Anda di halaman 1dari 17

LP3S

DoakuKepada Mu
Bagian 114

Renungan Harian untuk SLTP dan SLTA


Edisi 24 Mei – 5 Juni 2021
Doaku KepadaMu
Renungan Harian Untuk SLTP dan SLTA

Bagian 114
Edisi 24 Mei – 5 Juni 2021

Penulis:
~ Tim Banas DK

Editor:
~ Espe

Setting:
~ Desy

Untuk berlangganan hubungi:


Novita, LP3S, Jl. Soekarno-Hatta 10, Telp. (0298) 326366
Salatiga 50731
E-mail: lp3ksinode@gmail.com
089523256830

Diterbitkan oleh:
Lembaga Perencanaan dan Pembinaan Pendidikan
Sinode Gereja Kristen Jawa Indonesia (LP3S)

Tahun 2021
Kata Pengantar

Ravi Zacharias menulis sebuah buku menarik. Judulnya, The Grand Weaver:
How God Shapes Us Through the Events of Our Lives” Kurang lebih, itu bisa
diterjemahkan “Sang Penenun Agung: Bagaimana Tuhan membentuk Kita
Melalui Beragam Peristiwa dalam Hidup Kita”.
Melalui buku itu, Ravi menandaskan bahwa Tuhan tidak tinggal diam.
Ia memiliki rencana yang indah dalam hidup kita. Untuk mewujudkan
rencananya itu, Ia bekerja layaknya seorang penenun. Tapi, Ia bukan
sembarang penenun. Ia Sang Penenun Agung. Penenun yang begitu hebat
dalam menenun kehidupan setiap orang. Ia menenunnya dengan
menggunakan semua peristiwa dalam hidup kita.
Yang menarik, Ia tidak bekerja sendirian. Melainkan, Ia melibatkan
semua orang untuk ikut berperan serta. Karena itu, kita tak boleh menjalani
hidup sesuka hati. Sebab, berbagai hal yang kita lakukan, itu bisa menjadi
bagian dari karya Sang Penenun Agung itu. Baik itu karya-Nya untuk diri kita,
maupun untuk orang lain.
Buku renungan ini mengajak pembaca, khususnya kaum muda, untuk
menyadari karya Sang Penenun Agung itu. Baik itu melalui pengalaman diri
sendiri maupun pengalaman orang lain. Baik itu pengalaman kekinian
maupun masa lampau. Baik itu pengalaman jasmani maupun rohani. Itu
semua direfleksikan dalam terang Alkitab. Jadi, buku kecil ini mengajak
pembaca untuk membiasakan diri merenungkan kehidupan sesehari sebagai
kesempatan ikut serta bekerja bersama Sang Penenun Agung. Melalui hal itu,
kiranya kaum muda terbantu dalam tumbuh kembang menjadi pribadi yang
tidak sembarangan dalam menjalani hidup.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak dan rekan-rekan
yang telah terlibat dalam penyediaan naskah, penyiapan dan pendistribusian
buku renungan ini. Jerih lelah merekalah yang membuat buku kecil ini bisa
sampai di hadapan pembaca. Selamat menggunakan buku ini. Kiranya nama
Tuhan dimuliakan. Selamat menaati protocol kesehatan. Salam sehat dan
semangat!

Salatiga, Mei 2021


Pengurus LP3S
MARI MENJADI PENULIS RENUNGAN !

Apakah Anda tertarik untuk menulis renungan? Kami mengundang


Anda untuk menjadi penulis naskah renungan untuk siswa.
Renungan yang dimuat akan mendapatkan HONORARIUM. Apabila
Anda berminat, silakan mengirimkan formulir di bawah ini bersama
satu contoh renungan. Selanjutnya, para penulis yang naskahnya
kami nilai laik, akan kami hubungi. Selamat bergabung dengan
kami.*)

FORMULIR PENULIS RH

Nama : ………………………………………………………
Alamat : ………………………………………………………
………………………………………………………
No. Telepon/HP : ………………………………………………………
Pekerjaan : ………………………………………………………
………………………………………………………

…..………….…, ……….. 20….

___________________
(..……………………………………)

*) Bisa dikirim melalui e-mail, lp3ksinode@gmail.com


Senin, 24 Mei 2021
Bacaan: Galatia 6: 11-18
Nas: ayat 17

“Selanjutnya janganlah ada orang yang


menyusahkan aku, karena pada tubuhku
ada tanda-tanda milik Yesus.”

S eorang teman menunjukkan bekas luka pada salah satu tangannya


akibat kecelakaan. Walaupun kejadian itu sudah lama, tetapi
tangannya masih sering terasa sakit. Bekas luka itu memang mengurangi
kekuatan tangannya. Tetapi ia mengatakan, “Biarlah luka itu menjadi
tanda bahwa saya pernah mengalami kecelakaan. Tanda itu akan selalu
mengingatkan agar saya selalu berhati-hati ketika melakukan apa saja.”
Dalam Firman yang kita baca hari ini, Paulus mengatakan bahwa ia
memiliki “tanda-tanda”. Lemparan batu, pukulan dan sakit-penyakit
yang dialami Paulus, meninggalkan goresan-goresan yang menandakan
ia adalah pelayan Tuhan yang satia (II Kor 11: 25; 12: 7; Gal 4: 13, 14).
Tentu, kita belum sampai pada pengalaman seperti Paulus. Kita
tidak mengalami luka sebagai akibat melakukan berbagai perbuatan
baik. Walaupun demikian, ketika kita melakukan perbuatan baik, sering
kali menghadapi tantangan. Apalagi, manakala ada orang yang tak suka
terhadap kita. Akibatnya, bisa jadi kita dicela, dikucilkan, dihina,
diintimidasi, dituduh sok suci, diancam, dll.
Bila itu terjadi, tak perlu merasa takut atau malu. Di tengah
kecenderungan gaya hidup “semau gue” sekarang ini, memang
semestinya kita tak ikut-ikutan. Kita harus berani tampil beda.
Konsekuensinya, mungkin kita akan dicela, dijauhi, dikucilkan, dll. Kita
pun mengalami “luka batin”. Tapi, sesungguhnya itu adalah tanda-tanda
yang membuktikan bahwa kita setia kepada Tuhan. Jika demikian,
semestinya itu membuat kita merasa bangga, bukannya merasa takut
ataupun malu!

Doa: Tuhan, kuatkan kami. Di tengah kecenderungan gaya hidup “semau


gue” sekarang ini, mampukan kami tidak ikut arus. Melainkan, kami
membiasakan diri belajar setia kepada-Mu dan berani tampil beda,
Amin.

Doaku Kepada-Mu Halaman 1


Selasa, 25 Mei 2021
Bacaan: Amsal 3: 5-18
Nas: ayat 11

“Hai anakku, janganlah engkau menolak


didikan Tuhan, dan janganlah engkau
bosan akan peringatan-Nya.”

K abanyakan kita sulit menerima kritik. Kita cenderung


menyangkalnya dan memberikan pembenaran-pembenaran
untuk membela diri sendiri. Kebanyakan kita tidak siap untuk dikoreksi.
Kita cenderung menganggap diri selalu benar, dan menganggap orang
lain salah. Meski begitu, umumnya kita tidak mengakui bahwa kita
memiliki kecenderungan seperti itu.
Begitulah, kita senang bersandar pada pengertian-pengertian
sendiri. Itu menjadikan kita tidak mau menerima masukan, koreksi dan
kritik dari orang lain. Ada banyak orang yang malahan merasa benci
kalau mereka dikoreksi. Mereka berusaha mati-matian bertahan pada
sikap, keyakinan, atau keputusannya yang keliru. Tampaknya, memang
tak mudah untuk lapang dada menerima koreksi dari orang lain.
Melalui firman hari ini, Salomo mengingatkan kita. Kita diajak un-
tuk membiasakan diri tidak bersandar pada pada pengertian sendiri
(Amsal 3: 5). Maksudnya, kita diajak untuk tidak mengeraskan hati atau
menutup diri terhadap perbaikan-perbaikan. Itulah sebabnya, ayat 6-7
mengajak kita, “Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan
meluruskan jalanmu. Janganlah menganggap dirimu bijak.”
Mari kita tidak menutup diri, melainkan membiasakan diri belajar
bersikap rendah hati dan terbuka. Kita belajar membiasakan diri bersedia
menerima perbaikan dan koreksi dari orang lain. Baik itu berupa peringatan
dari orang tua, nasihat guru, saran teman dekat, maupun kritik dari
orang lain. Sebab, itu semua dipakai Tuhan untuk mendidik kita.

Doa: Tuhan, jauhkan kami dari sikap suka menutup diri. Mampukan kami
menerima teguran-Mu, berupa perbaikan dan koreksi dari orang-
orang di sekitar kami. Baik itu peringatan dari orang tua, nasihat
guru, saran teman dekat, maupun kritik dari orang lain. Amin.

Halaman 2 Doaku Kepada-Mu


Rabu, 26 Mei 2021
Bacaan: Filipi 3:14
Nas: ayat 14 a

“..aku melupakan apa yang telah di


belakangku dan mengarahkan diri kepada
apa yang di hadapanku...”

K adang Rosa suka mengingat masa lalu. Mungkin kalian pun begitu.
Tapi, Rosa tidak suka bernostalgia. Rosa tidak suka melarikan diri
dari masa kini. Bila mengenang masa lalu, ia lebih suka menjadikannya
sebagai “guru”. Maksudnya, masa lalu, ia jadikan sarana untuk belajar
agar menjadi lebih baik; bukan untuk melarikan diri dari tantangan
masa kini.
Bicara tentang masa lalu, orang-orang Ibrani kuno cenderung
memuja masa lalu. Padahal, mereka memiliki masa lalu yang buruk. Pada
masa lalu, mereka hidup sebagai budak di Mesir. Mereka hidup sangat
menderita. Mereka tidak menikmati kemerdekaan hidup. Mereka
dipaksa bekerja tanpa ada kesejahteraan. Lantas, Tuhan membebaskan
mereka. Dalam perjalanan keluar dari Mesir mereka mengalami banyak
kesulitan. Karena itu, mereka menginginkan kembali ke Mesir, hidup
sabagai budak. Bahkan mereka meragukan pertolongan Tuhan.
Memang, masa lalu kadang terasa indah. Sementara itu, masa
sekarang bisa jadi terasa sulit dan menjengkelkan. Namun, semestinya
itu tidak membuat kita menyesali masa kini. Sikap menyesali masa kini
hanya akan membuat kita cengeng. Akibatnya, kita tidak berani menghadapi
kenyataan hidup. Bahkan, bisa juga itu membuat kita menyalahkan Tuhan.
Mengenang masa lalu, kadang perlu. Tapi, pastikan, bahwa itu
bukan untuk lari dari kenyataan masa kini. Mengenang masa lalu itu bisa
berguna. Syaratnya, itu kita jadikan sebagai guru. Yaitu, sarana belajar agar
kita lebih siap menghadapi berbagai tantangan masa kini dan masa depan.

Doa: Tuhan, mampukan kami membiasakan diri bersikap benar


terhadap masa lalu. Yaitu, menjadikannya sarana belajar untuk
menghadapi berbagai tantangan masa kini dan masa depan, Amin.

Doaku Kepada-Mu Halaman 3


Kamis, 27 Mei 2021
Bacaan: I Korintus 9: 24-27
Nas: ayat 27

“Tiap-tiap orang yang turut mengambil


bagian dalam pertandingan menguasai
dirinya dalam segala hal...untuk
memperoleh mahkota yang abadi.”

A da seorang atlet bulutangkis nasional yang sering disebut sebagi


pemain jenius. Ia memiliki pukulan-pukulan unik dan sulit
diantisipasi lawan. Cara ia memegang raket juga berbeda dari
kebanyakan pemain lainnya. Kelemahan dia adalah kondisi fisiknya
kadang kurang prima. Hal itu karena ia kurang mendisiplin diri dalam
latihan. Itulah sebabnya ia pernah tidak dikirim ke beberapa kejuaraan
internasional.
Disiplin diri memang merupakan modal penting seorang atlet.
Disiplin dalam latihan, akan membuat seorang atlet memiliki kekuatan
fisik. Begitu pula, itu akan membuatnya memiliki teknik permainan yang
makin baik. Memang, seorang atlet harus memiliki disiplin diri. Hanya
dengan cara itu ia bisa meraih puncak prestasi. Sebaliknya, tanpa
disiplin diri, prestasi hanya akan berhenti sebagai mimpi belaka.
Menurut Paulus, hidup ini ibarat pertandingan. Karena itu, kita
mesti memiliki disiplin diri. Hanya dengan cara itu kita akan memeroleh
kemenangan hidup. Yaitu: mampu menjalani hidup secara bermutu.
Artinya, hidup kita tidak asal-asalan. Melainkan, hidup ini kita jalankan
dengan standar di atas rata-rata. Karena itu, Paulus mengajak kita untuk
berdisiplin melatih diri. Ia memberikan teladan, “Aku melatih tubuhku
dan menguasai seluruhnya” (I Kor. 9: 27).
Jika kita ingin menjadi pemenang dalam hidup, haruslah belajar
mendisiplin diri. Sehingga, kita bisa menguasai diri seluruhnya. Hidup
macam itu tidak mudah. Tapi, itu pasti bermutu. Karena bermutu,
pastilah itu membuat kita bahagia dan orang lain terinspirasi.

Doa: Tuhan, jauhkan kami dari cara hidup asal-asalan. Mampukan kami
membiasakan diri belajar mendisiplin diri. Sehingga, kami memiliki
hidup yang bermutu, membahagiakan, dan inspiratif, Amin.

Halaman 4 Doaku Kepada-Mu


Jum’at, 28 Mei 2021
Bacaan: Matius 5: 38-48
Nas: ayat 39

“Tetapi aku berkata kepadamu, “Janganlah


kamu melawan orang yang berbuat jahat
kepadamu, melainkan siapa pun yang
menampar pipi kananmu, berilah juga
kepadanya pipi kirimu.”

A lbert pernah mempunyai dendam kepada Dadang. Sebab, Dadang


telah bertindak tidak adil kepadanya. Albert tidak bisa
melupakannya, walaupun kejadian itu sudah lama berselang. Albert
masih berharap suatu saat nanti ia bisa membalaskan dendam kepada
Dadang. Sehingga Dadang merasakan apa yang pernah Albert rasakan.
Bahkan, Albert ingin sekali membalasnya dengan tindakan yang lebih
menyakitkan. “Bukankah pembalasan memang harus lebih kejam
daripada perbuatan?” begitu pikir Albert.
Akan tetapi firman Tuhan justru meminta Albert demikian: “siapa
pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.”
Jelas, itu sangat bertentangan dengan apa yang ia pikirkan. Karena itu,
Albert pun bertanya: Bagaimana mungkin saya harus memberikan pipi kiri
kepada orang yang telah menampar pipi kanan saya? Sungguh tak masuk akal.
Namun, setelah merenungkan lebih dalam Firman Tuhan itu,
Albert bisa mengerti maksud-Nya. Tuhan tidak bermaksud agar ia
membiarkan begitu saja orang lain menyakitinya. Melainkan, Tuhan
meminta agar nafsu balas dendam tidak menguasai hati dan pikiran
Albert. Pendek kata, Albert harus memiliki semangat untuk memaafkan,
bukan balas dendam.
Memang, kita sulit melupakan tindakan tidak baik yang dilakukan
oleh orang lain terhadap kita. Tetapi, kita bisa memaafkannya. Itulah
satu-satunya cara untuk mencapai kedamaian hidup kembali.

Doa: Tuhan, jauhkan kami dari rasa dendam. Mampukan kami


memaafkan orang yang telah berbuat tidak baik kepada kami.
Demikian pula, mampukan kami meminta maaf ketika kami
melakukan kesalahan, Amin.

Doaku Kepada-Mu Halaman 5


Sabtu, 29 Mei 2021
Bacaan: I Samuel 1
Nas: ayat 15 dan 16

Hana menjawab, “Bukan tuanku, aku seorang


perempuan yang sangat bersusah hati....
melainkan aku mencurahkan isi hatiku di
hadapan Tuhan. Janganlah anggap hambamu
ini seorang perempuan dursila...”

M artabat dan harga diri umumnya dianggap penting. Sikap


seseorang bisa berubah dengan tiba-tiba bila martabat dan
harga dirinya terusik. Perubahan itu bisa positif atau negatif. Hal itu
tergantung pada perlakuan terhadap martabat dan harga dirinya. Bila
martabat dan harga diri itu dihina, umumnya orang bereaksi negatif.
Sebaliknya, bila martabat dan harga diri itu dihargai, umumnya orang
bereaksi positif.
Demi menjaga martabat dan harga diri itu, setiap orang berusaha
tampil baik dan menarik. Dengan penampilan seperti itu, maka rasa
percaya dirinya semakin kuat dan harga dirinya semakin tinggi. Namun
bagaimana kalau ada sesuatu yang dirasakan kurang pada dirinya?
Bagaimana pula kalau dirinya dihina, diejek atas dasar kekurangan itu?
Rasanya, bila martabat dan harga dirinya dilecehkan orang lain, jarang
sekali orang bisa tinggal diam.
Tapi, tidak demikian halnya dengan Hana. Dalam bacaan Kitab
Suci hari ini dinyatakan, bahwa Hana mampu menguasai diri. Meskipun
martabat dan harga dirinya dilecehkan, ia tidak bereaksi negatif. Ia tidak
lepas kendali. Sebaliknya, ia bisa menanggapinya secara positif. Ia tetap
mampu bertindak bijaksana. Itu karena, ia memiliki hubungan sangat
baik dengan Tuhan. Begitulah semestinya kita: mampu tetap bertindak
bijaksana meskipun martabat dan harga diri dilecehkan orang lain. Mari,
kita belajar untuk mampu menguasai diri.

Doa: Tuhan, mampukan kami belajar membiasakan diri bersikap seperti


Hana. Ketika martabat dan harga diri dilecehkan orang, kami tidak
bereaksi negatif dan tetap mampu bertindak bijaksana, Amin.

Halaman 6 Doaku Kepada-Mu


Senin, 31 Mei 2021
Bacaan: Ayub 16: 1-16
Nas: ayat 1-3a

“Tetapi Ayub menjawab: “Hal seperti itu


telah acap kali kudengar. Penghibur sialan
kamu semua! Belum habiskah omong
kosong itu?”

R eni mempunyai seorang teman yang cukup menjengkelkan.


Sebab, temannya itu suka bercerita tentang keadaannya sendiri.
Ia suka bercerita tentang kehebatannya. Ia juga suka bercerita tentang
masalah-masalahnya. Tapi, ia tidak pernah mau mendengarkan cerita
dan keluh kesah orang lain. Maka wajar kalau banyak teman yang tak
suka dengannya. Sebab, ia enggan mendengarkan cerita orang lain.
Padahal, kesediaan untuk mendengar itu penting. Itu bisa menjadi
sarana efektif untuk menolong orang lain. Terutama, menolong orang-
orang yang sedang memiliki banyak masalah. Mereka membutuhkan
kesediaan kita untuk mendengarkan keluh kesahnya.
Dalam bacaan hari ini kita belajar dari kisah Ayub. Dikisahkan, Ayub
sedang terpuruk. Anehnya, teman-teman Ayub lebih suka mengkotbahi
daripada mendengarkan masalah Ayub. Sehingga Ayub menyebut mereka
“penghibur sialan” (Ayub 16: 2), dan dengan putus asa Ayub berteriak, “Ah
sekiranya ada yang mendengarkan aku” (Ayub 31:35 ).
Kesediaan mendengarkan merupakan salah satu cara yang baik
untuk mengasihi orang lain. Dengan bersedia mendengar, berarti kita
menyediakan diri untuk memahami mereka. Sikap demikian akan
menghibur mereka yang sedang dirundung kesedihan.
Kesediaan untuk mendengar orang lain, juga merupakan bukti
dari perhatian kita kepada Tuhan. Sebab, Tuhan sering kali mengajar
kita melalui pengalaman, masalah dan keluh kesah orang lain. Jadi,
kesediaan mendengar itu tidak hanya penting dan berguna bagi orang
lain. Itu juga penting dan berguna bagi kita.

Doa: Tuhan, mampukan kami membiasakan diri belajar menjadi


pendengar yang baik. Sebab, hal itu tidak hanya penting dan
berguna bagi orang lain, tetapi juga bagi kami, Amin.

Doaku Kepada-Mu Halaman 7


Selasa, 1 Juni 2021
Bacaan: Mazmur 139: 13-16
Nas: Kejadian 1: 26a

“Berfirmanlah Allah, “Baiklah kita menjadi-


kan manusia menurut gambar dan rupa
Kita.”

D i waktu senggang, Yuyun membaca sebuah majalah remaja.


Majalah itu memuat tentang kegiatan para artis, cover boy-cover
girl yang cakep dan cantik. Juga, majalah itu memuat gosip-gosip artis
luar negeri yang sedang ngetren. Lalu Yuyun berkata kepada teman-
temannya, “Sungguh beruntung mereka ini. Tampan, cantik, kaya, pintar,
terkenal lagi. Tidak seperti kita-kita, mau makan saja susah.”
Ada bersitan rasa iri dalam komentar Yuyun itu. Memang kalau
kita melihat dan membaca di berbagai media, para artis dan model itu
tampak begitu sempurna. Tampaknya mereka memiliki semua
kemewahan dengan mudah. Kondisi itu memang dapat menimbulkan
penyesalan diri bagi banyak orang, seperti halnya Yuyun itu.
Walaupun keadaan kita sama dengan Yuyun, tetapi kita meyakini
bahwa setiap manusia itu berharga. Karena, Tuhan menciptakan kita
semua selaras dengan gambar dan rupa-Nya (Kej 1: 26). Itu berarti,
Tuhan menciptakan kita, Tuhan mengenal kita. Pendek kata, kita
berharga bagi-Nya. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk menyesali
keadaan kita. Apa pun keadaan kita.
Menyesali keadaan adalah tindakan bodoh. Sebab, itu hanya akan
membuat kita merasa tidak puas kepada Tuhan. Mestinya, kita belajar
menerima kenyataan diri kita apa adanya dengan penuh syukur. Lantas,
kita berupaya sekuat tenaga meningkatkan mutu hidup kita. Itu adalah
cara paling tepat untuk mengatasi berbagai kekurangan yang ada pada
diri kita. Jadi, mari kita membiasakan diri belajar mensyukuri dan
memperbaiki kekurangan kita, bukan menyesalinya!

Doa: Tuhan, mampukan kami membiasakan diri belajar menerima


keadaan kami apa adanya dengan penuh syukur. Lantas, kami
berupaya sekuat tenaga meningkatkan mutu hidup kami, Amin.

Halaman 8 Doaku Kepada-Mu


Rabu, 2 Juni 2021
Bacaan: Filipi 6:12
Nas: idem

“.....Perjuangan kita bukanlah melawan darah


dan daging tetapi melawan pemerintah-
pemerintah, melawan penguasa-penguasa,
melawan penghulu-penghulu dunia yang
gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara”

H idup ini membutuhkan perjuangan. Tak seorangpun dapat hidup


dengan baik tanpa berjuang. Sebagai contoh, kalau ingin
berprestasi, kita harus tekun belajar. Tanpa itu, kita tak akan pernah
meraih prestasi yang baik. Kita harus disiplin mengatur waktu
sedemikian rupa, sehingga belajar menjadi prioritas utama dalam
kehidupan sesehari. Pendek kata, kita harus menyediakan cukup waktu
untuk belajar. Jelas, itu bukan hal gampang. Itu butuh perjuangan.
Dalam kehidupan iman, kita juga harus berjuang. Tanpa kesediaan
berjuang, iman kita akan loyo. Orang bilang, iman kita akan “hidup
enggan mati tak mau”. Agar iman kita bertumbuh, kita perlu terus
berjuang melawan roh-roh jahat. Roh jahat adalah berbagai kekuatan
yang menggoda kita agar hidup tak sesuai dengan firman Tuhan. Roh
jahat selalu mencari kesempatan untuk membuat kita melakukan
tindakan tercela, buruk, dan jahat.
Sering kali, roh jahat itu tampil dalam berbagai godaan yang
menyenangkan dan memikat hati. Misalnya, kita digoda oleh roh jahat
untuk menghabiskan waktu bermain game, menggunakan media sosial
sesuka hati, menyontek, bersikap malas, suka marah-marah, mencuri,
berkelahi, dan masih banyak lagi. Di situlah kita perlu bersikap waspada.
Kita perlu berjuang setiap waktu melawan godaan roh-roh jahat itu.
Jangan lupa, kita meminta penyertaan Tuhan. Tanpa itu, kita akan kalah.
Selamat berjuang tanpa henti dan memenangkannya!

Doa: Tuhan, mampukan kami membiasakan diri belajar berjuang melawan


godaan roh-roh jahat. Bimbing dan sertailah kami. Sehingga, kami
mampu berjuang tanpa henti dan memenangkannya, Amin.

Doaku Kepada-Mu Halaman 9


Kamis, 3 Juni 2021
Bacaan: Lukas 21: 1-4
Nas: ayat 4

“Sebab, mereka semua memberi


persembahan dari kelimpahannya, tetapi
janda miskin itu dari kekurangannya.”

A pakah setiap kesediaan untuk memberi itu baik? Jawabnya, belum


tentu. Jadi, tidak semua kesediaan untuk memberi itu baik. Ada
pula kesediaan untuk memberi yang tidak baik. Baik atau tidaknya kesediaan
untuk memberi, tergantung pada motivasi si pemberi. Jadi, motivasi apa yang
melatarbelakanginya, amatlah penting. Pemberian yang baik, adalah
pemberian yang dilandasi motivasi yang tulus dan ikhlas.
Bagi kita, memberikan sesuatu kepada orang lain merupakan hal
yang lazim. Kita semua pernah atau bahkan sering melakukannya. Kita
memberikan sesuatu kepada adik, kakak atau saudara. Tak jarang pula
kita memberikan sesuatu kepada tetangga. Juga, sering kali kita
memberikan bingkisan kepada teman, kenalan bahkan orang lain.
Apakah yang menjadi motivasi kita dalam memberikan sesuatu kepada
mereka itu? Apakah kita memberikannya dengan tulus ikhlas? Ataukah
pemberian itu karena hal lain, misalnya rasa terpaksa, rikuh, sombong,
ingin mendapat pujian dan hal-hal lain semacam itu?
Marilah kita mencoba jujur kepada diri kita. Ternyata, pemberian
kita sering kali bukanlah pemberian yang dimotivasi oleh keikhlasan.
Pemberian kita, sering kali, karena rasa terpaksa. Misalnya, kita
memberikan sejumlah uang kepada pengemis. Namun, tak jarang
pemberian itu disertai dengan omelan dan rasa jengkel. Atau, pemberian
itu kita lakukan untuk membuat kesan kepada orang lain bahwa kita
dermawan. Mari, kita belajar membiasakan diri memberikan sesuatu
kepada siapa pun dengan tulus ikhlas.

Doa: Tuhan, ketika kami memberikan sesuatu kepada sesama,


mampukan kami belajar melakukannya dengan tulus ikhlas. Karena
pemberian seperti itulah yang berkenan kepada-Mu, Amin.

Halaman 10 Doaku Kepada-Mu


Jum’at, 4 Juni 2021
Bacaan: I Yohanes 4:16b-21
Nas: ayat 21b

“Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus


juga mengasihi saudaranya.”

N amanya Teresa Bojaxhiu. Ia lahir di Skopje, Makedonia Utara.


Namun, ia melakukan pelayanan jauh dari negerinya. Ia melayani
gelandangan dan orang-orang terbuang di Calcutta, India. Ia lebih
dikenal dengan nama Suster Teresa. Ia bekerja tanpa pamrih.
Mengapa Suster Teresa mau melakukan pelayanan macam itu?
Menurutnya, ia menolong kaum gelandangan, karena dalam diri mereka
berdiamlah Tuhan. Maksudnya, apabila kita menolong mereka, itu sama
halnya dengan kita melakukannya bagi Tuhan.
Suster Teresa melayani semua orang, tanpa pandang bulu. Ia tidak
pernah membeda-bedakan orang. Apa pun agama, warna kulit,
kelompok politik, dan berbagai atribut manusiawi lainnya, semuanya
disambut, diterima dengan baik, dan ditolongnya. Itulah sebabnya Suster
Teresa memperoleh penghargaan internasional. Ia menerima hadiah
Nobel. Ia sering disebut sebagai pejuang kehidupan.
Karya pelayanan Suster Teresa memberikan inspirasi berharga
bagi kita. Bila kita hendak menghasihi Tuhan, maka kita harus mengasihi
sesama. Sesama adalah, semua orang yang kita jumpai dalam kehidupan
sesehari, yang membutuhkan pertolongan kita.
Sesama bukanlah hanya orang-orang seagama, sesuku,
sekelompok dengan kita. Sesama adalah semua orang, tanpa
membedakan atribut menusiawi yang melekat dalam dirinya. Merekalah
yang semestinya kita kasihi. Mari kita belajar mengasihi sesama tanpa
membedakan agama, warna kulit, kelompok politik, dan berbagai atribut
manusiawi lainnya. Pendek kata, kita belajar mengasihi sesama tanpa
pandang bulu.

Doa: Tuhan, siapa pun orang yang Engkau hadirkan di sekitar kami,
itulah sesama kami. Mampukan kami membiasakan diri belajar
mengasihi mereka semua tanpa pandang bulu, Amin.

Doaku Kepada-Mu Halaman 11


Sabtu, 5 Juni 2021
Bacaan: Yeremia 9:23-24
Nas: ayat 24 a

“Siapa yang mau bermegah, baiklah


bermegah karena yang berikut: bahwa ia
memahami dan mengenal Aku”

S etiap orang memiliki hal tertentu yang dibanggakannya. Itu


misalnya: kepandaian, status sosial, kekayaan, kecantikan atau
ketampanan, dan masih banyak lagi. Tetapi, apakah itu semua patut
dibanggakan? Apakah itu semua sudah cukup membuat seseorang
sungguh-sungguh merasakan kebahagiaan sejati? Ternyata tidak.
Banyak bukti mengenai hal itu, misalnya pengalaman Nabi Yeremia.
Suatu ketika Nabi Yeremia diutus oleh Tuhan. Ketika itu
masyarakat Kerajaan Yehuda mengalami kemerosotan moral. Kehidupan
mereka tidak benar di hadapan Tuhan. Memang, banyak di antara
mereka yang memiliki kemampuan, jabatan atau status sosial tinggi.
Karena itulah, mereka merasa bangga. Mereka bermegah (Yer. 8:6,9-11).
Tetapi, sangat disayangkan! Mereka tidak mengenal Tuhan. Mereka
mengabaikan Firman Tuhan. Apakah mereka bahagia? Ternyata tidak.
Menurut Yeremia, yang berbahagia adalah orang yang mengenal
Tuhan dengan baik. Tanpa itu, orang tak akan memperoleh kebahagiaan
sejati. Maka, jangan pernah mengatakan: karena aku pandai, karena aku
kaya, atau karena orang tuaku memiliki status sosial tinggi (jabatan
tinggi), maka aku memiliki hidup bahagia.
Mestinya kita tidak bermegah atau berbangga karena itu semua.
Sebab, jika tidak mengenal Tuhan dengan baik, kita tak akan pernah me-
rasakan kebahagiaan sejati. Mari kita bangga karena mengenal Tuhan
dengan baik. Tapi, apa maksudnya “mengenal Tuhan”? Tentu, itu bukan
sekadar tahu dan mengerti tentang Tuhan. Lebih dari itu, kita mem-
percayakan hidup kita sepenuhnya kepada-Nya.

Doa: Tuhan, kami ingin merasakan kebahagiaan sejati. Karena itu,


mampukan kami membiasakan diri belajar mempercayakan hidup
kami sepenuhnya kepada-Mu, Amin.

Halaman 12 Doaku Kepada-Mu


Doaku Kepada-Mu Halaman 13

Anda mungkin juga menyukai