Anda di halaman 1dari 4

a.

 Garis Keturunan
Suku bangsa Nias mengikuti garis keturunan patrilineal, yaitu mengikuti hitungan hubungan kekerabatan
melalui laki-laki. Anak laki-laki maupun perempuan mengikuti garis keturunan ayah. Apabila anak laki-laki
kawin,  biasanya tinggal dirumah orangtuanya dalam waktu satu, dua, tiga tahun sampai lahir anak pertama.
Tapi, anak perempuan yang sudah kawin harus keluar dari rumah orangtuanya mengikuti suaminya.
Suku bangsa Nias yang berasal dari satu satu garis keturunan disebut sisambua mado. Mereka diikat oleh
pertalian darah yang dihitung melalui laki-laki. Setiap nenek moyang dan keluarga keturunannya memiliki  atia
nadu. Sampai generasi yang kesembilan perkawinan diantara keturunannya dilarang untuk generasi selanjutnya
perkawinan diantara keturunannya tidak menjadi masalah lagi.
Hanya saja persyaratan harus dipenuhi yakni; memisahkan atia nadu keturunan  tersebut dari
kumpulan atia nadu nenek moyang dan membayar pemisahan itu dengan memotong babi sebesar 4 alisi. Babi
tersebut diberikan oleh pihak laki-laki. Jadi dengan terjadinya perkawinan ini berarti kawin dalam lingkungan
marga atau mado yang sama. Itulah sebabnya di daerah Nias kita jumpai suami/istri yang marganya sama.
b. Kelompok Kekerabatan
Kelompok kekerabatan orang Nias terkecil adalah sangambatö yaitu keluarga batih, tetapi kelompok yang
penting adalah sangambatö sebua, yakni keluarga besar virilokal yang terdiri dari keluarga batih senior
ditambah lagi dengan keluarga batih putra-putranya yang tinggal serumah, sehingga berupa sebuah rumah
tangga  dan satu kesatuan ekonomis. Gabungan–gabungan dari sangambatö sebua dari satu leluhur
disebut Mado (di Nias Utara, Timur dan Barat) atau Gana (di Nias Tenggara di Nias Selatan).
Fungsi kelompok keluarga dari kedua belah pihak ini, paling menonjol dalam upacara peralihan dari tingkat
hidup remaja ketingkat hidup berkeluarga. Jadi, apabila anak sangambatö tadi terutama anak perempuan kawin
maka yang banyak memegang peranan ialah keluarga dari pihak suami. Mulai dari awal upacara sampai
berakhir, mereka yang menjadi penghubung antara pihak laki-laki dan orangtua perempuan serta yang
menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara tersebut. Mereka ini merupakan kelompok
kekerabatan yang disebut menurut dekatnya dengan sangambatö tadi. Kelompok keluarga yang paling dekat
yaitu yang sekandung dan sepupu dihitung dari garis keturunan pihak laki-laki yang disebut Iwa.
Saudara sepupu tingkat kedua disebut Huwa dan saudara-saudara tingkat seterusnya disebut banua. Dari
kelompok kekerabatan banua yang menerima hak dalam upacara-upacara adat ialah Salawa dan stafnya. Selain
dari kelompok kekerabatan diatas, masih ada satu kelompok kekerabatan dari pihak suami yaitu kelompok-
kelompok saudara perempuan yang sudah kawin beserta keluarga mereka masing-masing, yang disebut fadono
atau ono alawe, termasuk keluarga yang mengawini anaknya perempuan.
Fungsi dari fadono berbeda dengan Iwa, Huwa dan Banua. Kelompok kekerabatan ini merupakan pekerja dalam
upacara yang dilaksanakan olehsangambatö tadi. Itulah sebabnya dalam pembagian urakha yang menjadi
bagian mereka adalah tangan/kedua kaki sebelah muka sebagai lambang kecekatan.
Keluarga dari pihak istri merupakan suatu kelompok kekerabatan yang disebut uwu. Jadi dari merekalah sumber
hidup anak-anak sangambatö itu, hal inilah yang menjadikan derajat uwu lebih tinggi kedudukannya dari semua
kelompok kekerabatan tadi dan selalu mendapat penghormatan yang tertinggi dari ngambatö tersebut. Selain itu
keluarga yang memberi istri bagi anak laki-laki sangambatö merupakan satu kekerabatan yang disebut sitenga
bö’ö. Kelompok ini diundang apabila sangambatö mengawinkan anaknya, mengaadakan pesta kematian atau
pesta adat lainnya.
c. Sopan Santun Kekerabatan
Semua anggota keluarga dan kerabat boleh saling menyapa, hanya saja cara menyapa di bedakan kepada yang
lebih tua, daripada yang lebih muda. Kepada yang lebih tua harus lebih hormat daripada yang lebih muda
umurnya. Antara mertua dengan menantunya perempuan dan antara mertua dengan menantunya laki-laki
mempunyai hubungan yang erat sama seperti hubungan orangtua dengan anak kandungnya. Demikian juga
diantara yang beripar yaitu suami dengan istri saudara laki-laki istrinya atau istri dengan saudara perempuan
suaminya dianggap seperti saudara kandung. Tidak ada garis pemisah antara mereka, boleh bebas berbicara,
hanya saja yang muda harus menghormati yang lebih tua. Kelakar diantara kedua kelompok di atas boleh tapi
harus dalam batas-batas kesopanan. Yang tidak bebas berkelakar ialah antara suami dengan saudara perempuan
istrinya.
Kelompok keluarga pihak istri lebih-lebih orangtua atau saudara laki-laki istri mendapat penghormatan yang
lebih tinggi dari kelompok keluarga lainnya. Kalau mereka baru pertama kali datang/berkunjung kerumah
saudara perempuannya, mereka harus memotong seekor anak babi minimal satu alisi. Tidak ada alasan tidak
ada persediaan, harus dicari biarpun berutang. Selain memotong anak babi biasanya pemilik rumah tersebut
haruslah memberikan oleh-oleh/bawaan berupa satu ekor anak babi. Jika tidak dia akan merasa malu terhadap
tetangga dan orang sekampungnya apalagi kalau mereka mengetahui kepergiannya itu.   Itu sebabnya pihak
keluarga istri jarang datang kerumah anak perempuan, jika dilihatnya anaknya itu masih diperkirakan belum
baik jalan hidupnya/sengsara.
Perlu juga diketahui bahwa babi yang disuguhkan sebagai lauk, tidaklah dipotong secara sembarangan, karena
yang disuguhkan dari babi itu adalah rahangnya beserta daging yang senyawa dengan rahang tersebut, jerohan
atau alakhaö dan beberapa potong daging pahanya serta rusuknya. Inilah makanan penghormatan yang paling
tertinggi, karena rahang atau simbi merupakan lambang sangkutan atau tempat bergantung. Cara memasak
daging babi itu menurut adat hanya direbus saja bersama garam sedikit.
Jika fadono atau ono alawe yang datang dan baru pertama kali datang atau jika dia telah panen maka ia akan
membawa olöwöta/molöwö atau membawa bingkisan makanan) berupa daging anak babi yang sudah direbus,
nasi dan afo atau sirih kemudian ia akan dijamu dengan memotong seekor anak babi, tetapi yang lebih
ditonjolkan untuk disuguhkan yakni kaki babi depan atau tangan babi bersama simbi. Tangan melambangkan
kecekatan, jadi yang disuruh-suruh. Jika mereka pulang harus diserahkan manu atau ayam dan satu ekor anak
babi bersama bingkisan makanan.
Penghormatan  diantara anggota kerabat, orang lain atau tamu  haruslah memberi salam yakni ya’ahowu disusul
dengan penyuguhan afo disusul dengan menyediakan minuman dan makanan. Kata ya’ahowu di pergunakan
saat bertemu dengan siapa saja yang berasal dari Nias.
Makanan Khas Nias
1. Harinake

Sekilas hidangan bernama Harinake ini memang bikin ngiler. Yap, rasanya memang terkenal enak. Tapi, kuliner
ini terbuat dari daging babi cincang yang diiris dengan ukuran kecil-kecil dan tipis-tips. Bagi wisatawan yang
tidak makan daging babi bisa puasa terlebih dahulu. Bagi wisatawan yang makan daging babi wajib sekali
mencicipi kuliner yang satu ini. Harinake sendiri merupakan makanan khas Nias yang biasanya disajikan untuk
menghormati tamu dan mertua. Biasanya disajikan satu ekor babi lalu dicincang. Mau coba?

2. Gowi Nifufu
Di masa lampau masyarakat Nias beranggapan bahwa makan pagi, siang dan malam tidak lengkap jika belum
makan ubi sebelum menyantap hidangan utama. Ubi atau Gowi Nifufu sendiri menjadi hidangan pertama yang
dimakan karena pada zaman dulu beras sangat langka dan mahal. Sesekali wisatawan bisa mencoba teknik
menikmati Gowi Nifufu sebelum makan nasi. Pasti rasanya unik.

3. Ni’owuru
Proses mengasinkan daging dan ikan memang terbukti bisa membuat daging dan ikan bisa tahan lama. Kalau di
daerah lain di Indonesia hanya ikan saja yang diasinkan, tapi di Nias berbagai daging biasa diasinkan agar awet.
Ni’owuru sendiri merupakan istilah untuk asinan daging babi. Tapi banyak juga daging lain yang diasinkan
seperti ayam, sapi, atau kerbau. Jadi, jika wisatawan ingin mencicipi kuliner yang satu ini lebih baik bertanya
terlebih dahulu dengan penjual tentang jenis daging yang diasinkan.

4. Lehedalo Nifange
Lehendalo Nifange adalah  kuliner yang cukup terkenal di Nias. Kuliner ini terbuat dari talas yang direndang.
Kuliner satu ini sering menjadi lauk para warga Nias dan biasanya dinikmati dengan sagu. Rasanya cukup bikin
ngiler meskipun bahannya terbuat dari talas. 
5. Köfö- Köfö
Köfö- Köfö merupakan kuliner di pulau terpencil di Nias. Bahannya terbuat dari ikan yang telah dibuang
kulitnya dan dimasak dengan santan kelapa setelah digoreng. Kuliner satu ini biasanya digunakan untuk lauk
makan. Sebenarnya tiap masyarakat Nias punya cara masak tersendiri. Sebelum ikan digoreng ada juga
masyarakat Nias yang menumbuk ikan hingga halus dan mencampurnya dengan telur lalu di stream. Hidangan
ini cocok untuk jadi hidangan makan siang karena memiliki cita rasa mirip dengan gulai ikan yang sering jadi
hidangan saat makan siang.

6. Hambae Nititi

Hambae Nititi merupakan kuliner yang terbuat dari daging kepiting yang dicampur dengan santan kelapa.
Kuliner yang satu ini biasanya dimasak hingga kering mirip abon. Rasanya sangat guris. Hidangan ini biasanya
ada pada bulan Mei, Juni, dan Juli di Hanako Kecamatan Siromba. Jadi wisatawan harus memperkirakan
kedatangan.

7. Silio Guro
Mirip dengan pepes. Bisa dibilang Silio Guro adalah hidangan yang mirip dengan pepes bakar karena Silio
Guro biasanya disajikan dengan dibungkus daun pisan dan di panggang di atas bara api yang membara.
Isiannyayang sendiri daging giling dan kelapa yang telah dibumbui. Yang membedakan kuliner ini dengan
pepes adalah isi Silio Guro adalah berupa daging udang.

Destinasi Wisata Nias

DESA BAWAMATALUO

Desa Bawomataluo, terletak di Kecamatan Fanayama, Telukdalam, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara.

Desa ini adalah desa adat yang berada di atas bukit yang telah ada sejak berabad-abad lalu dan hingga kini
masih terpelihara dengan baik. Desa Bawomataluo ini merupakan pusat desa-desa adat yang tersebar di Nias.
meski tidak diketahui secara pasti, namun Desa Bawomataluo diperkirakan sudah ada sejak abad ke-18. Desa
ini berada pada ketinggian 270 meter di atas permukaan laut dan di atas perbukitan yang aman dari ancaman
gelombang tsunami, meskipun jaraknya dari laut hanya 4 km.

Saat memasuki desa ini, Anda akan disambut dengan tangga beton yang menyerupai punden berundak-undak
dengan jumlah anak tangga teras pertama 7 buah sedangkan teras kedua berjumlah 70 buah. Rumah-rumah di
desa ini saling berhadapan dengan jarak 4 meter. Pada bagian tengah kompleks terdapat halaman yang terbuat
dari susunan batu yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara adat dan ritual.

1. Terdapat Rumah Raja yang Unik

Di desa ini terdapat sebuah rumah Raja (Kepala Suku) yang memiliki arsitektur yang unik dan megah meski
tradisional. Bangunannya berbentuk rumah panggung berdenah segi empat dengan pola huruf U, dengan ukuran
22x12 meter, serta tinggi kurang lebih 30 meter. Rumah ini ditopang oleh 70 tiang tegak berbentuk bulat
dengan diameter 85 cm dan 52 buah tiang penyangga miring yang berbentuk bulat dengan diameter 70 cm.
Rumah Raja ini juga kental dengan ukiran-ukiran yang menambah kemegahan bangunannya. Di hadapan
tempat duduk raja terdapat sebuah tiang berbetuk payung dengan pola hias tumpal, lingkaran memusat dan
lambang tersebut oleh masyarakat Nias disebut Holo-Holo (tanda kebesaran rumah raja). Ada juga pola hiasan
yang dipahat dengan bentuk perahu nelayan, ikan, buaya dan kera yang menggantung dan burung elang.

2. Situs Megalitik yang Terkenal

Di dalam kompleks desa ini terdapat beberapa jenis peninggalan tradisi megalitik. Peninggalan yang paling
besar adalah yang terdapat di hadapan rumah raja. Pada pintu gerbang rumah raja diapit oleh 2 buah meja batu
berbentuk perahu dengan ukuran panjang 346 cm, lebar 194 cm, tebal 39 cm, dan memiliki ornamen berupa
bunga, sulur daun, dan manusia dalam posisi telungkup.

Selain itu, di Desa Bawomataluo ini juga terdapat meja batu berbentuk bulat yang ditopang oleh empat buah
tiang batu berbentuk pilar dengan ukuran tinggi 134 cm dan diameter 120 cm, serta beberapa peninggalan lain
yang terkenal seperti Batu Nitaruo, Nitaruo Niwoli-woli dan batu segi empat pipih polos yang selalu menjadi
daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

3. Tempat Lahirnya Tradisi Lompat Batu

Desa Bawomataluo ini merupakan tempat lahirnya para pelompat batu dari Nias yang sangat populer. Tradisi
melompat batu atau yang biasa disebut oleh orang Nias sebagai Fahombo Batu awalnya dilakukan oleh seorang
pemuda Nias untuk menunjukkan bahwa pemuda yang bersangkutan sudah dianggap dewasa dan matang secara
fisik.

4. Tempat Asal Tari Perang

Tari Perang yang disebut Tari Fataele tidak bisa dipisahkan dengan tradisi Lompat Batu Nias, karena lahirnya
berbarengan dengan tradisi Fahombo Batu yang ada di desa ini. Dalam menarikan tarian ini, penari mengenakan
pakaian warna warni terdiri dari warna hitam, kuning dan merah, dilengkapi dengan mahkota di kepala.
Layaknya kesatria dalam peperangan, penari juga membawa tameng, pedang dan tombak sebagai alat
pertahanan dari serangan musuh. Tameng yang digunakan terbuat dari kayu berbentuk seperti daun pisang
berada di tangan kiri yang berfungsi untuk menangkis serangan musuh. Sedangkan pedang atau tombak berada
di tangan kanan berfungsi untuk melawan serangan musuh. Kedua senjata ini merupakan senjata utama yang
digunakan kesatria Nias untuk berperang.

Anda mungkin juga menyukai