Anda di halaman 1dari 3

Nama: Joshua Tito Amael

NIM: 21/479783/PA/20810

Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi Tahun 1998 Sebagai Wujud Penyimpangan Nilai-
Nilai Pancasila
Salah satu keunikan Indonesia adalah banyak kepercayaan yang ada di masyarakat dan
juga kearifan lokal yang masih sangat kental. Meskipun hanya enam agama atau kepercayaan
yang diakui negara, ada banyak kepercayaan lain yang berkembang sudah sejak lama. Salah
satunya adalah kepercayaan kepada roh gaib atau roh nenek moyang. Sama halnya dengan
kepercayaan dan kearifan lokal yang masih dipercayai oleh sebagian masyarakat Banyuwangi.
Dilansir dari tirto.id pada tahun 2021 yang mengulas kembali cerita pembantaian dukun santet
yang terjadi pada tahun 1998, membuktikan bahwa kepercayaan diluar enam agama yang diakui
masih banyak. Akan tetapi, tidak jarang pula banyak orang yang merasa terganggu ataupun tidak
nyaman dengan kepercayaan yang unik seperti yang terjadi di Banyuwangi.

Kejadian pembantaian dukun santet di Banyuwangi ini hingga kini belum menemui titik
akhir, bahkan ironisnya pembantaian ini tercatat menewaskan hingga 309 orang. Meskipun
demikian, kronologi dan latar belakang peristiwa ini masih semu dan belum ada sumber
terpercaya yang berhasil membuktikannya. Akan tetapi, terdapat satu peristiwa yang dapat
menggambarkan kejadian tersebut. Kejadian ini terjadi pada September 1998, seorang bocah
bernama Untung Hadi, menerima kabar bahwa ayahnya tewas. Mengetahui hal tersebut ia
kemudian bergegas kembali ke rumah dan mendapati ayahnya sudah tewas, tidak hanya itu
rumah dan kebun korban dihancurkan. Ini adalah salah satu peristiwa satu dari 309 pembantaian
yang terjadi. Menurut buku Merah Darah Santet di Banyuwangi yang dikarang oleh Saiful
Rahim, mengungkapkan bahwa pembantaian serupa juga pernah terjadi pada 1991 dan 1996.
Menanggapi hal ini pemerintah daerah pun sudah melakukan beberapa langkah, seperti mendata
warga yang bekerja sebagai dukun. Meskipun sudah dilakukan, nampaknya hal ini justru
membuat jumlah pembantaian kian meningkat diduga terdapat kebocoran data yang membuat
pembantaian kian marak. Dalam buku yang ditulis oleh Abdul Manam Geger Santet
Banyuwangi mengungkapkan bahwa para pelaku adalah orang yang berpakaian serba hitam
layaknya seorang ninja yang membawa handy talky.

Ketidakjelasan kronologi yang ada dan belum terungkapnya pelaku atau dalang dibalik
semua ini tentu menjadi tanda tanya besar, terutama kepada pihak-pihak berwajib yang terkait.
Bagaimana sebuah peristiwa pembantaian yang menghabisi 309 nyawa dan terjadi dalam jangka
waktu yang panjang, hingga kini kronologi dan pelakunya belum terungkap. Terlepas dari
Nama: Joshua Tito Amael
NIM: 21/479783/PA/20810

pekerjaan mereka sebagai dukun santet yang dipandang dengan stigma negatif oleh masyarakat
luas, tetap saja mereka memiliki hak untuk hidup layaknya orang biasa. Sesuai dengan sila kedua
yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab” menunjukkan bahwa dalam kehiduapan kita harus
bisa memunculkan sikap kemanusiaan kita terhadap siapa pun dah tidak mengambil hak hidup
mereka. Selain itu, apabila mereka dianggap melakukan kesalahan, belum ada bukti kuat yang
mendukung pernyataan tersebut.

Penyimpangan sila juga terdapat pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
menjamin tiap-tiap kemerdekaan beragama yang dimiliki masyarakat. Meskipun kepercayaan
dukun santet mungkin tidak masuk ke dalam enam agama yang diakui, mereka juga memiliki
hak untuk menjalankan kepercayaannya tanpa ganggunan dan paksaan dari pihak luar.
Pembantaian ini seolah pada akhirnya mendiskreditkan kepada masyrakat bahwa kepercayaan
seorang dukun santet adalah kepercayaan yang buruk dan harus dihilangkan. Karena
kepercayaan-kepercayaan seperti ini sudah masuk ke dalam kearifan lokal daerah tentu ini juga
menyangkut dengan kebudayaan daerah yang berkaitan dengan keberagaman di Indonesia.
Seperti yang tertulis dalam sila ketiga “Persatuan Indonesia” kita sebagai masyrakat Indonesia
sudah seharusnya saling menghargai kebudayaan yang ada.

Satu hal lagi yang patut di kristisi dalam kasus ini adalah ketidaktransparanan pemerintah
dalam mengungkap sebuah kasus. Tentu kita membutuhkan sebuah keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia untuk tidak pandang bulu dalam meja hukum. Seolah dalam kasus ini
pemerintah tidak menyikapinya dengan serius, dibuktikan dengan belum adanya kejelasan pasti
siapa dan bagaimana peristiwa ini dapat terjadi. Selain itu dalam mengungkap sebuah kasus
diperlukan pula permusyawaratan yang baik seperti dalam sila keempat antara pihak pemerintah,
korban, dan masyarakat sekitar. Apabila permusyawaratan ini dilakukan dengan baik dan disertai
transparansi yang baik tanpa membeda-bedakan golongan seharusnya kasus ini dapat terungkap
dengan cepat.

Disamping kejanggalan yang ada dan belum terungkapnya kasus ini, sudah seharusnya
peristiwa ini diselesaikan hingga menemukan detail kasusnya secara jelas. Hak asasi manusia
bagaimana pun harus di tegakkan dalam kasus ini.

Sumber:
Nama: Joshua Tito Amael
NIM: 21/479783/PA/20810
Prinada, Yuda. (2021). Sejarah Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi Tahun 1998. Dapat diakses pada
https://tirto.id/sejarah-pembantaian-dukun-santet-di-banyuwangi-tahun-1998-f95d#top [diakses pada 9 September
2020]

Anda mungkin juga menyukai