapat terjadi pada saat kehamilan,
persalinan, dan menyusui. Sehingga tanpa pengobatan yang tepat dan dini, separuh dari
anak yang terinfeksi HIV akan meninggal sebelum ulang tahun kedua (Kemenkes, 2014).
Dampak HIV dan AIDS terhadap Ibu dan Bayi adalah menyebabkan Kesakitan dan
Kematian pada Ibu hamil, bersalin dan Nifas dan bayi baru lahir. Kemudian lebih dari 90%
bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan virus ini pada janin, dapat
terjadi dengan beberapa cara yaitu:
a. Melewati plasenta
b. Kontaminasi dengan darah dan tinja Ibu pada waktu persalinan
c. Kontak langsung bayi baru lahir dengan Ibunya
d. Melewati Air Susu Ibu, pada masa laktasi.
Diagnosa HIV pada bayi yang lahir dari ibu yang positif HIV sangat penting. Ada beberapa
petunjuk untuk diagnosis HIV pada bayi antara lain melihat gejala klinis dan respon imun
terhadap HIV, dan mendeteksi ada nya virus. Meskipun deteksi gejala klinis HIV pada bayi
kadang sulit, namun akan tampak defisiensi imun berat dan adanya penyakit infeksi
penyerta yang disebabkan oleh mikroba.
4) Paparan darah atau produk darah yang terinfeksi
Resiko tertular HIV melalui darah yang terkontaminasi HIV lebih dari 90%. Oleh sebab
itu setiap orang yang menerima transfusi darah berhak mendapatkan darah yang bebas dari
HIV. Laporan Kegiatan Pelayanan Darah oleh PMI (Palang Merah Indonesia) pada tahun
2016, terdapat 2 dari 10.000 orang yang terinfeksi HIV setelah melakukan transfusi darah.
Menurut dokumen Mukernas Palang Merah Indonesia Tahun 2014 No. 5 tentang Laporan
Kegiatan Pelayanan Darah PMI tahun 2013 bahwa hasil data uji saring Infeksi Menular
Lewat Transfusi Darah (IMLTD) tahun 2013 di Unit Donor Darah (UDD) PMI di
Indonesia adalah 480 reaktif HIV. Metode pemeriksaan yang dipergunakan adalah rapid
test, ELISA, dan nucleic acid amplification technology (NAAT). Sesuai Peraturan Menkes
RI No. 83 Tahun 2014 Pasal 2 ayat 1, Unit Transfusi Darah (UTD) hanya boleh
diselenggarakan oleh pemerintah atau PMI. Berdasarkan atas tingkatan dan kemampuan
pelayanan UTD Kabupaten/ Kota memiliki kemampuan melakukan uji saring darah
terhadap IMLTD pada darah donor dengan ELISA dan rapid test. Hasil tes HIV terhadap
darah donor sendiri tergantung pula pada masa jendela (window period). Berdasarkan atas
tingkatan dan kemampuan pelayanan Unit Transfusi Darah (UTD) Kabupaten/ Kota
memiliki kemampuan melakukan uji saring darah terhadap Infeksi Menular Lewat
Transfusi Darah (IMLTD) pada darah donor dengan ELISA dan rapid test. Walaupun
seseorang sudah tertular HIV tetapi dalam rentang waktu enam bulan sejak tertular antibodi
di dalam darahnya belum bisa dideteksi melalui tes HIV. Kadang didapatkan positif dan
negatif palsu apabila skrining dilakukan dengan rapid test atau reagent ELISA. Negatif
palsu adalah hasil tes yang menunjukkan non reaktif, tapi tidak berarti darah bebas HIV
karena bisa saja darah tersebut diambil pada masa jendela (tertular dibawah tiga bulan) dan
belum menghasilkan antibodi. HIV sudah ada di dalam darah tapi belum terdeteksi. Tes
HIV dengan rapid test dan ELISA bukan mencari virus (HIV) di dalam darah, tapi mencari
antibodi HIV di dalam darah. Antibodi HIV ini kadang baru bisa dideteksi oleh rapid test
dan ELISA setelah HIV berada di dalam tubuh selama tiga bulan. Sedangkan positif palsu
adalah hasil tes yang menunjukkan reaktif, tapi HIV tidak ada di dalam darah. Ini bisa
terjadi karena rapid test dan ELISA mendeteksi 11 virus lain yang dianggapnya antibodi
HIV. Infeksi HIV pada transfusi dapat dihindari melalui skrining ulang pra transfusi
sehingga darah yang ditransfusikan benar-benar layak untuk transfusi. Untuk itu perlu,
adanya langkah preventif untuk melengkapi perangkat aktivitas transfusi darah yaitu
melalui alat uji saring Nucleic Acid Test (NAT). Yaitu teknologi uji saring yang mampu
mendeteksi keberadaan deoxyribonucleic acid (DNA) virus dengan masa jendela yang
lebih pendek untuk meningkatkan keamanan darah secara signifikan. Teknologi ini sensitif
mendeteksi keberadaan DNA atau RNA virus sehingga dapat melindungi pasien dari
infeksi tertular penyakit. Selain itu diperlukan kejujuran pendonor. Salah satu cara untuk
mengetahui perilaku donor adalah melalui kuesioner atau daftar pertanyaan.
5) Transplantasi organ atau jaringan yang terinfeksi
Transplantasi organ adalah terapi terbaik dan paling hemat biaya untuk pasien dengan
kegagalan organ stadium akhir. Meskipun perbaikan dalam hasil pasca transplantasi
melalui penyempurnaan dalam manajemen perioperatif dan teknik bedah, angka kematian
daftar tunggu tetap tinggi. Karena jumlah donor jauh lebih rendah daripada calon penerima,
penggunaan cangkok kriteria yang diperluas telah meningkat. Mengikuti strategi
pengobatan yang disesuaikan dengan pasien, program transplantasi bertujuan untuk
menawarkan cangkok yang paling cocok untuk kepentingan penerima individu, sementara
juga memperluas kriteria untuk penerimaan dan alokasi organ. HIV dapat ditularkan dari
seseorang yang terinfeksi kepada yang lainnya melalui transplantasi organ tubuh.
Meskipun demikian, hal ini dapat diminimalisasi dengan adanya skrining yang baik
sebelum semua proses tersebut dilakukan, terutama terhadap kontak membran mukosa (air
mata) dengan darah atau cairan.
3. Efektivitas Penularan Per Eksposure
Populasi terinfeksi HIV terbesar di dunia adalah di benua Afrika (25,7 juta orang),
kemudian di Asia Tenggara (3,8 juta), dan di Amerika (3,5 juta). Sedangkan yang terendah
ada di Pasifik Barat sebanyak 1,9 juta orang.

Gambar 1. Data HIV/AIDS dunia

Gambar 2.
Distribusi Penderita HIV Baru
Berdasarkan Populasi Berisiko Secara Global (2018)
Gambar 3.
Peningkatan Risiko Tertular HIV
diantara Populasi Berisiko di Dunia Tahun 2018

Kasus HIV pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987. Sampai dengan
tahun 2012, kasus HIV/AIDS telah tersebar di 345 dari 497 (69,4%) kabupaten/ kota di seluruh
provinsi Indonesia. Jumlah kasus HIV baru setiap tahunnya telah mencapai sekitar 20.000
kasus. Pada tahun 2012 tercatat 21.511 kasus baru, yang 57,1 % di antaranya berusia 20-39
tahun. Sumber penularan tertinggi (58,7%) terjadi melalui hubungan seksual tidak aman pada
pasangan heteroseksual. Pada tahun 2012 tercatat kasus AIDS terbesar pada kelompok ibu
rumah tangga (18,1%) yang apabila hamil berpotensi menularkan infeksi HIV ke bayinya.
Pada tahun 2012 pula, dari 43.624 ibu hamil yang melakukan konseling dan tes HIV terdapat
1.329 (3,05%) ibu dengan infeksi HIV. Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu
HIV positif. Penularan tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan selama
menyusui.
Berdasarkan World Health Organization (WHO) dalam tahun 2019, didapatkan 78%
HIV pada regional AsiaPasifik dengan populasi faktor resiko Lelaki Seks Lelaki (LSL) pada
peringkat ke-2 secara global dengan persentase sebesar 25,2% (Kemenkes, 2020). LSL
menyumbang mencapai 57% di Eropa Barat, 42% pada Amerika Latin dan Karibia, 21% di
Asia Pasifik dan pada 25 negara persentase HIV pada lelaki seks lelaki mencapai 15%
(UNAIDS, 2017, 2018). Indonesia dilaporkan dengan tingkat prevalensi tertinggi sebesar
25.8%, diikuti Malaysia 21.8%, dan Australia 18.3%(amfAR, 2019).
Penemuan Kasus HIV s.d. Desember 2021
a. Jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan Desember 2021
cenderung meningkat setiap tahun. Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan sampai
dengan Desember 2021 sebanyak 456.453.

Gambar 4. Jumlah kasus HIV 2005-2021


b. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (70,6 %),
diikuti kelompok umur 20-24 tahun (15,8%), dan kelompok umur ≥ 50 tahun (7,1%). (data
tersedia sejak tahun 2010). Persentase kasus HIV pada laki-laki sebesar 63% dan
perempuan sebesar 37% dengan rasio laki-laki dan perempuan adalah 13:8 (data tersedia
sejak tahun 2008).

Gambar 5. Persentase infeksi HIV 2008-2021


c. Persentase HIV ditemukan berdasarkan transmisi masing-masing secara heteroseksual
28,9%; homoseksual 18,2%; dan penggunaan jarum suntik bergantian 3,9% (data tersedia
sejak tahun 2010).

Gambar 6. Persentase HIV berdasarkan transmisi 2010-2021

Gambar 7. Persentase HIV berdasarkan transmisi 2012-2021


d. Lima provinsi dengan jumlah kasus HIV tertinggi s.d Desember 2021 adalah DKI Jakarta
(73.442), diikuti Jawa Timur (68.112), Jawa Barat (49.435), Jawa Tengah (42.012), Papua
(40.277)

Gambar 8. ODHIV Ditemukan s.d Des 2021


Target dan Capaian Persentase ODHA on ART Tahun 2020-2024

Gambar 9. Target dan Capaian Persentase ODHA on ART Tahun 2020-2024

Dari grafik diatas terlihat bahwa, capaian indikator tahun 2020 tidak berjalan sesuai dengan
yang ditargetkan karena adanya pandemi COVID-19 tetapi pada tahun 2021 akan dilakukan
akselerasi percepatan pencapaian sehingga diharapkan target tahun 2021-2024 berjalan on
track. Dari data cascading HIV dan ART sampai Desember 2020 menunjukkan target ODHA
on ART tahun 2020 sebesar 40%, berdasarkan data SIHA online bulan Desember tahun 2020,
jumlah estimasi ODHA tahun 2020 sebanyak 543.100 orang, jumlah ODHA yang ditemukan
sebanyak 418.961 orang (77%) dimana sebanyak 316.191 (58%) ODHA masih hidup dan
ODHA yang meninggal sebanyak 102.770 orang. Jumlah ODHA on ART sebanyak 142.871
orang (26,3%) dan Loss to Follow Up (LFU) sebanyak 65.772 orang (12%) dan yang stop
pengobatan sebanyak 6.914 orang (1.27%). Untuk ODHA yang diperiksa viral load sebanyak
31.624 orang dan yang virusnya tersupresi sebanyak 27.303 orang (86,3%). Tingginya angka
LFU ini dipengaruhi beberapa faktor antara lain akses layanan pengobatan, jam operasional
layanan kesehatan, ODHA merasa sudah sehat, dan adanya kebosanan ODHA untuk menelan
ARV. Setiap tahun angka ini dapat disesuaikan dengan data cascade yang dicatat dan
dilaporkan dalam SIHA. Upaya pencegahan dan pengendalian HIV akan berdampak pada
penurunan angka kesakitan yang dapat diukur melalui insidensi, prevalensi dan angka
kematian akibat AIDS. Secara lengkap dalam grafik berikut ini:

Gambar 10. Cascade HIV dan ART sampai Desember 2020

Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak Risiko penularan HIV dari ibu ke anak tanpa upaya
pencegahan atau intervensi berkisar antara 20-50%. Dengan pelayanan pencegahan penularan
HIV dari ibu ke anak yang baik, risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%.
Pada masa kehamilan, plasenta melindungi janin dari infeksi HIV; namun bila terjadi
peradangan, infeksi atau kerusakan barier plasenta, HIV bisa menembus plasenta, sehingga
terjadi penularan dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak lebih sering terjadi pada
saat persalinan dan masa menyusui.
Gambar 11. Bayi Lahir Hidup dari Ibu HIV

Tabel 1. Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak


Tabel 2. Faktor Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi

Tabel 3. Penentuan Status Epidemi HIV

Kebijakan untuk melakukan tes HIV didasarkan pada kategori epidemi tersebut dan karena
upaya pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan, maka tes sifilis pun mengikuti kebijakan
yang sama.
a. Daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk semua ibu
hamil bersamaan dengan pemeriksaan rutin lainnya pada layanan antenatal terpadu, di
setiap kunjungan, mulai kunjungan pertama (K1) hingga menjelang persalinan.
b. Daerah epidemi rendah: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk ibu hamil dengan indikasi
adanya perilaku berisiko, keluhan/gejala IMS atau infeksi oportunistik (khususnya TB),
bersama pemeriksaan rutin lainnya pada layanan antenatal terpadu, di setiap kunjungan
mulai kunjungan pertama (K1) hingga menjelang persalinan.
Tabel 4. Keuntungan dan Kerugian Jenis Persalinan

Peran Dan Efektivitas Profilaksis PraPajanan


Selama pandemi COVID-19 ini, di Amerika terbukti LSL yang telah menggunakan
PPrP mendapatkan hasil HIV negatif sebanyak 10-21% (Mitchell et al., 2021). Di Inggris, PPrP
tergolong efektif secara kegunaan maupun secara biaya (European Centre for Disease
Prevention and Control, 2021). Pada 164 sampel di Central Savannah River Area (CSRA),
PPrP didapatkan 80,5% peserta sadar akan penggunaan PPrP, 16,4% sudah berdiskusi dengan
konselor dan 9,2% sudah menggunakan PPrP (Griffin, Eldridge-Smith, Yohannan, &
Stepleman, 2020). Di Cina, jika PPrP terbukti berfungsi, penggunaan PPrP akan diterima
sebanyak 75,34% (Si et al., 2020).
Menurut UNAIDS 2020, peningkatan penggunaan PPrP dibutuhkan untuk mencegah
HIV lebih lanjut dan tingkat keefektifan PPrP dipengaruhi dengan bagaimana kepatuhan,
ketekunan, dan cara pemakaian(Bavinton & Grulich, 2021). Pada sebuah studi menunjukkan
penggunaan PPrP efektif dalam menurunkan risiko HIV pada hubungan seks antar lelaki
(Traeger et al., 2018). Toksisitas dari PPrP cenderung rendah serta memiliki efektifitas yang
baik, terutama bila penggunaannya menggunakannya secara tepat sehingga berguna bagi
pengguna yang melakukan seks antar lelaki (Hillis, Germain, Hope, McVeigh, & Van Hout,
2020)
WHO merekomendasikan penggunaan profilaksis pra-pajanan secara oral ditambahkan
sebagai pilihan pencegahan pada risiko infeksi HIV pada September 2015 dengan lebih 57
negara berpenghasilan rendah dan menengah memasukkan PPrP ke dalam pedoman HIV
nasional dan penyediaan PPrP pada 34 negara. Dilaporkan penggunaan PPrP pada beberapa
negara meningkat setiap tahunnya terutama pada perempuan pekerja seks dan lelaki seks lelaki
Berdasarkan uji coba secara acak didapatkan PPrP oral yang mengandung tenofovir
dapat menjadi pilihan preventif tambahan pada infeksi HIV. Penggunaan PPrP tidak dapat
menggantikan pencegahan yang telah ada seperti program penggunaan kondom(WHO, 2020).
Implementasi PPrP pada LSL diperkirakan dapat mencapai tujuan sebagai strategi nasional
HIV/AIDS dan rencana pengakhiran epidemi untuk mengurangi infeksi serta memperluas
akses layanan pencegahan HIV/AIDS(Mauck et al., 2020).
Modalitas PPrP sangat efektif dalam pencegahan HIV yang berpotensi menguntungkan
individu yang berisiko tertular HIV dan mengurangi penularan HIV di populasi. Penggunaan
PPrP ditujukan kepada orang yang belum terinfeksi HIV dimana dapat menurunkan resiko
hingga 99% sedangkan terdapat istilah Treatment as Prevention(TasP) yang ditujukan pada
orang yang terinfeksi HIV yang menunjukan dengan viral load < 200 kopi selama > 6 bulan
tidak dapat menularkan virus terhadap pasangannya (Heendeniya & Bogoch, 2019). PPrP juga
dapat digunakan untuk mengurangi kompensasi risiko pada hubungan seks anal tanpa kondom
dengan infeksi menular seksual lainnya(Mayer et al., 2016)
Daftar Pustaka

Achsan, M. (2014). Insidensi Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD) di Unit Donor
Darah PMI Kota Semarang. Medica Hospitalia: Journal of Clinical Medicine, 2(2).

Andina Candra Dewi M, N. A. (2021). HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU HAMIL DENGAN


KEPATUHAN PEMERIKSAAN TRIPLE ELIMINASI DI UNIT PELAKSANA TEKNIS
DAERAH PUSKESMAS I MENDOYO TAHUN 2021 (Doctoral dissertation, Jurusan
Kebidanan 2021)

Ardhiyanti, Yulrina. 2015. Bahan Ajar AIDS Pada Asuhan Kebidanan. Yogyakarta; Deepublish
Publisher. Tersedia di :
https://books.google.co.id/books?id=CD9yDwAAQBAJ&pg=PT6&dq=media+penularan
+HIV&hl=en&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_search&sa=X&ved=2ah
UKEwir3uaMrrf6AhU3BrcAHS4RB1kQ6AF6BAgKEAM#v=onepage&q&f=true

BADUI, P. S. (2020). PENULARAN PENYAKIT HIV/AIDS MELALUI TRANSFUSI DARAH.

Besral, B. U., & Zani, A. P. (2004). Potensi penyebaran HIV dari pengguna NAPZA suntik ke
masyarakat umum. Jurnal Makara Kesehatan, 8(2).

Centers for Diseasse Control and Prevention (CDC). 2021. HIV. Tersedia di
:https://www.cdc.gov/hiv/basics/hiv-transmission/body-fluids.html

Gandhi Kristi1 2021. PENEMUAN KASUS PENYAKIT MENULAR DI INDONESIA


SELAMA 2020-2021: KAJIAN LITERATUR 1gandhi.kristi@ui.ac.id Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia

Husein, P., Purnama, A., & Rovigis, R. (2015). Informasi Dasar dan Penanganan HIV dan AIDS.
Jurnal Ledalero, 14(2), 217-239.

Kemenkes RI. 2015.Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Ibu dan Anak Kesehatan RI. 2015 ISBN
978-602-235-869-5 : Jakarta

Kemenkes, R. I. 2020. Infodatin HIV AIDS. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI.2020.Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Tahun 2020: Jakarta

Kemenkes.RI 2021. Laporan TW4 HIV AIDS 2021. Jakarta

Pratiwi, N. L., & Basuki, H. (2011). Hubungan Karakteristik Remaja Terkait Risiko Penularan
Hiv-Aids Dan Perilaku Seks Tidak Aman Diindonesia. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan, 14(4), 20975.
Ratu Matahari, S.K.M., M.A., M.Kes Fitriana Putri Utami, S.K.M., M.Kes. 2018.BAHAN AJAR
KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL :
YOGYAKARTA

Shaw, G. M., & Hunter, E. (2012). HIV transmission. Cold Spring Harbor perspectives in
medicine, 2(11), a006965.

Tjahyanto, Teddy dkk. 2022. PROFILAKSIS PRA-PAJANAN (PPrP) HIV/AIDS PADA


LELAKI SEKS LELAKI Volume 6, Nomor 1, April 2022 ISSN 2623-1581 (Online) ISSN
2623-1573 (Print) PREPOTIF Jurnal Kesehatan Masyarakat Page 341 Universitas
Tarumanagara : Jakarta

Tupan, T. (1996). PENULARAN DAN PENCEGAHAN AIDS Dl INDONESIA. BACA: JURNAL


DOKUMENTASI DAN INFORMASI, 21(5), 2-8.

WHO HIV update, Global Summary Web, World Health Organization, 2019

Anda mungkin juga menyukai