Seminggu yang lalu saya sempat menyaksikan sebuah film dokumenter berjudul “Belakang Hotel”?
yang dibuat oleh Watch Doc dan beberapa lembaga swadaya di Jogjakarta. Film ini mengangkat
cerita fenomena baru yang tumbuh di tengah masyarakat yang kehilangan sumber air bersih mereka
karena maraknya pembangunan hotel di Jogjakarta.
Jadi ceritanya di sebuah daerah bernama Miliran, warga perlahan-lahan mulai kesulitan air bersih.
Sumur mereka yang sejak turun temurun tidak pernah alpa menyediakan air bersih tiba-tiba kering
kerontang setelah di lingkungan mereka berdiri sebuah hotel yang menjulang. Derita warga Miliran
juga dirasakan warga di tempat lain yang sama-sama kesulitan air bersih akibat akupansi hotel.
Jumlah hotel yang berkembang pesat di Jogjakarta ditengarai sebagai penyebab hilangnya air bersih
milik warga. Hotel yang tentu juga butuh banyak air bersih yang menyerap tuntas air-air yang
sebelumnya jadi milik warga. Dengan kekuatan modal yang besar hotel menyediakan pompa yang
saking rakusnya sampai bisa mengeringkan sumur warga.
Sehabis menonton film ini terlintas pertanyaan dalam benak saya: bagaimana dengan Makassar?
Pesatnya Hotel Di Makassar.
Makassar sedang dilanda demam hotel. Menurut laporan yang saya kutip dari lamaUjungpandang
Express, perkembangan hotel tahun 2014 mencapai angka 70%. Data dari PHRI (Perhimpunan Hotel
dan Restoran Indonesia) Makassar menyebutkan kalau tahun 2013 jumlah hotel yang tercatat adalah
128 hotel. Jumlah itu bertambah pesat, dalam kurun Januari sampai Juli 2014 saja sudah ada 50 hotel
baru yang dibangun. Sementara itu sepanjang tahun 2014 masih ada 20 hotel lagi yang sementara
masih dalam proses pembangunan.
Kadang saya juga mengernyitkan dahi ketika ada teman dari luar Makassar yang hendak datang dan
menyebutkan hotel tempat tinggalnya. Biasanya dari situ saya baru sadar kalau ternyata di satu
daerah ada hotel baru lagi.
Pertumbuhan hotel yang sangat pesat ini ternyata juga mengkhawatirkan pengusaha hotel. Idealnya
perkembangan hotel dalam satu tahun berada di angka 20%-25%, jadi kalau sampai mencapai angka
70% dalam setahun rasanya memang berlebihan. Apalagi angka pertumbuhan ini tidak dibarengi
dengan dukungan dari pemerintah daerah untuk menggenjot sektor wisata yang jadi salah satu
pemasukan utama bagi pengusaha hotel.
Eh lebih parah lagi karena pemerintah yang baru ini sudah menegaskan agar pemerintah daerah
menghindari melaksanakan kegiatan yang dilakukan di hotel-hotel. Padahal kita tahu sendiri, di
bulan-bulan berakhiran BER hotel selalu penuh dengan spanduk bertuliskan; sosialisasi ini-itu,
pelatihan ini-itu, pembekalan ini-itu yang diadakan oleh dinas-dinas pemerintahan sebagai bagian
dari usaha menghabiskan anggaran tahunan.
Nah kalau mereka sudah dilarang menggelar acara di hotel bisa dibayangkan berapa banyak potensi
kerugian hotel-hotel itu. Makanya berhembus kabar kalau beberapa hotel sudah siap melakukan
pengurangan karyawan karena kesulitan mereka mengejar target. Di banyak hotel juga saya dapati
spanduk-spanduk promosi potongan harga yang saya tafsirkan sebagai usaha menarik pelanggan di
bulan-bulan ketika kunjungan wisatawan sedang menurun dan orang pemerintahan sedang malas
menggelar pelatihan atau meeting-meeting di hotel.
Akankah Menjadi Bom Waktu?
Oke, saya kembali ke soal film dokumenter yang sudah saya tonton itu. Hotel tentu butuh sumber air
yang besar untuk memanjakan tamu-tamunya dan rasanya agak riskan kalau mereka mengandalkan
PDAM untuk menyediakan air bersih bagi mereka. Bisa-bisa mereka akan bangkrut lebih cepat.
Salah satu cara yang lebih hemat dan praktis adalah menghisap air tanah dengan mesin pompa yang
besar. Dari sini masalah baru bisa timbul. Untuk sebuah hotel besar dengan kamar yang ratusan maka
kebutuhan airnya juga besar, pompa yang dibutuhkan juga besar dan tentu saja mereka akan jadi
sangat rakus.
Kerakusan menghisap air tanah ini bisa jadi bencana buat warga sekitar yang selama ini juga
mengandalkan air tanah sebagai sumber air bersih mereka. Sekaya-kayanya warga, mereka pasti
hanya menggunakan mesin pompa biasa yang kekuatannya jauh di bawah pompa air milik hotel.
Ibaratnya mobil angkot dipaksa bertanding melawan Ferrari di jalanan mulus, kita pasti tahulah siapa
yang jadi juara.
Di Jogja hal seperti ini sudah terjadi. Warga kesulitan air bersih, sesuatu yang tidak pernah mereka
rasakan sebelum ada hotel yang berdiri di sekitar lingkungan mereka.
Bagaimana dengan Makassar? Saya belum pernah mendengar langsung keluhan warga di sekitar
hotel. Beberapa teman bilang kalau bisa saja fenomena ini belum terjadi karena sebagian warga di
sekitar hotel masih mengandalkan air bersih dari PDAM. Tapi ada juga teman yang mengaku sudah
menemukan gejala timbulnya masalah air bersih akibat pesatnya perkembangan hotel di Makassar.
Memang butuh penelitian lebih lanjut untuk melihat dampak lingkungan dari pembangunan hotel
yang marak akhir-akhir ini di Makassar.
Tapi sebelum ada penelitian lebih lanjut itu saya tetap menganggap masalah hotel yang tumbuh pesat
ini bisa jadi bom waktu untuk kota Makassar. Masalahnya bukan hanya di soal lingkungan saja, tapi
bisa juga merembet ke persoalan lainnya yang sama luasnya. Dari sisi ekonomi, kalau pemerintah
kota tidak memberikan dukungan berarti maka bisa saja pertumbuhan hotel ini tidak akan diikuti oleh
tingkat hunian yang memadai.
Di bagian lain, hotel yang dibangun tanpa AMDAL dan IMB yang sesuai aturan juga bisa
menimbulkan masalah di bagian tata kota. Hal yang paling sederhana adalah soal kemacetan dan
kesemrawutan yang sudah kerap terjadi ketika sebuah hotel tanpa tempat parkir yang layak jadi tuan
rumah untuk sebuah acara.
Mudah-mudahan saja pihak yang lebih punya kuasa itu sadar, membangun hotel dengan hanya
mengandalkan nafsu semata benar-benar bisa jadi bom waktu yang suatu hari nanti akan meledak
dan bisa menelan korban. Dan korban yang paling potensial adalah warga yang kadang tidak punya
kuasa. [dG]
AJARONLINE,MAKASSAR — Tahun ini aturan moratorium hotel mulai diberlakukan. Pemerintah kota
Makassar tidak lagi melayani izin pembangunan hotel baru. Terakhir sebelum Desember 2014.
Wali Kota Makassar, Moh Ramdhan Pomanto mengatakan, pesatnya pertumbuhan hotel mengakibatkan
bisnis mulai bersaing ketat. Jangan sampai ada unsur saling mematikan usaha dalam hal penawaran
harga. Akibatnya bisnis bisa saling menganggu.
Untuk itu, kata dia, perlu ada moratorium untuk membatasi pertumbuhan hotel. “Meskipun Perwalinya
belum keluar, ini sudah mulai diberlakukan. Yang jelas dalam waktu dekat kita akan tetapkan aturan ini.
Saya sudah sampaikan izin hotel batasannya sejak Desember 2014 lalu,” jelas Danny kepada FAJAR,
kemarin.(ful-hik/zul)
Sekretris Daerah (Sekda) Kota Makassar, Ibrahim Saleh mengatakan surat edaran ini demi
memberikan acuan kepada SKPD karena berdasarkan surat edaran menteri pendayagunaan
aparatur negara dan reformasi birokrsi (Menpan-RB) nomor 11 tahun 2014 tentang larangan PNS
meeting di hotel belum terinci.
“Kami akan buatkan lagi surat edaran untuk dibagikan ke pimpinan SKPD yang secara rinci dan
teknis. Seperti yang dimaksud dengan kegitan dilakukan dikantor itu bagaimana,” ujar Ibrahim Saleh
saat ditemui diruang kerjanya, di Menara Balaikota Lantai 9, Kamis (22/1).
Mantan kepala badan perencanaan pembangunan daerah (Bappeda) Kota Makassar tersebut
mengatakan dengan adanya surat edaran ini diharapkan nantinya SKPD tidak ragu lagi bertindak.
“Sehingga teman-teman jangan ragu bertindak, kedua jangan merasa dia bersalah dan yang ketiga
jangan jadi bulan-bulanan auditor. Karena itu (surat edaran Menpan – RB) masih bisa dilakukan
intrepertasi yang berbeda,” ujarnya.
Surat edaran ini, nantinya akan ditanda tangani wali kota Makassar, Moh Ramdhan Pomanto
sebelum dijalankan. Karena berdasarkan edaran Menpan RB dituliskan hanya pembatasan kegiatan
di hotel.
“Tetap kita lakukan dihotel apabila, kegiatan yang dilakukan itu tidak memiliki fasilitas yang cukup
dikantor. Maka dimungkinkn dilaksnakan diluar dalam hal ini di hotel,” jelas Ibrahim.
Didalam surat edaran acuan, Ibrahim mencontohkan tetap mengacu pada efisiensi anggaran.
Seperti setiap peserta maksimal Rp 140 ribu/orang. “Antara Rp 90 – 140 ribu/orang. Ini sudah kita
tekan seminimal mungkin. Jadi mungkin hotel-hotel kelas melati saja yang bisa digunakan. Kalau
berbintang kan tidak cukup, karena estimasi biayanya bisa mencapai Rp 300 / orang,” tuturnya.
“Itu sudah efesien. Biaya itu sudah termasuk Satu kali makan dan Dua kali snack dihotel. Tidak ada
nginap,” tambahnya.
Lebih lanjut Ibrahim mengeritik kebijakan saat ini terkait kegiatan diluar kota. Pasalnya saat ini tidak
ada lagi akomodasi untuk peserta, justru ditanggung masing-masing daerah.