Anda di halaman 1dari 3

MEMAHAMI LUKA BATIN*

Bayangkan Anda seorang anak kecil berusia delapan tahun, di panas terik berjalan kaki cukup
jauh pulang sendiri dari sekolah. Anda kesepian, kelelahan, dan kehausan. Begitu sampai rumah
Anda berlari masuk, menarik gelas dari meja makan, tanpa sengaja menjatuhkannya.

Ayah atau ibu kaget, menghampiri dengan tubuh tegang. Bukannya menunjukkan kekhawatiran,
mereka mulai memaki-maki. Mengguncang dan memukul Anda: ”Dasar goblok. Anak tidak tahu
diuntung! Selalu bikin masalah. Itu gelas bagus tahu?! Hari ini kamu dihukum tidak dapat makan
siang!!” Mungkin Anda sangat ketakutan, tegang, dan bingung, sementara badan terasa sakit
akibat pukulan.

Dengan gerakan kacau, Anda mulai memunguti pecahan gelas, mungkin begitu paniknya
sehingga tangan tertusuk dan berdarah. Ayah atau ibu sama sekali tak peduli, tegak berdiri penuh
kebencian.

Luka akibat tertusuk pecahan kaca mungkin sembuh dalam waktu singkat, tetapi luka batin? Bila
mengalami hal di atas, mungkin kita akan menghayati begitu banyak perasaan negatif: takut,
bingung, kesepian, sedih, marah, dan menyesali diri, merasa bodoh, tak berdaya, mungkin juga
sangat marah dan benci kepada orangtua yang telah berlaku tidak adil. Kita juga akan merasa
sangat malu karena orangtua melakukan hal begitu buruk dan karena kita diperlakukan demikian
buruk.

Trauma psikologis adalah suatu kejadian yang menghadapkan kita pada ancaman genting
yang overwhelming, berdampak pada tergoncangnya keseimbangan. Ketika itu terjadi, kapasitas
menyelesaikan masalah dari otak kehilangan kemampuan mengendalikan situasi. Kekagetan dan
ketakutannya dapat sangat melumpuhkan, apalagi bila dibarengi sakit fisik.

Luka batin akibat perlakuan orang terdekat sering lebih menghancurkan. Apalagi bila itu terjadi
berulang.
Psikoanalisis mampu menjelaskan rinci betapa perlakuan buruk dari orang terdekat sejak masa
awal kehidupan dapat menghantui hingga masa dewasa. Luka batin yang tak terobati mungkin
menghancurkan kepercayaan kita kepada orang lain. Luka batin juga sering menghancurkan
kepercayaan kita kepada diri sendiri (”Apakah aku cukup baik untuk dicintai?; ”Adakah yang
sungguh-sungguh peduli kepadaku?”)

Luka batin mencerabut jangkar psikologis atau akar terdalam dari rasa aman manusia.
Bagaimana orang merespons luka batinnya?

Tergantung karakteristik kepribadian, sosialisasi yang diterima, dan keseluruhan konteks


hidupnya. Rasa marah mungkin terbawa hingga dewasa. Sikap menghukum dari orangtua
diadopsi dalam bentuk mudahnya individu marah dan menghukum pasangan hidup atau anak.
Atau rasa tidak aman yang kuat menyebabkan kita membentengi diri akibat takut dilukai.

Ada yang jadi sinis, punya kebutuhan berlebihan tak pernah terpuaskan akan seks, kekuasaan,
prestise, dan lainnya. Intinya, hal-hal itu menjadi kompensasi ketidakyakinan kita sungguh-
sungguh pribadi berharga dan patut dicintai.

Luka batin dalam komunitas juga berdampak bervariasi. Proses psikologis seperti generalisasi
dan pembakuan stereotipe dapat menggulirkan ribuan masalah lebih lanjut.

Pengalaman buruk langsung maupun tak langsung (yang dilihat dan didengar) dengan kelompok
tertentu (polisi, perempuan, guru, orang kaya, individu dengan karakteristik fisik tertentu) dapat
mengental dalam ingatan dan berpengaruh terhadap perilaku kita.

Membangun kebahagiaan

Berikut cuplikan surat seorang gadis, sebut saja Cinta, di Jakarta, yang penuh luka batin akibat
tindakan orangtua sejak masa kecil dia.

”Mbak, aku melakukan kesalahan lagi. Ibuku tadi marah-marah ke tukang yang sedang
merenovasi rumah. Aku takut mereka dendam kepada Ibu dan malah kenapa-kenapa, jadi Ibu ku
tenangkan. Eh, malah aku dimarahi habis-habisan. Katanya aku sok tahu, sok mengatur, durhaka.
Mama teriak-teriak, lempar barang hampir kena ke kepalaku. Aku dituduh sengaja bikin Mama
jadi stres supaya Mama masuk rumah sakit jiwa…. Aku tertekan banget, aku nangis berjam-jam.
Kalau sudah begini, aku jadi ingin menghubungi lagi mantan pacarku. Tetapi, jangan khawatir
Mbak, aku tahu itu bukan penyelesaian yang baik. Jadi, aku mau tidur dulu saja. Capekkkk.”
(Dia baru putus pacaran dengan laki-laki beristri dan mulai menyadari hubungan tersebut tidak
memberi manfaat apa pun bagi dia).

Dalam surat lain, dia menulis: ”Mbak, aku tidak mau jadi orang yang sama seperti ayah-ibuku
yang penuh kepahitan dan menyakiti anak-anaknya. Aku sakit hati sekali kepada mamaku,
sampai sekarang belum bisa ku hilangkan. Aku tahu sumber kekacauan emosi ibuku: ia bertahan
hidup 32 tahun dengan suami kasar, sering menghina dan main tangan. Tadi ku dengar ayah
maki-maki ibuku: ’Goblok kamu, anjing, mampus!’ Aku ingin menyayangi diriku sendiri. Pakai
ukuranku sendiri dalam memahami diri sendiri, bukan ukuran orang lain, bukan ukuran mamaku
atau papaku yang menganggap aku kurang pintar, kurang membanggakan, kurang cantik, kurang
kaya, dan entah apa lagi.”

Ia akan terus bertahan di bidang kerjanya yang tidak disukai orangtua karena gajinya tidak
sebanyak yang mereka harapkan. Ia juga akan melihat sisi-sisi positif dirinya, tidak dirontokkan
komentar menyakitkan orangtua (”Kalau kamu gayanya begitu, enggak akan ada cowok mau.
Paling yang datang orang-orang goblok, tukang porot, yang mau ambil duit kamu!”). Meski sulit,
Cinta sedang berusaha keras membangun rasa cinta kepada diri sendiri dan tampaknya akan
berhasil.

Bagaimanapun, mencegah jauh lebih mudah daripada mengobati. Bayangkan bila anak yang
memecahkan gelas secara tak sengaja itu dihampiri orangtuanya yang khawatir, kemudian
memeluknya, menenangkan, dan membantu membersihkan pecahan kaca. Ketakutan dan
kekagetan anak akan berganti dengan kelegaan, perasaan terlindungi, terbasuh kasih sayang.

Kristi Poerwandari (Psikolog)

*Artikel ini pernah dimuat di Kompas.com, 19/10/2008

Anda mungkin juga menyukai