Anda di halaman 1dari 6

KELOMPOK 9 HUKUM & HAM F

Anggota Kelompok:
Nadiah Khalishah Apriani B011191360
Andi Siti NurhalizaTenri A B011191242
Sarmila Rahman B011191249
Estherina Ferdinand B011191051
Hajratulfika B011191067
Dhiyauddin El Syamil Djasari B011191081
Muh. Arialdi Iskandar B011191029

1. Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia

Peristiwa Petrus di Yogyakarta


Petrus merupakan peristiwa penembakan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai
preman atau gali di beberapa penjuru daerah. Orang-orang yang menjadi korban Petrus
biasanya akan dibiarkan tergeletak di tengah jalan atau di bawah jembatan sehingga
publik dapat menyaksikan sendiri kejamnya peristiwa tersebut. Selain dibiarkan
tergeletak, beberapa korban lainnya justru disembunyikan dan hingga kini tidak diketahui
nasibnya.
Petrus mulai marak di Indonesia sejak 1983. Kala itu, Kota Yogyakarta menjadi tempat
pertama bagi operasi Petrus. Dilansir dari laman Historia, peristiwa petrus di Yogyakarta
bermula saat Komandan Kodim Yogyakarta, Letkol. M. Hasbi melancarkan operasi
pemberantasan kejahatan (OPK) yang awalnya diklaim hanya untuk pendataan para
pelaku kriminal. Namun ternyata pendataan itu berubah menjadi proses penangkapan
secara semena-mena.
Orang-orang bertato atau berpenampilan seperti preman menjadi target utama dari Petrus.
Hal tersebut kemudian membuat banyak pemuda yang memiliki tato di tubuhnya untuk
menghilangkan tatonya ramai-ramai. Ketakutan tersebut semakin meluas ketika kabar
mengenai munculnya Petrus di berbagai daerah lain menyebar.
Korban Petrus biasanya ditemukan dengan ciri-ciri yang hampir sama. Korban Petrus
umumnya memiliki tiga luka tembak di tubuhnya. Selain luka tembak, beberapa korban
Petrus sebagian besar juga ditemukan dengan luka cekik di lehernya. Di atas mayat yang
dibiarkan tergeletak, pelaku penembakan biasanya akan meninggalkan uang Rp 10 ribu
untuk biaya penguburan.
Di jogja sendiri pada waktu itu, orang-orang yang dianggap sebagai gali (gabungan anak
liar) maupun preman dilaporkan hilang dan kemudian ditemukan tewas. Rata-rata dari
mereka mengalami luka tembak mematikan di bagian kepala dan beberapa di bagian
leher. Bahkan, beberapa dari mereka adalah tokoh gali yang terkenal di kalangan
masyarakat Yogyakarta.
Yang cukup membekas di memori masyarakat jogja kala itu adalah kisah salah satu
preman legendaris Jogja yang turut jadi korban petrus, yaitu Samudi Blekok. Pada masa
jayanya, Blekok termasuk orang kuat di mana dia memiliki tubuh yang kuat, kekar, dan
berkulit hitam. Di pinggangnya, selalu terselip senjata kebanggaannya yaitu sebuah
trisula.
Tak hanya itu, Blekok juga pintar main gitar dan sering menghibur para bule dengan
lagu-lagu Rolling Stone. Dilansir dari Museum.or.id, orang-orang bule yang kenal
dengan Blekok kemudian menjulukinya “Black Sam”.
Saat operasi petrus di Jogja memanas tahun 1983, Blekok meninggalkan kota. Setelah
menganggap situasi sudah aman, ia kembali ke kotanya tercinta. Namun naas, ia tak luput
dari korban petrus. Blekok ditemukan mati tergeletak dengan muka rusak di kawasan
Kotagede.
Presiden Soeharto, sebagaimana ditulis dalam otobiografinya Pikiran, Ucapan, dan
Tindakan Saya, mengungkapkan bahwa Petrus merupakan metode pembasmi kejahatan
yang efektif. Petrus menjadi efektif karena mampu membawa efek jera yang luar biasa
pada para pelaku kejahatan.
Berbagai tindakan pembunuhan dan tindakan meninggalkan korban di tempat umum
merupakan tindakan yang disengaja supaya efek jera itu sampai kepada masyarakat.
Presiden Soeharto mengklaim bahwa efek jera yang dibawa oleh Petrus terasa lebih nyata
daripada hukuman-hukuman lain yang telah diberlakukan di Indonesia.
Secara jangka pendek, itu memang membuat orang-orang, khususnya preman, takut.
Mereka yang punya tato bahkan sampai berusaha menghapus tato karena gosipnya yang
paling diincar adalah yang punya tato. Jalanan dirasa lebih aman untuk sementara waktu.
Padahal Ada banyak masalah dengan "petrus" dan kenapa ini adalah preseden yang buruk
untuk jangka panjang.
Hal ini dikarenakan: Petrus tidak merespek hukum. Negara yang ideal adalah negara
hukum. Kepastian hukum adalah sesuatu yang membuat satu negara itu stabil dan kuat
secara jangka panjang. Petrus mengambil shortcut supaya penjahat takut dan masyarakat
tenang, tapi secara luas ini menunjukkan lemahnya hukum dan betapa korupnya negara
ini. semua, tidak peduli dia itu mantan PKI atau kriminal atau teroris, semua orang berdiri
sama di mata hukum. Jika dia dituduh melanggar hukum, maka dia harus dibuktikan oleh
hukum. Kejahatan apa? Kapan? Di mana? Apa motifnya? Ini semua menentukan vonis
dan hukuman yang harus dia jalankan, atau mungkin bahkan sebenarnya dia tidak
bersalah.
Petrus mengabaikan semua proses ini. Pokoknya preman bertato yang namanya ada
dalam daftar, akan diculik dan dibunuh, lalu mayatnya dibuang ke pinggir jalan untuk
ditemukan orang lain.
Petrus adalah bukti bagaimana negara berlaku tidak beda dengan mafia preman. Ini
bukan kelakuan dari negara hukum. Kalau negara bisa melakukan petrus, lebih buang
saja istilah “negara hukum” yang tersemat dalam diri Indonesia, sebab kelakuan Petrus
seolah sedang menghinakan supremasi hukum yang dijunjung dalam nomenklatur
“negara hukum”.

Adapun Undang-Undang HAM yang dilanggar yaitu Pasal 9 Undang-Undang nomor 26


Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu Kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan
yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,
berupa:
A. Pembunuhan
B. Pemusnahan
C. Perbudakan
D. Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa
E. Perampasan kemerderkaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional
F. Penyiksaan
G. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain
yang setara;
H. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut
hukum internasional;
I. Penghilangan orang secara paksa atau
J. Kejahatan apartheid

Penyelesaian tragedi Petrus di masa Orba ini hingga kini belum menemui titik terang.
sebenarnya, ada dua jalan yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM
berat. pertama, melalui pengadilan HAM ad hoc, kedua dengan memaksimalkan peran komisi
kebenaran rekonsiliasi (KKR) yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Salah satu
alasan mengapa penyelesaian tragedi ini menemui Jalan terjal dikarenakan semua pihak yang
terlibat tidak pernah mengakui kesalahan tersebut. meski pelanggaran HAM berat ini melanggar
UUD NRI 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan rasa keadilan dalam setiap kita, Para korban tragedi
penampakan misterius ini hingga kini belum mendapatkan keadilan dan pertanggungjawaban
atas setiap pihak yang terlibat dalam tragedi ini sampai kini masih nihil.
2. Kasus Pelanggaran HAM di Luar Indonesia (Dunia)
Pelanggaran HAM Amerika Serikat di Afghanistan (2014-2018)

Hubungan antar sebuah negara sangat perlu dilakukan, karena untuk menjaga perdamaian
dan kedaulatan sebuah negara agar tidak terjadinya konflik antar negara yang
mengakibatkan kerugian baik sektor ekonomi bahkan sampai memakan banyak korban
akibat konflik tersebut. Negara lain yang berada dekat dengan negara tersebut atau
bahkan negara yang saling dukung akan mendapat dampaknya. Terdapat hukum yang
dibuat khusus untuk isu kemanusiaan, yaitu Hukum Humaniter Internasional. Hukum
Humaniter Internasional adalah kumpulan aturan yang dibuat untuk membatasi akibat –
akibat dari pertikaian senjata. Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan satu
perangkat aturan yang berdasarkan pada Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Den Haag
1907 dan dilengkapi dengan Protokol Tambahan 1977.
Seperti contoh konflik yang terjadi di Afganistan. Akar konflik di Afghanistan adalah
konflik etnis. Nasib Afghanistan kemudian berubah menjadi lebih buruk dengan adanya
invasi Amerika ke negara tersebut sebagai bagian dari serangan balasan terhadap tragedi
11 September 2001. Serangan tersebut dikenal sebagai tragedi 9/11 atau Tragedy Black
September.
Pemerintah Afghanistan telah menandatangani perjanjian keamanan Bilateral Security
Agreement (BSA) dengan para pejabat Amerika pada tahun 2014. Adanya pasukan
militer Amerika Serikat di Afghanistan menguntungkan dan merugikan bagi pihak
pemerintah Afghanistan itu sendiri. Karena militer AS membantu Afghanistan dalam
melawan kelompok teroris yang berada di Afghanistan namun dalam pelaksanaan
memerangi terorisme, militer AS juga melakukan pelanggaran – pelanggaran Hak Asasi
Manusia dan Hukum Perang di Afghanistan.
Salah satu kasus adalah pada tanggal 3 Oktober 2015, sebuah serangan udara AS
menghancurkan rumah sakit MSF (Médecins Sans Frontières) di propinsi Kunduz bagian
utara Afghanistan. Terdapat 22 orang tewas terhadap serangan yang dilakukan oleh
Amerika ketika peperangan sedang berlangsung antara pasukan pemerintahan
Afghanistan melawan kelompok Taliban di darat untuk menguasai kembali wilayah di
kota utara Afghanistan. Kerjadian tersebut disebut sebagai sebuah kejahatan perang dan
tentang kepatuhan negara – negara terhadap Konvensi Jenewa yang sebetulnya memberi
jaminan perlindungan bagi kelompok – kelompok maupun organisasi kemanusiaan dalam
melaksanakan misi – misi bantuan mereka di wilayah – wilayah konflik.
Penduduk Afghanistan telah bertahun – tahun menderita kekurangan makanan dan
perawatan kesehatan yang ekstrem dan tidak adanya infrastruktur sipil, karena perang
saudara dan represi politik, yaitu permusuhan antara koalisi pimpinan AS dan pasukan
Taliban. Karena beberapa pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak Amerika
di Afghanistan tersebut, peneliti tertarik untuk mengemukakan tentang bagaimana
Hukum Humaniter sebagai suatu aturan – aturan yang ruang lingkupnya bersifat
internasional, dimana Hukum Humaniter dianggap sebagai suatu aturan yang bertujuan
melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi
cara – cara dan metode berperang.
Bentuk – Bentuk Pelanggaran HAM Amerika Serikat di Afghanistan yang ditinjau dari
Hukum Humaniter
Dalam tanggapan ICC dalam Committee Against Torture pada November 2015,
mengindikasikan bahwa lebih dari 70 investigasi mengenai dugaan pelecehan tahanan
oleh personel militer Amerika Serikat di Afghanistan. Ada setidaknya 88 orang dalam
tahanan AS yang disiksa. Dampak dari teknik interogasi yang ditingkatkan, diterapkan
dalam jangka waktu yang lama menyebabkan cedera fisik dan psikologis yang serius bagi
para korban. Beberapa korban dilaporkan menunjukkan masalah psikologis dan perilaku,
termasuk halusinasi, paranoia, insomnia, dan upaya melukai diri sendiri dan melukai diri
sendiri.
Tidak hanya kekuasaan militer Amerika saja yang bertahan di Afganistan, badan milik
pemerintah Amerika masih tetap memata-matai negara di Timur tengah tersebut. Pada
tahun 2014 terdapat beberapa drone atau pesawat tanpa awak yang menyerang lokasi-
lokasi 'teroris' di Afganistan. Penyadapan itu ditujukan untuk memantau pergerakan
teroris yang pada akhirnya 'dieksekusi' menggunakan pesawat tanpa awak. Hal ini
termasuk dalam pelanggaran hukum internasional, dan sebagian dari serangan drone itu
juga melukai bahkan hingga memakan korban jiwa dari rakyat sipil. Pada 20 Juli 2015,
dua helikopter Amerika Serikat menembaki sebuah pos tentara Afghanistan di Logar,
menewaskan delapan tentara dan melukai yang lain dan pada 7 September 2015, para
pejabat Afghanistan menuduh serangan udara AS menargetkan polisi di Helmand,
menewaskan 11 di antaranya. Pada tahun 2018 Militer Amerika Serikat terbukti terus
membayar Unit Afghanistan meskipun ada Pelanggaran HAM. militer AS tahu tentang
lusinan pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan oleh militer dan polisi
Afghanistan, AS menggunakan celah hukum untuk terus mendanai unit – unit
Afghanistan.

Prospek Penyelesaian Masalah Pelanggaran HAM di Afghanistan yang ditinjau dari


Hukum Humaniter
Penegakkan Hukum Humaniter Internasional terhadap pelaku kejahatan perang dapat
dilakukan dengan beberapa cara yaitu melakui Konvensi Jenewa 1949, peradilan Ad Hoc
dan International Criminal Court.
Terdapat tanggapan Internasional untuk konflik yang terjadi di Afghanistan, yaitu:
1. Pada Juli 2016 KTT NATO negara- negara anggota berjanji untuk mempertahankan
bantuan mereka kepada pasukan keamanan Afghanistan hingga 2020. Amerika Serikat
saat ini memiliki sekitar 14.000 tentara di Afghanistan.
2. UNAMA (United Nations Assistance Mission in Afghanistan) didirikan di bawah
Resolusi 1401 UN Security Council (UNSC) tahun 2002 dan mandatnya mencakup
pemantauan pelanggaran hak asasi manusia dan perlindungan warga sipil.
3. Selama November 2017 Ketua Jaksa Penuntut ICC meminta otorisasi untuk
melanjutkan penyelidikan atas dugaan kejahatan yang dilakukan di Afghanistan sejak
Mei 2003
Sebagai negara yang menandatangani Statuta Roma, Afghanistan bertanggung jawab
untuk dapat melakukan penyelidikan dan penuntutan kejahatan perang dalam
yurisdiksinya. Pada tanggal 20 November 2017, Jaksa Penuntut telah meminta otorisasi
dari Hakim Pra-Pengadilan untuk memulai investigasi terhadap kejahatan perang dan
kejahatan terhadap kemanusiaan sehubungan dengan konflik bersenjata di Afghanistan.
Jika Pre-Trial Chamber memberikan wewenang kepada Jaksa Penuntut untuk memulai
penyelidikan, Jaksa Penuntut dapat meminta Hakim ICC untuk mengeluarkan panggilan
untuk perintah penangkapan, terhadap mereka yang diyakini paling bertanggung jawab
untuk dugaan kejahatan kekejaman yang dilakukan di Afghanistan. Namun AS ridak
meratifikasi statuta roma yang berarti bukan anggota dari ICC.
Setelah sembilan tahun upaya perdamaian yang terputus-putus, Afghanistan, para pejabat
Amerika dan Taliban pada prinsipnya menyetujui kerangka kerja kesepakatan yang dapat
mengarah pada penarikan penuh pasukan Amerika dengan imbalan serangkaian konsesi
dari Taliban.

Anda mungkin juga menyukai