Untuk membekali kaum Muslim dengan akhlak mulia terutama terhadap dirinya,
di bawah akan diuraikan beberapa bentuk akhlak mulia terhadap diri sendiri dalam
berbagai aspeknya. Di antara bentuk akhlak mulia ini adalah memelihara kesucian diri
baik lahir maupun batin. Orang yang dapat memelihara dirinya dengan baik akan selalu
berupaya untuk berpenampilan sebaik-baiknya di hadapan Allah, khususnya, dan di
hadapan manusia pada umumnya dengan memperhatikan bagaimana tingkah lakunya,
bagaimana penampilan fisiknya, dan bagaimana pakaian yang dipakainya. Pemeliharaan
1
Rahmat Djatnika, Sistem Etika Islami: Akhlak Mulia, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), h.26.
2
Miftah Farid, Etika Islam, (Bandung: Pustaka, 1997), h.184.
kesucian diri seseorang tidak hanya terbatas pada hal yang bersifat fisik (lahir) tetapi juga
pemeliharaan yang bersifat nonfisik (batin). Yang pertama harus diperhatikan dalam hal
pemeliharaan nonfisik adalah membekali akal dengan berbagai ilmu yang mendukungnya
untuk dapat melakukan berbagai aktivitas dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.
Berbagai upaya yang mendukung ke arah pembekalan akal harus ditempuh, misalnya
melalui pendidikan yang dimulai dari lingkungan rumah tangganya kemudian melalui
pendidikan formal hingga mendapatkan pengetahuan yang memadai untuk bekal
hidupnya (QS. al-Zumar (39): 9). Setelah penampilan fisiknya baik dan akalnya sudah
dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan, maka yang berikutnya harus diperhatikan
adalah bagaimana menghiasi jiwanya dengan berbagai tingkah laku yang mencerminkan
akhlak mulia. Di sinilah seseorang dituntut untuk berakhlak mulia di hadapan Allah dan
Rasulullah, di hadapan orang tuanya, di tengah-tengah masyarakatnya, bahkan untuk
dirinya sendiri.3
2. Adil (al-`adhu)
Yaitu menempatkn sesuatu pada tempatnya, adil terdiri atas adil perseorangan, yaitu
tindakan memberikan hak kepada yang mempunyai hak tanpa menguranginya. Adil
3
Nurhasan, Pola Kerjasama Sekolah Dan Keluarga Dalam Pembinaan Akhak, Jurnal Almakrifat, Vol.3, No.1.
dari segi hokum atau masyarakat adalah memutuskan suatu perkara sesuai dengan
hukum, tanpa memandang latar belakangnya. Pemirintah yang adil adalah yang
mengusahakan rakyatnya sejahtera. Kebalikan dari sifat adil adalah zalim, yaitu
menetapkan suatu keputusan hukum secara berat sebelah atau tidak seimbang,
merugikan pihak lainnya, memutar balikkan fakta, atau mengambil hak orang lain
secara melampaui batas, sehingga orang lain teraniaya.4
3. Malu (al-Hayd)
Yaitu malu terhadap allah dan diri sendiri akan perbuatan melanggar perintah Allah.
Perasaan ini dapat mencegah orang berbuat buruk dan nista. Sifat malu ini adalah
sifat yang sudah mendarah daging dalam jiwa seseorang yang dapat menahan
seseorang melakukan perbuatan yang menurut pandangan dirinya dapat merugikan
atau bertentangan dengan perintah dan larangan agama. Hakikat malu itu
sesungguhnya menjaga jiwa dan memeliharanya dari hal-hal yang mencelakakannya
dari perbuatan atau perkataan walaupun diperbolekan dalam syariat dan tidak ada satu
pendapatpun mengenai hal itu. Malu itu sesuatu yang dapat dihubungkan dengan
kebanyakan akhlak, seperti menjaga kehormatan, lebih mementingkan kepentingan
orang lain, sabar, lemah-lembut, pemaaf dan baik kepada keluarga.
4
Rosihon, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Seti, 2010), h. 89-92.