Anda di halaman 1dari 3

A.

Pengertian Pada Akhlak Pada Diri Sendiri


Menurut etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlak bentuk jamak dari
mufradnya khuluq yang berarti “budi pekerti”, budi adalah yang ada pada manusia,
berhubungan dengan kesadaran yang didorong oleh pemikiran rasio. Budi disebut juga
karakter. Pekerti adalah apa yang terlihat pada manusia karena didorong oleh perasaan
hati yang disebut behavior. Jadi, budi pekerti adalah perpadua dari hasil rasio dan rasa
yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia. Akhlak terhadap diri sendiri
pada dasarnya adalah sifat jiwa yang sudah mendarah daging yang dapat menjadi
inspirasi dan mendorong perbuatan manusia yang akibatnya kembali pada dirinya sendiri,
baik itu perbuatan yang bermanfaat maupun perbuatan yang mudharat. 1
Manusia sebagai makhluk allah mempunyai kewajiban terhadap diinya sendiri.
Namun, bukan berarti kewajiban ini lebi penting daripada kewajiban kepada Allah
dikarenakan kewajiban yang pertama dan utama bagi manusia adalah mempercayai
dengan keyakinan yang sesungguhnya bahwa “Tiada Tuhan melainkan Allah”.
Keyakinan pokok ini merupakan kewajiban terhadap Allah sekaligus merupakan
kewajiban manusia bagi dirinya untuk keselamatannya.
Manusia mempunyai kewajiban kepada dirinya sendiri yang harus ditunaikan
untuk memenuhi haknya. Kewajiban ini bkan semata-mata untuk mementigkan dirinya
sendiri atau menzalimi dirinya sendiri. Dalam diri manusia mempunyai dua unsur, yakini
jasmani (jasad) dan rohani (jiwa). Selain itu manusia dengan makhluk allah yang lainnya.
Tiap-tiap unsur memiliki hak dimana antara satu dan yang lainnya mempunyai kewajiban
yang harus ditunaikan untuk memenuhi haknya masing-masing.2

Untuk membekali kaum Muslim dengan akhlak mulia terutama terhadap dirinya,
di bawah akan diuraikan beberapa bentuk akhlak mulia terhadap diri sendiri dalam
berbagai aspeknya. Di antara bentuk akhlak mulia ini adalah memelihara kesucian diri
baik lahir maupun batin. Orang yang dapat memelihara dirinya dengan baik akan selalu
berupaya untuk berpenampilan sebaik-baiknya di hadapan Allah, khususnya, dan di
hadapan manusia pada umumnya dengan memperhatikan bagaimana tingkah lakunya,
bagaimana penampilan fisiknya, dan bagaimana pakaian yang dipakainya. Pemeliharaan

1
Rahmat Djatnika, Sistem Etika Islami: Akhlak Mulia, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), h.26.
2
Miftah Farid, Etika Islam, (Bandung: Pustaka, 1997), h.184.
kesucian diri seseorang tidak hanya terbatas pada hal yang bersifat fisik (lahir) tetapi juga
pemeliharaan yang bersifat nonfisik (batin). Yang pertama harus diperhatikan dalam hal
pemeliharaan nonfisik adalah membekali akal dengan berbagai ilmu yang mendukungnya
untuk dapat melakukan berbagai aktivitas dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.
Berbagai upaya yang mendukung ke arah pembekalan akal harus ditempuh, misalnya
melalui pendidikan yang dimulai dari lingkungan rumah tangganya kemudian melalui
pendidikan formal hingga mendapatkan pengetahuan yang memadai untuk bekal
hidupnya (QS. al-Zumar (39): 9). Setelah penampilan fisiknya baik dan akalnya sudah
dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan, maka yang berikutnya harus diperhatikan
adalah bagaimana menghiasi jiwanya dengan berbagai tingkah laku yang mencerminkan
akhlak mulia. Di sinilah seseorang dituntut untuk berakhlak mulia di hadapan Allah dan
Rasulullah, di hadapan orang tuanya, di tengah-tengah masyarakatnya, bahkan untuk
dirinya sendiri.3

B. Akhlak Terhadap Diri Sendiri


Akhlak terhadap diri sendiri adalah sebagai berikut:
1. Benar (as-Shidqatu)
Yaitu berlaku benar dan jujur baik dalam perkataan maupun perbuatan, kebalikan dari
benar adalah dusta, yaitu menyalahi kenyataan sebenarnya. Maksud akhlak terpuji ini
adalah berlaku benar dan jujur, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Benar dalam
perkataan adalah mengatakan keadaan sebenarnya, tidak mengada-ada, tidak pula
menyembunyikannya. Lain halnya apabila yang disembunyikan itu bersifat rahasia
atau karena menjaga nama baik seseorang. Benar dalam perbuatan adalah dalam
mengerjakan sesuatu sesuai dengan petunujk agama. Apa yang boleh dikerjakan
menurut perintah agama berarti itu benar. Dan apa yang tidak boleh dkerjakan sesuai
dengan larangan agama, berarti itu tidak benar.

2. Adil (al-`adhu)
Yaitu menempatkn sesuatu pada tempatnya, adil terdiri atas adil perseorangan, yaitu
tindakan memberikan hak kepada yang mempunyai hak tanpa menguranginya. Adil

3
Nurhasan, Pola Kerjasama Sekolah Dan Keluarga Dalam Pembinaan Akhak, Jurnal Almakrifat, Vol.3, No.1.
dari segi hokum atau masyarakat adalah memutuskan suatu perkara sesuai dengan
hukum, tanpa memandang latar belakangnya. Pemirintah yang adil adalah yang
mengusahakan rakyatnya sejahtera. Kebalikan dari sifat adil adalah zalim, yaitu
menetapkan suatu keputusan hukum secara berat sebelah atau tidak seimbang,
merugikan pihak lainnya, memutar balikkan fakta, atau mengambil hak orang lain
secara melampaui batas, sehingga orang lain teraniaya.4

3. Malu (al-Hayd)
Yaitu malu terhadap allah dan diri sendiri akan perbuatan melanggar perintah Allah.
Perasaan ini dapat mencegah orang berbuat buruk dan nista. Sifat malu ini adalah
sifat yang sudah mendarah daging dalam jiwa seseorang yang dapat menahan
seseorang melakukan perbuatan yang menurut pandangan dirinya dapat merugikan
atau bertentangan dengan perintah dan larangan agama. Hakikat malu itu
sesungguhnya menjaga jiwa dan memeliharanya dari hal-hal yang mencelakakannya
dari perbuatan atau perkataan walaupun diperbolekan dalam syariat dan tidak ada satu
pendapatpun mengenai hal itu. Malu itu sesuatu yang dapat dihubungkan dengan
kebanyakan akhlak, seperti menjaga kehormatan, lebih mementingkan kepentingan
orang lain, sabar, lemah-lembut, pemaaf dan baik kepada keluarga.

4
Rosihon, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Seti, 2010), h. 89-92.

Anda mungkin juga menyukai